Anda di halaman 1dari 65

i

LAPORAN AKHIR

INDOFOOD RISET NUGRAHA (IRN)

ANALISIS GENETIK CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) GENOTIPE


MUTAN G7/01 GENERASI KE 4 HASIL MUTASI EMS

BUDIDAYA PERTANIAN

Atiaturrochmah

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
JULI, 2020
ii
iii

AlhamdulillahiRobbil’Alamiin, dengan ungkapan rasa syukur pada Allah Yang


Maha Kuasa dan berkat Nabi Muhammad SAW sebagai panutan umat hingga akhir
zaman. Penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan ini dalam memperoleh
gelar Sarjana Sains dalam bidang Biologi di Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya Malang.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada : 1.


Ibu Prof. Dr. Ir. Estri Laras Arumingtyas, MSc. St. selaku dosen pembimbing
skripsi yang senantiasa memberikan bimbingan nasehat dan arahan hingga penulis
mampu menyelesaikan naskah skripsi ini.

2. Ibu Rodliyati Azrianingsih, S.Si., M.Agr.Sc., Ph.D dan Ibu Retno Mastuti, Ir.,
M.Agr.Sc., D.Agr.Sc selaku Dosen Penguji yang telah memberi saran yang
bermanfaat demi perbaikan penyusunan skripsi.

3. Orang tua dengan segala doa, dukungan dan motivasi yang tidak terkira.

4. Teman-teman biologi 2016 dan rekan-rekan Working Group ELFIL 2020 dan
semua pihak yang berperan dalam penulisan ini.

4. PT Indofood Sukses Makmur Tbk, atas dana penelitian SKRIPSI ini yang telah
diberikan pada program IRN tahun 2019/2020.

Penulisan laporan ini merupakan upaya optimasi penulis sebagai sarana terbaik
dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Saran dan kritik yang membangun sangat
diharapkan untuk menjadikan karya ini semakin bermanfaat.

Malang, 25 Juni 2020

Atia Turochmah
iv

RINGKASAN

Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) merupakan salah satu komoditas lokal
pangan yang menunjang aspek ekonomi Indonesia. Secara umum cabai rawit
memberikan rasa panas atau pedas karena adanya kandungan senyawa kapsaisin
yang sangat tinggi. Masyarakat Indonesia menggunakan cabai rawit sebagai
pelengkap bahan masakan, antibiotik dan sebagainya. Upaya mendapatkan varietas
yang unggul dari cabai rawit tersebut, guna meningkatkan kualitas dan kuantitas
cabai rawit. Pemulia tanaman melakukan modifikasi teknik salah satunya rekayasa
genetika menggunakan senyawa mutagen terutama EMS (Ethyl Methane
Sulfonate). Senyawa ini digunakan karena tidak bersifat mutagenik setelah
terhidrolisis. Setelah proses mutasi, hasil tanaman mutasi disebut dengan tanaman
mutan, kemudian akan dilakukan proses seleksi (selective breeding) untuk memilih
mutan dengan karakter sifat yang diinginkan, tentunya dengan sifat yang unggul di
antara populasi mutan. Generasi awal hasil mutasi EMS umumnya masih
menunjukkan variasi yang tinggi karena terdapat banyak segregasi alel. Bila variasi
tersebut menetap dan membuat organisme lestari hidup maka akan diwariskan ke
generasi berikutnya. Proses seleksi ini berlangsung hingga keseluruhan tanaman
mutan bersifat homogen atau seragam dalam populasi mutan. Hasil dari mutasi ini
diharapkan adanya tanaman dengan sifat yang lebih baik dibandingkan dengan
kontrol (non mutant).
Tujuan penelitian ini yaitu menganalisis perbedaan antara tanaman mutan
G7/01 generasi ke 4 hasil mutasi EMS dengan tipe asalnya yaitu tanaman kontrol
G7 serta mengevaluasi variasi antar mutan G7/01/M4 tersebut secara genetik
berdasarkan karakter morfologi, fisiologi serta molekuler menggunakan analisis
RAPD. Karakterisasi morfologi dilakukan dengan mendeskripsikan variasi
morfologi pada tanaman kontrol G7 dan tanaman mutan G7/01/M4. Pengukuran
kandungan kapsaisin melalui tingkat kepedasan Scoville Heat Unit (SHU) pada 10
buah cabai G7/01 menggunakan spektrofotometri λ 280 nm. Analisis molekuler
menggunakan teknik isolasi DNA dan dilanjutkan dengan teknik PCR RAPD
dengan 10 primer pada 10 tanaman mutan G7/01/M4. Analisis data menggunakan
Analysis of Variance (ANOVA) dan uji Least Significant Difference (LSD) pada
v

taraf 5 % dengan software Microsoft Excel dan SPSS 23 dan serta analisis
similaritas Unweighted Pair Group Method with Arithmetic Mean (UPGMA)
software PAST 3. Berdasarkan karakter morfologi cabai mutan tanaman G7/01/M4
mayoritas memiliki sifat lebih unggul dibanding dengan kontrol G7 dan sudah
menunjukkan tanda kestabilan secara genetik, hal ini ditandai dengan variasi
morfologi yang tidak signifikan antar tanaman mutan pada beberapa karakteristik
morfologi yang diamati. Tingkat kepedasan Scoville Heat Unit (SHU) mutan
G7/01/M4 masuk dalam kategori sangat pedas dengan nilai lebih besar
dibandingkan dengan kontrol G7. Hasil RAPD menunjukkan bahwa tanaman mutan
T1 mengalami proses segregasi yang besar dibanding tanaman mutan G7/01/M4
lainnya, dengan ditandai terbentuknya kluster tersendiri.

Kata kunci : Capsicum frutescens L., kapsaisin, G7/01, EMS, RAPD


vi

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...........................................................................................................v


BAB 1 PENDAHULUAN .....................................................................................1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................2
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................3
BAB 2 TARGET LUARAN...................................................................................4
BAB 3 METODE PENELITIAN ..........................................................................5
3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................5
3.2 Penanaman dan Perawatan Tanaman Cabai Rawit Genotip G7/01/
M4 dan Kontrol G7 ......................................................................................5
3.3 Karakterisasi Morfologi Cabai Rawit Genotip G7/01/M4 dan
Kontrol G7....................................................................................................5
3.4 Isolasi DNA Cabai Rawit Genotip G7/01/M4 dan Kontrol G7 ............6
3.5 Uji Kuantitatif DNA ...............................................................................7
3.6 Uji Kualitatif DNA ................................................................................7
3.7 Amplifikasi DNA (PCR) Menggunakan Primer RAPD ........................8
3.8 Pengukuran Tingkat Kepedasan Kapsaisin Buah ..................................8
3.9 Analisis Data .........................................................................................9

BAB 4 HASIL YANG DI CAPAI .......................................................................11


4.1 Perbandingan Variasi Morfologi Cabai Rawit G7/01/M4 dengan
Kontrol G7..................................................................................................11
4.2 Variasi Morfologi dan Tingkat Kepedasan Antar Mutan Cabai
Rawit (Capsicum frutescens L.) Genotip G7/01/M4..................................18
4.3 Gradasi Warna Buah Tanaman Cabai Rawit
(Capsicum frutescens L.) Genotip G7/01/M4 ............................................27
4.4 Tingkat Kepedasan Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.)
Genotip G7/01/M4 .....................................................................................28
4.5 Analisis Molekuler Menggunakan Metode PCR RAPD Cabai
vii

