Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH FARMAKOTERAPI 2

GAGAL GINJAL AKUT

Disusun oleh :

Kelompok 7

1. Indah Nurlisa (180105042)


2. Julia Pungki Astuti Firi (180105047)
3. Khofifatul Muamanah (180105049)
4. Lilis Hidayatul Fitri (180105058)
5. Nina Dwi Stiyani (180105070)
6. Yessi Linda Saputri (180105107)

PRODI FAKULTAS KESEHATAN SARJANA FARMASI


UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA
PURWOKERTO
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di
akhirat nanti.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat


sehat-Nya, baik itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah farmakoterapi 2 yang berjudul “Gagal Ginjal
Akut” Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu
dalam penyelesaian makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat menambah
pengetahuan pembaca dan memberikan gambaran mengenai materi yang terkait
dengan “Gagal Ginjal Akut”. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun bahasannya, maka kami mengharapkan saran
dan kritik yang membangun untuk memperbaiki makalah ini. Semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Amiin

Wassalamualaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh

Purwokerto, Juli 2020

Penyusun

DAFTAR ISI

ii
Kata Pengantar..................................................................................................ii
Daftar Isi...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................2
1.3 Tujuan......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................3
2.1 Bagainama yang dimaksud dengan ginjal..............................................3
2.2 Bagaimana Gagal ginjal akut..................................................................5
2.3 Bagaimana Review jurnal......................................................................21
BAB III PENUTUP.........................................................................................28
3.1 Kesimpulan............................................................................................28
3.2 Saran......................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................30

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindrom klinis yang di
tandaidengan fungsi ginjal yang menurun secara cepat (biasannya dalam
beberapa hari) yang menyebabkan azotemia yang berkembang cepat. Laju
filtrasi glomerolus yang menurun dengan cepat menyebabkan kadar kreatinin
serum meningkat sebanyak 0,5% mg/dl/hari dan at kadar nitrogen urea darah
sebanyak 10% mg/dl/hari dalam beberapa hari. ARF (Acute Renal Failure)
biasanya disertai oleh oliguria (keluaran urine <400 ml/hari ) (Wilson, 2012).

Penyebab Gagal Ginjal akut di bedakan menjadi gagal ginjal pre-renal,


gagal ginjal renal, dan gagal ginjal post renal, gagal ginjal pre-renal
merupakan hipoperfusi ginjal, hipoperfusi dapat menyebabkan oleh
hipovolemia atau menurunya volume sirkulasi yang efektif. Pada gagal ginjal
pre renal intregritas jaringan ginjal masih terpelihara sehingga prognosis dapat
lebih baik apabila factor penyebab dapat di koreksi. Apabila upaya perbaika
hipoperfusi ginjal tidak berhasil maka akan timbul GGA renal berupa nekrosis
tubular akut karena iskemia.
Dampak pada pasien yang menderit menderita gagal ginal akut jadi
lebihjelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi
ginjal telah hilang 80% - 90%.Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian
nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.
Munculnya masalah yang sangat komleks, peran perawat di perlukan guna
membantu menyelesaikan masalah di hadapi klien, dengan cara promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitasi. Promotif yaitu penyuluhan kepada
masyarakat tentang penyakit Gagal ginjal akut, bagai mana pentingnya
mempertahankan cairan tubuh.

1
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Bagaimana yang dimaksud dengan ginjal?
1.2.2 Bagainama Gagal Ginjal Akut?
1.2.3 Bagainama Review Jurnal?

1.3 TUJUAN
1.3.1 Mengetahui yang dimaksud dengan ginjal

1.3.2 Mengetahui Gagal Ginjal Akut

1.3.3 Mengetahui Review Jurnal

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 GINJAL

2.1.1 DEFINISI

Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh dan berfungsi untuk


membuang sampah metabolism dan racun tubuh dalam bentuk urin, yang
kemudian dikeluarkan dari tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital
sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah. Dengan
mengekskresikan zat terlarut dan air secara selektif. Apabila kedua ginjal
ini karena sesuatu hal gagal menjalankan fungsinya, akan terjadi
kematian (Verdiansah, 2016).

2.1.2 ANATOMI

Ginjal merupakan suatu organ yang terletak retroperitoneal pada


dinding abdomen di kanan dan kiri columna vertebralis setinggi vertebra
T12 hingga L3. Ginjal kanan terletak lebih rendah dari yang kiri karena
besarnya lobus hepar. Ginjal dibungkus oleh tiga lapis jaringan. Jaringan
yang terdalam adalah kapsula renalis, jaringan pada lapisan kedua adalah

3
adiposa dan jaringan terluar adalah fascia renal. Ketiga lapisan jaringan ini
berfungsi sebagai pelindung dari trauma dan memfiksasi ginjal ( Tortora
dan Derrickson., 2011).
Ginjal memiliki korteks ginjal di bagian luar yang berwarna coklat
gelap. Korteks ginjal mengandung jutaan alat penyaring disebut nefron.
Setiap nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus. Medula ginjal terdiri
dari beberapa massa – massa triangular disebut piramida ginjal dengan
basis menghadap korteks dan bagian apeks yang menonjol ke medial.
Piramida ginjal berguna untuk mengumpulkan hasil eksresi kemudian
disalurkan ke tubulus kolektivus menuju pelvis ginjal (Tortora dan
Derrickson., 2011).

2.1.3 FISIOLOGI

Ginjal adalah organ penting yang memiliki peran cukup besar


dalam pengaturan kebutuhan cairan dan elektrolit. Hal ini terlihat pada
fungsi ginjal yaitu sebagai pengatur air, pengatur konsentrasi garam dalam
darah, pengatur keseimbangan asam basa darah dan pengatur eksresi
bahan buangan atau kelebihan garam . Proses pengaturan kebutuhan
keseimbangan air ini diawali oleh kemampuan bagian glomerulus sebagai
penyaring cairan. Cairan yang tersaring kemudian mengalir melalui
tubulus renalis yang sel – selnya menyerap semua bahan yang dibutuhkan
(Damayanti, dkk., 2015).
Ginjal yang tidak dirawat dengan baik dapat mengakibatkan
penyakit gagal ginjal. Gagal ginjal ( renal atau kidney failure ) adalah
kasus penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara akut (kambuhan)
maupun kronik (menahun). Gagal ginjal akut apabila terjadi penurunan
fungsi ginjal berlangsung secara tiba- tiba, tetapi kemudian dapat kembali
normal setelah penyebabnya dapat segera diatasi. Sedangkan gagal ginjal
kronik gejalanya muncul secara bertahap, biasanya tidak menimbulkan
gejala awal yang jelas, sehingga penurunan fungsi ginjal tersebut tidak
dirasakan dan berlanjut hingga tahap parah (Alam dan Hadibroto., 2008).

