Anda di halaman 1dari 13

PENUGASAN BLOK TRAUMA DAN INJURY (2.

5)
FOTO RONTGEN EKTREMITAS
“FRAKTUR OS FEMUR 1/3 MEDIAL (SHAFT)”

Oleh:

KELOMPOK TUTORIAL 4

Moch. Ghazia Arun Fachrurrefi NIM. 16711088

Raden Rara Nurul Amanah NIM. 16711132

PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

2018
FOTO RONTGEN EKTREMITAS
“FRAKTUR OS FEMUR 1/3 MEDIAL (SHAFT)”

A. PERINTAH FOTO RONTGEN EKSTREMITAS ATAS DAN BAWAH YANG


BENAR
Perintah foto rontgen yang baik dan benar yaitu dengan diawali dari
meneyebutkan regio tubuh yang akan dilakukan rontgen. Setelah menyebutkan
region, permintaan selanjutnya adalah posisi pengambilan gambar dari region
tersebut. Beberapa posisi yang biasa digunakan berupa AP (Antero-Posterior), PA
(Posterior-Anterior), oblique dan lateral.
Pada kasus ini, perintah foto rontgen dapat dituliskan dengan redaksi: Rontgen
regio femur posisi AP dan Lateral.
B. SYARAT LAYAKNYA / KRITERIA FOTO RONTGEN YANG BAIK UNTUK
DIBACA
Kriteria foto rontgen yang baik untuk dibaca adalah sebagai berikut:
1. Identitas Registrasi
 Nama : M, An
 Umur : 6 tahun
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Nomor RM : 717015
 Tanggal foto : 27 Desember 2017
2. Identitas Sisi
Terdapat marker berupa L yang menunjukkan bagian kiri.
3. Kualitas Sinar X
Cukup, tidak terlalu opaq dan lusen.
4. Rules of Two
 Foto diambil melalui 2 posisi (two view)
Foto harus mencakup 2 posisi daerah fraktur, yaitu posisi AP (antero-
posterior) dan posisi lateral.
 Foto diambil melewati 2 sendi (two joints)
Foto harus mencakup sendi yang berada di atas dan di bawah dari daerah fraktur.
 Foto diambil melalui 2 posisi (two limbs)
Khusus pada anak-anak, gambaran pada epifisis menyerupai garis
fraktur karena adanya lempeng epifisis, oleh karena itu, diperlukan foto dari
ektremitas pada sisi yang tidak mengalami trauma / normal. Two limb
biasanya digunakan hanya pada anak.
 Foto juga mengambil tulang terdekat (two injuries)
Seringkali trauma tidak hanya menyebabkan fraktur pada satu daerah
saja, sehingga gambaran tulang terdekat penting untuk dilakukan untuk
ketahui adanya fraktur multipel yang terjadi. Contohnya pada fraktur os femur,
foto rontgen yang diambil meliputi foto os femur dan os pelvis.
 Foto terkadang pelu diambil ulang (two occasion)
Terdapat beberapa jenis fraktur yang sulit dinilai segera setelah
terjadinya trauma, sehingga diperlukan pemeriksaan 1-2 minggu setelahnya
untuk melihat fraktur yang terjadi. Contohnya pada fraktur ujung distal os
clavicula, schapoid, leher femur, dan meleolus lateral.
5. Foto tidak terpotong

C. INTREPRETASI HASIL PEMBACAAN FOTO RONTGEN EKTREMITAS


ATAS DAN BAWAH YANG BENAR DAN ALASAN MEMILIH
INTREPRETASI KASUS
1. Struktur dan trabekulasi tulang
Trabekulasi baik. Bagian korteks dan medulla tulang terlihat dengan jelas.
2. Soft Tissue
 Irregularitas soft tissue: Tidak tampak adanya perlukaan
 Soft tissue swelling : Tidak terlihat adanya pembengkakan
 Emfisema subkutis : Tidak ada lusensi pada daerah subkutan
 Kalsifikasi : Tidak terlihat adanya kalsifikasi
 Corpal : Tidak terlihat adanya benda asing
3. Joint
Tidak terdapat adanya pergeseran pada sendi bagian proksimal maupun distal
fraktur
4. Fraktur
 Lokasi fraktur : Os femur 1/3 media (shaft)
 Regio : Femoral
 Jenis fraktur : Tertutup dan kominutif
 Tipe fraktur : segmental
 Fraktur displaced :
- Aposisi parsial
- Alignment (-)
- Angulation (-)
- Overlapping
 New fracture