Rawit (Capsicum frutescens L.) Kontrol G7 dan Genotip G7/01 ........... 29


4.6 Similaritas Berdasarkan Data Karakter Morfologi- Fisiologi,
Molekuler PCR RAPD dan Morfologi- Fisiologi-Molekuler RAPD...... 31
BAB 5 POTENSI HASIL ............................................................................... 36
5.1 Manfaat Artikel Ilmiah ................................................................... 36
5.2 Peluang Paten.................................................................................. 36
5.3 Potensi Ekonomi ............................................................................. 36
BAB 6 PENUTUP............................................................................................ 42
5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 42
5.2 Saran ............................................................................................... 42
PENUTUP ......................................................................................................... 41
LAMPIRAN ...................................................................................................... 41
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cabai (Capsicum frutescens L.) merupakan tanaman yang termasuk dalam


genus Capsicum, famili Solanaceae yang buahnya dikenal mengandung kapsaisin
untuk memberikan rasa pedas. Tanaman hortikultura ini merupakan tanaman
komersial yang dibudidayakan secara luas di daerah tropis dan sub tropis di dunia
termasuk di Indonesia (FAO, 2008). Lima spesies yang dikenal memberikan nilai
ekonomi di dunia yaitu C.annum, C. frutescens, C. chinense, C. pubescens dan C.
baccatum (Krishna, 2004). Cabai dikenal di seluruh dunia dengan berbaga nama
yaitu cabai rawit, paprika, cabai rawit raksasa (Italian sweet pepper), sweet pepper
banana dan lainnya. Cabai rawit lokal Malang yang tersebar di pasaran yaitu
genotip G1, G2, G3, G4, G5, G6. Sedangkan untuk genotip G7 berasal dari pasar
Lombok NTB (Dwinianti dkk., 2018).
Upaya mendapatkan varietas yang unggul dapat dilakukan melalui
introduksi, hibridisasi, induksi mutasi dan rekayasa genetika (Sari dkk., 2015).
Mutasi merupakan salah satu cara peningkatan keanekaragaman genetik tanaman
yang dianggap paling murah dan cepat. Induksi mutasi dapat dilakukan dengan
menggunakan mutagen fisik atau kimiawi. Mutagen kimia EMS (Ethyl Methane
Sulfonate) paling banyak digunakan karena tidak bersifat mutagenik setelah
terhidrolisis (Harteen, 2007). Mutasi merupakan perubahan materi genetik dalam
DNA maupun RNA baik pada urutan gen maupun jenis basa nukleotidanya,
perubahan ini terjadi secara acak (Girija dan Dhanavel, 2009). Peristiwa mutasi
mampu menyebabkan terjadinya segregasi dan menghasilkan keragaman genetik
yang berpengaruh terhadap morfologi tanaman baik fase vegetatif maupun
generatif (Nugroho dkk., 2013). Tanaman mutan dengan sifat yang unggul yang
didapatkan akan di seleksi hingga beberapa generasi sampai menghasilkan
keturunan tanaman dengan sifat yang stabil (Pardal, 2014).
Arruvitasari, (2016) melakukan induksi mutasi pada tanaman cabai rawit
menggunakan mutagen EMS (Ethyl Methane Sulfonate) dengan konsentrasi EMS
0.01 %, hasil mutasi tersebut menghasilkan cabai rawit mutan M1 dengan
peningkatan jumlah helaian daun dan cabang, serta kandungan kapsaisin

1
2

dibandingkan dengan kontrol. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh


Dwinianti dkk., (2018) dan Juliandari dkk., (2018) menunjukkan bahwa induksi
mutasi dengan EMS 0.01 % telah menghasilkan beberapa mutan cabai rawit salah
satunya mutan genotip G7/01/M1. Hasil identifikasi mutan tanaman G7/01 sampai
generasi ke 3 (M3) menunjukkan adanya sedikit variasi yaitu total kandungan
kapsaisin yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kontrol tetapi tidak
berbeda signifikan antar mutan. Tanaman mutan juga cenderung lebih bersifat
adaptif, tahan terhadap kondisi cekaman lingkungan serta serangan hama dan
penyakit (Juliandari, 2018). Melihat keunggulan tersebut serta adanya indikasi
kestabilan mutan yang ditunjukan oleh variasi yang rendah maka diperlukan
pengkajian lebih lanjut pada generasi ke-4 yaitu genotip G7/01/M4 untuk
memastikan kestabilannya serta menginvestigasi apakah masih terdapat variasi
yang menunjukkan sifat yang unggul.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan analisis secara genetik
meliputi skrining fenotip dan molekuler. Analisa morfologi dan fisiologi termasuk
dalam skrining fenotip sampel. Sedangkan analisa molekuler salah satunya
menggunakan identifikasi metode RAPD (Random Amplifacation of Polymorphic
DNA). Analisis tersebut bertujuan menunjukkan adanya polimorfisme dan
keragaman pada populasi maupun antar populasi, yang dalam penelitian ini berguna
untuk menjelaskan mengenai variasi yang terjadi pada cabai rawit mutan
G7/01/M4.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana perubahan karakter morfologi dan fisiologi terutama kandungan
kapsaisin pada beberapa cabai rawit genotip G7/01/M4 dibandingkan
dengan kontrol G7?
2. Apakah masih terdapat variasi morfologi dan fisiologi yang muncul pada
tanaman G7/01/M4?
3. Bagaimana similaritas pada cabai rawit genotip G7/01/M4 berdasarkan
karakteristik antara morfologi, fisiologi dan molekuler RAPD
menggunakan analisis dendrogram?

2
3

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Menganalisis perubahan karakter morfologi dan fisiologi terutama
kandungan kapsaisin pada beberapa cabai rawit genotip G7/01/M4
dibandingkan dengan kontrol G7.
2 Menginvestigasi variasi morfologi dan fisiologi yang muncul pada tanaman
G7/01/M4.
3 Menganalisis similaritas pada cabai rawit genotip G7/01/M4 berdasarkan
karakteristik antara morfologi, fisiologi dan molekuler RAPD menggunakan
analisis dendrogram.

1.4. Manfaat Penelitian


Informasi mengenai karakter morfologi, tingkat kepedasan buah serta
skrining molekuler RAPD cabai rawit G7/01/M4 dan dapat dimanfaatkan sebagai
pertimbangan para pemulia tanaman dalam melakukan tahapan seleksi. Tahapan
seleksi tersebut berguna untuk menghasilkan tanaman dengan sifat yang unggul
serta stabil. Tanaman unggul tersebut dapat meningkatkan nilai ekonomi serta
menambah plasma nutfah cabai rawit.

3
4

BAB 2
TARGET LUARAN

1. Publikasi hasil penelitian dalam jurnal ilmiah Internasional ter indeks


SCOPUS yaitu Journal of Tropical Life Science (http/jtrolis.ub.ac.id).
2. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai referensi dalam pemulia tanaman
dalam melakukan selective breeding untuk menghasilkan tanaman dengan
sifat yang unggul.
3. Penelitian ini mencakup beberapa teknik atau metode dalam profiling genetic
untuk digunakan sebagai acuan atau referensi dalam pemulia tanaman.
4. Hasil penelitian ini dapat membantu masyarakat awam dan peneliti lain dalam
bidang tersebut untuk mengetahui informasi keunggulan mengenai cabai
rawit terutama G7/01 yang berasal dari pasar pulau Lombok NTB setelah
dimutasi menggunakan EMS.

4
5

BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian dilakukan pada bulan September 2019 – Juni 2020. Penanaman dan
perawatan dilakukan di kebun percobaan yang terletak di Jl Margobasuki no 31
Dau, Kota Malang. Analisa molekuler dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Kultur
Jaringan Tumbuhan dan Mikroteknik dan Laboratorium Biomolekuler dan Seluler,
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Brawijaya, Malang.

3.2 Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Cabai Rawit G7/01/M4


Biji cabai rawit mutan G7/01/M4 disemai pada media hidroponik sistem wick
dengan penambahan AB mix sebagi nutrisi makro dan mikro tanaman dengan
konsentrasi 800 ppm, semaian diletakan pada kondisi yang cukup cahaya hingga
tanaman berjumlah 4-5 helai daun. Kemudian cabai rawit tersebut dipindah ke
media tanam baru yaitu campuran kompos dan tanah (1:1, v/v) Cabai rawit
ditumbuhkan dalam kondisi cahaya yang cukup, penyiraman setiap hari secara
teratur, dan pengontrolan dari gulma dan organisme pengganggu tanaman (OPT)
dan fungisida.

