Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH FARMAKOLOGI MOLEKULAR

RESEPTOR ANGIOTENSIN DAN HISTAMIN

Disusun oleh :

Kelompok 6

Afrah Yunas (180105001)

Julia Pungki Astuti Piri (180105047)

Lilis Hidayatul Fitri (180105058)

Linda Nur Azizah (180105059)

Seli Febriyanti (180105092)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA PURWOKERTO

2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah farmakologi molekular yang berjudul “Reseptor Angiotensin dan Histamin”.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam
penyelesaian makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan
pembaca dan memberikan gambaran mengenai materi yang terkait dengan “Reseptor
Angiotensin dan Histamin”. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun bahasannya, maka kami mengharapkan saran dan kritik
yang membangun untuk memperbaiki makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi semua pihak. Amiin

Wassalamualaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh

Purwokerto ,18 Juni 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................................

Daftar Isi..........................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................

1.1 Latar Belakang........................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................

1.3 Tujuan.....................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................

2.1 Review Jurnal Angiotensin dan Histamin.............................................................

BAB III PENUTUP...........................................................................................................

3.1 Kesimpulan............................................................................................................

3.2 Saran .....................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem renin-angiotensin- aldosteron merupakan faktor utama dalam
memelihara tekanan darah arteri. Salah satu sasaran komponennya adalah
angiotensin-converting enzyme (ACE), yang merupakan zink terglikolisasi dipeptidil-
karboksipeptidase yang fungsi utamanya adalah mengatur tekanan darah arteri dan
keseimbangan elektrolit melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron ini (Ligia
Guerrero, 2012). secara invitro sebagai ACE inhibitor. Efek yang menguntungkan ini
secara umum dianggap berasal dari adanya molekul flavonoid, yang turunan senyawa
kimia kompleksnya dapat mencapai ke dalam pusat aktif ACE (Ligia Guerrero, 2012).
Angiotensin Converting Enzyme (ACE) adalah dipeptidil karboksipeptidase
dengan atom zinc. Enzim ini memiliki substrat dengan spesifisitas yang rendah pada
in vitro. ACE terdiri dari rantai polipeptida tunggal yang terdiri dari 2 domain: N dan
C. Ada 2 tempat katalitik dari masing-masing domain. Konsentrasi tertinggi ACE
terdapat di kapiler paru. ACE juga terdapat pada tubulus proksimal ginjal, saluran
gastrointestinal, organ jantung dan otak. ACE muncul sebagai enzim ikatan membran
juga enzim sirkulator globular (B.W. Nileeka Balasuriya, 2011).
ACE inhibitor menurunkan resistensi vaskular sistemik serta rata-rata tekanan
darah diastol dan sistol pada berbagai keadaan hipertensi. Efek-efek tersebut telah
teramati paada hewan percobaan untuk hipertensi ginjal dan hipertensi genetik. Pada
subjek manusia yang menderita hipertensi, inhibitor ACE biasanya menurunkan
tekanan darah (kecuali jika tingginya tekanan darah disebabkan oleh aldoteronisme
primer). Perubahan awal pada tekanan darah cenderung memiliki korelasi positif
dengan PRA dan kadar angiotensin II di dalam plasma sebelum dilakukan
pengobatan. Namun, beberapa minggu dalam pengobatan, lebih tinggi persentase
pasien yang menunjukkan penurunan tekanan darah yang besar, dan efek anti
hipertensif selanjutnya kurang berkorelasi atau tidak ada korelasi sama sekali dengan
kadar pengobatan pendahuluan PRA. Peningkatan produksi angiotensin lokal
(jaringan) dan/atau peningkatan keresponsifan jaringan terhadap kadar angiotensin II
yang normal pada beberapa pasien hipertensi membuat mereka sensitif terhadap
inhibitor ACE meskipun PRA- nya normal. Tanpa memperhatikan mekanismenya,
inhibitor ACE memiliki kegunaan klinis yang luas sebagai senyawa antihipertensi
(Jackson E, 2007).
Angotensin II adalah pengatur fungsi kardiovaskular yang penting. Kemampuan
inhibitor enzim pengonversi angiotensin (ACE) yang efektif secara oral dalam
menurunkan kadar angiotensin II merupakan kemajuan penting dalam pengobatan
hipertensi. Obat-obat golongan ACE inhibitor terbukti sangat berguna untuk
pengobatan hipertensi karena khasiat dan profil efek sampingnya yang lebih baik,
sehingga meningkatkan kepatuhan pasien (Oates J, 2007).
Histamin merupakan salah satu faktor yang menim- bulkan kelainan akut dan
kronis, sehingga perlu diteliti lebih lanjut mekanisme antihistamin pada pengobatan
penyakit alergik. Antihistamin merupakan inhibitor kompetitif terhadap histamin.
Antihistamin dan histamin berlomba menempati reseptor yang sama. Blokade reseptor
oleh antagonis H1 menghambat terikatnya histamin pada reseptor sehingga
menghambat dampak akibat histamin misalnya kontraksi otot polos, peningkatan
permeabilitas pembuluh darah dan vasodilatasi pembuluh darah. Akhir-akhir ini
dibuktikan bahwa antihistamin H1 bukan hanya sebagai antagonis tetapi juga sebagai
inverse agonist yang mempunyai kapasitas menghambat aktivitas reseptor H1
sedangkan antagonis H1 tidak berpengaruh terhadap aktivitas reseptor H1. Reseptor
pada permukaan sel (termasuk reseptor H1) dapat berikatan dengan protein G yang
terdapat pada membran sel di daerah yang berbatasan dengan sitoplasma (cytosolic
domain of cell membrane).1 Perubahan/peningkatan aktivitas reseptor H1 yang
dipengaruhi molekul dari luar sel mengakibatkan perubahan/peningkatan aktivitas
protein G. Perubahan/ peningkatan aktivasi protein G menimbulkan transduksi sig-
nal (signal transduction) ke beberapa target (efektor), sehingga mengakibatkan
aktivasi NF-κB yang merupakan faktor transkripsi yang berperan pada terjadinya
reaksi radang.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Review Jurnal Reseptor Angiotensin dan Histamin ?
C. Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui Review Jurnal Reseptor Angiotensin dan Histamin
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 HISTAMIN