D. ALASAN MEMILIH INTREPRETASI KASUS


Hasil foto rontgen femur kiri, regio AP dan lateral tersebut, menurut kelompok
kami memiliki interpretasi sebagai berikut:
Jaringan disekitar fraktur tidak mengalami perubahan, baik berupa
pembengkakan, kalsifikasi ataupun emfisema pada subkutis. Tulang yang fraktur
masih memiliki trabekulasi yang baik.
Pada foto rontgen, tampak gambaran fraktur tertutup dari tulang femur sebelah
kiri di 1/3 media. Dilihat dari tipe fraktur berdasarkan garisnya, fraktur tersebut dapat
digolongkan menjadi fraktur kominutif, karena garis fraktur lebih dari satu dan saling
berhubungan.
Pada kedua sisi tulang, tampak periosteum yang rusak yang membuat fraktur
termasuk menjadi fraktur komplit. Fraktur mengalami displaced dengan aposisi
parsial, karena pada kedua segmen fraktur masih terdapat bagian yang saling
menempel. Alignment tampak kurang, karena menjauhi sumbu normal. Pada foto,
terdapat angulasi pada fraktur. Selain itu, fraktur mengalami overlapping sehingga
pada foto, tulang terkesan menumpuk. Fraktur terlihat masih baru, karena pada foto
tidak terlihat adanya kalus.

E. KASUS : FRAKTUR SHAFT FEMORALIS (SHAFT FEMORALIS


FRACTURE)
1. DEFINISI
Os femur adalah tulang tubular terpanjang, terkuat, dan terberat dalam
tubuh manusia dan salah satu tulang penopang utama beban di ekstremitas
bawah[1,2].

Fraktur shaft femoralis (shaft femoralis fracture) merupakan suatu keadaan


diskontinuitas tulang pada daerah diafisis dari os femur. Penyebab dari fraktur
tersebut diakibatkan karena trauma, baik trauma berenergi tinggi dan trauma
berenergi rendah. Penyebab pada sebagian besar kasus adalah trauma berenergi
tinggi, terutama akibat kecelakaan lalu lintas kendaraan bermotor atau jatuh dari
tempat tinggi (80-90%) yang biasanya terjadi pada populasi berusia muda [3,4].
Fraktur yang disebabkan oleh trauma berenergi rendah biasanya terjadi pada
populasi dengan usia di atas 60, biasanya ditemukan pada populasi dengan tulang
osteoporosis, pasien trauma akibat jatuh dari berdiri, atau terkait prostesis[3,5].
Shaft femoralis jarang menjadi tempat fraktur akibat trauma berenergi rendah
pada individu yang sehat[6].
Energi yang cukup besar pada trauma sangat berkontribusi dalam terjadinya
cedera multipel. Keadaan tersebut dapat menyebabkan banyaknya patah tulang
yang sering menimbulkan cedera pada struktur lain, terutama di pinggul dan lutut
secara ipsilateral pada tempat fraktur shaft femoralis yang kejadian tersebut
seringkali tidak terdiagnosis[6].

Fraktur shaft femoralis seperti dijelaskan pada paragraf sebelumnya,


merupakan fraktur yang sebagian besar merupakan akibat dari trauma berenergi
tinggi, oleh karena alasan tersebut fraktur ini sering dikaitkan bersamaan dengan
kondisi yang mengancam jiwa, dapat menyebabkan cacat yang penting, dan
biasanya berhubungan dengan cedera bertingkat[6].

Komplikasi dan cedera yang terkait dengan fraktur shaft femoralis pada
orang dewasa itulah yang kerap dikaitkan dengan hal mengancam jiwa, mungkin
termasuk diantaranya adalah dikarenakan adanya perdarahan, cedera organ
internal, infeksi luka, emboli lemak, dan sindrom gangguan pernapasan
dewasa[3,7].

Berkenaan dengan tipe fraktur shaft femoralis, banyak klasifikasi yang ada
dalam literatur pada subjek, berdasarkan lokasi fraktur dan geometri, kominusi,
ada tidaknya cedera pada jaringan lunak, dan ada tidaknya cedera terkait. Namun,
dalam praktiknya, tidak satu pun dari klasifikasi ini diterima secara luas.
Klasifikasi yang sering digunakan adalah klasifikasi dari OTA, Winquist et al,
dan Gustilo et al[6].