3.3 Karakterisasi Morfologi Cabai Rawit G7/01/M4


Pengamatan morfologi dilakukan dengan mengamati karakteristik pada cabai
rawit G7/01/M4 (T1-T50) dan kontrol G7 (K1-K3). Karakter morfologi diamati saat
tanaman sudah mulai fase generatif yaitu ketika tumbuhnya percabangan dikotom
dan tanaman sudah memasuki anthesis. Pengamatan karakter vegetatif secara
kualitatif adalah bentuk daun (deltoid, ovate dan lanceolate) (LG26), Pengamatan
organ vegetatif secara kuantitatif meliputi tinggi tanaman, panjang batang sampai
percabangan dikotomus, panjang daun, lebar daun, jumlah nodus dan panjang
internodus (LT4). Pengamatan karakter organ generatif diamati secara kualitatif dan
kuantitatif. Pengamatan organ generatif secara kualitatif meliputi warna bunga dan
warna buah (LT5). . Pengamatan organ

5
6

generatif secara kuantitatif meliputi panjang buah, panjang tangkai buah, diameter
buah, berat buah, jumlah buah, jumlah biji (LT6). Karakter tanaman secara
kuantitatif yang diamati pada penelitian ini sebagian dikelompokkan berdasarkan
kategorisasi menurut buku deskriptor cabai rawit IPGRI, AVRDC & CATIE (1995)
dan Al-Othman dkk. (2011) yang kemudian dijadikan dalam bentuk scorring
karakter (Lampiran 1).
Tanaman G7/01 yang dianalisis kandungan kapsaisin serta molekuler RAPD
sebanyak 10 tanaman dari total 50 tanaman yang dipilih berdasarkan karakter
morfologi yang mencolok (Tabel 3).
Tabel 1. Tanaman G7/01/M4 yang dipilih dengan karakter yang mencolok
Tanaman Karakter
T1 Tanaman tinggi, berbunga paling cepat, berbuah paling cepat
T2 Tanaman tinggi, berbunga paling cepat.
T3 Memiliki percabangan trikotom
T9 Memiliki percabangan trikotom, tanaman sedang
T17 Memiliki percabangan trikotom, tanaman berbuah lambat
T20 Memiliki percabangan trikotom, tanaman tinggi
T22 Memiliki percabangan trikotom,tanaman sedang
T28 Memiliki percabangan trikotom, tanaman pendek
T36 Tanaman pendek, buahnya banyak
T39 Memiliki buah yang banyak, berdaun lebar

3.4 Isolasi DNA Whole Genom Cabai Rawit


DNA whole genom cabai rawit diisolasi dari daun cabai rawit yang masih
muda pada tanaman cabai rawit mutan G7/01/M4 yaitu 10 tanaman dari 50 tanaman
(T1-T50) dengan karakter yang khas atau mencolok (Tabel 1). Metode isolasi DNA
genom dilakukan berdasarkan metode Fatchiyah dkk., (2011). Daun muda yang
telah dibekukan diambil sebanyak 0,1 g, ditambahkan nitrogen cair, dan digerus.
Sampel ditambahkan buffer ekstrak dan dimasukkan ke tabung microtube. Sampel
divorteks, diinkubasi (65° C, 30 menit), dan disentrifugasi (13.000 rpm, 4° C , 15
menit). Supernatan dipindah ke tabung microtube baru, ditambah buffer PCI (1
volume), divorteks, dan disentrifugasi (13.000 rpm, 4° C, 5

6
7

menit). Supernatan dipindah ke tabung microtube baru, ditambah buffer CI (1


volume), divorteks, dan disentrifugasi (13.000 rpm, 4° C, 10 menit). Supernatan
ditambahkan isopropanol 1M volume yang sama, kemudian diinkubasi dalam suhu
-20°C selama 1 jam kemudian di sentrifugasi (13.000 rpm, 4° C, 15 menit),
dipisahkan pelet dan supernatan, supernatan kemudian di buang, sampel dicuci
menggunakan etanol 70 % sebanyak 500 µl, sampel kemudian disentrifugasi
(13.000 rpm, 4°C, 15 menit). Supernatan kemudian dibuang dan pelet di keringkan
sampai menjadi (dry pellet) di suhu ruang selama over night. Sampel kemudian
diresuspensi menggunakan ddH2O atau TE sebanyak 50 µl. Hasil isolasi whole
genom kemudian disimpan dalam suhu -20°C.

3.5 Uji Kuantitatif DNA


Uji secara kuantitatif menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang 230, 260, dan 280 nm dengan faktor pengenceran (FP) 200 (5 µl sampel
DNA dilarutkan dalam 995 µl ddH2O steril hingga mencapai larutan dengan volume
1000 µl). Kemurnian DNA dari RNA dan protein ditentukan dengan rasio A260/A280
sedangkan kemurnian DNA dari polisakarida ditentukan dengan rasio A260/A230.
Isolat DNA dinyatakan murni dari protein apabila nilai rasio A260/A280 lebih dari
1.8 sedangkan dari RNA kurang dari 2.0. Isolat juga dinyatakan murni dari
polisakarida apabila nilai rasio A260/A230 sebesar 0.5. Konsentrasi DNA sampel
ditentukan dengan persamaan 1 sebagai berikut :
[DNA]= A260 X FP X 50 µg/mL. ............................. (1)
Keterangan
A260 : nilai absorbansi pada panjang gelombang 260 nm
FP : faktor pengencer
50 : nilai yang setara dengan nilai 1 pada absorbansi

3.6 Uji Kualitatif DNA


Uji secara kualitatif dilakukan dengan elektroforesis gel agarose 1 %.
Sampel atau isolat DNA dicampur dengan loading dye (1:1), masing-masing 2 µl.
Isolat DNA dimasukkan ke dalam sumuran bersama dengan marker GeneOn 1 kb

7
8

dan dijalankan pada 80 V selama 30 menit. Hasil elektroforesis didokumentasi


pada gel doc UV-Vis Transiluminator.

3.7 Amplifikasi DNA (PCR) Menggunakan Primer RAPD (Random Amplified


Pholymorphism DNA).
DNA genom sepuluh tanaman cabai mutan dan tiga tanaman kontrol
diamplifikasi menggunakan PCR dengan primer acak yang terdiri dari sepuluh basa
(dekamer) (Operon Tech). Primer RAPD yang digunakan terdiri dari sepuluh
primer (Tabel 2). Primer yang memberikan pita amplifikasi yang tegas dan jelas
serta menghasilkan pita DNA polimorfik dipilih untuk mengamplifikasi DNA
seluruh tanaman cabai. Optimasi PCR dilakukan untuk mendapatkan kondisi PCR
yang optimal. Beberapa variabel seperti konsentrasi primer, konsentrasi cetakan
DNA, dan suhu penempelan primer yang digunakan untuk PCR dipelajari dan
dicoba untuk mendapatkan produk PCR yang optimal. Amplifikasi DNA dilakukan
berdasarkan metode Williams, (2000) yang dimodifikasi. Reaksi PCR dilakukan
pada total volume 10 μl. Masing-masing tabung PCR berisi ddH2O 3 μl, PCR mix
4 μl, primer 2 μl, dan DNA sampel 1 μl.

Tabel 2. Primer RAPD yang digunakan dalam penelitian


No Primer Nama Primer Sekuen primer (5’-3’)
1 OPW04 CAGAAGCGGA
2 OPD13 GGGGTGACGA
3 OPB11 GTAGACCCGT
4 OPL05 ACGCAGGCAC
5 OPB04 GGACTGGAGT
6 OPU10 ACCTCGGCAC
7 OPD19 CTGGGGACT
8 OPU19 GTCAGTGCGG
9 OPA1 CAGGCCCTTC
10 OPF9 CCAAGCTTCC

8
9

Reaksi PCR dilakukan selama 30 siklus. Denaturasi awal pada suhu 94°C
selama 5 menit, kemudian diikuti oleh 30 siklus yang terdiri atas denaturasi 1 menit
pada suhu 94°C, penempelan primer (annealing) 1 menit pada suhu 36°C, dan 2
menit pemanjangan (ekstensi) pada suhu 72°C. Setelah 30 siklus selesai, kemudian
diikuti pemanjangan akhir (ekstensi akhir) 4 menit pada suhu 72°C. Hasil
amplifikasi diuji kualitatif secara elektroforesis dengan menggunakan gel agarosa
2.0% dalam bufer TE (Tris-EDTA) selama 60 menit pada 50 V. Hasil pemisahan
fragmen DNA dideteksi dan difoto menggunakan gel documentation system (Gel-
Doc). Sebagai standar digunakan 100 bp DNA ladder untuk menetapkan ukuran
pita hasil amplifikasi DNA (Williams dkk, 2000).