2.1.1 DEFINISI

Histamin merupakan senyawa amin endogenous yang diproduksi melalui


proses dekarboksilasi asam amino L-histidin dan disimpan dalam sel mast,bosifol
dan beberapa neuron. Histamin merupakan salah satu faktor yang menimbulkan
kelainan akut dan kronis, sehingga perlu diteliti lebih lanjut mekanisme
antihistamin pada pengobatan penyakit alergik (Noszál, 2004). Histamin
merupakan mediator utama reaksi alergi atau inflamasi karena disintesis oleh sel-
sel imunitas seperti sel mast dan basofil dan dilepaskan jika ada stimulus berupa
ikatan antigen dan antibody(IgE) (Tömösközi, 2004).

2.1.2 METABOLISME HISTAMIN

Histamin ini dihasilkan oleh sel mast, basophil, platelets, neuron


histaminergik, dan sel enterokromafin, yang mana histamin ini disimpan di dalam
vesikel intraseluler dan dilepaskan pada saat terdapat rangsangan. Histamin dapat
dimetabolisme dengan 2 cara yaitu, melalui deaminasi oleh DAO (atau dulu
dikenal dengan histaminase) atau melalui metilasi oleh histamine-N
methyltransferase (HNMT). Diamin oksidase terdapat dalam membran plasma sel
epitel dan dapat disekresikan ke dalam sirkulasi sehingga diduga
bertanggungjawab dalam degradasi histamin ekstraseluler, sedangkan HNMT
terdapat dalam sitosol dan hanya dapat mendegradasi histamin intraseluler
(Schwelberger, 2004).

