( TANIN )
Dosen Pengampu:
Galih Samodra, M.Farm., Apt.
Kelompok 12:
Dian Apit Febriani (180105022)
Julia Pungki Astuti Firi (180105047)
Rizky Natasya Aurellia (180105090)
Penyusun
i
Daftar Isi
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi ................................................................................................................. 3
2.2 Letak Tanin Pada Tanaman .................................................................................. 4
2.3 Klasifikasi Tanin .................................................................................................. 4
2.4 Sifat Tanin ............................................................................................................ 9
2.5 Biosintesis Tanin .................................................................................................. 10
2.6 Identifikasi Senyawa Tanin .................................................................................. 11
2.7 Uji Fitokimia Senyawa Tanin ............................................................................... 13
2.8 Isolasi Tanin ......................................................................................................... 13
2.9 Kegunaan Tanin .................................................................................................... 14
2.10 Review Jurnal ....................................................................................................... 14
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan............................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 20
LAMPIRAN
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang telah dikenal merupakan
salah satu Negara yang mempunyai keanekaragaman hayati tinggi. Keberadaan
hutan yang luas dan iklim tropis yang mendukung menjadi salah satu pemicu
tumbuhnya berbagai macam flora di Indonesia. Dari sekian banyak flora yang
tumbuh di Indonesia tersebut, ribuan diantaranya telah dikenal oleh masyarakat
Indonesia berkhasiat sebagai obat dan digunakan untuk mengobati banyak
penyakit.
Sejak lebih dari puluhan tahun yang lalu, masyarakat dunia, tidak saja di
negaranegara Timur melainkan juga di negaranegara Barat, mulai menoleh
kembali dan tertarik untuk menggunakan obat-obat alam, yang kita kenal sebagai
gerakan Kembali ke Alam atau Back to Nature. Adanya ketertarikan terhadap pola
hidup Kembali ke Alam ini salah satunya disebabkan oleh keyakinan bahwa
mengkonsumsi obat alami relatif lebih aman dibanding dengan obat sintetik yang
memiliki banyak efek samping negatif.
Namun sayangnya, karena bahan baku yang sulit didapatkan atau peralatan
yang digunakan untuk mengolah, saat ini harga obat tradisional di pasaran tidak
bisa dikatakan murah atau bahkan beberapa bisa dapat lebih mahal dari obat
sintetik. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah memberdayakan
masyarakat agar dapat mengolah obat tradisional alaminya secara mandiri, mulai
menanam tumbuhan obatnya sampai mengolahnya menjadi ramuan obat siap
pakai dalam bentuk sederhana. Ramuan obat yang diolah segar tentu saja
memiliki khasiat lebih baik dibandingkan dengan yang sudah disimpan lama
(Sinaga, 2009).
Dalam metabolisme sekunder yang terjadi pada tumbuhan akan
menghasilkan beberapa senyawa yang tidak digunakan sebagai cadangan energi
melainkan untuk menunjang kelangsungan hidupnya seperti untuk pertahanan dari
predator. Beberapa senyawa seperti alkaloid, triterpen dan golongan phenol
merupakan senyawa-senyawa yang dihasilkan dari metabolisme sekunder.
Golongan fenol dicirikan oleh adanya cincin aromatik dengan satu atau dua gugus
1
hidroksil. Kelompok fenol terdiri dari ribuan senyawa, meliputi flavonoid,
fenilpropanoid, asam fenolat, antosianin, pigmen kuinon, melanin, lignin, dan
tanin, yang tersebar luas di berbagai jenis tumbuhan.
1.3 Tujuan
2.1 Mengetahui Definisi dari Tanin
2.2 Mengetahui Letak Tanin Pada Tanaman
2.3 Mengetahui Klasifikasi Tanin
2.4 Mengetahui Sifat Tanin
2.5 Mengetahui Biosintesis Tanin
2.6 Mengetahui Identifikasi Senyawa Tanin
2.7 Mengetahui Uji Fitokimia Senyawa Tanin
2.8 Mengetahui Solasi Tanin
2.9 Mengetahui Kegunaan Tanin
2.10 Mengetahui Review Jurnal Tanin
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Gambar A. Struktur Inti Senyawa Tanin (Robinson, 1995)
4
Berdasarkan strukturnya, tanin dibedakan menjadi dua kelas yaitu tanin
terkondensasi (condensed tannins) dan tanin-terhidrolisiskan
(hydrolysabletannins) (Harbone, 1996).