3.8 Pengukuran Tingkat Kepedasan Kapsaisin Buah


Larutan standar kapsaisin dibuat dengan serbuk standar kapsaisin dilarutkan
dalam etanol absolut 1:1 (v/v) dan digunakan sebagai stok. Larutan standar
kapsaisin dibuat dengan konsentrasi 0; 20; 40; 60; 80; dan 100 ppm. Larutan
tersebut kemudian diukur absorbansinya menggunakan metode spektrofotometri
dengan panjang gelombang 280 nm. Nilai absorbansi larutan dibuat kurva standar,
sehingga didapat persamaan 2 sebagai berikut:

y= ax+b ..................................(2)
Keterangan:
y = absorbansi larutan (nm)
x = konsentrasi kapsaisin sampel (ppm)

Ekstraksi kapsaisin dilakukan pada cabai 20 sampel cabai yang digunakan,


yang telah berumur 30-40 HSP. Plasenta dan pericarp buah cabai dipisahkan dari
bijinya dan ditimbang sebanyak 0,5 g. Buah cabai kemudian ditambah dengan
etanol absolut 5 ml dan digerus dengan mortar dan pestle. Homogenat disaring
dengan kertas saring untuk mendapatkan filtrat. Filtrat diencerkan dalam pelarut
etanol absolut dengan faktor pengenceran 10x, diukur absorbansinya menggunakan
spektrofotometer dengan panjang gelombang 280 nm. Nilai absorbansi sampel
disubtitusi pada persamaan kurva standar kapsaisin untuk

9
10

mengetahui konsentrasi kapsaisin pada sampel. Konsentrasi kapsaisin (ppm) hasil


subtitusi absorbansi sampel pada rumus 3 dikonversi menjadi konsentrasi kapsaisin
(mg/g) dan hasil akhir berupa tingkat kepedasan (SHU) dengan rumus berikut :
Kapsaisin (mg/g) : (C x FP x V) x 10-8 / W..................(3)
Nilai Kepedasan (SHU) = Kapsaisinoid (g/g) 1,6 𝑥 10
Keterangan :
C = Konsentrasi kapsaisin sampel (ppm)
FP = Faktor Pengenceran
W = Berat sampel (mg)
V = Volume pelarut (L)

3.9 Analisis Data


Analisis data dilakukan menggunakan analisis sidik ragam satu arah atau
Analysis of Variance (ANOVA) one-way. Analisis data lanjutan dilakukan dengan
uji beda nyata terkecil atau Least Significant Difference (LSD) kontrol dan mutan
G7/01/M4 pada taraf 5 % menggunakan SPSS 23. Analisis data morfologi, fisiologi
dan molekuler diubah ke dalam angka biner satu (1) dan nol (0) di dalam lembar
kerja microsoft excel berdasarkan ada atau tidaknya pita, data dianalisis
menggunakan software PAST 3 (Paelontological Statistic Software 3) dengan
metode UPGMA (Unwigted Pair Group Method with Arithmatic Means).

10
11

BAB 4
HASIL YANG DICAPAI

4.1 Perbandingan Morfologi Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.) Kontrol G7


dan Genotip G7/01/M4
Rata-rata tinggi tanaman dan panjang dikotomus tanaman cabai rawit
G7/01/M4 cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (Gambar ). Rata-rata
tinggi tanaman kontrol G7 sebesar 125 ± 15 cm dan tinggi tanaman mutan G7/01/M4
adalah 128 ± 18,1 cm (Gambar 1A). Rata-rata panjang hingga percabangan dikotomus
tanaman kontrol G7 sebesar 59 ± 7,0 cm dan mutan G7/01/M4 sebesar 62,8 ± 9,08
(Gambar 1B).

180
80
a a
160 a a
Panjang hingga (dikotomus) (cm)

70
140
Tinggi tanaman (cm)

60
120
50
100
40
80

60 30

40 20

20 10

0 Kontrol G7 G7/01/M4 0 Kontrol G7 G7/01/M4


G7 Kontrol G7/01/F4 G7 Kontrol G7/01/F4

A Tanaman B Tanaman

Gambar 1. Rata-rata variasi morfologi vegetatif tanaman cabai rawit (Capsicum


frutescens L.): (A) tinggi tanaman; (B) panjang hingga dikotomus.
(Keterangan: notasi (huruf) yang sama menunjukkan tidak berbeda
signifikan kontrol G7 (n=3) dan mutan G7/01/M4 (n=50)).

Tinggi tanaman dan panjang hingga dikotomus menunjukkan distribusi yang


normal pada tingkat kepercayaan 95 % (LT15). Kemudian dilanjutkan dengan uji LSD
(t-paired test sig α = 0.05), karakter tersebut tidak ada perbedaan yang signifikan
antara tanaman kontrol G7 dengan mutan (G7/01) generasi ke 4 (LT20). Tinggi
tanaman cabai rawit hasil mutan ini merupakan salah satu indikasi bahwa tanaman
tersebut tumbuh dan berkembang dengan baik.
Tinggi cabai rawit menurut Arumingtyas dkk., (2017) mampu mencapai 150
11
12

hingga 200 cm. Menurut Arisha dkk., (2010) tinggi tanaman cabai rawit dapat
dikelompokan menjadi lima kategori yaitu kerdil (>20 cm), pendek (20-40 cm),
normal (41-80 cm), tinggi (81-100 cm), sangat tinggi(> 100 cm). Berdasarkan kategori
tersebut cabai rawit kontrol dan G7/01 mutan keseluruhan masuk dalam kategori
sangat tinggi (> 100 cm) kecuali tanaman mutan T36, T40, T47 dan T49 yang
termasuk kategori tinggi (81-100 cm).
Rata-rata tinggi dan panjang dikotomus tanaman mutan yang lebih besar
dibandingkan dengan kontrol G7, meskipun tidak berbeda signifikan, antara
keduanya masih memungkinkan adanya perubahan yang terjadi pada tanaman
mutan G7/01/M4 akibat peristiwa segregasi oleh senyawa EMS. Senyawa EMS
menurut Pathriana, (2012) dapat menyebabkan perubahan sifat pada tanaman
karena adanya point mutation (mutasi titik), sehingga dapat memunculkan dua
kemungkinan yaitu perubahan yang menguntungkan atau merugikan. Menurut
Jabeen & Mirza, (2004) EMS 0,01 % pada tanaman cabai rawit menunjukkan
peningkatan terhadap tinggi tanaman. Tanaman dengan tinggi yang lebih memiliki
nilai positif dalam proses pertumbuhannya yaitu mampu berkompetisi untuk
memperoleh cahaya matahari untuk keperluan fotosintesis. Fotosintesis yang baik
dan maksimal akan memaksimalkan proses metabolisme tanaman tersebut untuk
tumbuh dan berkembang.
Rata-rata panjang internodus dan jumlah nodus tanaman cabai rawit
G7/01/M4 lebih panjang dibandingkan dengan kontrol G7 meskipun hanya jumlah
nodus saja yang berbeda signidikan antara keduanta sebesar (Gambar 2). Rata-rata
panjang internodus tanaman kontrol G7 adalah 3,5 ± 0,5 cm dan tanaman mutan
G7/01/M4 sebesar 3,85 ± 0,9 cm (Gambar 2A). Rata-rata jumlah nodus tanaman
kontrol G7 berjumlah 16 ± 1 dan tanaman mutan G7/01/M4 berjumlah 17,8 ± 1,5
(Gambar 2B).

