Anda di halaman 1dari 11

SISTEM POLITIK DALAM ISLAM

Pengertian Politik
Secara etimologis, politik berasal dari kata polis (bahasa Yunani), yang artinya negara
kota. Namun kemudian dikembangkan dan diturunkan menjadi kata lain seperti
polities (warga negara), politikos (kewarganegaraan atau civic), dan politike tehne
(kemahiran politik), dan politike epistem (ilmu politik), (Cholisin, 2003:1).
Sedangkan menurut Meriam Budiardjo dalam bukunya mengatakan bahwa
politik adalah berbagai macam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (negara)
yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan
tujuan itu. (Meriam Budiardjo, 2001:8). Jadi politik ialah suatu proses dalam
melaksanakan maupun dalam mencapai tujuan dari politik itu sendiri.
Lain lagi pandangan dari Ramlan Surbakti (1992:11), yang menyatakan bahwa
politik ialah interaksi antara pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses
pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama
masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
Sedangkan Menurut Hasan Al Banna (Usman Abdul Mu’iz, 2000:72). Politik
adalah upaya memikirkan persoalan internal (mengurus persoalan pemerintah,
menjelaskan fungsi-fungsinya, merinci kewajiban dan hakhaknya, melakukan
pengawasan kepada terhadap penguasa untuk kemudian dipatuhi jika mereka
melakukan kebaikan dan dikritik jika mereka melakukan kekeliruan), dan persoalan
eksternal umat/rakyat (memelihara kemerdekaan dan kebebasan bangsa,
mengantarkan mencapai tujuan yang akan menempatkan kedudukan ditengah-tengah
bangsa lain, serta membebaskan dari penindasan dan intervensi pihak lain dalam
urusan-urusanya) memberikan perhatian kepadanya, dan bekerja demi kebaikan
seluruhnya (kemaslahatan umat).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa segala sesuatu yang berkaitan
dengan negara, warganegara, kekuasaan dan segala proses yang menyertainya adalah
tak lepas daripada yang namanya politik. Jadi politik memiliki arti yang luas.

A. Pengertian politik Islam


Pada hakikatnya antara politik dan Islam tidak dapat dipisahkan, sehingga
secara ringkas politik Islam/syari’ah dikatakan oleh Abdul Qadir adalah politik yang
membawa seluruh umat manusia kepada ketentuanketentuan Islam, (2003:16).
Politik Islam merupakan aktivitas Politik sebagian umat Islam yang
menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok. Pendukung
perpolitikan ini belum tentu seluruh umat Islam, karenanya mereka dalam kategori
politik dapat disebut sebagai kelompok Politik Islam, juga menekankan simbolisme
keagamaan dalam berpolitik, seperti menggunakan lambang Islam, dan istilah-istilah
keislaman dalam peraturan dasar organisasi, khittah perjuangan, serta wacana Politik
Model Islam Struktural bisa melalui Islam Politik (partai politik) atau juga tidak
melalui partai (Nasiwan, 2003:101).

Politik Islam di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah.Oleh sebab
itu, di dalam buku-buku para ulama dikenal istilah siyasah syar’iyyah. Dalam Al
Muhith, siyasah berakar kata sâsa - yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha
siyasatan berertiQama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha(mengurusinya, melatihnya,
dan mendidiknya). al-Siyasah juga berarti mengatur, mengendalikan,mengurus,atau
membuat keputusan,mengatur kaum, memerintah, dan memimpinya. Secara tersirat
dalam pengertian siyasah terkandung dua dimensi yang berkaitan satu sama lain,
yaitu: 1. “Tujuan” yang hendak di capai melalui proses pengendalian, 2. “Cara”
pengendalian menuju tujuan tersebut
Secera istilah politik islam adalah pengurusan kemaslahatan umat manusia
sesuai dengan syara’. Pengertian siyasah lainya oleh Ibn A’qil, sebagaimana yang
dikutip oleh Ibnu Qayyim, politik Islam adalah segala perbuatan yang membawa
manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan,
sekalipunRasullah tidak menetapkannya dan (bahkan) Allah SWT tidak
menentukanya. Pandangan politik menurut syara’, realitanya pasti berhubungan
dengan masalah mengatur urusan rakyat baik oleh negara maupun rakyat. Sehingga
definisi dasar menurut realita dasar ini adalah netral. Hanya saja tiap ideologi
(kapitalisme, sosialisme, dan Islam) punya pandangan tersendiri tentang aturan dan
hukum mengatur sistem politik mereka.Dari sinilah muncul pengertian politik yang
mengandung pandangan hidup tertentu dan tidak lagi “netral”.

