Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma atau altivitas fisik di mana terdapat
tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki
daripada perempuan dengan umur di bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan
olahraga, pekerjaan atau luka yang disebablan oleh kecelakaan kendaraan bermotor.
Jumlah korban kecelakaan lalu lintas di Indonesia cenderung turun, yaitu
47.401 orang pada tahun1989, menjadi 32.815 orang pada tahun 1995. Rasio jumlah
korban cedera sebesar 16,80 per 10.000 penduduk dan rasio korban menoinggal
sebesar 5,63 per 10.000 penduduk. Ngka kematian tertinggi berada di wilayah
Kalimantan Timur, yaitu 11,07 per 100.000 penduduk dan terendah di Jawa Tengah,
yaitu sebesar 2,67 per 100.000 penduduk (Depkes, 1996).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi fraktur ekstremitas atas ?
2. Bagaimanakah etiologi fraktur ekstremitas atas ?
3. Bagaimanakah patofisiologi fraktur ekstremitas atas ?
4. Bagaimanakah manifestasi klinis fraktur ekstremitas atas ?
5. Bagaimanakah penatalaksanaan fraktur ekstremitas atas ?
6. Bagaimanakah pemeriksaan penunjang fraktur ekstremitas atas ?
7. Bagaimanakah komplikasi fraktur ekstremitas atas ?
8. Bagaimanakah asuhan keperawatan fraktur ekstremitas atas ?

1
C. TUJUAN
1. Mampu menjelaskan.definisi fraktur ekstremitas atas
2. Mampu menjelaskan etiologi fraktur ekstremitas atas
3. Mampu menjelaskan.patofisiologi fraktur ekstremitas atas
4. Mampu menjelaskan manifestasi klinis fraktur ekstremitas atas
5. Mampu menjelaskan penatalaksanaan fraktur ekstremitas atas
6. Mampu menjelaskan pemeriksaan fraktur ekstremitas atas
7. Mampu menjelaskan komplikasi fraktur ekstremitas atas
8. Mampu menjelaskan askep fraktur ekstremitas atas

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Banyak sekali batasan yang dikemukakan oleh para ahli tentang fraktur.
Fraktur menurut Smeltzer (2002) adalah terputusnya kontinuitas tulang dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Demikian pula menurut Sjamsuhidayat (2005),
fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Sementara Doenges (2000)
memberikan batasan, fraktur adalah pemisahan atau patahanya tulang. Fraktur adalah
patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price, 1995).
Sedangkan fraktur menurut Reeves (2001), adalah setiap retak atau patah pada tulang
yang utuh.
Berdasarkan batasan di atas dapat disimpulkan bahwa, fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang tulang yang utuh, yang
biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luasnya
trauma.

B. ETIOLOGI
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter
mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Smeltzer, 2002). Umumnya fraktur
disebbkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur
cenderung terjadi pada laki-laki, biasanya fraktur terjadi pada umur di bawah 45 tahun
dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh
kecelakaan kendaran bermotor. Sedangkan pada orang tua, perempuan lebih sering
mengalami fraktur daripada laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya insiden
osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormone pada menopause (Reeves,
2001).

3
C. PATOFISIOLOGI

Kecelakaan / Jatuh

Trauma

Fraktur ekstremitas
atas

Deformitas Nyeri Akut

Sumsum Tulang Keluar

Masuk ke pembuluh
darah

Emboli Lemak

Aliran darah Hematoma


terhambat

Kerusakan Ketidakefektifan
Neuromuskular Perfusi Jaringan Perifer

Hambatan
Mobilitas Fisik

4
D. MANIFESTASI KLINIS
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Deformitas, Pergeseran fragmen pada fraktur menyebakan deformitas (terlihat
maupun terasa), deformitas dapat diketahui dengan membandingkan ekstremitas
yang normal.
3. Krepitus, Saat ekstremitas diperiksa, terasa adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang terasa akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
4. Pembengkakan dan perubahan warna, Pembengkakan dan perubahan warna lokal
pada kulit terjadi pembengkakan dan perubahan warna lokal yang mengikuti
fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cidera
5. Berkurangnya gerakan tangan yang sakit
6. Kurangnya sensasi yang dapat terjadi karena adanya gangguan saraf, di mana
syaraf ini terjepit atau terputus oleh fragmen tulang.
7. Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena ketidak stabilan tulang.
8. Pergerakan abnormal

E. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan medis untuk fraktur ekstremitas atas untuk masing-masing fraktur
antara lain :
1. Rekognisi
Pengenalan riwayat kecelakaan, patah atau tidak, menentukan perkiraan
yang patah, kebutuhan pemeriksaan yang spesifik, kelainan bentuk tulang dan
ketidakstabilan, tindakan apa yang harus cepat dilakukan misalnya pemasangan
bidai.
2. Reduksi
Usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen tulang yang patah sedapat
mungkin kembali seperti letak asalnya.
Cara penanganan secara reduksi :
a. Pemasangan gips : Untuk mempertahankan posisi fragmen tulang yang
fraktur.
b. Reduksi tertutup (closed reduction external fixation) : Menggunakan gips
sebagai fiksasi eksternal untuk memper-tahankan posisi tulang dengan alat-

5
alat : skrup, plate, pen, kawat, paku yang dipasang di sisi maupun di dalam
tulang. Alat ini diangkut kembali setelah 1-12 bulan dengan pembedahan.
3. Debridemen
Untuk mempertahankan/memperbaiki keadaan jaringan lunak sekitar
fraktur pada keadaan luka sangat parah dan tidak beraturan.
4. Rehabilitasi
Memulihkan kembali fragmen-fragmen tulang yang patah untuk
mengembalikan fungsi normal.
5. Perlu dilakukan mobilisasi, Kemandirian bertahap.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan radiologis dilakukan untuk menentukan ada/tidaknya
dislokasi.Lihat kesegarisan antara klafikula, scapula, humerus, radius, ulna, carpal,
metacarpal, falank. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan menurut James
(2003) pada pasien fraktur diantaranya:
1. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (X-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi
keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP
atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan
(khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya
superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan X-ray harus atas dasar indikasi
kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.
Hal yang harus dibaca pada X-ray:
a. Bayangan jaringan lunak;
b. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi;
c. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction;
d. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
2. Foto rongten digunakan untuk mengetahui lokasi dan garis fraktur.
3. Tomografi
Pemeriksaan ini menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang
lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur

6
yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
4. Myelografi
Pemeriksaan ini menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh
darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
5. Arthrografi
Pemeriksaan ini menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena
ruda paksa.
6. Computed Tomography-Scan (CT-Scan)
Pemeriksaan ini menggambarkan potongan secara transversal dari tulang
dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
7. Pemeriksaan Laboratorium
a. Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
b. Alkalin fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
c. Enzim otot seperti kreatinin kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat
Amino Transferase (AST), aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.

G. KOMPLIKASI
1. Komplikasi awal setelah fraktur adalah syok.
Bisa berakibat fatal dalam beberapa jam setelah cedera.
2. Sindroma kompartemen
Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang
dibutuhkan untuk kehidupan jaringan.
3. Tromboemboli
4. Infeksi.

7
ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien
sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan
proses keperawatan sangat bergantung pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas :
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, no.register, tanggal MRS, diagnose medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan :
(1) Provoking Incident : apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain : seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menususk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain : seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari. (Ignatavicius, Donna D,
1995)
c) Riwayat Penyakit Sekarang

8
Pengumpulan data yang dilakukann untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian
tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
member petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s
yang menyebabkan fraktur patalogis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sangat
beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga
diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Ignatavicius,
Donna D, 1995).
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetic
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat menggangu metabolism kalsium,

9
pengkonsumsian alcohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak. (Ignatavicius,
Donna D, 1995).
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap
pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
musculoskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang
tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
musculoskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga
menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya,
warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi Anna, 1991)
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga
hal ini dapat menggangu pola dan gerak, sehingga hal ini dapat
menggangu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obatt tidur.
(Doengos. Marilynn E, 1999)
(5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu
banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah
bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada
beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
disbanding pekerjaan yang lain. (Ignativicius, Donna D, 1995)

10
(6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan
akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image).
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
(8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbbul
gangguan, begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
(Ignitavicius, Donna D, 1995).
(9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktura yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak,
lama perkawinannya (Ignitavicius, Donna D, 1995)
(10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif
(Ignitavicius, Donna D, 1995).
(11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien (Ignitavicius,
Donna D, 1995).

