Anda di halaman 1dari 14

I.

Deskripsi kasus

A. Anamnesis
1. Identitas pasien
Nama : An. M
Umur : 9 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Condong catur, Sleman, Yogyakarta

2. Keluhan Utama
Telinga kiri keluar cairan berwarna putih kental dan berbau

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien dating ke klinik THT dengan keluhan telinga kiri keluar cairan berwarna
putih, kental dan berbau sejak 2 hari yang lalu. Pada awalnya pasien sempat demam
tinggi disertai nyeri pada telinga kirinya. Pasien jadi rewel dan sukar tidur. Setelah
ada cairan yang keluar dari telinga, suhu tubuh menurun dan pasien berkurang
rewelnya. Pasien sering mengalami batuk pilek sebelumnya.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat sering pilek
Riwayat alergi debu

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota pasien yang menderita penyakit yang sama

6. Anamnesis Sistem
Pusing (-), Demam (-), Batuk (+), Pilek (+), Mual (-), Muntah (-)

7. Kebiasaan dan Lingkungan


Os mempunyai kebiasaan berenang disungai dan suka “mengorek-ngorek”
telinganya dengan cotton bud karena telinganya sering merasa gatal. Makan teratur,
lingkungan tempat tinggal cukup bersih.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Kompos mentis
Vital sign : Nadi : 104 x/menit
Suhu : 37,8
Nafas :20 x/menit
THT : Status lokalis
Leher : Kelenjar limfonodi tidak membesar
Thorax : Dalam batas normal
Abdomen : Dalam batas normal
Ekstremitas : Dalam batas normal

2. Status Lokalis
A. Telinga
1. Aurikula Kanan Kiri
Tumor (-) (-)
Hematom (-) (-)
Tragus pain (-) (-)
Antitragus pain (-) (-)
2. MAE Kanan Kiri
Udema (-) (-)
Hiperemis (-) (-)
Serumen (-) (-)
Otore (-) (+)
Mastoid nyeri ketok (-) (-)
3. Membrana Timpani Kanan Kiri
Reflek cahaya (+) (-)
Perforasi (-) (+)

B. Hidung
1. Rhinoskopi Anterior
a. Conca inferior
Hiperemis (+) (+)
Udema (+) (+)
b. Conca media
Hiperemis (+) (+)
Udema (+) (+)
c. Polip (-) (-)
d. Sekret (+) (+)
Letak : dari konka superior sampai konka inferior
Bentuk : lender
Warna : bening
Sifat : mukus
e. Tumor (-) (-)
f. Septum deviasi (-) (-)

C. Tenggorokan
Dalam batas normal

2. Pemeriksaan Penunjang
1. kultur sekret
2. kultur darah
3. pemeriksaan darah rutin
4. otoskopi atau otomikroskopi
5. timpanosentesis
6. pemeriksaan histologi
7. timpanometri

C. Diagnosis kerja
Otitis media akut stadium perforasi
Otitis media dengan efusi
Otitis eksterna
D. Terapi
Terapi pada OMA satadium perforasi :
- obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari
- antibiotik dan antiinflamasi : ciprofloxasin dan dexamethasone 4 tetes 2x sehari
selama 7 hari
Penulisan resep

Dr. Ujang

SIP. 0123456789

Alamat : Jl. Kaliurang km.99, (0274) 9876543210

Yogyakarta, 01 januari 2012

R/ Sol H2O2 3% 5cc


S. 3. dd. Gtt III auric sin. u.c.

R/ Sol ciprofloxacin fls. No.I


S 2. dd. gtt IV auric. sin. u.c.