Dalil Berpolitik Dalam Islam


Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya :
"Adalah Bani Israil, mereka diurusi (siyasah) urusannya oleh para nabi
(tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang
menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah."
(Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)
Jelaslah bahawa politik atau siyasah itu bermakna adalah mengurusi urusan
masyarakat. Rasulullah SAW. bersabda :
"Siapa saja yang bangun di pagi hari dan dia hanya memperhatikan urusan
dunianya, maka orang tersebut tidak berguna apa-apa di sisi Allah; dan barang
siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslimin, maka dia tidak termasuk
golongan mereka (iaitu kaum Muslim). (Hadis Riwayat Thabrani).

Politik dalam Pandangan Cendekiawan dan Ulama


Ibnu Taimiyyah dalam Kitab Siyasah as-Syar’iyyah, hal 168 menjelaskan:
“Wajib diketahui bahwa mengurusi dan melayani kepentingan manusia merupakan
kewajiban terbesar agama dimana agama dan dunia tidak bisa tegak tanpanya.
Sungguh bani Adam tidak akan lengkap kemaslahatannya dalam agama tanpa
adanya jamaah dan tidak ada jamaah tanpa adanya kepemimpinan. Nabi bersabda:
‘Jika keluar tiga orang untuk bersafar maka hendaklah mereka mengangkat salah
satunya sebagai pemimpin’ (HR. Abu Daud). Nabi mewajibkan umatnya mengangkat
pemimpin bahkan dalam kelompok kecil sekalipun dalam rangka melakukan amar
ma’ruf nahi munkar, melaksanakan jihad, menegakkan keadilan, menunaikan haji,
mengumpulkan zakat, mengadakan sholat Ied, menolong orang yang dizalimi, dan
menerapkan hukum hudud.”
Lebih jauh Ibnu Taimiyyah –mengutip Khalid Ibrahim Jindan berpendapat
bahwa kedudukan agama dan negara ”saling berkelindan, tanpa kekuasaan negara
yang bersifat memaksa, agama berada dalam bahaya, sementara tanpa wahyu,
negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik.”
Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa kekuasaan penguasa merupakan tanggung jawab
yang harus dipenuhi dengan baik. Penguasa harus mengurusi rakyatnya seperti yang
dilakukan pengembala yang dilakukan kepada gembalaanya. Penguasa disewa
rakyatnya agar bekarja untuk kepentingan meraka, kewajiban timbal balik kepada
kedua belah pihak menjadikan perjanjian dalam bentuk kemitraan.
Pendapat Ibnu Aqil seperti yang dikutip Ibnu Qayyim mendefinisikan:
“Siyasah syar’iyyah sebagai segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat
kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan, sekalipun Rasul tidak
menetapkan dan Allah tidak mewahyukan. Siyasah yang merupakan hasil pemikiran
manusia tersebut harus berlandaskan kepada etika agama dan memperhatikan
prinsip-prinsip umum syariah”.
Imam Al Mawardi dalam “Ahkamus Sultaniyyah Wal Walayatud Diniyah”
menjelaskan siyasah syar’iyahsebagai: “Kewajiban yang dilakukan kepala negara
pasca kenabian dalam rangka menjaga kemurnian agama dan mengatur urusan
dunia (hirosatud din wa raiyyatud dunya).”
Al Ghazali melukiskan hubungan antara agama dengan kekuasaan politik dengan
ungkapan : ” Sultan (disini berarti kekuasaan politik) adalah wajib untuk ketertiban
dunia; ketertiban dunia wajib untuk ketertiban agama; ketertiban agama wajib bagi
keberhasilan di akhirat. Inilah tujuan sebenarnya para Rasul.. Jadi wajib adanya imam
merupakan kewajiban agama dan tidak ada jalan untuk meninggalkannya.”
Asyahid Imam Hasan Al Banna menjelaskan politik adalah, “Hal memikirkan
persoalan internal (yang mencakup diantaranya: mengurusi persoalan pemerintahan,
menjelaskan fungsi-fungsinya, memerinci hak dan kewajibannya, melakukan
pengawasan terhadap penguasa) dan eksternal umat (yang meliputi diantaranya:
memelihara kemerdekaan dan kebebasan bangsa, mengantarkan bangsanya
mencapai tujuan yang diidamkan dan membebaskan bangsanya dari penindasan dan
intervensi pihak lain).”
Dr. V. Fitzgerald menjelaskan bahwa,
” Islam bukanlah semata-mata agama (a religion) namun juga merupakan
sebuah sistem politik( a political syistem). Meskipun pada dekade-dekade terakhir
ada beberapa kalangan dari umat Islam yang mengklain sebagai kalangan modernis,
yang berusah memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam
dibangaun di atas pundamen bahwa kedua sisi itu saling bergandengan selaras dan
tidak dapat dipisahkan satu sama lain.”
Prof Barents mengemukakan politik ialah ”ilmu mempelajari kehidupan
bernegara.”
Yusuf Qaradhawi dalam Fiqh Daulah mendefinisikan Siyasah Syar’iyah:
“Fiqh Islami yang mencakup hubungan individu dengan daulah (negara dan
pemerintahan), atau hubungan pemimpin dengan rakyat, hubungan hakim dengan
terdakwa, hubungan kekuasaan dengan masyarakat yang dalam terminologi modern
disebut sistem ketatanegaraan, sistem keuangan, sistem pemerintahan dan sistem
hubungan internasional.”
Sedangkan definisi Siyasah Syar’iyah menurut Abdul Wahhab Khallaf adalah:
“Pengaturan urusan pemerintahan kaum Muslimin secara menyeluruh dengan cara
mewujudkan maslahat, mencegah terjadinya kerusakan (mafsadat) melalui batasan-
batasan yang ditetapkan syara’ dan prinsipprinsip umum Syariah (maqosidhus
syari’ah) –kendati hal itu tidak ada dalam ketetapan nash dan hanya menyandarkan
pendapat para imam mujtahij”. (Asy Siyasah Asyar’iyyah, hal 12-127)