4
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan
komposisi kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengeksresi
zat terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan
filtrasi plasma darah melalui glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah zat
terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal.
Kelebihan zat terlarut dan air di eksresikan keluar tubuh dalam urin
melalui sistem pengumpulan urin (Price dan Wilson., 2012).
Ginjal mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri. Ginjal
kemudian akan mengambil zat - zat yang berbahaya dari dari darah. Zat –
zat yang diambil dari darah pun diubah menjadi urin. Urin lalu akan
dikumpulkan dan dialirkan ke ureter. Setelah ureter, urin akan ditampung
terlebih dahulu di kandung kemih. Bila orang tersebut merasakan
keinginan berkemih dan keadaan memungkinkan, maka urin yang
ditampung di kandung kemih akan dikeluarkan lewat uretra (Sherwood.,
2011).
Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin,
yaitu filtrasi, reabsorpsi dan sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan
filtrasi sejumlah besar cairan yang hampir bebas protein dari kapiler
glomerulus ke kapsula bowman. Kebanyakan zat dalam plasma kecuali
protein, difiltrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat
glomerulus dalam kapsula bowman hampir sama dengan plasma. Awalnya
zat akan difiltrasi secara bebas oleh kapiler glomerulus tetapi tidak
difiltrasi kemudian direabsorpsi parsial, reabsorpsi lengkap dan kemudian
akan dieksresi (Sherwood., 2011).

2.2 GAGAL GINJAL AKUT

2.2.1 DEFINISI

Gagal ginjal akut didefinisikan sebagai penurunan mendadak dari


fungsi ginjal (laju filtrasi glomerulus/ LFG) yang bersifat sementara,
ditandai dengan peningkatan kadar kreatinin serum dan hasil metabolisme
nitrogen serum lainnya, serta adanya ketidakmampuan ginjal untuk

5
mengatur homeostasis cairan dan elektrolit.1 Istilah gangguan ginjal akut
merupakan akibat adanya perubahan paradigma yang dikaitkan dengan
klasifikasi dan ketidakmampuan dalam mengenal gejala dini serta
prognosis (Andreoli SP, 2009).
Acute Kidney Injury (AKI) adalah penurunan cepat (dalam jam
hingga 6 minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya
berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa
metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit. Acute Dialysis Quality Initia- tive (ADQI) yang beranggotakan
para nefrolog dan intensivis di Amerika pada tahun 2002 sepakat
mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi
kidney diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam,
sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat
menggambarkan patologi gangguan ginjal (KDIGO, 2012).

2.2.2 EPIDEMIOLOGI

Gagal ginjal akut (GGA) menjadi penyakit komplikasi pada sekitar 5-


7% acute care admission patient dan mencapai 30% pada pasien yang di
admisi di unit perawatan intensif (ICU). Gagal ginjal akut juga menjadi
komplikasi medis di Negara berkembang, terutama pasien dengan latar
belakang adanya penyakit diare, penyakit infeksi seperti malaria,
leptospirosis, dan bencana alam seperti gempa bumi. Insidennya
meningkat hingga 4 kali lipat di United State sejak 1988 dan diperkirakan
terdapat 500 per 100.000 populasi pertahun. Insiden ini bahkan lebih
tinggi dari insiden stroke (4,5).
Beberapa laporan dunia menunjukkan insiden yang bervariasi antara
0,5- 0,9% pada komunitas, 7% pada pasien yang dirawat di rumah sakit,
hingga 36- 67% pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU)
dan 5-6% Pasien ICU dengan GGA memerlukan Terapi Penggantian
Ginjal ( TPG atau Replacement Renal Therapy (RRT)).4

6
Terkait dengan epidemiologi GGA, terdapat variasi definisi yang
digunakan dalam studi klinis dan diperkirakan menyebabkan variasi yang
luas dari laporan insiden dari GGA itu sendiri (1-31%) dan angka
mortalitasnya (19-83%). Dalam penelitian Hoste (2006) diketahui AKI
terjadi pada 67 % pasien yang di rawat di ruang intensif dengan maksimal
RIFLE yaitu 12% kelas R, 27% kelas I dan 28% kelas F. Hospital
mortality rate untuk pasien dengan maksimal RIFLE kelas R, I dan F
berturut- turut 8.8%, 11.4% dan 26.3% dibandingkan dengan pasien tanpa
AKI yaitu 5.5%.8 Namun hasil penelitian Ostermann (2007) menunjukkan
Hospital mortality rate yang lebih tinggi yaitu 20.9%, 45.6% dan 56.8%
berturutturut untuk maksimal kelas RIFLE R, I, dan F.(4,5)

2.2.3 Faktor Resiko


Pemahaman terhadap faktor resiko yang dimilki individu dapat
membantu untuk mencegah terjadinya AKI. Hal ini terutama berguna di
rumah sakit, dimana bisa dilakukan penilaian faktor resiko terlebih dahulu
sebelum adanya paparan seperti operasi atau adiministrasi agen yang
berpotensi nefrotoksik. (8)
Tabel. Faktor resiko GGA: paparan dan susceptibilitas pada GGA
nonspesifik menurut KDGIO 2012

Paparan Susceptibilitas
Sepsis Dehidrasi dan depresi cairan
Penyakit kritis Usia lanjut
Syok sirkulasi Perempuan
Luka bakar Black race
Trauma CKD
Operasi jantung (terutama dengan Penyakit kronik (jantung, paru, liver)
CPB)
Operasi major nonkardiak Diabeter mellitus
Obat nefrotoksik Kanker
Agen radiokontras Anemia
Racun tanaman atau hewan

Akhirnya, sangat penting untuk menyaring pasien yang mengalami


paparan untuk mencegah AKI, bahkan disarankan untuk selalu menilai

7
resiko AKI sebagai bagian dari evaluasi awal admisi emergensi disertai
pemeriksaan biokimia. Monitor tetap dilaksanakan pada pasien dengan
resiko tinggi hingga resiko pasien hilang.

2.2.4 PATOFISIOLOGI
Terdapat tiga kategori GGA (gagal ginjal akut) yaitu prerenal, renal dan
postrenal dengan mekanisme patofisiologi berbeda.
2.2.4.1 Prerenal
Prerenal ditandai dengan berkurangnya pasokan darah ke
ginjal. Penyebab umumnya yaitu terjadinya penurunan volume
intravaskular karena kondisi seperti perdarahan, dehidrasi, atau
hilangnya cairan gastrointestinal. Kondisi berkurangnya curah
jantung misalnya gagal jantung kongestif atau infark miokard dan
hipotensi juga dapat mengurangi aliran darah ginjal yang
mengakibatkan penurunan perfusi glomerulus dan prerenal ARF
(Stamatakis, 2008).
Penurunan aliran darah ginjal ringan sampai sedang
mengakibatkan tekanan intraglomerular yang disebabkan oleh
pelebaran arteriola aferen (arteri yang memasok darah ke
glomerulus), penyempitan arteriola eferen (arteri yang membawa
darah dari glomerulus), dan redistribusi aliran darah ginjal ke
medula ginjal. Fungsional ARF terjadi ketika mekanisme adaptif
terganggu dan hal tersebut sering disebabkan oleh obat-obatan,
antara lain: NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug)
merusak dilasi mediator prostaglandin dari arteriola aferen. ACEI
(Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor) dan ARB (Angiotensin
Receptor Blocker) menghambat angiotensin II dimediasi oleh
penyempitan arteriola eferen. Siklosporin dan takrolimus terutama
dalam dosis tinggi merupakan vasokonstriktor ginjal yang poten.
Semua agen tersebut dapat mengurangi tekanan intraglomerular
dengan penurunan GFR (Glomerular Filtration Rate) (Stamatakis,
2008).

