Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sering kali kita mengalami alergi, misal alergi kulit yang menjadi
merah, gatal dan bentol sampai alergi yang membuat sesak nafas. Ketika jari
kita tertusuk jarum atau kita terluka, kita langsung merasakan sakit atau nyeri.
 Nyeri ini terasa juga saat kita sakit gigi atau penyebab-penyebab lain.
Sebenarnya kenapa kita bisa merasakan hal ini? Kenapa rasa nyeri itu bisa
diteruskan oleh saraf ke otak dan interprestasikan sebagai nyeri? Jawabanya
adalah adanya senyawa/zat dalam tubuh kita (senyawa endogen) yang disebut
dengan Autakoid. Konsep ini akan menjadi salah satu dasar ditemukannya
 berbagai obat yang saat ini sering dikonsumsi seperti parasetamol, aspirin,
sampai morfin.
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Pembuatan Makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan
mahasiswa atau pembaca mengenai “ Autakoid dan Antagonis
Antagonis”.
”.
1.2.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan dari pembuatan Makalah ini, adalah agar mahasis wa
atau pembaca memperoleh pengetahuan tentang:
o Autakoid
o Histamin
o Antihistamin
o Anti - Alergi Lain
o Serotonin
o Antiserotonin
1.3 Manfaat
Adapun beberapa manfaat yang di harapkan dari pembuatan Makalah ini,
adalah:
1. Untuk mahasiswa penyusunan makalah ini dapat di gunakan sebagai
 pedoman dalam pemberian asuhan keperawatan.
2. Untuk pembaca penyusunan makalah ini dapat di gunakan sebagai sarana
untuk menambah pengetahuan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Autakoid
Dalam bahasa Yunani disebut denga autos yang berari sendiri, dan
akos 
akos  yang berarti menyembuhkan.autakoid adalah segolongan zat yang
terdapat dalam tubuh yang mempunyai reseptor yg beraneka macam yang
dapat menimbulkan efek sistemik
 Fungsinya seperti hormon lokal
 Dihasilkan o/ jaringan >> kel.endokrin
 Terbentuk secara alami atau analog sintetik
 Antagonis autakoid = senyawa yg menghambat sintesis autakoid
tertentu/mempengaruhi interaksinya dgn reseptor
Autakoid adalah zat yang dihasilkan oleh sel tertentu dalam tubuh
yang dapat menimbulkan suatu efek fisiologis.
Jenis-jenis Autakoid antara lain :
1. Histamin
2. Eikosanoid, meliputi prostaglandin, tromboksan, leukotrien dan
 prostasiklin.
3. Serotonin
2.2 Histamin
a. Sejarah
Histamin dan asetilkolin mempunyai persamaan sejarah yaitu
disintesis secara kimia lebih dahulu sebelum dikenal sifat-sifat biologinya;
keduanya pertama kali diisolasi dari ekstrak ergot. Histamin dan
asetilkolin kemudian terbukti dihasilkan oleh bakteri yang
mengkontaminasi ergot. Pada awal abad ke 19 histamin dapat diisolasi dari
 jaringan hati dan paru-paru segar. Histamin
Histami n juga ditemukan pada berbagai
 jaringan tubuh, oleh karena itu diberi nama histamin (histos-jaringan).
Kemudian terbukti bahwa pada penggoresan kulit dilepaskan zat yang
sifatnya mirip histamin ( H-subtance)
 H-subtance) yang kemudian terbukti histamin.
 b. Kimia
Histamin atau beta-imidazoliletilamin ialah 4 (2-aminoetil)- Imidazol,
yang dibentuk dari asam amino histidin oleh pengaruh enzim histidin
dekarboksilase. Rumus bangunnya dapat dilihat pada Gambar 18.1.