2.1.3 JENIS HISTAMIN


1. Reseptor Histamin H1
Reseptor ini ditemukan di jaringan otot, endotelium, dan sistem syaraf
pusat. Bila histamin berikatan dengan reseptor ini, maka akan mengakibatkan
vasodilasi, bronkokonstriksi, nyeri, gatal pada kulit. Reseptor ini adalah
reseptor histamin yang paling bertanggungjawab terhadap gejala alergi (Yanai,
2007).
Tranduksi signal pada reseptor H1 terutama diperantai oleh ikatannya
dengan protein G jenis Gq. Aktivasi reseptor ini oleh ligannya (C-) akan
memicu pembentukan fosfolipase inositol yakni 1,4,5-inositol trifosfat (IP3)
dan 1,2-diasilgliserol (DAG) yang dikatalis oleh fosfolipase C. Jalur ini akan
memobilisasi kalsium dari tempat penyimpanannya dan menyebabkan
peningkatan Ca intraseluler yang mengakibatkan terjadinya perbedaan
farmakologi seperti produksi NO, liberasi arakidonat dari fosfolipid, kontraksi
dari otot halus, dilatasi dari arteriol dan kapiler, permeabilitas pembuluh darah
serta neuron afferen, dan peningkatan cAMP (Dickenson, 1994).
2. Reseptor Histamin H2
Ditemukan di sel-sel parietal. Kinerjanya adalah meningkatkan sekresi
asam lambung (Yanai, 2007). Reseptor H2 diaktivasi dengan berikatan dengan
stimulan berupa c-Fos, c-Jun, protein kinase C (PKC) and p70S6kinase.
Reseptor histamin 2 mayoritas dimediasi oleh cAMP dengan dampak yang
dapat terlihat pada organ otak, mukosa lambung, sel-sel lemak, miosit
jantung, otot polos pembuluh darah, dan basofil neutrofil (Lovenberg, 1995).
3. Reseptor Histamin H3
Bila aktif, maka akan menyebabkan penurunan penglepasan
neurotransmitter, seperti histamin, asetilkolin, norepinefrin, dan serotonin
(Yanai, 2007). Reseptor H3 termasuk reseptor G berikatan dan pengaktivan
reseptor ini mengakibatkan penghambatan pembentukkan cAMP, akumulasi
Ca2+, dan stimulasi sintesis mitogen-activated protein kinase (MAPK).
4. Reseptor Histamin H4
Paling banyak terdapat di sel basofil dan sumsum tulang. Juga ditemukan
di kelenjar timus, usus halus, limfa, dan usus besar. Perannya sampai saat ini
belum banyak diketahui (Yanai, 2007).

2.1.4 Mekanisme Antihistamin sebagai Anti Inflamasi


Interaksi reseptor pada permukaan sel dengan agonis meningkatkan aktivitas
konstitutif reseptor, walaupun agonis tidak harus menempati/terikat pada reseptor H1 . 2
Agonis adalah molekul yang mempunyai kemampuan merangsang/meningkatkan aktivitas
konstitutif reseptor. Interaksi reseptor dengan inverse agonist menurunkan aktivitas
konstitutif reseptor, sedangkan interaksi reseptor dengan antagonis netral tidak
mempengaruhi aktivitas konstitutif reseptor. Antagonis netral yang terikat pada reseptor
hanya dapat menghambat kegiatan agonis. Diduga antihistamin H1 juga bersifat sebagai
inverse agonist. 4 Terdapat perbedaan farmakologik antara inverse agonist dan antagonis
netral, tetapi dugaan ini masih perlu diteliti lebih lanjut.2 Membran sel merupakan batas
antara sel dengan luar sel. Membran sel bersifat permeabel terhadap molekul yang larut
dalam lemak, misalnya steroid. Steroid melakukan difusi ke dalam sel melalui membran sel.
Membran sel bersifat impermeabel terhadap materi yang larut dalam air misalnya ion,
molekul inorganik yang kecil dan polipeptida. Respons terhadap materi yang hidrofilik
tersebut tergantung pada interaksi antara materi/molekul ekstraseluler dengan komponen
protein pada membran plasma. Molekul ekstraseluler itu disebut ligand, sedangkan protein
membran plasma yang mengikat ligand disebut reseptor. Materi ekstraseluler yang tidak
dapat langsung masuk ke sel melalui membran plasma misalnya makromolekul akan melalui
lipid bilayer. 5 Di samping itu ligand yang tidak dapat melalui membran sel, dapat mengirim
sinyal yaitu dengan cara mengubah sifat protein dari membran sel bagian ekstraseluler
(extracellular domain of cell membrane), dan akhirnya sinyal dikirim ke membran sel yang
berbatasan dengan sitoplasma /cytosolic domain of cell membrane. Amplitudo sinyal
sitosolik yang jauh lebih besar daripada sinyal pertama yang diterima membran sel akan
berinteraksi dengan beberapa protein yang terdapat pada sitoplasma (Day, 2004).