8
2.2.4.2 Renal
Gagal ginjal intrinsik, disebut juga sebagai intrarenal ARF
disebabkan oleh penyakit yang dapat mempengaruhi integritas
tubulus, pembuluh glomerulus, interstitium, atau darah. ATN
(Acute Tubular Necrosis) merupakan kondisi patofisiologi yang
dihasilkan dari obat (aminoglikosida atau amfoterisin B) atau
iskemik terhadap ginjal (Stamatakis, 2008).
2.2.4.3 Postrenal
Postrenal terjadi karena obstruksi aliran kemih oleh beberapa
sebab, antara lain: hipertrofi prostat jinak, tumor panggul, dan
pengendapan batu ginjal (Stamatakis, 2008).

2.2.5 ETIOLOGI

Gagal ginjal akut / GGA dibagi menjadi pre-renal injury, intrinsic


renal disease, termasuk kerusakan vaskular, dan uropati obstruktif.
Beberapa penyebab GGA, termasuk nekrosis korteks dan trombosis vena
renalis, lebih sering terjadi pada neonatus. Sedangkan HUS lebih sering
terjadi pada anak lebih usia 1 sampai 5 tahun, dan RPGN umumnya lebih
sering terjadi pada anak lebih besar dan remaja. Dari anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan laboratorium seperti urinalisis dan radiografi dapat
menentukan penyebab dari GGA. (Alatas H, 2002))
2.2.5.1 GGA Prerenal
Pre-renal Acute Kidney Injury terjadi ketika aliran darah menuju
ginjal berkurang, dihubungkan dengan kontraksi volum intravaskular
atau penurunan volum darah efektif. Seperti diketahui pada pre-renal
injury secara intrinsik ginjal normal, dimana volum darah dan kondisi
hemodinamik dapat kembali normal secara reversibel. Keadaan pre-
renal injury yang lama dapat menimbulkan intrinsic GGA dihubungkan
dengan hipoksia/iskemia acute tubular necrosis (ATN). Perubahan dari
pre-renal injury menjadi intrinsic renal injury tidak mendadak (Alatas
H, 2002)

9
Ketika perfusi ginjal terganggu, terjadi relaksasi arteriol aferen
pada tonus vaskular untuk menurunkan resistensi vaskular ginjal dan
memelihara aliran darah ginjal. Selama terjadi hipoperfusi ginjal,
pembentukan prostaglandin vasodilator intrarenal, termasuk
prostasiklin, memperantarai terjadinya vasodilatasi mikrovasular ginjal
untuk memelihara perfusi ginjal. Pemberian inhibitor siklooksigenase
seperti aspirin atau obat anti inflamasi non steroid dapat menghambat
terjadinya mekanisme kompensasi dan mencetuskan insufisiensi ginjal
akut (Alatas H, 2002).
Ketika tekanan perfusi ginjal rendah, dengan akibat terjadi stenosis
arteri renalis, tekanan intraglomerular berusaha untuk meningkatkan
kecepatan filtrasi, yang diperantarai oleh peningkatan pembentukan
angiotensin II intrarenal sehingga terjadi peningkatan resistensi eferen
arteriolar. Pemberian inhibitor angiotensin-converting enzyme pada
kondisi ini dapat menghilangkan tekanan gradien yang dibutuhkan
untuk meningkatkan filtrasi dan mencetuskan terjadinya acute kidney
injury (Alatas H, 2002).
Pre-renal injury dihasilkan dari hipoperfusi ginjal berhubungan
dengan kontraksi volum dari perdarahan, dehidrasi, penyakit adrenal,
diabetes insipidus nefrogenik atau sentral, luka bakar, sepsis, sindrom
nefrotik, trauma jaringan, dan sindrom kebocoran kapiler. Penurunan
volum darah efektif terjadi ketika volum darah normal atau meningkat,
namun perfusi ginjal menurun berhubungan dengan penyakit seperti
gagal jantung kongestif, tamponade jantung, dan sindrom hepatorenal.
Walaupun pre-renal injury disebabkan oleh penurunan volum atau
penurunan volum darah efektif, koreksi dari gangguan penyerta akan
memulihkan fungsi ginjal kembali normal (Myjak, 2010).
Beberapa penilaian dari parameter urin, termasuk osmolalitas urin,
konsentrasi natrium urin, fraksi ekskresi natrium, dan indeks gagal
ginjal dapat digunakan untuk membantu membedakan pre-renal injury
dengan GnGA oleh karena hipoksia/iskemia yang disebut juga
vasomotor nephropathy dan atau acute tubular necrosis. Tubulus renalis

10
bekerja dengan baik pada pre-renal injury dan mampu untuk mengubah
garam dan air, sedangkan pada vasomotor nephropathy, tubulus bersifat
ireversibel dan tidak mampu untuk mengubah garam dengan baik.
Selama pre-renal injury, tubulus berespon terhadap penurunan perfusi
ginjal dengan mengubah natrium dan air sehingga osmolalitas urin >
400-500 mosmol/l. Natrium urin < 10-20 mEq/l, dan fraksi ekskresi
dari natrium < 1% (Myjak, 2010).

2.2.5.2Instrinsik Renal Disease


1. GGA Hypoxic/ishemic
Pada hypoxic/ischemic GnGA ditandai oleh vasokonstriksi lebih
awal diikuti oleh patchy tubular necrosis. Penelitian terkini
menduga bahwa vaskularisasi ginjal berperan penting pada acute
injury dan chronic injury, dan sel endotel telah diidentifikasi
sebagai target dari kelainan ini. Aliran darah kapiler peritubular
telah diketahui abnormal selama reperfusi, dan juga terdapat
kehilangan fungsi sel endotel normal yang dihubungkan dengan
gangguan morfologi perikapiler peritubular dan fungsinya.
Mekanisme dari kerusakan sel pada Hypoxic/ishemic acute kidney
injury tidak diketahui, tetapi pengaruh terhadap endotel atau
pengaruh nitrit oksida pada tonus vaskular, penurunan ATP dan
pengaruh pada sitoskeleton, mengubah heat shock protein,
mencetuskan respon inflamasi dan membentuk oksigen reaktif
serta molekul nitrogen yang masing-masing berperan dalam
terjadinya kerusakan sel (Myjak, 2010).
Nitrit oksida merupakan vasodilator yang diproduksi dari
endothelial nitric oxide synthase (eNOS), dan nitrit oksida
membantu mengatur tonus vaskular dan aliran darah ke ginjal.
Penelitian terkini menduga bahwa kehilangan fungsi normal eNOS
mengikuti kejadian ischemic/hypoxic injury yang mencetuskan
vasokonstriksi. Berlawanan dengan hal tersebut, peningkatan
aktifitas inducible nitric oxide synthase (iNOS) bersamaan dengan