Islam dan Politik Islam


ialah agama yang syamiil (menyeluruh/sempurna) dan universal. Islam
mengatur seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Tak luput pula masalah politik
ataupun urusan kenegaraan yang lainnya. Didalam seluruh sejarah kemanusiaan,
Islam telah menyumbangkan sesuatu yang sangat besar yang tidak ternilai harganya,
ialah suatu “model negara”, yang dinamakannya “Negara Islam” atau Daulah
Islamiyah (Zainal Abidin Ahmad, 1977:68)
Dalam Negara Islam yang menjadi dasar ialah Firman Tuhan dan suara rakyat
(musyawarah). Dengan tegas dapat dikatakan bahwa firman tuhan (Fox Dei) dan
ajaran Nabi (Fox Prophetae) bergabung dengan suara rakyat (Fox Popule), menjadi
kekuasaan tertinggi di dalam negara (Zainal Abidin Ahmad, 1977)
Islam dan politik jelas tidak dapat dipisahkan. Nabi Muhammad sendiri ialah
seorang politikus handal yang bisa menjadi pemimpin bagi rakyatnya. Bahkan di
zaman Islam pertama dahulu, masjid itu tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah
saja, tapi juga mempunyai fungsi politik yang sangat penting. Bukan saja tempat
praktik politik seperti tempat musyawarah, ataupun tempat pembaiatan
pemimpin/kepala Negara, dan lainnya lagi, tetapi masjid juga dijadikan tempat
mempelajari teori-teori politik disampimg ilmu agama dan lainnya (Zainal Abidin
Ahmad, 1977: 248)
Adapun menurut Anis Matta (2006: 87-88) pengertian dalam penerapan
syari’ah atau pembentukan Daulah Islamiyah, yakni ada beberapa logika yang perlu
dipahami.
Pertama, Islam adalah sistem kehidupan integral dan komprehensif yang
karenanya memiliki semua kelayakan untuk dijadikan sebagai referensi utama dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua, berkah sisitem kehidupan Islam harus dapat dirasakan masyarakat,
apabila ia benar-benar diharapkan dalam segenap aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara kita.
Ketiga, untuk diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka
diperlukan dua bentuk kekuatan: kekuatan legalitas dan kekuatan eksekusi.
Keempat, untuk memiliki kekuatan legalitas dan kekuatan eksekusi,
diperlukan kekuasaan yang besar dan sangat berwibawa, yang diakui secara de facto
maupun de jure.
Atas dasar kerangka logika tersebut, urutan persyaratan yang harus dipenuhi
adalah meraih kekuasaan, memiliki kompetensi eksekusi, dan bekerja dengan
keabsahan konstitusi. Yang mana itu semua ialah bagian daripada politik. Ini semakin
menegaskan bahwa Islam itu tidak anti politik, bahkan politik merupakan suatu
keharusan dan kebutuhan agar nilai-nilai Islam (syari’at) dapat diterapkan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kehidupan masyarakat. Karena Islam ialah
universaal dan integral, mencakup segala aspek kehidupan manusia termasuk dalam
hal politik, dan Islam ialah agama rahmatan lil alamiin.

