MM Sprain
1.1 Definisi
Sprain adalah cidera struktur ligamen di sekitar sendi, akibat gerakan menjepit atau
memutar sedangkan strain adalah tarikan otot akibat penggunaan yang berlebihan,
peregangan berlebihan atau stres yang berlebihan, serta terdapat robekan mikroskopik tidak
komplit dengan perdarahan ke dalam jaringan (Suratun, dkk, 2008).
Cedera yang mengenai pada ligamentum disebut Sprain.
Cedera yang mengenai pada daerah ligamentum ini sering disebut SPRAIN, sedangkan
cedera yang mengenai pada unit musculo tendinous disebut STRAIN.
1.2 Klasifikasi
Cedera pada serabut otot ligamentum (SPRAIN) menurut Sadoso (t.t.:8) dan Brukner & Khan
(1993: 12) terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu:
1. Sprain tingkat I. Pada cedera ini terdapat sedikit hematoma dalam ligamentum dan hanya
beberapa serabut yang putus.
2. Sprain tingkat II. Pada cedera ini lebih banyak serabut otot dari ligamentum yang putus, tetapi
lebih separoh serabut ligamentum masih utuh.
3. Sprain tingkat III. Pada cedera ini seluruh ligamentum putus sehingga kedua ujungnya terpisah.
Sprain ringan biasanya disertai hematom dengan sebagian serabut ligament putus,
sedangkan pada sprain sedang terjadi efusi cairan yang menyebabkan bengkak. Pada sprain
berat, seluruh serabut ligamen putus sehingga tidak dapat digerakkan seperti biasa dengan
rasa nyeri hebat, pembengkakan, dan adanya darah dalam sendi.
1.3 Etiologi
1. Umur
Faktor umur sangat menentukan karena mempengaruhi kekuatan serta kekenyalan jaringan.
Misalnya pada umur tiga puluh sampai empat puluh tahun kekuatan otot akan relative
menurun. Elastisitas tendon dan ligamen menurun pada usia tiga puluh tahun.
2. Terjatuh atau kecelakan
Sprain dapat terjadi apabila terjadi kecelakan atau terjatuh sehingga lutut mengalami sprain.
3. Pukulan
Sprain knee dapat terjadi apabila mendapat pukulan pada bagian lututnya dan
menyebabkan sprain.
4. Tidak melakukan pemanasan
Pada atlet olahraga sering terjadi sprain karena kurangnya pemanasan.
Cedera ini dapat terjadi karena terkilir secara mendadak ke arah lateral atau medial yang
berakibat robeknya serabut ligamentum pada sendi (Arnheim, 1985: 473, Peterson, 1990:
341, Brukner, P. dan Khan, K., 1993: 439).
Sprain terjadi karena adanya tekanan yang berlebihan dan mendadak pada sendi, atau
karena penggunaan berlebihan yang berulang-ulang.
Penyebab terjadinya cedera olahraga dapat berasal dari luar seperti misalnya kontak keras
dengan lawan pada olahraga body contact, karena benturan dengan alat-alat olahraga
seperti misalnya stick hockey, bola , raket, dan lain-lain. Dapat pula disebabkan oleh keadaan
lapangan yang tidak rata yang meningkatkan potensi olahragawan untuk jatuh, terkilir, atau
bahkan patah tulang. Penyebab dari dalam biasanya terjadi karena koordinasi otot dan sendi
yang kurang sempurna, ukuran tungkai yang tidak sama panjang, ketidak seimbangan otot
antagonis.
1.4 Patofisiologi
Mekanisme Terkilir
Terkilir pada pergelangan kaki biasanya disebabkan oleh gerakan ke sisi luar/samping
(lateral) atau ke sisi dalam/tengah (medial) dari pergelangan kaki yang terjadi secara
mendadak. Terkilir secara inversi yaitu kaki berbelok dan atau membengkok ke dalam
dan terbalik. Tipe ini merupakan cedera yang paling umum terjadi pada pergelangan kaki.
Hal ini disebabkan oleh banyaknya tulang penstabil pada sisi sebelah samping yang
mengakibatkan tekanan pada kaki menjadi terbalik. Jika kekuatan tersebut cukup besar,
pembengkokan dari pergelangan kaki terjadi sampai medial malleolus kehilangan
stabilitasnya dan menciptakan titik tumpu untuk lebih membalikkan pergelangan kaki.