11
kejadian hypoxic/ischemic injury, dan iNOS membantu terjadinya
pembentukan oksigen reaktif dan molekul nitrogen. Inducible nitric
oxide synthase, bersamaan pembentukan metabolit toksik nitrit
oksida termasuk peroxynitrate, telah diketahui sebagai perantara
tubular injury pada hewan percobaan dengan acute kidney injury
(Whyte DA, 2008).
Sebagai respon awal dari hypoxic/ishemic GGA adalah
pengurangan ATP yang dikaitkan dengan jumlah dari bahan
biokimia yang merusak dan adanya respon fisiologi, termasuk
gangguan dari sitoskeleton dengan hilangnya apical brush border
dan hilangnya polaritas dengan Na+K +ATPase berlokasi pada
daerah apikal berdekatan dengan membran basal. Molekul oksigen
reaktif juga terlibat selama reperfusi dan berperan terhadap
kerusakan jaringan. Pada saat sel tubular dan sel endotel
mengalami kerusakan oleh molekul oksigen reaktif, diketahui
bahwa sel endotel lebih sensitif terhadap oxidant injury
dibandingkan dengan sel epitel tubular. Pada penelitian
sebelumnya diketahui pentingnya peran dari heat shock protein
dalam mengubah respon ginjal terhadap ischemic injury yang
berperan meningkatkan penyembuhan dari sitoskeleton selama
terjadinya GGA (Whyte DA, 2008).
Pada anak dengan kegagalan multiorgan, systemic
inflammatory response dipikirkan berperan dalam GnGA sebagai
disfungsi organ oleh aktivasi respon inflamasi, termasuk
peningkatan produksi sitokin dan molekul oksigen reaktif, aktivasi
polymorphonuclear leucocytes (PMNs), dan peningkatan ekspresi
dari molekul adhesi. Molekul oksigen reaktif dapat dibentuk
melalui beberapa mekanisme termasuk aktivasi PMN, yang dapat
menimbulkan kerusakan melalui pembentukan molekul oksigen
reaktif termasuk anion superoksida, hidrogen peroksida, radikal
hidroksil, asam hipokloral, dan peroksinitrit, atau melalui
pelepasan dari enzim proteolitik. Myeloperoksidase dari aktivasi

12
PMN menjadi hidrogen peroksida kemudian asam hipoklor, yang
bereaksi dengan kelompok amino menjadi bentuk kloramin.
Masing-masing dapat mengoksidasi protein, DNA, dan lipid,
menghasilkan kerusakan jaringan penting. Molekul adhesi sel
endotel lekosit diperlihatkan pada acute tubular necrosis yang tidak
teratur, dan pemberian molekul anti adhesi dapat menurunkan
kerusakan ginjal pada hewan percobaan dengan ATN (Whyte DA,
2008). Perbaikan dari hipoxic/ischemic dan nephrotoxic GnGA
dapat sempurna ditandai dengan kembalinya fungsi ginjal menjadi
normal, tetapi penelitian terkini menyebutkan bahwa perbaikan
bersifat parsial dan pasien memiliki risiko tinggi untuk terjadi
chronic kidney disease kemudian (Whyte DA, 2008).

2. Nephrotoxic acute kidney injury


Obat-obatan yang dihubungkan dengan kejadian acute
kidney injury, saat ini dihubungkan dengan toxic tubular injury,
termasuk antibiotik golongan aminoglikosida,media kontras
intravaskular, amfoterisin B, obat kemoterapi seperti ifosfamid
dan cisplatin, asiklovir, dan asetaminofen. Nefrotoksisitas karena
amoniglikosida ditandai dengan non oliguria GnGA, dengan
urinalisis menunjukkan abnormalitas urin minimal. Insidensi dari
nefrotoksisitas karena aminoglikosa dihubungkan dengan dosis
dan lama penggunaan dari antibiotik serta fungsi ginjal yang
menurun berhubungan dengan lama penggunaan aminoglikosa.
Etiologi kejadian tersebut dihubungkan dengan disfungsi lisosom
dari tubulus proksimal dan perbaikan fungsi ginjal akan tercapai
jika pemakaian antibiotik dihentikan. Namun, setelah
penghentian pemakaian antibiotik aminoglikosida, kreatinin
serum dapat meningkat dalam beberapa hari, hal ini dihubungkan
dengan berlanjutnya kerusakan tubular dengan kadar
aminoglikosida yang tinggi pada prenkim ginjal. Cisplatin,
ifosfamid, asiklovir, amfoterisin B, dan asetaminofen juga

13
bersifat nefrotoksik dan mencetuskan terjadinya acute kidney
injury (Whyte DA, 2008).
Hemolisis dan rabdomiolisis oleh karena beberapa
penyebab dapat menghasilkan hemoglobinuria atau yang
mencetuskan terjadinya kerusakan tubular dan acute kidney
injury
3. Uric acid nephropathy dan tumor lysis syndrome
Anak dengan acute lymphocytic leukemia dan B-cell
lymphoma memiliki risiko tinggi untuk terjadinya GnGA, hal ini
dihubungkan dengan uric acid nephropathy dan atau tumor lysis
syndrome. Walaupun patogenesis dari uric acid nephropathy
bersifat komplek, mekanisme penting terjadinya kerusakan
dihubungkan dengan munculnya kristal dalam tubulus, yang
menyebabkan aliran urin terhambat, atau hambatan
mikrovaskular ginjal, yang mengakibatkan aliran darah ginjal
terhambat. Penyebab utama GnGA pada lekemia adalah
berkembangnya tumor lysis syndome selama kemoterapi, tetapi
dengan alopurinol akan membatasi peningkatan ekskresi asam
urat selama kemoterapi, namun alopurinol akan menghasilkan
peningkatan ekskresi prekursor asam urat termasuk hypoxanthine
dan xanthin, dan mencetuskan terjadinya xanthine nephropathy.
Xanthin sedikit lebih larut dalam urin dibandingkan asam urat,
dan pembentukan dari hypoxanthine dan xanthine berperan
dalam berkembangnya GnGA selama tumor lysis syndrome.
Rasburicase merupakan bentuk rekombinan dari urate oxidase
yang mengkatalisasi asam urat menjadi allantoin, yang lima kali
lebih larut daripada asam urat. Rasburicase bersifat efektif dan
memiliki toleransi yang baik dalam pencegahan gagal ginjal pada
pasien anak dengan tumor lysis syndrome. GnGA selama tumor
lysis syndrome dapat menimbulkan hiperfosfatemia nyata berasal
dari pemecahan cepat dari sel tumor dan mencetuskan
pembentukan kristal kalsium fosfat (Whyte DA, 2008)

14
4. Acute interstitial nephritis
Acute interstitial nephritis (AIN) dapat menyebabkan gagal
ginjal sebagai hasil reaksi terhadap obat atau dihubungkan dengan
acute interstitial nephritis idiopatik. Anak dengan AIN terdapat
gejala rash, demam, artralgia, eosinofilia, dan piuria dengan atau
tanpa eosinofiluria. Obat-obatan yang dihubungkan dengan
terjadinya AIN termasuk metisilin dan golongan penisilin lainnya,
simetidin, sulfonamid, rifampin, obat anti inflamasi non-steroid,
dan proton pump inhibitors. Acute interstitial nephritis yang
dihubungkan dengan obat anti inflamasi non-steroid dapat ditandai
dengan proteinuria bermakna serta mencetuskan sindrom nefrotik.
Penanganan spesifik yaitu penghentian obat tersebut yang
menyebabkan AIN (Whyte DA, 2008)