Pro : An. M

Umur : 9 tahun
II. Pembahasan

A. Anamnesis
Dari hasil anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan telinga kirinya keluar
cairan berwarna putih kental dan bau yang kemungkinan diawali oleh adanya infeksi
yang biasanya virus, tapi juga bisa alergi dan kondisi inflamasi yang mengikut sertakan
tuba eustacius dalam perjalanannya. Terutama pada kasus ini kemungkinan adalah
akibat alergi debu sehingga timbul gejala rhinitis alergika yang merupakan faktor resiko
terjadinya otitis media akut, akibatnya terjadi kongesti dan edema pada mukosa saluran
napas atas, termasuk nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba Eustachius menjadi sempit,
sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah, dengan kata lain, hal ini
menyebabkan produksi berlebih atau efusi dan gangguan pembersihan mukus. Bila
keadaan demikian berlangsung lama akan menyebabkan stasis, refluks dan aspirasi
virus atau bakteri dari nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius.
Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba Eustachius untuk mengatur proses
ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat obstruksi tuba,
akan mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga
tengah. Ini merupakan faktor pencetus terjadinya OMA. Bila tuba Eustachius tersumbat,
drainase telinga tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi akumulasi sekret
ditelinga tengah, kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen pada sekret. Akibat dari
infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang
dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius. Virus respiratori juga dapat
meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga menganggu pertahanan imum
pasien terhadap infeksi bakteri. Produksi mukus berlebih akibat adanya perasan karena
terciptanya tekanan negatif pada telinga tengah, ditambah dengan akumulasi debris
mukus akibat adanya proses inflamasi, maka timbullah gejala berupa keluarnya cairan
putih kental (otorea) dan bau.
Diketahui sebelumnya pasien demam tinggi disertai nyeri pada telinga kirinya,
rewel dan sukar tidur. Demam tinggi kemungkinan dikarenakan adanya reaksi sistemik
akibat infeksi pada telinga tengah, yang kemudian diikuti dengan nyeri pada telinga kiri
pasien akibat adanya proses inflamasi sehingga menyebabkan pasien rewel dan sukar
tidur.
Sesuai dengan Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok (2001)
maka gejala otitis media ini diklasifikasikan sesuai dengan proses patologi yang terjadi
pada telinga maka gejala yang timbul pada pasien dapat digolongkan pada stadium
supurasi ketika pasien mengalami demam tinggi disertai nyeri pada telinga dimana hal
tersebut disebabkan oleh edema hebat pada mukosa tengah dan hancurnya sel epitel
superfisial, serta terbentuknya eksudat pada kavum timpani karena jika sekret dan pus