11
2) Pemeriksaan Fisik

Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk


mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini
perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan
dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi
lebih mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan :
(1) Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti :
a. Kesadaran penderita : apatis, spoor, koma, gelisah,
komposmentid tergantung pada keadaan klien.
b. Kesakitan, keadaan penyakit ; akut, kronik, ringan, sedang
berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.
(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
a. System Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
b. Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalic, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c. Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
d. Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e. Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena
tidak terjadi perdarahan)
f. Telinga

12
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.
g. Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h. Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
i. Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j. Paru
1.) Inspeksi
Pernafasan meningkat, regular atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit klien yang berhubungan paru.
2.) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
3.) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
4.) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
k. Jantung
1.) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung
2.) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba
3.) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
l. Abdomen
1.) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidakada hernia.
2.) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
3.) Perkusi

13
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
4.) Auskultasi
Peristaltic usus normal ± 20 kali / menit.
m. Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak adapembesaran lymphe, tak ada kesulitan
BAB.
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada system
musculoskeletal adalah :
(1) Look (inspksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain :
a. Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi).
b. Cape au lait spot (birth bark).
c. Fistulae.
d. Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
e. Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal).
f. Posisi dan bentuk dari ektrimitas (deformitas).
g. Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa).
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya
ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah,
baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah :
a. Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban
kulit.
b. Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
c. Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1 / 3
proksimal, tengahh atau distal).

14
Otot :tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka
sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya,
nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri
pada pergerakan. Pencatatn lingkup gerak inii perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi
dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari
titik 0 (posisi netral) atauu dalam ukuran metric. Pemeriksaan ini
menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak .
pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
3) Pemeriksaan Diagnostik
a.) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x – ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu
disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasr indikasi kegunaan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.
Hal yang harus dibaca pada x-ray :
a. Bayangan jaringan lunak.
b. Tipis tablnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
c. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
d. Sela sendi serta bentuknyaarsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray mungkin perlu tehnik khususnya
seperti :

15
a. Tomografi : menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur
yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan
kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur
saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
b. Myelografi : menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
c. Arthrografi : menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak
karena ruda paksa.
d. Computed Tomografi – Scanning : menggambarkan potongan
secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur
tulang yang rusak.
b.) Pemeriksaan Laboratorium
a. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
b. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c. Enzim Otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-
5), Aspartat Amino Tranferase (AST), Aldolase yang meningkat
pada tahap penyembuhan tulang.
c.) Pemeriksaan Lain-lain
a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas :
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
b. Biopsy tulang dan otot : pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.
c. Elektromyografi : terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
d. Arthroscopy : didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan.
e. Indium Imaging : pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
pada tulang.
f. MRI : menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignitavicius, Donna D, 1995)

16
b. Klasifikasi Data
Data Subyektif Data Obyektif
- Teman klien mengatakan saat - Riwayat pingsan (-)
pasien merayakan kelulusan - Nausea dan Vomiting (-)
SMA bersama, tiba – tiba - GCS 15
bersenggolan dengan sesama - TD : 110/80
pengendara sepeda motor - N : 110x/mnt
- Teman klien mengatakan - RR : 26x/mnt
pasien terjatuh dengan lengan - Akral Hangat
kanannya susah di gerakkan - Deformitas brachii dextra (+)
- Shortening ekstremitas
superior dextra (+)
- Tampak Hemantoma di 1/3
tengah humerus dextra
- Capillary refil 1 dtk
- Tenderness (++)
- Pulsasi arteri dextra teraba
kuat

c. Analisa Data
Data Etiologi Masalah
Ds : Trauma Nyeri akut
- Teman klien
mengatakan klien Fraktur
bersenggolan
dengan sesama Deformitas brachii
pengendara sepeda
motor Nyeri
- Teman klien
mengatakan, klien
Terjatuh lengan
kanannya susah
digerakkan

17
Do :
- TD : 110/80 mmHg
- N : 110x/mnt
- RR : 26x/mnt
- Akral Hangat
- Deformitas brachii
dextra (+)
- Tenderness (++)

Do : Trauma Ketidakefektifan
- Tampak Perfusi Jaringan
Hematoma di 1/3 Fraktur Perifer
tengah humerus
dextra Deformitas brachii

Sumsum tulang keluar

Masuk ke pembuluh
darah

Emboli lemak

Hematoma

Ketidakefektifan perfusi
jaringan perifer

Do : Trauma Hambatan Mobilitas


- Shortening Fisik
ektremitas superior Fraktur

18
Hematoma

Aliran Darah
berkurang/terhambat

Kerusakan
neuromuskular

Hambatan Mobilitas
Fisik

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri Akut Berhubungan Dengan Agen Cedera Fisik
b. Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Perifer Berhubungan Dengan Trauma
c. Hambatan Mobilitas Fisik Berhubungan Dengan Gangguan Neuromuskular