Gambar 18.1. Histamin

c. Farmakodinamik
 Reseptor Histamin
Histamin berinteraksi dengan reseptor spesifik pada berbagai jaringan
target. Reseptor histamin dibagi menjadi histamin 1 (H 1) dan histamin 2
(H2). Pengaruh histamin terhadap sel dari berbagai jaringan tergantung
 pada fungsi sel dan rasio reseptor H1 : H2.
Aktivasi reseptor H1 menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatkan
 permeabilitas pembuluh darah, dan sekresi mukus. Sebagian dari efek
tersebut mungkin diperantarai oleh peningkatan cyclic guanosine
monophosphate 
monophosphate  (cGMP) di dalam sel. Histamin juga berperan sebagai
neurotransmiter dalam susunan saraf pusat.
Aktivasi reseptor H2  terutama menyebabkan sekresi asam lambung.
Selain itu juga berperan dalam menyebabkan vasodilatasi dan flushing.
Histamin menstimulasi sekresi asam lambung, meningkatkan kadar cAMP
dan menurunkan kadar cGMP, sedangkan antihistamin H 2  memblokade
efek tersebut. Pada otot polos bronkus aktivasi reseptor Ht oleh histamin
menyebabkan bronkokonstriksi sedangkan aktivasi reseptor H 2 oleh agonis
reseptor H2 akan menyebabkan relaksasi.
Selain itu telah ditemukan pula reseptor H 3, berfungsi menghambat
saraf kolinergik dan nonkolinergik yang merangsang saluran napas.
Blokade terhadap reseptor ini membatasi terjadinya bronkokonstiksi yang
diinduksi oleh histamin.
SISTEM KARDIOVASKULAR 

Di latasi .  Efek histamin yang terpenting pada manusia ialah


latasi k apiler 

dilatasi kapiler (arteriol dan venul), dengan akibat kemerahan dan rasa
 panas di wajah (blushing area), menurunnya resistensi perifer dan tekanan
darah. Afinitas histamin terhadap reseptor H1 amat kuat, efek vasodilatasi
cepat timbul dan berlangsung singkat. Sebaliknya pengaruh histamin
terhadap reseptor H2, menyebabkan vasodilatasi yang timbul lebih lambat
dan berlangsung lebih lama. Akibatnya pemberian AH 1, dosis kecil hanya
dapat menghilangkan efek dilatasi oleh histamin dalam jumlah kecil,
sedangkan efek histamin dalam jumlah lebih besar hanya dapat dihambat
oleh kombinasi AH 1 dan AH2.
Per meabil it as kapil er .  Histamin meningkatkan permeabilitas kapiler
Per meabil

dan ini merupakan efek sekunder terhadap pembuluh darah kecil.


Akibatnya protein dan cairan plasma keluar ke ruangan ekstrasel dan
menimbulkan udem. Efek ini jelas disebabkan oleh peranan histamin
terhadap reseptor H1.

Tr i ple ponse. Bila histamin disuntikkan intradermal pada manusia


pl e r esponse.

akan timbul tiga tanda khas yang disebut triple response dari


response dari Lewis, yaitu:
(1) bercak merah setempat beberapa mm sekeliling tempat suntikan yang
timbul beberapa detik setelah suntikan. Hal ini disebabkan oleh dilatasl
lokal kapiler, venul dan arterial terminal akibat efek langsung histamin.
Daerah tersebut dalam satu menit menjadi kebiruan atau tidak jelas lagi
karena adanya udem; (2) flare, berupa kemerahan yang tebih terang
dengan bentuk tidak teratur dan menyebar + 1-3 cm sekitar bercak awal.
Ini disebabkan oleh dilatasi arteriol yang berdekatan akibat refleks akson;
(3) udem setempat (wheal) yang dapat dilihat setelah 1-2 menit pada
daerah bercak awal. Udem ini menunjukkan meningkatnya permeabilitas
oleh histamin.

Pembul besar. Histamin cenderung menyebabkan konstriksi


Pembul uh darah besar.

 pembuluh darah besar yang intensitasnya berbeda antar spesies. Pada


 binatang mengerat, konstriksi juga terjadi pada pembuluh yang lebih kecil,
 bahkan pada dosis yang besar vasokonstriksi menutupi efek vasodilatasi
kapiler sehingga justru terjadi peningkatan resistensi periter.

Jantung.  Histamin mempengaruhi langsung kontraktilitas dan


elektrisitas jantung. Obat ini mempercepat depolarisasi diastol di nodus SA
sehingga frekuensi denyut jantung meningkat. Histamin juga
memperlambat konduksi AV, meningkatkan automatisitas jantung
sehingga pada dosis tinggi dapat menyebabkan aritmia. Semua efek ini
terjadi melalui perangsangan reseptor H1  di jantung, kecuali perlambatan
konduksi AV yang terjadi lewat perangsangan reseptor H 2.

Tetapi dosis konvensional histamin IV 4idak menimbulkan efek yang


nyata terhadap jantung. Bertambahnya trekuensi denyut jantung dan curah
 jantung pada pemberian infus histamin disebabkan oleh retleks
kompensasi terhadap penurunan tekanan darah.