bertambah banyak dari proses inflamasi lokal, perndengaran dapat terganggu karena
membran timpani dan tulang-tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap
getaran. Akumulasi cairan yang terlalu banyak inilah yang akhirnya membuat pasien
kesakitan karena tekanan pada saraf-saraf nyeri di daerah telinga tengah dan
membrane timpani.
Kemudian memasuki stadium perforasi dengan gejala pada pasien berupa keluar
cairan putih kental dan berbau dari telinga kiri, dimana pada stadium ini membran
timpani yang telah mengalami nekrosis kemudian ruptur atau robek dan nanah pun
keluar, sehingga rasa nyeri pun hilang. Oleh karena itu gejala yang tadinya sangat
mengganggu pasien kini mulai mengilang digantikan dengan gejala pada stadium
perforasi.
Diperkirakan bahwa anak lebih mudah terserang OMA dibanding dengan orang
dewasa. Hal ini menjelaskan bahwa sesuai dengan identitas pasien, maka usia pasien
merupakan faktor resiko untuk mengalami otitis media. Ini karena pada anak dan bayi,
tuba lebih pendek, lebih lebar dan kedudukannya lebih horizontal dari tuba orang
dewasa, sehingga infeksi saluran pernapasan atas lebih mudah menyebar ke telinga
tengah. Panjang tuba orang dewasa 37,5 mm dan pada anak di bawah umur 9 bulan
adalah 17,5 mm. Ini meningkatkan peluang terjadinya refluks dari nasofaring
menganggu drainase melalui tuba eustachius. Insidens terjadinya otitis media pada
anak yang berumur lebih tua berkurang, karena tuba telah berkembang sempurna dan
diameter tuba eustschius meningkat, sehingga jarang terjadi obstruksi dan disfungsi
tuba. Selain itu, sistem pertahanan tubuh anak masih rendah sehingga mudah terkena
ISPA lalu terinfeksi di telinga tengah. Adenoid merupakan salah satu organ di
tenggorokan bagian atas yang berperan dalam kekebalan tubuh. Pada anak, adenoid
relatif lebih besar dibanding orang dewasa. Posisi adenoid yang berdekatan dengan
muara tuba Eustachius sehingga adenoid yang besar dapat mengganggu terbukanya
tuba Eustachius. Selain itu, adenoid dapat terinfeksi akibat ISPA kemudian menyebar ke
telinga tengah melalui tuba Eustachius. Karena pasien memiliki riwayat sering pilek dan
alergi debu maka dapat semakin sering terjadi reaksi inflamasi pada nasofaring
sehingga semakin memudahkan pasien mengalami otitis media.
Dari faktor keluarga dinyatakan tidak ada yang memiliki keluhan yang sama berarti
pasien tidak memiliki faktor genetic dari keluhan ini. Adapun dari kebiasaan pasien yang
suka berenang kemungkinan kuping pasien sering kemasukan air yang menyebabkan
keadaan telinga menjadi lembab yang merupakan tempat yang baik untuk berkembang
biaknya bakteri. Sedangkan dengan kebiasaan pasien suka “mengorek-ngorek” telinga
dengan cotton bud dapat menyebabkan berpindahnya kotoran yang terdapat di telinga
luar terdorong ke dalam.