5. Rapidly progressive glomerulonephritis


Berbagai bentuk dari glomerulonefritis pada bentuk kasus yang
berat dapat mencetuskan terjadinya GnGA dan RPGN. Gambaran
klinis termasuk hipertensi, edema, gross hematuria, dan
peningkatan yang cepat dari nilai blood urea nitrogen (BUN) dan
kreatinin. Rapid progressive glomerulonephritis dihubungkan
dengan post infeksi glomerulonefritis,seperti antineutrophil
cytoplasmic antibody (ANCA)-positive glomerulonephritis,
goodpasture’s syndrome, dan idiopathic RPGN, dapat mencetuskan
terjadinya GnGA dan dapat berubah menjadi chronic kidney
disease dengan atau tanpa terapi. Pemeriksaan serologi termasuk
antinuclear antibody (ANA), titer anti glomerular basement
mambrane (GBM), dan komplemen dapat digunakan untuk menilai
etiologi dari RPGN. Karena terapi berdasarkan dari gambaran
patologi, biopsi harus dilakukan cepat ketika anak dengan gejala
curiga RPGN (Whyte DA, 2008)

6. Nekrosis kortikal

15
sebagai penyebab acute kidney injury lebih sering terjadi pada
anak lebih muda terutama neonatus. Nekrosis kortikal dihubungkan
dengan hypoxic/ischemic pada anoksia perinatal, dan twin-twin
transfusions dengan akibat aktivasi dari kaskade koagulase. Anak
dengan nekrosis kortikal biasanya memiliki gross hematuria atau
hematuria mikroskopis dan oliguria dan dengan tanda hipertensi.
Dari gambaran laboratorium terjadi peningkatan nilai BUN dan
kreatinin, trombositopenia yang berhubungan dengan kerusakan
mikrovaskular. Gambaran radiografi termasuk gambaran normal
dari USG ginjal pada fase awal, dan USG ginjal pada fase lebih
lanjut memperlihatkan ginjal telah atrofi dan pengurangan ukuran
ginjal. Prognosis untuk nekrosis kortikal adalah lebih buruk
dibandingkan dengan acute tubular necrosis. Anak dengan nekrosis
kortikal dapat mengalami perbaikan parsial atau sama sekali tidak
perbaikan. Hemolytic Uremic Syndrome merupakan penyebab
GnGA yang sering pada anak dan dihubungkan dengan angka
morbiditas dan mortalitas dan komplikasi jangka panjang yang
pada dewasa biasanya tidak terlihat nyata (Whyte DA, 2008).

2.2.5.3.Obstructive uropathy
Obstruksi dari saluran urin dapat menyebabkan acute kidney
injury jika obstruksi terjadi pada ginjal unilateral, bilateral ureter,
atau jika ada obstruksi uretra. Obstruksi dapat diakibatkan
malformasi kongenital seperti katup uretral posterior, bilateral
ureteropelvic junction obstruction, atau bilateral obstructive
ureteroceles. Kelainan kongenital yang paling sering adalah katup
uretra posterior. Obstruksi saluran urin didapat dihasilkan dari
hambatan batu ginjal atau lebih jarang karena tumor. Ini penting
untuk mengevaluasi adanya obstruksi. Di Indonesia biasanya
disebabkan oleh kristal asam jengkol (intoksikasi jengkol).
Obstruksi dapat terjadi di seluruh saluran kemih mulai dari uretra
sampai ureter dan pelvis. Sampai sekarang belum ada bukti

16
terjadinya kristalisasi di tubulus. Tindakan yang cepat dengan
alkalinisasi urin dengan bikarbonat natrikus dapat melarutkan
kristal tersebut, tetapi pada beberapa kasus yang datang terlambat,
kadang-kadang sampai memerlukan tindakan dialisis (Whyte DA,
2008).
Uropati obstruktif adalah penyebab penting GnGA dan CKD
pada anak yang bersifat potensial reversibel.7 Uropati obstruktif
neonatal merupakan penyebab utama GnGA pada neonatus.
Etiologi uropati obstruktif biasanya adalah kelainan kongenital
saluran kemih, kadangkadang saja didapat. Kelainan kongenital
merupakan faktor predisposisi untuk obstruksi aliran kemih yang
dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal dan stasis aliran kemih
dan mudah menimbulkan infeksi saluran kemih berulang,
selanjutnya dapat mengakibatkan Chronic kidney disease.
Obstruksi kongenital juga dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan ginjal (Whyte DA, 2008)

2.2.6 DIAGNOSIS
Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan
yang telah dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah
keadaan tersebut memang merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan
akut pada PGK. Beberapa patokan umum yang dapat membedakan kedua
keadaan ini antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab
AKI, pemeriksaan klinis (anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan
penyakit (pemulihan pada AKI) dan ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak
sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal umumnya berukuran kecil
pada PGK, namun dapat pula berukuran normal bahkan membesar seperti
pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal polikistik. Upaya pendekatan
diagnosis harus pula mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI, dan
penentuankomplikasi (Mehta RL et al, 2007).

2.2.7 PENATALAKSANAAN

17
Menurut definisi, AKI prerenal adalah reversibel pada koreksi
kelainan utama hemodinamik, dan AKI postrenal dengan menghilangkan
obstruksi. Sampai saat ini, tidak ada terapi khusus untuk mendirikan AKI
intrinsik renal karena iskemia atau nefrotoksisitas. Manajemen gangguan
ini harus fokus pada penghapusan hemodinamik kelainan penyebab atau
toksin, menghindari gejala tambahan, dan pencegahan dan pengobatan
komplikasi. Pengobatan khusus dari penyebab lain dari AKI renal
tergantung pada patologi yang mendasari (Mehta RL et al., 2007)
2.2.7.1 GGA Prarenal
Komposisi cairan pengganti untuk pengobatan GGA prerenal
akibat hipovolemia harus disesuaikan sesuai dengan komposisi cairan
yang hilang. Hipovolemia berat akibat perdarahan harus dikoreksi
dengan packed red cells, sedangkan saline isotonik biasanya pengganti
yang sesuai untuk ringan sampai sedang perdarahan atau plasma loss
(misalnya, luka bakar, pankreatitis). Cairan kemih dan gastrointestinal
dapat sangat bervariasi dalam komposisi namun biasanya hipotonik.
Solusi hipotonik (misalnya, saline 0,45%) biasanya direkomendasikan
sebagai pengganti awal pada pasien dengan GGA prerenal akibat
meningkatnya kehilangan cairan kemih atau gastrointestinal, walaupun
salin isotonik mungkin lebih tepat dalam kasus yang parah. Terapi
berikutnya harus didasarkan pada pengukuran volume dan isotonik
cairan yang diekskresikan. Kalium serum dan status asam-basa harus
dimonitor dengan hatihati. Gagal jantung mungkin memerlukan
manajemen yang agresif dengan inotropik positif, preload dan afterload
mengurangi agen, obat antiaritmia, dan alat bantu mekanis seperti
pompa balon intraaortic. Pemantauan hemodinamik invasif mungkin
diperlukan untuk memandu terapi untuk komplikasi pada pasien yang
penilaian klinis fungsi jantung dan volume intravaskular sulit (Mehta
RL et al., 2007).

2.2.7.2.GGA intrinsik renal

18
AKI akibat lain penyakit ginjal intrinsik seperti glomerulonefritis
akut atau vaskulitis dapat merespon glukokortikoid, alkylating agen,
dan atau plasmapheresis, tergantung pada patologi primer.
Glukokortikoid juga mempercepat remisi pada beberapa kasus
interstitial nefritis alergi. Kontrol agresif tekanan arteri sistemik adalah
penting penting dalam membatasi cedera ginjal pada hipertensi ganas
nephrosclerosis, toxemia kehamilan, dan penyakit pembuluh darah
lainnya. Hipertensi dan AKI akibat scleroderma mungkin sensitif
terhadap pengobatan dengan inhibitor ACE (Mehta RL et al., 2007).