Sinyal sitosolik menginduksi aktivitas protein secara berurutan atau meningkatkan


jumlah molekul kecil yang terdapat di dalam sel. Reseptor juga mempunyai aktivitas kinase
protein; kinase diaktivasi pada waktu ligand terikat pada membran sel, yang akan
menyebabkan otofosforilase pada cytoplasmic domain receptor, sehingga menginduksi
protein target pada sitoplasma yang akhirnya membentuk substrat baru di dalam sel. Pada
umumnya reseptor kinase adalah tyrosine kinase, selain itu didapatkan juga reseptor serin
kinase/treonin kinase. Beberapa peneliti juga telah membuktikan terjadinya aktivasi NF-κB,
melalui akivasi tyrosine kinase. 4 Reseptor bagian luar (extracellular domain receptor) juga
berinteraksi dengan protein G yang terdapat pada reseptor yang berbatasan dengan
sitoplasma (cytoplasmic domain receptor). Protein G inaktif didapatkan dalam bentuk trimer
yang berikatan dengan guanine diphosphate (GDP). Pada keadaan reseptor menjadi aktif,
terjadi perubahan konfirmasi yang akan menyebabkan perubahan konfirmasi pada protein
G sub unit α. Perubahan tersebut menyebabkan lepasnya GDP yang sebelumnya terikat
pada protein G sub unit α dan diganti guanine triphosphate (GTP). Pengikatan GTP
menyebabkan protein G sub-unit α melepaskan diri dari reseptor dan protein G sub unit β γ.
Lama berlangsungnya aktivasi protein G dikontrol oleh protein G sub-unit α. Protein G sub-
unit α merupakan bentuk GTPase, yang akan menghidrolisis GTP menjadi GDP, dan akhirnya
protein G sub unit α akan terikat lagi dengan protein G sub unit β γ, sehingga siklus seperti
semula akan berlangsung lagi. Peningkatan aktivasi beberapa reseptor pada permukaan sel
termasuk reseptor H1 mengakibatkan peningkatan aktivasi protein G sehingga
menimbulkan transduksi sinyal ke beberapa target/efektor.
Agonis H1 adalah histamin H1 yang mempunyai afinitas meningkatkan aktivitas
konstitutif reseptor H1 . Akibat transduksi sinyal dari reseptor konstitutif, terjadilah aktivasi
NF-kB konstitutif. Begitu juga dengan cara yang sama terjadi peningkatan aktivasi NF-κB
akibat peningkatan aktivasi reseptor yang disebabkan agonis. Bakker et al4 membuktikan
bahwa aktivasi NF-κB yang diperantarai oleh aktivasi reseptor histamin H1 diperankan oleh
protein G subunit β γ dan αq/11. 4Peningkatan aktivitas NF-κB terutama didapatkan pada
penderita asma, sehingga diduga NF-κB berperan penting pada patogenesis asma.
Penghambatan aktivasi NF-κB konstitutif yang disebabkan aktivasi reseptor H1 konstitutif
hanya dapat dilakukan antagonis H1 , sedangkan antagonis H2 dan H3 tidak berperan,
sehingga diduga antagonis H1 juga bersifat sebagai inverse Gambar-2 : Aktivasi Protein G
Melalui Aktivasi Reseptor. 5 agonist. Diduga beberapa antagonis H1 misalnya cetirizin,
ebastin, loratadin, feksofenadin dapat menghambat aktivasi NF-κB konstitutif yang
diperantarai oleh aktivasi konstitutif reseptor H1 . Pengobatan penyakit alergik dengan cara
menghambat inflamasi yang diduga disebabkan peningkatan aktivitas NFκB sedang
dipikirkan oleh beberapa peneliti.4 Beberapa antagonis H1 yang selama ini lebih dikenal
untuk menghilangkan rasa gatal dapat digunakan sebagai anti-inflamasi pada penyakit yang
disebabkan reaksi alergik.2,6,7 Ciprandi et al6 meneliti efikasi cetirizin pada penderita
konjungtivitis yang disebabkan alergen spesifik yaitu Parietaria judaica. Dari hasil penelitian
itu, disimpulkan bahwa pada kelompok yang diberi cetirizin didapatkan penurunan ekspresi
ICAM-1 dan jumlah sel radang, dibandingkan dengan kelompok yang diberi plasebo.
Boguniewicz8 menduga bahwa cetirizin juga mempunyai khasiat anti-inflamasi dengan cara
menghambat migrasi eosinofil. Holgate et al, 2 mengutarakan mekanisme anti inflamasi
yang dimiliki beberapa antihistamin tidak selalu tergantung pada inverse agonist, sehingga
masih perlu diteliti lebih lanjut mekanisme antihistamin sebagai anti inflamasi. Sampai saat
ini masih diusahakan mendapatkan antihistamin yang berkhasiat sebagai “antagonis H1
ditambah faktor ekstra” terutama faktor ekstra yang bersifat antiinflamasi (Day, 2004).

