Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Gangguan pendengaran merupakan defisit sensorik yang paling sering terjadi,
mempengaruhi lebih dari 250 juta orang di dunia. Di Indonesia, gangguan pendengaran dan
ketulian saat ini masih merupakan satu masalah yang dihadapi masyarakat. Penyerapan
informasi melalui mendengar adalah sebesar 20%, lebih besar dibanding melalui membaca
yang hanya menyerap 10% informasi.
Ketulian juga bisa dialami ketika anak pada masa pertumbuhan, misalnya pada saat lahir,
anak lahir normal hanya saja menjelang usia 10 tahun ia mengalami sakit sehingga diberikan
obat dengan dosis tinggi sehingga menyerang telinganya.
Jadi ada gangguan pendengaran karena obat-obatan yang memiliki efek samping
menyebabkan ketulian. Seperti pil kina juga mempunyai pengaruh yang besar pada telinga,
maupun aspirin juga terbilang rawan, oleh karena itu harus hati-hati bila digunakan.
Faktor genetik juga bisa mempengaruhi, misalnya kedua orang tuanya normal,
namun kakek dan neneknya memiliki riwayat pernah mengalami ketulian. Hal ini bisa
berdampak pada anak. Jika anak mengalami tuli saraf, tentu tidak bisa disembuhkan, hanya
bisa di bantu dengan alat bantu dengar semata. Terapi yang bisa membuat kembali
mendengar itu tidak ada kecuali untuk para tuli konduktif yang disebabkan karena infeksi.
Infeksi ini dapat disembuhkan tetapi ketuliannya belum tentu sembuh.

B. RUMUSAN MASALAH

a. Apa pengertian pendengaran ?


b. Bagaimana anatomi dari sistem pendengaran?
c. Bagaimana fisiologi sistem pendengaran ?
d. Apa definisi tuli?
e. Apa etiologi dari tuli?
f. Apa manifestasi klinis dari tuli?
g. Bagaimana patofisiologi dari tuli?
h. Pemeriksaan fisik apa saja yang dilakukan pada tuli?
i. Bagaimana bentuk penatalaksanaan dari tuli?
1
C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Memahami asuhan keperawatan pada klien dengan tuli konduksi dan sensori neural.
2. Tujuan Khusus
a) Mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan
diagnostic, komplikasi dan prognosis pada klien dengan tuli konduktif dan
perseptif.
b) Mengetahui proses asuhan keperawatan yang akan dilakukan dari mulai
pengkajian, pemeriksaan fisik dan penunjang, menegakkan diagnosa keperawatan
sampai dengan intervensi keperawatan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Gangguan Pendengaran adalah istilah umum yang menandakan ketidak mampuan
dengan rentang keparahan dari ringan sampai berat dan meliputi tuli sebagian dan
kesulitan mendengar.
Gangguan Pendengaran adalah suatu keadaan kehilangan pendengaran yang
mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui
indera pendengarannya
Gangguan Pendengaran dibedakan 2 kategori, yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (low
of hearing), dimana deaf adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami
kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi. Dan low of
hearing adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan tetapi masih
berfungsi untuk mendengar, baik menggunakan maupun tanpa menggunakan alat bantu
dengar (hearing-aids).
Tuli ialah keadaan dimana orang tidak dapat mendengar sama sekali (total deafness),
suatu bentuk yang ekstrim dari kekurangan pendengaran. Istilah yang sekarang lebih
sering digunakan ialah kekurangan pendengaran (hearing-loss) (Louis,1993).
Kekurangan pendengaran ialah keadaan dimana orang kurang dapat mendengar dan
mengerti perkataan yang didengarnya. Pendengaran normal ialah keadaan dimana orang
tidak hanya dapat mendengar, tetapi juga dapat mengerti apa yang didengarnya
Jadi kesimpulannya, gangguan pendengaran adalah orang yang mengalami
kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian maupun seluruhnya
yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian maupun seluruhnya
alat pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai
rangsangan terutama melalui indera pendengarannya sehingga ia mengalami hambatan
dalam perkembangan bahasanya.
Klasifikasi tuli atau gangguan pendengaran berdasarkan organ yang terganggu di bedakan
yaitu :
1. Tuli atau gangguan dengar konduktif adalah gangguan dengar yang disebabkan
kelainan di telinga bagian luar dan atau telinga bagian tengah, sedangkan saraf
pendengarannya masih baik, dapat terjadi pada orang dengan infeksi telinga tengah,
infeksi telinga luar atau adanya serumen di liang telinga.
3
2. Tuli atau gangguan dengar saraf atau Sensorineural yaitu gangguan dengar akibat
kerusakan saraf pendengaran, meskipun tidak ada gangguan di telinga bagian luar
atau tengah.
3. Tuli atau gangguan dengar campuran yaitu gangguan yang merupakan campuran
kedua jenis gangguan dengar di atas, selain mengalami kelainan di telinga bagian luar
dan tengah juga mengalami gangguan pada saraf pendengaran.

B. ANATOMI FISIOLOGI TELINGA


Telinga terdiri dari tiga bagian yaitu : telinga luar (auris eksterna), telinga tengah
(auris media) dan telinga dalam (auris interna)

Gb. 1. Anatomi Telinga

1. Telinga luar (auris ekterna)


Terdiri dari :
 Aurikel (pinna) terbuat dari kartilago yang dibungkus oleh kulit.
 Saluran (canal) terowongan yang masuk ke dalam tulang temporal.
Terdapat kelenjar cerumen (yg berfungsi untuk menjaga gendang telinga lentur
dan menangkap debu.
2. Telinga tengah (auris media)
Terdiri dari :
 Terdapat rongga udara dalam tulang temporal.