1. Tanin Terkondensasi
Tanin terkondensasi terjadi karena reaksi polimerisasi (kondensasi) antar
flavonoid, sedangkan tanin terhidrolisis terbentuk dari reaksi esterifikasi asam
fenolat dan gula (glukosa) (Heinrich, Barnes, Gibbons dan Williamson, 2004).
Tanin terkondensasi atau flavolan secara biosintesis terbentuk dengan cara
kondensasi katekin tunggal yang membentuk senyawa dimer dan oligomer yang
lebih tinggi. Nama lain tanin terkondensasi adalah proantosianidin karena bila
direaksikan dengan asam dan dipanaskan, beberapa ikatan karbon-karbon
penghubung satuan terputus dan menghasilkan monomer antosianidin.
Proantosianidin banyak dalam bentuk prosianidin dan bila direaksikan dengan
asam akan menghasilkan sianidin. Pada tanin terkondensasi, tanaman dapat
diekstraksi dengan metanol 50-80%. Tanin dapat dideteksi dengan sinar UV
pendek berupa bercak lembayung yang bereaksi positif dengan setiap pereaksi
fenol baku (Harborne, 1987).
Tanin terkondensasi merupakan senyawa tidak berwarna yang terdapat pada
seluruh dunia tumbuhan tetapi terutama pada tumbuhan berkayu. Tanin
terkondensasi telah banyak ditemukan dalam tumbuhan paku-pakuan. Nama lain
dari tanin ini adalah Proanthocyanidin. Proanthocyanidin merupakan polimer dari
5
flavonoid yang dihubungan dengan melalui C8dengan C4. Salah satu contohnya
adalah Sorghum procyanidin, senyawa ini merupakan trimer yang tersusun dari
epiccatechin dan catechin (Harbone, 1996).
2. Tanin terhidrolisis
Tanin terhidrolisis merupakan ikatan ester antara suatu monosakarida,
terutama D-glukosa di mana gugus hidroksilnya (seluruh atau sebagian) terikat
dengan asam galat, digalat, trigalat dan asam heksahidroksidifenat. Tanin
terhidrolisis biasanya berupa senyawa amorf, higroskopis dan berwarna coklat
kuning yang larut dalam air. Tanin terhidrolisis dapat diekstraksi dengan air panas
atau campuran etanol-air (Robinson, 1995). Asam tanat sebagai salah satu contoh
tanin terhidrolisis (Harborne, 1987). Asam tanat merupakan polimer asam galat
dan glukosa. Asam tanat berupa serbuk amorf, berkilau, berwarna kuning putih
sampai cokelat terang dan berbau khas. Asam tanat berkhasiat untuk mengobati
diare. Selain itu, asam tanat memiliki efek antibakteri, antienzimatik, antioksidan
dan antimutagen (Anonim, 2009)
6
Gambar B.2 Struktur Tanin Terhidrolisis (Dennis et al., 2005)
Tanin terhidrolisis merupakan turunan dari asam galat (asam 3,4,5-
trihidroksil benzoat). Tanin terhidrolisis dapat dibagi dalam dua kelas besar yaitu
gallotanin dan ellagitanin (Hagerman, dkk., 1992).
a. Gallotanin
Gallotanin terbentuk dari asam gallat dan gula, terikat bersama pada gugus
ester yang terbentuk antara gugus karboksil molekul satu dan gugus hidroksi pada
molekul lain (Luchner, 1984 dalam skripsi Nuraini, 2002). Gallotanin bila
dihidrolisis akan menghasilkan asam gallat. Struktur gallotanin merupakan
pentagaloil glukosa yang memiliki lima ikatan ester yang mengandung gugus
alifatik hidroksi dengan glukosa sebagai inti. Gallotanin merupakan ester dari
asam galat (asam karboksilat). asam galat memiliki tiga gugus hidroksi dengan
posisi 3,4,5 pada atom C benzen. Semakin banyak gugus hidroksi maka semakin
tinggi sifat kepolarannya yang disebabkan oleh adanya ikata hidrogen
intramolekul (Manitto, 1981). Berat molekul galitanin 1000-1500 (Harbone,
1996).