3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa NOC NIC
Nyeri Akut Setelah Melakukan Kontrol Manajemen Nyeri (1400)
Berhubungan Nyeri. Kriteria Hasil :
Dengan Agen Kontrol Nyeri ( 1605 ) - Observasi adanya
Cedera Fisik - Mengenali kapan nyeri petunjuk non verbal
( 00132) terjadi dari skala 4 ( mengenai
sering menunjukkan ) ke ketidaknyamanan
skala 2 ( jarang - Lakukan Pengkajian Nyeri
menunjukkan ) - Berikan Informasi
(160502) mengenai nyeri
- Menggunakan tindakan - Ajarkan penggunaan
pengurangan nyeri tanpa teknik non farmakologi
analgesik pada skala 4 ( - Kolaborasi dengan pasien,

19
sering menunjukkan ke orang terdekat dan tim
skala 2 ( jarang kesehatan lainnya untuk
menunjukkan ) memilih dan
(160504) mengimplementasikan
- Melaporkan nyeri yang penurun nyeri non
terkontrol dari skala 4 ( farmakologi, sesuai
sering menunjukkan ke kebutuhan.
skala 2 ( jarang
menunjukkan )
(160511)
Ketidakefektifan Setelah Melakukan Perfusi Perawatan Emboli: Perifer
Perfusi Jaringan Jaringan : Perifer. Kriteria (4104)
Perifer Hasil :
Berhubungan Perfusi Jaringan: Perifer - Monitor tanda – tanda
Dengan Trauma (0407) sirkulasi vena menurun di
( 00204) - Pengisian Kapiler jari ujung tangan yang terkena
dipertahankan pada skala - Berikan nilai
5 ( tidak ada deviasi dari komprehensif sirkulasi
kisaran normal ) perifer
(040715) - Arahkan pasien untuk
- Suhu kulit ujung kaki dan tidak memijit atau
tangan pada skala 3 ( menekan daerah yang
deviasi sedang dari terkenal
kisaran normal - Arahakan pasien untuk
ditingkatkankan ke skala melaporkan perdarahan
4 ( deviasi ringan dari yang berlebihan
kisaran normal )
(040710)
Hambatan Setelah Melakukan Pengaturan Posisi:
Mobilitas Fisik Pergerakan. Kriteria Hasil : Neurologis (0844)
Berhubungan Pergerakan (0208)
Dengan - Gerakan otot skala 2 ( - Imobilisasi atau topang
Gangguan banyak terganggu ) bagian tubuh yang

20
Neuromuskular ditingkatkan ke skala 4 ( terganggu dengan tepat
( 00085) sedikit terganggu ) - Lakukan ROM pasif pada
(020803) ekstremitas yang
- Bergerak dengan mudah terganggu sesuai dengan
skala 2 ( banyak instruksi
terganggu ditingkatkan ke - Dukung pasien untuk
skala 4 ( sedikit terganggu berpartisipasi dalam
) perubahan posisi
(020814) - Instruksikan pastur tubuh
dan pergerakan yang tepat
saat melakukan aktivitas

21
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Fraktur menurut Smeltzer (2002) adalah terputusnya kontinuitas tulang dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Demikian pula menurut Sjamsuhidayat (2005),
fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Sementara Doenges (2000)
memberikan batasan, fraktur adalah pemisahan atau patahanya tulang. Fraktur adalah
patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price, 1995).
Sedangkan fraktur menurut Reeves (2001), adalah setiap retak atau patah pada tulang
yang utuh.
Fraktur barang humerus paling sering disebabkan oleh (1) trauma langsung yang
mengakibatkan fraktur transversal, oblik, atau kominutif, atau (2) gaya memutar tak
langsung yang menghasilkan fraktur spiral. Saraf dan pembuluh darah brakhialis
dapat mengalami cedera pada fraktur ini.
Tanda dan gejalanya antara lain nyeri hebat pada daerah fraktur dan nyeri
bertambah bila ditekan/diraba, tidak mampu menggerakkan lengan/tangan, spasme
otot.

22
DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer dan Bare. 2002. Keperawatan Medical Bedah Bruner dan Sudarth. Jakarta: EGC.
Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Jakarta:
EGC.
Swanson, E. Dkk. 2012. Nursing Outcome Classification (NOC): Measurenment of Health
Outcomes ed. 5. Elsevier Mosby.
Bulechek, G. M. 2012. Nursing Interventions Classification (NIC)ed. 6. Elsevier Mosby
Suzanne & Brenda, 2012, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta; EGC
Cynthia M, Sheila, 2002, Diagnosa Keperawatan, Jakarta; EGC
Doenges M, 2001. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pemdokumentasian Perawatan Pasien. Edisi III. Jakarta: EGC
NANDA. 2015-2017. Nursing Diagnosis Definitions and Classification.Ed.10;EGC

23

Anda mungkin juga menyukai