Anda di halaman 1dari 45

PRAKTIKUM MANUFAKTUR SEDIAAN SOLIDA

TABLET ASPIRIN 80 mg
SECARA GRANULASI KERING

NAMA : Gelegar Putra Richo Rizky Pratama


NRP : 110120195
KP :C
KELOMPOK :5

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SURABAYA
April 2022
1. DEFINISI DAN TUJUAN
1.1. DEFINISI GRANULASI BASAH
Granulasi kering juga dinyatakan sebagai briketasi atau kompaktasi. Proses ini
membutuhkan waktu yang lebih singkat sehingga lebih ekonomis dibandingkan
proses granulasi basah. Cara ini sangat tepat untuk dosis efektif yang terlalu tinggi
untuk pencetakan langsung, dan bahan obatnya peka terhadap pemanasan,
kelembapan, atau keduanya.
granulasi kering (slugging) ini adalah memproses partikel bahan aktif dan
eksipien dengan mengempa campuran bahan kering menjadi massa padat. Setelah
menjadi masa padat, selanjutnya dipecah lagi untuk menghasilkan partikel yang
berukuran lebih besar dari serbuk semula (granul).
(Murtini, Gloria dan yetri Elisa. 2018. Teknologi Sediaan Solid. Kementrian
kesehatan Republik Indonesia.)

1.2. TUJUAN
Tujuan praktikum topik granulasi kering adalah :
1. Digunakan untuk bahan aktif yang memiliki dosis efektif yang terlalu tinggi
untuk dikempa langsung.
2. Untuk bahan dengan sifat alir yang baik.

2. PRAFORMULASI
a) Sifat Fisika Bahan Aktif :
1. Nama/Sinonim : Asam asetilsalisilat; Asetosal (FI VI p.170)
2. Bentuk : Hablur putih, umumnya seperti jarum atau lempengan tesusun,
atau serbuk hablur putih (FI VI p.170)
3. Warna : Putih (FI VI p.170)
4. Rasa : Sedikit pahit (PUBCEM)
5. Bau : Tidak berbau atau Berbau lemah (FI VI p.170)
6. Titik leleh : 1350C (PUBCEM)
7. Polimorfisme : 2 bentuk polimorfisme (Codex 12th. Page: 742)
8. Struktur :

b) Sifat Kimia dan Fisikomekanika :


1. Kelarutan :
Sukar larut dalam air; mudah larut dalam etanol; larut dalam kloroform
dan dalam eter; agak sukar larut dalam eter mutlak. (FI VI p.170)

2. Stabilitas :
a. Stabilitas fisika : stabil di udara kering (FI VI p.170)
b. Stabilitas kimia : Dalam larutan berair, aspirin paling stabil pada pH 2-
3, kurang stabil pada pH 4-8, dan paling tidak stabil pada pH kurang
dari 2 atau lebih besar dari 8. Dalam larutan air jenuh pada pH 5 -7,
aspirin hampir sepenuhnya terhidrolisis dalam 1 minggu pada 25°C.
(PUBCEM)

3. Higroskopisitas : Higroskopis (Raimi-Abraham BT, Garcia del Valle A,


Varon Galcera C, Barker SA, Orlu M. Investigating the physical stability
of repackaged medicines stored into commercially available
multicompartment compliance aids (MCAs). Journal of Pharmaceutical
Health Services Research. 2017 Jun;8(2):81-9.)

c) Sifat Mekanik Bahan Aktif :


1. Sifat alir : sifat alir buruk (Khaled M. Elsabawy. 2015.
CONCENTRATION IMPACT AND STRUCTURE SUITABILITY OF
ACETYL SALICYLATE MOEITY (ASPIRIN) AS MULTI-
FUNCTIONALIZED DRUG; 45-49)
2. Kompresibilitas : buruk (Khaled M. Elsabawy. 2015. CONCENTRATION
IMPACT AND STRUCTURE SUITABILITY OF ACETYL
SALICYLATE MOEITY (ASPIRIN) AS MULTI-FUNCTIONALIZED
DRUG; 45-49)
3. Habit kristal (bila ada) : berbentuk tabung atau seperti jarum (Martindale
36th p.20)

d) Farmakologi:
1. Dosis : Dosis oral 300 - 900 mg, diulang setiap 4 hingga 6 jam.
sesuai dengan kebutuhan klinis, maksimal 4 g setiap hari.
Dosis sebagai supositoria adalah 450 hingga 900 mg setiap 4
jam hingga maksimum 3,6 g setiap hari (Martindale 36th p.23)
2. Efek terapi (indikasi) : sebagai analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik;
mereka bertindak sebagai penghambat enzim siklooksigenase, yang
menghasilkan penghambatan langsung biosintesis prostaglandin
dan tromboksan dari asam arakidonat (Martindale 36th p.23)

3. FORMULA
1. R/ Aspirin 80.0 mg .
Microcrystalline cellulose 8.0 mg
Maize starch 7.0 mg
Colloidal sillicon Dioxide 2.0 mg
Talk 2.0 mg
Stearic acid 1.0 mg
Croscarmellose Sodium 2.0 mg
(Pustaka : : Kannan, S et.al. 2010. Formulation And Evaluation Of Aspirin Delayed
Release Tablet. IJCP Journal Vol. 1 Issue 4)

2. R/ Aspirin 250 mg
HPMC 50 mg
Microcrystalline cellulose 70 mg
Polyvinyl Pyrrolidone q.s
Sodium stearate 1 mg
Talc 5 mg
(Pustaka : Singh P, Kumar P, Prasad N. Formulation and evaluation of aspirin tablets
by using different lubricants in combination for better kinetic drug release study by
PCP. Evaluation. 2017 Sep 30;28:0-28.)
3. R/ Aspirin 300 mg
Lactose 80 mg
Corn starch 15 mg
Aerosil 5 mg
Pustaka :
https://www.researchgate.net/publication/260356884_Formulation_of_Aspirin_Tabl
ets_using_fewer_excipients_by_Direct_Compression
FORMULA YANG AKAN DIAPLIKASIKAN:
FUNGSI KOMPONEN DALAM FORMULA DAN KONSENTRASI MASING-
MASING BAHAN EKSIPIEN (DALAM%)
No. Komponen formula Presentase Jumlah Jumlah
bahan bahan (1000
(1 tablet) tablet)
Bahan penyusun granul
1. Asam asetil salisilat 20% 80 80
2. PVP 3% 12 12
3. Sodium starch glycolate 5% 20 20
4. Avicel PH 102 35% 140 140
5. Spray dried lactose 35% 140 140
6. Aerosil 200 0,5% 2 2
7. Magnesium stearate 0,5% 2 2
Fase eksternal
8. Aerosil 200 0,5% 2 2
9. Magnesium stearate 0,5% 2 2
Total 400 400

4. PENIMBANGAN
Bahan fungsi Presentase Jumlah Jumlah
bahan bahan (1000
(1 tablet) tablet)
Asam asetil Bahan aktif 20% 80 80
salisilat
PVP Pengikat 3% 12 12
Sodium starch Disintegrant 5% 20 20
glycolate
Avicel PH 102 Pengikat 35% 140 140
Spray dried Diluent 35% 140 140
lactose
Aerosil 200 Disintegrant 0,5% 2 2
Magnesium lubrikan 0,5% 2 2
stearate
Total 400 400
5. PERHITUNGAN
1. Bobot tablet yang akan dicetak : 400 mg/tablet → 400 g/1000 tab
2. Diameter tablet yang akan dicetak : 11 mm
3. Ukuran granul yang akan dibuat : 0,8 - 1,0 mm (mesh no 18 atau 10)
4. Bobot granul kering :
a. Asam salisilat → 80g
b. PVP → 12 g
c. Sodium starch glycolate → 20g
d. Avicel pH → 140g
e. Spray dryed lactose → 140g
f. Aerosol 200 → 2 g
g. Magnesium stearate → 2 g
TOTAL → 396 g

5. Bobot fase eksternal yang diperlukan


Magnesium Stearat : 2 mg
Aerosil 200 : 2 mg
Fase eksternal : 400mg – 396mg
: 4 mg
6. PROSEDUR
6.1. PROSEDUR GRANULASI

1. Timbang aspirin/asam asetilsalisilat


Siapkan alat dan bahan sebanyak 80 gram
yang diperlukan 2. Timbang PVP sebanyak 12 gram
kemudian menimbang 3. Timbang Sodium starch glycolate sebanyak
fase eksternal yang
20 gram
4. Timbang AVICEL PH 102 sebanyak 140
akan dicampurkan
gram
5. Timbang spray dried lactose sebanyak 140
gram

1. Timbang aerosil sebanyak 4 gram, lalu


dibagi masing-masing menjadi 2 gram.
2. Timbang magnesium stearat sebanyak 4
gram, lalu dibagi masing-masing menjadi
2 gram

Melakukan proses Kemudian tambahkan 2 Campurkan aspirin, PVP,


slugging dengan mesin gram aerosil dan 2 gram Sodium starch glycolate,
kempa tablet hingga mg stearat ke dalam AVICEL PH 102, dan spray
terbentuk slug mixer tersebut selama 3 dried lactose ke dalam Y-cone
menit mixer selama 5 menit

Slug dihancurkan Dilakukan kontrol kualitas granul yang


Bobot granul
dengan granulator meliputi sifat alir, sudut istirahat,
yang didapatkan
oscillating dan diayak bobot jenis nyata, bobot jenis
ditimbang
dengan mesh no.18 mampat, rasio Hausner, indeks
kompresibilitas, dan moisture content
1. Siapkan alat dan bahan yang diperlukan kemudian menimbang fase eksternal yang akan
dicampurkan
2. Timbang aspirin/asam asetilsalisilat sebanyak 80 gram
3. Timbang PVP sebanyak 12 gram
4. Timbang Sodium starch glycolate sebanyak 20 gram
5. Timbang AVICEL PH 102 sebanyak 140 gram
6. Timbang spray dried lactose sebanyak 140 gram
7. Timbang aerosil sebanyak 4 gram, lalu dibagi masing-masing menjadi 2 gram.
8. Timbang magnesium stearat sebanyak 4 gram, lalu dibagi masing-masing menjadi 2 gram
9. Campurkan aspirin, PVP, Sodium starch glycolate, AVICEL PH 102, dan spray dried
lactose ke dalam Y-cone mixer selama 5 menit
10. Kemudian tambahkan 2 gram aerosil dan 2 gram mg stearat ke dalam mixer tersebut selama
3 menit
11. Melakukan proses slugging dengan mesin kempa tablet hingga terbentuk slug
12. Slug dihancurkan dengan granulator oscillating dan diayak dengan mesh no.18
13. Bobot granul yang didapatkan ditimbang
14. Dilakukan kontrol kualitas granul yang meliputi sifat alir, sudut istirahat, bobot jenis nyata,
bobot jenis mampat, rasio Hausner, indeks kompresibilitas, dan moisture content

6.2. PROSEDUR PEMBUATAN TABLET

2 gram aerosil dan 2 gram magnesium stearat yang sudah ditimbang


dicampur dengan Y cone mixer selama 3 menit membentuk massa
kempa

Masa kempa kemudian dicetak dengan mesin kempa


tablet dengan diameter 11 mm 3) Tablet dilakukan
kontrol kualitas meliputi dimensi tablet, kekerasan,
waktu hancur, dan kerapuhan tablet.

1. 2 gram aerosil dan 2 gram magnesium stearat yang sudah ditimbang dicampur
dengan Y cone mixer selama 3 menit membentuk massa kempa
2. Masa kempa kemudian dicetak dengan mesin kempa tablet dengan diameter 11
mm 3) Tablet dilakukan kontrol kualitas meliputi dimensi tablet, kekerasan, waktu
hancur, dan kerapuhan tablet.

7. KONTROL KUALITAS
7.1 Kontrol kualitas granul meliputi :
1. Distribusi ukuran partikel
Distribusi ukuran partikel mempengaruhi kemampuan alir granul. Distribusi
ukuran yang luas mengakibatkan aliran yang tidak seragam ke dalam ruang
kompresi sehingga keseragaman bobot tablet terpengaruh. Untuk mendapatkan
tablet yang baik, distribusi ukuran harus sesuai dengan kurva distribusi normal
dengan sejumlah kecil fines dan coarse. Bentuk granul yang baik adalah sferis,
karena bentuk ini mengurangi gesekan antar partikel, mempunyai sifat alir yang
baik dan relatif tidak bermuatan.
Prosedur merujuk pada Farmakope Indonesia VI <1141> Pengayak dan
Derajat Halus Serbuk. Tuliskan pada jurnal dan laporan metode penetapan
keseragaman derajat halus sesuai Farmakope Indonesia

Pustaka : Farmakope Indonesia VI halaman 2073-2074


PENGAYAK DAN DERAJAT HALUS SERBUK <1141>
Pengayak dan derajat halus serbuk dalam Farmakope dinyatakan dalam uraian
yang dikaitkan dengan nomor yang ditetapkan untuk pengayak baku, seperti tertera
pada Tabel 1.