B. Pemeriksaan
Pada pemeriksaan status generalis pasien dalam keadaan normal dan baik.
Sedangkan pada status lokalis didapatkan otore dan tidak terlihatnya reflek cahaya pada
telinga kiri, ini di karenakan telinga kiri telah mengalami perforasi.
Pemeriksaan yang penunjang yang disarankan untuk dilakukan adalah
pemeriksaan kultur. Dalam melakukan pemeriksaan kultur jaringan maka perlu
diperhatikan jenis cairan yang keluar, ini akan membantu membedakan dari tingkat
keparahan pada auricular media. Pengambilan cairan bersifat seros/ purulen/
mukopurulen yang diambil untuk dilakukan kultur, percobaan ini dilakukan selain untuk
membedakan bakteri atau virus yang menyebabkan infeksi, juga dapat untuk
mendapatkan diagnosis pasti pada jenis bakteri yang menyebabkan peradangan
sehingga pemberian antibiotik bisa adekuat dan tepat sasaran. Tetapi kultur cairan ini
memiliki kelemahan yaitu membutuhkan waktu yang lama untuk melakukannya.
Pengambilan darah untuk pemeriksaan darah lengkap juga cukup membantu dalam
penegakan diagnosis, untuk membedakan virus atau bakteri yang menyerang secara
cepat maka pemeriksaan darah lengkap bisa jadi solusi sementara menunggu hasil dari
kultur jaringan. Sebenarnya gold standar untuk diagnosa otitis media akut adalah
timpanosentesis namun karena keterbatasan biaya dan alat maka pemeriksaan ini tidak
digunakan. Untuk pencitraan bagian dalam dari auricular media maka bisa
menggunakan CT scan dimana akan mempermudah pengambilan langkah operasi, bisa
dilihat radang bagian media sudah menginvasi daerah lainnya, dilihat juga tuba
eustacius dalam keadaan abnormal atau ada infeksi, apabila perjalanan penyakit
semakin parah maka bisa dilihat juga ada pembesaran mastoid. Namun karena
keterbatasan alat dan biaya maka yang lebih kami utamakan adalah pemeriksaan
menggunakan rontgen untuk mengetahui apakah terdapat kerusakan pada tulang
mastoid.
Dari seluruh pemeriksaan ada empat komponen yang harus terpenuhi untuk
menegakkan diagnosa yaitu posisi, mobilitas, warna, dan derajat translusensi membran
timpani. Dari pemeriksaan otoskopi yang telah dilakukan didapatkan membran timpani
ruptur, terdapat serumen, otorea kuning kental yang menutupi membran timpani yang
dapat dibedakan dengan otitis media efusi yaitu membran timpani dalam posisi netral
atau retraksi. Pada pemeriksaan kultur sekret dapat ditemukan agen infeksi penyebab
peradangan yang sesuai dengan etiologi otitis menurut Marie et al. (2007) yaitu
kemungkinan Streptococcus pneumoniae (pada 26-48% kasus), Haemophilus influenza
(15-42%), Moraxella catarrhalis (23-25%), dan Streptococcus pyogenes (4-8%) dengan
S.pneumoniae dan S.pyogen sebagai patogen paling virulen pada telinga tengah. Pada
pemeriksaan darah rutin dapat ditemukan leukositosis. Pada kultur darah dapat
ditemukan bakterimia.
Otomikroskopi (digunakan jika perforasi lebih kecil) dan studi impedansi masih
meninggalkan diagnosis perforasi membran timpani yang masih dipertanyakan. Untuk
melihat adanya kejadian perforasi (membran timpani dalam bentuk gelembung berisi
cairan), isilah liang telinga dengan menggunakan air destilasi atau salin steril untuk
menutupi membran timpani dan minta pasien untuk melakukan manuver Valsava, jika
terdapat perforasi membran timpani, maka hasil akan positif yang memang khas pada
keadaan ini. (Matthew, 2008)
Pemeriksaan timpanometri bertujuan untuk mengetahui tekanan udara yang
terdapat pada telinga tengah sehingga muncul manifestasi tuli pada pasien, yang
kemudian hasilnya dapat digunakan untuk keputusan akan dilakukannya pembedahan
atau tidak.
Jika perforasi membran timpani bersifat kronik, maka pada pemeriksaan secara
histologi maka, epitel skuamousa ditemukan dekat dengan mukosa telinga tengah dan
menciptakan batas perforasi, tanpa permukaan yang tidak sembuh. Penyembuhan
batas perforasi dipastikan sebagai faktor yang berperan dalam apakah perforasi
menetap atau tidak

