Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala merupakan serangkaian serangkaian kejadian patofisiologik

yang terjadi setelah trauma kepala, yang dapat melibatkan setiap komponen, mulai

dari kulit kepala ,tulang dan jaringan otak atau kombinasinya. 1 Cedera kepala

merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan kematian yang cukup tinggi

dalam neurologi.2 Menurut sebaran kelompok usia, cedera kepala lebih banyak terjadi

pada pasien dengan usia produktif.3

Prevalensi nasional cedera kepala menurut Riskesdas 2013 adalah 8,2%,

meningkat 0,7% dibandingkan tahun 2007.4 Kejadian cedera kepala di Indonesia

setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10%

penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari pasien yang sampai di rumah

sakit, 80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera

sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala berat.1

Cedera kepala merupakan keadaan serius, sehingga diharapkan dokter

mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada

penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan

darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak

sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan

kesembuhan penderita. Tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey

adalah identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan dengan

melakukan pemeriksaan CT Scan kepala.5


BAB II

PEMBAHASAN

1. DEFINISI

Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang

menimpa struktur kepala sehingga menimbulkan kelainan struktural dan atau

gangguan fungsional jaringan otak.6 Menurut Brain Injury Association of America,

cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital

ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar,

yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang menimbulkan kerusakan

kemampuan kognitif dan fungsi fisik.7

2. KLASIFIKASI

Secara praktis, cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan mekanisme

terjadinya, tingkat keparahan, dan morfologi cedera kepala.

2.1 Mekanisme Cedera Kepala

a. Cedera kepala tumpul

Cedera kepala ini dapat terjadi pada :

 kecepatan tinggi, contohnya berhubungan dengan kecelakaan mobil-

motor

 kecepatan rendah, biasanya disebabkan karena jatuh dari ketinggian atau

dipukul dengan benda tumpul

b. Cedera kepala tembus

Cedera ini dapat disebabkan oleh :


 cedera peluru

 cedera tusukan

Penetrasi duramater dapat menentukan apakah suatu cedera kepala tergolong

cedera kepala tembus atau tumpul.8

2.2 Tingkat Keparahan Cedera Kepala

Glasgow Comma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif

kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam mendeskripsikan

beratnya cedera kepala.6 Penilaian GCS terdiri dari 3 komponen :

 Proses membuka mata (Eye Opening)

 Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response)

 Reaksi bicara (Best Verbal Response)

Tabel 1 : Penilaian GCS6


Berdasarkan skor GCS, cedera kepala diklasifikasikan menjadi :

 Cedera kepala ringan  GCS 14-15

 Cedera kepala sedang  GCS 9-13

 Cedera kepala berat  GCS 3-8

2.3 Morfologi Cedera Kepala

Secara morfologi, cedera kepala terbagi menjadi :

 Fraktur kalvaria

o Dapat berbentuk garis atau bintang

o Depresi atau non depresi

o Terbuka atau tertutup

 Fraktur basis cranii

o Dengan atau tanpa kebocoran LCS

o Dengan atau tanpa paresis N.VII

 Lesi intrakranium  dapat digolongkan menjadi :

o Lesi fokal

 Perdarahan epidural (EDH)

 Perdarahan subdural (SDH)

 Perdarahan intraserebral (ICH)

o Lesi difus

 Komosio ringan

 Komosio klasik

 Cedera akson difus8


3. ETIOLOGI

3.1 Mekanisme Terjadinya Lesi pada Cedera Kepala

Terdapat beberapa hipotesis mengenai mekanisme terjadinya lesi pada

trauma kepala :

a. Getaran otak

Trauma kepala menyebabkan seluruh tengkorak beserta isinya bergetar.

Kerusakan yang terjadi tergantung pada besarnya getaran. Makin besar

getarannya makin besar kerusakan yang ditimbulkan.8

b. Deformasi tengkorak

Benturan pada tengkorak menyebabkannya menggepeng pada tempat

benturan itu. Tulang yang menggepeng ini akan membentur jaringan di

bawahnya dan menimbulkan kerusakan pada otak. Pada sisi seberangnya,

tengkorak bergerak menjauh dari jaringan otak di bawahnya sehingga

timbul ruangan vakum yang dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh

darah.8

c. Pergeseran otak

Benturan kepala menyebabkan otak bergeser mengikuti arah gaya

benturan. Gerakan geseran lurus disebut juga gerakan translasi. Geseran ini

menimbulkan lesi bila permukaan dalam tengkorak kasar seperti yang

terdapat di dasar tengkorak. Kelambanan otak karena konsistensinya yang

lunak menyebabkan gerakannya tertinggal terhadap gerakan tengkorak. Di

daerah seberang gerakan otak akan membentur tulang tengkorak dengan

segala akibatnya.8
d. Rotasi otak

Rotasi otak dapat terjadi pada bidang sagittal, horizontal, koronal dan

kombinasinya. Gerakan berputar ini tampak di semua daerah kecuali

daerah frontal dan temporal. Di daerah dimana otak dapat bergerak,

kerusakan otak yang terjadi sedikit atau tidak ada. Kerusakan terbesar

terjadi di daerah yang tidak dapat bergerak atau terbatas gerakannya, yaitu

daerah frontal di fossa cerebri anterior dan daerah temporal di fossa cerebri

media. Karena sulit bergerak, jaringan otak di daerah ini mengalami

regangan yang mengakibatkan kerusakan pada pembuluh darah dan serat-

serat saraf.8

3.2 Penyebab Trauma Kepala

Penyebab utama terjadinya cedera kepala adalah sebagai berikut :

a. Kecelakaan lalu lintas

b. Jatuh

c. Kekerasan tumpul maupun tajam6

4. PATOFISIOLOGI

1. Cedera Otak Primer

Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan mekanik

yang merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan

perdarahan). Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan

seperti akselerasi rotasi, kompresi, dan distensi akibat dari akselerasi atau

deselerasi. Tekanan itu mengenai tulang tengkorak, yang dapat memberi efek
pada neuron, glia, dan pembuluh darah, dan dapat mengakibatkan kerusakan

lokal, multifokal ataupun difus.8

Keadaan setelah cedera kepala dapat dibagi menjadi14 :

1. Fase awal (segera, dengan hipoperfusi)

2. Fase intermediate (hari ke-1 – 3, tampak hiperemi)

3. Fase lanjut vasospastik (hari ke-4 – 15, dengan reduksi aliran darah)

Secara anatomis, cedera otak primer dapat dikelompokkan menjadi cedera

fokal dan cedera difus.14

Tabel 3 : Klasifikasi Cedera Fokal dan Difus8

Cedera Otak Fokal

Cedera otak fokal secara tipikal menimbulkan kontusio serebri dan

traumatik intrakranial hematoma.14

 Kontusio serebri (memar otak)

Kontusio serebri adalah memar pada jaringan otak yang disebabkan

oleh trauma tumpul maupun cedera akibat akselerasi dan deselerasi yang

dapat menyebabkan kerusakan parenkim otak dan perdarahan mikro di

sekitar kapiler pembuluh darah otak. Pada kontusio serebri terjadi


perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat

mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Pada

beberapa kasus kontusio serebri dapat berkembang menjadi perdarahan

serebral. Namun pada cedera berat, kontusio serebri sering disertai dengan

perdarahan subdural, perdaraham epidural, perdarahan serebral ataupun

perdarahan subaraknoid.15

Gambar 1 : Mekanisme Terjadinya Kontusio Serebri15

Penyebab penting terjadinya lesi kontusio adalah akselerasi kepala

yang juga menimbulkan pergeseran otak dengan tulang tengkorak serta

pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat akan

menyebabkan hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang

batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blokade reversibel terhadap

lintasan asendens retikularis difus. Akibat hambatan itu, otak tidak mendapat

input aferen sehingga kesadaran hilang selama blokade reversibel

berlangsung.3

Kontusio serebri dapat dibagi berdasarkan mekanisme, lokasi anatomi,

atau cedera yang berdekatan. Misalnya, fraktur kontusio akibat dari cedera

kontak langsung dan terjadi segera disebelahnya dengan fraktur tulang


tengkorak. Coup merujuk kepada trauma yang terjadi di lokasi dampak

dengan tidak adanya patah tulang, sedangkan contrecoup adalah sisi yang

berlawanan dengan titik dampak. Gliding adalah perdarahan fokal

melibatkan korteks dan white matter yang berdekatan dari margin superior

dari hemisfer serebri; terjadi karena mekanisme rotasi daripada tenaga

kontak. Intermediary adalah lesi yang mempengaruhi struktur otak dalam,

seperti korpus calosum, ganglia basal, hipotalamus, dan batang otak.