B. PRINSIP-PRINSIP DASAR POLITIK ISLAM

1. Musyawarah
Dalam prinsip perundang-undangan Islam, musyawarah dinilai sebagai lembaga yang
amat penting artinya. Penentuan kebijaksanaan pemerintah dalam sistem pemerintahan
Islam haruslah didasarkan atas kesepakatan musyawarah. Karena itu musyawarah
merupakan prinsip penting dalam politik Islam.
Prinsip musyawarah ini sesuai dengan ayat al-Quran Surah Ali Imran ayat 159:
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkalah pada Allah, sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaqwa kepada Allah.”

2. Keadilan
Agama Islam menempatkan aspek keadilan pada posisi yang amat tinggi dalam sistem
perundang-undangannya. Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan berbuat
adil dalam segala aspek kehidupan manusia, seperti yang terkandung dalam surat An-Nahl
ayat 90:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat. Dan Allah melarang dari perbuatan keji, munkar dan bermusuhan.
Dia member pelajaran agar kamu men gambil pelajaran.”

Ayat tersebut diatas memerintahkan kepada umat Islam untuk berlaku adil, sebaliknya
melarang dan mengancam dengan sanksi hukum bagi orang yang berbuat sewenang-wenang.
Kewajiban berlaku adil dan menjauhi perbuatan zalim mempunyai tingkatan yang amat tinggi
dalam struktur kehidupan manusia dalam segala aspeknya.

Keadilan merupakan tujuan umum atau tujuan akhir dalam pemerintahan Islam. Dari segi
realitas sejarah, sejarah para Khulafaur Rashidin yang nota bene mencontohkan teladan nabi
adalah prototipe yang lengkap dan sangat hidup dalam memahami makna keadilan dan
memegang prinsipnya dalam kehidupan.

3. Kebebasan
Yang dimaksud dengan kebebasan di sini bukanlah kebebasan bagi warganya untuk
dapat melaksanakan kewajibanya sebagai warga negara, tetapi kebebasan di sini
mengandung makna yang lebih positif, yaitu kebebasan bagi warga negara untuk memilih
suatu yang lebih baik, atau kebebasan berfikir yang lebih baik dan mana yang lebih buruk,
sehingga proses berfikir ini dapat melakukan perbuatan yang baik sesuai dengan
pemikiranya.
Kebebasan berfikir dan berbuat ini pernah diberikan oleh Allah kepada nabi Adam dan
Hawa untuk mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Allah. Sebagai mana Firman Allah
Surat Taha ayat 123:
“Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama sebagaimana kamu menjadi musuh
bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dariKu, lalu barang siapa
yang men gikuti petunjuk dari-Ku ia tak akan tersesat dan tidak akan celaka.”

Islam mengakui adanya kebebasan berfikir. Bahkan menjamin sepenuhnya dan dinilai
sebagai ahlak dasar setiap manusia. Dalam sistem perundang-undanganya Islam juga
sangat menghargai nilai-nilai kebebasan itu. Penghargaan sistem perundang-undangan
Islam terhadap kebebasan itu tidak dapat dibandingkan dengan sistem lainya yang
diciptakan manusia.
4. Persamaan
Prinsip persamaan berarti bahwa setiap individu dalam masyarakat mempunyai hak
yang sama, juga mempunyai persamaan mendapatkan kebebasan dalam berpendapat,
kebebasan, tanggung jawab, dan tugas-tugas kemasyarakatan tanpa diskriminasi rasial, asal
usul, bahasa dan keyakinan.