C. Diagnosis
Karena dari gejala klinis yang dikeluhkan pasien, waktu timbul gejala dan hasil
dari seluruh pemeriksaan yang telah dilakukan didapatkan posisi membran timpani tidak
lagi bulging atau sudah tampak ruptur, dengan reflek cahaya negatif pada telinga kiri
maka dapat dikatakan membran timpani telah mengalami perforasi. Maka diagnosa otitis
eksterna dan otitis media efusi dapat disingkirkan.

D. Terapi
Terapi pada OMA satadium perforasi diberikan obat cuci telinga H2O2 3%
selama 3-5 hari. (Djaafar, 2007)
Terapi perforasi berupa langsung mengobati otore. Penting untuk
mempertimbangkan risiko ototoksis dari tetes telinga topikal ketika mengobati infeksi
telinga bersamaan dengan perforasi membran timpani. Infeksi dapat menyebabkan tuli
sensorineural. Ototoksisitas tetes telinga mengakibatkan tuli sensorineural. Cegah tetes
telinga yang mengandung gentamisin, neomisin sulfat, tobramisin pada perforasi
membran timpani. Ketika sudah digunakan, ganti dengan obat tetes dengan toksisitas
lebih rendah, segera setelah edema mukosa dan drainase mulai berkurang.
Pencegahan kontaminasi telinga tengah dengan air penting untuk meminimalisasi otore.
(Buku Ajar THT, 2001).
Menurut Lawlani et al (2008) antibiotik sistemik akan digunakan untuk
mengontrol otore dari perforasi, jika gejala tidak membaik setelah dua sampai tiga hari,
atau ada perburukan gejala. Antibiotik (trimetropin-sulfametoksazol, amoksisilin,
cefalosforin, axetil cefuroxime) untuk flora saluran napas tipikal. Pertumbuhan berlebih
pseudomonas aeruginosa, staphylococcus aureus resisten. Dapat terjadi kegagalan
drainase selesai setelah beberapa hari terapi. Perubahan terapi dilakukan dengan
kultur dan tes sensitivitas. Tendensi pertumbuhan pseudomonas mengindikasikan tes
paling akurat dengan mengambil spesimen kultur (dengan mikroskop) langsung dari
telinga tengah melalui perforasi.
Menurut ICSI (2008) jika antibiotik memang harus digunakan dalam pengobatan
dalam pengobatan otitis media pada anak-anak, maka antibiotik pertama yang
disarankan untuk digunakan adalah amoksisilin 40 mg/kg/hari karena alasan keamanan,
efektivitas dan toleransi terhadap obat.
Terdapat beberapa tanggapan terhadap pemakain antibiotik. Sesuai dengan
jurnal dari David P et al. (2005) menyatakan bahwa dari percobaan yang dilakukan
terhadap otitis media akut yang tidak berat maka disaranakan untuk melakukan watchful
waiting disertai pemberian terapi simtomatik dibandingkan dengan pemberian antibiotik
segera disertai terapi simtomatik, karena pada pemberian antibiotik pada kasus ringan
(ditentukan dengan questioner yang telah divallidasi yang ditentukan berdasarkan
skoring gejala, tanda membran timpani, dan tanda-tanda lain yang menyertai) akan
menyebabkan peningkatan resistensi obat terhadap bakteria secara signifikan sehingga
dapat meningkatkan kekambuhan otitis media pada pasien.
Untuk pengobatan topikal (tetes) pada kasus otitis media dengan otorea menurut
penelitian yang telah dilakukan oleh Roland et al (2004) menyatakan bahwa ternyata
ciprofloxacin topikal atau dexamethasone jauh lebih baik hasilnya dibandingkan dengan
penggunaan ofloxacin maupun amoksisilin topikal pada kasus otitis media dengan
otorea dengan hasil adanya peningkatan respon klinis, efektifitas mikrobiologi yang lebih
baik, dengan efek samping yang relatif rendah. Pemakaian antibiotik dan kortikosteroid
topikal yang dikombinasikan memberikan keuntungan klinis yang signifikan
dibandingkan dengan satu jenis obat saja atau ofloxacin.
Terapi non farmakologi berupa edukasi pada pasien atau keluarganya yaitu
minum obat dengan teratur, jangan berenang dulu, hentikan kebiasaan mengorek-
ngorek telinga, jika ingin membersihkan telinga dapat dibantu orang tua. Menjaga
kebersihan telinga dan badan, diet makanan yang sehat untuk memperbaiki kekebalan
tubuh. Jika dalam 3 minggu pasien masih mengalami keluar cairan dari telinga, segera
beritahukan dokter.
Lakukan follow up karena adanya risiko pembentukan kolesteatoma, dapat
melalui proses perjalanan penyakit atau dari epithelium skuamousa yang terperangkap
selama terapi, membutuhkan kontrol teratur post-operasi. Konsultasi ulang jika
pendengaran berkurang atau terdapat drainase persisten telinga. Lokasi perforasi
menentukan waktu dan frekuensi follow up. Perforasi pars tensa (bagian keras dari
membran timpani) jarang menimbulkan komplikasi. Pengecualian adalah perforasi pars
tensa berlokasi di annulus atau membran timpani. Perforasi di lokasi ini merupakan
risiko berkembangnya kolesteatoma di telinga tengah. Perforasi dalam pars flasida
(bagian tanpa lapisan tengah fibrosa) lebih sering berkaitan dengan komplikasi dan
butuh perawatan follow up yang lebih. (Matthew, 2008)
III. Kesimpulan