Herniasi dapat terjadi di daerah medial lobus temporal pada tepi tentorial

(yaitu, uncal herniasi) atau di mana tonsil serebelum menghubungi foramen

magnum (yaitu, tonsillar herniasi).15

Gambar 2 : Herniasi Intrakranial15

 Hematoma intrakranial traumatic

o Epidural hematoma (EDH)

EDH adalah adanya darah di ruang epidural yaitu ruang potensial antara

tabula interna tulang tengkorak dan duramater. EDH dapat menimbulkan

penurunan kesadaran, adanya lusid interval selama beberapa jam dan

kemudian terjadi defisit neurologis berupa hemiparesis kontralateral dan


dilatasi pupil ipsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit

kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.

o Subdural hematoma (SDH)

Perdarahan subdural adalah perdarahan antara duramater dan arachnoid,

yang biasanya meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 yaitu :

- SDH akut

SDH akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi

akut (0-2 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil

dipermukaan korteks cerebri. Gejala klinis berupa sakit kepala,

perasaan mengantuk, dan kebingungan, respon yang lambat, serta

gelisah. Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi

ipsilateral pupil. Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan

cedera otak besar dan cedera batang otak

- SDH subakut

Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 2-14 hari setelah cedera

dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat. Tekanan

serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat

kesadaran.

- SDH kronis

Terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang

subdural. Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran

vaskuler dan secara pelan-pelan ia meluas, bisanya terjadi lebih dari 14


hari. Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau

beberapa bulan. Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi

pupil dan motorik.

o Intracerebral hematoma (ICH)

Intracerebral Hematoma adalah area perdarahan yang homogen dan

konfluen yang terdapat di dalam parenkim otak. ICH bukan disebabkan

oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi

disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang

menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu

di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal.

o Subarachnoid hematoma (SAH) Traumatik

Perdarahan subarahnoid diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah

kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma

dapat memasuki ruang subarahnoid.

Cedera Otak Difus

Cedera otak difus merupakan efek yang paling sering dari cedera kepala dan

merupakan kelanjutan klinis cedera kepala, mulai dari gegar otak ringan sampai

koma menetap pasca cedera. Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena

gaya akselerasi dan deselerasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan

bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah

dalam. Vasospasme luas pembuluh darah dikarenakan adanya perdarahan

subarahnoid traumatika yang menyebabkan terhentinya sirkulasi di parenkim


otak dengan manifestasi iskemia yang luas, edema otak disebabkan karena

hipoksia akibat renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai cedera kepala difus.

Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi, cedera kepala difus

dikelompokkan menjadi :

 Benturan (concussion cerebri)

Benturan adalah bentuk paling ringan dari cedera difus dan dianggap

karena gaya rotasional akselerasi kepala dengan tidak adanya kontak

mekanik yang signifikan. Dalam bentuk klasik, penderita benturan

mengalami kehilangan kesadaran sementara dan cepat kembali ke keadaan

normal kewaspadaan. Meskipun, gegar otak ini tidak berbahaya seperti yang

diduga sebelumnya, tetapi benturan berulang sering mengakibatkan

gangguan neurologis permanen.

Patofisiologi benturan kurang dipahami dan mungkin karena gangguan

kesadaran dari lesi batang otak dan diencephalon. Penelitian menunjukkan

bahwa pasien dengan benturan otak sering memiliki keterlibatan cedera otak

difus, dan lesi batang otak jauh lebih jarang. Cedera otak difus

menggambarkan keadaan odema sitotoksik meskipun gambaran CT scan

normal dan GCS 15.

 Cedera akson difus (diffuse axon injury)

Difus Axonal Injury (DAI) adalah keadaan dimana serabut subkortikal

yang menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak

(serabut proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam


satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghubungkan inti-inti

permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan.

Pada DAI ringan dan sedang umumnya tidak terdapat kelainan pada

pemeriksaan radiologi baik CT-scan dan MRI. Namun pada pemeriksaan

mikroskopis akan dijumpai akson-akson yang membengkak dan putus.

Mekanisme utama terjadinya DAI adalah akibat dari pergerakkan rotasional

dari otak saat akselerasi dan deselerasi. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan

densitas dari jaringan otak yaitu jaringan white matter lebih berat

dibandingkan grey matter. Pada saat otak mengalami rotasi akibat kejadian

akselerasi-deselerasi, jaringan dengan densitas lebih rendah bergerak lebih

cepat dibandingkan dengan jaringan dengan densitas lebih besar. Perbedaan

kecepatan inilah yang menyebabkan robekan pada akson neuron yang

menghubungkan grey matter dan white matter.