Sebagai pertimbangan praktis, pengayak terutama dimaksudkan untuk


pengukuran derajat halus serbuk, untuk sebagian besar keperluan farmasi;
walaupun penggunaannya tidak meluas untuk keperluan pengukuran rentang
ukuran partikel yang bertujuan meningkatkan penyerapan obat dalam saluran
cerna. Untuk pengukuran partikel dengan ukuran nominal kurang dari 100 µm, alat
lain selain pengayak mungkin lebih berguna.
Efisiensi dan kecepatan pemisahan partikel oleh pengayak beragam berbanding
terbalik dengan jumlah partikel termuat. Efektivitas pemisahan menurun dengan
cepat, jika kedalaman muatan melebihi lapisan dari 6 partikel sampai 8 partikel.

Pengayak untuk Pengujian secara Farmokope


Pengayak untuk pengujian secara Farmakope adalah anyaman kawat, bukan
tenunan; kecuali untuk ukuran nomor 230, nomor 270, nomor 325 dan nomor 400,
anyaman terbuat dari kuningan, perunggu, baja tahan karat, atau kawat lain yang
sesuai, dan tidak dilapisi atau disepuh. Tabel 2 memberikan ukuran rata-rata lubang
pengayak baku anyaman kawat.
Metode Penetapan Keseragaman Derajat Halus
Untuk penetapan keseragaman derajat halus serbuk obat dan bahan kimia, cara
berikut boleh dilakukan, menggunakan pengayak baku yang memenuhi
persyaratan tersebut di atas. Hindari penggoyangan lebih lama, yang akan
menyebabkan peningkatan derajat halus serbuk selama penetapan.
Untuk serbuk sangat kasar, kasar dan setengah kasar Masukkan 25 g sampai 100
g serbuk uji pada pengayak baku yang sesuai. yang mempunyai panci penampung
dan tutup yang sesuai. Goyang pengayak dengan arah putaran horizontal dan
ketukkan secara vertikal pada permukaan yang keras selama tidak kurang dari 20
menit atau sampai pengayakan praktis sempurna. Timbang saksama jumlah yang
tertinggal pada pengayak dan dalam panci penampung.
Untuk serbuk halus atau sangat halus Lakukan penepatan seperti pada serbuk
kasar kecuali contoh tidak lebih dari 25 g dan pengayak yang digunakan digoyang
selama tidak kurang dari 30 menit atau sampai pengayakan praktis sempurna.
Untuk serbuk berminyak atau serbuk lain yang cenderung menggumpal dan
dapat menyumbat lubang, sikat pengayak secara berkala dengan hatihati selama
penetapan. Hancurkan gumpalan yang terbentuk selama pengayakan. Derajat halus
serbuk obat dan bahan kimia dapat juga ditetapkan dengan cara melewatkan pada
pengayak yang dapat digoyang secara mekanik yang memberikan gerakan berputar
dan ketukan seperti pada pengayak yang menggunakan tangan, tetapi dengan
gerakan mekanik yang seragam, mengikuti petunjuk dari pabrik pembuat
pengayak.

➢ Alat-alat :
1. Timbangan
2. Seperangkat pengayak standar
3. Penggetar pengayak

➢ Prosedur kerja :
1. Timbang 100 g granul.
2. Timbang bobor masing-masing pengayak dan pan penampung yang akan
digunakan.
3. Susun pengayak-pengayak tersebut dengan ukuran lubang terbesar
diletakkan diatas dan pan penampung dibawah.
4. Letakkan susunan pengayak tersebut diatas”Retsch Vibrator”.
5. Letakkan granul yang telah ditimbang pada pengayak paling atas, tutup dan
kencangkan.
6. Getarkan pengayak dengan getaran amplitude sebesar 60 Herts selama 20
menit.
7. Timbang bobot masing-masing pengayak dan granul yang terdapat di
dalamnya.
8. Hitung bobot granul yang terdapat pada masing-masing pengayak dan pada
pan penampung tersebut.
9. Buatlah tabel dan kurva distribusi ukuran granul yang diperoleh.

➢ Hasil Pengamatan :
1. Table Distribusi Ukuran
Pengayak Bobot Bobot granul
Mesh D(µm) Bobot(g) pengayak+ Gram % %
granul(g) kumulatif

jumlah
Keterangan : D = Diameter

2. Kurva Histogram Frekuensi

3. Prosentase fines
Fines adalah partikel-partikel dengan ukuran <100 µm.
Hasil pengamatan :
Persyaratan :
Pustaka : Martin’s physical pharmacy and pharmaceutical Sciences 6 th
Edition, p 801
Kesimpulan :

2. Bobot jenis/Kerapatan Serbuk/Granul


a. Bobot jenis/Kerapatan benar
Bobot jenis benar suatu bahan padat adalah bobot jenis bahan tersebut tanpa
pori-pori. Bobot jenis benar ditentukan dengan piknometer menggunakan
cairan yang tidak melarutkan bahan (biasanya digunakan parafin cair, heksan,
dsb).

➢ Alat-alat :
1. piknometer
2. Timbangan

➢ Prosedur kerja :
1. Timbang piknometer kosong.
2. Isi piknometer dengan cairan dan bersihkan kelebihan pada ujungnya.
Timbang piknometer + cairan.
3. Hitung bobot cairan.
4. Tuang sebagian cairan (2–3 cc) ke dalam tabung bersih, timbang bobotnya.
5. Timbang teliti 1–1,5 g bahan.
6. Masukkan secara kuantitatif bahan tersebut kedalam piknometer yang berisi
cairan Sebagian, timbang bobotnya.
7. Tambahkan cairan ke dalam piknometer sampai tanda batas dan timbang
bobotnya.
8. Hitung bobot jenis benar.
➢ Hasil Pengamatan :
Bobot piknometer + cairan saja = ………. g
Bobot piknometer kosong = ………. g
Bobot cairan = ………. g
ρcairan = bobot cairan/volume cairan
= ……….

Bobot piknometer + cairan sebagian + granul = ………. g


Bobot piknometer + cairan sebagian = ………. g
Bobot granul = ………. g

Bobot piknometer + cairan penuh + granul = ………. g


Bobot piknometer kosong = ………. g
Bobot granul = ………. g
Bobot cairan diantara granul = ………. g

𝐛𝐨𝐛𝐨𝐭 𝐜𝐚𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐝𝐢𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐠𝐫𝐚𝐧𝐮𝐥


Volume cairan diantara granul = 𝛒𝐜𝐚𝐢𝐫𝐚𝐧
= ………. mL
Volume granul = Vol. pikno – Vol cairan diantara granul
= ………. mL
ρbenar = bobot granul/volume granul
= ……….

b. Bobot jenis/kerapatan nyata (bulk atau ruah)


Bobot jenis nyata adalah massa terhadap volume dari sejumlah bahan yang
dituang bebas ke dalam gelas ukur.
Prosedur merujuk pada Farmakope Indonesia VI <891> Kerapatan
serbuk ruahan dan kerapatan mampat serta USP <1174> Powder flow.
Tuliskan pada jurnal dan laporan rujukan metode tersebut.

Pustaka : Farmakope Indonesia VI halaman 2023-2025

KERAPATAN SEBUK RUAHAN DAN SERBUK MAMPAT <891>


Kerapatan serbuk ruahan adalah perbandingan antara massa serbuk yang
belum dimampatkan terhadap volume termasuk kontribusi volume pori
antarpartikel. Oleh karena itu, kerapatan serbuk ruahan tergantung pada
kepadatan partikel serbuk dan susunan partikel serbuk. Satuan internasional
kilogram per meter kubik (1 g/mL = 1000 kg/m3 ), karena pengukuran
dilakukan dengan menggunakan gelas ukur maka kerapatan serbuk ruahan
dinyatakan dalam gram per mL (g/mL). Hal ini dapat juga dinyatakan dalam
gram per sentimeter kubik (g/cm3 ). Sifat dari kerapatan serbuk tergantung
pada penanganannya seperti persiapan, perlakuan, dan penyimpanan. Partikel-
partikel dapat dikemas untuk memiliki berbagai kerapatan serbuk ruahan,
tetapi sedikit gangguan pada serbuk dapat menyebabkan perubahan pada
kerapatan serbuk ruahan. Keberulangan pengukuran yang baik sering kali sulit
diperoleh sehingga dalam pelaporan hasil harus dinyatakan secara rinci
bagaimana pengukuran tersebut dilakukan. Kerapatan serbuk ruahan
ditetapkan dengan mengukur volume contoh serbuk yang telah diayak dan
diketahui bobotnya kemudian dimasukkan ke dalam gelas ukur (Metode I),
atau menimbang massa serbuk yang telah diketahui volumenya menggunakan
volumeter ke dalam sebuah cawan (Metode II) atau pengukuran dengan bejana
pengukur (Metode III).
Metode I dan Metode III lebih disukai.

Metode I – Pengukuran Menggunakan Gelas Ukur


Prosedur Sejumlah serbuk yang mencukupi untuk pengujian jika perlu
diayak dengan ayakan yang memiliki lubang ayakan yang lebih besar atau
sama dengan 1,0 mm untuk memecah gumpalan yang mungkin terbentuk
selama penyimpanan; hal ini harus dilakukan secara perlahan untuk mencegah
perubahan sifat materi. Timbang saksama lebih kurang 100 g serbuk yang telah
diayak, (M), dengan tingkat akurasi 0,1%, masukkan ke dalam gelas ukur 250
mL (dengan skala terkecil 2 mL), tanpa pemampatan. Ratakan permukaan
serbuk dengan hati-hati tanpa dimampatkan, jika perlu, dan bacalah volume
yang terlihat (VO) ke skala terdekat. Hitung kerapatan ruahan dalam g/mL
dengan rumus M/VO. Lakukan pengukuran secara berulang. Jika kepadatan
serbuk terlalu rendah atau terlalu tinggi, sehingga contoh uji memiliki volume
yang belum dimampatkan lebih dari 250 mL atau kurang dari 150 mL, tidak
dimungkinkan untuk menggunakan100 g contoh serbuk. Oleh karena itu,
jumlah serbuk yang berbeda harus dipilih sebagai contoh uji, sehingga volume
serbuk yang belum dimampatkan berada diantara 150 mL sampai 250 mL
(volume lebih besar atau sama dengan 60% dari volume gelas ukur); bobot
serbuk uji yang digunakan dicantumkan dalam hasil. Untuk serbuk yang
memiliki volume antara 50 mL dan 100 mL, gunakan gelas ukur 100 mL
dengan skala 1 mL; volume gelas ukur yang digunakan dicantumkan dalam
hasil.

Metode II – Pengukuran Menggunakan Volumeter


Peralatan Alat (Gambar 1) terdiri dari corong pada bagian atas yang
dilengkapi dengan ayakan 1,0 mm1 . Corong yang terpasang di atas kotak
penyekat berisi empat lempeng penyekat kaca dimana serbuk meluncur dan
terpental saat melewatinya. Pada bagian bawah kotak penyekat terdapat corong
yang mengumpulkan serbuk dan memungkinkan untuk dituang ke dalam cawan
dengan kapasitas tertentu yang dipasang langsung di bawahnya. Cawan bisa
berbentuk silinder (volume 25,00 ± 0,05 mL dengan diameter dalam 30,00 ±
2,00 mm) atau persegi (volume 16,39 ± 0,2 mL dengan dimensi dalam 25,4 ±
0,076 mm).
Prosedur Alirkan serbuk dalam jumlah berlebih melalui alat tersebut ke
dalam wadah penampung (yang telah ditara) sampai melimpah. Gunakan wadah
penampung dengan volume minimum 25 cm3 untuk bentuk persegi dan 35 cm3
untuk bentuk silinder. Hati-hati mengikis kelebihan serbuk dari atas wadah
yaitu dengan cara gerakan perlahan pinggiran spatula yang tajam secara tegak
lurus dengan permukaan atas wadah itu, pertahankan posisi spatula tegak lurus
guna menjaga kemasan atau mengikis serbuk dari wadah. Bersihkan dinding
luar wadah, dan tentukan bobot, M, dari serbuk dengan tingkat akurasi 0,1%.
Hitung kerapatan ruahan, dalam g per mL, dengan rumus:
𝑀
𝑉0
VO adalah volume wadah dalam mL. Hitung rata-rata dari tiga
pengukuran menggunakan tiga contoh serbuk yang berbeda.