4
 Gendang telinga, bergetar saat adanya gelombang udara.
 Tuba eustachian atau saluran auditory merupakan sambungan dari telinga
tengah ke nasopharing
Gelombang udara disalurkan melalui 3 tulang auditory; malleus, incus, stapes.
Stapes menyalurkan transmisi getar ke telinga dalam yang berisi cairan pada oval
window.
3. Telinga dalam (auris interna)
Terdiri dari :
 Telinga dalam merupakan rongga di dalam tulang temporal dikenal dengan
tulang labirint.
 Cairan antara tulang dan membran disebut cairan perilimph dan yang terdapat
di dalam membran disebut cairan endolimph
 Struktur membran disebut cochlea yang berkaitan dengan pendengaran dan
utricle, saccule, semi circural canal berkaitan dengan keseimbangan
 Cochlea berbentuk seperti rumah siput yang terdiri dari 3 saluran.
 Saluran tengah berisi organ reseptor untuk pendengaran yaitu organ corti
(organ spiral) reseptor ini dikenal sebagai sel rambut yang berisi akhir saraf
kranial 8.

C. FISIOLOGI PENDENGARAN DAN KESEIMBANGAN


1. Proses Mendengar
Suara atau bunyi yang masuk ditangkap oleh daun telinga, kemudian diteruskan
kedalam liang telinga luar yang akan menggetarkan gendang telinga. Getaran ini akan
diteruskan dan diperkuat oleh tulang-tulang pendengaran yang saling berhubungan yaitu
malleus, incus dan stapes. Stapes akan menggetarkan tingkap lonjong (oval window) pada
rumah siput yang berhubungan dengan scala vestibuli sehingga cairan didalamnya yaitu
perilimf ikut bergetar. Getaran tersebut akan dihantarkan ke rongga dibawahnya yaitu
scala media yang berisi endolimf sepanjang rumah siput. Didalam scala media terdapat
organ corti yang berisi satu baris sel rambut dalam (Inner Hair Cell) dan tiga baris sel
rambut luar (Outer Hair Cell) yang berfungsi mengubah energi suara menjadi energi
listrik yang akan diterima oleh saraf pendengaran yang kemudian menyampaikan atau
meneruskan rangsangan energi listrik tersebut kepusat sensorik mendengar di otak
sehingga kita bisa mendengar suara atau bunyi tersebut dengan sadar.

5
2. Proses Keseimbangan
Keseimbangan :
 Utricle dan saccule mrp membran antara cochlea dan semicircular canal, yg
berisi selrambut yang menempel pada struktur gelatin tdd: otolith dan kristal
calcium karbonat
 Sel rambut bengkok sbg respon thd penarikan gravitasi pada otolith sbg akibat
dari perubahan posisi kepala
 Impuls dihasilkan dan dibawa oleh cabang vestibular saraf cranial viii ke
cerebellum, otak tengah dan lobus temporal cerebrum
 Cerebellum dan otak tengah menggunakan informasi ini untuk menjaga
keseimbangan

D. DEFINISI
Gangguan pendengaran konduktif adalah gangguan pendengaran yang
disebabkan oleh suatu masalah mekanis di dalam saluran telinga atau di dalam telinga
tengah yang menghalangi penghantaran suara atau bunyi dengan tepat. Gangguan
pendengaran konduktif biasanya pada tingkat ringan atau menengah, pada rentang 25
hingga 65 desibel.

E. ETIOLOGI
Penurunan fungsi pendengaran konduktif disebabkan oleh suatu masalah mekanis
di dalam saluran telinga atau di dalam telinga tengah yang menghalangi penghantaran
suara atau bunyi dengan tepat. Contohnya disebabkan karena :
a. Kongenital : atresia liang telinga.
b. Benda asing dalam MAE : serumen, corpus alienum.
c. Trauma : dislokasi oseus auditorius, oklusi tuba eustachius.
d. Tumor : osteoma liang telinga.
e. Infeksi : otitis media, otitis eksterna sirkumskripta.
f. Hemotimpanum.
g. Timpanosklerosis.
h. Otosklerosis.

6
Otosklerosis adalah penyakit primer dari tulang-tulang pendengaran dan
kapsul tulang labirin. Proses ini menghasilkan tulang yang lebih lunak dan
berkurang densitasnya (otospongiosis). Gangguan pendengaran disebabkan oleh
pertumbuhan abnormal dari spongy bone-like tissue yang menghambat tulang-
tulang di telinga tengah, terutama stapes untuk bergerak dengan baik.
Pertumbuhan tulang yang abnormal ini sering terjadi di depan dari fenestra ovale,
yang memisahkan telinga tengah dengan telinga dalam. Normalnya, stapes yang
merupakan tulang terkecil pada tubuh bergetar secara bebas mengikuti transmisi
suara ke telinga dalam. Ketika tulang ini menjadi terfiksasi pada tulang sekitarnya,
getaran suara akan dihambat menuju ke telinga dalam sehingga fungsi
pendengaran terganggu.