12
13

6
25
5

Panjang internodus (cm)


20
4

Jumlah nodus
15
3
10
2

1 5

0 0
G7 Kontrol G7/01/F4 G7 Kontrol G7/01/F4
A Tanaman B Tanaman

Gambar 2. Rata-rata variasi morfologi vegetatif tanaman cabai rawit (Capsicum


frutescens L.): (A) panjang internodus (B) jumlah nodus (Keterangan:
notasi (huruf) yang sama menunjukkan tidak berbeda signifikan kontrol
G7 (n=3) dan mutan G7/01/M4 (n=50)).

Internodus merupakan jarak antar dua nodus yang berdekatan. Internodus


akan mempengaruhi tinggi dan aksitektur tanaman. Penelitian Sun dkk., (2019)
menyatakan bahwa induksi mutasi menghasilkan tanaman mutan yang memiliki
panjang internodus yang lebih panjang dibandingkan wild type. Identifikasi secara
molekuler menunjukkan bahwa terdapat peran ekspresi gen EI (Elongated
Internode) yang mengkode enzim GA2ox7 dalam jalur metabolisme GA. Mutasi
akan mengurangi ekspresi gen El (Elongated Internode) karena adanya perubahan
asam amino pada gen tersebut. Akibatnya ekspresi gen El (Elongated Internode)
yang berkurang akan menyebabkan fenotip dengan internodus yang lebih panjang.
Gen El akan memainkan peran dalam mengendalikan pemanjangan ruas atau
internodus pada tanaman.
Nodus akan berfungsi sebagai munculnya daun serta cabang. Gen yang
mengkode regulasi nodus adalah gen AtGA20x1 yang mengekspresikan enzim
GA20ox dalam jalur metabolisme GA biosynthesis pathway. Meningkatnya
ekspresi gen AtG20ox1 akibat mutasi akan meningkatkan produksi giberelin dalam
tanaman yang memunculkan nodus yang lebih (Li dkk., 2017). Senyawa EMS
(Ethyl Methane Sulfonate) akan menyebabkan terjadinya perubahan asam amino,
hilangnya asam amino atau bertambahnya asam amino yang akan mengakibatkan
perubahan protein dan enzim pada gen yang di kodekan, salah

13
14

satunya pada gen regulasi jumlah nodus. Nodus yang lebih banyak pada cabai
mutan G7/01 memperlihatkan habitus yang lebih lebat dan rimbun dibandingkan
dengan kontrol G7.
Sujitno & Dianawati, (2015) menyatakan bahwa peningkatan jumlah nodus
akan meningkatkan kemunculan cabang dan daun. Daun yang lebih akan
mempengaruhi proses fotosintesis metabolisme tanaman secara optimal, sedangkan
peningkatan cabang berpengaruh terhadap produktivitas tanaman cabai yaitu dapat
menghasilkan bunga dan buah yang lebih. Hal ini terjadi karena tanaman akan
memiliki jumlah cabang yang lebih, secara otomatis juga memiliki aksil yang juga
lebih. Hal tersebut akan sangat menguntungkan karena produktivitasnya
meningkat.
Rata-rata panjang daun dan lebar daun tanaman mutan G7/01/M4 lebih besar
dibandingkan kontrol G7 (Gambar 3). Rata-rata panjang daun tanaman kontrol G7
14 ± 2,05 cm dan panjang daun tanaman mutan rata-rata yaitu kontrol G7 14 ± 2.,05
cm. Rata-rata lebar daun tanaman kontrol G7 sebesar 5,4 ± 0.2 dan lebar daun
tanaman mutan G7/01/M4 sebesar 6,78 ± 0,81 (Gambar 3B).
10
25
9
8
20
7
Panjang daun (cm)

Lebar daun (cm)

6
15
5

10 4
3
5 2
1
0 0
G7 Kontrol G7/01/F4 G7 Kontrol G7/01/F4
A Tanaman B Tanaman

Gambar 3. Rata-rata variasi morfologi vegetatif tanaman cabai rawit (Capsicum


frutescens L.): (A) panjang daun (B) lebar daun (Keterangan: notasi
(huruf) yang sama menunjukkan tidak berbeda signifikan kontrol G7
(n=3) dan mutan G7/01/M4 (n=50)).

Panjang dan lebar daun menunjukkan distribusi yang normal pada tingkat
kepercayaan 95 % (LT15). Kemudian dilanjutkan dengan uji LSD (t-paired test sig
α = 0.05), panjang daun tidak berbeda secara signifikan, sedangkan lebar daun

14
15

berbeda secara signifikan antara tanaman kontrol G7 dengan mutan G7/01/M4


(LT19; LT20). Panjang dan lebar daun di kontrol oleh ekstensibilitas sel yang di
regulasi oleh enzim dan protein cell-wall loosening termasuk produksi xyglocus
endotransglikosilase (XET) dan produksi hormon giberelin melalui GA
biosynthesis pathway. Giberelin akan membantu pembentukan tunas dan
perkembangan daun (Xu dkk., 2016). Perbedaan panjang dan lebar daun tanaman
mutan G7/01/M4 dibandingkan dengan kontrol G7 diakibatkan adanya mutasi.
Mutasi akan mengubah pada sekuens DNA dari daerah regulator yang dapat
mempengaruhi waktu, ketersediaan protein serta juga menyebabkan malfungsi
seluler yang serius (Arumingtyas, 2019).
Dheer dkk., (2014) menyampaikan hasil penelitiannya yaitu perlakuan mutasi
menggunakan EMS 0,01 % pada tanaman akan mengasilkan perbedaan nyata
terhadap daun. Daun pada tanaman mutan memiliki karakter yang lebih lebar, lebih
panjang dan lebih tebal, tanaman tersebut juga bertambah besar dan bercabang
lebih banyak sehingga jumlah daun bertambah banyak. Hal tersebut karena adanya
mutasi dan menyebabkan proses segregasi. Daun adalah organ tanaman yang
berfungsi sebagai proses fotosintesis. Fotosintesis akan memproduksi glukosa
sebagai sumber energi utama bagi tumbuhan. Proses ini penting dalam
pertumbuhan vegetatif maupun generatif tanaman terutama dalam memenuhi
kebutuhan nutrisi tanaman (Mahaeni dkk, 2018).
Organ generatif yang pertama kali terlihat yaitu pembentukan bunga.
Tanaman kontrol G7 memiliki waktu pembungaan ±120 HSS dan mutan G7/01/M4
memiliki waktu pembungaan ±115 HSS yang cenderung lebih cepat dibandingkan
dengan kontrol G7 walaupun tidak berbeda signifikan. Tanaman mutan G7/01/M4
memiliki waktu pembungaan yang cenderung tidak bersamaan antar mutan satu
dengan lainnya dengan jarak cukup jauh. Adanya perbedaan waktu pembungaan ini
dipengaruhi oleh adanya peristiwa mutasi, mutasi tersebut akan mengakibatkan
perubahan struktur basa pada DNA pada gen, akibatnya terjadi perubahan kodon
sehingga akan mengubah urutan asam amino pada polipeptida yang terbentuk serta
menganggu proses metabolisme sel. Gen yang mengatur waktu pembentukan
bunga pada genus Capsicum sp yaitu gen AG1, SEP1/2, SVP dan AGL15. Gen ini
juga berperan dalam pergantian fase

