Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH FARMAKOGNOSI

ETNOFARMASI BALI

Dosen Pengampu : Galih Samodra, M.Farm., Apt.

Disusun Oleh :
1. Imroatun Nafingah (180105041)
2. Indah Nurlisa (180105042)
3. Julia Pungki Astuti Firi (180105047)
4. Kharina Mustika Atsari (180105048)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA PURWOKERTO
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga Makalah ini kami
harapkan bisa menjadi refrensi bagi mahasiswa lain untuk belajar tentang
“Etnofarmasi Bali”.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata mata kuliah
‘’Farmakognosi’’ yang telah membimbing kami dalam menulis makalah ini.

Purwokerto, 07 Oktober 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang....................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 3
2.1 Pengertian Etnofarmasi......................................................................................... 3
2.2 Konsep Sakit Masyrakat Etnik Bali ..................................................................... 4
2.3 Balian..................................................................................................................... 9
2.4 Metode Pengobatan Balian.................................................................................... 10
2.5 Etnofarmsi Masyarakat Etnik Bali........................................................................ 19
BAB III PENUTUP........................................................................................................... 24
3.1 Kesimpulan............................................................................................................ 24
3.2 Saran...................................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 25
LAMPIRAN

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sistem perawatan kesehatan dapat dipandang sebagai sistem kebudayaan karena
merupakan suatu kesatuan hirarkis yang tidak bisa dipisahkan, yang menyangkut
tentang proses dan mekanisme pengambilan keputusan dalam pemilihan sektor-sektor
pelayanan kesehatan yang tersedia untuk menanggulangi berbagai penyakit. Menurut
Kleinman (1980) masyarakat secara umum mengenal adanya tiga sektor pelayanan
kesehatan yaitu : sektor rumah tangga atau home remedies, sektor kedukunan atau
folk medical system, dan sektor profesional dan kosmopolitan atau professional and
cosmopolite medical system. Ketiga sektor tersebut akan dijadikan sebagai alternatif
pilihan bagi masyarakat ketika mengalami sakit. Secara komprehensif dapat
dikatakan bahwa setiap masyarakat memiliki sistem kesehatannya sendiri. Begitu
juga di Indonesia dengan berbagai suku bangsa yang ada tentu saja memiliki berbagai
pendekatan yang berbeda terhadap penyakit pada masingmasing budaya. Suku Bali
merupakan salah satu dari ratusan suku bangsa yang ada di Indonesia yang secara
turun-temurun mengembangkan suatu sistem kesehatan tradisional yang disebut
dengan pengobatan usada, dengan praktisinya yang disebut balian (Sukarma, 2013).
Secara etimologi kata usada berasal dari kata ausadhi yang berarti tumbuh-
tumbuhan yang berkhasiat obat, atau dibuat dari tumbuh-tumbuhan (Nala, 1993).
Usada adalah semua tata cara untuk menyembuhkan penyakit, cara pengobatan atau
kuratif, pencegahan atau pereventif, memprakirakan jenis penyakit atau diagnosis,
perjalanan penyakit atau prognosis, maupun pemulihannya, termasuk pula pengobat
atau balian, dan tata cara untuk membuat penyakit, menyebabkan orang lain sakit
(Nala, 2006).
Usada adalah ilmu pengobatan tradisional Bali yang sumber ajarannya berasal
dari lontar-lontar. Lontar-lontar yang menyangkut sistem pengobatan di Bali dapat
dibagi menjadi dua, yaitu lontar tutur atau tattwa yang berisi tentang ajaran gaib atau
wijaksara dan lontar usada yang berisi tentang ajaran pengobatan, jenis penyakit dan
tumbuhan yang digunakan (Nala, 1993). Di dalam lontar usada terdapat naskah yang

1
memuat bahan obatobatan yang berasal dari tumbuhan yaitu Lontar Usada Taru
Pramana. Taru Pramana memiliki arti: pramana yang berarti tumbuhan, dan taru yang
berarti khasiat, dengan kata lain taru pramana memiliki arti tumbuhan yang
berkhasiat (Suryadarma, 2005).

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana pengertian pengertian etnofarmasi ?
2. Bagaimana konsep sakit masyarakat etnik bali ?
3. Bagaimana jenis-jenis balian ?
4. Bagaimana metode pengobatan balian ?
5. Bagaimana Etnofarmasi masyarakat etnik bali ?
1.3. Tujuan
1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pengertian etnofarmasi
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan konsep sakit masyarakat
etnik bali
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan jenis-jenis balian
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelasakan metode pengobatan balian
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan etnofarmasi masyarakat etnik
bali

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Etnofarmasi
Etnofarmasi adalah kajian ilmu interdisipliner mengenai aspek-aspek farmasi
yang terdapat pada suatu komunitas etnis masyarakat pada suatu daerah tertentu.
Etnofarmasi melibatkan kajian pengenalan, pengelompokan, dan pengetahuan
darimana obat tersebut dihasilkan (etnobiologi), preparasi sediaan obat
(etnofarmasetik), aplikasi sediaan obat (etnofarmakologi), dan aspek sosial dari
penggunaan pengetahuan perobatan dalam etnis tersebut (etnomedisin). Dalam
penelitian etnofarmasi, yang menjadi objek utama penelitian adalah sebuah
komunitas yang terisolasi untuk menemukan kembali resep tradisional komunitas
tersebut dan mencoba melakukan evaluasi secara biologis maupun kultural (Pieroni et
al., 2002).
Menurut Moektiwardoyo (2014) etnofarmasi adalah bagian dari ilmu farmasi
yang mempelajari penggunaan obat dan cara pengobatan yang dilakukan oleh etnik
dan suku bangsa tertentu. Etnofarmasi merupakan bagian dari ilmu pengobatan
masyarakat tradisional yang seringkali terbukti secara empiris dan setelah melalui
pembuktian-pembuktian ilmiah dapat ditemukan atau dikembangkan senyawa obat
baru (Moektiwardoyo, 2014).
Genre obat-obatan dalam naskah Nusantara sangat penting untuk menjaga
kesehatan tubuh, baik fisik maupun psikis. Jenis naskah ini dimiliki oleh banyak suku
di Indonesia, seperti Jawa, Sunda, Sasak, Melayu, Bugis, Makassar, Batak, dan Bali.
Beberapa suku tersebut masih merawat kekayaan pengetahuan pengobatannya dan
tradisi ini masih hidup hingga saat ini. Pada beberapa suku tradisi perobatannya ini
sudah hampir punah dan tergerus oleh ilmu farmasi dan kedokteran modern. Di
antara berbagai suku tersebut, tradisi perobatan yang masih hidup dan tetap aktif
dalam sistem perobatan tradisional saat ini adalah masyarakat Bali yang disebut
dengan usada. Tradisi usada di daerah itu masih hidup, bahkan hampir tiap pedanda
memiliki lontar usada (Mu’jizah, 2016).