F. MANIFESTASI KLINIS
a. Rasa penuh pada telinga.
b. Pembengkakan pada telinga bagian tengah dan luar, biasanya dikarenakan proses
peradangan.
c. Tinnitus.
d. Apabila bercakap dengan lawan bicara kadang tidak sesuai dengan apa yang
dibicarakan oleh lawan bicaranya.
e. Sering meminta lawan bicaranya untuk mengulang apa yang disampaikan.
f. Pada anak usia sekolah biasanya terjadi penurunan prestasi.
g. Kurang bersosialisasi karena malu.

G. PATOFISIOLOGIS
Mekanisme terjadinya tuli pada umumnya tergantung pada faktor penyebab
tuli itu sendiri.
Pada tuli konduktif biasanya terjadi akibat kelainan telinga luar, seperti infeksi
serumen, atau kelainan telinga tengah, seperti otitis media atau otosklerosis. Pada
keadaan seperti itu, hantaran suara efisien melalui udara ke telinga dalam terputus.

7
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Test pendengaran.
Tujuan dari test pendengaran adalah untuk mengetahui apakah seseorang
mengalami kurang pendengaran, mengetahui sfat ketuliannya yaitu tuli kanduktif
ataukah tuli perseptif, serta juga untuk mengetahui derajat ketuliannya.
Test pendengaran berupa :
1) Test Bisik.
Caranya ialah dengan membisikkan kata-kata yang dikenal
penderita dimana kata-kata itu mengandung huruf lunak dan
huruf desis. Lalu diukur berapa meter jarak penderita dengan
pembisiknya sewaktu penderita dapat mengulangi kata-kata yang
dibisikkan dengan benar.
Pada orang normal dapat mendengar80% dari kata-kata yang dibisikkan pada
jarak 6 s/d 10 meter.Apabila kurang dari 5 – 6 meter berarti ada kekurang
pendengaran. Apabila penderita tak dapat mendengarkan kata-kata dengan
huruf lunak, berarti tuli konduksi. Sebaliknya bila tak dapat mendengar kata-
kata dengan huruf desis berarti tuli persepsi.
Apabila dengan suara bisik sudah tidak dapat mendengar dites
dengan suara konversasi atau percakapan biasa. Orang normal
dapat mendengar suara konversasi pada jarak 200 meter.
2) Test Garputala.
a) Test Rinne
Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan antara
hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu telinga pasien. Ada 2 macam
tes rinne , yaitu :
(i) Garputala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan
tangkainya tegak lurus pada planum mastoid pasien (belakang meatus
akustikus eksternus). Setelah pasien tidak mendengar bunyinya, segera
garpu tala kita pindahkan didepan meatus akustikus eksternus pasien.
Tes Rinne positif jika pasien masih dapat mendengarnya. Sebaliknya
tes rinne negatif jika pasien tidak dapat mendengarnya.
(ii) Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan
tangkainya secara tegak lurus pada planum mastoid pasien. Segera
pindahkan garputala didepan meatus akustikus eksternus. Kita
8
menanyakan kepada pasien apakah bunyi garputala didepan meatus
akustikus eksternus lebih keras dari pada dibelakang meatus skustikus
eksternus (planum mastoid). Tes rinne positif jika pasien mendengar
didepan maetus akustikus eksternus lebih keras. Sebaliknya tes rinne
negatif jika pasien mendengar didepan meatus akustikus eksternus
lebih lemah atau lebih keras dibelakang.
Ada 3 interpretasi dari hasil tes rinne :
a) Normal : tes rinne positif.
b) Tuli konduksi: tes rine negatif (getaran dapat didengar melalui
tulang lebih lama).
c) Tuli persepsi, terdapat 3 kemungkinan :
 Bila pada posisi II penderita masih mendengar bunyi getaran
garpu tala.
 Jika posisi II penderita ragu-ragu mendengar atau tidak (tes
rinne: +/-).
 Pseudo negatif: terjadi pada penderita telinga kanan tuli
persepsi pada posisi I yang mendengar justru telinga kiri yang
normal sehingga mula-mula timbul.
Kesalahan pemeriksaan pada tes rinne dapat terjadi baik berasal dari
pemeriksa maupun pasien. Kesalahan dari pemeriksa misalnya meletakkan
garputala tidak tegak lurus, tangkai garputala mengenai rambut pasien dan
kaki garputala mengenai aurikulum pasien. Juga bisa karena jaringan
lemak planum mastoid pasien tebal.
Kesalahan dari pasien misalnya pasien lambat memberikan isyarat
bahwa ia sudah tidak mendengar bunyi garputala saat kita menempatkan
garputala di planum mastoid pasien. Akibatnya getaran kedua kaki
garputala sudah berhenti saat kita memindahkan garputala kedepan meatus
akustukus eksternus.
b) Test Weber
Tujuan melakukan tes weber adalah untuk membandingkan hantaran
tulang antara kedua telinga pasien.
Cara kita melakukan tes weber yaitu: membunyikan garputala 512 Hz
lalu tangkainya kita letakkan tegak lurus pada garis horizontal. Menurut