Metode III – Pengukuran Menggunakan Bejana Pengukur


Peralatan Alat terdiri dari sebuah bejana pengukur silinder tahan karat
berukuran 100-mL dengan ukuran yang ditetapkan seperti pada Gambar 2.

Prosedur Sejumlah serbuk yang mencukupi untuk pengujian jika perlu


diayak dengan ayakan yang memiliki lubang ayakan yang lebih besar atau sama
dengan 1,0 mm untuk memecah gumpalan yang mungkin terbentuk selama
penyimpanan sehingga memungkinkan contoh mengalir bebas ke dalam bejana
pengukur (yang telah ditara) sampai berlebih. Secara hati-hati kikis kelebihan
serbuk dari bagian atas bejana pengukur seperti yang dijelaskan pada Metode
II. Tentukan bobot (MO) serbuk dengan pendekatan 0,1%. Hitung kerapatan
serbuk ruahan (g/mL) dengan rumus MO/100, dan catat rata-rata tiga
pengukuran menggunakan tiga contoh serbuk yang berbeda.
Kerapatan serbuk mampat adalah tingkatan dari kerapatan serbuk
mampat yang diperoleh dengan cara mengetuk secara mekanis gelas ukur atau
bejana pengukur yang berisi serbuk. Setelah mengamati volume atau bobot
serbuk awal, gelas ukur atau bejana pengukur diketuk secara mekanik, dan
pembacaan volume atau bobot dilakukan setelah terjadi perubahan volume atau
bobot. Pengetukan secara mekanik didapat dengan cara meninggikan gelas ukur
atau bejana pengukur sehingga memungkinkan serbuk untuk turun karena
pengaruh bobotnya sendiri sampai jarak tertentu, menurut salah satu dari tiga
metode seperti dijelaskan dibawah. Alat yang memutar gelas ukur atau bejana
pengukur selama pengetukan mungkin lebih disukai untuk meminimalkan
kemungkinan pemisahan massa selama pengetukan.

Metode I
Peralatan Alat (gambar 3) terdiri dari :
➢ Sebuah gelas ukur 250 mL (skala 2 mL dengan massa 220 ± 44g)
➢ Sebuah alat pemampat yang mampu menghasilkan 250±15 ketukan per
menit dari ketinggian 3±0,2 mm atau 300±15 ketukan dari ketinggian
14±2 mm.
➢ Penyangga gelas ukur dengan massa 450±10 g

Prosedur Lakukan seperti yang dijelaskan di atas untuk penentuan volume


ruah (VO). Pasang gelas ukur pada penyangga. Lakukan 10, 500, dan 1250
ketukan pada contoh serbuk yang sama dan bacaV10,V500, V1250 ke satuan
gelas ukur terdekat. Jika perbedaan antara V500 dan V1250 kurang dari atau
sama dengan 2mL, maka V1250 adalah volume pemampatan. Jika perbedaan
antara V500 dan V1250melebihi 2 mL, ulangi peningkatan seperti pengetukan
1250, hingga perbedaan antara pengukuran kurang dari atau sama dengan 2
mL. Mungkin diperlukan pengetukan yang lebih sedikit untuk beberapa jenis
serbuk, saat divalidasi. Hitung kerapatan serbuk mampat (g/mL) dengan
menggunakan rumus M/VF, VF adalah volume setelah pengetukan akhir.
Lakukan pengukuran secara berulang. Tetapkan ketinggian jatuh serta
hasilnya. Jika tidak mungkin untuk menggunakan 100-g contoh uji, gunakan
contoh yang dikurangi jumlahnya dan gelas ukur 100-mL (skala 1mL) dengan
berat 130 ± 16 g dan terpasang pada dudukan dengan berat 240 ± 12 g. Jika
perbedaan antara V500 dan V1250 kurang dari atau sama dengan 1 mL, maka
V1250 adalah volume pemampatan. Jika perbedaan antara V500 dan V1250
melebihi 1 mL, ulangi peningkatan seperti pengetukan 1250, hingga perbedaan
antara pengukuran kurang dari atau sama dengan 1 mL. Modifikasi kondisi uji
cantumkan dalam laporan hasil.

Metode II
Peralatan dan Prosedur Lakukan seperti yang tertera pada Metode I
kecuali bahwa alat uji mekanik memberikan tetesan tetap sebesar 3 ± 0,2 mm
pada kecepatan 250 ketukan per menit.

Metode III
Peralatan dan Prosedur Lakukan seperti tertera pada Metode III
Pengukuran Menggunakan Bejana Pengukur dalam Kerapatan Serbuk Ruahan
untuk mengukur kerapatan serbuk mampat menggunakan perlengkapan bejana
tertutup seperti Gambar 2. Bejana pengukur yang dilengkapi dengan penutup,
diangkat 50-60 kali per menit menggunakan alat uji kerapatan serbuk mampat
yang sesuai. Lakukan 200 kali pengetukan, buka penutup, dan secara hati-hati
kikis kelebihan serbuk dari atas bejana pengukur seperti yang dijelaskan dalam
Metode III Pengukuran Menggunakan Bejana Pengukur untuk mengukur
kerapatan serbuk ruahan. Ulangi prosedur menggunakan 400 kali pengetukan.
Jika perbedaan antara dua massa setelah 200 dan 400 pengetukan melebihi 2%,
lakukan pengujian menggunakan tambahan 200 kali pengetukan lagi sampai
diperoleh perbedaan antara kedua pengukuran kurang dari 2%. Hitung
kerapatan serbuk mampat (g/mL) dengan rumus MF/100, MF adalah massa
serbuk pada bejana pengukur. Hitung rata-rata dari tiga pengukuran
menggunakan tiga contoh serbuk yang berbeda.

Pustaka : USP halaman 1602 – 1606

<1174> POWDER FLOW

The widespread use of powders in the pharmaceutical industry has


generated a variety of methods for characterizing powder flow. Not surprisingly,
scores of references appear in the pharmaceutical literature, attempting to
correlate the various measures of powder flow to manufacturing properties. The
development of such a variety of test methods was inevitable; powder behavior
is multifaceted and thus complicates the Effort to characterize powder flow. The
purpose of this chapter is to review the methods for characterizing powder flow
that have appeared most frequently in the pharmaceutical literature. In addition,
while it is clear that no single and simple test method can adequately
characterize the flow properties of pharmaceutical powders, this chapter
proposes the standardization of test methods that may be valuable during
pharmaceutical development.
Four commonly reported methods for testing powder flow are (1) angle
of repose, (2) compressibility index or Hausner ratio, (3) flow rate through an
orifice, and (4) shear cell. In addition, numerous variations of each of these basic
methods are available. Given the number of test methods and variations,
standardizing the test methodology, where possible, would be advantageous.
With this goal in mind, the most frequently used methods are discussed
below. Important experimental considerations are identified and
recommendations are made regarding standardization of the methods. In
general, any method of measuring powder flow should be practical, useful,
reproducible, sensitive, and yield meaningful results. It bears repeating that no
one simple powder flow method will adequately or completely characterize the
wide range of flow properties experienced in the pharmaceutical industry. An
appropriate strategy may well be the use of multiple standardized test methods
to characterize the various aspects of powder flow as needed by the
pharmaceutical scientist.

ANGLE OF REPOSE
The angle of repose has been used in several branches of science to
characterize the flow properties of solids. Angle of repose is a characteristic
related to interparticulate friction or resistance to movement between particles.
Angle of repose test results are reported to be very dependent upon the method
used. Experimental difficulties arise as a result of segregation of material and
consolidation or aeration of the powder as the cone is formed. Despite its
difficulties, the method continues to be used in the pharmaceutical industry, and
a number of examples demonstrating its value in predicting manufacturing
problems appear in the literature.
The angle of repose is the constant, three-dimensional angle (relative to
the horizontal base) assumed by a cone-like pile of material formed by any of
several different methods (described briefly below).

Basic Methods for Angle of Repose


A variety of angle of repose test methods are described in the literature.
The most common methods for determining the static angle of repose can be
classified on the basis of the following two important experimental variables:
1. The height of the "funnel" th rough which the powder passes may be fixed
relative to the base, or the height may be varied as the pile forms.
2. The base upon which the pile forms may be of fixed diameter or the diameter
of the powder cone may be allowed to vary as the pile forms.

Varlations in Angle of Repose Methods


In addition to the above methods, the following variations have been
used to some extent in the pharmaceutical literature:
1. Drained angle of repose is determined by allowing an excess quantity of
material pOSitioned above a fixed diameter base to "drain" from the
container. Formation of a cone of powder on the fixed diameter base allows
determination of the drained angle of repose.
2. Dynamic angle of repose is determined by filling a cylinder (with a clear,
flat cover on one end) and rotating it at a speci. fied speed. The dynamic
angle of repose is the angle (relative to the horizontal) formed by the
flowing powder. The internal angle of kinetic friction is defined by the
plane separating those particles sliding down the top layer of the powder
and those particles that are rotating with the drum (with roughened surface).
Angle of Repose General Scale of Flowability
Although there is some variation in the qualitative description of powder
flow using the angle of repose, much of the pharmaceutical literature appears to
be consistent with the classification by Carr*, which is shown in Table 1. There
are examples in the literature of formulations with an angle of repose in the
range of 400 to 500 that were manufactured satisfactorily. When the angle of
repose exceeds 500, the flow is rarely acceptable for manufacturing purposes.
Table 1.Flow Propertise and Corresponding Angel of Repose*
Flow Property Angle of Repose (degrees)
Excellent 25-30
Good 31-35
Fair—aid not needed 36-40
Passable—may hang up 41-45
Poor—must agitate, vibrate 46-55
Very poor 56-65
Flow Property Angle of Repose (degrees)

Experimental Consideration for Angle of Repose


Angle of repose is not an intrinsic property of the powder; i.e., it is very
much dependent upon the method used to form the cone of powder. The
following important considerations are raised in the existing literature:
➢ The peak of the cone of powder can be distorted by the impact of powder
from above. By carefully building the powder cone, the distortion caused
by impact can be minimized.
➢ The nature of the base upon which the powder cone is formed influences
the angle of repose. It is recommended that the powder cone be formed on
a "common base," which can be achieved by forming the cone of powder
on a layer of powder. This can be done by using a base of fixed diameter
with a protruding outer edge to retain a layer of powder upon which the
cone is formed.

Recommended Procedure for Angle of Repose


Form the angle of repose on a fixed base with a retaining lip to retain a
layer of powder on the base. The base should be free of vibration. Vary the
height of the funnel to carefully build up a symmetrical cone of powder. Care
should be taken to prevent vibration as the funnel is moved. The funnel height
should be maintained approximately 2-4 cm from the top of the powder pile as
it is being formed in order to minimize the impact of falling powder on the tip
of the cone. If a symmetrical cone of powder cannot be successfully or
reproducibly prepared, this method is not appropriate. Determine the angle of
repose by measuring the height of the cone of powder and calculating the angle
of repose, Q, from the following equation:
Tan (𝛼) = height/0,5 base

COMPRESSIBILITY INDEX AND HAUSNER RATIO


In recent years the compressibility index and the closely related Hausner
ratio have become the simple, fast, and popular methods of predicting powder
flow characteristics. The compressibility index has been proposed as an indirect
measure of bulk density, size and shape, surface area, moisture content, and
cohesiveness of materials because all of these can influence the observed
compressibility index. The compressibility index and the Hausner ratio are
determined by measuring both the bulk volume and the tapped volume of a
powder.