Ketika serabut otot ligamentum untuk eversi tidak cukup kuat untuk menahan atau
melawan kekuatan inversi, maka serabut ligamentum sisi sebelah samping menjadi
tertekan atau robek, terjadilah terkilir. Sprain dapat disebabkan oleh jatuh, terpelintir, atau
tekanan pada tubuh yang menyebabkan tulang pada sendi bergeser sehingga
menyebabkan ligamen teregang atau bahkan robek.
Patofisiologi dari ankle sprain merupakan akibat dari ketidakseimbangan gerakan inversi dan plantar
fleksi dari pergelangan kaki. Sendi pergelangan kaki terdiri dari 3 artikulasi sendi:
-Sendi tarokrural
-Sendi subtalar
-Distal tibiofibular syndesmosis.
-Sendi tersebut ditopang oleh beberapa ligamen:
Pada bagian lateral: ligamen anterior talofibular, posterior talofibular dan kalkaneofibular
Pada bagian medial: ligamen deltoid, anterior tibiofibular dan bony mortise.
Ketiga sendi tersebut nantinya akan berkolaborasi membentuk pergerakan pada sendi
pergelangan kaki.
Ligamen yang paling rentan mengalami cedera adalah ligamen talofibular anterior, yang
diikuti oleh ligamen kalkaneofibular dan kemudian ligamen talofibular posterior. Rupturnya
ligamen tersebut bergantung pada kekuatan dari tekanan yang ditimbulkan.
3. Syndesmotic Sprain
Tiga gerakan penyebab dari syndesmotic sprain adalah rotasi eksternal,eversi dari talus
dalam bony mortise, dan gerakan dorsifleksi yang berlebihan.Pasien dengan cedera pada
ligamen sindesmotik akan memiliki kecenderungan terjadinya ankle sprain rekuren dan
pembentukan dari osifikasi heteropik.
Instabilitas Mekanik
Merupakan instabilitas yang terjadi akibat perubahan anatomi dari ankle sprain pertama
kali. Yang termasuk di dalamnya adalah :
-Perkembangan dari penyakit sendi degeneratif
-Kelemahan ligamen patologi
-Perubahan synovial
-Lemahnya dari artrokinematik
-Instabilitas Fungsional
Merupakan instabilitas yang terjadi akibat perubahan dari neuromuskular. Yang termasuk di
dalamnya adalah :
Cedera olahraga seringkali direspon oleh tubuh dengan tanda radang yang terdiri atas rubor
(merah), tumor (bengkak), kalor (panas), dolor (nyeri), dan functiolaesa (penurunan fungsi).
Pembuluh darah di lokasi cedera akan melebar (vasodilatasi) dengan maksud untuk mengirim lebih
banyak nutrisi dan oksigen dalam rangka mendukung penyembuhan. Pelebaran pembuluh darah ini
lah yang mengakibatkan lokasi cedera terlihat lebih merah (rubor). Cairan darah yang banyak dikirim
di lokasi cedera akan merembes keluar dari kapiler menuju ruang antar sel, dan menyebabkan
bengkak (tumor). Dengan dukungan banyak nutrisi dan oksigen, metabolisme di lokasi cedera akan
meningkat dengan sisa metabolisme berupa panas. Kondisi inilah yang menyebabkan lokasi cedera
akan lebih panas (kalor) dibanding dengan lokasi lain. Tumpukan sisa metabolisme dan zat kimia lain
akan merangsang ujung saraf di lokasi cedera dan menimbulkan nyeri (dolor). Rasa nyeri juga dipicu
oleh tertekannya ujung saraf karena pembengkakan yang terjadi di lokasi cedera. Baik rubor, tumor,
kalor, maupun dolor akan menurunkan fungsi organ atau sendi di lokasi cedera yang dikenal dengan
istilah functiolaesa.