9
pasien, telinga mana yang mendengar atau mendengar lebih keras. Jika
telinga pasien mendengar atau mendengar lebih keras 1 telinga maka
terjadi lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika kedua pasien sama-sama
tidak mendengar atau sam-sama mendengaar maka berarti tidak ada
lateralisasi.
Getaran melalui tulang akan dialirkan ke segala arah oleh tengkorak,
sehingga akan terdengar diseluruh bagian kepala. Pada keadaan ptologis
pada MAE atau cavum timpani missal:otitis media purulenta pada telinga
kanan. Juga adanya cairan atau pus di dalam cavum timpani ini akan
bergetar, biala ada bunyi segala getaran akan didengarkan di sebelah
kanan.
Interpretasi:
i) Bila pendengar mendengar lebih keras pada sisi di sebelah kanan
disebut lateralisai ke kanan, disebut normal bila antara sisi kanan dan
kiri sama kerasnya.
ii) Pada lateralisai ke kanan terdapat kemungkinannya :
 Tuli konduksi sebelah kanan, missal adanya ototis media disebelah
kanan.
 Tuli konduksi pada kedua telinga, tetapi gangguannya pada telinga
kanan lebih hebat.
 Tuli persepsi sebelah kiri sebab hantaran ke sebelah kiri terganggu,
maka di dengar sebelah kanan.
 Tuli persepsi pada kedua teling, tetapi sebelah kiri lebih hebaaaat
dari pada sebelah kanan.
 Tuli persepsi telinga dan tuli konduksi sebelah kana jarang
terdapat.
c) Test Schwabach.
Tujuan dari test ini adalah untuk membandingkan daya transport
melalui tulang mastoid antara pemeriksa (normal) dengan probandus.
Dasar :
Gelombang-gelombang dalam endolymphe dapat ditimbulkan oleh :
 Getaran yang datang melalui udara.
 Getaran yang datang melalui tengkorak, khususnya osteo temporale

10
Cara Kerja :
Penguji meletakkan pangkal garputala yang sudah digetarkan pada
puncak kepala probandus. Probandus akan mendengar suara garputala itu
makin lama makin melemah dan akhirnya tidak mendengar suara garputala
lagi. Pada saat garputala tidak mendengar suara garputala, maka penguji
akan segera memindahkan garputala itu, ke puncak kepala orang yang
diketahui normal ketajaman pendengarannya (pembanding). Bagi
pembanding dua kemungkinan dapat terjadi : akan mendengar suara, atau
tidak mendengar suara.

3) Test Audiometri.
Audiometri adalah subuah alat yang digunakan untuk mengtahui level
pendengaran seseorang. Dengan bantuan sebuah alat yang disebut dengan
audiometri, maka derajat ketajaman pendengaran seseorang da[at dinilai. Tes
audiometri diperlukan bagi seseorang yang merasa memiliki gangguan
pendengeran atau seseorang yag akan bekerja pada suatu bidang yang
memerlukan ketajaman pendngaran.
Pemeriksaan audiometri memerlukan audiometri ruang kedap suara,
audiologis dan pasien yang kooperatif. Pemeriksaan standar yang dilakukan
adalah :
a. Audiometri nada murni
Suatu sisitem uji pendengaran dengan menggunakan alat listrik yang dapat
menghasilkan bunyi nada-nada murni dari berbagai frekuensi 250-500, 1000-
2000, 4000-8000 dan dapat diatur intensitasnya dalam satuan (dB). Bunyi
yang dihasilkan disalurkan melalui telepon kepala dan vibrator tulang ke
telinga orang yang diperiksa pendengarannya. Masing-masing untuk menukur
ketajaman pendengaran melalui hantaran udara dan hantaran tulang pada
tingkat intensitas nilai ambang, sehingga akan didapatkankurva hantaran
tulang dan hantaran udara. Dengan membaca audiogram ini kita dapat
mengtahui jenis dan derajat kurang pendengaran seseorang. Gambaran
audiogram rata-rata sejumlah orang yang berpendengaran normal dan berusia
sekitar 20-29 tahun merupakan nilai ambang baku pendengaran untuk nada
muri.

11
Telinga manusia normal mampu mendengar suara dengan kisaran
frekwuensi 20-20.000 Hz. Frekwensi dari 500-2000 Hz yang paling penting
untuk memahami percakapan sehari-hari.

Tabel berikut memperlihatkan klasifikasi kehilangan pendengaran.


Kehilangan Klasifikasi
dalam Desibel
0-15 Pendengaran normal
>15-25 Kehilangan pendengaran kecil
>25-40 Kehilangan pendengaran ringan
>40-55 Kehilangan pendengaran sedang
>55-70 Kehilangan pendenngaran sedang sampai
berat
>70-90 Kehilangan pendengaran berat
>90 Kehilangan pendengaran berat sekali

Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran psien


pada stimulus nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekuensi yang
berbeda-beda. Secara kasar bahwa pendengaran yang normal grafik berada
diatas. Grafiknya terdiri dari skala decibel, suara dipresentasikan dengan
aerphon (air kondution) dan skala skull vibrator (bone conduction). Bila
terjadi air bone gap maka mengindikasikan adanya CHL. Turunnya nilai
ambang pendengaran oleh bone conduction menggambarkan SNHL.
b. Audiometri tutur.
Audiometri tutur adalah system uji pendengaran yang menggunakan kata-
kata terpilih yang telah dibakukan, dituturkan melalui suatu alat yang telah
dikaliberasi, untuk mrngukur beberapa aspek kemampuan pendengaran.
Prinsip audiometri tutur hampir sama dengan audiometri nada murni, hanya
disni sebagai alat uji pendengaran digunakan daftar kata terpuilih yang
dituturkan pada penderita. Kata-kata tersebut dapat dituturkan langsung oleh
pemeriksa melalui mikropon yang dihubungkan dengan audiometri tutur,
kemudian disalurkan melalui telepon kepala ke telinga yang diperiksa
pendengarannya, atau kata-kata rekam lebih dahulu pada piringan hitam atau