Basic Methods for Compressiibility Index and Hausner Ratio


Although there are some variations in the method of determining the
compressibility index and Hausner ratio, the basic procedure is to measure (1)
the unsettled apparent volume, VO, and (2) the final tapped volume, Vf , of the
powder after tapping the material until no further volume changes occur. The
compressibility index and the Hausner ratio are calculated as follows:
Compressibility Index = 100 x [(Vo – Vt/Vo]
Hausner Ratio = (Vo/Vt)
Alternatively, the compressibility index and Hausner ratio may be
calculated using measured values for bulk density (𝜌bulk) and tapped density
(𝜌tapped) as follows :
Compressibility Index = 100 x [(𝜌tapped) – (𝜌bulk/𝜌tapped)]
Hausner Ratio = (𝜌tapped/𝜌bulk)
In a variation of these methods, the rate of consolidation is mmetimes
measured rather than, or in addition to, the change in volume that occurs on
tapping. For the compressibility index and the Hausner ratio, the generally
accepted scale of flowability is given in Table 2*.
Table 2. Scale of Flowability
Compressibillity Flow Character Hausner Ratio

Index (%)
≤10 Excellent 1.00-1.11
11-15 Good 1.12-1.18
16-20 Fair 1.19-1.25
21-25 Passable 1.26-1.34
26-31 Poor 1.35-1.45
32-37 Very Poor 1.46-1.59
>38 Very, Very poor >1.60

Experimental Consideration for the Compressibility Index and


Hausner Ratio
Compressibility index and Hausner ratio are not intrinsic properties of
the powder; i.e., they depend on the methodology used . In the existing
literature, there are discussions of the following important considerations
affecting the determination of (1) the unsettled apparent volume, V 0, (2) the
final tapped volume, Vf (3) the bulk density, 𝜌bulk and (4)the tapped density,
𝜌tapped:
1. The diameter of the cylinder used
2. The number of times the powder is tapped to achieve the tapped density
3. The mass of material used in the test
4. Rotation of the sample during tapping
Recommended Procedure for Flow Compressibility
Index and Hausner Ratio
Use a 250-mL volumetric cylinder with a test sample weight of 100 g.
Smaller weights and volumes may be used, but variations in the method should
be described with the results. An average of three determinations is
recommended.

FLOW THROUGH AN ORIFICE


The flow rate of a material depends upon many factors, some of which
are particle-related and some related to the process. Monitoring the rate of flow
of material through an orifice has been proposed as a better measure of powder
flowability. Of particular significance is the utility of monitoring flow
continuously because pulsating flow patterns have been observed even for free
flowing materials. Changes in flow rate as the container empties can also be
observed. Empirical equations relating flow fate to the diameter of the opening,
particle size, and particle density have been determined. However, determining
the flow rate through an orifice is useful only with free-flowing materials.
The flow rate through an orifice is generally measured as the mass per
time flowing from any of a number of types of containers (cylinders, funnels,
hoppers). Measurement of the flow rate can be in discrete increments or
continuous.

Basic Methods for Flow Through an Orifice


There are a variety of methods described in the literature. The most
common method for determining the flow rate through an orifice can be
classified on the basis of three important experimental variables:
1. The type of container used to contain the powder. Common containers are
cylinders, funnels, and hoppers from production equipment.
2. The size and shape of the orifice used. The orifice diameter and shape are
critical factors in determining powder flow rate.
3. The method of measuring powder flow rate. Flow rate can be measured
continuously using an electronic balance with some sort of recording device
(strip chart recorder, computer). It can also be measured in discrete samples
(for example, the time it takes for 100 g of powder to pass through the orifice
to the nearest tenth of a second or the amoun of powder passing through the
orifice in 10 seconds to the nearest tenth of a gram).

Variation in Methods for Flow Through an Orifice


Either mass flow rate or volume flow rate can be determined. Mass flow
rate is the easier of the methods, but it biases the results in favor of high·density
materials. Because die fill is volumetric, determining volume flow rate may be
preferable. A vibrator is occasionally attached to facilitate flow from the
container; however, this appears to complicate interpretation of the results. A
moving orifice device has been proposed to more closely simulate rotary press
conditions. The minimum diameter orifice through which powder flows can also
be identified.
General Scale of Flowability for Flow Through an Orifice
No general scale is available because flow rale is critically dependent on
the method used to measure it. Comparison be· tween published results is
difficult.

Experimental Considerations for Flow Through an Orifice


Flow rate through an orifice is not an intrinsic property of the powder. It
very much depends on the methodology used. Several important considerations
affecting these methods are discussed in the existing literature:
1. The diameter and shape of the orifice
2. The type of container material (metal, glass, plastic)
3. The diameter and height of the powder bed

Recommended Procedure for Flow Through an Orifice


Flow rate through an orifice can be used only for materials that have
some capacity to flow. It is not useful for cohesive materials. Provided that the
height of the powder bed (the "head H of the powder) is much greater than the
diameter of the orifice, the flow rate is virtually independent of the powder head.
Use a cylinder as the container because the cylinder material should have little
effect on flow. This configuration results in flow rate being determined by the
movement of powder over powder rather than powder along the wall of the
container. Powder flow rate often increases when the height of the powder
column is less than two times the diameter of the column. The orifice should be
circular and the cylinder should be free of vibration. General guidelines for
dimensions of the cylinder are as follows:
➢ Diameter of opening> 6 times the diameter of the particles
➢ Diameter of the cylinder> 2 times the diameter of the opening

Use of a hopper as the container may be appropriate and representative of


flow in a production situation. It is not advisable to use a funnel, particularly
one with a stem, because flow rate will be determined by the size and length of
the stem as well as the friction between the stem and the powder. A truncated
cone may be appropriate, but flow will be influenced by the powder-wall
friction coefficient, making selection of an appropriate construction material an
important consideration.
For the opening in the cylinder, use a flat-faced bottom plate with the option
to vary orifice diameter to provide maximum flexibility and to better ensure a
powder-over-powder flow pattern. Rate measurement can be either discrete or
continuous. Continuous measurement using an electronic balance can more
effectively detect momentary flow rate variations.

SHEAR CELL METHODS


In an effort to put powder flow studies and hopper design on a more
fundamental basis, a variety of powder shear testers and methods that permit
more thorough and precisely defined assessment of powder flow properties have
been developed. Shear cell methodology has been used extensively in the study
of pharmaceutical materials. From these methods, a wide variety of parameters
can be obtained, including the yield loci representing the shear stress-shear
strain relationship, the angle of internal friction, the unconfined yield strength,
the tensile strength, and a variety of derived parameters such as the flow factor
and other flowability indices. Because of the ability to more precisely control
experimental parameters, flow properties can also be determined as a function
of consolidation load, time, and other environmental conditions. The methods
have been successfully used to determine critical hopper and bin parameters.

Basic Methods for Shear Cell


One type of shear cell is the cylindrical shear cell that is split
horizontally, forming a shear plane between the lower stationary base and the
upper moveable portion of the shear cell ring. After powder bed consolidation
in the shear cell (using a well defined procedure), the force necessary to shear
the powder bed by moving the upper ring is determined. Annular shear cell
designs offer some advantages over the cylindrical shear cell design, including
the need for less material. A disadvantage, however, is that because of its design,
the powder bed is not sheared as uniformly; i.e., material on the outside of the
annulus is sheared more than material in the inner region. A third type of shear
cell (plate-type) consists of a thin sandwich of powder between a lower
stationary rough surface and an upper rough surface that is moveable.
All of the shear cell methods have their advantages and disadvantages,
but a detailed review is beyond the scope of this chapter. As with the other
methods for characterizing powder flow, many variations are described in the
literature. A significant advantage of shear cell methodology in general is a
greater degree of experimental control. The methodology is rather time-
consuming and requires significant amounts of material and a well-trained
operator.

Recommendations for Shear Cell


The many existing shear cell configurations and test methods provide a
wealth of data and can be used very effectively to characterize powder flow.
They are also helpful in the design of equipment such as hoppers and bins.
Because of the diverSity of available equipment and experimental procedures,
no specific recommendations regarding melhodology are presented in this
chapter. It is recommended that the results of powder flow characterization
using shear cell methodology include a complete description of equipment and
methodology used.

➢ Alat-alat :
1. Gelas ukur
2. Timbangan

➢ Prosedur Kerja :
1. Timbang bahan sejumlah 40 – 130 g pada kertas timbang.
2. Tuangkan bahan tersebut ke dalam gelas ukur 250 ml yang dimiringkan
pada sudut 45o dengan cepat (dapat melalui corong).
3. Tegakkan gelas ukur dan goyangkan dengan cepat untuk meratakan
permukaan bahan dan baca volumenya (ml).
4. Hitung bobot jenis nyata dengan rumus sebagai berikut :
ρnyata = W/V g/ml
5. Dapat dilakukan replikasi sebanyak 3 kali.
➢ Hasil Pengamatan :
Replikasi W (g) V (ml) ρnyata (g/ml)
1. 40 g 77 ml 0,5194 g/ml
2.
3.
Rerata 0,5194 g/ml

c. Bobot jenis/Kerapatan mampat


Bobot jenis mampat adalah perbandingan massa terhadap volume setelah
massa tersebut dimampatkan sampai volume tetap. Pengukuran dapat
dilakukan dengan menggunakan tapping machine.

➢ Alat-alat :
1. Gelas ukur
2. Timbangan
3. Alat pengetuk (tapping machine)

➢ Prosedur kerja :
1. Setelah pembacaan volume nyata pada pengukuran bobot jenis nyata,
letakkan gelas ukur yang berisi bahan tersebut pada alat pengetuk (tapping
machine).
2. Jalankan alat dan amati volume bahan pada ketukan 10, 500, sampai 1250
ketukan (bisa diulangi lagi dengan interval 1250 ketukan apabila selisih
volumenya masih lebih dari 2 ml).
3. Catat volume bahan dalam gelas ukur pada tiap ketukan tersebut, sampai
pengamatan menunjukkan volume yang tetap atau mampat (V1 ml), yaitu
selisih dengan volume sebelumnya kurang dari sama dengan 2 ml.
4. Hitung bobot jenis mampat dengan rumus sebagai berikut :
ρmampat = W/V1 g/ml

➢ Hasil perhitungan :
Interval Volume (ml)
pengetukan 1 2 3
0 75
100 62
200 61
300 60
400 60
40
ρ1 = 60 = 0,6667 g/ml
ρmampat rata-rata = 0,6667 g/ml
ρ2 =………………… g/ml
ρ3 =………………… g/ml

d. Parameter-parameter turunan bobot jenis


➢ Rasio Hausner (Hausner Ratio)
Hausner Ratio dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Hausner Ratio = ρmampat / ρnyata
Hasil Perhitungan :
Hausner Ratio = ρmampat / ρnyata
0,6667 𝑔/𝑚𝐿
= 0,5194 𝑔/𝑚𝐿 = 1,2836 g/mL → 1,28 g/mL

Persyaratan :
Table 2. Scale of Flowability
Compressibillity Flow Character Hausner Ratio

Index (%)
≤10 Excellent 1.00-1.11
11-15 Good 1.12-1.18
16-20 Fair 1.19-1.25
21-25 Passable 1.26-1.34
26-31 Poor 1.35-1.45
32-37 Very Poor 1.46-1.59
>38 Very, Very poor >1.60

Pustaka : USP halaman 1604


Kesimpulan : Hausner ratio yang didapatkan termasuk dalam kategori
passable menurut kompendia USP 40.
➢ Kompresibilitas (Carr’s Index)
Kompresibilitas dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
(𝛒𝐦𝐚𝐦𝐩𝐚𝐭)−(𝛒𝐧𝐲𝐚𝐭𝐚)
Carr’s = x 100%
(𝛒𝐦𝐚𝐦𝐩𝐚𝐭)
Hasil Perhitungan :
(ρmampat)−(ρnyata)
Carr’s = x 100%
(ρmampat)
𝑔 𝑔
(0,6667 − 0,5194 )
𝑚𝐿 𝑚𝐿
= x 100% = 22,09%
0,6667 𝑔/𝑚𝐿

Persyaratan :
Table 2. Scale of Flowability
Compressibillity Flow Character Hausner Ratio

Index (%)
≤10 Excellent 1.00-1.11
11-15 Good 1.12-1.18
16-20 Fair 1.19-1.25
21-25 Passable 1.26-1.34
26-31 Poor 1.35-1.45
32-37 Very Poor 1.46-1.59
>38 Very, Very poor >1.60

Pustaka : USP halaman 1604


Kesimpulan : Carr’s Index yang didapatkan termasuk dalam kategori
passable menurut kompendia USP 40.
3. Kandungan lembab (Moisture content =MC )/ Susut pengeringan
Pengeringan granul yang terlalu cepat pada suhu tinggi dapat mengakibatkan
permukaan granul segera mengering sedang kelembaban yang ada di dalam sukar
untuk lepas, apabila granul dikompresi maka uap air akan dibebaskan sehingga
granul akan melekat pada ruang cetak dan stempel. Jika kadar lembab terlalu
rendah maka kohesi dalam tablet tidak cukup, friabilitas makin tinggi, dan tablet
akan mudah pecah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan lembab yang
terlalu rendah meningkatkan kemungkinan capping, sedangkan kandungan lembab
yang terlalu tinggi meningkatkan kemungkinan terjadinya picking.
Prosedur merujuk pada Farmakope Indonesia VI <1121>Penetapan Susut
Pengeringan. Tuliskan pada jurnal dan laporan rujukan metode tersebut.