Tekanan dar ah.  Pada manusia dan beberapa spesies lain, dilatasi

arteriol dan kapiler akibat histamin dosis sedang menyebabkan penurunan


tekanan darah sistemik yang kembali normal setelah terjadi refleks
kompensasi atau setelah histamin dihancurkan. Bila dosis histamin sangat
 besar maka hipotensi tidak dapat diatasi dan dapat terjadi syok histamin.

OTOT POLOS NONVASKULAR.


Histamin merangsang atau menghambat kontraksi berbagai otot polos.
Kontraksi otot polos terjadi akibat aktivasi reseptor H 1, sedangkan
relaksasi otot polos sebagian besar akibat aktivasi reseptor H2. Pada orang
sehat bronkokonstriksi akibat histamin tidak begitu nyata, tetapi pada
 pasien asma bronkial dan penyakit paru lain efek ini sangat jelas. Histamin
menyebabkan bronkokonstriksi pada marmot walaupun dengan dosis kecil,
sebaliknya histamin menyebabkan relaksasi bronkus domba dan trakea
kucing. Histamin pada uterus manusia tidak menimbulkan efek oksitosik
yang berarti.
KELENJAR EKSOKRIN.
. Histamin dalam dosis lebih rendah daripada yang
Kelenj ar lambung 

 berpengaruh terhadap tekanan darah akan meningkatkan sekresi asam


lambung. Komposisi cairan lambung ini berbeda-beda antar spesies dan
 pada berbagai dosis. Pada manusia histamin menyebabkan pengeluaran
 pepsin, dan faktor intrinsik Castle bertambah sejalan dengan meningkatnya
sekresi HCl. Ini akibat perangsangan langsung terhadap sel parietal
melalui reseptor H2. Perangsangan fisiologis ini melibatkan juga
asetilkolin yang dilepaskan selama aktivitas vagus, dan gastrin. Maka
setelah vagotomi atau pemberian atropin, efek histamin akan menurun.
Selain itu blokade reseptor H 2  tidak hanya menghambat produksi asam
lambung, tetapi juga mengurangi efek gastrin atau aktivitas vagal.
Kelenjar lain.  Histamin meninggikan sekresi kelenjar liur, pankreas,

 bronkial dan air mata tetapi umumnya efek ini lemah dan tidak tetap.

UJUNG SARAF SENSORIS .


 Nyeri dan gatal.  Flare  oleh histamin disebabkan oleh pengaruhnya
 pada ujung saraf yang menimbulkan refleks akson. Ini merupakan kerja
histamin merangsang reseptor H1  di ujung saraf sensoris. Histamin
intradermal dengan cara goresan, suntikan atau iontoforesis akan
menimbulkan gatal, sedangkan pemberian SK terutama dengan dosis lebih
tinggi akan menimbulkan nyeri disertai gatal.

MEDULA ADRENAL DAN GANGLIA.


Selain merangsang ujung saraf sensoris, histamin dosis besar juga
langsung merangsang sel kromafin medula adrenal dan sel ganglion
otonom. Pada pasien feokromositoma pemberian IV histamin akan
meningkatkan tekanan darah.

d. Histamin Endogen
Histamin berperan penting dalam fenomena fisiologis dan patologis
terutama pada anafilaksis, alergi, trauma dan syok. Selain itu terdapat
 bukti bahwa histamin merupakan mediator terakhir dalam respons sekresi
cairan lambung; histamin juga mungkin berperan dalam regulasi
mikrosirkulasi dan dalam fungsi SSP.

Distribusi.
Histamin terdapat pada hewan antara lain pada bisa ular, zat beracun,
 bakteri dan tanaman. Hampir semua jaringan mamalia mengandung
 prekursor histamin. Kadar histamin paling tinggi ditemukan pada kulit,
mukosa usus dan paru-paru.

Sumber, Sintesis Dan Penyimpanan.


Histamin yang asal makanan atau yang dibentuk bakteri usus bukan
merupakan sumber histamin endogen karena sebagian besar histamin ini
dimetabolisme dalam hati, paru-paru serta jaringan lain dan dikeluarkan
melalui urin. Setiap sel jaringan mamalia yang mengandung histamin,
misalnya leukosit, dapat membentuk histamin dari histidin. Enzim penting
untuk sintesis histamin ialah L-histidin dekarboksilase. Depot utama
histamin ialah mast cell   dan juga basofil dalam darah. Histamin disimpan
sebagai kompleks dengan heparin dalam  secretory granules. Laju malih
histamin dalam depot ini lambat. Apabila terjadi pengosongan, baru
setelah beberapa minggu dapat terisi kembali. Histamin juga terdapat
dalam jumlah besar di sel epidermis dan mukosa usus dengan laju malih
yang cepat.