Klasifikasi OTA (The Orthopaedic Trauma Association), mendefinisikan 27


pola fraktur pada bagian diafisis os femur berdasarkan lokasi fraktur (proksimal,
mid-shaft atau distal), anatomi (melintang atau oblique),dan derajat kominusi.
Klasifikasi ini tidak berimplikasi pada terapi atau prognosis[6].
Gambar 1. Klasifikasi fraktur femur pada bagian diafisis menurut OTA
(The Orthopaedic Trauma Association) [8].

Klasifikasi Winquist et al, mendefinisikan berdasarkan tingkat kominusi.


Klasifikasi ini berimplikasi terapeutik. Empat jenis didefinisikan sebagai berikut:
tipe I, dengan kominusi tidak ada atau minimal; tipe II, dengan kominitas kurang
dari 50% dari lingkar shaft femur; tipe III, dengan kominusi mempengaruhi 50-
100% keliling dari kedua fragmen utama; dan tipe IV, dengan kominusi shaft
melingkar dan tidak ada kontak antara bagian kortikal dari fragmen yang lebih
besar setelah reduksi. Implikasi terapeutik tipe I dan II untuk menahan
pemendekan dan malrotasi yang membutuhkan paku intramedulla non-locking,
sedangkan tipe III dan IV membutuhkan paku pengunci distal dan proksimal[6].

Gambar 2. Klasifikasi fraktur femur pada bagian diafisis menurut Winquist


et al[8].
Klasifikasi Gustilo et al mendefinisikan berdasarkan adanya fraktur terbuka
yang terjadi dibagi menjadi 3 tipe yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan
berat ringannya fraktur, yaitu tipe I, II, dan III. Tipe III dapat dibagi kembali
menjadi tiga subtipe, yaitu tipe IIIA, IIIB dan IIIC[9].

Tabel 1. Klasifikasi fraktur menurut Gustilo et al[9].

Tindakan pencegahan terhadap fraktur shaft femoralis dapat dilakukan


dengan fokus pada perlindungan pengemudi mobil, terutama pria muda, dan pada
pengobatan osteoporosis yang efektif pada wanita lansia[10].

2. PREVALENSI KASUS

Suatu studi epidemiologi dan morfologi selama periode 10 tahun di daerah


semi-perkotaan menunjukkan pada populasi dewasa rata-rata 202.592 penduduk,
terdapat 192 orang menderita fraktur shaft femoralis traumatis. Insidensinya
berkisar 9,9-12 untuk setiap 100.000 orang / tahun, dimana 60% terjadi pada pria
dan 40% pada wanita. Usia rata-rata terjadi pada usia 25 tahun, dengan puncak
insiden spesifik jenis kelamin, pada pria antara usia 15 dan 24 tahun dan pada
wanita berusia 75 tahun atau lebih tua. Insiden tersebut 75% (151 insiden)
merupakan hasil dari trauma berenergi tinggi, 131 di antaranya terjadi dalam
kecelakaan lalu lintas jalan. Terdapat pula 50 insidensi fraktur akibat trauma
berenergi rendah[6,10].

Fraktur pada 1/3 diafisis os femur adalah 79% dari kejadian fraktur pada
studi ini. Mayoritas, 155 insiden (77%), dari semua fraktur adalah transversus,
oblique, atau transversus-oblique. Mengenai tingkat kominusi, klasifikasi fraktur
Winquist et all Grade 0 (non-kominusi) adalah yang paling umum. Sedangkan
berdasarkan klasifikasi OTA, 48% adalah Tipe A, 39% adalah Tipe B, dan 13%
adalah tipe C fraktur. Menurut klasifikasi gustilo et al, studi tersebut juga
mendapatkan bahwa dari 25 insiden fraktur terbuka diafisis os femur, 14 insiden
adalah Tipe II, 6 insiden tipe III adalah Tipe IIIA[10].

3. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko insiden fraktur shaft femoralis, terutama pada bagian diafisis
karena trauma berenergi berat adalah yang terbesar pada pria muda. Pasien yang
kurang dari usia 40 tahun lebih mungkin untuk mengalami trauma berenergi
tinggi (misalnya, kecelakaan kendaraan bermotor), sementara mereka yang
berusia di atas usia 40 tahun lebih mungkin untuk mengalami trauma berenergi
[11]
rendah (misalnya, jatuh) . Sekitar 80% pasien berusia 35 tahun atau lebih
dengan fraktur femur karena trauma berenergi moderat memiliki riwayat
sebelumnya dari osteopenia umum atau kondisi yang mungkin menyebabkan
osteopenia lokal, sedangkan pada orang dewasa yang lebih tua, jatuh energi
rendah adalah penyebab paling umum, terhitung 65 persen dari fraktur[12].
Penggunaan obat bifosfonat untuk mengatasi osteoporosis untuk jangka panjang
juga dapat meningkatkan risiko fraktur pada os femur, termasuk fraktur shaft
femoralis, namun hal tersebut dapat dikurangi dengan penggunaan “holiday” atau
jeda dalam penggunaan obat bifosfonat[13]. Selain itu, kecelakaan industri dan
luka tembak menyebabkan sebagian besar fraktur os femur lainnya.

4. PEMERIKSAAN LOOK, FEEL, MOVE


a. Evaluasi Awal
1) Gejala yang timbul pada awal pasien datang, misalnya sakit / nyeri pada
bagian paha.
2) Advanced Trauma Life Support (ATLS) harus dimulai segera, yaitu
dengan menggunakan metode survei primer yang meliputi ABCDE
(Airway maintenance with cervical spine protection, Breathing and
ventilation, Circulation with hemorrhage control, Disability / neurologic
assessment, Exposure and environmental control) dan metode survei
sekunder setelah survei primer selesai dilakukan dengan syarat pasien
sudah dalam keadaan stabil, yaitu untuk mengevaluasi head-to-toe
pasien trauma, termasuk penilaian ulang seluruh vital sign. Jika
ditemukan fraktur terbuka, setelah ATLS selesai dilakukan tindakan
operatif harus segera dilakukan[4]. ATLS sangat penting dilakukan
karena kehilangan darah dalam fraktur shaft femoralis tertutup dapat
mencapai 1000-1500 ml, sedangkan pada fraktur terbuka dapat menjadi
dua kali lipat dari fraktur tertutup[14].
b. Pemeriksaan Fisik
1) Look
Pada pemeriksaan look dengan cara inspeksi ditemukan tegang dan
bengkak pada bagian paha. Tanda inflamasi seperti kemerahan atau
hematom juga sering menyertai, jika disertai luka terbuka, seperti pada
fraktur terbuka juga terlihat luka pada bagian paha baik disertai penetrasi
tulang maupun tidak. Pada bagian kaki yang fraktur sering ditemukan
mengalami pemendekan[4].
2) Feel
Pemeriksaan feel biasanya dilakukan dengan cara palpasi baik
menggunakan tangan pemeriksa. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan
untuk mengetahui kondisi di sekitar daerah fraktur dan juga kondisi
neurovaskular. Sering ditemukan tanda inflamasi peningkatan suhu pada
daerah fraktur. Ditemukan pula krepitasi pada palpasi daerah fraktur.
Untuk kondisi neurovaskular, penting untuk dilakukan palpasi pembuluh
darah pada bagian distal dan palpasi untuk ketahui adanya nyeri /
paresthesia yang terjadi[4].
3) Move
Pemeriksaan move bisasanya dilakukan untuk mengetahui ROM (Range
of Motion) sendi terdekat pada bagian fraktur. Pada fraktur shaft
femoralis seringkali sulit karena nyeri akibat fraktur. Pemeriksaan dapat
dilakukan secara aktif dengan cara pemeriksa meminta pasien untuk
menggerakkan sendiri, atau dengan cara pasif dimana pemeriksa
menggerakkan secara hati-hati bagian yang akan diperiksa[4].

5. TINDAKAN IMOBILISASI YANG BISA DILAKUKAN SEBELUM


DILAKUKAN TINDAKAN LANJUT
Prinsip pertolongan pertama untuk fraktur femur adalah prinsip transportasi
dari pasien yang terluka. Kaki yang fraktur harus dilindungi dengan baik sehingga
cedera lebih lanjut dapat dicegah hingga pasien dibawa dan tiba di rumah sakit.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa penahanan perdarahan sangat penting,
tetapi oleh ahli bedah fraktur menyatakan bahwa transportasi yang baik, sama
pentingnya dengan penahanan perdarahan pada keadaan ini. ImobiIisasi yang
memadai dengan bidai sederhana atau mengikat kedua kaki bersama adalah
mustahil untuk kondisi ini karena pemindahan/pengangkatan pasien dengan cara
imobilisasi tersebut masih dapat menyebabkan kerusakan yang tidak dapat
diperbaiki. Imobilisasi yang baik digunakan dalam keadaan ini ada dengan
penggunaan traksi tetap yang selanjutnya dilakukan pembidaian[15].