Cedera olahraga dapat diklasifikasikan sebagai cedera ringan apabila robekan yang terjadi hanya
dapat dilihat dibawah mikroskop, dengan keluhan minimal, dan tidak mengganggu penampilan
secara berarti. Contoh yang dapat dilihat adalah memar, lecet, dan sprain ringan. Cedera sedang
ditandai dengan kerusakan jaringan yang nyata, nyeri, bengkak, kemerahan, panas, dan ada
gangguan fungsi. Tanda radang seperti tumor, rubor, kalor, dolor, dan functiolaesa terlihat nyata
secara keseluruhan atau sebagian. Contoh dari cedera ini adalah robeknya otot, tendo, serta
ligament secara parsial. Pada cedera berat terjadi robekan total atau hampir total, dan bias juga
terjadi patah tulang. Cedera ini membutuhkan istirahat total, pengobatan intensif, atau bahkan
operasi.
http://staffnew.uny.ac.id/upload/131405898/pengabdian/PATOFISIOLOGI+CEDERA.pdf
Setelah cedera, penderita mengeluh sakit tersiksa yang berlebihan pada aspek Anterolateral pada
sendi pergelangan kaki. Perabaan di atas sakit keras tersebut hanya di bawah malleolus lateral.
Dengan cepat penyebaran terjadi ditempat bengkak yang berlebihan pada daerah pergelangan kaki
sisi lateral dan anterior, persamaan tes ditunjukkan adanya ketidakseimbangan. Sinar X diindikasikan
tidak patah tulang. Sprain ini akan diklasifikasikan menjadi tingkat II.
Anamnesis
Untuk mengevaluasi ankle sprain, tiga hal penting yang perlu ketahui adalah:
1. Situasi dan mekanisme dari cedera, seperti kapan, dimana dan bagaimana terjadinya
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien ankle sprain adalah look, feel, move secara umum dan
special test. Menurut studi yang dilakukan oleh Vuurberg et al. pemeriksaan fisik spesial yang
dilakukan 4–5 hari setelah kejadian memiliki sensitivitas (96%) dan spesifisitas (84%) yang lebih baik
dalam mendiagnosis ankle sprain. [2,8]
Look
Perhatikan adanya deformitas, bengkak dan memar untuk menentukan tingkat keparahan dari ankle
sprain serta kecenderungan terjadi fraktur. Pasien dengan ankle sprain juga umumnya memiliki
gangguan gait berupa antalgic gait.
Feel
Lakukan palpasi pada seluruh fibula, distal tibia, kaki dan tendon Achilles untuk menyingkirkan
adanya fraktur terutama fraktur Maisonneuve yang sering dikaitkan dengan cedera sindesmotik.
Perhatikan adanya nyeri pada area yang diperlukan untuk menentukan Ottawa Ankle Rules.
Move
Perhatikan adanya nyeri pada gerakan pasif inversi dan eversi. Pada ankle sprain lateral, nyeri akan
meningkat pada gerakan inversi, sedangkan pada medial sprain nyeri akan lebih meningkat pada
gerakan eversi
Special Test
Pemeriksaan istimewa dari ankle sprain terdiri dari 4 pemeriksaan utama yaitu:
• Squeeze Test.
Pemeriksaan kompresi fibular digunakan apabila terdapat kecurigaan terjadinya cedera sindesmotik
atau fibular. Memiliki sensitivitas 30% dan spesifisitas 93.5% dalam mendiagnosa high ankle sprain.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara menempatkan ibu jari pada tibia dan jari lain pada fibula di titik
tengah tungkai bawah kemudian remas remas secara bersamaan. Hasil positif dikatakan apabila
ditemui nyeri pada bagian bawah fibula.
• External Rotation Test.
Pemeriksaan rotasi eksternal dilakukan untuk menentukan integritas dari ligamen sindesmotik.
Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 20% dan spesifisitas 84.5% dalam mendiagnosis cedera
sindesmotik.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara pasien diminta untuk duduk dengan lutut difleksikan 90o dan
rotasikan kaki pasien ke arah lateral. Pemeriksaan dikatakan positif apabila terdapat nyeri pada
sindemosis
• Anterior Drawer.
Pemeriksaan anterior drawer dilakukan untuk memeriksa stabilitas dari ankle khususnya pada
Anterior Talofibular Ligament. Efektivitas pemeriksaan ini masih dipertanyakan pada kasus akut
namun apabila dilakukan setelah 4–5 hari setelah cedera sensitivitas dan spesifisitasnya meningkat
menjadi 96% dan 84%. Pemeriksaan dilakukan dengan cara pasien diminta untuk berbaring dengan
lutut di fleksikan dan kaki plantar fleksi 10o, kemudian tahan tibia dengan salah satu tangan dan
tangan lain menarik tumit ke arah depan. Pada kaki yang mengalami cedera akan terlihat pergerakan
yang lebih banyak dibandingkan kaki yang tidak.