12
pita rekaman, kemudian baru diputar kembali dan disalurkan melalui
audiometer tutur. Penderita diminta untuk menirukan dengan jelas setip kata
yang didengar, dan apabila kata-kata yang didengar makin tidak jelas karena
intensitasnya makin dilemahkan, pendengar diminta untuk mnebaknya.
Pemeriksa mencatata presentase kata-kata yang ditirukan dengan benar dari
tiap denah pada tiap intensitas. Hasil ini dapat digambarkan pada suatu
diagram yang absisnya adalah intensitas suara kata-kata yang didengar,
sedangkan ordinatnya adalah presentasi kata-kata yanag diturunkan dengan
benar. Dari audiogram tutur dapat diketahui dua dimensi kemampuan
pendengaran yaitu :
1) Kemampuan pendengaran dalam menangkap 50% dari sejumlah kata-kata
yang dituturkan pada suatu intensitas minimal dengan benar, yang
lazimnya disebut persepsi tutur atau NPT, dan dinyatakan dengan satuan
de-sibel (dB).
2) Kemampuan maksimal perndengaran untuk mendiskriminasikan tiap
satuan bunyi (fonem) dalam kata-kata yang dituturkan yang dinyatakan
dengan nilai diskriminasi tutur atau NDT. Satuan pengukuran NDT itu
adalah persentasi maksimal kata-kata yang ditirukan dengan benar,
sedangkan intensitas suara barapa saja. Dengan demikian, berbeda dengan
audiometri nada murni pada audiometri tutur intensitas pengukuran
pendengaran tidak saja pada tingkat nilai ambang (NPT), tetapi juga jauh
diatasnya.
3) Audiometri tutur pada prinsipnya pasien disuruh mendengar kata-kata
yang jelas artinya pada intensitas mana mulai terjadi gangguan sampai
50% tidak dapat menirukan kata-kata dengan tepat.
Kriteria orang tuli :
 Ringan masih bisa mendengar pada intensitas 20-40 dB.
 Sedang masih bisa mendengar pada intensitas 40-60 dB.
 Berat sudah tidak dapat mendengar pada intensitas 60-80 dB.
 Berat sekali tidak dapat mendengar pada intensitas >80 dB.
Pada dasarnya tuli mengakibatkan gangguan komunikasi, apabila
seseorang masih memiliki sisa pendengaran diharapkan dengan bantuan
alat bantu dengar (ABD/hearing AID) suara yang ada diamplifikasi,
dikeraskan oleh ABD sehingga bisa terdengar. Prinsipnya semua tes
13
pendengaran agar akurat hasilnya, tetap harus pada ruang kedap suara
minimal sunyi. Karena kita memberikan tes paa frekuensi tertetu dengan
intensitas lemah, kalau ada gangguan suara pasti akan mengganggu
penilaian. Pada audiometri tutur, memang kata-kata tertentu dengan vocal
dan konsonan tertentu yang dipaparkan kependrita. Intensitas pad
pemerriksaan audiomatri bisa dimulai dari 20 dB bila tidak mendengar 40
dB dan seterusnya, bila mendengar intensitas bisa diturunkan 0 dB, berarti
pendengaran baik.
Tes sebelum dilakukan audiometri tentu saja perlu pemeriksaan telinga
: apakah congok atau tidak (ada cairan dalam telinga), apakah ada kotoran
telinga (serumen), apakah ada lubang gendang telinga, untuk menentukan
penyabab kurang pendengaran.
Manfaat audiometri
 Untuk kedokteran klinik, khususnya penyakit telinga.
 Untuk kedokteran klinik Kehakiman,tuntutan ganti rugi.
 Untuk kedokteran klinik Pencegahan, deteksi ktulian pada anak-anak.
Tujuan pemeriksaan audiometri
Ada empat tujuan (Davis, 1978) :
 Mediagnostik penyakit telinga
 Mengukur kemampuan pendengaran dalam menagkap percakpan
sehari-hari, atau dengan kata lain validitas sosial pendengaran : untuk
tugas dan pekerjaan, apakah butuh alat pembantu mendengar atau
pndidikan khusus, ganti rugi (misalnya dalam bidang kedokteran
kehkiman dan asuransi).
 Skrining anak balita dan SD.
 Memonitor untuk pekerja-pekerja ditempat bising.
4) Test Timpanometri.
Timpanometri merupakan sejenis audiometri, yang mengukur impedansi
(tahanan terhadap tekanan) pada telinga tengah. Timpanometri digunakan untuk
membantu menentukan penyebab dari tuli konduktif.
Prosedur in tidak memerlukan partisipasi aktif dari penderita dan biasanya
digunakan pada anak-anak.Timpanometer terdiri dari sebuah mikrofon dan sebuah
sumber suara yang terus menerus menghasilkan suara dan dipasang di saluran

14
telinga. Dengan alat ini bisa diketahui berapa banyak suara yang melalui telinga
tengah dan berapa banyak suara yang dipantulkan kembali sebagai perubahan
tekanan di saluran telinga.
Hasil pemeriksaan menunjukkan apakah masalahnya berupa:
a) Penyumbatan tuba eustakius (saluran yang menghubungkan telinga tengah
dengan hidung bagian belakang ).
b) Cairan di dalam telinga tengah.
c) Kelainan pada rantai ketiga tulang pendengraan yang menghantarkan suara
melaui telinga tengah.