15
16

pembungaan menjadi buah (Wang dkk., 2018). Menurut Dhakshanamoorthy dkk.,


(2013) Induksi EMS untuk mutasi tanaman dapat mempercepat waktu pembungaan
dan proses pematangan buah. Hal tersebut berdampak positif untuk produktivitas
tanaman cabai.
Setelah proses pembungaan, bunga tanaman kontrol G7 cenderung rentan
gugur sehingga tidak mencapai proses berkembang menjadi buah sampai akhir
penelitian. Tanaman kontrol G7 cenderung kurang bersifat adaptif terhadap
lingkungan, serta mudah terkena hama dan penyakit. Hama yang menyerang
tanaman cabai rawit kontrol G7 yaitu hama Trips sp. Dampak kerusakan akibat
hama ini antara lain memunculkan gejala daun yang keriting dan kerdil terutama
pada daun dan tunas muda serta mengakibatkan bunga tanaman pada setiap aksil
cenderung gugur. Dampak positif dari induksi mutasi EMS yaitu tanaman mutan
cenderung lebih adaptif dan memiliki daya performa tanaman yang lebih baik
dibandingkan dengan kontrol G7. Bunga tanaman mutan G7/01/M4 dapat
berkembang sampai menjadi buah yaitu pada ± 140 HSS.
Rata-rata panjang buah, panjang tangkai buah, diameter buah, berat buah
dan jumlah biji tersebut memiliki perbedaan signifikan antara kontrol dan mutan
G7/01/M4 (Gambar 4).
5,0
4,5
4,0
3,5
Rata-rata (cm)

3,0
2,5
2,0
Tidak teramati
1,5
1,0
0,5
0,0
G7 Kontrol G7/01/F4
Panjang buah Panjang tangkai buah Diameter buah
Tanaman

1,4
40
1,2 35
Rata-rata Berat Buah (g)

Rata-rata Jumlah Biji

1,0 30

0,8 25
20
0,6
a 15
0,4 a
10
0,2 5

0,0 0
G7 Kontrol G7/01/F4 G7 Kontrol G7/01/F4
Tanaman Tanaman

16
17

Gambar 4. Rata-rata variasi morfologi organ generatif tanaman cabai rawit


(Capsicum frutescens L.) (Keterangan: notasi (huruf) yang sama
menunjukkan tidak berbeda signifikan kontrol G7 (n=0) dan mutan
G7/01/M4 (n=50)).

Tanaman mutan G7/01/M4 memiliki rata-rata panjang buah 4,25 ± 0,2 cm,
panjang tangkai buah 2,48 ± 0,17 cm dan diameter buah 0,6 ± 0,12 cm (Gambar
9A). Tanaman mutan G7/01/M4 memiliki rata-rata berat buah yaitu 1.17
± 0,09 g dengan jumlah biji berjumlah rata-rata 31,6 ± 2,9 (Gambar 9BC). Uji LSD
(t-paired test sig α = 0.05) menunjukkan perbedaan yang signifikan antara karakter
generatif tersebut dengan kontrol G7, karena kontrol belum berkembang menjadi
buah sehingga tidak bisa diamati, diduga mutan memiliki memiliki pertumbuhanan
yang lebih baik.
Induksi mutasi dengan EMS 0.01 % akan meningkatkan perubahan karakter
morfologi suatu individu baik karakter yang lebih baik atau sebaliknya. Hal tersebut
dikarenakan pola mutasi akibat mutagen tersebut bersifat acak, jenis mutasi yang
dihasilkan yaitu basa GC menjadi AT dengan intensitas mutasi sebesar 1/3000 bp.
Hal tersebut menunjukkan meskipun tanaman tersebut diinduksi dengan
konsentrasi dan durasi yang sama belum tentu menghasilkan tanaman dengan
fenotip yang sama (Salinas & Sanches-Serano, 2006). Mutasi menjadi dasar adanya
variabilitas dalam populasi. Meskipun dalam penelitian ini masih menunjukkan
adanya variasi akibat mutasi, namun variasi tersebut memiliki standar deviasi yang
rendah yang rendah. Variasi yang rendah ini cenderung memperlihatkan adanya
keseragaman mutan pada beberapa parameter karakter yang diamati.
Karakter yang lebih unggul pada tanaman mutan dibandingkan dengan
kontrol yaitu terlihat terdapat peningkatan daya performa tanaman mutan untuk
daya tahan lebih baik terhadap kondisi lingkungan dan cuaca yang kurang
mendukung pertumbuhan dan perkembangannya. Tanaman mutan terlihat memiliki
habitus yang cenderung lebih lebat, karena tanaman mutan memiliki daun yang
tidak mudah menguning dan gugur, serta memiliki percabangan yang lebih banyak.
Proses perkembangbiakan organ generatif tanaman mutan dapat

17
18

mencapai hingga menghasilkan buah, sedangkan tanaman kontrol tidak


menghasilkan satupun buah. Tanaman yang lebih baik tersebut mengindikasikan
bahwa regulasi aktivitas metabolisme yang dikode secara genetik tanaman tersebut
lebih baik.

4.2 Variasi Morfologi Tanaman dan Tingkat Kepedasan Antar Mutan Cabai
Rawit (Capsicum frutescens L.) Genotip G7/01/M4

Pengamatan variasi morfologi antar mutan cabai rawit G7/01/M4 dipilih


berdasarkan karakter yang mencolok pada (Tabel 3). Tanaman cabai rawit
G7/01/M4 memiliki habitus perdu dan pertumbuhannya tegak. Batang cabai rawit
ini berbentuk bulat dan terdapat garis-garis sudut secara vertikal pada sekitar
batangnya, berwarna hijau muda hingga hijau tua. Tinggi tanaman mutan mencapai
161 cm. Habitus tanaman mutan memiliki habitus yang cenderung lebih lebat.
Mayoritas memiliki pecabangan dikotom dan beberapa membentuk percabangan
trikotom (Gambar 5).

T17 T22 T26 T36

Notasi : lingkaran berwarna merah menunjukkan percabangan trikotom


lingkaran berwarna kuning menunjukkan percabangan dikotom
Gambar 5. Karakteristik variasi morfologi habitus cabai rawit kontrol dan mutan
G7/01 (Keterangan K: tanaman kontrol G7, T: tanaman mutan
G7/01/M4)

18
19

Variasi pembentukan cabang tersebut diduga karena efek mutasi oleh EMS,
tanaman mengalami proses segregasi yang menyebabkan perubahan pada sifat
fisiologi dan metabolisme tanaman (Srivastava & Jitendra, 2012). Organisme
termasuk tanaman, satu spesies yang sama akan mempunyai gen yang sama, tetapi
mungkin memunyai alel yang berbeda. Alel yang berbeda tersebut akan
bertanggung jawab terhadap ekspresi fenotip yang terbentuk karena adanya mutasi
pada gen tersebut. Alel yang baru akan menghasilkan variasi karakter yang khas
dan unik untuk masing-masing individu (Arumingtyas, 2019).Adanya efek mutasi
oleh EMS mengakibatkan gen yang dikodekan untuk fisiologi dan metabolisme
tanaman terutama untuk gen pertumbuhan aksilar terpapar mutagen sehingga
mengakibatkan tidak seimbangnya hormon auksin dan sitokinin. Kadar auksin
yang rendah sedangkan kadar sitokinin tinggi. Kondisi ini menyebabkan dominansi
apikal yang tidak dominan. Ketika dominansi apikal tidak dominan maka akan
tumbuh tunas-tunas aksilar membentuk percabangan trikotom (Nirwanto, 2012).
Karakter tinggi tanaman G7/01 memiliki variasi, namun mayoritas antar
mutan G7/01/M4 tidak berbeda signifikan (Gambar 6).
180
160 ab
ab ab
140
Tinggi dan panjang (cm)

120
100
a a a
80 a a a
60
40
20
0
K1 K2 K3 T1 T2 T3 T9 T17 T20 T22 T28 T36 T39

Tinggi tanaman Panjang Batang sampai (Dikotomus)


Tanaman ke-

Gambar 6. Karakteristik variasi morfologi tinggi tanaman antar mutan cabai rawit
(Capsicum frutescens L.) kontrol G7 dan mutan G7/01/M4
(Keterangan: notasi (huruf) yang sama pada parameter yang sama
menunjukkan tidak berbeda signifikan)

Variasi tinggi tanaman cabai rawit mutan G7/01 generasi ke- 4 memiliki
rata-rata 128 ± 18,1 cm dan yang paling tinggi adalah tanaman mutan T3 yaitu