Terdapat dua fase dari cedera aksonal pada DAI yaitu fase pada cedera

primer dan cedera sekunder atau fase lambat. Pada cedera primer robekkan

akson terjadi akibat regangan saat kejadiaan. Sedangkan pada fase lambat

terjadi perubahan biokimia yang mengakibatkan pembengkakan dan

putusnya akson-akson. Perubahan biokimia yang terjadi yaitu peningkatan

influks natrium yang juga memicu influks kalsium. Peningkatan kadar

kalsium ini akan menyebabkan aktifnya calsium-mediated proteolysis.

Kerusakan akson menyebabkan kerusakan dari pengangkutan sehingga

terjadi penunmpukan di dalam akson yang membengkak. Kerusakan akson

yang luas akan menyebabkan atrofi otak dengan ventrikulomegali yang


dapat menyebabkan kejang, spastisitas, penurunan fungsi intelektual dan

yang paling berat adalah vegetative state.

4. Cedera Otak Sekunder

Setelah cedera primer dapat terjadi cedera sekunder pada otak, yaitu semua

kejadian atau perubahan yang merupakan beban metabolik baru pada jaringan

yang sudah mengalami cedera.16,17 Cedera sekunder menyebabkan kematian sel

neuron melalui mekanisme secondary brain damage dan secondary brain insult.

Secondary brain damage terjadi sesudah aktivasi langsung dari proses

imunologi dan biokimia yang merusak dan berpropagasi secara otomatis.

Mediator biokimia dan inflamasi diantaranya adalah: asidosis laktat, influx

kalsium, asam amino eksitatorik, asam arakhidonat, oksida nitrit, radikal bebas,

peroksida lipid, aktivitas komplemen, sitokin, bradikinin, makrofag, dan

pembentukan edema. Sementra secondary brain insult timbul sebagai akibat

dari perburukan sistemik maupun patofisiologi intrakranial dan memperberat

kerusakan neuron. Hal ini merupakan jalur akhir terjadinya proses iskemia otak.

Beberapa gejala yang dapat timbul adalah hipoksemia, hipotensi, hiperkapnia,

hipokapnia, hipertermia, hiperglikemia, hipoglikemia, hiponatremia,

hipoproteinemia, peningkatan tekanan intrakranial, kejang, vasospasme dan

infeksi.17,18
Gambar 3 : Patofisiologi Cedera Kepala Sekunderl19

5. GEJALA KLINIS

Tanda-tanda klinis yang dapat membantu diagnosis6 :

a. Battle sign (kebiruan atau ekimosis di belakang telinga di atas os mastoid)

b. Hemotimpanium (perdarahan di daerah membran timpani telinga)

c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)

d. Rhinorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari hidung)

e. Otorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga)

Tanda atau gejala klinis pasien dengan trauma kepala ringan6 :

 Pasien tertidur atau kesadaran menurun selama beberapa saat (beberapa detik

sampai menit saja) kemudian sadar kembali

 Dapat terjadi amnesia retrograde1

 Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan

 Mual dan atau muntah

 Gangguan tidur dan nafsu makan menurun


 Perubahan kepribadian diri

 Letargik

 Tidak ditemukan kelainan CT-scan dan pemeriksaan LCS normal1

Tanda atau gejala klinis pasien dengan trauma kepala sedang1 :

 Penurunan kesadaran dapat berlangsung hingga beberapa jam

 Didapatkan tanda neurologis abnormal

 Terdapat edema atau kontusio serebri

 Terjadi drowsiness atau confusion yang bertahan selama beberapa minggu

 Gangguan fungsi kognitif maupun perilaku dalam beberapa bulan bahkan dapat

permanen

Tanda atau gejala klinis pasien dengan trauma kepala berat6 :

 Tanda tanda cardinal yang menunjukkan perubahan tekanan di otak baik itu

meningkat maupun menurun

 Perubahan ukuran pupil (pupil anisokor)

 Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan)

 Apabila didapatkan peningkatan TIK, terdapat abnormalitas pergerakan atau

posisi ekstremitas

Indikasi trauma kepala yang perlu dibawa ke rumah sakit adalah2 :

 GCS <15 pada pemeriksaan awal. Jika diduga karena alkohol, observasi selama

2 jam. Jika GCS tetap <15 segera bawa ke rumah sakit

 Terdapat post traumatic seizure

 Terdapat tanda defisit neurologis


 Terdapat tanda-tanda fraktur tengkorak (adanya otorrhoe, rhinorrhoe,

periorbital ecchymosis, hemotimpanium, battle sign)

 Penurunan kesadaran

 Rasa baal pada tubuh

 Nyeri kepala berat dan persisten

 Muntah berulang (>2 kali)