Pustaka : Farmakope Indonesia VI halaman 2072

PENETAPAN SUSUT PENGERINGAN <1121>


Prosedur ini digunakan untuk penetapan jumlah semua jenis bahan yang mudah
menguap dan hilang pada kondisi tertentu. Untuk zat yang diperkirakan
mengandung air sebagai satu-satunya bahan mudah menguap, cara yang terdapat
pada Penetapan Kadar Air sudah memadai dan dicantumkan dalam masing-masing
monografi.
Campur dan timbang saksama zat uji, kecuali dinyatakan lain dalam masing-
masing monografi, lakukan penetapan menggunakan 1 g hingga 2 g. Apabila zat
uji berupa hablur besar, gerus secara cepat hingga ukuran partikel lebih kurang 2
mm. Tara botol timbang dangkal bersumbat kaca yang telah dikeringkan selama 30
menit pada kondisi seperti yang akan digunakan dalam penetapan. Masukkan zat
uji ke dalam botol timbang tersebut, dan timbang saksama botol beserta isinya.
Perlahan-lahan dengan menggoyang, ratakan zat uji sampai setinggi lebih kurang
5 mm dan dalam hal zat ruahan tidak lebih dari 10 mm. Masukkan ke dalam oven,
buka sumbat dan biarkan sumbat ini di dalam oven. Panaskan zat uji pada suhu dan
waktu tertentu seperti tertera pada monografi.
[Catatan Suhu yang tercantum dalam monografi haruslah dianggap dalam
rentang  2 dari angka yang tertulis]. Jika dinyatakan “timbang hingga bobot
tetap” dalam monografi, pengeringan dilanjutkan hingga dalam dua kali
penimbangan tidak berbeda lebih dari 0,50 mg per g zat. Pada waktu oven dibuka,
botol segera ditutup dan biarkan dalam desikator sampai suhunya mencapai suhu
kamar sebelum ditimbang.
Jika zat uji melebur pada suhu lebih rendah dari suhu yang ditetapkan untuk
penetapan Susut Pengeringan, biarkan botol beserta isinya selama 1 jam hingga 2
jam pada suhu 5 hingga 10 di bawah suhu lebur, kemudian keringkan pada suhu
yang telah ditetapkan.
tetapkan. Jika contoh yang diuji berupa kapsul, gunakan sejumlah campuran isi
tidak kurang dari 4 kapsul.
Jika contoh yang diuji berupa tablet, gunakan sejumlah serbuk tablet tidak
kurang dari 4 tablet yang diserbukhaluskan.
Jika dalam monografi susut pengeringan ditetapkan dengan analisis
termogravimetri, gunakan timbangan analitik yang peka.
Jika dalam monografi ditetapkan pengeringan dalam hampa udara di atas zat
pengering, gunakan sebuah desikator vakum atau pistol pengering vakum atau alat
pengering vakum lain yang sesuai.
Jika pengeringan dilakukan dalam desikator; lakukan penanganan khusus untuk
menjamin zat pengering tetap efektif dengan cara menggantinya sesering mungkin.
Jika dalam monografi ditetapkan pemanasan dalam botol bersumbat kapiler
dalam hampa udara, gunakan botol atau tabung dengan sumbat kapiler berdiameter
225 m  25 m dan atur bejana pemanas pada tekanan 5 mmHg atau kurang. Pada
akhir pemanasan, biarkan udara kering mengalir ke dalam bejana pemanas, angkat
botol bersumbat kapiler, biarkan dingin dalam desikator sebelum ditimbang.

➢ Alat :
1. Ohaus Moisture Content Apparatus

➢ Prosedur kerja :
1. Timbang 5 g bahan, ratakan permukaannya pada wadah. Catat bobot granul
yang tertera pada alat (W).
2. Tutup alat dan tekan start untuk menyalakan lampu pemanas di atas granul
(proses pengeringan dimulai).
3. Pada saat proses pengeringan berlangsung, setiap 15 menit akan ditunjukkan
bobot bahan, proses pengeringan sempurna bila setelah interval 3 x 15 menit
menunjukkan tidak terjadinya perubahan bobot bahan (perhatikan kurva pada
alat sudah konstan). Catat bobot granul yang sudah kering pada alat (Wo).
4. Hitunglah kandungan lembab dengan rumus sebagai berikut :
𝑊−𝑊𝑜
% MC = 𝑊𝑜 x 100%
𝑊−𝑊𝑜
% LOD = x 100%
𝑊
% MC = % kandungan lembab
% LOD = % susut pengeringan
W = bobot sampel basah
Wo = bobot sampel kering
𝑊−𝑊𝑜
% MC = 𝑊𝑜 x 100%
= 6,52%
𝑊−𝑊𝑜
% LOD = x 100%
𝑊
=6,12%
➢ Hasil pengamatan :
No. W (g) Wo (g) %MC %LOD
1. 5,002 4,696 6,52% MC 6,12% LOD
2.
3.
Rerata

Persyaratan : 2-4%
Pustaka : Murtini, Gloria dan yetri Elisa. 2018. Teknologi Sediaan
Solid. Kementrian kesehatan Republik Indonesia.
Kesimpulan : Tidak memenuhi persyaratan karena lebih dari 4%.
4. Daya alir (Menggunakan Metode Corong Air)
a. Kecepatan alir
Kecepatan alir merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap keseragaman
bobot tablet yang dihasilkan. Untuk menghasilkan tablet dengan bobot yang
seragam, diperlukan suatu batas kecepatan alir minimum. Kecepatan alir dapat
ditentukan secara langsung dengan menggunakan corong.

Prosedur merujuk USP <1174>Powder flow. Tuliskan pada jurnal dan


laporan rujukan metode tersebut.
Pustaka : USP, halaman 1605

FLOW THROUGH AN ORIFICE


The flow rate of a material depends upon many factors, some of which
are particle-related and some related to the process. Monitoring the rate of flow
of material through an orifice has been proposed as a better measure of powder
flowability. Of particular significance is the utility of monitoring flow
continuously because pulsating flow patterns have been observed even for free
flowing materials. Changes in flow rate as the container empties can also be
observed. Empirical equations relating flow fate to the diameter of the opening,
particle size, and particle density have been determined. However, determining
the flow rate through an orifice is useful only with free-flowing materials.
The flow rate through an orifice is generally measured as the mass per
time flowing from any of a number of types of containers (cylinders, funnels,
hoppers). Measurement of the flow rate can be in discrete increments or
continuous.

Basic Methods for Flow Through an Orifice


There are a variety of methods described in the literature. The most
common method for determining the flow rate through an orifice can be
classified on the basis of three important experimental variables:
1. The type of container used to contain the powder. Common containers are
cylinders, funnels, and hoppers from production equipment.
2. The size and shape of the orifice used. The orifice diameter and shape are
critical factors in determining powder flow rate.
3. The method of measuring powder flow rate. Flow rate can be measured
continuously using an electronic balance with some sort of recording device
(strip chart recorder, computer). It can also be measured in discrete samples
(for example, the time it takes for 100 g of powder to pass through the orifice
to the nearest tenth of a second or the amoun of powder passing through the
orifice in 10 seconds to the nearest tenth of a gram).

➢ Alat-alat :
1. Corong standar
2. Stopwatch

➢ Prosedur kerja :
1. Pasang corong pada statif dengan jarak ujung pipa bagian bawah ke
bidang datar = 10,0 ± 0,2 cm.
2. Timbang teliti bahan sejumlah 100 g (W).
3. Tuang bahan tersebut ke dalam corong dengan dasar lubang corong
ditutup.
4. Buka tutup dasar lubang corong sambil menyalakan stopwatch.
5. Catat waktu yang diperlukan mulai bahan mengalir sampai bahan
dalam corong habis (t).
6. Lakukan replikasi sebanyak 3 kali.
7. Hitung kecepatan alir dengan rumus sebagai berikut :
Kecepatan alir = W / t (g/detik)
➢ Hasil pengamatan :
No. W (g) t (detik) Kecepatan alir
(g/detik)
1. 100 7,46 13,40
2. 100 6,83 14,64
3. 100 6,39 15,64
Rerata 14,56

Persyaratan :
Laju alir (g/detik) Keterangan
>10 Sangat baik
4 – 10 Baik
1,6 – 4 Sukar
<1,6 Sangat sukar

Pustaka : Murtini, G. dan Elisa Y. 2018. Teknologi Sediaan Solid. Jakarta:


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (p.224)
Kesimpulan : Laju alir termasuk dalam kategori sangat baik.

b. Sudut istirahat
Penentuan sudut istirahat dapat dilakukan bersama-sama dengan penentuan
kecepatan alir.

➢ Alat-alat :
1. Corong standar
2. penggaris

➢ Prosedur :
1. Ukur tinggi timbunan bahan di bawah corong hasil penentuan
kecepatan alir dengan menggunakan bantuan penggaris (h cm).
2. Ukur jari-jari alas kerucut timbunan bahan tersebut (r cm).
3. Hitung sudut istirahat dengan rumus sebagai berikut :
α=tan-1 h/r

➢ Hasil perhitungan :
No. h (cm) r (cm) α(o)
1. 5 6 39,8056
2. 5 6 39,8056
3. 5 6 39,8056
Rerata 39,8056
Persyaratan :
Table 1.Flow Propertise and Corresponding Angel of Repose*
Flow Property Angle of Repose (degrees)
Excellent 25-30
Good 31-35
Fair—aid not needed 36-40
Passable—may hang up 41-45
Poor—must agitate, vibrate 46-55
Very poor 56-65
Flow Property Angle of Repose (degrees)

Pustaka : USP, halaman 1603


Kesimpulan : Sudut istirahat masuk dalam kategori Fair—aid not needed

7.2 KONTROL KUALITAS TABLET


Kontrol kualitas tablet meliputi :
1. Keseragaman sediaan
Keseragaman sediaan didefinisikan sebagai derajat keseragaman jumlah zat aktif
dalam satuan sediaan.
Prosedur merujuk pada Farmakope Indonesia VI <911> Keseragaman
Sediaan.

KESERAGAMAN SEDIAAN <911>


Untuk menjamin konsistensi satuan sediaan, masing-masing satuan dalam bets
harus mempunyai kandungan zat aktif dalam rentang sempit yang mendekati kadar
yang tertera pada etiket. Satuan sediaan didefinisikan sebagai bentuk sediaan yang
mengandung dosis tunggal atau bagian dari suatu dosis zat aktif pada masing-masing
satuan.Persyaratan keseragaman sediaan tidak berlaku untuk suspensi, emulsi, atau
gel dalam wadah satuan dosis yang ditujukan untuk penggunaan secara eksternal
pada kulit.
Keseragaman sediaan didefinisikan sebagai derajat keseragaman jumlah zat aktif
dalam satuan sediaan. Persyaratan yang ditetapkan dalam bab ini berlaku untuk
masing-masing zat aktif yang terkandung dalam satuan sediaan yang mengandung
satu atau lebih zat aktif, kecuali dinyatakan lain dalam farmakope.
Keseragaman sediaan ditetapkan dengan salah satu dari dua metode, yaitu
Keragaman bobot dan Keseragaman kandungan (Tabel 1). Uji Keseragaman
kandungan berdasarkan pada penetapan kadar masing-masing kandungan zat aktif
dalam satuan sediaan untuk menentukan apakah kandungan masing-masing terletak
dalam batasan yang ditentukan. Metode keseragaman kandungan dapat digunakan
untuk semua kasus.
Uji Keragaman bobot diterapkan pada bentuk sediaan berikut:
(B1) Larutan dalam wadah satuan dosis dan dalam kapsul lunak;
(B2) Sediaan padat (termasuk serbuk, granul dan sediaan padat steril) yang
dikemas Dalam wadah dosis tunggal dan tidak mengandung zat tambahan
aktif atau inaktif;
(B3) Sediaan padat (termasuk sediaan padat steril) yang dikemas dalam wadah
Dosis tunggal, dengan atau tanpa zat tambahan aktif atau inaktif, yang
disiapkan dari larutan asal dan dibeku-keringkan dalam wadah akhir dan pada
etiket dicantumkan metode pembuatan; dan
(B4) Kapsul keras, tablet tidak bersalut atau tablet salut selaput, mengandung zat
Aktif 25 mg atau lebih yang merupakan 25% atau lebih terhadap bobot, satuan
Sediaan atau dalam kasus kapsul keras, kandungan kapsul, kecuali
keseragaman dari zat aktif lain yang tersedia dalam bagian yang lebih kecil
memenuhi persyaratan keseragaman kandungan.
Uji Keseragaman kandungan dipersyaratkan untuk semua bentuk sediaan yang
tidak memenuhi kondisi di atas pada uji Keragaman bobot. Jika dipersyaratkan uji
Keseragaman kandungan, industri dapat memenuhi persyaratan ini dengan
melakukan uji Keragaman bobot jika simpangan baku relatif (SBR) kadar dari zat
aktif pada sediaan akhir tidak lebih dari 2%. Penetapan SBR ini berdasarkan data
validasi proses dan pengembangan produk industri. SBR kadar adalah simpangan
baku relatif kadar per satuan sediaan (b/b atau b/v)dengan kadar tiap satuan sediaan
setara dengan hasil penetapan kadar tiap satuan sediaan dibagi dengan bobot masing-
masing satuan sediaan (Tabel 2). Jika sediaan diuji Keragaman bobot tseperti di atas,
Keseragaman kandungan harus memenuhi syarat.
a. Keseragaman bobot tablet
Uji keragaman bobot diterapkan pada bentuk sediaan berikut :
1) Larutan dalam wadah satuan dosis dan dalam kapsul lunak
2) Sediaan padat (termasuk serbuk, granul dan sediaan padat steril) yang
dikemas dalam wadah dosis tunggal dan tidak mengandung zat tambahan
aktif atau inaktif
3) Sediaan padat (termasuk sediaan padat steril) yang dikemas dalam wadah
dosis tunggal, dengan atau tanpa zat tambahan aktif atau inaktif, yang
disiapkan dari larutan asal dan dibeku-keringkan dalam wadah akhir dan
pada etikel dicantumkan metode pembuatan
4) Kapsul keras, tablet tidak bersalut atau tablet salut selaput, mengandung zat
aktif 25 mg atau lebih yang merupakan 25% atau lebih terhadap bobot,
satuan sediaan atau dalam kasus kapsul keras, kandungan kapsul, kecuali
keseragaman dari zat aktif lain yang tersedia dalam bagian yang lebih kecil
memenuhi persyaratan keseragaman kandungan.