Fungsi Histamin Endogen.


Reaksi anafilaksis dan alergi.  Reaksi antigen-antibodi (antibodi IgE)
menyebabkan kulit melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi,
gatal dan udem. Penglepasan histamin selama terjadinya reaksi antigen-
antibodi telah diperlihatkan oleh beberapa peneliti. Hipotesis yang
menyatakan bahwa histamin merupakan perantara terjadinya fenomena
hipersensitivitas telah mapan.
Selama reaksi hipersensitivitas selain histamin dilepaskan juga
autakoid lain misalnya serotonin, kinin plasma dan  slow reacting
 substance  (SRS). Pada mamalia histamin menimbulkan anafilaksis,
Kontraindikasi Dan Efek Samping.

Histamin tidak boleh diberikan pada pasien asma bronkial atau


hipotensi. Dosis kecil histamin (0,01 mg/ kgBB, SK) untuk tes sekresi
asam lambung akan menimbulkan kemerahan di wajah, sakit kepala dan
 penurunan tekanan darah. Hipotensi ini biasanya bersifat postural
(hipotensi ortostatik) dan pulih sendiri bila pasien dibaringkan.

2.3 Antihistamin
Sewaktu diketahui bahwa histamin mempengaruhi banyak proses
faalan dan patologik, maka dicarikan obat yang dapat mengantagonis efek
histamin. Epinefrin merupakan antagonis faalan pertama yang digunakan.
Antara tahun 1937-1972, beratus-ratus antihistamin ditemukan dan sebagian
digunakan dalam terapi, tetapi efeknya tidak banyak berbeda. Antihistamin
misalnya antergan, neoantergan, difenhidramin dan tripelenamin dalam dosis
terapi efektif untuk mengobati udem, eritem dan pruritus tetapi tidak dapat
melawan efek hipersekresi asam lambung akibat histamin. Antihistamin
tersebut di atas digolongkan dalam antihistamin penghambat reseptor H t
(AH1).

Sesudah tahun 1972, ditemukan kelompok antihistamin baru, yaitu


 burimamid, metiamid dan simetidin yang dapat menghambat sekresi asam
lambung akibat histamin.

Kedua jenis antihistamin ini bekerja secara kompetitif, yaitu dengan


menghambat interaksi histamin dan reseptor histamin H 1 atau H2.

1. Antihistamin Penghambat Reseptor H1 (Ah1)


a. Kimia
Struktur dasar AH1 adalah sebagai berikut :

Dengan Ar = aril dan X dapat diganti dengan N, C atau -C-O-.


Pada struktur AH1  ini terdapat gugus etilamin yang juga ditemukan
 pada rumus bangun histamin.
Secara kimia AH1 dibedakan atas beberapa golongan yang dapat
dilihat pada label 18-1.
 b. Farmakologi
ANTAGONISME TERHADAP HISTAMIN .

AH1  menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus


dan bermacam-macam otot polos; selain itu AH 1  bermanfaat untuk
mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai
 penglepasan histamin endogen berlebihan.

. Secara umum AH1 efektif menghambat kerja histamin


Otot polos 

 pada otot polos (usus, bronkus). Bronkokonstriksi akibat histamin


dapat dihambat oleh AHt pada percobaan dengan marmot.

Permeabilitas kapiler.  Peninggian permeabilitas kapiler dan

udem akibat histamin, dapat dihambat dengan efektif oleh AH 1.

Reaksi an afi l aksis dan alergi .  Reaksi anafilaksis dan beberapa

reaksi alergi refrakter terhadap pemberian AH1, karena di sini bukan


histamin saja yang berperan tetapi autakoid lain juga dilepaskan.
Efektivitas AH1  melawan reaksi hipersensitivitas berbeda-beda,
tergantung beratnya gejala akibat histamin.