Test pendengaran yang dilakukan pada anak-anak meliputi :


1) ABR (Auditory Brainstem Respone).
Pemeriksaan untuk mengetahui fungsi jalur pendengaran mulai dari ujung
saraf pendengaran sampai dengan batang otak, tes ini dilakukan bila ada
kecurigaan gangguan pendengaran pada anak yang belum dapat kooperatif.
2) BOA (Behaviour Observation Audiometry).
Pemeriksaan untuk mengetahui ambang pendengaran minimal dari salah satu
telinga pada anak, pada pemeriksaan ini pemeriksa mengobservasi perubahan
perilaku pada anak saat diperdengarkan bunyi.
3) VRA (Visual Reinforcement Audiometry).
Prinsip dasar tes VRA adalah gerakan menolehnya kepala terhadap suara
dengan frekuensi spesifik disertai hadiah/penghargaan secara visual dengan
mainan atau lampu yang berkedip. Anak diusahakan tertarik ke arah bunyi
dengan memberikan reinforce secara visual apabila anak menoleh ke arah
sumber bunyi. Frekuensi dan intensitas diubah-ubah untuk mendapatkan
ambang pada beberapa frekuensi. Gerakan kepala anak menoleh ke arah
sumber bunyi dikenal dengan refleks orientasi. Apabila bunyi diberikan
berulang kali refleks orientasi akan mengalami habituasi yang membuat anak
kurang memberikan respons . Diperlukan selingan tes dengan memberikan
stimulus bunyi dari mainan-mainan yang menarik untuk merangsang anak
menoleh ke arah sumber bunyi. Hubungan antara stimulus visual dan bunyi
juga akan menimbulkan refleks orientasi. Apabila anak cukup tertarik akan
stimulus visual dan anak mampu menghubungkan antara stimulus bunyi dan
stimulus visual maka terjadi mekanisme conditioning. Pada anak yang usianya
15
lebih besar dapat dengan cara memberikan sanjungan setiap kali anak
memberikan respons misalnya dengan acungan jempol, tepuk tangan atau
menelus tangan/pipi. Pengalaman dalam klinik audiologi pediatri, metode
sanjungan dengan elusan dipipi sangat bermanfaat pada kasus dengan kelainan
ganda yang membuat anak merasa senang bahwa dia sudah melakukan
tugasnya dengan benar.
b. MRI/CT-Scan.
Dilakukan untuk melihat apakah terjadi malformasi pada telinga bagian dalam
juga untuk melihat integritas nervus koklearis. Dan biasanya ditemukan defisiensi
nervus koklearis baik pada satu sisi telinga atau keduanya.

I. PENATALAKSANAAN
Dalam beberapa kejadian, gangguan pendengaran konduktif bersifat
sementara. Pengobatan atau bedah dapat membantu tergantung pada penyebab khusus
masalah pendengaran tersebut. Jika penurunan fungsi pendengaran konduktif
disebabkan oleh adanya cairan di telinga tengah atau kotoran di saluran telinga, maka
dilakukan pembuangan cairan dan kotoran tersebut.
Jika penyebab tidak dapat diatasi, gangguan pendengaran konduktif juga dapat
diatasi dengan alat bantu dengar atau implan telinga tengah.

16
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

KASUS

Seorang anak usia 12 thun dari Bajawa, Flores, sejak 5 hari mengeluh sakit
pada telinga bagian tengah. Ia merasa penuh pada telinga bagian dalam disertai rasa
gatal. Karena takut terjadi sesuatu pada anak mereka, orang tuanya lalu membawa
anaknya ke RS umum bajawa. Dari hasil pemeriksaan tampak telinga pasien banyak
serumen dan di sertai bau. Orang tua pasien mengatakan bahwa waktu kecil pasien
pernah mengalami telinga bernanah. Dari hasil tes pendengaran, pasien tidak bisa
mendengar nada yang rendah seperti bisikan dari dokter dan perawat dan tes
audiometric (+). Dokter mendiagnosa pasien mengalami tuli konduktif.

A. Pengkajian
1. Identitas pasien
Nama : adik “U”
Umur : 12 thun
Jenis kelamin : laki-laki
Anak ke : 1 dari 3 bersaudara
2. Keluhan utama :
Pasien mengeluh nyeri serta terasa penuh pada telinga.
3. Keluhan tambahan :
Pusing, kadang telinga berdenging (tinnitus) dan terasa gatal.
4. Riwayat penyakit sebelumnya :
Waktu kecil pasien pernah mengalami telinga bernanah dan sering mengalami
flu.
5. Riwayat kesehatan keluarga :
Tidak ada penyakit keturunan
6. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan :
- Pasien mandi 1 kali sehari pada sore hari pagi kesekolah hanya cuci muka.
- Pasien jarang membersihkan telinga karna sibuk bermain dengan teman-
temannya, orang tuanya juga mengatakan bahwa mereka kurang
memperhatikan kebersihan anaknya karna sibuk dengan pekerjaannya.