19
20

mencapai 161 cm, sedangkan paling pendek adalah tanaman mutan T36 yaitu
sebesar 90 cm (Gambar 6). Tanaman mutan memiliki variasi namun mayoritas
tidak berbeda signifikan antar mutan. Variasi yang terjadi antar mutan terjadi
kemungkinan akibat adanya proses segregasi pada gen regulasi tinggi tanaman.
Menurut Saskuma, (2004) segregasi adalah proses pemisahan alel dari suatu gen
sehingga keturunan tanaman yang dihasilkan memiliki sifat yang bervariasi
walaupun berasal dari induk yang sama. Hasil segregasi mutan penting untuk
memilih varietas yang unggul sebagai perbaikan genetik tanaman (Sobrizal, 2007).
Tinggi tanaman berbanding lurus dengan panjang sampai percabangan
dikotomus. Tanaman yang paling tinggi memiliki panjang batang sampai
percabangan dikotomus juga paling panjang yaitu pada tanaman T3 dan tanaman
dengan tinggi tanaman yang paling pendek memiliki panjang batang sampai
dikotomus juga paling pendek seperti pada tanaman T36 (Gambar 11) Variasi yang
masih terjadi pada panjang dikotomus masih dipengaruhi adanya proses segregasi,
namun variasi tersebut kecil dan tidak berbeda signifikan antar tanaman mutan.
Hasil mutasi EMS pada tanaman mutan terjadi secara acak terhadap keturunan
generasi tanaman mutan sampai tanaman tersebut bersifat stabil, lestari serta
menghasilkan variasi yang homogen (seragam) (Nur & Syaruddin, 2015).
Pembentukan percabangan dikotom dipengaruhi regulasi hormon auksin dan
sitokinin (Karjadi & Buchory, 2008) Konsentrasi hormon auksin dan sitokinin
selain gen, juga dipengaruh oleh lingkungan (Bielach, 2017). Percabangan dikotom
dipengaruhi gen bl (Carvalho dkk, 2017). Panjang batang hingga percabangan
dikotom dipengaruhi oleh daya pemanjangan sel pada batang utama dan setiap
ketiak daun yang muncul pada batang utama. Proses tersebut akan tumbuh tunas
baru hingga mencapai proses pembentukan dikotom membentuk huruf Y
(percabangan batang utama ke cabang primer) hingga maksimal yaitu ketika batang
utama menghasilkan bunga. Hal demikian juga terjadi antara cabang primer dan
sekunder (Prajnanta, 2007). Adanya tipe percabangan yang berbeda pada mutan
disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada gen yang berperan dalam
pembentukan percabangan, perubahan ini akibat

20
21

dari peristiwa mutasi dengan EMS yang terjadi sebelumnya sehingga


menghasilkan perubahan fenotip pada tanaman.
Karakter panjang internodus dan jumlah nodus memiliki variasi namun
mayoritas antar mutan mutan G7/01/M4 tidak berbeda signifikan Gambar 7)
6,0 25
Rata-rata Panjang Internodus (cm)

5,0 b b bb
b 20 ab ab

Jumlah Nodus
aa
aaa aa
4,0
aa 15
3,0
10
2,0

1,0 5

0,0 0
K1

T17
T20
T22
T28
T36
T39
K2
K3
T1
T2
T3
T9

A Tanaman ke - B Tanaman ke-

Gambar 7. Karakteristik variasi morfologi tanaman antar mutan cabai rawit


(Capsicum frutescens L.) kontrol G7 dan mutan G7/01/M4: (A) rata-
rata panjang internodus (n=3); (B) jumlah nodus (Keterangan: notasi
(huruf) yang berbeda menunjukkan perbedaan signifikan).

Panjang internodus yang terpanjang yaitu tanaman T2 sebesar 4,5 cm dan


paling rendah yaitu tanaman T36 sebesar 2.7 cm. Jumlah nodus tanaman mutan
G7/01/M4 yang memiliki jumlah nodus yang terbanyak adalah tanaman T9 yaitu
20 dan paling sedikit dimiliki oleh tanaman T2 sebesar 16. Adanya variasi tersebut
diakibatkan segregasi alel yang mengakibatkan perubahan secara acak pada
peristiwa replikasi DNA yang disebabkan oleh mutagen EMS. Variasi alel tersebut
akan mengubah ekspresi protein atau enzim yang telah di kodekan oleh gen
pembentukan internodus dan nodus, sehingga menghasilkan keragaman fenotip
yang terekspresikan.
Ramesh & Ramassamy, (2014) menyatakan jumlah tunas yang muncul
diduga dipengaruhi oleh tinggi tanaman dan panjang internodus. Semakin panjang
internodus dalam tanaman tersebut maka akan semakin sedikit nodus calon tunas
yang muncul. Hal ini disebabkan karena energi yang digunakan pembentukan
nodus calon tunas digunakan untuk proses pemanjangan sel tunas lainnya,

21
22

sehingga pembentukan calon nodus membentuk tunas akan terhambat. Pada


penelitian panjang internodus tidak berhubungan terhadap jumlah nodus tanaman,
contoh T36 memiliki panjang internodus yang rendah yaitu 2,7 namun jumlah
nodusnya juga sedikit yaitu 16. Variasi ini dipengaruhi oleh adanya segregasi alel
pada tanaman mutan yang mengakibatkan perubahan fisiologis serta metabolisme
tanaman tersebut untuk pembentukan internodus maupun nodus. Pengaruh
lingkungan juga berperan dalam pertumbuhan tanaman tersebut untuk
memaksimalkan proses metabolisme untuk tumbuh.
Daun cabai rawit mutan G7/01/M4 memiliki warna hijau tua, berbentuk
ovate dengan panjang daun hingga 21 cm dan lebar daun hingga 8,8 cm. Daun
memiliki trikoma berwarna putih yang tampak menyelimuti tulang dan tangkai
daun, trikoma yang terbentuk termasuk intermediet, bentuk daun mengerucut
kearah ujung, memiliki pinggiran entire atau rata dan ujung berbentuk acute.
Berikut ini adalah variasi beberapa morfologi bentuk daun bunga tanaman mutan
G7/01/M4 (Gambar 8).

Gambar 8. Karakteristik variasi morfologi daun tanaman mutan cabai rawit


(Capsicum frutescens L.) G7/01/M4

Rata-rata panjang daun dan lebar daun pada tanaman mutan memiliki
variasi, namun mayoritas tidak memiliki perbedaan signifikan antar mutan
(Gambar 9).

22
23

25,0

20,0
ab ab
ab ab ab

Rata--rata (cm)
15,0

10,0
ab ab ab ab

5,0

0,0
K1 K2 K3 T1 T2 T3 T9 T17 T20 T22 T28 T36 T39

Panjang daun Lebar daun

Tanaman ke-

Gambar 9. Karakteristik variasi morfologi panjang dan lebar daun tanaman antar
mutan cabai rawit (Capsicum frutescens L.) kontrol G7 dan mutan
G7/01/M4 (n=3). (Keterangan: notasi (huruf) yang sama pada
parameter yang sama menunjukkan tidak berbeda signifikan).