7
b. Ellagitanin
Ellagitanin sederhana disebut juga ester asam hexahydroxydiphenic
(HHDP). HDDP secara spontan terdehidrasi membentuk lakton menjadi asam
elagat (Hagerman, dkk., 1992). Senyawa ini dapat terpecah menjadi asam galic
jika dilarutkan dalam air. Asam elagat merupakan hasil sekunder yang terbentuk
pada hidrolisis beberapa tanin yang sesungguhnya merupakan ester asam
heksaoksidifenat. Berat molekul Ellaggitanin 1000-3000 (Harbone, 1996).
Tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi memiliki khasiat sebagai
astringen, antiinflamatori, antimikrobial, antidiare dan antioksidan. Selain itu,
terkondensasi juga memiliki khasiat yang lain yaitu hipokolesterolemik (Mills dan
Bone, 2000).
Menurut Xuepin (2003), tanin terhidrolisis lebih bersifat toksik
dibandingkan dengan tanin terkondensasi karena pembentuk tanin terhidrolisis
mudah dihidrolisis menjadi asam galat. Asam galat tersebut dapat membentuk
kelat dengan ion logam. Pembentukan kelat ini menyebabkan hilangnya ion
logam dari dalam tubuh di mana ion logam tersebut dibutuhkan terutama untuk
proses pembentukan energi. Salah satu ion logam yang sangat dibutuhkan oleh
tubuh adalah zat besi (Fe). Sebagian besar Fe disimpan dalam hati, limpa, dan
sumsum tulang. Fe berperan dalam pembentukan sel darah merah. Bila cadangan
besi tidak mencukupi dan berlangsung terus menerus maka pembentukan sel
darah merah berkurang dan selanjutnya menurunkan aktivitas tubuh sehingga
mudah lelah (Arifin, 2008).
Menurut Clinton (2009), tanin terhidrolisis dapat menghambat penyerapan
zat besi sehingga menyebabkan anemia. Penghambatan ini terjadi melalui
pembentukan kelat dengan besi sehingga mengurangi bioavailabilitasnya dalam
gastrointestinal. Tanin mempunyai kemampuan mengendapkan protein, karena
tanin mengandung sejumlah kelompok fungsional ikatan yang kuat dengan
molekul protein dan menghasilkan ikatan silang yang besar dan kompleks yaitu
protein-tannin. Terdapat tiga mekanisme reaksi antara tanin dengan protein
sehingga terjadi ikatan yang cukup kuat antara keduanya yaitu ikatan hidrogen,
ikatan ion dan ikatan cabang kovalen antara protein dengan tanin (Widodo, 2005).
8
Uji untuk membedakan tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi dapat
menggunakan kromatografi lapis tipis. Bercak dapat ditunjukkan dengan memakai
uap amonia dan dilihat dengan sinar UV atau dengan penyemprotan memakai besi
(III) klorida (Robinson, 1995). Penyemprotan dengan besi (III) klorida pada tanin
terhidrolisis menampakkan bercak berwarna biru kehitaman dan pada tanin
terkodensasi menampakkan bercak berwarna hijau kecokelatan (Bruneton, 1999).
9
d. Warna tanin akan menjadi gelap apabila terkena cahaya langsung atau
dibiarkan di udara terbuka.
e. Tanin mempunyai sifat atau daya bakterostatik, fungistatik dan
merupakan racun.
10
(C76H52O46), ditemukan dalam daun dan kulit berbagai jenis tumbuhan
(Harbone, 1996).
11
pelarut A : MeOH / H3PO4 999 : 1, pelarut B : H2O / H3PO4 999 : 1. Volume
injeksi adalah 20 µl . Program elusi dilakukan pada aliran konstan 1 ml/menit,
pada suhu 20 °C, lewat dari 70 % dari B (selama 5 menit) sampai 10 % dari B di
40 menit, dan kemudian naik ke 70 % dari B dalam 10 menit selama 5 menit.
Deteksi adalah dengan spektrofotometri variabel-panjang gelombang (Waters TM
486 MS) pada 280 nm. Output yang digunkan adalah injeksi electrospray (ESI)
yang digabungkan ke alat LC (Vivas, dkk., 2004).