 Adanya amnesia post traumatik (>5 menit)

 Terdapat amnesia retrogard (>30 menit)

 Mekanisme trauma yang beresiko besar, seperti kecelakaan lalu lintas, jatuh

dari ketinggian

 Usia pasien >50 tahun12

 Pasien anak-anak12

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan pada kasus cedera kepala antara lain :

a. Foto polos kepala. Foto polos kepala memiliki sensitivitas dan spesifisitas

rendah dalam mendeteksi perdarahan intrakranial. Semanjak adanya CT-scan

kepala, foto polos kepala mulai ditinggalkan dan CT-scan kepala lebih

direkomendasikan dalam kasus cedera kepala.2 Indikasi pemeriksaan foto polos

kepala12 :

 Kehilangan kesadaran, amnesia

 Nyeri kepala menetap

 Gejala neurologis fokal

 Jejas pada kulit kepala


 Kecurigaan luka tembus

 Keluar LCS atau darah dari hidung atau telinga

 Deformitas tulang kepala yang terlihat atau teraba

 Kesulitan dalam penilaian klinis : mabuk, intoksikasi obat, epilepsi, anak

 Pasien dengan GCS 15, tanpa keluhan dan gejala tetapi mempunyai resiko :

benturan langsung atau jatuh pada permukaan keras, usia >50 tahun

b. CT-scan kepala. CT-scan kepala merupakan standar baku untuk mendeteksi

perdarahan intrakranial. Semua pasien GCS <15 sebaiknya menjalani

pemeriksaan CT-scan. Indikasi CT-scan kepala10-11 :

 Mata hanya membuka bila dirangsang sakit (GCS ≤12)

 Terdapat penurunan kesadaran (GCS ≤14) dan tidak membaik dalam 1 jam

setelah diobservasi maupun 2 jam setelah trauma

 Terdapat fraktur atau depresi pada dasar tengkorak atau trauma penetrasi

 Terdapat penurunan kesadaran atau tanda defisit neurologis baru

 Kesadaran penuh (GCS>15), tanpa fraktur, tetapi nyeri kepala berat dan

persisten, terdapat setidaknya 2 kali muntah pada selang waktu berbeda

 Ada riwayat gangguan pembekuan darah (seperti menggunakan obat

antikoagulan) dan penurunan kesadaran, amnesia dan tampak gejala deficit

neurologis

 GCS ≤13 setelah resusitasi12

 Deteorisasi neurologis : penurunan GCS 2 poin atau lebih, hemiparesis,

kejang12

 Pasien multitrauma (trauma signifikan >1 organ)12


 Evaluasi pasca operasi12

c. MRI kepala. Teknik pencitraan ini lebih sensitif dibandingkan CT-scan.

Namun, pemeriksaan MRI membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan CT-

scan.9

7. PENATALAKSANAAN

Prinsip tatalaksana cedera kepala12 :

a. Penanganan cedera otak primer  survey primer

b. Mencegah dan menangani cedera otak sekunder  survey sekunder

c. Optimalisasi metabolisme otak

d. Rehabilitasi

SURVEY PRIMER

Dalam penatalaksanaan survey primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain

airway, breathing, circulation, disability dan exposure yang kemudian dilanjutkan

dengan resusitasi.1 Surver primer meliputi penanganan stabilisasi sistem

kardiorespirasi (ABC) dan disabilitas.12


Tabel 2 : Survey Primer Pasien Cedera Kepala12

SURVEY SEKUNDER12

a. Anamnesis  menggali informasi yang diperlukan, seperti :

 Identitas pasien : nama, umur, gender, suku, agama, pekerjaan, alamat

 Keluhan utama

 Mekanisme trauma

 Waktu dan perjalanan trauma

 Sempat pingsan atau sadar setelah trauma


 Amnesia retrograde dan antegrade

 Keluhan lain : nyeri kepala seberapa berat, mual, muntah, kejang, penurnan

kesadaran, vertigo

 Riawayat mabuk, alkohol, narkotika, pasca operasi kepala

 Penyakit penyerta : epilepsy, jantung, asma, hipertensi, DM, riwayat operasi

kepala, gangguan fungsi pembekuan darah

b. Pemeriksaan Fisik Umum

 Pemeriksaan kepala

Mencari tanda :

