Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Lab/SMF Ilmu Farmasi/Farmakoterapi Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman 2014
2
Lab/SMF Ilmu Farmasi/Farmakoterapi REFERAT Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
BETAHISTIN MALEAT
Disusun oleh
ANIS PURWANTI 0910015026
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Lab/SMF Ilmu Farmasi/Farmakoterapi Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman 2014
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................................................... 1 DAFTAR ISI ................................................................................................................................... 3 KATA PENGANTAR .................................................................................................................... 4 BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................................................. 5 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................... 8 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 16
4
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. karena hanya atas berkah, rahmat dan hidayah-Nya Referat Betahistin Maleat ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Referat ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas pada program pendidikan profesi dokter di stase farmakologi. Referat ini disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari belajar mandiri. Dalam proses penyusunan referat ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Para dosen pembimbing di stase farmakologi 2. Teman-teman sekelompok stase farmakologi 3. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu Penulis mengharapkan agar referat ini dapat berguna baik bagi penulis sendiri maupun bagi pembaca. Tentunya referat ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, saran serta kritik yang membangun penulis harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari isi referat ini.
Samarinda, 10 Oktober 2014
Penulis
5
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Histamin (HA) adalah neurotransmitter modulator yang meregulassi beberapa fungsi sereberal. Pada mamalia neuron histaminergik terletak spesifik di nuckei hipotalamus posterior. HA memiliki khasiat farmakologi yang hebat, antara lain dapat menyebabkan vasodilatasi yang kuat dari kapiler-kapiler, serentak dengan konstriksi (penciutan) dari vena-vena dan arteri-arteri, sehingga mengakibatkan penurunan tekanan darah perifer. Sehubungan dengan sirkulasi darah yang tidak sempurna ini, maka diuresis dihalangi. Juga permeabilitas dari kapiler-kapiler menjadi lebih tinggi, artinya lebih mudah ditembusi, sehingga cairan dan protein-protein plasma dapat mengalir ke cairan diluar sel dan menyebabkan udema. Disamping ini organ-organ yang memiliki otot-otot licin, sebagai kandungan dan saluran lambung usus, mengalami konstriksi, sehingga menimbulkan rasa nyeri, muntah-muntah, diare. Begitu pula di paru-paru terjadi konstriksi dari bronkous dengan akibat nafas menjadi sesak (dyspnoe) atau timbulnya serangan asma. Histamin juga mempertinggi sekresi kelenjar-kelenjar, misalnya ludah, asam dan getah lambung, air mata dan juga adrenalin. Dalam keadaan normal jumlah histamin dalam darah adalah sedikit sekali, sehingga tidak menimbulkan efek-efek tersebut diatas. Histamine bekerja dengan menduduki reseptor pada sel yang terdapat pada permukaan membrane. Saat ini didapatkan 3 jenis reseptor histamine H1, H2, dan H3, reseptor tersebut termasuk golongan reseptor yang berpasangan dengan protein G. Pada otak, H1 dan H2 terletak pada membrane pascasinaptik. Aktivasi H1 yang terdapat pada endotel dan sel otot polos menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan sekresi mucus. Histamine juga berperan sebagai neurotransmitter dalam susunan saraf pusat. 6
Reseptor H2 didapatkan pada mukosa lambung, sel otot jantung, dan beberapa sel imun. Aktivasi reseptor H2 terutama menyebabkan sekresi asam lambung. Selain itu juga berperan dalam menyebabkan vasodilatasi dan flushing. Histamine menstimulasi sekresi asam lambung, meningkatkan kadar cAMP, dan menurunkan kadar cGMP, sedangkan antihistamin H2 menghambat efek tersebut. Pada otot polos bronkus aktivasi reseptor H1 oleh histamine menyebabkan bronkokonstriksi, sedangkan aktivasi reseptor H2 oleh agonis reseptor H2 akan menyebabkan relaksasi. Reseptor H3 berfungsi sebagai penghambat umpan balik pada berbagai system organ. Aktivasi reseptor H3 yang didapatkan pada berbagai daerah di otak mengurangi penglepasan transmitter baik histamine maupun norepinefrin, serotonin, dan asetilkolin. Meskipun agonis reseptor H3 berpotensi untuk digunakan antara lain sebagai gastroprotektif dan antagonis reseptor H3 antara lain berpotensi untuk digunakan sebagai antiobesitas. Sewaktu diketahui bahwa histamine mempengaruhi banyak efek fisiologik dan patologik, maka dicarikan obat yang dapat mengantagoniskan efek efek histamine. Antihistamin dalam dosis terapi, efektif untuk mengobati edema, eritem dan pruritus, tetapi tidak dapat melawan efek hipersekresi asam lambung akibat histamin. Antihistamin tersebut digolongkan dalam antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1) Setelah tahun 1972 ditemukan kelompok antihistamin yang dapat menghambat sekresi asam lambung akibat histamin. Antihistamin ini digolongkan sebagai antihistamin penghambat H2(AH2). Antihistamin penghambat reseptor H3 (AH3) berfungsi mengurangi pelepasan transmitter baik histamine maupun noreepinefrin, serotonin dan asetilkolin. Ketiga jenis antihistamin ini bekerja secara kompetitif yaitu dengan menghambat interaksi histamin dan reseptor histamin H1, H2 atau H3. Setelah itu, terdapat banyak usaha untuk menemukan obat baru yang mampu menghambat ketiga reseptor dengan berbagai kekuatan dan spesifitasnya.
