Oleh
Nama : Ridha Ishmania Sabila Sumarli
NIM : 31116184
Kelas : 3D Farmasi
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. karena berkat rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan
makalah yang berjudul “Saintifikasi dan Rasionalisasi Obat Tradisional”.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas untuk menyelesaikan tugas
mata kuliah Bahan Alam Farmasi.
Penulisan makalah ini bertujuan dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai saintifikasi dan rasionalisasi obat tradisional. Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan makalah yang telah penulis buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi
penulis sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya penulis mohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.
Penulis ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis berharap semoga Allah Swt.
memberikan imbalan dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah,
Aamiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
memberikan landasan bukti ilmiah (evidence base) penggunaan jamu melalui
penelitian berbasis pelayanan, (2) mendorong terbentuknya jejaring dokter
atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka
upaya preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif, (3) meningkatkan
penyediaan jamu yang aman dan berkhasiat teruji secara ilmiah, baik untuk
pengobatan sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan.
Pengobatan sendiri sering dilakukan oleh masyarakat. Dalam pengobatan
sendiri sebaiknya mengikuti persyaratan penggunaan obat rasional.
Penggunaan obat dikatakan rasional bila (WHO,1985) bila pasien menerima
obat yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat
dan dengan harga yang paling murah untuk pasien dan masyarakat.
1.3. Tujuan
Untuk mengetahui tentang saintifikasi dan rasionalisasi obat tradisional.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
ramuan dalam Pasal 59 UU No. 36 tahun 2009 adalah obat tradisional. Definisi
obat tradisional ialah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan,
hewan, mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang
secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
Obat tradisional Indonesia atau obat asli Indonesia lebih dikenal dengan nama
“jamu”. Salah satu arahan Presiden RI untuk pengembangan Jamu Indonesia pada
Gelar Kebangkitan Jamu Indonesia tahun 2008 adalah melakukan penelitian dan
pengembangan jamu dan mengintegrasikan pelayananan kesehatan komplementer
alternatif berbasis jamu sebagai sistem ganda (dual system) di fasilitas pelayanan
kesehatan (PT Kimia Farma, 2010).
A. Saintifikasi Jamu
Saintifkasi Jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian
berbasis pelayanan kesehatan (Menkes RI, 2010). Jamu adalah obat
tradisional Indonesia. Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang
berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian
(galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah
digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang
berlaku di masyarakat. Saintifikasi jamu dalam rangka upaya kuratif hanya
dapat dilakukan atas permintaan tertulis pasien sebagai komplementer-
alternatif setelah pasien memperoleh penjelasan yang cukup. Pengobatan
Komplementer-Alternatif adalah pengobatan non konvensional yang
ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat meliputi upaya
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang diperoleh melalui
pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan, dan efektifitas yang tinggi
yang berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik, yang belum diterima dalam
kedokteran konvensional. Ilmu Pengetahuan Biomedik adalah ilmu yang
meliputi anatomi, biokimia, histologi, biologi sel dan molekuler, fisiologi,
mikrobiologi, imunologi yang dijadikan dasar ilmu kedokteran klinik
(Menkes, 2010).
Dalam Saintifikasi Jamu, karena pelakunya adalah dokter, maka
pendekatan yang kita usulkan untuk digunakan adalah kedokteran integratif
(integrative medicine). Pada dasarnya kedokteran integratif adalah
4
pendekatan mengkombinasikan kedokteran konvensional dengan
komplementer alternatif. Definsi kedokteran integratif adalah sintesis yang
optimal dari kedokteran konvensional dan alternatif yang dipraktikkan
dengan pendekatan pribadi pasien secara utuh (holistic) dilaksanakan dengan
prinsip kesucian dan kemanusiaan. Integrative medicine is an optimal
synthesis of conventional and alternative medicine practiced with a whole
person approach delivered with reverence and humanism (Wisneski &
Anderson, 2009). Dengan pendekatan kedokteran integratif, diharapkan
metodologi program Saintifikasi Jamu, yang menggunakan tenaga dokter
konvensional sebagai pelaku di lapangan, dapat dijembatani atau bahkan
diperluas keilmuannya antara paradigma alopatik dan naturalistik. Hal ini
sebagaimana telah dikembangkan di beberapa universitas di Amerika
(University of Georgia, University of Arizona) dan juga di National Institute
of Health Amerika, bahwa kedokteran integratif adalah kedokteran yang
berorientasi penyembuhan (healing-oriented medicine), mempertimbangkan
wilayah “mind-bodyspirit”, berusaha mengkombinasikan ilmu modern
dengan keagungan cara penyembuhan tradisional/ komplementer. Dengan
pendekatan kedokteran integratif, maka diagnosis utama tetap menggunakan
kedokteran konvensional (misalnya, ICD 10), namun dapat ditambahkan
diagnosis secara naturopati dan tradisional sebagai tambahan informasi,
sehingga terapi holistik dapat dilakukan. Dengan pendekatan kedokteran
integratif ini, diagnosis dapat dibagi ke dalam empat kategori (1) diagnosis
secara etik (kedokteran konvensional/ICD 10), (2) diagnosis secara emik (apa
yang dirasakan pasien), (3) diagnosis karakter pasien (sanguinis, kholeris,
melankolis, phlegmatis), dan (4) diagnosis kualitas hidup, yang meliputi
kebugaran (wellness) dan tingkat keparahan penyakit menurut pasien (skor
penyakit) (Badan Litbang Kesehatana, 2011). Dengan menambahkan
diagnosis secara emik, karakter pasien, dan kualitas hidup pasien, maka
pendekatan pengobatan dapat dilakukan secara kausal dan holistik. Melalui
pendekatan kedokteran integratif, variabel luaran klinik yang diukur tidak
hanya mencakup parameter objektif, misalnya hasil laboratorium dan
pengukuran, namun juga memperhatikan parameter subjektif, yakni skor
5
penyakit sesuai penilaian pasien (patient’s self-responded outcome), kualitas
hidup pasien, dan indeks kebugaran pasien. Dengan cara pengukuran luaran
klinik yang demikian diharapkan uji klinik jamu menjadi lebih sensitif,
meskipun tetap memperhatikan prinsip-prinsip metodologi penelitian yang
kokoh.
Untuk memperjelas alur pikir program Saintifikasi Jamu, maka alur pikir tersebut
dapat dilihat pada Gambar 1. Sebagaimana dimaklumi, kerangka pengetahuan
(body of knowledge) pengobatan tradisional Indonesia (termasuk jamu) tidak
berkembang dan terdokumentasikan dengan baik, sebagaimana saudaranya seperti
Ayurveda dan Traditional Chinese Medicine. Jamu memang sudah
terdokumentasikan pada relief candi Borobudur yang diperkirakan didirikan pada
abad ke 9 Masehi (Sutarjadi, Rahman & Indrawati, 2012). Namun,
penggunaannya hanya bersifat turun temurun, dipelajari berdasarkan pengalaman
dari satu generasi ke generasi berikutnya, tanpa dibukukan dengan baik atau
diajarkan secara formal. Untuk itu, Komnas SJ mencoba mengembangkan Body of
Knowledge Pengobatan Tradsional Indonesia (Jamulogi) sebagai konsep awal
pengembangan kedokteran integratif sistem Pengobatan Tradisional Indonesia
(termasuk Jamulogi). Pendekatannya adalah dengan menggali sistem pengobatan
asli Indonesia, kemudian mensintesisnya dengan pendekatan natuopati, lalu
mengintegrasikannya dengan kedokteran konvensional. Hasil akhirnya adalah
6
kedokteran integratif yang merupakan sintesis dari pendekatan naturopati dan
konvensional. Implikasi dari pendekatan ini adalah bahwa pada program
Saintifikasi Jamu, ilmu penopangnya adalah tetap ilmu biomedis, namun
pendekatan terapi dan evaluasi hasil terapi adalah pendekatan holistik. Dengan
model pendekatan seperti ini maka diharapkan modalitas terapi Jamu (Jamulogi)
dapat diterima di kalangan kedokteran sebagai alternatif modalitas terapi. Karena
penjelasan mekanisme kerja jamu tetap menggunakan pendekatan biomedis (sains
modern), maka harus dicari penjelasan hubungan antara luaran klinis dengan
modalitas terapi ramuan jamu. Oleh karena itu, pengetahuan terkait farmakologi
tanaman obat tetap diperlukan dalam Saintifikasi Jamu. Sebagaimana telah
dijelaskan, bahwa tujuan program Saintifikasi Jamu adalah menyediakan bukti
ilmiah tentang manfaat dan keamanan jamu, khususnya terkait dengan
penggunaan jamu untuk komunitas. Sudah disadari banyak pihak, bahwa Jamu
secara turun temurun sudah digunakan untuk memelihara kesehatan dan
mengobati penyakit, namun belum didukung bukti ilmiah yang terstruktur terkait
khasiat dan keamanannya. Juga sudah diuraikan di depan bahwa pengobatan
tradisional termasuk Jamu, menggunakan paradigma naturalistik, yang mengobati
pasien sebagai pribadi yang utuh (body-mind-spirit), dan berusaha memperbaiki
ketidakseimbangan fisik, mental, spiritual, dan lingkungan secara simultan.
Dengan demikian, penelitian dan pengembangan Jamu haruslah berbeda dengan
penelitian dan pengembangan obat modern. Obat modern dikembangkan melalui
pencarian dan identifikasi senyawa kimia baru yang belum pernah digunakan pada
manusia. Oleh karena itu, tahapan pengembangan obat baru selalu dimulai dengan
pencarian senyawa baru yang berpotensi obat, kemudian dilakukan uji pre-klinik
(uji in-vitro dan uji in-vivo mencari profil farmakokinetik, farmakodinamik, dan
toksisitas), barulah kemudian diujikan pada manusia melalui berbagai tahapan uji
klinik, yakni uji klinik fase 1, fase 2, dan fase 3. Uji klinik fase 1 pada dasarnya
bertujuan untuk melihat profil farmakologis (farmakokinetik dan
farmakodinamik) dan toksisitas pada manusia (human pharmacology and
toxicity). Uji klinik fase 2 bertujuan untuk melihat efek terapeutik awal dan
keamanan (therapeutic exploratory). Uji klinik fase 3 bertujuan untuk melihat
efektivitas dan keamanan (therapeutic confirmatory) (Lee et al, 2006). Setelah uji
7
klinik fase 3 menunjukkan efektivitas yang baik untuk indikasi tertentu dan aman,
barulah obat dapat dipasarkan (dengan persetujuan Badan POM). Bagaimana
dengan pembuktian manfaat dan keamanan Jamu? Apakah harus mengikuti semua
tahapan pengembangan obat modern? Jamu adalah obat tradisional yang sudah
digunakan secara turun temurun dari generasi ke generasi, sehingga bila ada efek
samping pasti sudah dikenali oleh masyarakat. Dengan kata lain, untuk jamu turun
temurun boleh dikatakan aman untuk digunakan. Oleh karena itu, tahapan uji
klinik jamu turun temurun dibedakan dengan formula jamu baru. Saintifikasi
Jamu mengusulkan tahapan pembuktian manfaat dan keamanan jamu baik untuk
formula turun temurun maupun formula baru adalah sebagaimana Gambar 2.
Guna mendapatkan data dasar tentang jenis tanaman, ramuan tradisional, dan
kegunaan ramuan tersebut, tahap pertama penelitian dalam program Saintifikasi
Jamu adalah dengan melakukan studi etnomedisin dan etnofarmakologi pada
8
kelompok etnis masyarakat tertentu. Dari studi etnomedisin dan etnofarmakologi
ini diharapkan dapat diidentifikasi jenis tanaman, bagian tanaman yang
digunakan, ramuan tradisional yang dipakai, serta indikasi dari tiap tanaman
maupun ramuan, baik untuk tujuan pemeliharaan kesehatan maupun pengobatan
penyakit. Data dasar ini menjadi sangat penting sebagai “bahan dasar”
pembuktian ilmiah lebih lanjut. Data dasar hasil studi etnomedisin dan
etnofarmakologi ini tentunya perlu dikaji oleh para ahli farmakologi herbal untuk
dilakukan skrining guna ditetapkan jenis tanaman dan jenis ramuan yang potensial
untuk dilakukan uji manfaat dan keamanan. Untuk formula yang sudah turun
temurun dan terbukti aman, maka dapat langsung pada tahap uji klinik fase 2
(WHO-TDR, 2005). Komnas SJ sepakat untuk uji klinik fase 2 dalam rangka
melihat efikasi awal dan keamanan, cukup menggunakan pre-post test design
(tanpa pembanding). Apabila pada uji klinik fase 2 membuktikan efikasi awal
yang baik, maka dapat dilanjutkan uji klinik fase 3, untuk melihat efektivitas dan
keamanannya pada sampel yang lebih besar, pada target populasi yang
sebenarnya. Desain uji klinik fase 3 Jamu ini sebaiknya menggunakan randomized
trial meski tanpa ketersamaran (open label randomized trial). Sebagai pembanding
(kontrol) bisa menggunakan obat standar bila Jamu dipakai sebagai terapi
alternatif, atau Jamu on-top (sebagai terapi tambahan) pada obat standar, bila
Jamu dipakai sebagai terapi komplementer. Hasil akhir uji klinik Saintifikasi
Jamu adalah Jamu Saintifik, yang menunjukkan bahwa Jamu uji mempunyai nilai
manfaat dan terbukti aman. Apabila perusahaan farmasi akan mengembangkan
Jamu Saintifik menjadi produk fitofarmaka, maka perusahaan farmasi
berkewajiban untuk mengikuti tahapan pengembangan fitofarmaka sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Untuk formula jamu baru (bukan turun-temurun), maka
tahapan uji klinik sebagaimana obat modern tetap harus diberlakukan, yakni uji
pre-klinik, uji klinik fase 1, fase 2, dan fase 3. Namun demikian, uji untuk melihat
profil farmakokinetik (absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi) tidak perlu
dilakukan, baik pada uji pre-klinik maupun uji klinik fase 1. Hal ini dikarenakan
ramuan jamu berisi banyak zat kimia (bisa ratusan) sehingga tidak mungkin untuk
melacak absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi semua komponen zat
kimia tersebut dalam tubuh hewan coba maupun tubuh manusia (WHO-TDR,
9
2005). Dengan demikian, untuk formula baru yang belum diketahui profil
keamanannya, maka harus dilakukan tahapan uji klinik yang runtut, mulai uji pre-
klinik, uji klinik fase 1, uji klinik fase 2, dan uji klinik fase 3. Bila uji klinik fase 3
menunjukkan efektivitas yang memadai dan aman, maka formula tersebut dapat
digunakan di pelayanan kesehatan formal. Bentuk sediaan yang dapat dipakai
sebagai bahan uji pada program Saintifikasi Jamu adalah jamu tradisional, ramuan
simplisia kering (untuk dijadikan jamu “godhogan”), Obat Herbal Terstandar,
ekstrak dalam bentuk tanaman tunggal, campuran ekstrak tanaman, dan bentuk
sediaan lainnya, yang tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan bukti ilmiah
tentang manfaat dan keamanan jamu, baik untuk tujuan promotif, preventif,
kuratif, paliatif, maupun rehabilitatif.
Di Indonesia, ada beberapa contoh tanaman obat yang dapat digunakan untuk
upaya preventif, promotif, maupun kuratif dalam peningkatan kesehatan
masyarakat. Sebagaimana yang terdapat dalam buku Vademekum Tanaman Obat
untuk Saintifikasi Jamu Jilid 1 dan 2, beberapa tanaman obat tersebut adalah
sebagai berikut :
a. Herba Sambiloto (Andrographis paniculata [Burm.f.] Nees) berkhasiat
meredakan demam, pengobatan diare akut, dan berfungsi sebagai
imunostimulan.
10
Gambar b. Kulit batang Pule (Alstonia scholaris L.)
c. Daun dan herba Seledri (Apium graveolens L.) berkhasiat untuk diuretik,
peluruh batu ginjal, anti asam urat, penurun kolesterol, antimikroba dan
parasit serta antihipertensi.
11
Gambar e. Rimpang Kunyit (Curcuma domestica Val.)
f. Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) berkhasiat untuk
hepatoprotektor.
12
Gambar h. Daun Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus Thumb.)
i. Herba Meniran (Phyllanthus niruri L.) berkhasiat untuk diuretik, antiradang,
hepatoprotektor, antipiretik, dan meningkatkan daya tahan tubuh.
13
Gambar k. Daun Tempuyung (Sonchus arvensis L.)
l. Batang Brotowali (Tinospora crispa L.) berkhasiat untuk antidiabetes.
14
Gambar n. Teki (Cyperus rotundus L.)
15
2.2.1. Fasilitas Pelayanan Kesehatan Saintifikasi Jamu
Saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan
hanya dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang telah
mendapatkan izin atau sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
1) Fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk
saintifikasi jamu dapat diselenggarakan oleh Pemerintah atau
Swasta.
2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud meliputi:
a. Klinik pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen
Kesehatan.
Gambar 2a. Klinik pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat
dan Obat Tradisional (B2P2TOOT)
16
b. Klinik Jamu.
17
A. Klinik Jamu Tipe A.
Klinik jamu tipe A harus memenuhi persyaratan:
Ketenagaan yang meliputi :
1. Dokter sebagai penanggung jawab.
2. Asisten Apoteker.
3. Tenaga kesehatan komplementer alternatif lainnya
sesuai kebutuhan.
4. Diploma (D3) pengobat tradisional dan/atau
pengobat tradisional ramuan yang tergabung dalam
Asosiasi Pengobat Tradisional yang diakui
Departemen Kesehatan.
5. Tenaga administrasi.
Sarana yang meliputi:
1. Peralatan medis.
2. Peralatan jamu.
3. Memiliki ruangan :
a. Ruang tunggu.
b. Ruang pendaftaran dan rekam medis (medical
record).
c. Ruang konsultasi/pelaksanaan penelitian.
d. Ruang pemeriksaan/tindakan.
e. Ruang peracikan jamu.
f. Ruang penyimpanan jamu.
g. Ruang diskusi.
h. Ruang laboratorium sederhana.
i. Ruang apotek jamu.
B. Klinik Jamu Tipe B.
Klinik Jamu tipe B harus memenuhi persyaratan:
Ketenagaan yang meliputi :
1. Dokter sebagai penanggung jawab.
2. Tenaga kesehatan komplementer alternatif lainnya
sesuai kebutuhan.
18
3. Diploma (D3) pengobat tradisional dan/atau
pengobat tradisional ramuan yang tergabung dalam
Asosiasi Pengobat Tradisional yang diakui
Departemen Kesehatan.
4. Tenaga administrasi.
Sarana yang meliputi:
1. Peralatan medis.
2. Peralatan jamu.
3. Memiliki ruangan :
a. Ruang tunggu dan pendaftaran.
b. Ruang konsultasi, pemeriksaan/ tindakan/
penelitian dan rekam medis (medical record).
c. Ruang peracikan jamu.
Klinik Jamu harus memiliki izin dari Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten Kota setempat. Izin diberikan selama 5
(lima) tahun dan dapat diperpanjang kembali selama memenuhi
persyaratan. Klinik Jamu harus memiliki kerjasama rujukan
pasien dengan rumah sakit. Untuk rujukan pelayanan jamu
dilakukan di rumah sakit yang memberikan pelayanan dan
penelitian komplementer-alternatif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk rujukan
pengobatan pasien dapat dilakukan di rumah sakit pada
umumnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Dalam menangani pasien santifikasi
jamu, dokter atau dokter gigi di rumah sakit rujukan wajib
mendiskusikan penyakit pasiennya dengan dokter atau dokter
gigi klinik jamu yang merujuknya. Dalam hal diperlukan, dokter
atau dokter gigi penerima rujukan di rumah sakit dan dokter atau
dokter gigi pengirim rujukan di klinik jamu dapat meminta
konsultasi kepada Komisi Daerah dan/atau Komisi Nasional
Saintifikasi Jamu.
19
2.2.2. Ketenagaan Saintifikasi Jamu
Dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya yang
memberikan pelayanan jamu pada fasilitas pelayanan kesehatan
harus memiliki:
a. Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran
Indonesia untuk dokter atau dokter gigi, STRA untuk
apoteker dan surat izin/registrasi dari Kepala Dinas
Kesehatan Propinsi bagi tenaga kesehatan lainnya.
b. Memiliki surat izin praktik bagi dokter atau dokter gigi
dan surat izin kerja/surat izin praktik bagi tenaga
kesehatan lainnya dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
setempat.
c. Memiliki surat bukti registasi sebagai tenaga pengobat
komplementer alternatif (SBR-TPKA) dari Kepala Dinas
Kesehatan Propinsi.
d. Memiliki surat tugas sebagai tenaga pengobat
komplementer alternatif (ST-TPKA/SIK-TPKA) dari
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Untuk tenaga pengobat tradisional harus memiliki surat
terdaftar/surat izin sebagai tenaga pengobat tradisional di Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota setempat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.2.3. Persetujuan Tindakan Saintifikasi Jamu
Jamu yang diberikan kepada pasien dalam rangka
penelitian berbasis pelayanan kesehatan hanya dapat diberikan
setelah mendapatkan persetujuan tindakan ( informed consent) dari
pasien. Persetujuan diberikan setelah pasien mendapatkan
penjelasan dan diberikan secara lisan atau tertulis sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.2.4. Pencatatan Saintifikasi Jamu
Tenaga kesehatan dan tenaga lainnya yang melakukan
penelitian berbasis pelayanan jamu kepada pasien harus melakukan
20
pencatatan dalam rekam medis (medical record). Rekam medis
dibuat tersendiri sesuai dengan pedoman pelayanan jamu di
fasilitas kesehatan.
2.2.5. Persetujuan Etik Saintifikasi Jamu
Pelaksanaan kegiatan penelitian dan etical clearance
penelitian jamu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2.2.6. Tarif Saintifikasi Jamu
Tarif yang ditetapkan di fasilitas pelayanan kesehatan yang
mempunyai kegiatan saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis
pelayanan kesehatan harus murah dan terjangkau oleh masyarakat.
Pendapatan yang diperoleh oleh fasilitas pelayanan kesehatan
pemerintah harus merupakan pendapatan Negara bukan pajak dan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
2.3. Pembinaan dan Pengawasan Saintifikasi Jamu
1. Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi, Kepala Dinas Kesehata
Kabupaten/Kota bersama organisasi/asosiasi terkait melakukan
pembinaan dan pengawasan Saintifikasi Jamu;
2. Dalam rangka pembinaan dan peningkatan saintifikasi jamu dalam
penelitian berbasis pelayanan, Menteri membentuk Komisi Nasional
Saintifikasi Jamu.
3. Komisi Nasional Saintifikasi Jamu bertugas :
a. Membina pelaksanaan saintifikasi jamu.
b. Meningkatkan pelaksanaan penegakan etik penelitian jamu.
c. Menyusun pedoman nasional berkaitan dengan pelaksanaan
saintifikasi jamu.
d. Mengusulkan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan bahan jamu, khususnya segi budidaya, formulasi,
distribusi dan mutu serta keamanan yang layak digunakan untuk
penelitian.
21
e. Melakukan koordinasi dengan peneliti, lembaga penelitian dan
universitas serta organisasi profesi dalam dan luar negeri,
pemerintah maupun swasta di bidang produksi jamu.
f. Membentuk jejaring dan membantu peneliti dokter atau dokter
gigi dan tenaga kesehatan lainnya yang melakukan praktik jamu
dalam seluruh aspek kepenelitiannya.
g. Membentuk forum antar tenaga kesehatan dalam saintifikasi jamu.
h. Memberikan pertimbangan atas proses dan hasil penelitian yang
aspek etik, hukum dan metodologinya perlu ditinjau secara khusus
kepada pihak yang memerlukannya.
i. Melakukan pendidikan berkelanjutan meliputi pembentukan
dewan dosen, penentuan dan pelaksanaan silabus dan kurikulum,
serta sertifikasi kompetensi.
j. Mengevaluasi secara terpisah ataupun bersamaan hasil penelitian-
pelayanan termasuk perpindahan metode/upaya antara kuratif dan
non kuratif hasil penelitian-pelayanan praktik/Klinik Jamu.
k. Mengusulkan kelayakan hasil penelitian menjadi program sinergi,
integrasi dan rujukan pelayanan jamu kepada Menteri melalui
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Membina
Komisi Daerah Santifikasi Jamu di propinsi atau kabupaten/kota.
l. Memberikan rekomendasi perbaikan dan keberlanjutan program
Saintifikasi Jamu kepada Menteri.
m. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan Menteri.
4. Dalam rangka pembinaan dan peningkatan saintifikasi jamu di daerah
dapat dibentuk Komisi Daerah Saintifikasi Jamu sesuai dengan
kebutuhan.
5. Komisi Daerah Saintifikasi Jamu sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
berwenang dan bertugas:
a. Melakukan pembinaan dalam pelaksanaan saintifikasi jamu di
daerah.
b. Berkoordinasi dengan Komisi Nasional Saintifikasi Jamu.
c. Melakukan pendidikan berkelanjutan di Provinsi.
22
6. Keanggotaan Komisi Nasional/Daerah Saintifikasi Jamu
beranggotakan pakar/ahli bidang masing-masing berasal dari berbagai
disiplin ilmu, dari berbagai Institusi yang berkaitan dengan jamu dan
organisasi profesi kedokteran/kedokteran gigi yang khusus untuk itu,
serta wakil produsen dan konsumen.
7. Ketentuan lebih lanjut mengenai Komisi Nasional Saintifikasi Jamu
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
8. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dapat mengambil tindakan administratif kepada
fasilitas pelayanan kesehatan/ tenaga pengobatan komplementer-
alternatif /tenaga pengobat tradisional yang melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan Peraturan ini.
9. Tindakan administratif melalui:
a. Teguran lisan; atau
b. Teguran tertulis; dan
c. Pencabutan izin/registrasi tenaga atau fasilitas.
Sumber : Menkes, 2010
B. Rasionalisasi Obat
2.4. Penggunaan Obat Yang Rasional
Penggunaan obat yang tidak tepat dapat berupa penggunaan
berlebihan, penggunaan yang kurang dari seharusnya, kesalahan dalam
penggunaan resep atau tanpa resep, polifarmasi, dan swamedikasi yang
tidak tepat (WHO, 2010). Tujuan dari penggunaan obat yang rasional
yakni untuk menjamin pasien mendapatkan pengobatan yang sesuai
dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dengan harga
yang terjangkau. Penggunaan obat yang rasional adalah penggunaan obat
yang sesuai dengan kebutuhan klinis pasien dalam jumlah yang memadai
dan biaya yang rendah. Obat merupakan produk yang diperlukan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, namun jika penggunaannya
salah, tidak tepat, tidak sesuai dengan takaran dapat membahayakan
(Depkes, 2008). Suatu pengobatan dikatakan rasional apabila memenuhi
23
beberapa kriteria tertentu. Kriteria ini mungkin akan bervariasi tergantung
interpretasi masing-masing, tetapi paling tidak mencakup sebagai berikut:
a. Ketetapan indikasi.
b. Ketepatan pemilihan obat.
c. Ketetapan cara pakai dan dosis obat
d. Ketetapan pasien (Santoso, dkk., 2006)
Dampak negatif yang ditimbulkan akibat dari penggunaan obat
yang tidak rasional dapat dilihat dari berbagai segi. Selain pemborosan
dari segi ekonomi dalam pemilihan obat yang tidak tepat, pola
penggunaan obat yang tidak rasional dapat berakibat menurunnya mutu
pelayanan pengobatan, misalnya meningkatkan efek samping obat,
meningkatnya kegagalan pengobatan dan sebagainya (Depkes,2000).
Manfaat obat tradisional antara lain sebagai preventif
(pencegahan), promotif (peningkatan derajat kesehatan), kuratif
(penyembuhan penyakit), rehabilitatif (pemulihan kesehatan). Peraturan
tentang Ketentuan Pokok Pengelompokkan dan Penandaan Obat Bahan
Alam Indonesia menetapkan bahwa obat tradisional Indonesia dibagi
menjadi tiga kategori berdasarkan cara pembuatan, jenis klaim
penggunaan, dan tingkat pembuktian khasiat. Tiga kategori tersebut
adalah:
1. Jamu (Empirical Based Herbal Medicine), adalah obat tradisional
bahan tanaman yang ada dalam resep dan disajikan secara tradisional
dalam bentuk seduhan, serbuk, cair, pil, atau kapsul. Kriteria yang
harus dipenuhi untuk kategori ini adalah: aman sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan, ememnuhi persyaratan mutu yang berlaku,
dan klaim khasiat harus dapat dibuktikan berdasarkan data empiris.
Logo Jamu
24
2. Obat Herbal Terstandar/OHT (Standarized Based Herbal Medicine),
adalah obat tradisional yang disajikan dari ekstrak atau penyarian
alam, baik yang berasal dari tanaman obat, binatang, maupun mineral.
Persyaratan untuk kategori ini lebih ketat dibandingkan dengan jamu.
Selain harus aman dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku,
klaim khasiat harus dibuktikan secara ilmiah berupa penelitian pra-
klinis dan telah dilakukan standarisasi terhadap bahan bau yang
digunakan dalam produk jadi.
Logo Fitofarmaka
Sumber : Tilaar, 2014
Obat tradisional jamu harus memenuhi persyaratan keamanan,
klaim khasiat dibuktkan berdasarkan data empiris, dan memenuhi
persyaratan mutu; Obat tradisional OHT harus memenuhi persyaratan
keamanan, klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah (uji praklinik), bahan
baku di standarisasi, dan memenuhi persyaratan mutu; obat tradisional
fitofarmaka harus aman sesuai dengan persyaratan, klaim khasiat
25
dibuktikan secara ilmiah (uji klinik), bahan baku distandarisasi, dan
memenuhi persyaratan mutu. Tips menggunakan obat tradisional yakni
harus konsultasi dan periksa kondisi sebelum memakai obat tradisional
terutama bagi ibu hamil,menyusui, dan penderita penyakit kronis, semisal
hipertensi, diabetes, dll lalu gunakan obat tradisional beregistrasi,
perhatikan label dan kemasan, baca petunjuk penggunaan, pastikan
kemasan tidak rusak, jika menggunakan obat konvensional berikan
tenggang waktu sekitar 2-3 jam sebelum mengonsumsi obat tradisional,
simpan obat tradisional di tempat sejuk, kering, dan terlindung dari sinar
matahari secara langsung, obat tradisional tak boleh mengandung bahan
kimia obat, obat tradisional secara umum tidaklahmemberikan efek
instan, jangan megonsumsi obat tradisional yang dilarang beredar oleh
Badan POM.
Menurut Prof. Agus, tantangan yang dihadapi dalam
pengembangan jamu antara lain belum terintegrasinya obat
tradisional/jamu dengan pelayanan kesehatan formal karena belum
adanya pengakuan dari profesi tenaga kesehatan (dokter, dokter gigi)
bahwa jamu aman (tidak toksis), berkhasiat (efikasi), dan mutunya
terjamin (standar). Untuk memperoleh pengakuan itu harus didasarkan
pada bukti-bukti empirik yang akan didapatkan melalui proses
saintifikasi jamu. Selain itu juga lemahnya koordinasi dan kerjasama
lintas sektor terkait, belum adanya standarisasi penyediaan bahan baku
(penanaman, pemanenan, pengolahan paska panen), belum
dilaksanakannya standar untuk menjamin mutu, manfaat, dan keamanan,
lemahnya data tentang akses obat tradisional yang bermutu, aman, dan
efikasi, serta kurangnya informasi terkait penggunaan rasional obat
tradisional. Untuk itu, disusunlah suatu Grand Strategy Pengembangan
Jamu oleh Kementerian Kesehatan melalui (1) Penyusunan kebijakan
nasional dan kerangka regulasi dalam mengintegrasikan obat tradisional
dengan pelayanan kesehatan formal, (2) Meningkatkan keamanan, mutu,
dan efikasi jamu, (3) Menjamin ketersediaan bahan baku jamu yg
berkualitas, (4) Meningkatkan akses thd jamu yang bermutu, aman, dan
26
berkhasiat, serta (5) Penggunaan rasional obat tradisional/jamu, kata
Prof. Agus.
Secara umum semua jenis obat herbal memang kecil sekali
memiliki efek samping atau bisa dikatakan aman dari efek samping.
Meskipun aman dari efek samping, konsumsi obat herbal juga harus
sesuai aturan dan cara pemakaian. Bahkan jika mengonsumsi obat herbal
ini bersamaan dengan obat kimia dapat mengakibatkan menurunnya
efektifitas dari kerja obat kimia tersebut maupun khasiat dari obat herbal
itu sendiri. Oleh karena itu, disarankan dalam mengkonsuminya
diberikan waktu jeda antara 1 jam lebih sebelum atau sesudah
mengkonsumsi obat kimia yang biasa diberikan oleh dokter. Obat herbal
masih jarang digunakan sebagai resep dokter. Sebagaimana telah kita
ketahui, bahwa sebagian besar dokter di Indonesia ataupun di negara
yang lain, sedikit sekali yang menyarankan atau memberikan resep obat
herbal sebagai obat untuk menyembukan sakit pasien. Hal ini wajar saja,
dikarenakan obat herbal/obat tradisional dalam hirarki kualitas obat
memang masih dibawah obat kimia. Hal ini dikarenakan obat herbal
belum melalui uji klinis pada hewan uji ataupun pada manusia itu sendiri,
sehingga khasiat penyembuhannya masih sebatas didasarkan pada
keyakinan secara turun termurun (fakta empiris). Oleh karena itu, tingkat
kepercayaan khasiat obat herbal bagi dunia medis masih kalah jauh
dibandingkan dengan obat kimia. Dari sisi harga konsumen, obat herbal
juga memiliki harga yang lebih murah, sehingga pemanfaatannya dapat
lebih luas dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat baik dari kalangan
ekonomi kelas atas, menengah, ataupun masyarakat kelas bawah. Maka,
pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan juga kalangan akademisi
sebagai penentu objektif keamanan dan khasiat obat, serta para dokter,
apoteker dan tenaga paramedis lainnya untuk mulai menggalakan dan
mensosialisasikan penggunaan obat tradisional secara tepat, benar dan
rasional, sehingga dapat meminimalisir efek samping dari obat kimia,
serta meningkatkan perekonomian masyarakat lokal.
27
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Maka dapat disimpulkan bahwa saintifkasi jamu adalah
pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan.
Sedangkan rasionalitas obat tradisional adalah penggunaan obat yang
sesuai dengan kebutuhan klinis pasien dalam jumlah yang memadai dan
biaya yang rendah. Obat merupakan produk yang diperlukan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, namun jika penggunaannya
salah, tidak tepat, tidak sesuai dengan takaran dapat membahayakan.
28
DAFTAR PUSTAKA