 Jejas di kepala meliputi : hematoma subkutan, subgaleal, luka terbuka,

luka tembus dan benda asing

 Tanda fraktur basis cranii meliputi : ekimosis periorbita (brill hematoma),

ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, otorrhoe, perdarahan

membran timpani, laserasi kanalis auditorius

 Tanda fraktur tulang wajah meliputi : fraktur maksila (Lefort), fraktur

rima orbita, fraktur mandibula

 Tanda trauma pada mata meliputi : perdarahan konjungtiva, COA,

kerusakan pupil dan jejas lain di mata

 Auskultasi pada arteri karotis  ada tidaknya bruit yang berhubungan

dengan diseksi karotis

 Pemeriksaan leher dan tulang belakang


Mencari tanda adanya cedera pada tulang servikal, tulang belakang dan

medula spinalis. Pemeriksaan meliputi jejas, deformitas, status motorik,

sensorik, dan autonomik.

c. Pemeriksaan Neurologis

 Tingkat kesadaran  penilaian GCS  diklasifikasikan termasuk cedera

kepala ringan, sedang atau berat

 Saraf kranial, terutama :

 Saraf II-III yaitu pemeriksaan pupil : besar dan bentuk, reflek cahaya,

reflek konsensuil  bandingkan kanan dan kiri

 Tanda-tanda lesi N.VII perifer

 Funduskopi atau tanda edema pupil, perdarahan pre retina, dan retinal

detachment

 Motorik dan sensorik  bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah, cari

tanda-tanda lateralisasi

 Otonom : reflek bulbocavernous, reflek kremaster, reflek sfingter, reflek

tendon, reflek patologis dan tonus sfingter ani

d. Observasi tanda vital : nadi, tensi, laju pernafasan dan suhu

TATA LAKSANA MEDIKAMENTOSA

a. Obat Anti Kejang

Profilaksis anti kejang efektif diberikan pada pasien dengan resiko tinggi terjadi

kejang pasca trauma di 1 minggu pertama pasca trauma dengan alternatif obat

efektif adalah fenitoin, carbamazepine (efektif pada fase dini pasca trauma) dan

levetiracetam. Profilaksis tidak boleh diberikan >1 minggu pertama  beresiko


menimbulkan kejang fase lanjut pasca trauma karena sudah terbentuk fokus

epilepsi.

Kriteria pasien resiko tinggi kejang pasca trauma :

 GCS ≤10

 Immediate seizure

 Kontusio kortikal

 Fraktur linier

 Penetrating head injury

 Fraktur depresi

 Alkoholik kronis

 Post traumatic amnesia >30 menit

 Pasien EDH, SDH, ICH

 Defisit neurologis fokal

 Usia ≥65 tahun dan ≤15 tahun

Dosis :

 Fenitoin

- Loading dose

Dewasa  15-20 mg/kgBB dalam 100 cc NS 0.9% dengan kec.infus

maks. 50 mg/menit

Anak  10-20 mg/kgBB

- Dosis rumatan  5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3 dosis  dapat

ditingkatkan hingga 10 mg/kgBB/hari


 Levetiracetam  500 mg/12 jam selama 7 hari setelah cedera kepala tanpa

loading dose

b. Obat Penurunan TIK  Manitol 15/20% atau larutan sodium laktat

hiperosmolar

Indikasi pemberian manitol wajib mempertimbangkan :

 Adanya tanda herniasi transtentorial

 Terjadi penurunan kesadaran progresif

 Ada dan tidaknya gangguan ginjal pada pasien  serum osmolaritas harus <

320 mmol/l

Dosis :

 Manitol sediaan 15 atau 20 %  0.25-1 gr/kgBB dalam 10-20 menit setiap

4-8 jam. Sebelum diberikan manitol, pasien wajib dilakukan pemeriksaan

darah rutin, fungsi ginjal, GDS, dan elektrolit darah. Perhitungan osmolaritas

darah wajib dilakukan sebelum pemberian manitol  osmolaritas serum <

320 mmol/l (dalam keadaan euvolemia).

 Larutan sodium laktat hiperosmolar (lebih efektif daripada manitol)  1.5

ml/kgBB selama 15 menit setiap kali pemberian. Dapat diberikan pada kasus

peningkatan TIK dengan hipotensi atau hypovolemia.

c. Analgesik

Pemberian analgesik bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri yang dapat

meningkatkan TIK.