Berikut adalah identifikasi tannin berdasarkan waktu retensi (Chapmen
dkk., 2008):
N tR Struktur LC-MS MS/MS
O (m/z)
7,4 ; 8,0 Hexahydroxydiphenoyl‐ 421 ; 301
1 glucose 481
12
Protoantosianidin dapat dideteksi langsung dalam jaringan tumbuhan hijau
dengan mencelupkan sampel kedalam HCl 2M mendidih selama setengah jam.
Bila terbentuk warna merah yang dapat diekstraksi dengan amil atau butil alkohol
maka ini merupakan bukti adanya senyawa tersebut (Harborne, 1987). Tanin
terhidrolisis dan terkondensasi menunjukkan reaksi yang berbeda dalam larutan
garam Fe (III), tanin terkondensasi meghasilkan warna hijau kehitaman sedangkan
tanin terhidrolisis menghasilkan warna biru kehitaman (Widowati, 2006).
13
1. Sebagai pelindung pada tumbuhan pada saat masa pertumbuhan bagian
tertentu pada tanaman, misalnya buah yang belum matang, pada saat matang
taninnya hilang.
2. Sebagai anti hama bagi tanaman sehingga mencegah serangga dan fungi.
3. Digunakan dalam proses metabolisme pada bagian tertentu tanaman.
4. Efek terapinya sebagai adstrigensia pada jaringan hidup misalnya pada
gastrointestinal dan pada kulit.
5. Efek terapi yang lain sebagai anti septic pada jaringan luka, misalnya luka
bakar, dengan cara mengendapkan protein.
6. Sebagai pengawet dan penyamak kulit.
7. Reagensia di Laboratorium untuk deteksi gelatin, protein dan alkaloid.
8. Sebagai antidotum (keracunan alkaloid) dengan cara mengeluarkan asam
tamak yang tidak larut.
14
laboratorium. Alat untuk identifikasi berupa spektrofotometer
UV-Vis dan Spektrofotometer FTIR (Fourier Transform Infra
Red).
B. Sampel
Kulit batang kelapa gading (Cocos nucifera var.eburnea) yang
diambil dari Desa Babakan Kecamatan Ciamis Kabupaten
Ciamis yang dideterminasi di Herbarium Sekolah Ilmu dan
Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung.
C. Bahan Kimia
Aseton, akuades, kloroform, etil asetat, gelatin, formaldehid
3%, natrium asetat, HCl pekat, FeCl3 1%, FeCl3 5%, toluen,
feri sulfat, asam asetat glasial, asam asetat, n-butanol,
metanol, NaOH 2M, AlCl3 5%, AlCl3 1%, pelet KBr.
Metode Isolasi senyawa dengan KLT
Pada pemisahan dengan KLT analitik, sebanyak 1 gram
ekstrak hasil freeze drying dilarutkan dengan aseton– air
(7:3), kemudian ditotolkan pada pelat KLT silika gel G 60
F254 dengan menggunakan mikrokapiler lebih kurang 1 cm
dari tepi bawah pelat KLT, kemudian dibiarkan kering. Pelat
KLT kemudian ditempatkan pada bejana kromatografi yang
berisi eluen. Eluen yang digunakan yaitu n-butanol : asam
asetat : air dengan perbandingan 4:1:5. Setelah dielusi sampai
garis batas pelat KLT dikeluarkan dari bejana dan
dikeringkan, bercak diamati dengan sinar ultraviolet pada
panjang gelombang 254 nm dan 366 nm serta penampak
bercak FeCl3 1%. Jarak bercak dari titik penotolan diukur dan
dicatat sehingga dihasilkan harga Rf untuk setiap bercak.
menggunakan KLT preparatif dengan ukuran pelat silika gel
GF 254 10x20 cm. Bercak yang diduga tanin dikerok dan
dilarutkan dalam aseton : air (7:3 kemudian disentrifus. Isolat
berupa supernatan kemudian dipekatkan.
Identifikasi senyawa
15
Identifikasi senyawa tanin dilakukan dengan menggunakan
Spektrofotometer UV-Vis dan FTIR. Isolat yang dihasilkan
dari KLT. Isolat dimasukan ke dalam kuvet sebanyak 2 ml
kemudian diamati spektrumnya pada panjang gelombang 200-
800 nm. Identifikasi dilanjutkan dengan penambahan pereaksi
geser NaOH 2M, AlCl3 5%, AlCl3/HCl, NaOAc/H3BO3.