Gambar 3. Imobilisasi dengan traksi tetap dan pembidaian[15].

Pasien tidak boleh dipindahkan dari tempat kejadian sampai traksi tetap telah
digunakan. Tidak ada pakaian yang dihilangkan/ditekuk dari tempat fraktur,
kecuali ada indikasi lainnya. Jika diagnosis tidak dibuat dengan kepastian yang
cukup, sementara pakaian tetap pada pasien dan diperlakukan sebagai bagian dari
patah tulang serta ikut dalam perlakuan pembidaian. Penggunaan kantung pasir
untuk mengurangi imobilisasi disekitar tempat fraktur juga dapat digunakan[15].
Transportasi dengan menggunakan traksi tetap dan pembidaian ini dapat
mengurangi rasa nyeri akibat mobilitas daerah fraktur serta mencegah komplikasi
yang dapat terjadi pada kasus ini, seperti terjadinya paralisis sirkulasi perifer[15].
DAFTAR PUSTAKA

1. Moore KL, Agur AM. Clinically Oriented Anatomy, 6th ed, Williams & Wilkins, Baltimore.
2009.
2. Whittle AP. Fractures of the lower extremity. In: Campbell's Operative Orthopedics, 11th ed,
Canale ST, Beatty JH (Eds), Mosby, St. Louis 2008 : 3190.
3. Moriarity, A., Ellanti, P., & Hogan, N. A low-energy femoral shaft fracture from performing
a yoga posture. BMJ case reports; 2015.
4. Giannoudis, P. V., Papakostidis, C., & Roberts, C. A review of the management of open
fractures of the tibia and femur. Bone & Joint Journal. 2006; 88(3): 281-289.
5. Rodriguez-Merchan, E. C., Moraleda, L., & Gomez-Cardero, P. Injuries associated with
femoral shaft fractures with special emphasis on occult injuries. Archives of bone and joint
surgery. 2013; 1(2): 59.
6. Nork SM. Fractures of the shaft of the femur. In: Rockwood and Green's Fractures in Adults,
7th ed. Bucholz RW, Heckman JD, Court-Brown CM, et al (EDS). Lippincott, Williams &
Wilkins, Philadelphia. 2010 : 1656.
7. Keel M, Trentz O. Pathophysiology of polytrauma Injury. 2005; 36: 691.
8. Orthobullets. Femoral Shaft Fractures. https://www.orthobullets.com/trauma/1040/femoral-
shaft-fractures [Diakses tanggal 23 April 2018]
9. Neto, F. C. J., de Paula Canal, M., Alves, B. A. F., Ferreira, P. M., Ayres, J. C., & Alves, R.
Analysis of the characteristics of patients with open tibial fractures of Gustilo and Anderson
type III. Revista Brasileira de Ortopedia (English Edition). 2016; 51(2): 143-149.
10. Salminen, S. T., Pihlajamäki, H. K., Avikainen, V. J., & Böstman, O. M. Population based
epidemiologic and morphologic study of femoral shaft fractures. Clinical Orthopaedics and
Related Research. 2000; 372: 241-249.
11. Agrawal S, Krueger DC, Engelke JA, et al. Between-meal risedronate does not alter bone
turnover in nursing home residents. Journal of the American Geriatrics Society. 2006; 54:
790.
12. Kuehn BM. Zoledronic acid risks. JAMA. 2009; 302: 838.
13. Whitaker M, Guo J, Kehoe T, Benson G. Bisphosphonates for osteoporosis- where do we go
from here? The New England Journal of Medicine. 2012; 366: 2048.
14. Subcommittee, A. T. L. S., Tchorz, K. M., & International ATLS working group. Advanced
trauma life support (ATLS®): the ninth edition. The Journal Of Trauma And Acute Care
Surgery. 2013. 74(5); 1363.
15. Mulholland, J. H. First aid treatment of fracture of femur and hip. The American Journal of
Surgery. 1937; 36(1): 323-327.

Anda mungkin juga menyukai