Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

“Masalah Kependudukan di Indonesia’’

DISUSUN GUNA MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH


KEPENDUDUKAN DAN FERTILITAS

Dosen Pengampu: Rizka Esty S., M.Kes

Disusun Oleh :
Rani Rosita
191104002

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GRESIK


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PRODI D-IV KEBIDANAN (ALIH JENJANG)
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul ‘’Masalah Kependudukan Di Indonesia’’
Penulis menyadari terwujudnya makalah ini tidak akan terlaksana tanpa
bantuan dan pengarahan dari semua pihak yang telah membimbing. Oleh karena
itu dalam kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Rizka Esty S., M. Kes selaku dosen pengampu mata kuliah Kependudukan
dan Fertilitas
2. Semua pihak yang membantu dalam penyusunan satuan acara penyuluhan
Dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun demi mengevaluasi peningkatan makalah ini, agar
selanjutnya menjadi lebih baik.

Gresik, 06 April 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................2
C. Tujuan........................................................................................................2
D. Manfaat......................................................................................................2
BAB II ISI...............................................................................................................3
A. Kualitas Penduduk dan Kesehatan.............................................................3
B. Kuantitas Penduduk (Jumlah Penduduk Besar Dan Pertumbuhan
Penduduk Cepat)........................................................................................9
C. Mobilitas (Persebaran Penduduk Tidak Merata).....................................12
D. Rendahnya Usia Kawin Pertama..............................................................14
E. Rendahnya Partisipasi Pria Dalam Ber-KB.............................................16
F. Masih Lemahnya Institusi Daerah Dalam Pelaksanaan Program KB......22
G Rendahnya Budaya Olahraga Di Kalangan Masyarakat Dan Prestasi
Olahraga Indonesia Yang Tertinggal.......................................................23
H. Database Serta Administrasi Kependudukan...........................................24
I. Masalah Kependudukan Dengan Pandemic (covid 19) ..........................27
J. Kelompok miskin dan pandemi flu dalam 100 tahun terakhir.................28
K. Tidak “Socially Neutral”..........................................................................29
BAB III PENUTUP..............................................................................................31
A. Kesimpulan .............................................................................................31
B. Saran........................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................33

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penduduk adalah semua orang yang menempati suatu wilayah hukum
tertentu dan waktu tertentu, sehingga kita mengenal istilah penduduk tetap
(penduduk yang berada dalam suatu wilayah dalam waktu lama) dan
penduduk tidak tetap (penduduk yang berada dalam suatu wilayah untuk
sementara waktu). Sedangkan Warga Negara Indonesia adalah semua orang
yang tinggal di wilayah negara Republik Indonesia, baik penduduk asli
maupun keturunan asing yang telah disyahkan oleh undang-undang sebagai
warga negara Indonesia. Oleh karena itu kita sering menemukan istlah WNI
pribumi (penduduk asli Indonesia), WNI keturunan (misalnya keturunan
Tiong Hoa, Belanda, Amerika dan sebagainya), dan WNA.
Negara Republik Indonesia yang memiliki luas kurang lebih
1,904,569 km2, saat ini jumlah penduduk Indonesia tahun 2019 diperkirakan
sekitar 267 juta jiwa. Secara nasional pertumbuhan penduduk Indonesia
masih relatif cepat, walaupun ada kecenderungan menurun. Antara tahun
1961 – 1971 pertumbuhan penduduk sebesar 2,1 % pertahun, tahun 1971 –
1980 sebesar 2,32% pertahun, tahun 1980 – 1990 sebesar 1,98% pertahun,
dan periode 1990 – 2000 sebesar 1,6% pertahun. Menurut Badan Pusat
Statistik (BPS), per bulan Maret 2019 jumlah penduduk miskin di
Indonesia mencapai 9,41 persen. Serta
Tingkat Penganguran Terbuka di Indonesia pada Agustus 2019
mencapai 5,28 persen. Adanya jumlah penduduk yang besar dan angka
kemiskinan yang cukup tinggi dapat memicu adanya masalah kependudukan
yang dapat dilihat dari berbagai aspek, baik dari kesehatan, pendidikan,
ekonomi, sosial budaya dan sebagainya.

B. Rumusan Masalah

1
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, rumusan masalah dari makalah ini
adalah:
1. Bagaimana masalah kependudukan yang ada di Indonesia terkini?
2. Mengapa terjadi masalah kependudukan tersebut?
3. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan masalah kependudukan
tersebut?
4. Bagaimana solusi dari masalah kependudukan tersebut?
5. Bagaimana masalah kependudukan dengan pandemic (covid 19) saat ini?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari makalah ini adalah:
1. Mengetahui masalah kependudukan yang ada di Indonesia.
2. Mengetahui penyebab masalah kependudukan tersebut.
3. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan masalah
kependudukan tersebut.
4. Mengetahui solusi dari masalah kependudukan tersebut.
5. Mengetahui masalah kependudukan dengan pandemic (covid 19) saat ini

D. Manfaat
1. Bagi mahasiswa
Mahasiswa menjadi lebih kreatif dan berlatih berfikir kritis untuk
menganalisis masalah kependudkan yang ada di Indonesia sampai
mendapatkan solusi atas masalah tersebut.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Bahan masukan terhadap perkembangan ilmu kesehatan apabila ada
penemuan baru terkait dengan masalah kesehatan.
3. Bagi Masyarakat
Sebagai saran dan masukan kepada masyarakat dan Pemerintah dalam
mengatasi masalah kependudukan yang ada di Indonesia.

2
BAB II
ISI

A. Kualitas Penduduk dan Kesehatan


Bagaimana kualitas penduduk Indonesia? Secara spontan kita pasti akan
mengatakan bahwa kualitas penduduk Indonesia masih tergolong rendah.
Kualitas penduduk dicerminkan dari tingkat pendapatan, tingkat pendidikan,
dan tingkat kesehatan.
1. Tingkat Pendapatan
Pendapatan penduduk Indonesia walaupun mengalami peningkatan tetapi
masih tergolong rendah dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain.
Perhatikan tabel berikut:
Pendapatan Per Kapita Beberapa Negara Tahun 2018
Berdasarkan World Bank
No. Negara Pendapatan Per Kapita (US $)
1. Korsel 40.111
2. Turki 27.892
3. Rusia 27.147
4. Argentina 20.567
5. Meksiko 19.887
6. Tiongkok 18.201
7. Brazil 16.068
8. Afrika Selatan 13.730
9. Indonesia 13.056
10. India 7.761

Dengan pendapatan per kapita yang masih rendah berakibat


penduduk tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga sulit
mencapai kesejahteraan. Rendahnya pendapatan per kapita penduduk di
Indonesia terutama disebabkan oleh:

3
a. Pendapatan nasional yang masih rendah. Hal ini disebabkan sumber
daya alam yang dimiliki belum sepenuhnya dikelola dan
dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.
b. Jumlah penduduk yang besar dan pertumbuhan penduduk yang
tinggi tiap tahunnya.
c. Masih rendahnya penguasaan teknologi oleh penduduk sehingga
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam kurang optimal.
Oleh karena itu dalam upaya untuk menaikkan pendapatan perkapita,
pemerintah melakukan usaha, antara lain:
a. Meningkatkan pengolahan dan pengelolaan sumber daya alam yang
ada.
b. Meningkatkan kemampuan bidang teknologi agar mampu mengolah
sendiri sumber daya alam yang dimiliki bangsa Indonesia.
c. Memperkecil pertambahan penduduk diantaranya dengan
penggalakan program KB dan peningkatan pendidikan.
d. Memperbanyak hasil produksi baik produksi pertanian,
pertambangan, perindustrian, perdagangan maupun fasilitas jasa
(pelayanan)
e. Memperluas lapangan kerja agar jumlah pengangguran tiap tahun
selalu berkurang.
2. Tingkat Pendidikan
Pemerintah Indonesia telah berusaha keras untuk meningkatkan mutu
pendidikan penduduk melalui berbagai program pemerintah di bidang
pendidikan, seperti program beasiswa, adanya bantuan kartu Indonesia
pintar, program wajib belajar, dan sebagainya. Walaupun demikian,
karena banyaknya hambatan yang dialami, maka hingga saat ini tingkat
pendidikan bangsa Indonesia masih tergolong rendah. Beberapa faktor
yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan penduduk Indonesia
sebagai berikut:
a. Rendahnya kualitas sarana fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan
tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan

4
media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara
laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak
memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak
memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak
memiliki laboratorium dan sebagainya.
b. Rendahnya kualitas guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan
guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk
menjalankan tugasnya. Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia
bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Kelayakan mengajar itu
jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu
keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral
pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar
memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang
menjadi tanggung jawabnya.
c. Rendahnya kesejahteraan guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat
rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Idealnya seorang guru
menerima gaji bulanan serbesar Rp 5 juta rupiah. Bahkan terkadang
Guru bantu Rp 600 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-
rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja,
banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang
mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi
tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang
pulsa ponsel.
d. Rendahnya prestasi siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas
guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi
tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan
matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah.
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari

5
materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal
berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin
karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal
pilihan ganda.
e. Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan
Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas.
Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan
menghambat pengembangan sumber daya manusia secara
keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi
pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut.
f. Mahalnya biaya pendidikan.
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk
menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat
untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan
dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT)
membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali
tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah. Pendidikan
berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus
murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya
membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk
menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin
akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu.
Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari
tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan
alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
g. Rendahnya pendapatan per kapita penduduk, menyebabkan orang
tua tidak mampu membiayai anaknya sekolah, sehingga banyak anak
yang putus sekolah atau berhenti sekolah sebelum tamat.
h. Ketidakseimbangan antara jumlah murid dengan sarana pendidikan
yang ada seperti kelas, guru, dan buku-buku pelajaran. Hal ini
menyebabkan tidak semua anak usia sekolah tertampung belajar di

6
sekolah, terutama di daerah pelosok dan terpencil yang sulit
dijangkau program pemerintah.
i. Masih kurangnya kesadaran penduduk terhadap pentingnya
pendidikan, sehingga anak tidak disekolahkan tetapi justru diarahkan
untuk bekerja membantu memenuhi ekonomi keluarga.
Berbagai upaya telah ditempuh oleh pemerintah dalam mengatasi
masalah pendidikan. Usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan
pendidikan di Indonesia yaitu:
a. Menambah jumlah sekolah dari tingkat SD sampai dengan perguruan
tinggi.
b. Menambah jumlah guru (tenaga kependidikan) di semua jenjang
pendidikan.
c. Pelaksanaan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun yang
telah dimulai tahun ajaran 1994/1995.
d. Pemberian bea siswa kepada pelajar dari keluarga tidak mampu
tetapi berprestasi di sekolahnya.
e. Membangun perpustakaan dan laboratorium di sekolah-sekolah.
f. Menambah sarana pendidikan seperti alat ketrampilan dan olah raga.
g. Meningkatkan pengetahuan para pendidik (guru/dosen) dengan
penataran dan pelatihan.
h. Penyempurnaan kurikulum sekolah dalam rangka peningkatan mutu
pendidikan.
i. Menggalakkan partisipasi pihak swasta untuk mendirikan lembaga-
lembaga pendidikan dan ketrampilan.
3. Tingkat Kesehatan
Tingkat kesehatan penduduk merupakan salah satu faktor yang
menunjang keberhasilan pembangunan. Tingkat kesehatan suatu negara
dapat dilihat dari besarnya angka kematian bayi dan usia harapan hidup
penduduknya. Hal ini terlihat dari tingginya angka kematian bayi dan
angka harapan hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-
negara maju. Faktor-faktor yang dapat menggambarkan masih rendahnya
tingkat kesehatan di Indonesia adalah:

7
a. Banyaknya lingkungan yang kurang sehat.
b. Penyakit menular sering berjangkit serta pandemi
c. Gejala kekurangan gizi sering dialami penduduk.
d. Angka kematian bayi tahun 2017 sebesar 32 per 1000 kelahiran
hidup.
Masalah gizi yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah:
a. Kekurangan vitamin A
b. Kekurangan kalori protein
c. Kekurangan zat besi
d. Gondok
Usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas kesehatan
penduduk Indonesia yaitu:
a. Melaksanakan program perbaikan gizi.
b. Perbaikan lingkungan hidup dengan cara mengubah perilaku sehat
penduduk, serta melengkapi sarana dan prasarana kesehatan.
c. Penambahan jumlah tenaga medis seperti dokter, bidan, dan perawat.
d. Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular.
e. Pembangunan Puskesmas dan rumah sakit.
f. Pemberian penyuluhan kesehatan kepada masyarakat.
g. Penyediaan air bersih.
h. Pembentukan Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), kegiatan
posyandu meliputi:
- Penimbangan bayi secara berkala
- Imunisasi bayi/balita
- Pemberian makanan tambahan
- Penggunaan garam oralit
- Keluarga berencana
- Peningkatan pendapatan wanita

8
Gambar . Kegiatan di Posyandu
B. Kuantitas Penduduk (Jumlah Penduduk Besar Dan Pertumbuhan
Penduduk Cepat)
Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Indonesia pada tahun
2019 adalah sebanyak 267 juta jiwa, yang mencakup mereka yang bertempat
tinggal di daerah perkotaan dan di daerah perdesaan
Penyebaran penduduk menurut pulau-pulau besar adalah: pulau Sumatera
yang luasnya 25,2 persen dari luas seluruh wilayah Indonesia dihuni oleh
21,3 persen penduduk, Jawa yang luasnya 6,8 persen dihuni oleh 57,5 persen
penduduk, Kalimantan yang luasnya 28,5 persen dihuni oleh 5,8 persen
penduduk, Sulawesi yang luasnya 9,9 persen dihuni oleh 7,3 persen
penduduk, Maluku yang luasnya 4,1 persen dihuni oleh 1,1 persen penduduk,
dan Papua yang luasnya 21,8 persen dihuni oleh 1,5 persen penduduk.
Diantara negara-negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, Indonesia
menempati posisi keempat setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Di
Indonesia 60% penduduknya berada di pulau jawa. Ketidak merataan
persebaran penduduk di Indonesia menyebabkan ketidak merataan juga
pembangunan fasilitas fisik maupun non fisik. Hal tersebut akan menarik
banyak migran ke pulau jawa. Sehingga daerah yang ditinggalkan tidak
mengalami kemajuan. Jumlah penduduk Indonesia yang besar mengakibatkan
permasalahan kuantitas penduduk di Indonesia, yaitu:
1. Jumlah penduduk Indonesia, besarnya sumber daya manusia Indonesia
dapat dilihat dari jumlah penduduk yang ada. Jumlah penduduk di

9
Indonesia berada pada urutan keempat terbesar setelah Cina, India, dan
Amerika Serikat.
2. Pertumbuhan Penduduk Indonesia, peningkatan penduduk dinamakan
pertumbuhan penduduk. Angka pertumbuhan penduduk Indonesia lebih
kecil dibandingkan Laos, Brunei, dan Filipina.
3. Kepadatan penduduk Indonesia, kepadatan penduduk merupakan
perbandingan jumlah penduduk terhadap luas wilayah yang dihuni.
Ukuran yang digunakan biasanya adalah jumlsh penduduk setiap satu
km2 atau setiap 1 mil2. Permasalahan dalam kepadatan penduduk adalah
persebarannya yang tidak merata. Kondisi demikian menimbulkan
banyak permasalahan, misalnya pengangguran, kemiskinan, kriminalitas,
pemukiman kumuh dsb.
4. Susunan penduduk Indonesia, piramida penduduk Indonesia berbentuk
limas atau ekspansif. Artinya pada periode tersebut, jumlah penduduk
usia muda lebih banyak daripada penduduk usia tua.

Gambar. Populasi penduduk Indonesia berdasar jenis kelamin tahun 2019

Susunan penduduk yang seperti itu memberikan konsekuensi terhadap


hal-hal berikut.
a. Penyediaan fasilitas kesehatan.
b. Penyediaan fasilitas pendidikan bagi anak usia sekolah
c. Penyediaan lapangan pekerjaan bagi penduduk kerja

10
d. Penyediaan fasilitas sosial lainnya yang mendukung perkembangan
penduduk usia muda.
Solusi untuk mengatasi masalah jumlah penduduk diantaranya adalah
dengan Program Keluarga Berencana (KB). Mencanangkan program
Keluarga Berencana (KB) sebagai gerakan nasional, yaitu dengan:
a. Memperkenalkan tujuan-tujuan program KB melalui jalur
pendidikan.
b. Mengenalkan alat-alat kontrasepsi kepada pasangan usia subur, dan
menepis anggapan yang salah tentang anak.
c. Menetapkan Undang-Undang Perkawinan yang di dalamnya
mengatur serta menetapkan tentang batas usia nikah.
d. Mempermudah dan meningkatkan pelayanan dalam bidang
pendidikan, sehingga keinginan untuk segera menikah dapat
dihambat.

C. Mobilitas (Persebaran Penduduk Tidak Merata)


Banyaknya masyarakat Indonesia yang bermigrasi ke kota-kota besar
mengakibatkan terjadinya kepadatan di kota-kota besar. Namun fasilitas dan
perekonomian di daerah perkotaan semakin meningkat. Sedangkan pada
daerah yang ditinggalkan penduduknya tidak mengalami kemajuan sama
sekali sehingga terjadi ketidak seimbangan antara pertumbuhan daerah
perkotaan dan pedesaan.
Persebaran atau distribusi penduduk adalah bentuk penyebaran penduduk
di suatu wilayah atau negara, apakah penduduk tersebut tersebar merata atau
tidak. Kepadatan penduduk adalah angka yang menunjukkan jumlah rata-rata
penduduk pada setiap kilometer pada suatu wilayah negara.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran dan kepadatan penduduk
tiap-tiap daerah atau negara sebagai berikut:
1. Faktor Fisiografis, meliputi keadaan fisik pulau tersebut, misal
keadaan tanah, iklim dan cuaca.
2. Faktor Biologis, meliputi keanekaragaman makhluk hidup yang
ada.

11
3. Faktor Kebudayaan dan Teknologi, meliputi kemajuan teknologi
yang ada.
Kepadatan penduduk dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Kepadatan penduduk aritmatik sangat mudah dalam
perhitungannya. Data kepadatan penduduk aritmatik sangat bermanfaat.
Contohnya adalah dengan diketahui tingkat kepadatan penduduk di suatu
wilayah, maka dapat digunakan untuk perencanaan penyediaan fasilitas
sosial. Jika pada suatu daerah memiliki kepadatan penduduk aritmatik
yang rendah, maka penyediaan fasilitas kesehatan, seperti puskesmas
dapat digabung dengan daerah yang berdekatan.
2. Kepadatan penduduk Indonesia antara pulau yang satu dan
pulau yang lain tidak seimbang. Selain itu, kepadatan penduduk antara
provinsi yang satu dengan provinsi yang lain juga tidak seimbang. Hal
inidisebabkan karena persebaran penduduk tidak merata. Sebagian besar
penduduk Indonesia terkonsentrasi di pulau Jawa dan Madura. Padahal,
luas wilayah pulau Jawa dan Madura hanya sebagian kecil dari luas
wilayah negara Indonesia. Akibatnya, pulau Jawa dan Madura memiliki
tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, sedangkan di daerah-daerah lain
tingkat penduduknya rendah. Provinsi yang paling padat penduduknya
adalah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Kepadatan penduduk erat
kaitannya dengan kemampuan wilayah dalam mendukung kehidupan
penduduknya. Daya dukung lingkungan dari berbagai daerah di
Indonesia tidak sama. Daya dukung lingkungan pulau Jawa lebih tinggi
dibandingkan dengan pulau-pulau lain, sehingga setiap satuan luas di
Pulau Jawa dapat mendukung kehidupan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan, misalnya di Kalimantan, Papua, Sulawesi, dan
Sumatra.Kemampuan suatu wilayah dalam mendukung kehidupan itu ada
batasnya. Apabila kemampuan wilayah dalam mendukung lingkungan
terlampau, dapat berakibat pada terjadinya tekanan-tekanan penduduk.
Jadi, meskipun di Jawa daya dukung lingkungannya tinggi, namun juga
perlu diingat batas kemampuan wilayah tersebut dalam mendukung
kehidupan.

12
Untuk mengatasi masalah pemerataan penduduk, program pemerintah
yang terkenal dalam upaya mengatasi masalah tersebut adalah transmigrasi,
yaitu pemindahan penduduk dari daerah yang padat penduduk ke daerah yang
belum padat penduduk. Program pemerintah tersebut dilaksanakan sekitar
tahun 1980 -1990an hingga saat ini . Tujuan pelaksanaan transmigrasi yaitu:
a. Meratakan persebaran penduduk di Indonesia.
b. Peningkatan taraf hidup transmigran.
c. Pengolahan sumber daya alam.
d. Pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia.
e. Menyediakan lapangan kerja bagi transmigran.
f. Meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa.
g. Meningkatkan pertahanan dan kemananan wilayah Indonesia.
Transmigrasi bukan hanya memindahkan penduduk, tetapi harus juga
menyiapkan aspek sosial, SDM, dan teknis. Aspek sosial, masyarakat yang
akan dipindahkan harus dipersiapkan agar mudah beradaptasi dengan
lingkungan yang baru. Aspek SDM, peningkatan skill perlu diberikan kepada
masyarakat yang akan dipindahkan. Aspek Teknis, mempersiapkan
prasarana dasar yang menunjang daerah transmigrasi, tidak hanya rumah
dan sepetak tanah. Ditemui berbagai kendala misalnya masyarakat tidak
kerasan ditempat barunya, sehingga mereka kembali ke kota. Banyak proyek
transmigrasi yang tidak dilakukan sesuai prosedur, yaitu penyiapan prasarana
dasar secukupnya, dana diselewengkan, sehingga penduduk yang dipindahkan
teraniaya. Beberapa solusi lain upaya lain yang dapat dilakukan adalah:
a. Pengadaan rumah vertikal atau rusun
b. Mengatur jarak kelahiran
c. Menambah pengetahuan tentang kependudukan\
d. Meningkatkan usaha ekonomi keluarga
e. Para transmigran yang sukses bisa kembali membangun daerah asalnya.

D. Rendahnya Usia Kawin Pertama


Usia perkawinan pertama wanita erat hubungannya dengan fertilitas.
Karena bila umur perkawinan pertamanya semakin muda semaki mendekati

13
umur haid pertama, maka semakin lama masa reproduksinya. Hal itu semakin
panjang resiko seorang wanita untuk hamil dan melahirkan.

Dari hasil beberapa penelitian menemukan bahwa ada beberapa factor


yang berpengaruh terhadap perkawinan pertama pada perempuan, diantaranya
adalah factor social, ekonomi, budaya dan factor tempat tinggal desa-kota.
Diantara beberapa factor tersebut, ternyata faktor ekonomi yang paling
dominan terhadap perkawinan pertama pada perempuan.
Rendahnya tingkat kemampuan eknomi keluarga akan mendorong para
orangtua mengawinkan anak-anak wanitanya walaupun mereka masih umur
muda. Sementara itu dari segi sosial budaya, umumnya terjadi karena adanya
pemikiran seperti takut anaknya menjadi perawan tua, kebanggaan apabila
anaknya cepat dilamar dan juga ingin mengurangi beban (tanggung jawab)
sebagi orang tua apabila anaknya telah menikah.
Ada juga faktor agama yang dianut oleh masyarakat setempat, seorang
anak diwajibkan patuh terhadap orang tua, apabila orang tua menginginkan
anaknya segera menikah walaupun usianya masih muda harus menurut
kehendak orang tua dan yang penting anaknya sudah ”haid pertama”. Tokoh
Masyarakat dan Tokoh Agama berpendapat bahwa perkawinan usia muda
pada perempuan lebih kepada menjaga agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan misalnya “hamil diluar nikah”, pergaulan bebas atau sex bebas
antar remaja.
Faktor sosial yang berpengaruh terhadap perkawinan pertama pada
perempuan adalah faktor pendidikan, rendahnya pendidikan orang tua dan
rendahnya pendidikan remaja mendorong untuk pernikahan usia muda.
Mereka yang tidak melanjutkan sekolah akhirnya menganggur, karena
sulitnya mencari pekerjaan. Kalaupun ada yang bekerja hanya sebagai
pembantu rumah tangga dan tidak bertahan lama. Kawin usia muda juga
terjadi karena terlanjur “hamil” sehingga terpaksa dikawinkan. Setelah
menikah umumnya mereka menyadari bahwa perkawinan usia muda tidak
baik untuk kelangsungan rumah tangga karena berbagai faktor. Rapuhnya

14
ketahanan keluarga karena masing-masing tidak siap secara sosial, ekonomi
budaya.
Salah satu program kependudukan yang dapat mengendalikan jumlah
penduduk dan langsung sasarannya terhadap perkawinan pertama pada
perempuan adalah program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP). Program
PUP ini adalah upaya untuk meningkatkan usia perkawinan pertama,
sehingga mencapai usia minimal pada saat perkawinan usia 20 tahun bagi
wanita dan 25 tahun bagi pria. Program ini bisa terlaksana dengan baik
apabila semua pihak yang terkait mendukung. Salah satu kendala dalam
pelaksanaan program PUP di lapangan adalah belum direvisinya Undang-
Undang Perkawinan Tahun 2019 yang membolehkan perkawinan pada usia
19 tahun untuk wanita dan 21 tahun untuk pria.

E. Rendahnya Partisipasi Pria Dalam Ber-KB


Rendahnya partisipasi pria/suami dalam KB dan kesehatan reproduksi
disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu: (a) faktor dukungan, baik politis,
sosial budaya, maupun keluarga yang masih rendah sebagai akibat
rendah/kurangnya pengetahuan pria/suami serta lingkungan sosial budaya
yang menganggap KB dan kesehatan reproduksi merupakan urusan dan
tanggung jawab perempuan, (b) faktor akses, baik akses informasi, maupun
akses pelayanan. Dilihat dari akses informasi, materi informasi pria masih
sangat terbatas, demikian halnya dengan kesempatan pria/suami yang masih
kurang dalam mendapatkan informasi mengenai KB dan kesehatan
reproduksi. Keterbatasan juga dilihat dari sisi pelayanan dimana sarana/
tempat pelayanan yang dapat mengakomodasikan kebutuhan KB dan
kesehatan reproduksi pria/suami masih sangat terbatas, sementara jenis
pelayanan kesehatan reproduksi untuk pria/suami belum tersedia pada semua
tempat pelayanan dan alat kontrasepsi untuk suami hanya terbatas pada
kondom dan vasektomi (Iman, 2008).
1. Adanya Sosial Budaya
Adanya anggapan sebagian masyarakat terutama perempuan bahwa pria
yang mengikuti KB terutama MOP atau vasektomi dimungkinkan untuk

15
“dapat kemana-mana” atau berlaku serong. Menghadapi suatu
permasalahan yang ada di dalam masyarakat yang terkait dengan
permasalahan ini diawali dengan diskusi, konsultasi yang terkait dengan
tata nilai sosial budaya yang ada di dalam masyarakat tersebut dengan
memberikan pemahaman bahwa orang yang dapat berlaku serong itu
bukan hanya orang yang sudah melakukan vasektomi saja. Namun
demikian dalam kehidupan masyarakat siapapun yang mempunyai niatan
untuk berbuat serong tersebut siapapun bisa melakukannya. Upaya
melakukan pemahaman atau konsultasi ini tidak mungkin hanya
dilakukan oleh petugas KB saja tetapi dengan melibatkan tokoh
masyarakat dan tokoh agama yang ada di sekitar masyarakat tersebut
untuk dapat memberikan pemantapan akan pemahaman dan pengamalan
nilai-nilai agama bagi seluruh anggota masyarakat. Dalam prakteknya
kegiatan ini diawali dengan pelatihan bagi tokoh agama dan tokoh
masyarakat tentang pentingnya Keluarga Berancana dalam kehidupan
masyarakat (Iman, 2008).
2. Pengetahuan Masyarakat
Berdasarkan pengamatan langsung dan penelitian sederhana yang pernah
dipublikasikan ternyata ada masyarakat yang belum mengetahui sama
sekali adanya jenis kontrasepsi yang diperuntukkan laki-laki/suami.
Masyarakat tertentu baik laki-laki ataupun perempuan masih ada yang
beranggapan bahwa tidak ada alat kontrasepsi yang diperuntukkan bagi
laki-laki. Sehingga ada yang merasa aneh atau merasa lucu KB kok yang
melakukan laki-laki. Dari kondisi ini berarti pengetahuan dan
pemahaman masyarakat tentang kontrasepsi pria yaitu kondom dan
vasektomi bagi sebagian masyarakat masih sangat rendah (Iman, 2008).
3. Agama
Tokoh agama tertentu masih beranggapan bahwa medis operatif pria
belum dibolehkan dalam aturan agama. Kondisi yang sebenarnya
hubungannya dengan agama disampaikan bahwa yang tidak
diperbolehkan adalah yang merusak atau tidak dapat dikembalikan.
Dengan demikian pelayanan vasektomi yang secara medis disebut

16
sebagai reversible atau dapat dikembalikan dengan melalui operasi
sederhana bedah mikro berarti bisa dipulihkan kembali sehingga
memungkinkan untuk orang yang melakukan tersebut dapat memiliki
anak kembali. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah ini mutlak
diperlukan tokoh agama yang telah memahami secara penuh vasektomi
tanpa pisau ini dapat diberikan kepada masyarakat di lingkungannya
(Iman, 2008).
4. Tata Nilai Lokal Yang Ada Di Masyarakat
Wilayah tertentu beranggapan bahwa KB adalah urusan perempuan.
Kondisi ini menciptakan upaya pelaksanaan program KB yang
diutamakan sasarannya hanya perempuan. Sehingga dalam upaya
mengatasinya harus melibatkan suami atau pria sebagai obyek sekaligus
subyek dalam partisipasi pria dalam ber-KB. Maksudnya dalam
pelayanan KB pria diupayakan pria diperankan secara penuh untuk
memberikan motivasi langsung sebagai teladan bagi masyarakat di
lingkungannya melalui penyampaian pengalaman langsung yang
dihadapi masyarakat tersebut kepada calon peserta (Iman, 2008).
5. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang rendah beranggapan bahwa
operasi adalah mahal sehingga tidak mampu/tidak mungkin dilakukan
bagi masyarakat yang kurang mampu (Iman, 2008). Dalam pelaksanaan
program KB apapun dan berapapun kebutuhan masyarakat terutama yang
miskin dan hampir miskin untuk pemenuhan kebutuhan program KB
akan dipenuhi seluruhnya. Sehingga berapapun kebutuhan yang
diperlukan untuk vasektomi ini menjadi tanggungan pemerintah.
Sehingga masyarakat tidak harus mempunyai kekhawatiran berapa besar
yang diperlukan untuk kegiatan ini. Bahkan pemerintah memikirkan
kondisi ekonomi ini dengan memberikan ayoman pasca pelayanan untuk
biaya hidup 2 hari (Iman, 2008).
6. Belum Dimanfaatkannya Peserta KB Pria
Masyarakat yang sudah mengikuti KB pria yaitu kondom dan vasektomi
belum secara optimal diperankan sebagai motivator atau teladan dalam

17
masyarakat. Program yang dapat berjalan secara efektif di masyarakat
adalah yang dapat dianggap sebagai dari, oleh, dan untuk masyarakat itu
sendiri. Oleh karena itu hubungannya dengan kesertaan KB pria yaitu
peserta vasektomi sudah seyogyanya diperankan sebagai tokoh
masyarakat, teladan, motivator dan komunikator program tersebut antara
masyarakat dengan petugas pelaksana/pelayan program (Suprihastuti,
2000).
7. Persepsi
Adanya persepsi bahwa wanita yang menjadi target program KB menjadi
salah satu faktor rendahnya partisipasi pria dalam KB. Hasil penelitian
Purwanti (2004) menyimpulkan bahwa suami dengan persepsi positif
terhadap alat kontrasepsi pria lebih tinggi pada kelompok suami yang
menggunakan alat kontrasepsi pria dari pada kelompok kontrol
(Ekayanthi, 2005).
8. Kualitas Pelayanan KB Pria
Dari studi kualitatif di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dilakukan
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional tahun 2001
menunjukkan kualitas pelayanan menjadi salah satu faktor rendahnya
partisipasi pria dalam KB (Suprihastuti, 2000).
9. Terbatasnya Metode Kontrasepsi Pria
Dari studi kualitatif di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dilakukan
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional tahun 2001
menunjukkan terbatasnya metode kontrasepsi pria menjadi salah satu
faktor rendahnya partisipasi pria dalam KB (BKKBN, 2001).
10. Dukungan Istri Terhadap Suami Untuk KIB
Dari hasil penelitian di Sumatera Selatan dan Jawa Barat yang dilakukan
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional tahun 2001
menunjukkan 66,26% istri tidak setuju suaminya ber KB (BKKBN,
2001).
11. Aksesibilitas Pelayanan KB Pria
Adanya kemudahan dan ketersediaan sarana pelayanan berdampak
positif terhadap penggunaan suatu alat kontrasepsi. Menurut suami

18
pelayanan KB pria yang paling disukai adalah dekat dengan rumah atau
dekat dari tempat mereka bekerja (48,85%), sebanyak 12,8%
menginginkan tempat pelayanan dengan trasportasi yang mudah, biaya
terjangkau (9,9%), fasilitas lengkap (9,3%), dilayani dengan tenaga ahli
yang ramah (9%) dan dapat menjaga privacy (2,2%). Sedangkan tempat
memperoleh pelayanan KB pria adalah rumah sakit pemerintah 36,1%,
Puskesmas 29,1%, dan rumah sakit swasta 8,6% (Suprihastuti, 2000).
Belum semua pelayanan kesehatan mampu memberikan pelayanan
vasektomi. Hanya 5 – 81 persen pelayanan kesehatan yang menyediakan
pelayanan vasektomi dengan rata-rata 41 persen pelayanan kesehatan
pemerintah (Wibowo, 1994). Bahkan hasil baseline survei di 4 propinsi
Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan NTT tahun 2002
memperlihatkan bahwa dari 30% pelayanan kesehatan yang menyediakan
pelayanan vasektomi, hanya 4% yang melayani vasektomi. Dari sisi
provider terlihat bahwa keberadaan dan kesiapan provider pemberi
pelayanan secara teknis telah mendukung pelaksanaan vasektomi.
Namun secara mental masih ada hambatan, disamping itu mutasi dokter
terlatihpun sangat cepat. Terbatasnya akses ke tempat pelayanan
disebabkan antara lain oleh (Suprihastuti, 2000):
a. Citra terhadap tempat pelayanan KB yang dipersiapkan sebagai
tempat pelayanan untuk wanita.
b. Kurangnya tenaga terlatih untuk vasektomi
c. Kurangnya motivasi provider untuk pelayanan vasektomi
d. Kurangnya dukungan peralatan dan medical suplies untuk vasektomi
e. Kurang dukungan logistik kondom.
Solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah kurangnya
partisipasi pria dalam ber-KB antara lain:
1. Untuk petugas KB atau petugas Kesehatan
a. Perlunya peningkatan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi)
tentang partisipasi pria dalam KB kepada pasangan usia subur
sehingga mereka bisa memahami bahwa bukan hanya perempuan
saja yang ber-KB tapi pria juga penting untuk ber-KB.

19
b. Perlunya peningkatan KIE melalui paguyuban atau kelompok KB
pria tentang alat kontrasepsi pria yaitu kondom untuk meningkatkan
pengetahuan pria tentang alat kontrasepsi kondom.
c. Perlunya peningkatan KIE kepada calon pengantin pria dan wanita
tentang partisipasi pria dalam KB.
2. Untuk Pemerintah
a. Perlunya bantuan biaya pelayanan KB dan penyelenggaraan safari
KB selain alat kontrasepsi vasektomi/MOP.
b. Perlunya peningkatan pemberian kondom gratis untuk pasangan usia
subur.
c. Perlunya pengadaan metode kontrasepsi baru bagi pria selain
kondom dan vasektomi.
d. Perlunya peningkatan KIE mengenai partisipasi pria dalam KB
melalui media elektronik seperti televisi, radio dan media massa
sepeti majalah dan Koran.

F. Masih Lemahnya Institusi Daerah Dalam Pelaksanaan Program KB


Kerumitan makin terbayang karena upaya untuk mengatasi simpang siur
data dan kinerja program KB untuk menahan laju pertumbuhan penduduk
juga terganggu oleh masalah institusi, terutama di kabupaten/kota. Belum lagi
kalau kependudukan bukan hanya soal jumlah, tetapi juga soal menjaga
kualitasnya.
Dimulai sejak awal era reformasi, program KB seakan mati suri. Stagnasi
mulai terjadi sejak era otonomi daerah dicanangkan tahun 1999. Pada
umumnya daerah tidak menempatkan KB sebagai program prioritas.
Bahkan masih banyak kabupaten/kota yang tidak memiliki badan atau
lembaga yang mengurus KB. Dari 497 kabupaten/kota di Indonesia, baru 385
yang mempunyai institusi untuk mengurus KB. Ironisnya, dari 385
kabupaten/kota tersebut, baru 7 persen yang mempunyai institusi yang khusus
menangani KB, sedangkan 93 persen  digabung dengan tugas-tugas lain.
Mengecilnya komitmen pemda, khususnya pemerintah kabupaten/kota
pada awal pelaksanaan otonomi daerah antara lain karena pertimbangan

20
pembiayaan. KB yang banyak dinilai sebagai urusan yang lebih banyak
menyedot anggaran, kemudian diciutkan, digabungkan dengan urusan lain.
Kewajiban pemerintah provinsi, maupun kebupaten/kota mengurus
program KB baru ditegaskan pada Peraturan Pemerintah 38/2007. PP ini
ternyata hanya melahirkan berbagai institusi KB yang ala kadarnya. Kinerja
program tidak membaik, setidaknya jika dilihat dari hasil SP 2010.

G. Rendahnya Budaya Olahraga Di Kalangan Masyarakat Dan Prestasi


Olahraga Indonesia Yang Tertinggal
Dalam rangka menumbuhkan budaya olahraga untuk meningkatkan
kualitas manusia Indonesia, terdapat beberapa permasalahan, yaitu: belum
terwujudnya peraturan perundang-undangan tentang keolahragaan; dan
kecenderungan makin menurunnya minat dan keinginan masyarakat untuk
melakukan kegiatan olahraga. Masalah lainnya adalah rendahnya angka
partisipasi penduduk dalam berolahraga yang hanya sekitar 22,6 persen;
terbatasnya fasilitas olahraga, baik berupa prasarana maupun sarana olahraga;
rendahnya rasio guru olahraga/penjaskes untuk jenjang SD yaitu hanya 0,5
persen; lemahnya koordinasi antarpembinaan olahraga pendidikan, olahraga
prestasi, dan olahraga masyarakat; dalam era desentralisasi dan otonomi
daerah, penataan peran pembinaan olahraga antarpemerintah pusat dan daerah
belum tertata dengan baik; serta menurunnya prestasi olahraga dalam event-
event internasional. Jika pada SEA GAMES XIV tahun 1987 di Jakarta dan
XV tahun 1989 di Kuala Lumpur, Indonesia selalu menduduki juara umum,
maka dalam SEA GAMES XX tahun 1999 di Brunei Darussalam, hanya

21
menduduki posisi ketiga. Masalah lainnya adalah belum serasinya kebijakan
olahraga di tingkat nasional dan daerah.
Dalam rangka menumbuhkan budaya olahraga beberapa permasalahan
yang harus diatasi yaitu: (1) Belum terwujudnya peraturan perundang-
undangan tentang keolahragaan; (2) Rendahnya kesempatan untuk
berkreativitas olahraga dikarenakan semakin berkurangnya lapangan dan
fasilitas olahraga; serta (3) Lemahnya koordinasi lintas lembaga dalam hal
penyediaan ruang publik untuk lapangan dan fasilitas olahraga bagi
masyarakat umum. Maka dari itu, hal tersebut diatas perlu mendapat
perhatian khusus dalam upaya meningkatkan budaya olahraga di indonesia.

H. Database Serta Administrasi Kependudukan


Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan, yang termasuk dalam Peristiwa Kependudukan antara lain
perubahan alamat, pindah datang untuk menetap, tinggal terbatas atau tinggal
sementara, serta perubahan status Orang Asing Tinggal Terbatas menjadi
tinggal tetap. Sementara yang dinamakan Peristiwa Penting adalah kelahiran,
lahir mati, kematian, perkawinan, dan perceraian, termasuk pengangkatan,
pengakuan, dan pengesahan anak, serta perubahan status kewarganegaraan,
ganti nama dan Peristiwa Penting lainnya yang dialami oleh seseorang
merupakan kejadian yang harus dilaporkan karena membawa implikasi
perubahan data identitas atau surat keterangan kependudukan. Berikut
merupakan masalah dari database serta administrasi kependudukan:
1. Masalah KTP dan KK
a. Masih banyak warga DKI Jakarta yang belum memiliki akta kelahiran
karena tidak memiliki KTP, Kartu Keluarga, akta nikah dari
KUA/Catatan Sipil dan surat keterangan lahir anak dari dokter/bidan.
b. Kasus lain, salah satu orang tua kabur/meninggalkan istri/suami dan
anak tanpa kabar bertahun-tahun dengan membawa KTP dan Akta
nikah sehingga istri/suami sulit untuk membuatkan akta kelahiran
untuk anaknya.
2. Masalah Akta Nikah

22
a. Masih banyak warga DKI Jakarta yang tidak memiliki akta nikah
sama sekali karena kawin di bawah tangan atau kawin siri.
b. Ada juga yang memiliki akta nikah secara agama, namun tidak
memiliki akta nikah dari catatan sipil atau dari KUA sehingga
berdampak pula pada status anak dalam akta kelahirannya, yaitu
hanya “ANAK SEORANG IBU”. Hal ini tentu sangat berpengaruh
negatif terhadap perkembangan psikologis anak ketika ia dewasa.
c. Masih banyak ditemukan kasus dimana akta nikah catatan sipil tidak
dapat diterbitkan gara-gara salah satu pasangan suami istri itu tidak
memiliki akta lahir saat menikah. Apakah ada kebijakan dari
Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta untuk mengatasi masalah
tersebut, misalnya cukup dengan menunjukkan ijasah sekolah atau 
dengan cara lain yang bisa digunakan dan bisa
dipertanggungjawabkan secara hukum untuk mengatasi masalah
tersebut mengingat masih ada warga yang tidak memiliki ijasah
sekolah.
3. Masalah Status Anak Di luar Nikah
Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
mengatakan bahwa: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya “.
Konsekuensinya adalah anak-anak yang lahir di luar perkawinan
dianggap “anak haram” dan hanya mempunyai hubungan hukum
dengan ibu dan keluarga ibunya. Padahal dalam kenyataannya banyak
pasangan suami istri (non muslim) yang sudah menikah secara sah
menurut agama namun Dinas Ducapil menolak untuk mencatatkan
perkawinan mereka karena salah satu pasangan tidak memiliki akta
kelahiran.
Solusi dari masalah database dan administrasi kependudukan antara
lain dengan menggunakan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan
(SIAK) bertujuan untuk menciptakan sistem pengenal tunggal berupa
Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang akan menjadi identitas tunggal
penduduk.

23
NIK menjadi prasyarat utama bagi database kependudukan nasional
yang berbasis registrasi dan menjadi instrumen dan validasi jati diri
seseorang yang dicantumkan dalam setiap dokumen kependudukan.
DPR-RI mendukung langkah pemerintah menerbitkan single identity
number (SIN) yang akan menjadi nomor identitas tunggal bagi setiap
penduduk di seluruh Indonesia. Dengan adanya KTP nasional berbasis
NIK, tidak akan ada seorang warga yang mempunyai KTP lebih dari satu
dengan NIK yang berbeda.
Hal ini dikarenakan adanya proses otentifikasi yang berjenjang,
mulai dari kelurahan hingga pusat. Selain itu, sanksi tegas akan
diberikan kepada warga yang memiliki KTP lebih dari satu.
Manfaat NIK:
1. NIK akan menjadi dasar penerbitan
paspor, surat izin mengemudi, nomor pokok wajib pajak, polis
asuransi, sertifikat hak atas tanah, dan dokumen-dokumen
lainnya, sehingga NIK menjadi kunci akses dalam pelayanan
publik di hampir setiap sektor. Dengan adanya NIK,
memudahkan setiap warga negara yang ingin menjadi tenaga
kerja ke luar negeri dan menjadi jelas status Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) di luar negeri yang mengalami kesulitan atau
permasalahan dapat segera terselesaikan.
2. NIK akan menjadi dasar database
daftar pemilih tetap (DPT) dalam rangka pelaksanaan pemilihan
umum di seluruh Indonesia. NIK juga lebih memudahkan
identifikasi personal yang bergabung dan kelompok-kelompok
ekstrem atau yang akhir-akhir ini marak disebut kelompok
teroris dan memudahkan pihak berwajib untuk melakukan
pelacakan agar tidak terjadi salah tangkap atau hal-hal yang
lainnya yang pada akhirnya warga dirugikan.

I. Masalah Kependudukan Dengan Pandemic (covid 19)

24
Presiden Joko Widodo menyampaikan kepada publik pada 2 Maret 2020,
terdapat 2 kasus COVID-19 di Indonesia. Sejak 2 bulan terakhir enam puluh
negara di dunia melaporkan warganya yang terinfeksi. Hingga saat ini lebih
dari 89.000 orang terjangkit dan data terus bertambah

Distribusi Coronavirus COVID-19 oleh Johns Hopkins CSSE (Data diakses 3


Maret 2020)
Bukan kali pertama pernyataan resmi dikeluarkan Indonesia lebih lambat
dari negara lain. Pada kasus SARS 2003, pemerintah Indonesia
mengumumkan kesiagaan pada hari ke duapuluh setelah berbagai negara
terlebih dahulu bersiap menghadapi wabah yang mematikan hampir 8 ribu
jiwa . Melihat yang rencana penanganan pandemi, secara garis besar
cenderung menempatkan jatuhnya korban ke dalam kategori “socially
neutral” - kaya, miskin semua memiliki risiko keterpaparan yang sama.
Hingga saat ini rencana penanganan pandemi tidak memprioritaskan
kelompok rentan dalam hal ini warga dalam status ekonomi miskin. Fakta
bahwa pada kondisi penyebaran wabah yang pernah terjadi sebelumnya telah
mengakibatkan besarnya korban pada kelompok masyarakat miskin baik
secara hitungan jatuhnya korban jiwa dan kerugian ekonomi dengan cepat
terlupakan. 

25
J. Kelompok miskin dan pandemi flu dalam 100 tahun terakhir
Sebelum COVID -19 merebak, dunia mencatat berbagai macam
pandemi yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban pada kelompok
ekonomi miskin. Peringatan atas 100 tahun Spanish flu baru saja dilakukan.
Wabah influenza yang terjadi tahun 1918 dikenal sebagai Spanish flu karena
pertama kali merebak di Spanyol. Pada rentang 1918-1919 terdapat hampir
lima puluh juta penduduk dunia tidak terselamatkan. Tentu saja saat itu
sistem peringatan dini tentang penyebaran wabah belum tersedia. Masyarakat
Spanyol menganggap wabah flu ini sebagai lelucon. Baru setelah Raja
Alfonso XIII yang berdiam di Madrid dilaporkan terjangkit flu, pemerintah
mulai sadar bahwa wabah ini harus ditangani. 
Namun saat itu sudah terlambat, di tengah Perang Dunia I sebagian
besar warga berada di medan perang. Mereka yang bekerja di pabrik senjata
tidak bisa mengambil waktu beristirahat karena produksi amunisi harus terus
berjalan. Tidak lama, pergerakan tentara juga menyebabkan wabah menyebar
ke seluruh daratan Eropa. Korban terus bertambah, dalam waktu satu bulan
menjangkiti seluruh belahan dunia. Sejarah mencatat, di India 18,5 juta orang
meninggal, lalu 138 ribu orang di Mesir- bahkan sampai ke Samoa Barat yang
sebelumnya dianggap wilayah aman karena lokasinya jauh dari episentrum.
Kelas pekerja di Eropa yang saat itu tinggal berdesakan dalam rumah yang
sempit dan sanitasi buruk adalah jumlah korban terbesar yang jatuh. Tempat
tinggal mereka berubah menjadi cawan petri (petri dish) penyebaran flu.  
Setelah Perang Dunia II berakhir flu jenis lain kembali mewabah.
Tahun 1957 pandemi “Asian Flu” dilaporkan. Virus H2N2 ditemukan di
Singapura kemudian mencapai Hong Kong hingga daratan Amerika Serikat.
Ketika mencapai Eropa, pabrik ditutup untuk mengurangi penyebaran.
Akibatnya kelompok pekerja tidak memiliki pendapatan. Paling tidak 14 ribu
orang di Inggris meninggal karena tidak memiliki akses pemeriksaan medis. 
Diseluruh dunia diperkirakan 1.1 juta orang meninggal.
Dunia belum memasuki dekade pertama millenium yang baru pada
April 2009 swine flu (flu babi) yang disebabkan virus H1N1 menyebar secara
luas setelah pertama kali di deteksi di Amerika Serikat . Laporan CDC

26
Amerika Serikat mencatat 575.400 kematian di seluruh dunia. Lagi-lagi data
menunjukkan angka kematian penduduk di negara-negara miskin Amerika
Selatan 20 kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang terinfeksi dan tinggal
di Eropa. Bahkan risiko kematian bagi mereka yang tinggal di Amerika
Selatan tiga kali lebih tinggi dibanding penduduk paling miskin yang tinggal
di Inggris. Dampak lain wabah tersebut adalah kesalahpahaman penyampaian
informasi yang menyebabkan peternak babi menjadi sasaran. Saat swine flu
merebak tahun 2009, harga jual babi merosot menjadi Rp 13 ribu per ekor
sehingga peternak merugi. Sampai-sampai Persatuan Dokter Hewan
Indonesia (PDHI) mengusulkan supaya pemerintah mengganti istilah flu babi
menjadi Flu A seperti di Amerika Utara.

K. Tidak “Socially Neutral”


Komunitas global memahami bahwa pandemi seperti yang diuraikan
diatas membawa dampak yang merusak tatanan masyarakat selain risiko
morbiditas. Bahkan dampaknya disamakan dengan bencana Indian Ocean
Tsunami 2004. Bencana yang meluluhlantakkan berbagai negara di sepanjang
pesisir Samudra Hindia dengan korban lebih dari 200 ribu jiwa. Tsunami
2004 yang juga melanda Aceh menunjukkan penduduk yang tadinya berada
di dalam kelompok miskin mengalami kesulitan untuk bertahan saat bencana
bahkan banyak yang tidak mampu mengembalikan posisi perekonomian
setelah proses pemulihan berakhir. Kelompok ini juga akan terdampak paling
parah jika wabah berjangkit di komunitasnya.
Berbagai literatur menunjukkan kelompok ekonomi menengah dan atas
memiliki kesempatan lebih besar untuk mengurangi tingkat keterpaparan.
Pada tingkat individu maupun rumah tangga mereka mampu menurunkan
faktor risiko baik dalam situasi pandemi maupun bencana seperti tsunami dan
gempa bumi.  Misalnya aksi panic buying; selang beberapa jam setelah
pengumuman dua kasus COVID-19 di Indonesia harga masker langsung
melonjak tajam. Panic buying membuat masyarakat berbondong membeli
masker sehingga harga pasaran berlipat bahkan mencapai Rp 350 ribu untuk
harga normal Rp 25 ribu. Munculnya rumor bahwa isolasi akan diberlakukan

27
kebutuhan pokok juga menjadi sasaran kenaikan harga terutama di sekitar
Depok dimana lokasi kasus pertama dilaporkan. 
Akumulasi “persiapan” yang dilakukan oleh kelompok menengah dan
atas menimbulkan distorsi harga dan mengganggu persediaan di tingkat pasar.
Pada situasi ini kelompok masyarakat miskin tidak diuntungkan. Fluktuasi
harga yang terlalu besar membuat mereka tertinggal start dalam bersiap
menghadapi risiko terburuk dan berakhir sebagai penonton saja.
Posisi kelompok ini semakin rentan apabila tinggal di lokasi dengan
kualitas lingkungan yang buruk atau jauh dari fasilitas kesehatan. Pada rumah
tangga yang tidak memiliki akses air bersih atau harus membeli air akan
menurunkan prevalensi untuk sanitasi. Akibatnya mempercepat proses
transmisi. Selain itu penyebaran virus ini melalui udara yang terinhalasi atau
terhirup lewat hidung dan mulut sehingga masuk dalam saluran pernafasan.
Permukiman dengan kerapatan bangunan tinggi, jumlah penghuni yang padat
dalam satu unit tempat tinggal dipastikan berdampak pada tingginya tingkat
keterpaparan terhadap virus. 
Berikutnya, lemahnya daya tawar di tempat bekerja. Jika pada akhirnya
wabah merebak dan pada skenario terburuk tempat kerja terpaksa
merumahkan karyawan dalam jangka waktu tertentu- bagaimana keluarga
tersebut dapat terus bertahan? Kelompok miskin yang berprofesi sebagai
pekerja harian misalnya akan kehilangan pendapatan yang dipergunakan
untuk mendukung kesiapan menghadapi pandemi. Situasi akan semakin parah
pada rumah tangga dengan orang tua tunggal. Tidak adanya mekanisme
social safety net akan memaksa pencari nafkah keluar rumah dan menambah
risiko keterpaparan.
Mungkin saat ini pemerintah sudah menyiapkan banyak skenario
kesehatan menghadapi pandemi yang sudah mengakibatkan terganggunya ini.
Akan tetapi perencanaan pengurangan risiko merebaknya COVID-19 di
Indonesia perlu mempertimbangkan kembali intervensi yang mampu
menjawab permasalahan sosial terutama membantu kelompok miskin yang
rentan. Dengan memahami konteks bahwa pandemi bukan sebuah peristiwa
yang bersifat “socially neutral” dan bukan pula semata isu pharmaceutical
akan mampu menyelamatkan lebih banyak jiwa dan mengurangi kerugian
ekonomi secara lebih efektif. 

28
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kualitas penduduk dicerminkan dari tingkat pendapatan, tingkat
pendidikan, dan tingkat kesehatan. Faktor-faktor yang dapat
menggambarkan masih rendahnya tingkat kesehatan di Indonesia adalah:
a. Banyaknya lingkungan yang kurang sehat.
b. Penyakit menular sering berjangkit.
c. Gejala kekurangan gizi sering dialami penduduk.
d. Angka kematian bayi yang masih tinggi
Usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas kesehatan
penduduk Indonesia yaitu :
a. Melaksanakan program perbaikan gizi.
b. Perbaikan lingkungan hidup dengan cara mengubah perilaku sehat
penduduk, serta melengkapi sarana dan prasarana kesehatan.
c. Penambahan jumlah tenaga medis seperti dokter, bidan, dan perawat.
d. Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular.
e. Pembangunan Puskesmas dan rumah sakit.
f. Pemberian penyuluhan kesehatan kepada masyarakat.
g. Penyediaan air bersih.
h. Pembentukan Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), kegiatan posyandu
meliputi:
 Penimbangan bayi secara berkala
 Imunisasi bayi/balita
 Pemberian makanan tambahan

29
 Penggunaan garam oralit
 Keluarga berencana
 Peningkatan pendapatan wanita
Pandemi membawa dampak yang merusak tatanan masyarakat selain
risiko morbiditas. Berbagai literatur menunjukkan kelompok ekonomi
menengah dan atas memiliki kesempatan lebih besar untuk mengurangi
tingkat keterpaparan. Besarnya korban pada kelompok masyarakat miskin
baik secara hitungan jatuhnya korban jiwa dan kerugian ekonomi dengan
cepat terlupakan. Posisi kelompok ini semakin rentan apabila tinggal di lokasi
dengan kualitas lingkungan yang buruk atau jauh dari fasilitas kesehatan.
Pada rumah tangga yang tidak memiliki akses air bersih atau harus membeli
air akan menurunkan prevalensi untuk sanitasi. Akibatnya mempercepat
proses transmisi.
Penyebaran virus ini melalui udara yang terinhalasi atau terhirup lewat
hidung dan mulut sehingga masuk dalam saluran pernafasan. Permukiman
dengan kerapatan bangunan tinggi, jumlah penghuni yang padat dalam satu
unit tempat tinggal dipastikan berdampak pada tingginya tingkat keterpaparan
terhadap virus. 

B. Saran
Saran penulis mari kita sama-sama menyukseskan program pemerintah
tentang KB dan peduli akan lingkungan sehingga tercapainya tujuan bangsa
yaitu mensejahtrakan rakyat. Serta bersama sama untuk saling menjaga agar
resiko yang ditimbulkan akibat pandemic yang tengah terjadi bias
diminimalisir sebaik mungkin mengingat permasalah penduduk di Indonesia
sangat berpengaruh terhadap penyebaran virus yang jika terus terjadi maka
akibat yang ditimbulkan semakin banyak.

30
DAFTAR PUSTAKA

Anonim.________.Persebaran dan Kepadatan Penduduk. (online).


(http://www.scribd.com/doc/70499413/Persebaran-Dan
KepadataPenduduk). Di Akses pada tanggal 14 Maret 2013.

Anonim. ________ . Sensus Penduduk 2010. (online). (http://sp2010.bps.go.id/)


Diakses pada tanggal 14 Maret 2013

Bappenas. 2004. Bab 30 Pengendalian Pertumbuhan Penduduk, Pembangunan


Kependudukan dan Keluarga Kecil Berkualitas [Online :
http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/838/].

Bappenas. Pembangunan Kependudukan Dan Keluarga Kecil Berkualitas Serta


Pemuda Dan Olahraga. (online).
http://kppo.bappenas.go.id/files/PEMBANGUNAN
%20KEPENDUDUKAN%20DAN%20KELUARGA%20KECIL
%20BERKUALITAS%20SERTA%20PEMUDA%20DAN
%20OLAHRAGA.pdf. Diakses 14 maret 2013.

BKKBN. 2001. Operasionalisasi Program dan Kegiatan Strategis Peningkatan


Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi.
Jakarta.

BKKBN. 2003. Peningkatan Partisipasi Pria Dalam Keluarga Berencana dan


Kesehatan Reproduksi. Jakarta.

BKKBN. 2011. Perkawinan Muda di Kalangan Perempuan: Mengapa?. Jakarta.


Ekayanthi, Ni Wayan Dian. 2005. Persepsi Pria Pasangan Usia Subur Terhadap
Partisipasi Pria Dalam Program KB di Kecamatan Tabanan Kab.
Tabanan Prop Bali. UGM. Yogyakarta.

Ganis. 2010. Masalah Pendidikan Di Indonesia. (online).


(http://ganis.student.umm.ac.id/2010/01/26/mahalnya-biaya-sekulah-di-
masa-sekarang/) di akses pada tanggal 14 Maret 2013.

31
Iman, Saptono Budisantoso. 2008. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana Di Kecamatan Jetis
Kabupaten Bantul. Magster Promosi Kesehatan Program Pascasarjana
Universitas Dipoegoro. Semarang

Kemdiknas. _______. Kualitas Penduduk Rendah. (online).


(http://belajar.kemdiknas.go.id/index3.php?
display=view&mod=script&cmd=Bahan%20Belajar/Modul
%20Online/SMP/view&id=134&uniq=1280). Di akses pada tanggal 14
Maret 2013.
Kemendagri. 2012. Kualitas Penduduk Indonesia Masih Memprihatinkan.
(online).
(http://www.dukcapil.kemendagri.go.id/learning/detail/20120425121846
43). Diakses pada tanggal 13 Maret 2013.

Suprihastuti, DR. 2000. Pengambilan Keputusan Penggunaan Alat Kontrasepsi


Pria di Indonesia. Analisis Hasil SDKI 1997. Jakarta

http://repository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000741/uii-skripsi-05410167 avy
%20setya%20dewi-05410167-AVY%20SETYA%20DEWI-
1011329489-bab%201.pdf

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33144/4/Chapter%20I.pdf

Andrianty, Istoqomah, dkk. 2012. PARTISIPASI PRIA DALAM DALAM


KELUARGA BERENCANA DI KELURAHAN SUKAMANAH
KECAMATAN CIPEDES KOTA TASIKMALAYA. (Online).
(http://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=UPAYA+UNTUK+MENGATASI+RENDAHNYA+PRI
A+DALAM+BER+KB&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CC0QFjA
A&url=http%3A%2F%2Fjournal.unsil.ac.id%2Fdownload.php%3Fid
%3D655&ei=LuRBUccCwuisB7CIgMgN&usg=AFQjCNGJEcEoa3aw0
bcpCm2ffK94O__vtw&bvm=bv.43287494,d.bmk). Diakses pada tanggal
14 Maret 2013.

file:///F:/semester%208/kependudukan%20dan%20fertilitas/Bencana%20Pandemi
%20COVID-19%20Tidak%20%E2%80%9CSocially%20Neutral
%E2%80%9D!%20-%20Pusat%20Penelitian%20Kependudukan
%20LIPI%20_%20Pusat%20Penelitian%20Kependudukan%20LIPI.html
diakses tanggal 05/04/ 2020 jam 10.00 wib

https://www.academia.edu/4673480/MAKALAH_MASALAH_KEPENDUDUK
AN diakses diakses tanggal 06/04/ 2020 jam 20.00 wib

32

Anda mungkin juga menyukai