Kemudian diamati pergeseran puncak serapannya.
Identifikasi dilanjutkan dengan Spektrofotometer FTIR untuk
mengetahui gugus fungsi yang ada dalam isolat. Isolat yang
telah dikeringkan ditambah 0,2 g pelet KBr, kemudian
diidentifikasi dengan spektrofotometer FTIR pada bilangan
gelombang 4000-400 cm-1 .
Hasil Isolasi senyawa dengan KLT
pemisahan dengan eluen yang terdiri dari beberapa larutan
menghasilkan tiga bercak dengan nilai Rf 0,51; 0,67; 0,78.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada isolasi
tanin dari ekstrak daun belimbing wuluh menggunakan eluen
yang sama diperoleh nilai Rf tanin sebesar 0,61 (Sa’adah,
2010). Oleh karena itu diduga bahwa bercak yang memiliki
nilai Rf 0,67 adalah senyawa tanin karena mempunyai nilai
Rf yang hampir sama dengan nilai Rf tanin yang diisolasi dari
daun belimbing wuluh.
Identifikasi Senyawa
spektrofotometer UV-Vis dan FTIR. Hasil identifikasi
menggunakan spektrofotometer UV-Vis diketahui bahwa
isolat memberikan serapan maksimum pada panjang
gelombang 333 nm. Nilai panjang gelombang ini mendekati
panjang gelombang tanin yang telah diisolasi dari daun
belimbing wuluh yaitu sebesar 331 nm (Sa’adah, 2010).
Dugaan bahwa isolat merupakan senyawa tanin juga
diperkuat dengan hasil pergeseran panjang gelombang pada
saat ditambahkan pereaksi geser. Hasil analisis dengan
16
seluruh pereaksi geser memberikan data yang saling
menguatkan bahwa isolat tersubstitusi OH pada posisi orto di
cincin A.
Identifikasi dengan spektrofotometer FTIR dilakukan untuk
mengetahui gugus fungsi yang terdapat dalam isolat. Hasil
dari identifikasi terhadap isolat menggunakan
spektrofotometer FTIR didapat beberapa spektrum bilangan
gelombang yang identik dengan spektrum bilangan
gelombang yang dimiliki tanin.
bilangan gelombang isolat yang identik dengan bilangan
gelombang tanin diantaranya yaitu pada bilangan gelombang
3424,96 cm-1 yang menyatakan adanya rentang asimetri OH,
bilangan gelombang 2923,56 cm-1 yang menyatakan adanya
rentang CH sp3 , bilangan gelombang 1635,34 cm-1 yang
menyatakan rentang cincin aromatik, bilangan gelombang
1130,08 cm-1 yang menyatakan adanya gugus CO alkohol
sekunder dan bilangan gelombang 759,816 cm-1 yang
menyatakan adanya cincin aromatik yang tersubstitusi pada
posisi orto. Puncak-puncak spesifik tersebut merupakan
puncak spesifik dari senyawa tanin, sehingga memperkuat
dugaan bahwa isolat hasil pemisahan dengan KLT preparatif
adalah senyawa tanin.
Kesimpulan disimpulkan bahwa tanin dari ekstrak air kulit batang kelapa
(Cocos nucifera var. eburnea) dapat diisolasi dengan metode
kromatografi lapis tipis menggunakan eluen n-butanol : asam
asetat : air (BAA) dengan perbandingan (4:5:1). Bercak yang
diduga tanin mempunyai nilai Rf 0,67. Berdasarkan hasil
identifikasi dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis
dapat disimpulkan bahwa isolat memiliki serapan maksimum
pada panjang gelombang 333 nm. Dengan penambahan
pereaksi geser menguatkan dugaan bahwa isolat yang
diperoleh adalah tanin yang tersubstitusi OH pada posisi orto
17
di cincin A. Sedangkan hasil identifikasi terhadap isolat
menggunakan spektrofotometer FTIR didapat spektrum yang
spesifik untuk senyawa tanin yaitu pada bilangan gelombang
3424,96 cm-1 ; 2923,56 cm-1 ; 1635,34 cm-1 ; 1130,08 cm-1,
759,816 cm-1.