7
1.2 Tujuan Penulisan Agar mahasiswa dapat mengetahui betahistin maleat berdasarkan: 1. Morfologi 2. Farmakodinamik 3. Farmakokinetik 4. Dosis obat 5. Bentuk dan sediaan obat 6. Indikasi 7. Kontraindikasi 8. Efek samping dan toksisitas 9. Interaksi obat
1.3 Manfaat Penulisan Memberikan pengetahuan kepada mahasiswa dan pembaca mengenai obat golongan histamine dan anti histamine sehingga dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan kondisi pasien.
8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Morfologi Obat
Betahistin merupakan 2- [2-(metilamino)etil] pyridine. Struktur ini mirip mempunyai kemiripan dengan penethylamin dan histamine.
2.2 Farmakodinamik Betahistin adalah salah satu obat yang sekarang ditulis pada resep pasien dengan gangguan kehilangan vestibular dan untuk pengobatan simptomatik vertigo dan khususnya meniere. System vestibular sangat sensitive terhadap perubahan konsentrasi O2 dalam darah, oleh karena itu perubahan aliran darah yang mendadak dapat menimbulkan vertigo. Vertigo tidak akan timbul bila hanya ada perubahan konsentrasi O2 saja tetapi harus ada factor lain yang menyertai, misalnya sklerosis pada salah satu arteri auditiva interna atau salah satu arteri tersebut terjepit. Meniere 9
itu sendiri disebabkan karena adanya hidrops endolimfa pada koklea dan vestibulum. Hidrops yang terjadi mendadak dan hilang timbul diduga disebabkan karena meningkatnya tekanan hidrostatik pada ujung arteri, berkurangnya tekanan osmotic di dalam kapiler, meningkatnya tekanan osmotic ruang ekstrakapiler, jalan keluar sakus endolimfatikus tersumbat, sehingga terjadi penimbunan cairan endolimfa, sehingga pengobatan pada penyakit ini dengan cara memberikan obat-obat vasodilator perifer untuk megurangi tekanan hidrops endofimfa. Betahistin merupakan salah satu struktur analog HA dengan lemahnya reseptor histamine agonist H1 dan lebih potensi pada reseptor antagonist H3. Betahistin mempunyai afinitas yang kuat terhadap antagonist reseptor H3 (AH3) dan agonist lemah pada reseptor histamine 1 (H1). Betahistin menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah pada telinga bagian dalam dengan cara menghilangkan atau meringankan tekanan pada kelebihan cairan di telinga bagian dalam. Betahistin mempunyai dua mekanisme kerja. Mekanisme betahistin yang pertama secara langsung menstimulasi reseptor H1 di pembuluh darah pada telinga bagian dalam sehingga terjadi vasodilatasi local dan kenaikan permeabilitas dengan demikian menghilangkan endolymphatic hydrops. Efek betahistin pada pembuluh darah besar menyebabkan konstriksi pembuluh darah besar yang intensitasnya berbeda antar spesies. Pada binatang pengerat, konstriksi juga terjadi pada pembuluh darah yang lebih kecil, bahkan pada dosis yang besar vasokonstriksi menutupi efek vasodilatasi kapiler sehingga justru terjadi peningkatan resistensi perifer. Afinitas histamine terhadap reseptor H1 amat kuat, efek vasodilatasi cepat timbul dan berlangsung singkat. Akibatnya, pemberian AH1 dosis kecil hanya dapat menghilangkan efek dilatasi oleh histamine dalam jumlah kecil. Mekanisme betahistin yang kedua yaitu antagonist histamine pada reseptor histamine 3 (AH3). Reseptor H3 berfungsi sebagai penghambat umpan balik pada berbagai system organ. Aktivasi reseptor H3 yang didapatkan pada berbagai daerah di otak mengurangi penglepasan transmitter baik histamine maupun norepinefrin, serotonin, dan asetilkolin. AH3 menghambat histamine dengan cara meningkatkan 10
neurotransmitter seperti norepinefrin, serotonin, dan asetilkolin dari ujung-ujung serabut saraf. Asetilkolin menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dengan bekerja langsung pada reseptor muskarinik M3 yang terdapat di prasinaps saraf adrenergic pada endotel dan akan berdifusi ke jaringan dibawahnya sehingga menyebabkan otot pembuluh darah relaksasi. Serotonin langsung menstimulasi otot polos dan serabut saraf. Kedua efek ini sulit untuk dipisahkan. Dalam otot rangka terdapat efek vasodilatasi, tetapi efek secara keseluruhan sebenarnya sesuatu peningkatan resistensi perifer. Mekanisme ini yang menyebabkan terjadi efek vasodilatasi yang lebih kuat pada betahistin di telinga bagian dalam sehingga mengakibatkan pelebaran spinchter prekapiler sehingga