17
DATA MASALAH
DS : Klien mengeluh sakit pada telinga Nyeri b.d proses infeksi
bagian tengah
DO : Klien nampak meringis
DS : klien mengatakan telinganya terasa Gangguan sensori persepsi b.d kerusakan
penuh pada telinga tengah
dan terasa gatal
DO :- klien nampak menggaruk telinga
-Telinganya klien banyak memiliki
serumen
dan disertai bau

DS : ibu klien mengatakan bahwa telinga Resiko penyebaran infeksi b.d banyaknya
klien serumen
pernah bernanah
DO: klien tidak bisa mendengar nada yang
rendah

B. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan proses infeksi
2. Gangguan sensori / presepsi berhubungan dengan kerusakan pada
telingatengah
3. resiko penyebaran infeksi berhubungan banyaknya serumen

18
C. INTERVENSI

N DIAGNOSA NOC NIC


O
1 nyeri KH : - Lakukan pengkajian nyeri
- Mampu mengontrol secara komprehensif
nyeri (tahu penyebab termasuk lokasi,
nyeri mampu karakteristik,durasi,frekue
mengunakan tehnik nsi,kualitas dan faktor
nonfarmakologi untuk presipitasi
mengurangi nyeri . - Observasi reaksi nonverbal
- Melaporkan bahwa dari ketidaknyamanan .
nyeri berkurang yeri - Gunakan tehnik
(skaladengan komunikasi terapeutik
menggunakan untuk mengetahui
manajemen nyeri pengalaman nyeri pasien
- Mampu mengenali - Kaji kultur yang
nyeri (skala,intensitas, mempengaruhi respon
frekuensi dan tanda nyeri.
nyeri - evaluasi pengalaman nyeri
- Menyatakan rasa masa lampau
nyaman setelah nyeri - evaluasi bersama pasien
berkurang. dan tim kesehatan lain
tentang ketidakefektifan
kontrol nyeri masa
lampau.
- Kontrol lingkungan yang
dapat mempengaruhi nyeri
- Ajarkan tehik non
farmakologi
- Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri

19
- Tingkatan istrahat

-Monitor penerimaan pasien tentang


manajemen nyer
2 Gangguan menerima - Kaji tingkat kerusakan pendengaran
sensori pembatasan yang - Kaji dan bulat cara berkomunikasi
persepsi disebabkan
kerusakan
pendengaran
3 resiko KH : - Monitor tanda dan gejala infeksi
penyebaran - Klien bebas sistemik dan lokal
infeksi dari tanda dan - Monitor kerentanan terhadap infeksi
berhubungan gejala infeksi - Dorong beristirahat
banyaknya - - Ajarkan pasien dan keluarga tanda
serumen mendeskripsika dan gejala infeksi
n proses - Ajarkan cara menghindari infeksi
penularan
penyakit,faktor
yang
mempengaruhi
penularan serta
pelaksanaanny
a
- menunjukkan
kemampuan
untuk
mencegah
timbulnya
infeksi
-Menujukkan
perilaku hidup
sehat

20
D. IMPLEMENTASI
DIAGNOSA HARI/TANGGAL JAM IMPLEMENTASI JAM EVALUASI
Nyeri Kamis 15/04/19 09:00 1. mengajarkan 13:00 S : klien
tehik non mengatakan
farmakologi nyerinya
berkurang

O : klien
nampak tak
meringis
lagi

A : masalah
teratasi
sebagian

P:
intervensi
dilanjutkan
Gangguan Jumat 16/04/19 10 2. mengkaji tingkat 15:00 S : klien
persepsi :00 kerusakan pendengaran mengatakan
sensori telinganya
gatal

O: klien
masih
sering
menggaruk
telinganya

A : masalah
belum

21
teratasi

P:
intervensi
dilanjutkan
Resiko Sabtu 17/04/19 11 3. Monmonitor tanda dan 14:00 S : klien
infeksi :00 gejala infeksi sistemik dan mengatakan
lokal telinganya
bernanah

O : klien
nampak
gelisa dan
merasa
terganggu

A : masalah
belum
teratasi

P:
intervensi
dilanjutkan

22
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Gangguan Pendengaran adalah suatu keadaan kehilangan pendengaran yang


mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama
melalui indera pendengarannya
Gangguan Pendengaran dibedakan 2 kategori, yaitu tuli (deaf) dan kurang
dengar (low of hearing), dimana deaf adalah mereka yang indera pendengarannya
mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi.
Dan low of hearing adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan
tetapi masih berfungsi untuk mendengar, baik menggunakan maupun tanpa
menggunakan alat bantu dengar (hearing-aids).
Tuli ialah keadaan dimana orang tidak dapat mendengar sama sekali (total
deafness), suatu bentuk yang ekstrim dari kekurangan pendengaran. Istilah yang
sekarang lebih sering digunakan ialah kekurangan pendengaran (hearing-loss)
(Louis,1993).
Kekurangan pendengaran ialah keadaan dimana orang kurang dapat mendengar
dan mengerti perkataan yang didengarnya. Pendengaran normal ialah keadaan dimana
orang tidak hanya dapat mendengar, tetapi juga dapat mengerti apa yang didengarnya

B. SARAN
Dengan adanya makalah ini masyarakat dapat mempertimbangkan dan mengetahui
bagaimana itu kondisi pada saat tuli dan semoga dengan ini kita dapat mengetahui
tanda dan penyebab dari tuli agar kita dapat menghidari penyebabnya tersebut.