2.2.7.3 GGA Postrenal


Manajemen AKI postrenal membutuhkan kerjasama erat antara
nephrologist, urologi, dan radiologi. Gangguan pada leher uretra atau
kandung kemih biasanya dikelola awalnya oleh penempatan
transurethral atau suprapubik dari kateter kandung kemih, yang
memberikan bantuan sementara sedangkan lesi yang menghalangi
diidentifikasi dan diobati secara definitif. Demikian pula, obstruksi
ureter dapat diobati awalnya oleh kateterisasi perkutan dari pelvis
ginjal. Memang, lesi yang menghalangi seringkali dapat diterapi
perkutan (misalnya, kalkulus, sloughed papilla) atau dilewati oleh
penyisipan stent ureter (misalnya, karsinoma). Kebanyakan pasien
mengalami diuresis yang tepat selama beberapa hari setelah relief
obstruksi. Sekitar 5% dari pasien mengembangkan sindrom garam-
wasting sementara yang mungkin memerlukan pemberian natrium
intravena untuk menjaga tekanan darah.
Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab
AKI dan pada tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap
prarenal dan inisiasi (kriteria RIFLE R dan I), upaya yang dapat
dilakukan adalah tata laksana optimal penyakit dasar untuk mencegah
pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi
bila penyebab AKI adalah prarenal/hipovolemia, terapi sepsis,
penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal, dan meng-

19
hindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan
pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin. Selama tahap poliuria
(tahap pemeliharaan dan awal perbaikan), beberapa pasien dapat
mengalami defisit cairan yang cukup berarti, sehingga pemantauan
ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit harus
dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara ketat
dengan pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit
urin dan serum (Osterman M, 2007).

2.2.8 PROGNOSIS
Mortalitas akibat GGA bergantung keadaan klinik dan derajat gagal
ginjal. Perlu diperhatikan faktor usia, makin tua makin jelek prognosanya,
adanya infeksi yang menyertai, perdarahan gastrointestinal, penyebab yang
berat akan memperburuk prognosa. Penyebab kematian tersering adalah
infeksi (30-50%), perdarahan terutama saluran cerna (10-20%), jantung
(10-20%), gagal nafas (15%), dan gagal multiorgan dengan kombinasi
hipotensi, septikemia, dan sebagainya. Pasien dengan GGA yang
menjalani dialysis angka kematiannya sebesar 50-60%, karena itu
pencegahan, diagnosis dini, dan terapi dini perlu ditekankan (Mehta RL,
2003)

2.2.9 PENCEGAHAN
Pencegahan GGA terbaik adalah dengan memperhatikan status
hemodinamik seorang pasien, mempertahankan keseimbangan cairan dan
mencegah penggunaan zat nefrotoksik maupun obat yang dapat
mengganggu kompensasi ginjal pada seseorang dengan gangguan fungsi
ginjal. Dopamin dosis ginjal maupun diuretik tidak terbukti efektif
mencegah terjadinyaAKI (Mehta RL, 2003).

2.3 REVIEW JURNAL

20
2.3.1 JUDUL
Gambaran Klinis Penderita Penyakit Ginjal Kronik yang
Menjalani Hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil Padang

2.3.2 PENDAHULUAN
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada
ginjal ditandai dengan abnormalitas struktur ataupun fungsi ginjal
yang berlangsung lebih dari 3 bulan. PGK ditandai dengan satu
atau lebih tanda kerusakan ginjal yaitu albuminuria, abnormalitas
sedimen urin, elektrolit, histologi, struktur ginjal, ataupun adanya
riwayat transplantasi ginjal, juga disertai penurunan laju filtrasi
glomerulus (KDIGO, 2012).
Penyebab kerusakan ginjal pada PGK adalah multifaktorial
dan kerusakannya bersifat ireversibel (SIGN, 2008). Penyebab
PGK pada pasien hemodialisis baru di Indonesia adalah
glomerulopati primer 14%, nefropati diabetika 27%, nefropati
lupus/SLE 1%, penyakit ginjal hipertensi 34%, ginjal polikistik
1%, nefropati asam urat 2%, nefropati obstruksi 8%, pielonefritis
kronik/PNC 6%, lain-lain 6%, dan tidak diketahui sebesar 1%.
Penyebab terbanyak adalah penyakit ginjal hipertensi dengan
persentase 34 %.6
Mekanisme dasar terjadinya PGK adalah adanya cedera
jaringan. Cedera sebagian jaringan ginjal tersebut menyebabkan
pengurangan massa ginjal, yang kemudian mengakibatkan
terjadinya proses adaptasi berupa hipertrofi pada jaringan ginjal
normal yang masih tersisa dan hiperfiltrasi. Namun proses adaptasi
tersebut hanya berlangsung sementara, kemudian akan berubah
menjadi suatu proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang
masih tersisa. Pada stadium dini PGK, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal, pada keadaan dimana basal laju filtrasi glomerulus
(LFG) masih normal atau malah meningkat. Secara perlahan tapi

21
pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif (Murtagh
FE, 2007).
Modifikasi faktor resiko PGK dilakukan pada hipertensi,
obesitas morbid, sindroma metabolik, hiperkolesterolemia, anemia,
dan rokok (Henry Ford, 2011). Menurut KDIGO, PGK dengan
tanda-tanda kegagalan ginjal (serositis, gangguan keseimbangan
asam-basa atau elektrolit, pruritus), kegagalan pengontrolan
volume dan tekanan darah, gangguan status gizi yang refrakter, dan
gangguan kognitif membutuhkan terapi hemodialisis. Pada
penderita yang sudah mencapai PGK derajat IV (eGFR
<30mL/menit/1,73m2) juga harus dimulai terapi hemodialisis
(KDIGO, 2012).
Hemodialisis adalah proses pertukaran zat terlarut dan
produk sisa tubuh. Zat sisa yang menumpuk pada pasien PGK
ditarik dengan mekanisme difusi pasif membran semipermeabel.
Perpindahan produk sisa metabolik berlangsung mengikuti
penurunan gradien konsentrasi dari sirkulasi ke dalam dialisat.
Dengan metode tersebut diharapkan pengeluaran albumin yang
terjadi pada pasien PGK dapat diturunkan, gejala uremia
berkurang, sehingga gambaran klinis pasien juga dapat membaik
(Liu KD, 2010). Hemodialisis dapat mempengaruhi gambaran
klinis penderita PGK, berupa gejala mual muntah, anoreksia,
anemia, pruritus, pigmentasi, kelainan psikis, insomnia, hipertensi,
maupun gejala lainnya (Sukandar E, 2009).

2.3.3 TUJUAN
Melakukan penelitian mengenai gambaran klinis pada
penderita PGK (PGK derajat V) setelah menjalani hemodialisis di
RSUP. Dr. M. Djamil Padang.

2.3.4 METODE

22
Penelitian ini merupakan studi deskriptif observasional
yang telah dilakukan di bagian rekam medik dan unit hemodialisis
RSUP Dr. M. Djamil Padang pada Agustus sampai November
2016. Sampel penelitian ini mencakup semua penderita PGK
dewasa yang menjalani Hemodialisis (HD) dengan data rekam
medis lengkap berupa umur dan jenis kelamin, data gambaran
klinis dan hasil laboratorium. Pengambilan sampel dilakukan
dengan mengambil seluruh sampel yang sesuai kriteria inklusi,
yaitu sebanyak 104 sampel.