Lakukan penetapan kadar zat aktif pada contoh bets yang mewakili
menggunakan metode analisis yang sesuai. Nilai ini disebut hasil A,
dinyatakan dalam persen dari jumlah yang tertera pada etiket (seperti tertera
pada perhitungan nilai penerimaan) dengan asumsi kadar (bobot zat aktif
perbobot satuan sediaan) homogen. Ambil tidak kurang dari 30 satuan
sediaan dan lakukan seperti berikut. Untuk tablet tidak bersalut, timbang
seksama 10 tablet satu persatu. Hitung jumlah zat aktif dalam tiap tablet
yang dinyatakan dalam persen dari jumlah yang tertera pada etiket dari hasil
penetapan kadar masing-masing tablet. Hitung nilai penerimaan (NP), yaitu

NP = [M - ẋ] + ks.

ẋ = rata-rata dari masing-masing kandungan (x1,x2,…) yang dinyatakan


dalam persentase dari jumlah yang tertera pada etiket
M = nilai rujukan, juka
98,5% ≤ ẋ ≤ 101,5% maka nilai M = ẋ (NP = ks)
ẋ < 98,5% maka nilai M = 98,5% (NP = 98,5 - ẋ + ks)
ẋ > 101,5% maka nilai M = 101.5% (NP = ẋ - 101,5% + ks)
b. Keseragaman kandungan
Uji keseragaman kandungan dipersyaratkan untuk semua bentuk sediaan yang
tidak memenuhi kondisi di atas pada uji keragaman bobot. Jika dipersyaratkan
uji keseragaman kandungan, industri dapat memenuhi persyaratan ini dengan
melakukan uji keragaman bobot jika simpangan baku relatif (SBR) kadar dari
zat aktif pada sediaan akhir tidak lebih dari 2%.
Ambil tidak kurang dari 30 satuan dan lakukan seperti berikut untuk bentuk
sediaan yang dimaksud. Untuk sediaan padat, ditetapkan kadar masing- masing
10 satuan menggunakan metode analisis yang sesuai. Hitung nilai penerimaan
(NP) seperti rumus pada keragaman bobot.

Kriteria :
Untuk sediaan padat dan cair.
Keseragaman sediaan memenuhi syarat jika nilai penerimaan 10 unit sediaan
pertama tidak kurang atau sama dengan L1%. Jika nilai penerimaan lebih besar dari
L1%, lakukan pengujian pada 20 unit sediaan tambahan, dan hitung nilai
penerimaan.
Memenuhi syarat jika nilai penerimaan akhir dari 30 unit sediaan lebih kecil atau
sama dengan L1% dan tidak ada satu unit pun kurang dari [1-(0,01)(L2)] M atau
tidak satu unitpun lebih dari [1+(0,01)(L2)] M seperti yang tertera pada
Perhitungan nilai penerimaan dalam keseragaman kandungan atau keragaman
bobot. Kecuali dinyatakan lain, L1 adalah 15,0 dan L2 adalah 25,0.

Alat-alat :
1. Neraca analitik
2. Instrumen metode analisis (Spektrofotometer atau Kromatografi)
3. Pinset
Prosedur kerja :
1. Tentukan bahwa tablet Anda termasuk menggunakan pengujian keseragaman
kandungan atau keragaman bobot berdasarkan jumlah dosis bahan aktif per unit
sediaan (dalam mg dan/atau %).
2. Lakukan prosedur kerja selanjutnya berdasarkan (Farmakope Indonesia VI
pada bagian persyaratan umum “Keseragaman Sediaan <911>
Hasil pengamatan :
Dosis bahan aktif : 80 mg
Bobot tablet : 400 mg
Perbandingan zat aktif terhadap bobot tablet : 20 %
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Rerata

Pustaka : Farmakope Indonesia edisi VI hal 2025-2027


Kesimpulan :

2. Keseragaman ukuran tablet


Keseragaman ukuran tablet dilakukan dengan mengukur tebal dan diameter masing-
masing tablet sebanyak 10 tablet dengan menggunakan jangka sorong.

Alat-alat :
Jangka sorong

Prosedur kerja :
1. Ukur tebal dan diameter masing-masing tablet dengan menggunakan jangka
sorong sebanyak 10 tablet.
2. Catatlah hasil pengukuran tebal dan diameter masing-masing tablet
Hasil pengamatan :
No. Diameter (mm) Tebal (mm) D/T
1. 11,2 5,4 2,07
2. 11,2 5,5 2,04
3. 11,25 5,55 2,03
4. 11,2 5,6 2
5. 11,1 5,4 2,06
6. 11,2 5,2 2,15
7. 11,2 5,45 2,06
8. 11,1 5,4 2,06
9. 11,1 5,5 2,02
10. 11,1 5,4 2,06
Rerata 11,165 5,44 2,055

Persyaratan : Tablet yang baik mempunyai diameter tablet tidak lebih dari 3 kali
Dan tidak kurang dari 1 ⅓ tebal tablet
Pustaka : Murtini, Gloria dan yetri Elisa. 2018. Teknologi Sediaan Solid.
Kementrian kesehatan Republik Indonesia. Page 167
Kesimpulan : Memenuhi persyaratan
3. Waktu hancur tablet
Waktu hancur tablet merupakan waktu yang diperlukan oleh tablet untuk hancur.
Pengukuran waktu hancur dilakukan dengan menggunakan alat Desintegration
Tester.
Prosedur merujuk pada Farmakope Indonesia VI <1251> Waktu Hancur.
Tuliskan prosedur tersebut pada jurnal dan laporan praktikum

UJI WAKTU HANCUR <1251>, Farmakope Indonesia edisi VI hal 2119


Uji ini dimaksudkan untuk menetapkan kesesuaian batas waktu hancur yang
tertera dalam masing- masing monografi, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa
tablet atau kapsul digunakan sebagai tablet isap atau dikunyah atau dirancang untuk
pelepasan kandungan obat secara bertahap dalam jangka waktu tertentu atau
melepaskan obat dalam dua periode berbeda atau lebih dengan jarak waktu yang
jelas di antara periode pelepasan tersebut. Tetapkan jenis sediaan yang akan diuji
dari etiket serta dari pengamatan dan gunakan prosedur yang tepat untuk 6 unit
sediaan atau lebih.
Uji waktu hancur tidak menyatakan bahwa sediaan atau bahan aktifnya terlarut
sempurna. Sediaan dinyatakan hancur sempurna bila sisa sediaan, yang tertinggal
pada kasa alat uji merupakan massa lunak yang tidak mempunyai inti yang jelas.
Kecuali bagian dari penyalut atau cangkang kapsul yang tidak larut.

Alat
Alat terdiri atas suatu rangkaian keranjang, gelas piala berukuran 1000 mL,
dengan tinggi 138 hingga 160 mm dan diameter dalam 97 hingga 115 mm,
thermostat untuk memanaskan cairan media antara 35 o hingga 39o dan alat untuk
menaikturunkan keranjang dalam cairan media pada frekuensi yang tetap antara 29
hingga 32 kali per menit melalui jarak tidak kurang dari 53 mm dan tidak lebih dari
57 mm. Volume cairan dalam wadah sedemikian sehingga pada titik tertinggi
gerakan ke atas, kawat kasa berada paling sedikit 15 mm di bawah permukaan cairan
dan pada gerakan ke bawah berjarak tidak kurang dari 25 mm dari dasar wadah.
Waktu yang diperlukan bergerak ke atas adalah sama dengan waktu yang diperlukan
untuk bergerak ke bawah dan perubahan pada arah gerakan merupakan perubahan
yang halus, bukan gerakan yang tiba-tiba dan kasar. Rangkaian keranjang bergerak
vertikal sepanjang sumbunya, tanpa gerakan horizontal yang berarti atau gerakan
sumbu dari posisi vertikalnya.
Rangkaian keranjang Rangkaian keranjang terdiri atas 6 tabung transparan
yang kedua ujungnya terbuka, masing-masing dengan panjang 77,5 ± 2,5 mm,
diameter dalam 20,7 hingga 23 mm dan tebal dinding 1,0 hingga 2,8 mm, tabung-
tabung ditahan pada posisi vertikal oleh dua lempengan plastik, masing-masing
dengan diameter 88 hingga 92 mm, tebal 5 hingga 8,5 mm, dengan enam buah
lubang, masing-masing berdiameter 22 hingga 26 mm dan berjarak sama dari pusat
lempengan maupun antara lubang satu dengan lainnya. Pada permukaan bawah
lempengan dipasang suatu kasa baja tahan karat berukuran 10 mesh nomor 23 (0,025
inci). Bagian-bagian alat dirangkai dan dikencangkan oleh tiga buah baut melalui
kedua lempengan plastik. Suatu alat pengait dipasang pada alat yang
menaikturunkan rangkaian keranjang melalui satu titik pada sumbunya, digunakan
untuk menggantungkan rangkaian keranjang.
Rancangan rangkaian keranjang dapat sedikit berbeda asalkan spesifikasi
tabung kaca dan ukuran kasa dipertahankan.
Cakram Penggunaan cakram hanya diijinkan apabila tertera pada masing-
masing monografi. Tiap tabung mempunyai cakram berbentuk silinder dengan
perforasi, tebal 9,5 ± 0,15 mm dan diameter 20,7 ± 0,15 mm. Cakram dibuat dari
bahan plastik transparan yang sesuai, mempunyai bobot jenis antara 1,18 hingga
1,20. Terdapat lima lubang berukuran 2 ± 0,1 mm yang tembus dari atas ke bawah,
salah satu lubang melalui sumbu silinder, sedangkan lubang lain paralel terhadapnya
dengan radius jarak 6 ± 0,2 mm. Pada sisi silinder terdapat 4 lekukan dengan jarak
sama berbentuk V yang tegak lurus terhadap ujung silinder. Sisi paralel trapesoid
pada dasar mempunyai panjang 1,6±0,1 mm dan ujung bawah terletak 1,5 hingga
1,8 mm dari keliling silinder. Sisi paralel pada bawah silinder mempunyai panjang
9,4±0,2 mm, dan tengahnya terletak pada kedalaman 2,6±0,1 mm dari keliling
silinder. Seluruh permukaan cakram licin. Jika penggunaan cakram dicantumkan
dalam masingmasing monografi, tambahkan cakram pada masing-masing tabung
dan lakukan penetapan seperti tertera pada Prosedur.

Prosedur
Tablet tidak bersalut Masukkan 1 tablet pada masing-masing 6 tabung dari
keranjang, jika dinyatakan masukkan 1 cakram pada tiap tabung. Jalankan alat,
gunakan air bersuhu 37 ±2o sebagai media kecuali dinyatakan menggunakan cairan
lain dalam masing-masing monografi. Pada akhir batas waktu seperti tertera pada
monografi, angkat keranjang dan amati semua tablet: semua tablet harus hancur
sempurna. Bila 1 atau 2 tablet tidak hancur sempurna, ulangi pengujian dengan 12
tablet lainnya: tidak kurang 16 dari 18 tablet yang diuji harus hancur sempurna.