meningkatkan aliran darah pada telinga bagian dalam. Peningkatan aliran darah di koklea dilaporkan setelah pemberian sistemik betahistin. Dari hasil penelitian menyebutkan terjadi vasodilatasi arteri inferior anterior sereberal yang dapat menerangkan bahwa induksi betahistin meningkat di aliran darah koklea dihubungkan dengan peningkatan konduktivitas vascular dan penurunan tekanan darah di sistemik. Efek ini muncul pada keterlibatan reseptor histamine H1, heteroreseptor histamine H3 presinaptik, danreseptor alpha 2 autonom, terakhir di telinga bagian dalam marmot. Penelitian efek betahistin pada persiapan isolasi katak dikanal posterior semi sirkularis dan ditemukan penurunan kerusakan dari reseptor ampula ketika obat diberikan melalui cairan perilimfatik, efeknya dapt melibatkan reseptor HA di system vestibular perifer. Keuntungan utama betahistin adalah tidak ada efek sedative yang ditemukan pada pemberian di hewan ataus ubjek yang sehat
2.3 Farmakokinetik Betahistin secara cepat di absorbsi melalui oral dan mencapai kadar maksimal dalam plasma darah 3-4 jam. Betahistin di ekskresi di urin dalam waktu 24 jam. Ikatan dengan plasma protein sangat rendah. Betahistin akan berubah dalam bentuk 11
aminotilpiridine dan hidroksitilpiridine dan di ekskresi di urin dalam bentuk asam piridilacetik.
2.4 Bentuk Sediaan Obat Betahistin tersedia dalam bentuk 1. Tablet, 6 mg, 12 mg 2. Kapsul, 6 mg 3. Tablet salut selaput, 6 mg Merk betahistin yang terdapat di Indonesia 1. Darvon Pharos, Rp. 264.000 2. Histigo Ifars, Rp. 72.600 3. Lexigo (Molex Ayus), Rp. 30.0000/box 4. Merislon Eisai, Rp. 241.564 (6 mg), Rp. 355.100 (12 mg) 5. Noverity (Novell Pharma), Rp.26.250 6. Verislon 6 (Mersifarma TM), Rp. 130.000
2.5 Indikasi 1. Vertigo 2. Pusing yang berhubungan dengan gangguan keseimbangan yang terjadi pada gangguan sirkulasi darah atau sindrom meniere 12
3. Penyakit meniere 4. Tinitus 5. Ketulian yang berhubungan dengan sindrom meniere
2.6 Kontraindikasi 1. Penderita feokromositoma 2. Pasien asma 3. Tukak Peptik atau riwayat tukak peptic 4. Hamil dan laktasi 5. Anak < 2 tahun
2.7 Efek samping dan Toksisitas 1. Mual 2. Muntah 3. Ruam kulit dan reaksi hipersensitivitas pada kulit 4. Gangguan GI track 5. Sakit kepala Toksisitas betahistin bervariasi dari gejala yang ringan sampai berat. Gejala ringan (< 640 mg) meliputi:mulut kering, dyspepsia, nyeri perut dan somnolen. Gejala toksisitas berat (>640 mg) menyebabkan gangguan pada jantung dan paru.
13
2.8 Interaksi obat Tidak ada data interaksi obat dengan betahistin maleat. 14
15
BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan Betahistin maleat mempunyai mekanisme kerja sebagai agonist histamine lemah dan antagonist histamine pada reseptor histamine 3 (AH3), dan obat ini digunakan untuk mengobati pasien dengan keluhan vertigo, pusing dan ketulian akibat gangguan keseimbangan pada sindrom meniere.
3.2 Saran Mekanisme betahistin ini masih sepenuhnya belum diketahui, untuk itu diharapkan agar terus mencari informasi terbaru mengenai betahistin dan interaksi dengan obat lain yang masih belum diketahui
16
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2007. Betahistine in the treatment of meniere disease, 2 (4), 429-440. Diambil kembali dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2655085/ Dzadziola, J.K., Laurikainen, E., Rachel, J.D. 1999. Betahistine increase vestibular blood flow. Science Direct. Vol 120 pages 400-405. Diambil kembali dari http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0194599899702834 Formularium Obat IN Health, Edisi VI. 2014. Diambil kembali dari www. Inhealth.co.id Tjay, T.H, Rahardja, K. 2010. Obat Obat Penting, Edisi VI. Jakarta; PT Elex Media Komputindo Katzung, B. G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi VI. Jakarta: EGC MIMS. 2014. Petunjuk Konsltasi. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer Mycek, M.J, Harvey, R.A. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta: Widya Medika Otolaryngology Head and Neck Surgeron. Betahistin Incuced Changes of In Vivo Vestibular Blood Flow. 1995. http://oto.sagepub.com/content/113/2/P74.2.extract# Staf Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, Edisi V. 2007. Farmakologi dan Terapi . Jakarta: Gaya Baru