.  Efek perangsangan histamin terhadap sekresi


Kelenjar eksokri n 

cairan lambung tidak dapat dihambat oleh AH 1. AH 1 dapat mencegah


asfiksi pada marmot akibat histamin, tetapi hewan ini mungkin mati
karena AH1  tidak mencegah perforasi lambung akibat hipersekresi
cairan lambung. AH1  dapat menghambat sekresi saliva dan sekresi
kelenjar eksokrin lain akibat histamin.
Tabel 18.1.Penggolongan Antihistamin (AH 1) dengan Masa Kerja,
Bentuk Sediaan dan Dosisnya
Golongan Obat dan Masa Bentuk Dosis Tunggal
Contohnya Kerja Sediaan Dewasa
(jam)
1. ETANOLA
MIN 4-6 Kapsul 25 mg 50 mg
Difenhidramin HCl dan 50 mg.
Eliksir 5 mg – 
10 mg/5 ml,
Larutan 50 mg
suntikan 10
mg/ml
4-6 Tablet 50 mg, 50 mg
Dimenhidrinat Larutan 50 mg
suntikan 50
mg/ml
Karbinoksamin 3-4 Tablet 4 mg, 4 mg
maleat Eliksir 5 mg/5
ml
2. ETILENDIAMIN
Tripelenamin HCl 4-6 Tablet 25 mg 50 mg
dan 50 mg
Krem 2%,
salep 2%
Tripelenamin sitrat 4-6 Eliksir 37,5 75 mg
mg/5 ml
Pirilamin maleat 4-6 Kapsul 75 mg; 25-50 mg
Tablet 25 mg
dan 50 mg
3. ALKILAMIN
Bromfeniramin 4-6 Tablet 4 mg, 4 mg
maleat Eliksir 2 mg/5
ml
Klorfeniramin 4-6 Tablet 4 mg, 2-4 mg
maleat sirop 2,5 mg/5
ml
Deksbromfeniramin 4-6 Tablet 4 mg 2-4 mg
maleat

4. PIPERAZIN
Klorsiklizin HCl 8-12 Tablet 25 mg 50 mg
dan 50 mg
Siklizin HCl 4-6 Tablet 50 mg; 50 mg
Supositoria 50 50  –   100 mg
mg dan 100 (rektal)
mg
Siklizin laktat 4-6 Larutan 50 mg
suntikan 50
mg/ml
Meklizin HCl 12-24 Tablet 25 mg 25 –  50 mg
Hidroksizin HCl 6-24 Sirop 10 mg/5 25 mg
ml
5. FENOTIAZIN
Prometazin HCl 4-6 Tablet 12,5 25-50 mg
mg, 25 mg
dan 50 mg
Larutan 25-50 mg
suntikan 25
mg dan 50
mg/ 5 ml
Supositoria 25 25-50 mg
mg dan 50 mg
Metdilazin HCl 4-6 Tablet 4 mg, 4-8 mg
sirop 4 mg/5
ml
6. PIPERIDIN
(ANTIHISTAMIN
 NONSEDATIF)
Terfenadin 12-24 Tablet 60 mg 60 mg
Astemizol < 24 Tablet 10 mg 10 mg
Loratadin 12 Tablet 10 mg 10 mg
7. LAIN-LAIN
Azatadin + 12 Tablet 1 mg, 1 mg
Sirop 0,5
mg/5 ml
Siproheptadin +6 Tablet 4 mg, 4 mg
sirop 2 mg/5
ml
Mebhidrolin +4 Tablet 50 mg 50-100
napadisilat

Susunan saraf . AH1  dapat


pusat  merangsang maupun
menghambat SSP. Efek perangsangan yang kadang-kadang terlihat
dengan dosis AH 1 biasanya ialah insomnia, gelisah dan eksitasi. Efek
 perangsangan ini juga dapat terjadi pada keracunan AH1. Dosis terapi
AH1  umumnya menyebabkan penghambatan SSP dengan gejala
misalnya kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang
lambat. Golongan etanolamin misalnya difenhidramin paling jelas
menimbulkan kantuk, akan tetapi kepekaan pasien berbeda-beda untuk
masing-masing obat. Antihistamin yang relatif baru misalnya
terfenadin, astemizol, tidak atau sangat sedikit menembus sawar darah
otak sehingga pada kebanyakan pasien biasanya tidak menyebabkan
kantuk, gangguan koordinasi atau efek lain pada SSP. Obat-obat
tersebut digolongkan sebagai antihistamin nonsedatif. Dalam
golongan ini termasuk juga loratadin, akrivastin, mequitazin, setirizin
yang data klinisnya masih terbatas. AH1 juga efektif untuk mengobati
mual dan muntah akibat peradangan labirin atau sebab lain.
Difenhidramin dapat mengatasi paralisis agitans, mengurangi rigiditas
dan memperbaiki kelainan pergerakan (lihat Bab 13).
An estesi lok al.  Beberapa AH1  bersifat anestetik lokal dengan