2.3.5 HASIL
1. penderita PGK yang menjalani hemodialisis di RSUP Dr. M.
Djamil Padang dari 1 Januari 2015 – 12 Desember 2015
terbanyak pada kelompok umur 40 – 60 tahun (62,5%). Pasien
dengan jenis kelamin laki-laki memiliki presentasi lebih tinggi,
yaitu sebanyak 56,7%. Berdasarkan lama hemodialisis lebih
banyak ditemukan pasien yang menjalani HD selama kurang
dari 3 bulan (81,7%).
2. Gambaran penderita PGK yang menjalani hemodialisis dilihat
dari berbagai keluhan umum. Keluhan yang paling banyak
(30,8%) disampaikan pasien berupa lemah, letih, dan lesu.
3. gambaran hasil pemeriksaan fisik pada penderita PGK yang
menjalani HD juga beragam. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
penderita mengalami edema perifer sebanyak 53,8%, hipertensi
stage 1 sebanyak 32,7%, dan konjungtiva yang anemis
sebanyak 62,5% penderita. Keadaan gizi penderita didapatkan
94,2% sedang.
4. pada penderita PGK yang menjalani HD didapatkan kadar
hemoglobin penderita terbanyak (68,3%) dengan Hb 7-10 g/dl.

2.3.6 PEMBAHASAN

23
1. Dalam penelitian ini penderita penyakit ginjal kronik yang
menjalani HD di RSUP Dr. M. Djamil Padang berdasarkan usia
didapatkan kelompok usia terbanyak adalah 40-60 tahun
sebanyak 65 pasien (62,5%), diikuti kelompok usia <40 tahun
sebanyak 23 pasien (22,1%), dan >60 tahun sebanyak 16 pasien
(15,4%). Penurunan fungsi ginjal merupakan proses normal
setiap bertambahnya usia manusia. Bertambahnya usia
menunjukkan penurunan progresif Glomerular Filtrasion Rate
(GFR) dan Renal Blood Flow (RBF). Penurunan terjadi
sekitar 8 ml/menit/1,73m2 setiap dekadenya sejak usia 40
tahun (Weinstein JR, 2010).
2. Jenis kelamin terbanyak adalah pria dengan jumlah 59 pasien
(56,7%), sedangkan jenis kelamin wanita berjumlah 45 pasien
(43,3%). Hasil tersebut kemungkinan berkaitan dengan
kejadian penyakit penyebab PGK, seperti batu ginjal, yang juga
banyak terjadi pada jenis kelamin pria. Penelitian lain
mendapatkan prevalensi penyakit batu ginjal pada laki-laki dan
wanita adalah 10,6% dan 7,1% (Scales CD, 2012).
3. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 17 pasien
(16,3%) mengeluhkan oliguria. Sebanyak 87 pasien (83,7%)
tidak mengeluhkan oliguria. Oliguria terjadi karena
terganggunya fungsi ginjal untuk mempertahankan homeostasis
cairan tubuh dengan kontrol volume cairan, sehingga cairan
menumpuk di dalam tubuh. Pada penelitian ini, didapatkan
banyak pasien yang tidak mengeluhkan oliguria. Kemungkinan
ini dikarenakan pada penelitian ini kebanyakan pasien masih
baru dalam menjalani hemodialisis sehingga dapat dikatakan
kerusakan fungsi ginjalnya belum terlalu parah, sehingga gejala
oliguria (penurunan urine output) belum begitu terlihat. Efek
medikasi yang dilakukan terhadap kelebihan cairan juga bisa
mempengaruhi urine output, seperti pemberian diuretik,
yang dapat meningkatkan urine output.

24
4. Gambaran kelebihan cairan yang terjadi pada pasien didapatkan
asites pada 5 pasien (4,8%), sedangkan 99 orang pasien
(95,2%) tidak ditemukan asites. Pada 4 orang pasien (3,8%)
ditemukan adanya efusi pleura, 96,2% pasien tidak ditemukan
efusi pleura. Sebanyak 56 pasien (53,8%) mengalami edema
perifer dan 48 orang sisanya (46,2%) tidak mengalami edema
perifer.
5. Berdasarkan penelitian didapatkan 10 pasien (9,6%)
mengalami asidosis metabolik sedangkan 94 pasien (90,4%)
tidak mengalaminya. Asidosis metabolik relatif umum terjadi
pada pasien PGK, khususnya ketika LFG turun di bawah 30
ml/menit dan dapat mempengaruhi sekitar 30-50% pasien.
Hilangnya fungsi ginjal secara progresif menyebabkan
berkurangnya kemampuan tubulus untuk memanfaatkan
amonia dalam mengekskresikan sekitar 1 mmol/kgBB hidrogen
yang diproduksi setiap hari pada keadaan fisiologis (Ashurst
IB, 2014).
6. Gambaran gangguan sistem gastrointestinal pada penderita
PGK yang menjalani HD dilihat dari keluhan mual, muntah,
dan tidak nafsu makan. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak
12,5% pasien mengeluhkan mual, sedangkan sisanya tidak
mual. Sebanyak 8 pasien (7,7%) mengalami muntah, sementara
96 pasien (92,3%) tidak mengalami muntah. Sebanyak 14
pasien (13,5%) tidak nafsu makan (anoreksia) dan 90 pasien
(86,5%) tidak mengeluhkan anoreksia.
7. Keadaan gizi pasien berdasarkan hasil pemeriksaan dokter
terbanyak adalah gizi sedang, yaitu 98 orang (94,2%). Sisanya
5 pasien (4,8%) dengan status gizi baik dan 1 pasien (1%)
dengan status gizi buruk.
8. Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa 12 penderita PGK
yang menjalani HD (11,5%) mengeluhkan insomnia,
sedangkan 92 pasien lainnya (88,5%) tidak mengeluhkan hal

25
tersebut. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian lain
pada pasien yang menjalani hemodialisis lebih dari 6 bulan
mendapatkan 46% pasien mengalami insomnia.
9. Gambaran kejadian anemia pada penderita PGK, ditunjukkan
dengan keluhan berupa lemah, letih, lesu, temuan pemeriksaan
fisik berupa konjungtiva anemis, dan temuan laboratorium
berupa penurunan hemoglobin. Pada penelitian ini, didapatkan
sebanyak 32 pasien (30,8%) mengeluhkan lemah, letih, dan
lesu, sedangkan sisanya sebanyak 72 orang (69,2%) tidak
mengeluhkannya. Sebanyak 65 pasien (62,5%) ditemukan
konjungtiva yang anemis pada pemeriksaan fisiknya,
sedangkan sisanya tidak. Data hasil pemeriksaan laboratorium
menunjukkan sebanyak 7 pasien (6,7%) memiliki kadar
hemoglobin (Hb) kurang dari 7 g/dl, sebanyak 71 pasien
(68,3%) memiliki Hb 7-10 g/dl, dan 26 orang (25%) memiliki
Hb >10 g/dl

2.3.7 KESIMPULAN
1. Ada lebih dari separuh penderita PGK yang menjalani
hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil berusia 40 – 60 tahun dan
berjenis kelamin laki-laki. Sebagian besar penderita menjalani
hemodialisis selama < 3 bulan.
2. Gambaran klinis penderita PGK yang menjalani hemodialisis di
RSUP Dr. M. Djamil Padang yang terbanyak adalah keluhan
lemah, letih, dan lesu, pemeriksaan fisik yang banyak ditemukan
dengan edema perifer, konjungtiva yang anemis, keadaan gizi
sedang, dan hipertensi derajat 1, serta anemia pada pemeriksaan
laboratorium.