3
Salah satu bukti bahwa perawatan tradisi perobatan berlanjut hingga kini, di
antaranya dengan banyaknya pedanda yang masih aktif mengobati masyarakat dan
banyaknya koleksi naskah yang dimiliki para pedanda. Naskah usada yang ditulis di
atas lontar di Bali sangat besar jumlahnya. Lontar itu dianggap suci termasuk
aksaranya. Oleh sebab itu, pada saat membaca atau membuka lontar usada ini,
masyarakat Bali yang menjadi pemiliknya selalu mengadakan upacara. Upacara
disertai dengan berbagai doa dan perangkat upacara. Lontar usada ini banyak
disimpan masyarakat yang di antaranya oleh para pedanda dan banyak lembaga.
Lembaga pemilik lontar ini termasuk lembaga adat. Usada adalah istilah untuk sistem
perobatan masyarakat Bali yang ditulis di atas lontar dengan bahasa dan aksara Bali
(Mu’jizah, 2016).

2.2. Konsep sakit masyarakat etnik bali


Konsep-konsep tentang sakit dan terjadinya penyakit di masyarakat etnik bali
diperoleh dari bebeapa sumber, yaitu: (Moelyono, 2014).
a. Tertulis dalam beberapa lontar maupun tercatat dalam usadha
b. cerita-cerita tidak tertulis tetapi disampaikan turun temurun dari generasi
berikutnya secara verbal, berupa mitos, legenda, dan dongeng rakkyat.
c. Hal-hal lain yang berhubungan dengan terjadinya penyakit, seperti larangan-
larangan (tabu), aturan-aturan tertentu, seperti misalnya aturan mendirikan rumah,
dan kepercayaan-kepercayaan
d. Kitab susruta shamhita dan charaka shamhita yang merupakan kitab acuan
dalam perihal konsep sehat dan sakit. Kedua kitab ini bersumber pada kitab
ayurveda dari upadeva.
(Moelyono, 2014).
Menurut pengetahuan usadha etnik bali, sifat penyakit terdiri atas penyakit
yang bersifat panes (panas), nyem (dingin), sebaa (panas dingin), tis (sejuk), dan
dumelada (sedang). Pengobatan penyakit-penyakit tersebut merupakan wewenang
trimurti, yaitu batara brahma yang menguasi panas (api), batara wisnu yang
menguasai air, dan batara iswara yang menguasai udara. Lontar usadha adalah

4
tulisan dalam daun lontar yang menjelaskan sebab terjadinya penyakit, misalnya
lontar sapuleger. Contoh lontar lain adalah lontar gita kawarasan yang mengatur
hari kelahiran dan pantangan makan, misalnya seseorang yang lahir di hari tertentu
tidak boleh makan makanan tertentu pula. Bila pantangan ini dilanggar, badan atau
jiwa menjadi sakit (Moelyono, 2014)

(Gambar 2.1. Lontar Usadha).


Masyarakat etnik bali mempercayai cerita-cerita, misalnya arah gunung atau
kaja adalah asal dari semua hal yang membawa keselamatan, tempat dewa, atau roh
leluhur, sedangkan arah laut atau kelod adalah asal dari segala hal yang membawa
malapetaka, penyakit, roh jahat, hama, dan kematian. Untuk mengatasi hal-hal
tersebut dilakukan upacara-upacara yang membawa unsur kaja, yaitu tarian trans
yang dikenal sebagai tarian sangiang dedari dan sangiang jaran (Moelyono, 2014).
Masyarakat etnik bali juga mengenal larangan-larangan yang selalu diikuti
karena menjadi tabu untuk melanggarnya. Selain itu masyarakat adat etnik bali juga
mempunyai aturan dan kepercayaan yang selalu mereka hormati. Di antara banyak
larangan, ada beberapa yang selalu diikuti, contohnya larangan bagi wanita yang
sedang haid untuk memasuki pura. Larangan itu menjadi berlaku umum untuk semua
wakita, termasuk wanita bukan etnik bali dengan maksud untuk memelihata kesucian
tempat sembahyang. Untuk membuat rumah, masyarakat etnikbali mempunyai
beberapa aturan yang dikenal dengan aturan hasta kosala kosali yang mengatur tata

5
letak, ukuran, dan bahan. Contohnya adalah aturan tata letak dapur dalam suatu
rumah, bila terletak di tenggara mata angin (kelod kauh), letak tersebut akan
menyebabkan boros, diselatan (kelod), menyebabkan selamat, barat daya (kelod
kauh), menyebabkan selamat, barat (kauh) menyebabkan sakit, dan barat laut (kaja
kauh) menyebabkan pengahasilan tidak mencukupi. Dalam kepercayaan bali aga di
beberapa desa, misalnya di desa truyan, masyarakat percaya bahwa penyakit cacar
disebabkan oleh pemberian dewa dalem, sedangkan lepra adalah penyakit karena
kutukan dewa akibat dosa yang dilakukan seseorang (Moelyono, 2014).
Agama hindu bali berakar dari agama hindu yang erasal dari india, oleh
karenanya, konsep kesehatan ayurveda juga dikenal oleh masyarakat etnik bali.
Dalam ayurveda, tubuh manusia mempunyai 3 elemen yang disebut tri-dosha, yang
terdiri atas: (Moelyono, 2014).
1. Vayu
Dalam tubuh manusia, vayu berupa udara, angin, atau bayu (kekuatan, tenaga).
Vayu berkaitan erat dengan sistem pencernaan dan bagian tubuh yang berongga,
seperti kandung kecing, Rahim, dan sebagainya.
2. Pitta
Pita dalam tubuh manusia berupa api, panas , atau sinar. Pitta menggerakan
jantung sehingga darah dapat beredar ke seluruh tubuh. Pitta juga menggerakan
hati dan limpa, serta mengatur metabolisme dalam tubuh manusia.
3. Kapha
Kapha berupa cairan, air , lendir, dan larutan yang ada dalam tubuh manusia.
Kapha erat kaitannya dengan alat-alat tubuh yang mengeluarkan air, sehingga
dikatakan bahwa kapha adalah pengatur kesetimbangan cairan tubuh.
(Moelyono, 2014).
Kesetimbangan ketiga elemen dalam Ayurveda tersebut sangat menentukan
kesehatan tubuh manusia, sehingga bila terjadi gangguan dalam kesetimbangan ketiga
elemen ini, maka manusia akan sakit. Kesetimbangan tri-dosha akan terganggu
apabila ada unsur asing masuk ke dalam tubuh manusia. Unsur asing ini bisa
berwujud (kausa sekala) ataupun tidak berwujud (kausa niskala). Kausa sekala

6
merupakan unsur natural seperti misalnya perubahan suhu, benturan fisik, racun, atau
penyebab lainnya yang nyata dapat dilihat dan dapat dibuktikan keberadannya,
sedangkan kausa niskala merupakan unsur supra natural, makhluk halus, seperti
misalnya desti, hantu, leak, teluh, papasangan, dan lain-lain. Penyakit kausa sekala
(naturalistik), dapat berupa dalem (penyakit dalam), barah (bengkak local), sirah
(sakit kepala), kulit, tuju (reumatik), tiwang (ngilu/kejang), dan upas (gatal)
(Moelyono, 2014).
Penyembuhan penyakit akibat terganggunya kesetimbangan tri-dosha dapat
dilakukan dengan mengembalikan kesetimbangan tri-dosha seperti keadaan semula.
Untuk mengembalikan kesetimbangan tri-dosha yang terganggu, Ayurveda
mengajarkan panca karma, yang terdiri atas ; (Moelyono, 2014).
1. Pengaturan makanan dan minuman, termasuk pantangan makanan, dikenal dalam
ilmu kesehatan modern sebagai diet
2. Pengeluaran urine sebanyak mungkin dengan ramuan obat dan banyak minum air
putih, dikenal sebagai diuresis.
3. Pengeluaran keringat baik dengan ramuan obat maupun dengan cara fisik dan
kerja otot, dikenal sebagai perspirasi.
4. Sauna (mandi uap dengan air panas)
5. Pijat, pemijatan dengan ramuan obat atau tanpa ramuan obat.
(Moelyono, 2014).
Ayurveda mengenal tubuh sebagai gabungan dari tiga unsur utama, yaitu :
(Moelyono, 2014).
1. Raga –stula sarira (badan fisik)
2. Suksma sarira (panca mahabhuta dan indria badan halus)
3. Anantakarana sarira (roh atau atma)
(Moelyono, 2014).
Raga –stula sarira dapat dilihat dengan mata manusia biasa, sedangkan
suksma sarira dan anantakarana sarira hanya dapat dilihat oleh orang superwaskita
(Moelyono, 2014).

7
Seorang manusia menederita sakit karena berbagai sebab yang terjadi pada
stula sarira, suksma sarira, atau anantakaran sarira. Ketiga hal tersebut berkaitan
erat dengan sebab sehat-sakitnya seorang manusia. Seorang manusia disebut sehat
bila ketiga unsur tersebut dalam kesetimbangan. Masyarakat bali yang sudah
mengenal sarana kesehatan modern, walaupun sudah berobat ke dokter tetap juga
berobat ke supranatural, balian, karena beranggapan bahwa kesehatan jiwa berkaitan
erat dengan kultur budaya seseorang (Moelyono, 2014).
Masyarakat etnik bali memandang manusia sebagai mahluk yang utuh, yang
tidak dapat dipisahkan antara fisik dan jiwanya, tetapi manusia dipandang sebagai
mikrokosmos dan makrokosmos. Mikrokosmos dan makrokosmos terdapat dalam
filosofi masyarakat etnik Bali yang disebut Tri Hita Karana, meliputi: (Moelyono,
2014).
1. Sang Hyang Jagat Karana (Super Natural Power)
2. Bhuana Agung (Alam, Makrokosmos)
3. Bhuana Alit (manusia, mikrokosmos)
(Moelyono, 2014).
Dalam filosofi kehidupan masyarakat Hindu, ketiga unsur dalam Tri Hita
Karana tersebut tidak dapat dipisahkan. Ketiga unsur tersebut selalu melekat dalam
satu kesatuan yang melekat pada setiap aspek kehidupan yang harmonis, dinamis ,
dan produktif. Bila terjadi gangguan kesetimbangan unsur-unsur dalam Bhuana Alit
atau gangguan kesetimbangan unsur-unsur dalam Bhuana Alit dan Bhuana Agung
maka akan terjadi keadaan yang disebut sakit. Pengobatan etnik bali memandang
manusia sebagai Bhuana Alit dan alam sebagai bhuana agung. Bhuana alit identic
dengan bhuana agung karena dibentuk dari bahan-bahan yang sama yang disebut
Panca Mahabutha, yang terdiri atas apah (air), teja (cahaya), akasa (ruang), bayu
(udara), dan pertiwi (zat padat). Jika terjadi sakit dalam tubuh manusia, berarti bada
kesetimbangan bhuana alit. Jika tubuh kekuranngan air, terjadi gangguan pada ginjal.
Kekurangan cahaya (teja) dapat menimbulkan sakit tulang dan berbagai penyakit
kulit, maka diperlukan sinar matahari pagi untuk menyembuhkannya. Bila
kekurangan unsur pertiwi yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, dan mineral,

8
terjadi gangguan metabolisme yang diatasi dengan berbagai makanan dari buah-
buahan, dedaunan, dan bahan-bahan alam lainnya. Itulah konsep pengobatan
tradisional etnik Bali, kekurangan yang terjadi dalam bhuana elit dapat diambilkan
dari bhuana agung, sebuah kearifan local etnik Bali dalam menjaga kelestarian alam
(Moelyono, 2014).

2.3. Balian
Balian adalah sosok seorang yang mempunyai kepandaian atau ilmu
mengobati, alam bahasa Indonesia dikenal sebagai dukun. Balian memegang peranan
penting dalam kehidupan masyarakat etnik Bali, bahkan tidak jarang para balian ini
merupakan orang-orang yang sangat berpengaruh dalam lingkungannya masing-
masing. Seorang balian, sejatinya tidak hanya berperan sebatas mengobati orang
sakit, tetapi mengobati manusia secara utuh, menyeluruh. Ketika seorang penderita
atau keluargannya mendatangi seorang balian , dilakukanlah diagnosis menyeluruh
dari hulu hingga hilir, mulai dari lingkungan keluarga (nyama braya) pekarangan ,
lingkungan social, hubungan dengan tetangga (pisaga) hingga hubungan dengan
leluhur mencangkup Batara Hyang Guru, kawitan, Dewa Hyang. Roh orang tua,
leluhur, dan lain-lain (Moelyono, 2014).
Dari sini diagnosis dilanjutkan ke kondisi fisik, mental, hingga jiwa si
penderita. Karena diagnosisnya menyeluruh, maka penyembuhannya juga holistic
,luar dalam, hulu-hilir, tidak merupakan penyembuhan parsial, masyarakat etnik bali
menyebutnya sakala niskala. Untuk tujuan tersebut, balian menggunakan bermacam
sarana, berupa mantra, mudra (tarian tangan mistis), rerajahan (gambar-gambar
mistis), hingga nunas ica (mohon tuntunan Hyang Mahakuasa) (Moelyono, 2014).
Beberapa balian yang dikenal masyarakat etnik Bali, yaitu : (Moelyono, 2014).
1. Balian Usada, balian yang menggunakan naskah-naskah kuno yang ditulis pada
daun lontar, umumnya mereka menggunakan reamuan dari tumbuhan
2. Balian Taksu, balian yang menghubungi para leluhur para leluhur atau para dewa
dalam keadaan trance

9
3. Balian Paica, balian yang mendapat ilmunya melalui ilham, atau dari leluhur, atau
dari dewa-dewa.
4. Balian Wuut, balian dengan keahlian khusus pijat memijat dan mempunyai
kemampuan untuk memperbaiki atau mengobati patah tulang.
5. Balian Tenung, balian yang mengkhususkan diri dalam hal meramal. Untuk
tujuan tersebut mereka menggunakan bantuan air suci atau kuku ibu jari.
6. Balian Peluasan, yaitu balian tempat orang bertanya tentang segala hal.
7. Balian Manak, yaitu balian yang khusus memberikan pelayanan atau menolong
proses kelahiran bayi.
8. Balian Luh, yaitu balian yang khusus mengobati patah tulang.
9. Balian Apun, yaitu balian yang khusus mengobati dengan cara lulur
(Moelyono, 2014).

(Gambar 2.2.Balian)

2.4. Metode penyembuhan balian


Metode penyembuhan yang dilakukan balian dilakukan berdasarkan apa yang
tertuang pada lontar-lontar kuno, yaitu: (Moelyono, 2014).
1. Meditasi , dilakukan dengan jalan melatih pikiran agar menjadi harmonis untuk
mengobati penyakit
2. Taru premana, penyembuhan dengan tumbuhan obat
3. Suara, dengan mengucapkan aksara-aksara tertentu yang punya getaran sama
dengan getaran organ tubuh

10
4. Batu Kristal, dengan cara menempatkan batu-batu Kristal jenis tertentu di pusat-
pusat cakra tubuh.
(Moelyono, 2014).
Usaha penyembuhan yang dilakukan balian dilakukan melalui 4 bentuk, yaitu:
(Moelyono, 2014).
1. Usaha penyembuhan menggunakan ramuan-ramuan yang berasal dari tumbuhan
atau bagian tumbuhan yang mempunyai khasiat mengobati seperti dituturkan
dalam berbagai usada. Penyembuhan semacam ini dilakukan oleh Balian Usada.
Pengobatan menggunakan obat (tamba) disebut tetamban, yang melibatkan dua
hal yang saling menunjang, yaitu tamba, dan sarana (penghubung antara
kekuatan balian dengan penyebab penyakit).
2. Usaha penyembuhan penyakit dengan cara spiritual dilakukan oleh Balian Taksu.
3. Penyembuhan menggunakan psikis (semacam psikoterapi) melalui nasihat-nasihat
dari balian , penyembuhan dapat juga dilakukan dengan yoga dan transedental.
4. Penyembuhan dengan menggunakan fisioterapi , semacam urut atau pijat yang
dapat melemaskan otot-otot yang kejang dan dapat memberikan rasa relaks pada
penderita , pengobatan cara ini dilakukan oleh Balian Wuut
(Moelyono, 2014).
Sistem Usada Bali

ISTA DEWATA

PASIEN BALIAN SARANA PRASARANA

HASIL

SEMBUH STAG/NANENG
GAGAL

11
Di tengah-tengah kemapanan sistem medis modern, rupanya pengobatan
Usada Bali tidak serta-merta kehilangan panggung. Masih kuatnya kepercayaan
sebagian masyarakat terhadap penyebab penyakit nonmedis menjadi salah satu alasan
praktik pengobatan Usada Bali masih diminati. Hal ini sejalan dengan Nala (1993)
yang menyatakan bahwa masyarakat Hindu di Bali umumnya percaya jika penyakit
dapat disebabkan oleh dua penyebab atau kausa, yakni kausa sakala dan kausa
niskala. Semakna dengan pandangan Foster dan Anderson (1978) bahwa menurut
masyarakat tradisional penyebab penyakit (etiologi) dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yakni kausa naturalistik dan kausa personalistik. Namun dalam konteks
yang lain, juga kebertahanan pengobatan Usada Bali tersebut menunjukkan
kemampuannya dalam beradaptasi dengan lingkungan (Ida Bagus, 2019).
Dalam melakukan pengobatan, seorang balian melakukan dua hal penting, yaitu:
(Moelyono, 2014).
1. Penentuan jenis penyakit
Penyakit yang ditentukan jenisnya terdiri dari atas 2 jenis, yaitu: (Moelyono,
2014).
a. Penyakit sekala
Penyakit sekala ditentukan melalui anamnesa (keluhan penderita) dan
pemeriksaan badan, misalnya suhu tubuh, pernafasan, dan lain-lain. Semua
pemeriksaan didasarkan pada petunjuk yang tertulis dalam berbagai lontar
usada, antara lain:
1. Usada sari, untuk golongan panas, nyem, ngumelada
2. Usada kalatatwa, memperhatikan waktu dan gejala
3. Usada taru premana, ilmu khasiat obat dari tumbuhan
4. Usada-usada lain, seperti usada rara (khusus untuk anak-anak), usada
pungging tiwas, usada berumbun
(Moelyono, 2014).

b. Penyakit Niskala

12
Penyakit niskala dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu niskala duur dan niskala
teben, yaitu niskala yang disebabkan oleh “black magic” (Moelyono, 2014).
Niskala duur dan niskala teben dapat dibedakan berdasarkan tenung tadah ulat,
yaitu berdasarkan tingkah laku penderita atau keluarganya yang dating ke
balian, serta berdasarkan uriga, yaitu perhitungan hari sepatawara, pancawara,
dan sadwara (Moelyono, 2014).
2. Pengobatan
a. Penyakit sekala
Pengobatan penyakit sekala didasarkan pada petunjuk-petunjuk dari usada-
usada. Umumnnya obat-obat untuk penyakit sekala berbentuk obat minum ,
berupa sembur, boreh, atau minyak.
b. Penyakit niskala duur
Pengobatan dilakukan melalui upacara-upacara, yaitu dengan sajen ataupun
diharuskan membuat pelinggih
c. Penyakit niskala teben
Pengobatan dilakukan sesuai petunjuk yang tertulis pada lontar usada
buduh/usada bebai
(Moelyono, 2014).
Dari beberapa lontar usada yang dapat ditelusuri, diperoleh berbagai jenis
tumbuhan yang dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit atau mewringkan
rasa sakit, diantarannya: (Moelyono, 2014).
1. Obat untuk memulihkan impotensi
Impotensi, dalam bahasa Bali disebut Wandu, secara tradisional diobati dengan
ramuan yang terdiri atas telur ayam kampong, garam dapur, madu, dan arak.
Cara penyaiapan:
Kuning telur ayam kampong , dicampur dengan arak, garam dapur , dan madu.
Ramuan diaduk hingga lumat , lalu diminum sehari 2 kali pagi dan sore.

2. Obat untuk menghilangkan ketagihan candu

13
Masyarakat etnik Bali mengenal penyakit ketagihan candu sebagai sakit nagih
candu, diobati dengan ramuan yang terdiri atas, akar sembung (Blumea
balsamifera), lunak/asam (Tamarindus indica), dan garam dapur.
Cara pembuatan:
Ramuan ditumbuk hingga halus, kemudian diberi air dan garam secukupnya,
diminum sehari 2 kali, masing-masing 1 gelas. Selain minum ramuan ini, juga
minu kopi pahit guna mengurangi ketagihan.
3. Ramuan untuk mengobati sakit raja singa
Penyakit raja singa di Bali dikenal dengan sakit ilang rasa, diobati dengan
ramuan untuk obat minum dan ramuan obat luar. Ramuan obat minum dibuat
dari papagan pule (Alstonia scholaris), meduri putih, don kumis kucing
(Ortosiphon stamineus).
Cara pembuatan:
Bahan-bahan digodog dengan air. Air godogan diminum sehari 3 kali, masing-
masing 1gelas.
Ramuan untuk obat luar terdiri dari nyuh (kelapa), ketambah (ketumbar), mica
(merica), muncuk dadap (pucuk dadap), isen (lengkuas), dan pamor (kapur
sirih).
Cara pembuatan:
Kelapa diparut, kemudian ketumbar, merica, daun dadap, lengkuas, dan kapur
sirih dilumatkan dalam lesung batu, kemudian dimasak dengan santan hingga
keluar minyak. Minyak dioleskan merata pada alat kelamin.
4. Obat untuk menghentikan pendarahan karena luka
Etnik Bali menyebut ini sebagai nyampi ratu. Lukanya dapat disembuhkan
dengan cara mengunyah don kesela prahu (daun singkong) hingga lumat,
kemudian ditempelkan pada luka.
Cara lain dengan menggunakan lublub biyu (kerikan batang pohon pisang).
Batang pohon pisang dikerik dengan pisau, serat batang kalus yang keluar
ditempelkan pada luka.
5. Obat untuk tekanan darah tinggi

14
Masyarakat etnik Bali mengobati penyakit ini dengan 2 cara, yaitu dengan cara
dimakan dan diminum setiap hari. Ramuan yang dimakan terdiri atas buah-
buahan diantaranya mentimun (Cucumis sativus), dan kesuma (bawang putih).
Ramuan yang dimunum adalah bunga jeruk (citrus maxima). Bunga jeruk
direbus dengan segelas air, setelah dengan air rebusannya diminum sehari 3 kali,
masing-masing 1 gelas.
6. Obat untuk tekanan darah rendah
Penyakit tekanan darah rendah di Bali dikenal dengan nama ngetug. Penyakit ini
dapat disembuhkan secara tradisional dengan tetes hidung atau disembur lulu
hatinya.
Ramuan untuk tetes hidung terdiri dari atas bunga jempaka (cempaka, Plumeria
acuminata), daun dan bunga jepun (kamboja), bunga sandat (kenanga, Cananga
odovarium), madu, yeh cenana (air cendana, Santalum album). Ramuan tetes
hidung dibuat dengan cara melumat bahan-bahan, dicampur sedikit air, disaring
kemudian diteteskan pada hidung penderita sehari 2 kali 1 tetes pagi dan sore.
Ramuan untuk obat sembur terdiri atas rimpang kunyit (Curcuma domestika),
rimpang lemuyang (Zingiber americans), rimpang cekuh (kencur, Kaempferia
galangal), dan rimpang isen (lengkuas, alpinia galanga).
Ramuan untuk obat sembur dibuat dengan cara mengunyah ramuan tersebut
kemudian disemburkan pada ulu hati hingga rata.
7. Ramuan untuk penyakit batuk darah
Penyakit batuk darah yang oleh etnis Bali disebut mekokohan mesuang getih,
diobati dengan ramuan yang terdiri atas bungkil panak blu ketip (pangkal
batang pisang ketip) lebih kurang satu batang, don dadap (daun dadap) 7
lembar, dan gula batu.
Cara pembuatan:
Batang anak pisang ketip iris kecil-kecil dengan pisau, kemudian dimasukkan
dalam kuali yang berisi 2,5 liter air , lalu kedalamnya dimasukkan gula batu
secukupnya serta daun dadap. Campuran dipanaskan lebih kurang 3 jam. Setelah
dingin seluruh ramuan dihancurkan dengan tangan hingga lumat, disaring. Air

15
saringan diminum sehari 3 kali, masing-masing ½ gelas dieaktu pagi, siang, dan
sore. Ketika akan diminum, air ramuan tidak boleh dikocok. Sisa ramuan ditutup
rapat dalam botol, disimpan ditempat yang tidak terkena sinar matahari.
Penderita tidak boleh memakan makanan pedas, pindang, dan ikan asin.
8. Ramuan untuk mengobati cacingan
Ramuan untuk mengobati cacingan terbuat dari umbi umbian dan bagian bagian
tumbuhan lain. Ramuan bervariasi tergantung pengetahuan balian tetapi masih
digunakan masyarakat. Ramuan untuk untuk cacing gelang dan cacing kermi
terdiri atas kesuma (bawang putih) 2 siung , bangle 1 pepel, don jangu 3-5
lembar , papagan jepun (kulit pohon kamboja) 5 iris berukuran 3×5cm, dan air
sekitar 1,5 gelas.
Cara Pembuatan :
Semua bahan obat diiris lalu dicampurkan dan dihancurkan dengan tangan
hingga lumat, kemudian dituangkan 1,5 gelas air. Setelah disaring, air saringnya

1
diminumsehari 2 kali masing masing gelas .
2
Untuk mengobati cacingan akibat cacing pita, digunakan ramuan yang terdiri atas
dua butir telur ayam, dan 42 butir batun waluh (biji labu). Batun lawuh
digoreng tanpa minyak (etnik bali menyebut menyanyah) setelah matang llu
ditumbuk hingga halus, lalu dicampur dengan telur, digoreng ,kemudian dimakan
9. Ramuan untuk penyakit kencing manis
Untuk penyakit kencing manis, diguankan ramuan yang terdiri atas akah dadap
(akar dadap), ketan gajih , bawang metambus (Bawang merah yang
dimatangkan), asaban cenana (air kayu cendana) dan air hangat. Bahan bahan
disatukan kemudian ditumbuk dalam lumping batu, tuangkan sedikit air,
ditumbuk perlahan hingga terjadi ramuan seperti bubur kental. Ramuan dicmapur
dengan air, diperas dan disaring. Air saringa diminum sehari 3 kali.
Ramuan lain yang dapat mengobati kencing manis adalah denagn rebusan don
pacar wes (catharanthus roscus) sebanyak 22 lembar,direbus dengan 2 gelas
air, diminum sehari 2 kali, masing masing 2 gelas.

16
Ramuan lain terdiri atas don keciplukan (physalis minima), yang direbus dengan
air, lalu air rebusannya sehari 2-3 kali masing – masing 1 gelas.
10. Ramuan untuk mengatasi diare
Untuk mengatasi diare, masyarakat etnik Bali mengenal beberapa ramuan,
diantaranya ramuan yang terdiri atas don celagi (daun asam, Tamarindus
Indica),sebanyak 1 genggam dicampur dengan daun muda badung (Garcinia
dulcis), gula batu, dan garam ditumbuk halus, dicampur dengan sedikit air. Air
perasannya diminum sehari 2-3 kali masing masing sebanyak 2-3 sendok makan.
Ramuan lain berupa daun pencasona (Anamirta cocculus), yang ditumbuk
hingga keluar cairan untuk diminum sehari 3 kali, masing masing 1 sendok
makan.
Ramuan lain berupa daun muda kecilak/bekul (Zizipus rotundus), sebanyak 5-
10 gram yang dicampur sedikit garam, ditumbuk, diperas, kemudian air perasan
diminum sehari 3 kali, masing –masing 1 sendok makan.
Masyarakat etnik Bali juga mengatasi diare dengan kulit buah Manggis
(Garcinia mangostana) yang dibakar, lemuian ditumbuk. Sebanyak 405 gram
diaduk dengan 1 gelas air. setelah itu diminum sehari 1 kali.
Selain itu buah sotong (jambu biji, Psidium guajava) yang masih muda,
ditumbuk, dicampur dengan sedikit garam. Diperas hingga keluar air , lalu air
perasannya diminum sampai 3 kali, masing-masing 2-3 sendok makan.
11. Ramuan untuk mengobati lumpuh
Untuk mengobati lumpuh, etnik Bali menggunakan ramuan yang terdiri atas kulit
batang kayu jelema (Knema Cinerea) 4-5 gram, rimpang ijen (Alpinia
Galangga) dan rimpang kunyit (Curcuma Domestica). Masig masing 15-20
gram buah pala (Myristica fragrans) 1 buah dan 4-5 cuka. Semua bahan kecuali
cuka yang diteteskan terakhir ditumbuk hingga halus, baru kemudian diteteskan
cuka. Ramuan diborehkan pada organ yang lumpuh sehari 1-2 kali, kemudian
didiamkan 2-3 jam.
12. Ramuan untuk mengobati malaria

17
6-10 gram rimpang Gamongan (Zingiber Aromaticum) bersama 2-3 buah pare
paya puuh (Momordica cochinensis,)dan 4-5 gram don pare paya puuh,
digodog dalam 4-5 gelas air hingga mendidih. Air godogan diminum 3 kali,
masing masing 1 gelas.
Ramuan lai n berupa 5-10 lembar don sembung direbus dengan 4-5 gelas air
hingga mendidih, air rebusan diminum 3 kali , masing masing 1 gelas.
Untuk mengobati malaria, etnik bali juga menggunakan ramuan lain, yaitu 4-5
gram don ihu ihu (Ocimmum basilicum) yang dicamour 5,5 gram lada hitam
(Piper Nigrum), lalu ditumbuk halus dan dibuat seperti pil, setiap hari dimakan
2-3 kali ,masing –masing 5 pil sekaligus.
13. Ramuan untuk menggobati penyakit polio
Etnik Bali mempunyai ramuan untuk mengobati penyakit polio, yaitu berupa
boreh yang terdiri atas 5-10 gram don ligundi (Vitex trifolia), kesuma (Allium
sativum) 1 siung, Dn 5 grm rimpang jangu (Acorus calamus) yang ditumbuk
hingga halus, kemudian diboreh pada kaki, sehari 2-3 kali, masing –masing 2-3
jam.
14. Ramuan untuk mengobati Reumatik
Ada beberapa ramuan yang dikenl masyarakat etnik Bali untuk mngobati
reumatik, yaitu buah bun paron (Arcangelisia flava) sekira 30 gram ditumbuk
dan ditambahkan sedikit garam, lalu diboreh pada bagian yang terkena reumatik
sehari 2-3 kali, selama 1-2 jam.
Ramuan lain berupa papagan kepundung putih (Bacaurea racemosa)kering
sekira 20 gram ditumbuk denagn 5 gram lada hitam (piper nigrum), emudian
diborehkan kepada bagian yang sakit sehari 1-2 Kali masing-masing 2-3 jam.
Ramuan lai untuk mengobati reumatik,juga berupa borehan yang dibuat dari 30-
40 gram daun dan bunga kecubung (Datura metel), 3 siung kesuma ( Allium
Sativum) dan 15 gram jahe (Zingiber Officinale), Bahan bahan ditumbuk hingga
halus,kemudian diborehkan pada bagian yang sakit 1-2 Kali , masing-masing 2-3
jam.
(Moelyono, 2014).

18
2.5. Etnofarmasi Masyarakat etnik bali
Pulau bali yang dikenal dengan sebutan pulau dewata, pulau seribu pura,
pulau nirwana, the last paradise, dan banyak sebutan lain meupakan pulau yang
terkenal karena keindahan alamnya, seni budayanya, serta cara hidup, pulau utama
yang bernama bali, sekitar pulau ini juga terdapat beberapa pulau kecil, diantaranya
nusa penida, nusa gede, nusa lembongan, dan nusa cendingan. Sebagian besar
penduduk bali beragama Hindu Dharma yang pada awalnya disebut agama syiwa,
Agama Hindu Bali, Agama Bali, atau Agama Tirta. Kebudayaan bali didasarkan
pada bentuk hinduisme yang unik yang dikenal dengan sebutan Hindu Bali, yaitu
agama Hindu yang telah berkultururasi dengan adat istiadat dan sistem kepercayaan
yang telah ada sebelum agama hindu masuk ke bali. Masyarakat etnik bali dikenal
sebagai masyarakat yang memegang teguh adat istiadat dan kebudayaan yang
diwariskan oleh nenek moyang mereka. Saat ini ketika dunia rasio telah berkembang
di bali, masyarakat bali masih teguh memegang prinsip-prinsip kepercayaan, dunia
mitos, mistik dan klenik, serta berada di antara dunia tersebut, termasuk soal obat dan
pengobatan. Masyarakat etnik bali yang masih teguh berpegang pada warisan nenek
moyangnya disebut Bali Aga. Bali Aga adalah sebutan bagi desa-desa adat di pulau
bali yang masih sangat kental kehidupan tradisionalnya. “Aga” berarti gunung,
karena orang-orang hindu zaman kerajaan majapahit yang merupakan penduduk asli
pulau bali, banyak bermukim di daerah pegunungan. Desa Bali Aga dibedakan
dengan desa-desa masyarakat hindu lainnya dengan perbedaan budaya, adat, dan
tradisi masyarakatnya. Desa bali aga meliputi tenganan, sepang, tigawasa,
sembiran, cembaga, sidatapa, pedawa, trunyan, dan songan (Syamsul Hidayat,
2005).

19
(Gambar 2.3 Etnik Bali Aga)
Di antara desa bali aga yang tersebar di seluruh pulau bali, Desa Tenganan
yang terletak di kecamatan manggis, kabupaten karangasem merupakan desa bali aga
yang budayanya masih erat berhubungan dengan alam. Penduduk desa ini dipimpin
oleh seorang pemangku adat yang menerapkan hukum adat dan dipatuhi oleh semua
anggota masyarakatnya. Hukum adat yang dipegang teguh masyarakat adat desa
tenganan pegiringsingan ini menyebabkan keselaran hidup manusia dengan alam
terpelihara dengan baik, sehingga kawasan hutan yang berada di tengah desa
terpelihara keasrian dan kelestariannya. Kawasan hutan ini menjadi tumpuan bagi
sumber tumbuhan yang digunakan sebagai obat (Syamsul Hidayat, 2005).

(Gambar 2.4. Desa Bali Aga)

20
Hasil studi review Jurnal tentang Usada Bali, ada beberapa jenis yang menarik
dan unik. Usada itu adalah “Usada Buduh”, yakni usada yang dipakai untuk
pengobatan penderita penyakit jiwa. Dalam naskah ini dijelaskan bahwa penyakit
jiwa ini bermacam-macam dan cara pengobatannya juga berbeda-besa. Dalam usada
itu ada sekitar 11 jenis orang yang berpenyakit jiwa. Pertama, penyakit jiwa yang
diderita oleh orang gila yang suka bernyanyi-nyanyi. Kedua, penyakit jiwa pada
orang yang perpenyakit sering menangis. Obat lainnya adalah obat untuk orang gila
yang senang tertawa, orang gila yang senang bermain kotoran, orang gila yang sering
disertai epilepsi, orang gila yang sering berbicara tidak karuan, orang gila yang
dengan ciri yang suka tidur dan tidak mau makan, orang gila dengan ciri galak, orang
gila dengan perut bengkak, obat untuk orang gila yang umum, dan orang gila yang
sering memaki-maki dukun (Mu’jizah, 2016).
Adapun obat penyakit orang gila yang suka memaki-maki (dukun) atau yang
dalam bahasa Bali disebut bebainan adalah daun pungut (tanaman liar di daerah
tropis) yang tumbuhnya mengapit jalan masing-masing 3 helai, daun lada dakep
(yang menjalar di tanah), 3 helai, 3 biji merica gundul. Obat ini disemburkan pada
yang sakit, setelah itu dipijit. Setelah terlihat penyakitnya lalu ambil dan tarik dengan
cepat. Mantranya Ih madra macah, sira anikep larane I yono.... dan diberi rajah
(Mu’jizah, 2016).
“Usada Kacacar” adalah usada yang digunakan untuk mengobati penyakit
orang sakit cacar. Dalam dunia kesehatan, sakit cacar disebut penyakit varisela yang
berasal dari bahasa Latin. Penyakit ini sangat menular dan banyak menyerang anak-
anak di bawah usia 10 tahun. Pengobatan penyakit cacar ini agak rumit karena
disertai dengan upacara pengobatan dan dalam pengobatan itu harus digunakan
kepeng. Pada halaman 289--290 dinyatakan “Ini kurban orang sakit kacacar, bila
penyakitnya dikira akan menjumpai kematian, upakaranya, 1 buah tumpeng brumbun,
dialasi dengan daun andong merah, dialalsi dengan sengkwi yang berekor, diisi seekor
daging ayam brumbun, dibelah dari punggungnya, isi jeroannya masih utuh, hanya
dibelah dalam keadaan masih mentah, disertai ketupat sidapurna, diisi telur bekasem
1 butir, serta 11 buah kewangen, yang 3 buah diisi uang jepun masing-masing 1

21
kepeng. Yang 8 buah lagi diisi uang kepeng yang biaisa saja serta canang gantal,
canang rokok, serta canang lengawangi buratwangi, panyeneng, tulung, ras, dan satu
buah daksnina dengan perlengkapan secukupnya. Kurban tersebut diisi uang kepeng
sebanyak 175 kepeng. Ketupatnya diisi 33 kepeng, canang diisi uang 11 kepeng,
masing-masing 3 tanding (buah). Daksina tersebut diisi uang 225 kepeng (Mu’jizah,
2016).
Penyakit lainnya yang patut dibicarakan adalah Usada Tuju (Pemkab
Buleleng, 2007:49. Usada ini di antaranya menyebutkan beberapa obat. Obat tuju
adanya di dalam perut. Kalau mempunyai penyakit ini, obatnya jeruk 2 butir, muncuk
uyah- uyah hitam 3 muncuk, kapur bubuk sedikit saja. Kamudian dimasak lalu
dipergunakan mengobati si sakit disertai dengan perapalan mantra yang bunyinya
antara lain, Om tuju klinglang anta, duk sateka sabrang malayu mwah po kitaa ring
bali, amatenin tuju teluh trajanan (Mu’jizah, 2016).
Usada ila adalah usada yang digunakan untuk penyakit lepra. Jenis penyakit
ini ditandai dengan warnanya. Pada halaman 1 dinyatakan waspadailah penyakit lepra
dari warnanya. Jika warnanya putih disebut ila lungsir, bila berwarna merah disebut
ila brahma. Bila putih berbintik-bintik disebut ila kangka dan bila berwarna merah
dan tebal dinamai ila dedek dan bila merah dan melingkar-lingkar dengan pinggir
putih disebut ila kakarangan. Jika lepra itu warnanya merah bertumpuk-tumpuk
disebut ila buta. Dalam teks tersebut berbagai ila diobati sesuai dengan jenis
penyakitnya. Salah satu jenis pengobatan jika terkena penyakit ila lungsir (Dinas
Kebudyaan, 2015) adalah sebagai berikut. Obat itu adalah kulit kayu pangi, kulit
kayu bila, dan sinrong wayah. Lalu kulit kayu tersebut dilumatkan sampai lembut dan
ditambah dengan air cuka tahun. Kemudian obat-obat itu diramu menjadi seperti
bedak. Bila pengakit ila lungir dengan gejala melingkar-lingkar tebal warna putih,
obatnya adalah jahe pahit, isin orong, bunga cengkeh, cabe jawa, terusi warangan,
belerang merah, dan belerang kuning lalu ditumbuk dan dicampur dengan air jeruk
limau. Obat itu dipakai untuk mengolesi pada bagian tubuh yang sakit (Mu’jizah,
2016).

22
Dari berbagai usada itu terlihat bahwa sistem pengobatan pada masyarakat Bali
sangat lengkap. Kesehatan melingkupi beragam penyakit dengan berbegai jenis
pengobatannya. Pengobatan itu melingkupi berbagai siklus kehidupan manusia, mulai
dari anak-anak, orang dewasa, dan orang tua. Obat yang diuraikan dalam usada ini
diambil dari lingkungan yang ada di sekeliling manusia dan terdiri atas berbagai
unsur. Unsur alam yang diambil dari air, tumbuh-tumbuhan, dan binatang.
Disamping itu, dipercaya juga bahwa mantra atau rapalan dapat mengobati pengakit,
begitu juga dengan rajah (Mu’jizah, 2016).

23
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Etnofarmasi adalah bagian dari ilmu farmasi yang mempelajari penggunaan
obat dan cara pengobatan yang dilakukan oleh etnik dan suku bangsa tertentu.
Ada tiga jenis penyakit yang disebut Tri Dosa yaitu Pitta (panas), Kapha (nyem)
dan Vayu (sebbaa – antara panas dan dingin). Demikian pula obatnya ada tiga
macam, yaitu ada obat yang bersifat hangat, tis dan dumelade. Dan ternyata
ketiga penyakit dan obatnya bersumber dari batara ciwa yang memberikan
wewenang kepada batara brahma, wisnu dan iswara. Pengobatan penyakit-
penyakit tersebut merupakan wewenang trimurti, yaitu batara brahma yang
menguasi panas (api), batara wisnu yang menguasai air, dan batara iswara yang
menguasai udara. Lontar usadha adalah tulisan dalam daun lontar yang
menjelaskan sebab terjadinya penyakit, misalnya lontar sapuleger. Balian adalah
sosok seorang yang mempunyai kepandaian atau ilmu mengobati , alam bahasa
Indonesia dikenal sebagai dukun. Balian memegang peranan penting dalam
kehidupan masyarakat etnik Bali, bahkan tidak jarang para balian ini merupakan
orang-orang yang sangat berpengaruh dalam lingkungannya masing-masing.
Metode penyembuhan yang dilakukan balian dilakukan berdasarkan apa yang
tertuang pada lontar-lontar kuno, yaitu Meditasi, Taru premana, Suara, Batu
Kristal

3.2 Saran
1. Menjadi seorang balian hendaklah haruslah bermurah hati dan memberi
informasi bersifat pencerahan sebagai rasa ingin tahu pasien bisa terpuaskan.
2. Menjadi seorang balian harus memiliki sifat welas asih dan tanpa pamrih dan
jaringan membeda-bedakan dari statusnya.
3. Kepada pada guru dan penekun usada bali yang gemar menulis diharapkan
lebih banyak mencetak buku-buku usada agar masyarakat awam lebih mdah
mengenal usada bali.

24
Daftar Pustaka

Foster and Anderson. 1978. Antropologi Kesehatan. UI Press. Jakarta

Hidayat, Syamsul. 2005. Ramuan tradisional ala 12 etnis Indonesia. Jakarta: Penebar

Swadaya.

Ida, Bagus.Suatama.2019. Multikulturalisme Usada Bali. Jurnal Widya Kesehatan,

Volume 1, Nomor; 1

Klainman, A. 1980. Patients and Healers in the context of culture: An explanatory of

the borderland between anthropology, medicine, and psychiatry. United

State of America: University of California press, Ltd

Moektiwardoyo, M. 2014. Etnofarmasi. Deepublish. Yogyakarta.7

Moelyono.M.W. 2014. Etnofarmasi. Jogjakarta : Deepublish.

Mu’jizah. 2016. Naskah Usada Sebagai Kearifan Lokal Masyarakat Bali. Jurnal

Bahasa, Sastra, dan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 3(2). 2016.

191-200

Nala, N. 1993. Usada Bali. Denpasar: PT. Usada Sastra

Nala, N. 2006. Aksara Bali dalam usada. Surabaya: PARAMITA.

Pieroni, A., Quave, C., Nebel, S., Henrich, M. 2002. Ethnopharmacy of the Ethnic

Albanians (Arbereshe) of Northern Basilicata, Italy. Fitoterapia.

Suryadarma, I.G. 2005. Konsep kosmologi dalam pengobatan Usada Taru Pramana.

Journal of Tropical Ethnobiology.

25

Anda mungkin juga menyukai