 Ketorolac (hanya boleh diberikan maksimal 5 hari) dan acetaminophen dapat

digunakan pada pasien trauma kepala


 NSAID lain seperti ibuprofen dan naproxen dapat diberikan peroral

 Ketoprofen supp dan acetaminophen supp efektif diberikan pada cedera

kepala ringan

Dosis : ketorolac dewasa  30 mg IV dosis tunggal atau 30 mg/6 jam IV

dengan dosis maksimal 120 mg/hari

d. Sedatif atau tranquilizer  memperbaiki tekanan TIK, memposisikan pasien

dalam keadaan nyaman

 Midazolam  mengurangi CBF  aman dan efektif untuk anestesi dan

sedasi pada pasien dengan peningkatan TIK. Dosis : loading dose  0.03-

0.3 mg/kgBB diberikan dalam 20 menit, dosis rumatan  0.03-0.2

mg/kgBB/jam

 Propofol  meberikan hasil baik pada sedasi dan mempermudah evaluasi

fungsi neurologis sejak awal. Dosis : loading dose  1-2 mg/kgBB, dosis

rumatan  1-3 mg/kgBB/jam

 Dexmedetomidine  sedasi tanpa efek neurologis dan memberikan efek

proteksi pada otak. Dosis : loading dose  0.5-1 mcg/kgBB selama 10

menit, dosis rumatan  0.2-0.3 mcg/kgBB/jam

e. PPI (proton pump inhibitor)  blockade jalur akhir produksi asam lambung

dan durasi kerjanya lebih lama

 Omeprazole  40 mg/12 jam atau 40 mg/hari peroral atau personde

 Ranitidin  150 mg/12 jam secara peroral atau personde, 50 mg/6-8 jam IV

dapat diberikan secara kontinyu IV perinfus dengan dosis 6.25 mg/jam


f. Citicoline  meningkatkan kemampuan kognitif pasien cedera kepala,

meningkatkan metabolism otak, menambah neuro transmitter otak yaitu

dopamin dan acetylcoline. Dosis : 1 gram/hari PO maupun injeksi

TATA LAKSANA OPERATIF

Pembedahan untuk evakuasi hematoma perlu dipertimbangkan apabila ditemukan

hematoma dengan volume melebihi 25 cm3 pada hasil CT-Scan, ada tidaknya

perburukan klinis dan lokasi lesi.2 Semua luka penetrasi atau tembus merupakan

indikasi operatif.13

Hematoma Epidural2

- Volume hematoma >30 cm3 pada CT-Scan dengan GCS berapapun

- GCS <9 harus dilakukan evaluasi pembedahan secepatnya

- Hematoma epidural yang progresif

Hematoma Subdural2

- Ketebalan hematoma >10 mm atau midline shifting >5 mm pada CT-Scan

dengan GCS berapapun

- GCS <9 perlu monitoring TIK secara hati-hati. Bila TIK >20 mmHg atau pupil

anisokor atau dilatasi menetap, perlu dilakukan pembedahan

- GCS <9 dengan ketebalan hematoma <10 mm atau midline shifting <5 mm,

harus dilakukan evakuasi hematoma bila nilai GCS turun setidaknya 2 nilai dari

saat kejadian sampai tiba di rumah sakit

Hematoma Intracerebral2

- Terdapat deficit neurologis progresif

- Peningkatan TIK refrakter


- Cushing reflex (hipertensi, bradikardi, tanda gangguan pernafasan)

- GCS 6-8 dengan kontusio >20 cm3 di daerah frontal atau temporal dengan

midline shifting ≥5 mm dan ukuran lesi ≥50 cm3

Hematoma Subarachnoid

Indikasi operasi pada hematoma subarachnoid traumatic mengikuti indikasi

operasi pada perdarahan intrakranial lainnya.2

Fraktur Kranial Terdepresi

Fraktur kranial terdepresi terbuka yang melebihi ketebalan kranium harus

dioperasi untuk mencegah infeksi.2 Fraktur kranial terdepresi terbuka masih dapat

diterapi tanpa operasi bila baik klinis maupun radiologi tidak menunjukkan adanya

penetrasi duramater, hematoma intracranial, keterlibatan sinus frontalis, dan luka

infeksi.2 Fraktur kranial terdepresi tertutup tidak memerlukan tindakan operasi.2

8. KRITERIA PULANG

Kriteria pasien cedera kepala dapat dipulangkan dengan pesan, antara lain12 :

 Sadar dan orientasi baik, tidak pernah pingsan

 Tidak ada gejala neurologis

 Keluhan berkurang, muntah atau nyeri hilang

 Tidak ada fraktur kepala atau basis cranii

 Ada keluarga yang mengawasi di rumah

 Tempat tinggal dalam kota


BAB III

KESIMPULAN

Cedera kepala adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur

kepala sehingga menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional

jaringan otak. Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme

terjadinya, tingkat keparahan, dan morfologi cedera kepala. Diagnosa cedera kepala

selain berdasarkan gejala klinis juga diperlukan pemeriksaan penunjang seperti X-

foto polos kepala, CT-Scan kepala maupun MRI kepala.