26
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Ginjal adalah organ penting yang memiliki peran cukup besar dalam
pengaturan kebutuhan cairan dan elektrolit. Hal ini terlihat pada fungsi ginjal
yaitu sebagai pengatur air, pengatur konsentrasi garam dalam darah, pengatur

27
keseimbangan asam basa darah dan pengatur eksresi bahan buangan atau
kelebihan garam . Proses pengaturan kebutuhan keseimbangan air ini diawali
oleh kemampuan bagian glomerulus sebagai penyaring cairan. Cairan yang
tersaring kemudian mengalir melalui tubulus renalis yang sel – selnya
menyerap semua bahan yang dibutuhkan (Damayanti, dkk., 2015).
Ginjal yang tidak dirawat dengan baik dapat mengakibatkan penyakit
gagal ginjal. Gagal ginjal ( renal atau kidney failure ) adalah kasus penurunan
fungsi ginjal yang terjadi secara akut (kambuhan) maupun kronik (menahun).
Gagal ginjal akut apabila terjadi penurunan fungsi ginjal berlangsung secara
tiba- tiba, tetapi kemudian dapat kembali normal setelah penyebabnya dapat
segera diatasi. Sedangkan gagal ginjal kronik gejalanya muncul secara
bertahap, biasanya tidak menimbulkan gejala awal yang jelas, sehingga
penurunan fungsi ginjal tersebut tidak dirasakan dan berlanjut hingga tahap
parah (Alam dan Hadibroto., 2008).
Gagal ginjal akut didefinisikan sebagai penurunan mendadak dari
fungsi ginjal (laju filtrasi glomerulus/ LFG) yang bersifat sementara, ditandai
dengan peningkatan kadar kreatinin serum dan hasil metabolisme nitrogen
serum lainnya, serta adanya ketidakmampuan ginjal untuk mengatur
homeostasis cairan dan elektrolit.1 Istilah gangguan ginjal akut merupakan
akibat adanya perubahan paradigma yang dikaitkan dengan klasifikasi dan
ketidakmampuan dalam mengenal gejala dini serta prognosis (Andreoli SP,
2009).
Pencegahan GGA terbaik adalah dengan memperhatikan status
hemodinamik seorang pasien, mempertahankan keseimbangan cairan dan
mencegah penggunaan zat nefrotoksik maupun obat yang dapat
mengganggu kompensasi ginjal pada seseorang dengan gangguan fungsi
ginjal. Dopamin dosis ginjal maupun diuretik tidak terbukti efektif
mencegah terjadinyaAKI (Mehta RL, 2003).
3.2 SARAN

Mengingat makalah ini masih jauh dari kata sempurna, penulis


mengharapkan adanya kritik serta saran dari pembaca untuk menjadikan

28
makalah dapatbermanfaat bagi pembaca dan menambah pengetahuan bagi
yang membaca.

DAFTAR PUSTAKA

Alam, S & Hadibroto, I., 2008.Gagal Ginjal. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Alatas H.2002. Gagal ginjal akut. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono P,


Parded SO. Bukuajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia.

29
Andreoli SP. Acute kidney Injury in children. Pediatr Nephrol (2009) 24:253-263

Ashurst IB, Olene E, Kaushik T, Mccaferty K, Yaqoob MM. Acidosis:


Progression of chronic kidney disease and quality of life. Journal Of The
International Pediatric Nephrology Association. 2014;30:873-9
Damayanti, I.P, dkk. (2015). Panduan Lengkap Keterampilan Dasar kebidanan II.
Yogyakarta : Deepublish.
Henry Ford Health System. Chronic kidney disease: Clinical practice
recommendations for
primary care physcians and healthcare providers. Edition 6.0. 2011
(diunduh Februari 2016). Tersedia dari: https://www.asn-
online.org/educati on/t raining/fellows/HFH S_CKD_V6.pdf
Hoste E, Clermont G, Kersten A, Venkataraman R, Angus DC, Bacquer DD,
Kellum JA.
RIFLE criteria for acute kidney injury are associated with hospital
mortality in critically ill patients: a cohort analysis. Critical care 2006,
10:R73 (doi:10.1186/cc4915)
Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO). KDIGO Clinical Practice
Guideline for Acute Kidney Injury. Kidney International Supplements
2012. Vol.2. 19-36
Liu KD, Chertow GM.2010. Dialysis in the treatment of renal failure. Dalam:
Jameson JL, Loscalzo J, editor (penyunting). Harrison’s nephrology and
acid-base disorders. Edisi ke-1. New York: The MacGraw-Hill
Companies.
Mehta RL, Chertow GM.2003. Acute renal failure definitions and clas-sification:
time for change?. J Am Soc Nephrol.

Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, Molitoris BA, Ronco C et al.2007. Acute kidney
Injury
Network: report of an initiative to improve outcomes in acute kidney
injury. Critical care
Murtagh FE, Addinationhall JM, Edmons PM, Donohoe P, Carey I, Jenkins K,
Higginson IJ.

30
Symptoms in advanced renal disease: A cross-sectional survey of
symptom prevalence in stage 5 chronic kidney disease managed without
dialysis. Journal Of Palliative Medicine. 2007; 10: 1266-76.
Myjak BL. Serum and Urinary Biomarkers of Acute Kidney Injury. Blood Purif
2010;29:357-365. DOI:10.1159/000309421.
Osterman M, Chang R: Acute Kidney Injury in the Intensive Care Unit according
to RIFLE. Critical Care Medicine 2007; 35:1837-1843.

Price Sylvia A, Wilson Lorraine M.2012. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-


Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Scales CD, Smith AC, Hanley JM, Saigal CS. Prevalence of kidney stones in
United States.
European Urology. 2012;62(1):160-5.
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia: Dari Sel Ke Sistem adisi
6,Penertbit Buku Kedokteran . Jakarta: EGC
SIGN. 2008. Diagnosis and management of chronic kidney disease: A national
clinical guideline
Stamatakis, M.K., 2008. Acute Renal Failure.In M. A. C. Burns., Wells, B.G.,
Schwinghammer, T. L., Malone, P.M., Kolesar, J.M. & J. T.Dipiro., eds.
Pharmacotherapy Principles and Practice. New York: The Mc Graw-Hill
Companies
Tortora, G, J., Derrickson, B. 2011. Principles of Anatomy and Physiology
Maintenance and Continuity of The Human Body 13 th Edition. USA :
John Willey dan Sans Inc.
Verdiansah, 2016. Pemeriksaan Fungsi Ginjal. Program Pendidikan Dokter
Spesialis Patologi Klinik Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung,Indonesia
Weinstein JR, Anderson S.2010. The aging kidney: Physiological changes. Nih
Public Access.
Whyte DA, Fine RN. Acute renal failure in children. Pediatr. Rev 2008;29;299-
307.

31

Anda mungkin juga menyukai