Berdasarkan prinsip persamaan ini sebenarnya tidak ada rakyat yang diperintah secara
sewenang-wenang dan tidak ada penguasa yang memperbudak rakyatnya. Allah menciptakan
laki-laki dan perempuan dengan berbagai bangsa dan suku bukanlah untuk membuat jarak
antara mereka. Bahkan diantara mereka agar dapat saling tukar pengalaman. Al-Quran
menegaskan yang membedakan diantara manusia adalah hanya karena taqwanya.
Sebagaimana firman Allah Surat al-Hujurat ayat 13:

“Hai manusia sesungguhnya kami menetapkan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling men genal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang
bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha men getahui lagi maha mengenal.”

Dari uraian tersebut diatas tidak disangsikan lagi kekuatan prinsip persamaan itu dalam
sistem hukum Islam. Pelaksanaanya berlaku menyeluruh dalam sistem hukum dan
pemerintahan Islam. Sebab sistem itu memang menjadi bagian yang integral dari ajaran
Islam.

5. Hak menghisab pihak pemerintah


Hak rakyat untuk menghisab pihak pemerintah dan hak mendapat penjelasan terhadap
tindak tanduknya. Prinsip ini berdasarkan kepada kewajipan pihak pemerintah untuk
melakukan musyawarah dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan dan pentadbiran
negara dan ummah. Hak rakyat untuk disyurakan adalah bererti kewajipan setiap anggota
dalam masyarakat untuk menegakkan kebenaran dan menghapuskan kemungkaran. Dalam
pengertian yang luas, ini juga bererti bahawa rakyat berhak untuk mengawasi dan
menghisab tindak tanduk dan keputusan-keputusan pihak pemerintah.
6. Diwajibkan untuk memperkuat tali silaturahmi
Dikalangan kaum muslimin di dunia dan untuk mencegah semuakecenderungan sesat
yang didasarkan pada perbedaan ras, bahasa,ras, wilayah ataupun semua pertimbangan
materealistis lainya sertauntuk melestarikan dan memperkuat kesatuan
  Millah Al-Islamiyyah

7. Kedaulatan tertinggi atas alam semesta dan hukumnya ialah berada di tangan Allah


semata.
Dasar kekuatan politik Islam yang pertama adalah Allah SWT, tidakada seorangpun
yang memeliki kekuasaan mutlak. Kekuasaanmanusia hanya bersifat temporal karena yang
berkuasa secara mutlakadalah Allah SWT, Tuhan semsta alam, Tuhan langit dan
bumi.Kkekuasaan Allah tidak bias dibatasi oleh kekuatan hukum yang ada,karena Ia sendiri
adlah sumber dari hukum tersebut. Selain prinsip-prinsip dasar negara yang konstitusinya
berdasar syari’ah, ada jugaprinsip-prinsip tambahan (subsider) yang merupakan kesimpulan
dantermasuk ke dalam bidang fikih siyasah (hukum ketatanegaraan dalamIslam). Prinsip-
prinsip tambahan tersebut adalah mengenaipembagian fungsi-fungsi pemerintahan yaitu
hubungan antara BadanLegislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Dalam hubungan ketiga
badan(lembaga negara) tersebut prinsip-prinsip berkonsultasi (syura) mestidilaksanakan di
dalam riset, perencanaan, menciptakan undang-undang dan menjaga nilai-nilai syari’ah
dengan memperhatikanotoritas (kewenangan) yang dimiliki masing-masing lembaga tersebut.