Tablet bersalut bukan enterik


Lakukan pengujian dengan prosedur seperti tertera pada Tablet tidak bersalut,
amati tablet dalam batas waktu yang dinyatakan dalam masing-masing monografi.

Tablet lepas tunda atau tablet salut enterik Masukkan 1 tablet pada masing-
masing 6 tabung dari keranjang, bila tablet mempunyai salut gula yang dapat larut,
celupkan keranjang dalam air pada suhu kamar selama 5 menit.
Tanpa menggunakan cakram jalankan alat, gunakan cairan lambung buatan LP
bersuhu 37 ± 2o sebagai media. Setelah alat dijalankan selama satu jam, angkat
keranjang dan amati semua tablet: tablet tidak hancur, retak, atau menjadi lunak.
Jalankan alat, gunakan cairan usus buatan LP bersuhu 37 ± 2o sebagai media, selama
jangka waktu yang dinyatakan dalam masing-masing monografi. Angkat keranjang
dan amati semua tablet: semua tablet hancur sempurna. Bila 1 tablet atau 2 tablet
tidak hancur sempurna, ulangi pengujian dengan 12 tablet lainnya: tidak kurang 16
dari 18 tablet yang diuji harus hancur sempurna.

Tablet bukal Lakukan pengujian dengan prosedur seperti tertera pada Tablet
tidak bersalut. Setelah 4 jam, angkat keranjang dan amati semua tablet: semua
tablet harus hancur. Bila 1 tablet atau 2 tablet tidak hancur sempurna, ulangi
pengujian dengan 12 tablet lainnya: tidak kurang 16 dari 18 tablet yang diuji harus
hancur sempurna.

Tablet sublingual Lakukan pengujian dengan prosedur seperti tertera pada


Tablet tidak bersalut . Amati tablet dalam batas waktu yang dinyatakan dalam
masing-masing monografi: semua tablet harus hancur. Bila 1 tablet atau 2 tablet
tidak hancur sempurna, ulangi pengujian dengan 12 tablet lainnya: tidak kurang 16
dari 18 tablet yang diuji harus hancur sempurna.

Kapsul gelatin keras Lakukan pengujian dengan prosedur seperti tertera pada
Tablet tidak bersalut, tanpa menggunakan cakram. Sebagai pengganti cakram
digunakan suatu kasa berukuran 10 mesh seperti yang diuraikan pada rangkaian
keranjang, kasa ini ditempatkan pada permukaan lempengan atas dari rangkaian
keranjang. Amati kapsul dalam batas waktu yang dinyatakan dalam masing-masing
monografi, semua kapsul hancur, kecuali bagian dari cangkang kapsul. Bila 1
kapsul atau 2 kapsul tidak hancur sempurna, ulangi pengujian dengan 12 kapsul
lainnya: tidak kurang 16 dari 18 kapsul yang diuji harus hancur sempurna.

Kapsul gelatin lunak Lakukan pengujian dengan prosedur seperti tertera pada
Kapsul gelatin keras.

Alat-alat :
1. Alat uji waktu hancur
2. Stopwatch

Prosedur kerja :
1. Nyalakan alat uji waktu hancur dan masukkan air pada bejana sehingga keenam
tabung tempat tablet diletakkan dapat terendam kemudian atur setting
36emperature pada 37oC.
2. Sebanyak 6 tablet ditempatkan pada masing-masing tabung yang terdapat pada
alat uji waktu hancur.
3. Jalankan alat uji sehingga tabung-tabung bergerak naik turun dan nyalakan
stopwatch bersamaan dengan mulai dijalankannya alat sampai dengan tablet
hancur atau tinggal massa intinya yang tidak jelas.
4. Catat waktu hancur keenam tablet
Hasil perhitungan :

No. Waktu Hancur (detik)


1. 19,83
2. 02,61
3. 02,48
4. 24,86
5. 02,31
6. 1,22,50

Persyaratan : tablet harus hancur tidak lebih dari 15 menit untuk tablet
yang tidak bersalut dan tidak lebih dari 60 menit untuk tablet
salut selaput.
Pustaka : Murtini, Gloria dan yetri Elisa. 2018. Teknologi Sediaan
Solid. Kementrian kesehatan Republik Indonesia. Page 227
Kesimpulan : Semua tablet tak bersalut memenuhi persyaratan yaitus hancur
tidak lebih dari 15 menit.

4. Kekerasan
Kekerasan tablet diukur dengan menggunakan alat hardness tester.
Prosedur merujuk pada USP <1217> Tablet Breaking Force. Tuliskan
prosedur tersebut pada jurnal dan laporan praktikum

TABLET BREAKING FORCE <1217>, USP hal 1750-1752

INTRODUCTION
There are a variety of presentations for tablets as delivery systems for
pharmaceutical agents, such as rapidly disintegrating, slowly disintegrating, eroding,
chewable, and lozenge. Each of these presentations places a certain demand on the
bonding, structure, and integrity of the compressed matrix. Tablets must be able to
withstand the rigors of handling and transportation experienced in the manufacturing
plant, in the drug distribution system, and in the field at the hands of the end users
(pa. tients/consumers). Manufacturing processes such as coating, packaging, and
printing can involve considerable stresses, which the tablets must be able to
withstand. For these reasons, the mechanical strength of tablets is of considerable
importance and is routinely measured. Tablet strength serves both as a criterion by
which to guide product development and as a quality cantrol specification.
One commonly employed test of lhe ability of tablets to withstand mechanical
stresses determines their resistance to chipping and surface abrasion by tumbling
them in a rotating cylinder. The percentage weight loss after tumbling is referred to
as the friability of the tablets. Standardized methods and equipment for testing
friability have been provided in general chapter Tablet Friability (1 21 6).
Another measure of the mechanical integrity of tablets is their breaking force,
which is the force required to cause them to fail (i.e., break) in a specific plane. The
tablets are generally placed between two platens, one of which moves to apply
sufficient force to the tablet to cause fracture. For conventional, round (circular
cross-section) tablets, loading occurs across their diameter (sometimes referred to as
diametralloading), and fracture occurs in that plane.
The breaking force of tablets is commonly called hardness in the pharmaceutical
literature; however, the use of this term is misleading. In material science, the term
hardness refers to the resistance of a surface to penetration or indentation by a small
probe. The term crushing strength is also frequently used to describe the resistance
of tablets to the application of a compressive load. Although this term describes the
true nature of the test more accurately than does hardness, it implies that tablets are
actually crushed during the test, which often is not the case. Moreover, the term
strength in this application can be questioned, because in the physical sciences that
term is often used to describe a stress (e.g., tensile strength). Thus, the term breaking
force is preferred and will be used in the present discussion.

TABLET BREAKING FORCE DETERMINATIONS


Early measuring devices were typically hand operated. For example, the
Monsanto (or Stokes) hardness tester was based on compressing tablets between two
jaws via a spring gauge and screw. In the Pfizer hardness tester, the vertically
mounted tablet was squeezed in a device that resembled a pair of pliers. In the Strong
Cobb hardness tester, the breaking load was applied through the action of a small
hydraulic pump that was first operated manually but was later motorized. Problems
associated with these devices were related to operator variability in rates of loading
and difficulties in proper setup and calibration. Modern testers employ mechanical
drives, strain gauge-based load cells for force measurements, and electronic signal
processing, and therefore are preferred. However, several important issues must be
considered when using them for the analytical determination of breaking force; these
are discussed below.

Platens
The platens should be parallel. Their faces should be polished smooth and
precision-ground perpendicularly to the direction of movement. Perpendicularity
must be preserved during platen movement, and the mechanism should be free of
any bending or torsion displacements as the load is applied. The contact faces must
be larger than the area of contact with the table.

Rate and Uniformity of Loading


Either the rale of platen movement or the rate at which the compressive force
is applied (I.e., the loading rate) should be constant. Maintaining a constant loading
rate avoids the rapid buildup of compressive loads, which may lead to uncontrolled
crushing or shear failure and greater variability in the measured breaking force.
However, constant loading rate measurements may be too slow for real time
monitoring of tablet production.
The rate at which the compressive load is applied can significantly affect
results, because time-dependent processes may be involved in tablet failure (I).
How a tablet matrix responds to differences in the loading rate depends on the
mechanism of failure. At low strain rates, some materials may fail in a ductile
manner, but brittle failure is more likely at faster strain rates. The transition from
ductile to brittle failure is accompanied by an increase in the breaking force.
Devices that simply crush tablets may produce deceptively reproducible data
because they lack sensitivity.
The test must be run consistently with equipment which has been routinely
calibrated. Changing from testing units of different designs or from different
manufacturers will require comparison of data to ensure that the two units are
subjecting the dosage form to similar stress in a similar manner. Currently
available equipment provides a constant loading rate of 20 new tons (N) or less per
second or a constant platen movement of 3.5 mm or less per second. Controlled
and consistent breaking is an important test procedure attribute. To ensure
comparability of results, testing must occur under identical conditions of loading
rate or platen movement rate. Since there are cerlain advantages to each system of
load application, both are found in practice. Because the particular testing situation
and the type of tablet matrix being evaluated will pose different constraints, there is
also no basis to declare an absolute preference for one system over the other. This
general chapter proposes consideration of both approaches.
The different methods may lead to numerically different results for a particular
tablet sample, requiring that the rate of load application or displacement must be
specified along with the determined breaking force.

Dependence of Breaking Force on Tablet Geometry and Mass


Measurements of breaking fotce do not take into account the dimensions or
shape of the tablet. Thicker tablets of the same material compressed under conditions
identical to those of thinner tablets, with the same tooling shape and to the same peak
force, will require greater breaking forces. Tablet orientation and failure should
occur in a manner consistent with those used during the development of the dosage
form. For direct comparisons (i.e., without any normalizations of the data), breaking
force measurements should be perlormed on tablets having the same dimensions,
geometry, and consistent orientation in test equipment.

Tablet Orientation
Tablet orientation in diametral compression of round tablets without any scoring
is unequivocal. That is, the tablet is placed between the platens so that compression
occurs across a diameter. However, tablets with a unique or complex shape may have
no obvious orientation for breaking force determination. Because the breaking force
may depend on the tablet's orientation in the tester, to ensure comparability of results,
it is best to settle on a standard orientation, preferably one that is most readily and
easily reproduced by operators. In general, tablets are tested either across the
diameter or parallel to the longest axis. Scored tablets have two orientation
possibilities. When they are oriented with their scores perpendicular to the platen
faces, the likelihood that tensile failure will occur along the scored line increases.
This provides information about the strength of the matrix at the weakest point in
the structure. When scored tablets are oriented with their scores parallel to the platen
faces, more general information about the strength of the matrix is derived.
Capsule-shaped tablets or scored tablets may best be broken in a three-point
flexure test (2). A fitting, which is either installed on the platens or substituted for
the platens, supports the tablet at its ends and permits the breaking load to be applied
to the opposite face at the unsupported midpoint of the tablet. The fittings are often
available from the same source that supplies the hardness tester.

Units, Resolution, and Calibration


Modern breaking force testers are usually calibrated in kiloponds or newtons.
The relationship between these units of force (3) is 1 kilopond (kp) = 1 kilogram-
force (kgf) = 9.80 N. The test results should be expressed in standard units of force
which facilitate communication. Some breaking force testers also will provide a
scale in Strong Cobb units (SCU), a carryover from the days when Strong Cobb
hardness testers were in common usage. The conversion betwein SCU and N or kp
must be viewed with caution, because the SCU is derived from a hydraulic device
and is a pressure.
Generally, contemporary breaking force testers use modern electronic designs
with digital readouts. Some units also have an integral printer or may be interlaced
with a printer. Breaking forces should be readable to within 1 N.
Breaking force testers should be calibrated periodically. The force sensor as
well as the mechanics of the apparatus needs to be considered. For the force sensor,
the complete measuring range (or, at a minimum, the range used for measuring the
test sample) should be calibrated to a precision of 1 N, using either the static or
dynamic method. Static calibration genera lly employs traceable counterweights; at
least three different points are checked to assess linearity. Dynamic calibration
makes use of a traceable reference-load cell that is compressed between the platens.
The functional calibration of a breaking force test apparatus should also confirm that
the velocity and the constancy of velocity for load application or displacement are
within prescribed tolerances throughout the range of platen movement.

Sampel Size
In order to achieve sufficient statistical precision for the determination of
average breaking force, a minimum of 6 tablet samples should be tested. The average
breaking force alone may be adequate to fulfill the purpose of process or product
quality control. In cases where breaking force may be particularly critical, the
average plus individual breaking force values should be accessible.

TENSILE STRENGYH
The measurement of tensile strengths provides a more fundamental measure of
the mechanical strength of the compacted material and takes into account the
geometry of the tablet. If tablets fail in tension, the breaking force can be used to
calculate the tensile strength. Unfortunately, this is practical only for simple
shapes. If flat-faced round tablets (right circular cylinders) fail in tension, as
indicated by a clean split into halves under diametral compression, the breaking
force may be used to compute the tensile strength from the following equation (4),
which applies only to cylindrical tablets :

ẟx = 2F/πDH

in which Ox is the tensile strength, F is the breaking force, D is the tablet diameter,
and H is the tablet thickness. Because only tablets that fail in tension are counted,
the data are based on tablets that fail in a consistent way. Thus, reproducibility of
data should be enhanced when compared to conventional breaking-strength testing.
Moreover, the data will be normalized with respect to tablet dimensions, because
both diameter and thickness are included in the equation. The derivation of this
equation may be found in standard texts (5, 6); it is based on elastic theory and the
following assumptions:
1. The tablet is an isotropic body
2. Hooke's law is obeyed
3. The modulus of elasticity in compression and in tension is the same
4. Ideal point loading occurs
The derivation has been extended to convex-faced tablets (7, 8):

ẟx = (10F/πD2) x [(2,84H/D) – (0,126H/W) + (3,15W/D) + 0,01]-1


where ẟx is the tensile strength, F is the breaking force, D is the tablet diameter,
H is the tablet thickness, and W is the central cylinder thickness (tablet wall height).
The slow and constant loading rate of modern motorized break force testers
encourages tensile failure. However, ideal point loading may not occur, because of
crushing and the induction of shear failure at the interface with the surface of the
platens. The addition of padding to the platens helps prevent shear at contact points
and promotes true tensile failure. On that basis, padding is strongly recommended
when highly precise measurements are needed. Padding should be relatively thin so
that any deviation from the assumption of true point-source force application will
not be large. The padding should also collapse very easily so that its deformation
does not become part of the force measured by the test apparatus. In more routine
settings involving measurements on a large number of samples, the addition of
padding could contribute to inaccuracies in measurement as powder from previously
tested samples becomes embedded in the collapsible matrix and thereby alters its
properties. Unless provisions for frequent and routine replacement of the padding
are made, it can be considered acceptable to ignore the use of padding material to
maintain constancy of the test conditions.
Bending or flexure of tablets is another option for determining the tensile
strength of tablets. Under ideal loading conditions, a breaking load applied to the
unsupported midpoint of one face will result in the generation of pure tensile stress
in the opposite face. If the tablets are right circular cylinders and are subjected to
three-point flexure, the tensile strength may be estimated using the following
equation (9):

ẟx = 3FL/2H2D

in which l is the distance between supports, and the other terms are as defined above.
The assumptions are the same as those for calculating tensile strength from diametral
compression. However, tensile strengths determined by flexure and diametral
compression may not agree, because of likely nonideallo~ding and the induction of
shear failure during testing.

Alat-alat :
1. Alat uji kekerasan (Pharmtest Hardness Tester)

Prosedur kerja :
1. Tempatkan tablet pada ujung alat (wadah sampel) dengan posisi tablet mendatar
dan skala alat menunjukkan angka nol.
2. Tekan tombol START untuk memulai pengujian sampai tablet retak atau pecah.
3. Baca dan catat hasil uji kekerasan masing-masing tablet yang tertera pada alat,
lakukan pengujian sebanyak minimal 6 tablet.
Hasil perhitungan :

No. Kekerasan
(kgF)
1. 3,3
2. 3,0
3. 3,1
4. 6,3
5. 6,1
6. 2,9
7. 4,5
8. 2,9
9. 8,0
10. 3,0
Rata-rata 4,31

Persyaratan : Ukuran yang didapat per tablet minimal 4 kg/cm2 , maksimal


10 kg/ cm2. Uji Monsanto = 4-8 kgF
Pustaka : Murtini, Gloria dan yetri Elisa. 2018. Teknologi Sediaan
Solid. Kementrian kesehatan Republik Indonesia. Page 227
Kesimpulan : Kekerasan tablet memenuhi syarat 4-8 kgF dengan rata-rata
tablet 4,31

5. Friabilitas (Kerapuhan)
Friabilitas merupakan salah satu ukuran kestabilan fisik tablet terhadap guncangan
dan gesekan. Pengukuran friabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan alat
FriabilityTester
Prosedur merujuk pada USP <1216> Tablet Friability. Tuliskan prosedur
tersebut pada jurnal dan laporan praktikum

TABLET FRIABILITY <1216>, USP hal 1749


This general information chapter has been harmonized with the corresponding
texts of the European Pharmacopoeia and the japanese Pharmacopoeia. The
harmonized texts of these three pharmacopeias are therefore interchangeable, and
the methods of the European Pharmacopoeia and/or the Japanese Pharmacopoeia
may be used for demonstration of compliance instead of the present United States
Pharmacopeia general information chapter method. These pharmacopeias have
undertaken not to make any unilateral change to this harmonized chapter.
This chapter provides guidelines for the friability determination of compressed,
uncoated tablets. The test procedure presented in this chapter is generally applicable
to most compressed tablets. Measurement of tablet friability supplements other
physical strength measurements, such as tablet breaking force.
Use a drum,* with an internal diameter between 283 and 291 mm and a depth
between 36 and 40 mm, of transparent synthetic polymer with polished internal
surfaces, and subject to minimum static build-up (see figure for a typical apparatus).
One side of the drum is removable. The tablets are tumbled at each turn of the drum
by a curved projection with an inside radius between 75.5 and 85.5 mm that extends
from the middle of the drum to the outer wall. The outer diameter of the central ring
is between 24.5 and 25.5 mm. The drum is attached to the horizontal axis of a device
that rotates at 25 ±1 rpm. Thus, at each turn the tablets roll or slide and fall onto the
drum wall or onto each other.

For tablets with a unit weight equal to or less than 650 mg, take a sample of
whole tablets corresponding as near as possible to 6.5 g. For tablets with a unit
weight of more than 650 mg, take a sample of 10 whole tablets. The tablets should
be carefully dedusted prior to testing. Accurately weigh the tablet sample, and place
the tablets in the drum. Rotate the drum 100 times, and remove the tablets. Remove
any loose dust from the tablets as before. and accurately weigh.
Generally, the test is run once. If obviously cracked, cleaved, or broken tablets
are present in the tablet sample after tumbling, the sample fails the test. If the results
are difficult to interpret or if the weight loss is greater than the targeted value, the
test should be repeated twice and the mean of the three tests determined. A maximum
mean weight loss from the three samples of not more than 1.0% is considered
acceptable for most products.
If tablet size or shape causes irregular tumbling, adjust the drum base so that the
base forms an angle of about 100 with the horizontal and the tablets no longer bind
together when lying next to each other, which prevents them from falling freely.
Effervescent tablets and chewable tablets may have different specifications as
far as friability is concerned. In the case of hygroscopic tablets, an appropriate
humidity-controlled environment is required for testing.
Drums with dual scooping projections, or an apparatus with more than one
drum, for the running of multiple samples at one time, are also permitted .

Alat-alat :
1. Alat uji Friability Tester
2. Timbangan neraca analitik
3. Pinset
4. Sikat halus
Prosedur kerja :
1. Bersihkan tablet satu persatu dari debu menggunakan sikat halus
2. Timbang seluruh tablet menggunakan timbangan (jumlah sampel tablet
disesuaikan dengan bobot per tabletnya lihat di USP)
3. Masukkan seluruh tablet ke dalam alat uji Friability Tester
4. Nyalakan alat uji pada 25 rpm selama 4 menit.
5. Timbang kembali sejumlah tablet yang dimasukkan ke dalam masing - masing
alat dengan dibersihkan terlebih dahulu menggunakan kuas secara halus.
6. Hitunglah selisih bobot tablet dan nyatakan dalam % friabilitas dengan rumus
berikut :
𝑊𝑎−𝑊𝑏
% Friabilitas = 𝑊𝑎 x 100 %
Wa = bobot awal tablet
Wb = bobot akhir tablet

Hasil perhitungan :

No. Friabilitas
1. Wa (g) Wb (g) %
2. 6,48 6,47 0,15%
3.

Persyaratan : Nilai F dinyatakan baik jika < 1 %, jika F > 1 %, maka tablet
Dapat diperbaiki dengan cara meningkatkan/menambah
kekerasan tablet
Pustaka : Murtini, Gloria dan yetri Elisa. 2018. Teknologi Sediaan
Solid. Kementrian kesehatan Republik Indonesia. Page 229
kesimpulan : Friabilitas termasuk baik karena %fribialitasnya <1%.

8. Pembahasan
8.2 Kontrol kualitas granul
➢ Dilakukan perhitungan terhadap BJ nyata. BJ nyata dilakukan dengan
menimbang granul sebanyak 40g, kemudian dituangkan ke dalam gelas ukur
100mL tanpa dilakukan pengetukan. Hasil yang didapatkan adalah sebesar
0,5194g/mL. Kemudian, granul yang digunakan untuk perhitungan BJ nyata,
dilanjutkan untuk menghitung BJ mampat. BJ mampat dilakuakn dengan
memampatkan atau pengetukan dengan interval pengetukan tertentu.
Pemampatan dilakukan hingga volume terakhir tidak menunjukkan adanya
perubahan dari volume sebelumnya. Hasil yang didapatkan adalah sebesar
0,6667g/mL. Kedua data tersebut digunakan untuk menghitung Hausner Ratio
dan Carr’s Index. Hausner Ratio yang didapatkan adalah sebesar 1,28 (Passable).
Sedangkan Carr’s Indexnya adalah sebsesar 22,09% (passable)
➢ Dilakukan uji kandungan lembab. Berdasarkan teori, granul yang baik memiliki
kandungan lembab diantara 2% - 4%. Hasil pengujian yang didapatkan adalah
sebesar 6,52%MC dan 6,12%LOD. Hal ini tidak sesuai dengan teori. Selain itu,
pada saat proses kompresi, dapat terjadi picking atau lengket pada tablet yang
dikompresi. Untuk menurunkan kandungan lembab, dapat dilakukan
penambahan bahan pada saat formulasi, seperti adsorben.
➢ Terakhir, dilakukan uji kecepatan alir dan sudut istirahatnya. Terdapat beberapa
kategori. Batas maksimal yang dapat diterima adalah kategori passable dengan
sedikit pengetukan saat dilakukan pengujian. Hasil pengujian menunjukkan
bahwa kecepatan alirnya sebesar 14,56 g/detik (sangat baik). Sedangkan untuk
nilai sudut istirahat yang dihasilkan adalah 39,81o (fair).

8.3 Kontrol kualitas tablet


➢ Tablet yang telah dikompresi, dilakukan perhitungan dimensi tablet, yaitu dengan
mengukur ukuran diameter dan tebal tabletnya. Berdasarkan teori, tablet yang
baik memiliki ukuran diameter tidak lebih dari 3x ukuran tebal tablet, dan tidak
kurang dari 1⅓ tebal tablet. Berdasarkan hasil pengukuran tablet, diameter dari
tablet sebesar 11,165mm dan tebal tablet 5,44mm. Dapat disimpulkan, bahwa
tablet memenuhi persyaratan dimensi tablet.
➢ Setelah dilakukabn proses slugging, slug atau granul dilakukan uji kekerasan
menggunakan alat Pharmtest Hardness Tester. Berdasarkan teori, granul yang
baik memiliki kekerasan tidak kurang dari 4KgF dan tidak lebih dari 10 KgF,
Pada pengujian, didapatkan hasilnya adalah sebesar 4,32 KgF. Maka, hasil yang
didapatkan ini telah sesuai dengan teori.
➢ Untuk uji kerapuhan atau friabilitas, berdasarkan teori, nilai F yang baik adalah
kurang dari 1%. Hasil pengujian yang didapat, nlai F dari tablet adalah 0,15%
sehingga tablet memenuhi persyaratan.
➢ Terakhir, dilakukan pengujian waktu hancur. Berdasarkan teori, waktu hancur
dari tablet yang tidak bersalut adalah tidak kurang dari 15 menit. Berdasarkan
hasil pengujian yang telah dilakukan, rata – rata waktu hancur dari 6 tablet adalah
22,43 detik. Maka, tablet memenuhi persyaratan.

Anda mungkin juga menyukai