intensitas berbeda. AH1  yang baik sebagai anestesi lokal ialah


 prometazin dan pirilamin. Akan tetapi untuk menimbulkan efek
tersebut dibutuhkan kadar yang beberapa kali lebih tinggi dari pada
sebagai antihistamin.
Antikolinergik.  Banyak AH1 bersifat mirip atropin. Efek ini tidak

memadai untuk terapi, tetapi efek antikolinergik ini dapat timbul pada
 beberapa pasien berupa mulut kering, kesukaran miksi dan impotensi.
Terfenadin dan astemizol tidak berpengaruh terhadap reseptor
muskarinik.
Sistem kardiovaskular.  Dalam dosis terapi, AH1  tidak
memperlihatkan efek yang berarti pada sistem kardiovaskular.
Beberapa AH1  memperlihatkan sitat seperti kuinidin pada konduksi
miokard berdasarkan sifat anestetik lokalnya. Intensitas efek beberapa
antihistamin dapat dilihat pada Tabet 18.2.
Tabel 18-2, Intensitas Efek Beberapa Antihistamin
Efek Efek
sampi
ng
salura
Golongan n
cerna
Anti-
Anti- Antiemeti
Sedatif kotiner 
histamin k
gik
1. Etanolamin + sd ++ + sd +++ +++ ++ sd +++ +
2. Etilendiamin + sd ++ + sd ++ - - +++
3. Alkilamin ++ sd +++ + sd ++ ++ - +
4. Piperazin ++ sd +++ + sd +++ + +++ +
5. Fenotiazin + sd +++ +++ +++ ++++ -
6. Antihistamin ++ sd +++ - sd + - sd + - -
nonsedatif

c. Farmakokinetik .
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1  diabsorpsi secara
 baik. Efeknya timbu115-30 menit setelah pemberian oral dan
maksimal simal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1  setelah pemberian
dosis tunggal kira-kira 4-6 jam, untuk golongan klorsiklizin 8-12 jam.
Difenhidramin yang diberikan secara oral akan mencapai kadar
maksimal dalam darah setelah kira-kira 2 jam dan menetap pada kadar
tersebut untuk 2 jam berikutnya, kemudian dieliminasi dengan masa
 paruh kirakira 4 jam. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru
sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot dan kulit kadarnya lebih
rendah. Tempat utama biotransformasi AH 1 ialah hati, tetapi dapat juga
 pada paru-paru dan ginjal. Tripelenamin mengalami hidroksilasi dan
konjugasi sedangkan klorsiklizin dan siklizin terutama mengalami
demetilasi. AH1 diekskresi melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam
 bentuk metabolitnya.
d. Efek Samping.
Pada dosis terapi, semua AH1  menimbulkan efek samping
walupun jarang bersitat serius dan kadang-kadang hilang bila
 pengobatan diteruskan. Terdapat variasi yang besar dalam toleransi
terhadap obat antar individu, kadang-kadang efek samping ini sangat
meningkatkan antagonis kalsium dalam serum. Obat IN tak
tercampurkan dengan barbiturat dalam larutan IV. Simetidin dapat
menyebabkan berbagal gangguan SSP terutama pada pasien usia lanjut
atau dengan penyakit hati atau ginjal. Gejala gangguan SSP berupa
 slurred speech, somnolen, letargi, gelisah, bingung, disorientasi, agitasi,
halusinasi dan kejang. Gejala-gejala tersebut hilang/membaik bila
 pengobatan dihentikan. Gejala seperti demensia dapat timbul pada
 penggunaan simetidin bersama obat psikotropik atau sebagai efek
samping simetidin. Ranitidin menyebabkan gangguan SSP ringan,
mungkin karena sukarnya melewati sawar darah otak.
Efek samping simetidin yang jarang terjadi ialah
trombositopenia, granulositopenia, toksisitas terhadap ginjal atau hati.
Peningkatan ringan kreatinin plasma mungkin disebabkan oleh
kompetisi ekskresi simetidin dan kreatinin. Simetidin (tidak ranitidin)
dapat meningkatkan beberapa respons imunitas seluler (cell-mediated
immune response) terutama pada individu dengan depresi sistem
imunologik. Pemberian simetidin dan ranitidin IV sesekali
menyebabkan bradikardi dan efek kardiotoksik lain.
.
Posologi 

Simetidin tersedia dalam bentuk tablet 200, 300 dan 400 mg.
Dosis yang dianjurkan untuk pasien tukak duodeni dewasa ialah 4 kali
300 mg, bersama makan dan sebelum tidur; atau 200 mg bersama
makan dan 400 mg sebelum tidur. Simetidin juga tersedia dalam bentuk
sirup 300 mg/5 ml, dan larutan suntik 300 mg/2 ml.
Ranitidin tersedia dalam bentuk tablet 150 mg dan larutan suntik
25 mg/ml, dengan dosis 50 mg IM atau IV tiap 6-8 jam. Ranitidin 4-10
kali lebih kuat daripada simetidin sehingga cukup diberikan setengah
dosis simetidin; ranitidin bekerja untuk waktu lama (8-12jam). Dosis
yang dianjurkan dua kali 150 mg/hari.
Indikasi.

Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik.


Penghambatan 50% sekresi asam lambung dicapai bila kadar simetidin
 plasma 800 ng/ml atau kadar ranitidin plasma 100 ng/ml.
Tetapi yang lebih penting adalah efek penghambatannya selama
24 jam. Simetidin 1000 mg/ hari menyebabkan penuruvan kira-kira
50% dan ranitidin 300 mg/hari menyebabkan penurunan 70% sekresi
asam lambung; sedangkan terhadap sekresi asam malam hari, masing-
masing menyebabkan penghambatan 70 dan 90%.
Simetidin, ranitidin atau antagonis reseptor H2  mempercepat
 penyembuhan tukak lambung dan tukak duodenum. Pada sebagian
 besar pasien pemberian obat-obat tersebut sebelum tidur dapat
mencegah kekambuhan tukak duodeni bila obat diberikan sebagai terapi
 pemeliharaan. Akan tetapi manfaat terapi pemeliharasn dalam
 pencegahan tukak lambung selama lebih dari satu tahun belum jelas
diketahui.
AH2  sama etektit dengan pengobatan intensif dengan antasid
untuk penyembuhan awal tukak lambung dan duodenum. Untuk refluks
esofagitis seperti halnya dengan antasid antagonis reseptor H2
menghilangkan gejalanya tetapi tidak menyembuhkan lesi.
Pada penggunaan jangka panjang respons pasien kadang-kadang
dilaporkan berkurang, tetapi makna klinis fenomena ini masih
menunggu studi lebih lanjut.
Terhadap tukak peptikum yang diinduksi oleh obat AINS, AH 2
dapat mempercepat penyembuhan tetapi tidak dapat mencegah
terbentuknya tukak. Pada pasien yang sedang mendapat AINS
antagonis reseptor H2  dapat mencegah kekambuhan tukak duodenum
tetapi tidak bermanfaat untuk tukak lambung.
Simetidin dan ranitidin telah digunakan dalam penelitian untuk
 stress ulcer   dan perdarahan, dan ternyata obat-obat tersebut lebih
 bermanfaat untuk profilaksis daripada untuk pengobatan.
AH2  juga bermanfaat untuk hipersekresi asam lambung pada
sindrom Zollinger-Ellison. Dalam hal ini mungkin lebih baik digunakan
ranitidin untuk mengurangi kemungkinan timbutnya efek samping obat
akibat besarnya dosis simetidin yang diperlukan. Ranitidin juga
mungkin lebih baik dari simetidin untuk pasien yang mendapat banyak
obat (terutama obat-obat yang metabolismenya dipengaruhi oleh
simetidin), pasien yang refrakter terhadap simetidin, pasien yang tidak
tahan efek samping simetidin dan pada pasien usia lanjut.
 b. Famotidin
.
Farmakodinamik 

Seperti halnya dengan simetidin dan ranitidin, famotidin


merupakan AH2  sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung
 pada keadaan basal, malam dan akibat distimulasi oleh pentagastrin.
Famotidin tiga kali lebih poten daripada ranitidin dan 20 kali lebih
 poten daripada simetidin.
.
Indikasi 

Efektivitas obat untuk ini tukak duodenum dan tukak lambung


setelah 8 minggu pengobatan sebanding dengan ranitidin dan simetidin.
Pada penelitian berpembanding selama 6 bulan, famotidin juga
mengurangi kekambuhan tukak duodenum yang secara klinis
 bermakna. Famotidin kira-kira sama efektif dengan AH2  lainnya pada
 pasien sindrom Zollinger-Ellison, meskipun untuk keadaan ini
omeprazol merupakan obat terpilih. Efektivitas famotidin untuk
 profilaksis tukak lambung, refluks esofagitis dan pencegahan tukak
stres pada saat ini sedang diteliti.
Ef ek Sampin g.