Penatalaksanaan pada kasus cedera kepala dapat dilakukan dengan terapi

medikamentosa (pada beberapa kasus dengan tingkatkan yang masih ringan) dan juga

dengan menggunakan operasi (pada kasus yang sedang dan berat). Prognosis atau

keberlangsungan penyakit sangat ditentukan oleh adanya kelainan neurologis dan

ekstraneural yang menetap. Pada sebagian besar kasus, cedera kepala merupakan

keadaan serius, sehingga diharapkan dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk

melakukan pertolongan pertama pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang

adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan

menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan

yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita.


DAFTAR PUSTAKA

1. Nasution, SH. 2014. Mild Head Injury. Jurnal Kedokteran Medula, Vol. 2, No.

4, Juni 2014

2. Atmadja, AS. 2016. Indikasi Pembedahan pada Trauma Kapitis. Jurnal CDK-

236, Vol.43, No.1, 2016

3. Ramli, Y, Zairinal RA. 2017. Buku Ajar Neurologi. Jakarta : Departemen

Neurologi FK UI-RSCM

4. Kastilong, M, Subrata, I, Tangkudung, G. 2018. Rasio Neutrofil Limfosit dan

Luaran Cedera Kepala. Jurnal Sinaps, Vol.1, No.2, hlm. 20-28

5. Iskandar, J. 2004. Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Sumatera

Utara : USU Press

6. Sastrodiningrat, A.G. 2009. Pemahaman Indikator - Indikator Dini dalam

Menentukan Prognosa Cedera Kepala Berat. Repository Universitas Sumatra

Utara

7. Langlois J.A., Rutland-Browen W. & Thomas K.E. 2006. Traumatic Brain

Injury In The United States: Emergency Departement Visits, Hospitalizations,

and Deaths, Atlanta, GA : Centers For Disease Control and Prevention

8. Aritonang, S. 2007. Cedera Kepala. Eprint Universitas Diponegoro


9. Perdossi. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma

Spinal. 2006

10. Indrawan H, Dewi, Dewanto G, Setiawan F. 2010. Perbandingan GCS dan

Revised Trauma Score dalam Memprediksi Disabilitas Pasien Trauma Kepala

di Rumah Sakit Atma Jaya. Majalah Kedokteran Indonesia. 60(10) : 437-442

11. Bullock RM, Chesnut R, Ghajar J, Gordon D, Harti R, Newell DW, et al. 2006.

Surgery Guideline. Surgical Management of TBI Author Group : Neurosurgery.

58(3) : 2-1 2-3

12. Bajamal AH, Rahatta NM, Parenrengi MA, et al. 2014. Pedoman Tatalaksana

Cedera Otak. Edisi Kedua. Surabaya : Tim Neurotrauma Universitas Airlangga

13. Servadei F, Compagnone C, Sahuquillo J. 2007. The Role of Surgery in

Traumatic Brain Injury. Lippincott Williams & Wilkins 13 : 163-168

14. Aisiku IP, Silvestri DM, Robertson CS. 2017. Critical care management of

traumatic brain injury. Neurological Surgery. 7th Edisi tujuh. USA: Elsevier

Inc. hlm. 2876–2897

15. McIntosh TK, Juhler M, Raghupati R. 1999. Secondary Brain Injury:

Neurochemical and Celluler mediators. In: Marion D W, Traumatic Brain

Injury. New York. hlm. 39-55

16. McIntosh TK, Juhler M, Raghupati R. 1999. Secondary Brain Injury:

Neurochemical and Celluler Mediators. In: Marion D W, Traumatic Brain

Injury, New York. hlm. 39-55


17. Kossman MCM. 2002. Inflamatory Response Traumatic Brain Injury: An

Overview for The New Millennium. In: Rothwell N, Lodddick S, Immune and

inflammatory responses in the nervous system, Oxford University Press. hlm.

106-126

18. Misbach J. 1995. Patofisiologi dan Penatalaksanaan Medik Trauma Kapitis

Berat. Simposium trauma kapitis ditinjau dari beberapa aspek, Jakarta

19. Krismanto, M. 2013. Hubungan antara Kadar Protein s100b dengan Keluaran

Pasien Cedera Kepala Ringan dan Sedang. Tesis Program Pendidikan Dokter

Spesialis Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai