Disusun oleh :
Kelompok 7
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Penyusun
DAFTAR ISI
ii
Kata Pengantar..................................................................................................ii
Daftar Isi...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................2
1.3 Tujuan......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................3
2.1 Bagainama yang dimaksud dengan ginjal..............................................3
2.2 Bagaimana Gagal ginjal akut..................................................................5
2.3 Bagaimana Review jurnal......................................................................21
BAB III PENUTUP.........................................................................................28
3.1 Kesimpulan............................................................................................28
3.2 Saran......................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................30
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Bagaimana yang dimaksud dengan ginjal?
1.2.2 Bagainama Gagal Ginjal Akut?
1.2.3 Bagainama Review Jurnal?
1.3 TUJUAN
1.3.1 Mengetahui yang dimaksud dengan ginjal
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 GINJAL
2.1.1 DEFINISI
2.1.2 ANATOMI
3
adiposa dan jaringan terluar adalah fascia renal. Ketiga lapisan jaringan ini
berfungsi sebagai pelindung dari trauma dan memfiksasi ginjal ( Tortora
dan Derrickson., 2011).
Ginjal memiliki korteks ginjal di bagian luar yang berwarna coklat
gelap. Korteks ginjal mengandung jutaan alat penyaring disebut nefron.
Setiap nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus. Medula ginjal terdiri
dari beberapa massa – massa triangular disebut piramida ginjal dengan
basis menghadap korteks dan bagian apeks yang menonjol ke medial.
Piramida ginjal berguna untuk mengumpulkan hasil eksresi kemudian
disalurkan ke tubulus kolektivus menuju pelvis ginjal (Tortora dan
Derrickson., 2011).
2.1.3 FISIOLOGI
4
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan
komposisi kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengeksresi
zat terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan
filtrasi plasma darah melalui glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah zat
terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal.
Kelebihan zat terlarut dan air di eksresikan keluar tubuh dalam urin
melalui sistem pengumpulan urin (Price dan Wilson., 2012).
Ginjal mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri. Ginjal
kemudian akan mengambil zat - zat yang berbahaya dari dari darah. Zat –
zat yang diambil dari darah pun diubah menjadi urin. Urin lalu akan
dikumpulkan dan dialirkan ke ureter. Setelah ureter, urin akan ditampung
terlebih dahulu di kandung kemih. Bila orang tersebut merasakan
keinginan berkemih dan keadaan memungkinkan, maka urin yang
ditampung di kandung kemih akan dikeluarkan lewat uretra (Sherwood.,
2011).
Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin,
yaitu filtrasi, reabsorpsi dan sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan
filtrasi sejumlah besar cairan yang hampir bebas protein dari kapiler
glomerulus ke kapsula bowman. Kebanyakan zat dalam plasma kecuali
protein, difiltrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat
glomerulus dalam kapsula bowman hampir sama dengan plasma. Awalnya
zat akan difiltrasi secara bebas oleh kapiler glomerulus tetapi tidak
difiltrasi kemudian direabsorpsi parsial, reabsorpsi lengkap dan kemudian
akan dieksresi (Sherwood., 2011).
2.2.1 DEFINISI
5
mengatur homeostasis cairan dan elektrolit.1 Istilah gangguan ginjal akut
merupakan akibat adanya perubahan paradigma yang dikaitkan dengan
klasifikasi dan ketidakmampuan dalam mengenal gejala dini serta
prognosis (Andreoli SP, 2009).
Acute Kidney Injury (AKI) adalah penurunan cepat (dalam jam
hingga 6 minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya
berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa
metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit. Acute Dialysis Quality Initia- tive (ADQI) yang beranggotakan
para nefrolog dan intensivis di Amerika pada tahun 2002 sepakat
mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi
kidney diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam,
sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat
menggambarkan patologi gangguan ginjal (KDIGO, 2012).
2.2.2 EPIDEMIOLOGI
6
Terkait dengan epidemiologi GGA, terdapat variasi definisi yang
digunakan dalam studi klinis dan diperkirakan menyebabkan variasi yang
luas dari laporan insiden dari GGA itu sendiri (1-31%) dan angka
mortalitasnya (19-83%). Dalam penelitian Hoste (2006) diketahui AKI
terjadi pada 67 % pasien yang di rawat di ruang intensif dengan maksimal
RIFLE yaitu 12% kelas R, 27% kelas I dan 28% kelas F. Hospital
mortality rate untuk pasien dengan maksimal RIFLE kelas R, I dan F
berturut- turut 8.8%, 11.4% dan 26.3% dibandingkan dengan pasien tanpa
AKI yaitu 5.5%.8 Namun hasil penelitian Ostermann (2007) menunjukkan
Hospital mortality rate yang lebih tinggi yaitu 20.9%, 45.6% dan 56.8%
berturutturut untuk maksimal kelas RIFLE R, I, dan F.(4,5)
Paparan Susceptibilitas
Sepsis Dehidrasi dan depresi cairan
Penyakit kritis Usia lanjut
Syok sirkulasi Perempuan
Luka bakar Black race
Trauma CKD
Operasi jantung (terutama dengan Penyakit kronik (jantung, paru, liver)
CPB)
Operasi major nonkardiak Diabeter mellitus
Obat nefrotoksik Kanker
Agen radiokontras Anemia
Racun tanaman atau hewan
7
resiko AKI sebagai bagian dari evaluasi awal admisi emergensi disertai
pemeriksaan biokimia. Monitor tetap dilaksanakan pada pasien dengan
resiko tinggi hingga resiko pasien hilang.
2.2.4 PATOFISIOLOGI
Terdapat tiga kategori GGA (gagal ginjal akut) yaitu prerenal, renal dan
postrenal dengan mekanisme patofisiologi berbeda.
2.2.4.1 Prerenal
Prerenal ditandai dengan berkurangnya pasokan darah ke
ginjal. Penyebab umumnya yaitu terjadinya penurunan volume
intravaskular karena kondisi seperti perdarahan, dehidrasi, atau
hilangnya cairan gastrointestinal. Kondisi berkurangnya curah
jantung misalnya gagal jantung kongestif atau infark miokard dan
hipotensi juga dapat mengurangi aliran darah ginjal yang
mengakibatkan penurunan perfusi glomerulus dan prerenal ARF
(Stamatakis, 2008).
Penurunan aliran darah ginjal ringan sampai sedang
mengakibatkan tekanan intraglomerular yang disebabkan oleh
pelebaran arteriola aferen (arteri yang memasok darah ke
glomerulus), penyempitan arteriola eferen (arteri yang membawa
darah dari glomerulus), dan redistribusi aliran darah ginjal ke
medula ginjal. Fungsional ARF terjadi ketika mekanisme adaptif
terganggu dan hal tersebut sering disebabkan oleh obat-obatan,
antara lain: NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug)
merusak dilasi mediator prostaglandin dari arteriola aferen. ACEI
(Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor) dan ARB (Angiotensin
Receptor Blocker) menghambat angiotensin II dimediasi oleh
penyempitan arteriola eferen. Siklosporin dan takrolimus terutama
dalam dosis tinggi merupakan vasokonstriktor ginjal yang poten.
Semua agen tersebut dapat mengurangi tekanan intraglomerular
dengan penurunan GFR (Glomerular Filtration Rate) (Stamatakis,
2008).
8
2.2.4.2 Renal
Gagal ginjal intrinsik, disebut juga sebagai intrarenal ARF
disebabkan oleh penyakit yang dapat mempengaruhi integritas
tubulus, pembuluh glomerulus, interstitium, atau darah. ATN
(Acute Tubular Necrosis) merupakan kondisi patofisiologi yang
dihasilkan dari obat (aminoglikosida atau amfoterisin B) atau
iskemik terhadap ginjal (Stamatakis, 2008).
2.2.4.3 Postrenal
Postrenal terjadi karena obstruksi aliran kemih oleh beberapa
sebab, antara lain: hipertrofi prostat jinak, tumor panggul, dan
pengendapan batu ginjal (Stamatakis, 2008).
2.2.5 ETIOLOGI
9
Ketika perfusi ginjal terganggu, terjadi relaksasi arteriol aferen
pada tonus vaskular untuk menurunkan resistensi vaskular ginjal dan
memelihara aliran darah ginjal. Selama terjadi hipoperfusi ginjal,
pembentukan prostaglandin vasodilator intrarenal, termasuk
prostasiklin, memperantarai terjadinya vasodilatasi mikrovasular ginjal
untuk memelihara perfusi ginjal. Pemberian inhibitor siklooksigenase
seperti aspirin atau obat anti inflamasi non steroid dapat menghambat
terjadinya mekanisme kompensasi dan mencetuskan insufisiensi ginjal
akut (Alatas H, 2002).
Ketika tekanan perfusi ginjal rendah, dengan akibat terjadi stenosis
arteri renalis, tekanan intraglomerular berusaha untuk meningkatkan
kecepatan filtrasi, yang diperantarai oleh peningkatan pembentukan
angiotensin II intrarenal sehingga terjadi peningkatan resistensi eferen
arteriolar. Pemberian inhibitor angiotensin-converting enzyme pada
kondisi ini dapat menghilangkan tekanan gradien yang dibutuhkan
untuk meningkatkan filtrasi dan mencetuskan terjadinya acute kidney
injury (Alatas H, 2002).
Pre-renal injury dihasilkan dari hipoperfusi ginjal berhubungan
dengan kontraksi volum dari perdarahan, dehidrasi, penyakit adrenal,
diabetes insipidus nefrogenik atau sentral, luka bakar, sepsis, sindrom
nefrotik, trauma jaringan, dan sindrom kebocoran kapiler. Penurunan
volum darah efektif terjadi ketika volum darah normal atau meningkat,
namun perfusi ginjal menurun berhubungan dengan penyakit seperti
gagal jantung kongestif, tamponade jantung, dan sindrom hepatorenal.
Walaupun pre-renal injury disebabkan oleh penurunan volum atau
penurunan volum darah efektif, koreksi dari gangguan penyerta akan
memulihkan fungsi ginjal kembali normal (Myjak, 2010).
Beberapa penilaian dari parameter urin, termasuk osmolalitas urin,
konsentrasi natrium urin, fraksi ekskresi natrium, dan indeks gagal
ginjal dapat digunakan untuk membantu membedakan pre-renal injury
dengan GnGA oleh karena hipoksia/iskemia yang disebut juga
vasomotor nephropathy dan atau acute tubular necrosis. Tubulus renalis
10
bekerja dengan baik pada pre-renal injury dan mampu untuk mengubah
garam dan air, sedangkan pada vasomotor nephropathy, tubulus bersifat
ireversibel dan tidak mampu untuk mengubah garam dengan baik.
Selama pre-renal injury, tubulus berespon terhadap penurunan perfusi
ginjal dengan mengubah natrium dan air sehingga osmolalitas urin >
400-500 mosmol/l. Natrium urin < 10-20 mEq/l, dan fraksi ekskresi
dari natrium < 1% (Myjak, 2010).
11
kejadian hypoxic/ischemic injury, dan iNOS membantu terjadinya
pembentukan oksigen reaktif dan molekul nitrogen. Inducible nitric
oxide synthase, bersamaan pembentukan metabolit toksik nitrit
oksida termasuk peroxynitrate, telah diketahui sebagai perantara
tubular injury pada hewan percobaan dengan acute kidney injury
(Whyte DA, 2008).
Sebagai respon awal dari hypoxic/ishemic GGA adalah
pengurangan ATP yang dikaitkan dengan jumlah dari bahan
biokimia yang merusak dan adanya respon fisiologi, termasuk
gangguan dari sitoskeleton dengan hilangnya apical brush border
dan hilangnya polaritas dengan Na+K +ATPase berlokasi pada
daerah apikal berdekatan dengan membran basal. Molekul oksigen
reaktif juga terlibat selama reperfusi dan berperan terhadap
kerusakan jaringan. Pada saat sel tubular dan sel endotel
mengalami kerusakan oleh molekul oksigen reaktif, diketahui
bahwa sel endotel lebih sensitif terhadap oxidant injury
dibandingkan dengan sel epitel tubular. Pada penelitian
sebelumnya diketahui pentingnya peran dari heat shock protein
dalam mengubah respon ginjal terhadap ischemic injury yang
berperan meningkatkan penyembuhan dari sitoskeleton selama
terjadinya GGA (Whyte DA, 2008).
Pada anak dengan kegagalan multiorgan, systemic
inflammatory response dipikirkan berperan dalam GnGA sebagai
disfungsi organ oleh aktivasi respon inflamasi, termasuk
peningkatan produksi sitokin dan molekul oksigen reaktif, aktivasi
polymorphonuclear leucocytes (PMNs), dan peningkatan ekspresi
dari molekul adhesi. Molekul oksigen reaktif dapat dibentuk
melalui beberapa mekanisme termasuk aktivasi PMN, yang dapat
menimbulkan kerusakan melalui pembentukan molekul oksigen
reaktif termasuk anion superoksida, hidrogen peroksida, radikal
hidroksil, asam hipokloral, dan peroksinitrit, atau melalui
pelepasan dari enzim proteolitik. Myeloperoksidase dari aktivasi
12
PMN menjadi hidrogen peroksida kemudian asam hipoklor, yang
bereaksi dengan kelompok amino menjadi bentuk kloramin.
Masing-masing dapat mengoksidasi protein, DNA, dan lipid,
menghasilkan kerusakan jaringan penting. Molekul adhesi sel
endotel lekosit diperlihatkan pada acute tubular necrosis yang tidak
teratur, dan pemberian molekul anti adhesi dapat menurunkan
kerusakan ginjal pada hewan percobaan dengan ATN (Whyte DA,
2008). Perbaikan dari hipoxic/ischemic dan nephrotoxic GnGA
dapat sempurna ditandai dengan kembalinya fungsi ginjal menjadi
normal, tetapi penelitian terkini menyebutkan bahwa perbaikan
bersifat parsial dan pasien memiliki risiko tinggi untuk terjadi
chronic kidney disease kemudian (Whyte DA, 2008).
13
bersifat nefrotoksik dan mencetuskan terjadinya acute kidney
injury (Whyte DA, 2008).
Hemolisis dan rabdomiolisis oleh karena beberapa
penyebab dapat menghasilkan hemoglobinuria atau yang
mencetuskan terjadinya kerusakan tubular dan acute kidney
injury
3. Uric acid nephropathy dan tumor lysis syndrome
Anak dengan acute lymphocytic leukemia dan B-cell
lymphoma memiliki risiko tinggi untuk terjadinya GnGA, hal ini
dihubungkan dengan uric acid nephropathy dan atau tumor lysis
syndrome. Walaupun patogenesis dari uric acid nephropathy
bersifat komplek, mekanisme penting terjadinya kerusakan
dihubungkan dengan munculnya kristal dalam tubulus, yang
menyebabkan aliran urin terhambat, atau hambatan
mikrovaskular ginjal, yang mengakibatkan aliran darah ginjal
terhambat. Penyebab utama GnGA pada lekemia adalah
berkembangnya tumor lysis syndome selama kemoterapi, tetapi
dengan alopurinol akan membatasi peningkatan ekskresi asam
urat selama kemoterapi, namun alopurinol akan menghasilkan
peningkatan ekskresi prekursor asam urat termasuk hypoxanthine
dan xanthin, dan mencetuskan terjadinya xanthine nephropathy.
Xanthin sedikit lebih larut dalam urin dibandingkan asam urat,
dan pembentukan dari hypoxanthine dan xanthine berperan
dalam berkembangnya GnGA selama tumor lysis syndrome.
Rasburicase merupakan bentuk rekombinan dari urate oxidase
yang mengkatalisasi asam urat menjadi allantoin, yang lima kali
lebih larut daripada asam urat. Rasburicase bersifat efektif dan
memiliki toleransi yang baik dalam pencegahan gagal ginjal pada
pasien anak dengan tumor lysis syndrome. GnGA selama tumor
lysis syndrome dapat menimbulkan hiperfosfatemia nyata berasal
dari pemecahan cepat dari sel tumor dan mencetuskan
pembentukan kristal kalsium fosfat (Whyte DA, 2008)
14
4. Acute interstitial nephritis
Acute interstitial nephritis (AIN) dapat menyebabkan gagal
ginjal sebagai hasil reaksi terhadap obat atau dihubungkan dengan
acute interstitial nephritis idiopatik. Anak dengan AIN terdapat
gejala rash, demam, artralgia, eosinofilia, dan piuria dengan atau
tanpa eosinofiluria. Obat-obatan yang dihubungkan dengan
terjadinya AIN termasuk metisilin dan golongan penisilin lainnya,
simetidin, sulfonamid, rifampin, obat anti inflamasi non-steroid,
dan proton pump inhibitors. Acute interstitial nephritis yang
dihubungkan dengan obat anti inflamasi non-steroid dapat ditandai
dengan proteinuria bermakna serta mencetuskan sindrom nefrotik.
Penanganan spesifik yaitu penghentian obat tersebut yang
menyebabkan AIN (Whyte DA, 2008)
6. Nekrosis kortikal
15
sebagai penyebab acute kidney injury lebih sering terjadi pada
anak lebih muda terutama neonatus. Nekrosis kortikal dihubungkan
dengan hypoxic/ischemic pada anoksia perinatal, dan twin-twin
transfusions dengan akibat aktivasi dari kaskade koagulase. Anak
dengan nekrosis kortikal biasanya memiliki gross hematuria atau
hematuria mikroskopis dan oliguria dan dengan tanda hipertensi.
Dari gambaran laboratorium terjadi peningkatan nilai BUN dan
kreatinin, trombositopenia yang berhubungan dengan kerusakan
mikrovaskular. Gambaran radiografi termasuk gambaran normal
dari USG ginjal pada fase awal, dan USG ginjal pada fase lebih
lanjut memperlihatkan ginjal telah atrofi dan pengurangan ukuran
ginjal. Prognosis untuk nekrosis kortikal adalah lebih buruk
dibandingkan dengan acute tubular necrosis. Anak dengan nekrosis
kortikal dapat mengalami perbaikan parsial atau sama sekali tidak
perbaikan. Hemolytic Uremic Syndrome merupakan penyebab
GnGA yang sering pada anak dan dihubungkan dengan angka
morbiditas dan mortalitas dan komplikasi jangka panjang yang
pada dewasa biasanya tidak terlihat nyata (Whyte DA, 2008).
2.2.5.3.Obstructive uropathy
Obstruksi dari saluran urin dapat menyebabkan acute kidney
injury jika obstruksi terjadi pada ginjal unilateral, bilateral ureter,
atau jika ada obstruksi uretra. Obstruksi dapat diakibatkan
malformasi kongenital seperti katup uretral posterior, bilateral
ureteropelvic junction obstruction, atau bilateral obstructive
ureteroceles. Kelainan kongenital yang paling sering adalah katup
uretra posterior. Obstruksi saluran urin didapat dihasilkan dari
hambatan batu ginjal atau lebih jarang karena tumor. Ini penting
untuk mengevaluasi adanya obstruksi. Di Indonesia biasanya
disebabkan oleh kristal asam jengkol (intoksikasi jengkol).
Obstruksi dapat terjadi di seluruh saluran kemih mulai dari uretra
sampai ureter dan pelvis. Sampai sekarang belum ada bukti
16
terjadinya kristalisasi di tubulus. Tindakan yang cepat dengan
alkalinisasi urin dengan bikarbonat natrikus dapat melarutkan
kristal tersebut, tetapi pada beberapa kasus yang datang terlambat,
kadang-kadang sampai memerlukan tindakan dialisis (Whyte DA,
2008).
Uropati obstruktif adalah penyebab penting GnGA dan CKD
pada anak yang bersifat potensial reversibel.7 Uropati obstruktif
neonatal merupakan penyebab utama GnGA pada neonatus.
Etiologi uropati obstruktif biasanya adalah kelainan kongenital
saluran kemih, kadangkadang saja didapat. Kelainan kongenital
merupakan faktor predisposisi untuk obstruksi aliran kemih yang
dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal dan stasis aliran kemih
dan mudah menimbulkan infeksi saluran kemih berulang,
selanjutnya dapat mengakibatkan Chronic kidney disease.
Obstruksi kongenital juga dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan ginjal (Whyte DA, 2008)
2.2.6 DIAGNOSIS
Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan
yang telah dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah
keadaan tersebut memang merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan
akut pada PGK. Beberapa patokan umum yang dapat membedakan kedua
keadaan ini antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab
AKI, pemeriksaan klinis (anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan
penyakit (pemulihan pada AKI) dan ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak
sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal umumnya berukuran kecil
pada PGK, namun dapat pula berukuran normal bahkan membesar seperti
pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal polikistik. Upaya pendekatan
diagnosis harus pula mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI, dan
penentuankomplikasi (Mehta RL et al, 2007).
2.2.7 PENATALAKSANAAN
17
Menurut definisi, AKI prerenal adalah reversibel pada koreksi
kelainan utama hemodinamik, dan AKI postrenal dengan menghilangkan
obstruksi. Sampai saat ini, tidak ada terapi khusus untuk mendirikan AKI
intrinsik renal karena iskemia atau nefrotoksisitas. Manajemen gangguan
ini harus fokus pada penghapusan hemodinamik kelainan penyebab atau
toksin, menghindari gejala tambahan, dan pencegahan dan pengobatan
komplikasi. Pengobatan khusus dari penyebab lain dari AKI renal
tergantung pada patologi yang mendasari (Mehta RL et al., 2007)
2.2.7.1 GGA Prarenal
Komposisi cairan pengganti untuk pengobatan GGA prerenal
akibat hipovolemia harus disesuaikan sesuai dengan komposisi cairan
yang hilang. Hipovolemia berat akibat perdarahan harus dikoreksi
dengan packed red cells, sedangkan saline isotonik biasanya pengganti
yang sesuai untuk ringan sampai sedang perdarahan atau plasma loss
(misalnya, luka bakar, pankreatitis). Cairan kemih dan gastrointestinal
dapat sangat bervariasi dalam komposisi namun biasanya hipotonik.
Solusi hipotonik (misalnya, saline 0,45%) biasanya direkomendasikan
sebagai pengganti awal pada pasien dengan GGA prerenal akibat
meningkatnya kehilangan cairan kemih atau gastrointestinal, walaupun
salin isotonik mungkin lebih tepat dalam kasus yang parah. Terapi
berikutnya harus didasarkan pada pengukuran volume dan isotonik
cairan yang diekskresikan. Kalium serum dan status asam-basa harus
dimonitor dengan hatihati. Gagal jantung mungkin memerlukan
manajemen yang agresif dengan inotropik positif, preload dan afterload
mengurangi agen, obat antiaritmia, dan alat bantu mekanis seperti
pompa balon intraaortic. Pemantauan hemodinamik invasif mungkin
diperlukan untuk memandu terapi untuk komplikasi pada pasien yang
penilaian klinis fungsi jantung dan volume intravaskular sulit (Mehta
RL et al., 2007).
18
AKI akibat lain penyakit ginjal intrinsik seperti glomerulonefritis
akut atau vaskulitis dapat merespon glukokortikoid, alkylating agen,
dan atau plasmapheresis, tergantung pada patologi primer.
Glukokortikoid juga mempercepat remisi pada beberapa kasus
interstitial nefritis alergi. Kontrol agresif tekanan arteri sistemik adalah
penting penting dalam membatasi cedera ginjal pada hipertensi ganas
nephrosclerosis, toxemia kehamilan, dan penyakit pembuluh darah
lainnya. Hipertensi dan AKI akibat scleroderma mungkin sensitif
terhadap pengobatan dengan inhibitor ACE (Mehta RL et al., 2007).
19
hindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan
pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin. Selama tahap poliuria
(tahap pemeliharaan dan awal perbaikan), beberapa pasien dapat
mengalami defisit cairan yang cukup berarti, sehingga pemantauan
ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit harus
dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara ketat
dengan pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit
urin dan serum (Osterman M, 2007).
2.2.8 PROGNOSIS
Mortalitas akibat GGA bergantung keadaan klinik dan derajat gagal
ginjal. Perlu diperhatikan faktor usia, makin tua makin jelek prognosanya,
adanya infeksi yang menyertai, perdarahan gastrointestinal, penyebab yang
berat akan memperburuk prognosa. Penyebab kematian tersering adalah
infeksi (30-50%), perdarahan terutama saluran cerna (10-20%), jantung
(10-20%), gagal nafas (15%), dan gagal multiorgan dengan kombinasi
hipotensi, septikemia, dan sebagainya. Pasien dengan GGA yang
menjalani dialysis angka kematiannya sebesar 50-60%, karena itu
pencegahan, diagnosis dini, dan terapi dini perlu ditekankan (Mehta RL,
2003)
2.2.9 PENCEGAHAN
Pencegahan GGA terbaik adalah dengan memperhatikan status
hemodinamik seorang pasien, mempertahankan keseimbangan cairan dan
mencegah penggunaan zat nefrotoksik maupun obat yang dapat
mengganggu kompensasi ginjal pada seseorang dengan gangguan fungsi
ginjal. Dopamin dosis ginjal maupun diuretik tidak terbukti efektif
mencegah terjadinyaAKI (Mehta RL, 2003).
20
2.3.1 JUDUL
Gambaran Klinis Penderita Penyakit Ginjal Kronik yang
Menjalani Hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil Padang
2.3.2 PENDAHULUAN
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada
ginjal ditandai dengan abnormalitas struktur ataupun fungsi ginjal
yang berlangsung lebih dari 3 bulan. PGK ditandai dengan satu
atau lebih tanda kerusakan ginjal yaitu albuminuria, abnormalitas
sedimen urin, elektrolit, histologi, struktur ginjal, ataupun adanya
riwayat transplantasi ginjal, juga disertai penurunan laju filtrasi
glomerulus (KDIGO, 2012).
Penyebab kerusakan ginjal pada PGK adalah multifaktorial
dan kerusakannya bersifat ireversibel (SIGN, 2008). Penyebab
PGK pada pasien hemodialisis baru di Indonesia adalah
glomerulopati primer 14%, nefropati diabetika 27%, nefropati
lupus/SLE 1%, penyakit ginjal hipertensi 34%, ginjal polikistik
1%, nefropati asam urat 2%, nefropati obstruksi 8%, pielonefritis
kronik/PNC 6%, lain-lain 6%, dan tidak diketahui sebesar 1%.
Penyebab terbanyak adalah penyakit ginjal hipertensi dengan
persentase 34 %.6
Mekanisme dasar terjadinya PGK adalah adanya cedera
jaringan. Cedera sebagian jaringan ginjal tersebut menyebabkan
pengurangan massa ginjal, yang kemudian mengakibatkan
terjadinya proses adaptasi berupa hipertrofi pada jaringan ginjal
normal yang masih tersisa dan hiperfiltrasi. Namun proses adaptasi
tersebut hanya berlangsung sementara, kemudian akan berubah
menjadi suatu proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang
masih tersisa. Pada stadium dini PGK, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal, pada keadaan dimana basal laju filtrasi glomerulus
(LFG) masih normal atau malah meningkat. Secara perlahan tapi
21
pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif (Murtagh
FE, 2007).
Modifikasi faktor resiko PGK dilakukan pada hipertensi,
obesitas morbid, sindroma metabolik, hiperkolesterolemia, anemia,
dan rokok (Henry Ford, 2011). Menurut KDIGO, PGK dengan
tanda-tanda kegagalan ginjal (serositis, gangguan keseimbangan
asam-basa atau elektrolit, pruritus), kegagalan pengontrolan
volume dan tekanan darah, gangguan status gizi yang refrakter, dan
gangguan kognitif membutuhkan terapi hemodialisis. Pada
penderita yang sudah mencapai PGK derajat IV (eGFR
<30mL/menit/1,73m2) juga harus dimulai terapi hemodialisis
(KDIGO, 2012).
Hemodialisis adalah proses pertukaran zat terlarut dan
produk sisa tubuh. Zat sisa yang menumpuk pada pasien PGK
ditarik dengan mekanisme difusi pasif membran semipermeabel.
Perpindahan produk sisa metabolik berlangsung mengikuti
penurunan gradien konsentrasi dari sirkulasi ke dalam dialisat.
Dengan metode tersebut diharapkan pengeluaran albumin yang
terjadi pada pasien PGK dapat diturunkan, gejala uremia
berkurang, sehingga gambaran klinis pasien juga dapat membaik
(Liu KD, 2010). Hemodialisis dapat mempengaruhi gambaran
klinis penderita PGK, berupa gejala mual muntah, anoreksia,
anemia, pruritus, pigmentasi, kelainan psikis, insomnia, hipertensi,
maupun gejala lainnya (Sukandar E, 2009).
2.3.3 TUJUAN
Melakukan penelitian mengenai gambaran klinis pada
penderita PGK (PGK derajat V) setelah menjalani hemodialisis di
RSUP. Dr. M. Djamil Padang.
2.3.4 METODE
22
Penelitian ini merupakan studi deskriptif observasional
yang telah dilakukan di bagian rekam medik dan unit hemodialisis
RSUP Dr. M. Djamil Padang pada Agustus sampai November
2016. Sampel penelitian ini mencakup semua penderita PGK
dewasa yang menjalani Hemodialisis (HD) dengan data rekam
medis lengkap berupa umur dan jenis kelamin, data gambaran
klinis dan hasil laboratorium. Pengambilan sampel dilakukan
dengan mengambil seluruh sampel yang sesuai kriteria inklusi,
yaitu sebanyak 104 sampel.
2.3.5 HASIL
1. penderita PGK yang menjalani hemodialisis di RSUP Dr. M.
Djamil Padang dari 1 Januari 2015 – 12 Desember 2015
terbanyak pada kelompok umur 40 – 60 tahun (62,5%). Pasien
dengan jenis kelamin laki-laki memiliki presentasi lebih tinggi,
yaitu sebanyak 56,7%. Berdasarkan lama hemodialisis lebih
banyak ditemukan pasien yang menjalani HD selama kurang
dari 3 bulan (81,7%).
2. Gambaran penderita PGK yang menjalani hemodialisis dilihat
dari berbagai keluhan umum. Keluhan yang paling banyak
(30,8%) disampaikan pasien berupa lemah, letih, dan lesu.
3. gambaran hasil pemeriksaan fisik pada penderita PGK yang
menjalani HD juga beragam. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
penderita mengalami edema perifer sebanyak 53,8%, hipertensi
stage 1 sebanyak 32,7%, dan konjungtiva yang anemis
sebanyak 62,5% penderita. Keadaan gizi penderita didapatkan
94,2% sedang.
4. pada penderita PGK yang menjalani HD didapatkan kadar
hemoglobin penderita terbanyak (68,3%) dengan Hb 7-10 g/dl.
2.3.6 PEMBAHASAN
23
1. Dalam penelitian ini penderita penyakit ginjal kronik yang
menjalani HD di RSUP Dr. M. Djamil Padang berdasarkan usia
didapatkan kelompok usia terbanyak adalah 40-60 tahun
sebanyak 65 pasien (62,5%), diikuti kelompok usia <40 tahun
sebanyak 23 pasien (22,1%), dan >60 tahun sebanyak 16 pasien
(15,4%). Penurunan fungsi ginjal merupakan proses normal
setiap bertambahnya usia manusia. Bertambahnya usia
menunjukkan penurunan progresif Glomerular Filtrasion Rate
(GFR) dan Renal Blood Flow (RBF). Penurunan terjadi
sekitar 8 ml/menit/1,73m2 setiap dekadenya sejak usia 40
tahun (Weinstein JR, 2010).
2. Jenis kelamin terbanyak adalah pria dengan jumlah 59 pasien
(56,7%), sedangkan jenis kelamin wanita berjumlah 45 pasien
(43,3%). Hasil tersebut kemungkinan berkaitan dengan
kejadian penyakit penyebab PGK, seperti batu ginjal, yang juga
banyak terjadi pada jenis kelamin pria. Penelitian lain
mendapatkan prevalensi penyakit batu ginjal pada laki-laki dan
wanita adalah 10,6% dan 7,1% (Scales CD, 2012).
3. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 17 pasien
(16,3%) mengeluhkan oliguria. Sebanyak 87 pasien (83,7%)
tidak mengeluhkan oliguria. Oliguria terjadi karena
terganggunya fungsi ginjal untuk mempertahankan homeostasis
cairan tubuh dengan kontrol volume cairan, sehingga cairan
menumpuk di dalam tubuh. Pada penelitian ini, didapatkan
banyak pasien yang tidak mengeluhkan oliguria. Kemungkinan
ini dikarenakan pada penelitian ini kebanyakan pasien masih
baru dalam menjalani hemodialisis sehingga dapat dikatakan
kerusakan fungsi ginjalnya belum terlalu parah, sehingga gejala
oliguria (penurunan urine output) belum begitu terlihat. Efek
medikasi yang dilakukan terhadap kelebihan cairan juga bisa
mempengaruhi urine output, seperti pemberian diuretik,
yang dapat meningkatkan urine output.
24
4. Gambaran kelebihan cairan yang terjadi pada pasien didapatkan
asites pada 5 pasien (4,8%), sedangkan 99 orang pasien
(95,2%) tidak ditemukan asites. Pada 4 orang pasien (3,8%)
ditemukan adanya efusi pleura, 96,2% pasien tidak ditemukan
efusi pleura. Sebanyak 56 pasien (53,8%) mengalami edema
perifer dan 48 orang sisanya (46,2%) tidak mengalami edema
perifer.
5. Berdasarkan penelitian didapatkan 10 pasien (9,6%)
mengalami asidosis metabolik sedangkan 94 pasien (90,4%)
tidak mengalaminya. Asidosis metabolik relatif umum terjadi
pada pasien PGK, khususnya ketika LFG turun di bawah 30
ml/menit dan dapat mempengaruhi sekitar 30-50% pasien.
Hilangnya fungsi ginjal secara progresif menyebabkan
berkurangnya kemampuan tubulus untuk memanfaatkan
amonia dalam mengekskresikan sekitar 1 mmol/kgBB hidrogen
yang diproduksi setiap hari pada keadaan fisiologis (Ashurst
IB, 2014).
6. Gambaran gangguan sistem gastrointestinal pada penderita
PGK yang menjalani HD dilihat dari keluhan mual, muntah,
dan tidak nafsu makan. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak
12,5% pasien mengeluhkan mual, sedangkan sisanya tidak
mual. Sebanyak 8 pasien (7,7%) mengalami muntah, sementara
96 pasien (92,3%) tidak mengalami muntah. Sebanyak 14
pasien (13,5%) tidak nafsu makan (anoreksia) dan 90 pasien
(86,5%) tidak mengeluhkan anoreksia.
7. Keadaan gizi pasien berdasarkan hasil pemeriksaan dokter
terbanyak adalah gizi sedang, yaitu 98 orang (94,2%). Sisanya
5 pasien (4,8%) dengan status gizi baik dan 1 pasien (1%)
dengan status gizi buruk.
8. Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa 12 penderita PGK
yang menjalani HD (11,5%) mengeluhkan insomnia,
sedangkan 92 pasien lainnya (88,5%) tidak mengeluhkan hal
25
tersebut. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian lain
pada pasien yang menjalani hemodialisis lebih dari 6 bulan
mendapatkan 46% pasien mengalami insomnia.
9. Gambaran kejadian anemia pada penderita PGK, ditunjukkan
dengan keluhan berupa lemah, letih, lesu, temuan pemeriksaan
fisik berupa konjungtiva anemis, dan temuan laboratorium
berupa penurunan hemoglobin. Pada penelitian ini, didapatkan
sebanyak 32 pasien (30,8%) mengeluhkan lemah, letih, dan
lesu, sedangkan sisanya sebanyak 72 orang (69,2%) tidak
mengeluhkannya. Sebanyak 65 pasien (62,5%) ditemukan
konjungtiva yang anemis pada pemeriksaan fisiknya,
sedangkan sisanya tidak. Data hasil pemeriksaan laboratorium
menunjukkan sebanyak 7 pasien (6,7%) memiliki kadar
hemoglobin (Hb) kurang dari 7 g/dl, sebanyak 71 pasien
(68,3%) memiliki Hb 7-10 g/dl, dan 26 orang (25%) memiliki
Hb >10 g/dl
2.3.7 KESIMPULAN
1. Ada lebih dari separuh penderita PGK yang menjalani
hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil berusia 40 – 60 tahun dan
berjenis kelamin laki-laki. Sebagian besar penderita menjalani
hemodialisis selama < 3 bulan.
2. Gambaran klinis penderita PGK yang menjalani hemodialisis di
RSUP Dr. M. Djamil Padang yang terbanyak adalah keluhan
lemah, letih, dan lesu, pemeriksaan fisik yang banyak ditemukan
dengan edema perifer, konjungtiva yang anemis, keadaan gizi
sedang, dan hipertensi derajat 1, serta anemia pada pemeriksaan
laboratorium.
26
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Ginjal adalah organ penting yang memiliki peran cukup besar dalam
pengaturan kebutuhan cairan dan elektrolit. Hal ini terlihat pada fungsi ginjal
yaitu sebagai pengatur air, pengatur konsentrasi garam dalam darah, pengatur
27
keseimbangan asam basa darah dan pengatur eksresi bahan buangan atau
kelebihan garam . Proses pengaturan kebutuhan keseimbangan air ini diawali
oleh kemampuan bagian glomerulus sebagai penyaring cairan. Cairan yang
tersaring kemudian mengalir melalui tubulus renalis yang sel – selnya
menyerap semua bahan yang dibutuhkan (Damayanti, dkk., 2015).
Ginjal yang tidak dirawat dengan baik dapat mengakibatkan penyakit
gagal ginjal. Gagal ginjal ( renal atau kidney failure ) adalah kasus penurunan
fungsi ginjal yang terjadi secara akut (kambuhan) maupun kronik (menahun).
Gagal ginjal akut apabila terjadi penurunan fungsi ginjal berlangsung secara
tiba- tiba, tetapi kemudian dapat kembali normal setelah penyebabnya dapat
segera diatasi. Sedangkan gagal ginjal kronik gejalanya muncul secara
bertahap, biasanya tidak menimbulkan gejala awal yang jelas, sehingga
penurunan fungsi ginjal tersebut tidak dirasakan dan berlanjut hingga tahap
parah (Alam dan Hadibroto., 2008).
Gagal ginjal akut didefinisikan sebagai penurunan mendadak dari
fungsi ginjal (laju filtrasi glomerulus/ LFG) yang bersifat sementara, ditandai
dengan peningkatan kadar kreatinin serum dan hasil metabolisme nitrogen
serum lainnya, serta adanya ketidakmampuan ginjal untuk mengatur
homeostasis cairan dan elektrolit.1 Istilah gangguan ginjal akut merupakan
akibat adanya perubahan paradigma yang dikaitkan dengan klasifikasi dan
ketidakmampuan dalam mengenal gejala dini serta prognosis (Andreoli SP,
2009).
Pencegahan GGA terbaik adalah dengan memperhatikan status
hemodinamik seorang pasien, mempertahankan keseimbangan cairan dan
mencegah penggunaan zat nefrotoksik maupun obat yang dapat
mengganggu kompensasi ginjal pada seseorang dengan gangguan fungsi
ginjal. Dopamin dosis ginjal maupun diuretik tidak terbukti efektif
mencegah terjadinyaAKI (Mehta RL, 2003).
3.2 SARAN
28
makalah dapatbermanfaat bagi pembaca dan menambah pengetahuan bagi
yang membaca.
DAFTAR PUSTAKA
Alam, S & Hadibroto, I., 2008.Gagal Ginjal. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
29
Andreoli SP. Acute kidney Injury in children. Pediatr Nephrol (2009) 24:253-263
Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, Molitoris BA, Ronco C et al.2007. Acute kidney
Injury
Network: report of an initiative to improve outcomes in acute kidney
injury. Critical care
Murtagh FE, Addinationhall JM, Edmons PM, Donohoe P, Carey I, Jenkins K,
Higginson IJ.
30
Symptoms in advanced renal disease: A cross-sectional survey of
symptom prevalence in stage 5 chronic kidney disease managed without
dialysis. Journal Of Palliative Medicine. 2007; 10: 1266-76.
Myjak BL. Serum and Urinary Biomarkers of Acute Kidney Injury. Blood Purif
2010;29:357-365. DOI:10.1159/000309421.
Osterman M, Chang R: Acute Kidney Injury in the Intensive Care Unit according
to RIFLE. Critical Care Medicine 2007; 35:1837-1843.
31