Efek samping famotidin biasanya ringan dan jarang terjadi,


misalnya sakit kepala, pusing, konstipasi dan diare. Seperti halnya
dengan ranitidin, famotidin nampaknya lebih baik dari simetidin karena
 belum pernah dilaporkan terjadinya efek antiandrogenik. Famotidin
harus digunakan hati-hati pada wanita menyusui karena belum
diketahui apakah obat ini disekresi kedalam air susu ibu.
Ikatan protein plasma obat ini 14-21% dan volume distribusi rata-
rata 170 L. Sumatriptan mengalami metabolisme di hati, metabolit
utamanya analog asam indol asetat yang inaktif. Ekskresi terutama melalui
urin tetapi pada pemberian oral, jumlah yang diekskresi melalui tinja
meningkat.
Indikasi.

Studi komparatif memperlihatkan bahwa sumatriptan efektif pada


 pengobatan migren dengan atau tanpa aura. Dalam waktu 2 jam suatu
dosis tunggal 100 mg atau 200 mg mengatasi serangan secara tuntas pada
50-73% serangan.
Dalam suatu penelitian terbatas 100 mg sumatriptan lebih baik
mengatasi serangan migren daripada kombinasi 2 mg ergotamin +200 mg
kafein atau 900 mg asetosal + 10 mg klopramid.
Sumatriptan 6 mg mengatasi 70-77% pasien sakit kepala dalam 1
 jam dan 75% respons : 2 jam setelah pemberian 20 mg intranasal kanan-
kiri selang 15 menit.
Dibanding dengan plasebo, sumatriptan jelas lebih efektif
mengatasi gejala mual, muntah, fonofobia dan fotofobia. Sayangnya 40%
 pasien mengalami kekambuhan dalam 24-48 jam. Dari data saat ini dapat
disimpulkan bahwa sumatriptan sama efektif pada serangan ulang. Belum
ada petunjuk untuk menyokong penggunaan sumatriptan sebagai
 profilaksis kekambuhan.
Ef ek sampin g.

Sumatriptan terterima baik. Efek samping ringan dan selintas,


 berhubungan dengan cara pemberian. Mual muntah dan gangguan rasa
(taste) paling sering dilaporkan setelah pemberian oral. Gangguan rasa ini
sebagian berhubungan dengan bentuk sediaan dispersible tablet dan hilang
setelah sediaan diubah menjadi bersalut film. Nyeri, merah di tempat
suntikan terjadi setelah pemberian subkutan dan juga parestesia, flushing,
rasa panas dan terbakar.
Posologi.

Dosis subkutan ialah 6 mg diberikan sedini mungkin dalam


serangan, boleh diulang sekali selang I jam, selama 24 jam. Dosis oral 100
mg, sedini mungkin, boleh diulang. Dosis oral maksimal per hari 300 mg.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Autakoid adalah zat yang dihasilkan oleh sel tertentu dalam tubuh yang dapat
menimbulkan suatu efek fisiologis.
Jenis-jenis Autakoid antara lain :
1. Histamin
3. Serotonin
 Histamin  adalah suatu senyawa nitrogen organik lokal yang terlibat
dalam respon imun serta mengatur fungsi fisiologis dalam usus dan bertindak
sebagai neurotransmitter . Histamin memicu respon inflamasi . Sebagai
 bagian dari respon kekebalan terhadap asing patogen, Histamin dihasilkan
oleh basofil dan sel mast yang ditemukan dalam jaringan ikat di sekitarnya.
Serotonin adalah neurotransmitter monoamina yang terutama ditemukan
 pada gastrointestinal (GI) saluran dan sistem saraf pusat (SSP). Sekitar 80
 persen dari total serotonin tubuh manusia terletak dalam sel-sel
enterochromaffin di usus, di mana ia digunakan untuk mengatur gerakan
usus.

3.2 Saran
1) Mahasiswa
1. Gunakanlah waktu sebaik-baiknya untuk mencari ilmu untuk masa
depan yang cemerlang.
2. Gunakanlah makalah ini sebagai sumber ilmu untuk mempelajari
tentang asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sirosis
hepatis.
2) Akademik
1. Bimbinglah mahasiswa-mahasiswa keperawatan dalam membuat
asuhan keperawatan yang baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Penerbit EGC.

Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokeran Universitas


Sriwijaya. 2004.  Kumpulan Kuliah Farmakologi. Edisi 2. Jakarta. Penerbit
EGC.

Tjay, T. H. & Rahardja, K. 2007. Obat-obat Penting . Jakarta: PT Elex Media


Komputindo.

Anda mungkin juga menyukai