• Talar Tilt.
Talar tilt test digunakan untuk melihat adanya gerakan inversi yang berlebih pada ankle dan
menentukan adanya robekan dari ligamen ada pada ligamen calcaneofibular. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan cara kaki pasien menggantung dengan lutut fleksi, kemudian dimiringkan talus ke
kanan dan kiri. Derajat kemiringan normal dari ankle adalah 0-23o. Pada kaki yang mengalami
robekan di ligamen calcaneofibular akan mengalami kemiringan melebihi 23o. [2,6]
Diagnosis Banding
Tanda dan gejala dari ruptur tendon achilles dapat menyerupai ankle sprain seperti memar, bengkak
dan nyeri pada ankle. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membedakan adalah Thompson Test
dan lihat adanya gap di antara tendon achilles.
Ankle impingement syndrome merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh friksi dari jaringan
sendi yang umumnya didahului oleh cedera pada ankle. Perlu diperhatikan adanya sindrom ini
apabila nyeri masih menetap setelah dilakukan rehabilitasi. Gambaran MRI dapat dilakukan untuk
melihat adanya perubahan dari jaringan sendi yang dapat menyebabkan sindrom tersebut. [6]
Fraktur.
Hal utama yang dapat membedakan pasien ankle sprain dan fraktur adalah kemampuan untuk
berjalan. Pasien dengan ankle sprain masih dapat berjalan meskipun disertai dengan nyeri, berbeda
dengan pasien fraktur yang umumnya sudah tidak dapat berjalan yang disertai dengan nyeri pada
tulang, krepitus dan deformitas pada tulang.
Pemeriksaan X-ray ankle dapat dilakukan untuk memastikan secara pasti terjadinya fraktur pada
ankle. Ottawa Ankle Rules dapat digunakan untuk menentukan pasien yang memerlukan
pemeriksaan radiografi. Jika kedua kriteria pada Ottawa Ankle Rules dipenuhi, maka X-ray ankle
perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi ada tidaknya fraktur. Sebaliknya, jika kedua kriteria ini tidak
dipenuhi, maka fraktur dapat dieksklusi.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien ankle sprain adalah pemeriksaan
radiografi. Pemeriksaan X-ray dilakukan apabila terdapat kecurigaan terhadap fraktur kaki atau
ankle. Computed Tomography (CT) dan MRI dilakukan apabila dicurigai cedera pada soft tissue dan
lesi osteokondral.
• X-Ray.
Foto X Ray dilakukan apabila dicurigai terjadinya fraktur. Ottawa Ankle Rules digunakan pada
pemeriksaan fisik untuk menentukan apakah pasien memiliki kecenderungan terjadinya fraktur, dan
mengurangi penggunaan radiografi yang tidak perlu. [2,6,8]
Pemeriksaan CT Scan dilakukan pada pasien pasien ankle sprain dengan gejala menetap lebih dari 6
minggu untuk menyingkirkan adanya lesi pada talar dome.
Sensitivitas MRI dalam mendiagnosis ruptur ligamen lateral dari ankle adalah 75-100%, namun
karena ketersediaan MRI yang terbatas serta tingginya biaya pemeriksaan, maka MRI hanya
dilakukan apabila terdapat kecurigaan pada lesi osteokondral, instabilitas kronis, cedera pada
sindesmosis tibiofibular, serta cedera ligamen tingkat 3.[8,11].
• Arthrografi.
Arthrografi merupakan tindakan invasif, namun sensitivitas dan spesifisitasnya sama saja dengan
pemeriksaan fisik yang dilakukan 4–5 hari setelah kejadian maka artrografi tidak direkomendasikan
pada situasi akut. [8] Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan jumlah dari ligamen dan kapsul
yang cedera, dan hanya dilakukan apabila ada indikasi dilakukan operasi.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksan fisik mencakup kelemahan, ketidakmampuan penggunaan sendi, udema pada sprain,
perubahan warna kulit, perdarahan, dan mati rasa.
Pemeriksaan Diagnostic
1. Foto Rontgen
Untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur. Selain itu, dapat pula dilihat kondisi
fraktur, seperti adanya tulang yang tumpang-tindih, retak, dan sebagainya.
2. X-Ray
Prosedur ini penting untuk mengevaluasi pasien dengan kelainan musculoskeletal. Berikut
beberapa jenis X – Ray :
- X-Ray tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, erosi, dan perubahan
hubungan tulang.
- X-Ray multiple diperlukan untuk pengkajian paripurna struktur yang sedang diperiksa
- X-Ray korteks tulang menunjukkan adanya pelebaran, penyempitan, dan tanda
iregularitas.
- X-Ray sendi dapat menunjukkan adanya cairan, iregularitas, spur, penyempitan, dan
perubahan struktur sendi.
3. CT-Scan
Menunjukkan rincian bidang tertentu tulang yang terkena dan dapat memperlihatkan
tumor jaringan lunak atau cedera ligament atau tendon. Digunakan untuk mengidentifikasi
lokasi dan panjangnya patah tulang di daerah yang sulit dievaluasi dengan cara
menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur
tulang yang rusak.
4. Artrografi
Penyuntikan bahan radiopaque atau udara ke dalam rongga sendi untuk melihat struktur
jaringan lunak dan kontur sendi. Sendi diletakkan dalam kisaran pergerakannya sementara
itu diambil gambar sinar-X serial. Artrogram sangat berguna untuk mengidentifikasi adanya
robekan akut atau kronik kapsul sendi atau ligament penyangga lutut, bahu, tumit, panggul,
dan pergelangan tangan.
1.7 Tatalaksana
Penatalaksanaan ankle sprain dibedakan menjadi tata laksana awal dan rehabilitasi
fungsional. Tata laksana bertujuan untuk mengontrol nyeri, memar, dan mengembalikan
range of motion sedangkan rehabilitasi fungsional bertujuan untuk mempercepat pasien
kembali beraktivitas dan mencegah terjadinya instabilitas kronis. Pembedahan tidak
dilakukan pada semua kasus ankle sprain.
Analgesik
Studi menemukan bahwa paracetamol memiliki efektivitas yang setara dengan obat
antiinflamasi nonsteroid (nonsteroidal anti inflammatory drugs / NSAID) maupun kombinasi
NSAID-paracetamol untuk nyeri akut akibat trauma muskuloskeletal, termasuk ankle sprain.
Mengingat lebih banyaknya efek samping NSAID secara umum dibandingkan paracetamol,
sebaiknya gunakan paracetamol untuk kasus ankle sprain.
Imobilisasi
Imobilisasi pada pasien ankle sprain masih menjadi kontroversi. Pada ankle sprain grade I
dan II, pasien tidak perlu dilakukan imobilisasi, hanya dengan functional support pasien
tampak membaik. Namun pada pasien grade III, hal ini memicu kontroversi karena mobilisasi
pada fase awal akan terasa nyeri sehingga kepatuhan pasien akan berkurang. Menurut studi
terbaru, functional support dan terapi latihan fisik memiliki hasil yang lebih optimal
dibandingkan imobilisasi, namun apabila imobilisasi tetap harus dilakukan maka sebaiknya
dilakukan kurang dari 10 hari. [2,8]
Rehabilitasi Fungsional
Rehabilitasi fungsional penting dilakukan untuk mempercepat kembalinya pasien ke aktivitas
sehari–hari serta mencegah terjadinya instabilitas kronis. Tata laksana ini dimulai dari awal
pasien cedera sampai fungsi dari ankle kembali normal. Sebelum memulai rehabilitas
fungsional, sebaiknya pasien memiliki stabilitas sendi ankle yang baik, dan dapat dimulai
pada awal cedera pada ankle sprain grade I dan II.
Functional Support
Penggunaan functional support 4 – 6 minggu terbukti memiliki hasil yang lebih optimal
dibandingkan imobilisasi. Functional support yang digunakan adalah ankle brace karena
memiliki efektvitas yang paling baik di antara functional support lainnya.
Latihan Fisik
Program latihan fisik umumnya berisi latihan range-of-motion, neuromuskular dan
proprioseptif. Terapi fisik ini sebaiknya dimulai pada fase akut.
Kriteria Rujukan
Indikasi untuk merujuk pasien ankle sprain ke spesialis ortopedi adalah:
Ankle sprain grade 3
Fraktur atau dislokasi
Gangguan neurovaskular
Pembedahan
Terapi pembedahan umumnya diperlukan pada ankle sprain grade 3. Indikasi untuk terapi
pembedahan pada ankle sprain adalah :
Ligamen distal tibiofibular dengan pelebaran ankle mortise