Anda di halaman 1dari 3

- Klasifikasi Sprain ankle berdasarkan tingkat keparahannya, yaitu :

1. Sprain Grade 1

Pada cedera ini terdapat sedikit hematoma, tenderness, dan sedikit pembengkakan. Pada
ligamennya hanya beberapa serabut yang putus tidak sampai mengalami kerobekan. Ligamen
hanya tertarik.
2. Sprain Grade 2

Pada cedera ini tenderness dan pembengkakan sedikit parah. Banyak srabut pada ligamennya yang
putus tetapi lebih separuh serabut ligamen masih utuh. Terjadi penurunan ROM.
3. Sprain Grade 3

Pada cedera ini tenderness dan pembengkakan sangat parah dan terlihat signifikan. Ligamen
ruptur atau robek secara keseluruhan.

Sumber : IMFI wilayah 5 (2017). Sprain ankle (online) tersedia :


http://wilayah5.imfi.or.id/2017/12/08/sprain-angkle/ [4 Desember 2019]

Berdasarkan lokasinya, Sprain ankle dapat dibagi menjadi 3:


1. Lateral Ankle Sprain.

Lateral ankle sprain merupakan lokasi paling sering terjadinya sprain yaitu diperkirakan 85% dari
angka kejadian. Mekanisme terjadinya lateral ankle sprain disebabkan oleh gerakan supinasi
berlebih pada subtalar yang menyebabkan gerakan inversi dan internal rotasi yang berlebihan pada
kaki yang sedang plantar fleksi.

Ligamen yang paling rentan mengalami cedera adalah ligamen talofibular anterior, yang diikuti
oleh ligamen kalkaneofibular dan kemudian ligamen talofibular posterior. Rupturnya ligamen
tersebut bergantung pada kekuatan dari tekanan yang ditimbulkan.

2. Medial Ankle Sprain


Medial ankle sprain merupakan lokasi paling jarang terjadi sprain. Ankle sprain bagian medial
disebabkan oleh gerakan eversi yang berlebih pada pergelangan kaki, namun umumnya hal ini
disebabkan oleh fraktur avulsi dari maleolus medial.

3. Syndesmotic Sprain

Tiga gerakan penyebab dari syndesmotic sprain adalah rotasi eksternal,eversi dari talus
dalam bony mortise, dan gerakan dorsifleksi yang berlebihan. Pasien dengan cedera pada ligamen
sindesmotik akan memiliki kecenderungan terjadinya ankle sprain rekuren dan pembentukan dari
osifikasi heteropik.
Sumber : Febrina, Amelia (2019). Patofisiologi Ankle Sprain (online). Tersedia :
https://www.alomedika.com/penyakit/kedokteran-olahraga/ankle-sprain/patofisiologi[4
Desember 2019]

- Patofisiologi
Ligamentum berfungsi sebagai penahan dan penjaga tulang-tulang dan sendi pada ankle.
Ligamentum merupakan struktur yang elastis dan sebagai stabilisasi pasif. Sprain ankle dapat
terjadi ketika sedang berolahraga, aktivitas fisik, melangkah di permukaan yang tidak rata,
perputaran kaki ke dalam atau ke luar yang berlebihan yang menyebabkan kerobekan ligament
lateral kompleks ankle.

Dikatakan sprain ankle jika dijumpai kerobekan mikroskopis pada ligament atau tendon yang
disebabkan terjadinya radang atau inflamasi. Setelah terjadinya cidera tubuh akan menghasilkan
zat-zat kimiawi seperti Prostaglandin, Histamin, dan Bradikinin sehingga akan menurunkan
ambang rangsang saraf A delta dan C yang mengakibatkan terjadinya pembengkakan atau
inflamasi primer. Nyeri yang ditimbulkan ketika inflamasi primer akan dibawa ke ganglia dorsalis
yang memicu produksi “P” substace yang akan ditranportasi melalui serabut saraf dan akan disusul
terjadinya inflamasi. “P” substance yang akan ditransportasi ke central akan menurunkan ambang
rangsang traktus spinothalamicus atas dan bawahnya, dan ini merupakan proses divergensi
sehingga nyeri akan terasa pada daerah trauma dan disekitarnya. Pada tendon peroneus longus dan
brevis apabila terjadi strain akan mngakibatkan nyeri pada saat berkontraksi. Adanya nyeri
menyebabkan immobilisasi sehingga terjadi penurunan kekuatan otot.
Otot merupakan stabilisasi aktif pada sendi, adanya penurunan kekuatan otot menyebabkan
stabilisasi pada sendi menurun. Stabilisasi sendi yang menurun membuat keseimbangan pada sendi
saat melakukan gerakan menurun. Pada ligament akan mengalami laxity yang mengakibatkan
instability. Ligament yg tidak stabil mengakibatkan imbalance pada ankle. Sehingga
mengakibatkan gangguan pada refleks active stabilizing. Hal ini membuat sendi rawan terhadap
cidera. Adanya cidera berulang pada sendi menimbulkan nyeri berulang yang sering disebut nyeri
kronik.
Pada kasus sprain ankle kronik selalu ditemukan ketidakstabilan dari sendi ankle dan
terganggunya feedback proprioceptive. Dengan terjadinya kerusakan pada ligament sehingga
merusak mekanoreseptor. Cidera yang berulang-ulang dalam waktu yang lama akan
mengakibatkan penurunan dari kesadaran proprioseptive, ketidakstabilan postural, mengarah pada
rasa yang tidak terkoordinasi dan hilangnya kontrol gerakan. Agar ankle mempunyai control yang
baik, saraf dan otot harus berfungsi secara sinergis. Jika terjadi kekurangan disalah satunya maka
akan timbul ketidakstabilan. Berubahnya rasa keseimbangan akan mengakibatkan meningkatnya
ketidakstabilan ankle karena meningkatnya gerakan tubuh yang menjauh dari centre of gravity.
Ligamentum yang paling sering terjadi injury adalah ligamentum talofibular anterior. Pada
trauma yang lebih berat atau kalau ligament tersebut fungsinya sudah tidak memadai lagi karena
suatu trauma yang pernah dialaminya, maka juga ligamentum calcaneofibular dapat teregang
secara berlebihan atau robek. Sedangkan, ligamentum talofibular posterior sangat jarang terjadi
kerusakan dibanding kedua ligament diatas. Beberapa orang yang mengalami sprain ankle sering
melaporkan adanya bunyi “Ceklek” atau letupan saat terjadi injury. Setelah injury terjadi, pasien
mengalami kesulitan berjalan karena pada posisi lateral ankle mulai nyeri dan bengkak.

Sumber : Warahmah, M. (2019) Sprain Ankle (online). Tersedia :


https://www.academia.edu/8297833/Sprain_Ankle [4 Desember 2019]

Anda mungkin juga menyukai