An.M, laki-laki, umur 9 tahun datang dengan keluhan keluar cairan dari telinga kiri sejak
2 hari yang lalu, Pada awalnya pasien sempat demam tinggi disertai nyeri pada telinga
kirinya. Pasien jadi rewel dan sukar tidur. Setelah ada cairan yang keluar dari telinga, suhu
tubuh menurun dan pasien berkurang rewelnya. Pasien sering mengalami batuk pilek
sebelumnya. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang sudah dilakukan, An.M
didiagnosis Otitis media akut stadium perforasi. Terapi yang dilakukan adalah dengan
pencucian telinga dengan H2O2 3% dan pemberian antibiotik yang adekuat.
Daftar pustaka

1. American Academy of Pediatrics. Diagnosis and management of acute otitis media.


Pediatrics. 2004;113:1451-65. (Class R).

2. Bull, P. D, 2002, Lecture notes on diseases of the Ear, Nose, and Throat. — 9th Edition.
Replika Press PVT. India

3. David P., Chonmaitree T., Pittman C., Saeed K., Friedman R., Uchida T., Baldwin D.,
Nonsevere Acute Otitis Media: A Clinical Trial Comparing Outcomes of Watchful Waiting
Versus Immediate Antibiotic Treatment, Pediatrics 2005;115:1455–1465

4. Efiaty, A., Iskandar, N., Soepardi. (2001). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Teling Hidung Tenggorok Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

5. L., Matthew. 2008. Tympanic Membrane Perforation. http://www.emedicine.com


/ent/topic206.htm. Diakses 29 Desember 2011.

6. Lawlani,A.K., 2008, Current Diagnosis & Treatment : Otolaryngology Head and Neck
Surgery, International Edition, Mc Graw Hill, USA.

7. Roland P., Kreisler S., Reese B., Anon B., Lanier B., Conroy J., Wall G., Dupre S., Potts
S., Hogg S., Stroman D., McLean C., Topical Ciprofloxacin/Dexamethasone Otic
Suspension Is Superior Ofloxacin Otic Solution in the Treatment of Children With Acute
Media With Otorrhea Through Tympanostomy Tubes, Pediatrics 2004;113:e40–e46

8. Rosenfeld, R., Rover, M.M.,Schilder,A.G.M., Zielhuis,G.A. (2004). The Lancet Volume


363 : Seminar : Otitis Media. Diakses dari www.thelancet.com pada 30 Desember 2011.

9. Spiro DM, Tay KY, Arnold DH, et al. Wait-and-see prescription for the treatment of
acute otitis media:a randomized controlled trial. JAMA 2006;296:1235-41. (Class A)

10. Adam G.L., Boies L.R., Highler P.A., BOIES Buku Ajar Penyakit THT
(BOIESFundamentals of Otalaryngology). Edisi 6. 1997. Balai Penerbitan Buku
Kedokteran EGC
11. Nurbaiti I. Prof, Dr., Sp.THT., Efiaty A.S. Dr., Sp. THT., Buku Ajar Ilmu
KesehatanTelinga Hidung dan Tenggorok. Edisi 6. 2007. Balai Penerbit FKUI. Jakarta
Guest