23
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Paul D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Tubuh Manusia : Latihan dan Panduan
Belajar. Jakarta : Buku Kedokteran ECG.

George L, Adams. 1997. BOEIS : Buku ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: Buku
Kedokteran ECG.

Guyton, AC. 1997. Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran.

Iskandar, H. Nurbaiti,dkk 1997. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.

Mitchell, Richard N. 2008. Pocket Companion to Robbins and Cotran Pathologic Basis of
Disease, 7th ed. New York : Elsivier Inc.

Mukmin, Sri; Herawati, Sri. 1999. Teknik Pemeriksaan THT. Surabaya : Laboratorium Ilmu
Penyakit THT, FK UNAIR.

Pedoman Diagnosis dan Terapi, Lab/UPF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorokan. Surabaya : RSUD Dr Soetomo

Tambayong, Jan, dr. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan Edisi I. Jakarta : Buku
Kedokteran ECG.

24

Anda mungkin juga menyukai

  • Askep Asthma Bronchial
    Askep Asthma Bronchial
    Dokumen15 halaman
    Askep Asthma Bronchial
    Bayu Setyiawan
    0% (1)
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen19 halaman
    Bab I
    Maria Kusuma CandraWati
    Belum ada peringkat
  • Makalah Kesling
    Makalah Kesling
    Dokumen11 halaman
    Makalah Kesling
    Laksmi Sri Wardana
    Belum ada peringkat
  • HargaDiriRendah
    HargaDiriRendah
    Dokumen27 halaman
    HargaDiriRendah
    D'nata Ardi Prasetya
    Belum ada peringkat
  • Konsep Medis
    Konsep Medis
    Dokumen22 halaman
    Konsep Medis
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Tuli Bu Winti
    Tuli Bu Winti
    Dokumen18 halaman
    Tuli Bu Winti
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Bu Cici
    Bu Cici
    Dokumen7 halaman
    Bu Cici
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Otitis Eksternal Bu Dama
    Otitis Eksternal Bu Dama
    Dokumen16 halaman
    Otitis Eksternal Bu Dama
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • RPS Rahmawaty
    RPS Rahmawaty
    Dokumen1 halaman
    RPS Rahmawaty
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Gout Artritis (Kel - Ii)
    Gout Artritis (Kel - Ii)
    Dokumen3 halaman
    Gout Artritis (Kel - Ii)
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Ringkasan Dari Jurnal
    Ringkasan Dari Jurnal
    Dokumen1 halaman
    Ringkasan Dari Jurnal
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Kasus OMA
    Kasus OMA
    Dokumen14 halaman
    Kasus OMA
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Tuli Bu Winti
    Tuli Bu Winti
    Dokumen24 halaman
    Tuli Bu Winti
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Nikel
    Nikel
    Dokumen1 halaman
    Nikel
    mohammad idris hamdala
    Belum ada peringkat
  • Bu Tina
    Bu Tina
    Dokumen17 halaman
    Bu Tina
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • ASKEP
    ASKEP
    Dokumen13 halaman
    ASKEP
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Brosur Ninda
    Brosur Ninda
    Dokumen2 halaman
    Brosur Ninda
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Askep Anak TB Paru Anak
    Askep Anak TB Paru Anak
    Dokumen22 halaman
    Askep Anak TB Paru Anak
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Askep Diabetes Mellitus
    Askep Diabetes Mellitus
    Dokumen19 halaman
    Askep Diabetes Mellitus
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Anfis Muskuloskeletal (Kel.I)
    Anfis Muskuloskeletal (Kel.I)
    Dokumen6 halaman
    Anfis Muskuloskeletal (Kel.I)
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Nikel
    Nikel
    Dokumen1 halaman
    Nikel
    mohammad idris hamdala
    Belum ada peringkat
  • Gagal Nafas - Anak
    Gagal Nafas - Anak
    Dokumen20 halaman
    Gagal Nafas - Anak
    Sposato Con Kedju Sharma
    Belum ada peringkat
  • Askep Anak Bronkitis Alergika
    Askep Anak Bronkitis Alergika
    Dokumen8 halaman
    Askep Anak Bronkitis Alergika
    Yuktika RiYu
    Belum ada peringkat
  • Anfis Muskuloskeletal (Kel.I)
    Anfis Muskuloskeletal (Kel.I)
    Dokumen17 halaman
    Anfis Muskuloskeletal (Kel.I)
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Askep Bronkhopneumonia
    Askep Bronkhopneumonia
    Dokumen9 halaman
    Askep Bronkhopneumonia
    bayu interisti
    Belum ada peringkat
  • Askep Oedema Paru
    Askep Oedema Paru
    Dokumen5 halaman
    Askep Oedema Paru
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • LP Udem Paru
    LP Udem Paru
    Dokumen8 halaman
    LP Udem Paru
    ariemamamaehan
    Belum ada peringkat
  • Meningitis Tuberkulosis
    Meningitis Tuberkulosis
    Dokumen5 halaman
    Meningitis Tuberkulosis
    Putri Viruzz Maenjaa
    Belum ada peringkat
  • Askep Asma Bronchiale
    Askep Asma Bronchiale
    Dokumen15 halaman
    Askep Asma Bronchiale
    vaniafildza
    Belum ada peringkat