C. KONTRIBUSI UMAT ISLAM DALAM PERPOLITIKAN NASIONAL


Kontribusi umat Islam dalam perpolitikan nasional tidak bisa dipandang sebelah
mata. Di setiap masa dalam kondisi perpolitikan bangsa ini, Islam selalu punya
pengaruh yang besar. Sejak bangsa ini belum bernama Indonesia, yaitu era
berdirinya kerajaan-kerajaan hingga saat ini, pengaruh perpolitikan bangsa kita
tidak lepas dari pengaruh umat Islam.
Salah satu penyebabnya adalah karena umat Islam menjadi penduduk mayoritas
bangsa ini. Selain itu, dalam ajaran Islam sangat dianjurkan agar penganutnya
senantiasa memberikan kontribusi sebesar-besarnya bagi orang banyak, bangsa,
bahkan dunia. Penguasaan wilayah politik menjadi sarana penting bagi umat Islam
agar bisa memberikan kontribusi bagi bangsa ini. 
Sekarang mari kita amati kontribusi umat Islam dalam perpolitikan nasional di
setiap era/ masa bangsa ini:
1. Era Kerajaan-Kerajaan Islam Berjaya
Pengaruh Islam terhadap perpolitikan nasional punya akar sejarah yang cukup
panjang. Jauh sebelum penjajah kolonial bercokol di tanah air, sudah berdiri
beberapa kerajaan Islam besar. Kejayaan kerajaan Islam di tanah air berlangsung
antara abad ke-13 hingga abad ke-16 Masehi.
2. Era Kolonial dan Kemerdekaan (Orde Lama)
Peranan Islam dan umatnya tidak dapat dilepaskan terhadap pembangunan politik
di Indonesia baik pada masa kolonial maupun masa kemerdekaan. Pada masa
kolonial Islam harus berperang menghadapi ideologi kolonialisme sedangkan pada
masa kemerdekaan Islam harus berhadapan dengan ideologi tertentu macam
komunisme dengan segala intriknya.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sejarah secara tegas menyatakan kalau
pemimpin-pemimpin Islam punya andil besar terhadap perumusan NKRI. Baik itu
mulai dari penanaman nilai-nilai nasionalisme hingga perumusan Undang-Undang
Dasar Negara.
Para pemimpin Islam terutama dari Serikat Islam pernah mengusulkan agar
Indonesia berdiri di atas Daulah Islamiyah yang tertuang di dalam Piagam Jakarta.
Namun, format tersebut hanya bertahan selama 57 hari karena adanya protes dari
kaum umat beragama lainnya. Kemudian, pada tanggal 18 Agustus 1945,
Indonesia menetapkan Pancasila sebagai filosofis negara.

3. Era Orde Baru


Pemerintahan masa orde baru menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas di
dalam negara. Ideologi politik lainnya dipasung dan tidak boleh ditampilkan,
termasuk ideologi politik Islam. Hal ini menyebabkan terjadinya kondisi
depolitisasi politik di dalam perpolitikan Islam. 
Politik Islam terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama di sebut kaum
skripturalis yang hidup dalam suasana depolitisasi dan konflik dengan pemerintah.
Kelompok kedua adalah kaum subtansialis yang mendukung pemerintahan dan
menginginkan agar Islam tidak terjun ke dunia politik.
4. Era Reformasi
Bulan Mei 1997 merupakan awal dari era reformasi. Saat itu rakyat Indonesia
bersatu untuk menumbangkan rezim tirani Soeharto. Perjuangan reformasi tidak
lepas dari peran para pemimpin Islam pada saat itu. Beberapa pemimpin Islam
yang turut mendukung reformasi adalah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur),
ketua Nahdatul Ulama. 
Muncul juga nama Nurcholis Majid (Cak Nur), cendikiawan yang lahir dari
kalangan santri. Juga muncul Amin Rais dari kalangan Muhamadiyah. Bertahun-
tahun reformasi bergulir, kiprah umat Islam dalam panggung politik pun semakin
diperhitungkan.
Umat Islam mulai kembali memunculkan dirinya tanpa malu dan takut lagi
menggunakan label Islam. Perpolitikan Islam selama reformasi juga berhasil
menjadikan Pancasila bukan lagi sebagai satu-satunya asas. Partai-partai politik
juga boleh menggunakan asas Islam. 
Kemudian bermunculanlah berbagai partai politik dengan asas dan label Islam.
Partai-partai politik yang berasaskan Islam, antara lain PKB, PKU, PNU, PBR,
PKS, PKNU, dan lain-lain.
Dalam kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan sekarang, sudah waktunya
umat Islam untuk terjun dalam perjuangan politik yang lebih serius. Umat islam
tidak boleh lagi bermain di wilayah pinggiran sejarah. Umat Islam harus
menyiapkan diri untuk memunculkan pemimpin-pemimpin yang handal, cerdas,
berahklak mulia, profesional, dan punya integritas diri yang tangguh.
Umat Islam di Indonesia diharapkan tidak lagi termarginalisasi dalam panggung
politik. Politik Islam harus mampu merepresentasikan idealismenya sebagai
rahmatan lil alamin dan dapat memberikan kontribusi yang besar bagi bangsa ini.

Anda mungkin juga menyukai