DAFTAR PUSTAKA
B.W. Nileeka Balasuriya HPVR. Plant flavonoids as angiotensin converting enzyme
inhibitors in regulation of hypertension. Funct Foods Heal Dis. 2011;1(5):172–88.

Jackson E. Renin dan Angiotensin. In: Gilman A, editor. Dasar Farmakologi Terapi. 10th ed.
Jakarta: EGC; 2007. p. 785–816

Ligia Guerrero, Julia´n Castillo, Mar Quinones, Santiago Garcia-Vallve, Lluis Arola GP et al.
Inhibition of Angiotensin-Converting Enzyme Activity by Flavonoids: Structure-
Activity Relationship Studies. www.plosone.org. 2012;7(11):1–10.

Oates J, Brown N. Senyawa- senyawa Antihipertensi dan Terapi Obat Hipertensi. In: Gilman
A, editor. Dasar Farmakologi Terapi. 10th ed. Jakarta; 2007. p. 845–74.

Noszál B, Kraszni M, Rácz A. Histamine: fundamentals of biological chemistry. In: Falus A,


Grosman N, Darvas Zs.eds. Histamine: biology and medical Aspects. Budapest,
Hungary: Spring Med Publishing; 2004.p.15-28

Tömösközi Z. Histamine agonists, antagonists, and inverse agonosts. In: Falus A, Grosman
N, Darvas Zs.eds. Histamine: iology and medical aspects. Budapest, Hungary:
Spring Med Publishing; 2004.p.78-88

Yanai, K; Tashiro, M (2007). “The physiological and pathophysiological roles of neuronal


histamine: an insight from human positron emission tomography
studies.”. Pharmacology & therapeutics. 113 (1): 1–15.

Schwelberger HG. Diamine oxidase(DAO) enzyme and gene. In: Falus A, ed. Histamine:
biology and medical aspects. Budapest, Hungary: SpringMed Publishing, 2004:p43–
52.

Dickenson JM, Hill SJ. Characteristics of 3H-mepyramine binding in DDT1 MF2 cells:
evidence for high binding to a functional histamine H1 receptor. Eur J Pharmacol
Mol Pharmacol Sect 1994; 268: 257-62.

Lovenberg TW, Roland BL, Wilson SJ, et al. Cloning and functional expression of the human
histamine H3 receptor. Mol Pharmacol 1999; 55: 1101-7

Day JH, Ellis AK, Rafeiro E. A new selective H1 receptor antagonist for use in allergic disorders. Drugs of
Today 2004:40(5):415- 21.

Anda mungkin juga menyukai