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tanin adalah senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada beberapa
tanaman. Tanin mampu mengikat protein, sehingga protein pada tanaman dapat
resisten terhadap degradasi oleh enzim protease di dalam silo ataupun rumen. Di
alam, tanin banyak terdapat dalam bermacam-macam tumbuhan seperti pada
pohon bakau, pinus, teh, gambir, dan lain-lain. Bagian tumbuhan yang banyak
mengandung tanin adalah kulit kayu, daun, akar, dan buahnya. Tannin ini
terutama ditemukan secara alami terjadi pada buah anggur, daun teh, dan ek.
Tannin ditemukan dalam kulit, biji, dan batang anggur. Tanin pada tanaman
diklasifikasikan sebagai tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin
terhidrolisis merupakan jenis tanin yang mempunyai struktur poliester yang
mudah dihidrolisis oleh asam atau enzim, dan sebagai hasil hidrolisisnya adalah
suatu asam polifenolat dan gula sederhana. Golongan tanin ini dapat dihidrolisis
dengan asam, mineral panas dan enzim-enzim saluran pencernaan. Sedangkan
tanin terkondensasi, yang sering disebut proantosianidin, merupakan polimer dari
katekin dan epikatekin. Sifat utama tanin pada tumbuh-tumbuhan tergantung pada
gugusan fenolik -OH yang terkandung dalam tanin. Biosintesa dari Tanin secara
umum yaitu melalui biosintesa asam galat dengan precursor senyawa fenol
propanoid. Uji tanin yang paling dikenal adalah pengendapan gelatinnya. Larutan
tanin ditambahkan ke dalam larutan gelatin 0,5% yang volumenya sama. Semua
tanin menimbulkan endapan sedikit atau banyak. Kegunaan Tanin diantaranya
Sebagai pelindung pada tumbuhan pada saat masa pertumbuhan bagian tertentu
pada tanaman, misalnya buah yang belum matang, pada saat matang taninnya
hilang, sebagai anti hama bagi tanaman sehingga mencegah serangga dan fungi,
digunakan dalam proses metabolisme pada bagian tertentu tanaman, efek
terapinya sebagai adstrigensia pada jaringan hidup misalnya pada gastrointestinal
dan pada kulit.
19
Daftar Pustaka
20
Mills S., Bone K. 2000. Principles and Practice of Phytotherapy Modern Herbal
Medicine. Jakarta : Materia Medica. p 394-401.
Oliveira C, Bernardo RT, Capelozza ALA. Mandibular condyle morphology on
panoramic radiographs of asymptomatic temporomandibular joints. Int J
Dent 2009; 8 (3): 114-8.
Robinson, T. 1995. Kandungan SenyawaOrganik Tumbuhan Tinggi.
Diterjemahkan oleh Prof. Dr. Kosasih Padmawinata. Penerbit: ITB.
Bandung.
Setyawan, E.I. 2005. Isolasi Dan Identifikasi Senyawa Tanin Daun Salam.
Skripsi. Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma
Soebagio, B. 2007. Pembuatan Gel dengan Aqupec HV-505 dari Ekstrak Umbi
Bawang Merah (Allium cepa, L.) sebagai Antioksidan. Jurnal Fakultas
Farmasi Universitas Padjajaran.
Sudjadi, 1986, Metode Pemisahan, 167 – 177, Fakultas Farmasi, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Vivas, N., Nonier, M., Gaulejac, N., Absalon, C. 2004. Differentiation of
Proanthocyanidin tannins from seeds, skins and stems of grapes (Vitis
vinifera) and heartwood of Quebracho (Schinopsis balansae) by matrix-
assisted laser desorption/ionization time-of-flight mass spectrometry and
thioacodolysis/liquid chromatography/electrospray ionization mass
spectrometry. Journal Analytica Chimica Acta 513 (2004) 247-256.
Widowati, E. 2006.Pengaruh Lama Perendaman Dengan Larutan Kapur Tohor
Ca(OH)2 Pada Kulit Buah Manggis Terhadap Kualitas Kembang Gula
Jelly. (Skripsi). Universitas Negeri Semarang.
21