Anda mungkin juga menyukai

  • Askep Asthma Bronchial
    Askep Asthma Bronchial
    Dokumen15 halaman
    Askep Asthma Bronchial
    Bayu Setyiawan
    0% (1)
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen19 halaman
    Bab I
    Maria Kusuma CandraWati
    Belum ada peringkat
  • Makalah Kesling
    Makalah Kesling
    Dokumen11 halaman
    Makalah Kesling
    Laksmi Sri Wardana
    Belum ada peringkat
  • HargaDiriRendah
    HargaDiriRendah
    Dokumen27 halaman
    HargaDiriRendah
    D'nata Ardi Prasetya
    Belum ada peringkat
  • Konsep Medis
    Konsep Medis
    Dokumen22 halaman
    Konsep Medis
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Tuli Bu Winti
    Tuli Bu Winti
    Dokumen18 halaman
    Tuli Bu Winti
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Bu Cici
    Bu Cici
    Dokumen7 halaman
    Bu Cici
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Otitis Eksternal Bu Dama
    Otitis Eksternal Bu Dama
    Dokumen16 halaman
    Otitis Eksternal Bu Dama
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • RPS Rahmawaty
    RPS Rahmawaty
    Dokumen1 halaman
    RPS Rahmawaty
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Askep Diabetes Mellitus
    Askep Diabetes Mellitus
    Dokumen19 halaman
    Askep Diabetes Mellitus
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Ringkasan Dari Jurnal
    Ringkasan Dari Jurnal
    Dokumen1 halaman
    Ringkasan Dari Jurnal
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Tuli Bu Winti
    Tuli Bu Winti
    Dokumen24 halaman
    Tuli Bu Winti
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Nikel
    Nikel
    Dokumen1 halaman
    Nikel
    mohammad idris hamdala
    Belum ada peringkat
  • ASKEP
    ASKEP
    Dokumen13 halaman
    ASKEP
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Brosur Ninda
    Brosur Ninda
    Dokumen2 halaman
    Brosur Ninda
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Bu Tina
    Bu Tina
    Dokumen17 halaman
    Bu Tina
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Gout Artritis (Kel - Ii)
    Gout Artritis (Kel - Ii)
    Dokumen3 halaman
    Gout Artritis (Kel - Ii)
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Askep Anak TB Paru Anak
    Askep Anak TB Paru Anak
    Dokumen22 halaman
    Askep Anak TB Paru Anak
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Gagal Nafas - Anak
    Gagal Nafas - Anak
    Dokumen20 halaman
    Gagal Nafas - Anak
    Sposato Con Kedju Sharma
    Belum ada peringkat
  • Anfis Muskuloskeletal (Kel.I)
    Anfis Muskuloskeletal (Kel.I)
    Dokumen6 halaman
    Anfis Muskuloskeletal (Kel.I)
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Nikel
    Nikel
    Dokumen1 halaman
    Nikel
    mohammad idris hamdala
    Belum ada peringkat
  • Tuli Bu Winti
    Tuli Bu Winti
    Dokumen24 halaman
    Tuli Bu Winti
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Askep Anak Bronkitis Alergika
    Askep Anak Bronkitis Alergika
    Dokumen8 halaman
    Askep Anak Bronkitis Alergika
    Yuktika RiYu
    Belum ada peringkat
  • Anfis Muskuloskeletal (Kel.I)
    Anfis Muskuloskeletal (Kel.I)
    Dokumen17 halaman
    Anfis Muskuloskeletal (Kel.I)
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • Askep Bronkhopneumonia
    Askep Bronkhopneumonia
    Dokumen9 halaman
    Askep Bronkhopneumonia
    bayu interisti
    Belum ada peringkat
  • Askep Oedema Paru
    Askep Oedema Paru
    Dokumen5 halaman
    Askep Oedema Paru
    Nur Hasnah Khairunnisa Al-taher
    Belum ada peringkat
  • LP Udem Paru
    LP Udem Paru
    Dokumen8 halaman
    LP Udem Paru
    ariemamamaehan
    Belum ada peringkat
  • Meningitis Tuberkulosis
    Meningitis Tuberkulosis
    Dokumen5 halaman
    Meningitis Tuberkulosis
    Putri Viruzz Maenjaa
    Belum ada peringkat
  • Askep Asma Bronchiale
    Askep Asma Bronchiale
    Dokumen15 halaman
    Askep Asma Bronchiale
    vaniafildza
    Belum ada peringkat