Rata-rata panjang daun yang tertinggi dimiliki oleh tanaman T9 dengan


panjang daun mencapai 21 cm dan panjang daun paling rendah dimiliki oleh
tanaman T1 dengan panjang daun 15,7 cm. Rata-rata lebar daun yang tertinggi
dimiliki oleh tanaman 36 dengan lebar daun mencapai 6,1 cm dan lebar daun paling
rendah dimiliki oleh tanaman T1 dengan panjang daun 5,4 cm. Panjang dan lebar
daun memiliki variasi yang sedikit dan tidak terlalu berbeda signifikan antar mutan
(Gambar 9). Berdasarkan uji LSD (t-paired test sig α = 0.05) mayoritas antar mutan
tidak berbeda signifikan.
Menurut Jabeen & Mirza, (2004) hasil mutasi menggunakan EMS 0,01 %
akan mengakibatkan perubahan fenotip, perubahan ini akibat terjadinya mutasi
pada DNA dari aplikasi senyawa mutagen EMS dan semakin banyak perbedaan
antara mutan dengan wild type maka semakin besar pola mutasi yang terjadi, hal
tesebut akan terus terjadi sampai tanaman tersebut stabil dan menghasilkan variasi
yang seragam. Pembentukan daun merupakan salah satu indikator dari
pertumbuhan vegetatif tanaman. Pembentukan daun dapat dipengaruhi oleh
penyerapan dan ketersediaan unsur hara makro seperti unsur nitrogen yang sangat
berperan dalam pembentukan daun dan unsur kalium yang berperan untuk
peningkatan klorofil (Jovita, 2018). Disamping faktor lingkungan dan

23
24

ketersediaan unsur hara, faktor genetik akibat mutasi juga berpengaruh terhadap
proses segregasi tanaman yang menghasilkan variasi (Sobrizal, 2007). Sedikitnya
variasi yang terjadi pada lebar daun dan panjang daun menunjukkan bahwa mutan
tersebut sudah mulai mendekati stabil.
Karakterisasi variasi morfologi organ generatif diamati hanya tanaman mutan
saja, dikarenakan tanaman kontrol belum menghasilkan buah sampai akhir
penelitian. Bunga tanaman kontrol selalu gugur sebelum berkembang menjadi
buah. Cabai rawit ini mulai berbunga pada hari ke ± 115 HSS. Bunga memiliki
korola yang berbentuk rotate, bewarna putih kehijauan, petal berjumlah 5-6, anter
berwarna ungu dan sedikit berwarna abu-abu, filamen berwarna putih kehijauan
dan memiliki stigma yang lebih menonjol dibandingkan antera. Tanaman cabai
memiliki bunga yang tergolong bunga lengkap karena terdiri dari kelopak bunga,
mahkota bunga, benang sari, dan putik. Mahkota bunga terdiri atas 5-6 petal
berwarna putih susu atau kadang-kadang ungu. Posisi bunga menggantung, panjang
bunga biasanya 0,8-1,5 cm dan panjang tangkai bunga antara 3-8 cm. Tangkai putik
berwarna putih, panjangnya sekitar 0,5 cm. Kepala putik berwarna kekuning-
kuningan. Tangkai sari berwarna putih dengan panjang sekitar 0,5 cm. Kepala sari
yang belum matang berwarna biru atau ungu, dalam satu bunga terdapat satu putik
dan 5-7 benang sari (Gambar 10).

Gambar 10. Karakteristik variasi morfologi bunga tanaman mutan cabai rawit
(Capsicum frutescens L.) G7/01/M4

Waktu pembungaan cabai rawit mutan G7/01/M4 termasuk lambat dan


berbunganya pun bervariasi, cenderung tidak bersamaan dan cukup jauh antar

24
25

tanaman satu dan lainnya. Hal tersebut diduga mutasi EMS menyebabkan
perubahan struktur protein yang dikodekan sehingga terdapat penurunan atau
hilangnya ekspresi protein. Mutasi akan berpengaruh terhadap perubahan alel pada
lokus tertentu dalam kromosom. Alel tersebut akan mempunyai fungsi untuk
mengendalikan sifat yang sama tetapi dengan variasi yang berbeda. Transisi dari
pertumbuhan vegetatif menjadi generatif terutama pembungaan dikaitkan dengan
pengaktifan gen pengkode meristem. Produk-produk protein dari gen ini adalah
faktor transkripsi yang diperlukan untuk mengkonversi meristem vegetatif menjadi
meristem bunga (Campbell dkk., 2003). Adanya perbedaan kecepatan pembungaan
diduga karena adanya mutasi titik oleh EMS pada regulasi genetik proses
pembungaan. Menurut Campbell dkk., (2003) mutasi titik dapat berupa missense
mutation maupun nonsense mutation. Missense mutaton menyebabkan perubahan
asam amino yang terbentuk sedangkan nonsense mutation
menyebabkan berhentinya sintesis protein sehingga kehilangan ekspresi.
Morfologi tanaman mutan G7/01/M4 ini memiliki variasi morfologi buah
yang rata-rata hampir mirip. Keseluruhan tanaman mutan memiliki buah dengan
warna, tekstur dan bentuk buah yang sama (Gambar 11).

Gambar 11. Karakteristik variasi morfologi buah muda cabai rawit (± 140 HSS)
mutan tanaman G7/01/M4
Buah tanaman mutan memiliki berbentuk memanjang dan ujung lancip dan
tekstur permukaan buah halus sedikit bergelombang. Karakteristik yang mirip antar
mutan menunjukkan bahwa tanaman G7/01 mulai mendekati kestabilan. Karakter
panjang buah, panjang tangkai buah, diameter buah dan jumlah biji buah antar
mutan mutan G7/01/M4 memiliki variasi, namun tidak berbeda signifikan (Gambar
12).

25
26

5,0
4,5
4,0
3,5
Rata-rata (cm) 3,0
2,5
2,0
1,5
1,0
0,5
0,0
T1 T2 T3 T9 T17 T20 T22 T28 T36 T39
Panjang buah Panjang tangkai buah Diameter buah
Tanaman ke-

Gambar 12. Karakteristik variasi morfologi generatif tanaman antar mutan cabai
rawit (Capsicum frutescens L.) kontrol G7 dan mutan G7/01/M4
(Keterangan: notasi (huruf) yang sama pada parameter yang sama
menunjukkan perbedaan signifikan).

45
1,5
40
a a a a a a a a 35
1,2
Jumlah biji
Berat buah (g)

30
0,9 25
20
0,6
15
0,3 10
5
0,0 0
T1 T2 T3 T9 T17 T20 T22 T28 T36 T39 T1 T2 T3 T9 T17 T20 T22 T28 T36 T39
Tanaman ke- Tanaman ke-

Gambar 13. Karakteristik variasi morfologi generatif tanaman antar mutan cabai
rawit (Capsicum frutescens L.) kontrol G7 dan mutan G7/01/M4 A)
berat buah, B) jumlah biji (Keterangan: notasi (huruf) yang sama pada
parameter yang sama menunjukkan perbedaan signifikan).

Berat buah muda tanaman cabai mutan paling tinggi terdapat pada T17
yaitu 1,2 g sedangkan paling rendah terdapat pada T3 yaitu 1,110 g (Gambar 13).
Jumlah biji paling sedikit yaitu T28 berjumlah 28 biji dan paling banyak yaitu T2
berjumlah 40 (Gambar 13C)). Berdasarkan uji LSD (t-paired test sig α = 0.05)
mayoritas tanaman mutan tidak berbeda signifikan.

26
27

Hasil mutasi EMS terjadi secara acak terhadap keturunan generasi tanaman
sampai tanaman tersebut bersifat stabil atau menghasilkan variasi yang homogen
atau seragam (Nur dan Syaruddin, 2015). Mayoritas tanaman G7/01 memiliki
variasi yang kecil antar tanaman mutan, diduga sedikit terjadi pola segregasi akibat
mutasi EMS 0.01%. Hal tersebut menunjukkan cabai mutan G7/01/M4 ini sudah
mulai mendekati kestabilan secara genetik. Tanaman mendekati kestabilan ketika
hampir semua individu tanaman dalam populasi memiliki variasi yang kecil juga
hampir seragam atau homogeni. Menurut Handayanti, (2013) Tanaman mutan yang
stabil secara genetik (solid mutant) dapat dilepas sebagai varietas yang unggul
setelah melalui tahapan proses seleksi dan pengujian, seleksi tersebut minimal
sampai generasi ke 4 atau ke 5. G7/01/M4 merupakan tanaman cabai rawit hasil
mutasi 0.01 EMS generasi 4 yang sudah melalui proses seleksi hingga generasi ke
3 dan menunjukkan mendekati stabil yaitu ketika variasi tanaman mutan mayoritas
menunjukan keseragaman, meskipun beberapa tanaman masih menunjukan
berbedaan yang signifikan..

4.3 Gradasi Warna Buah Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.)
Genotip G7/01/M4
Karakter gradasi warna buah mutan G7/01/M4 memiliki warna hijau muda
saat masih muda, kemudian berwarna setengah orange kekuningan menuju orange
keseluruhan dan hingga matang menunjukkan warna merah (Gambar 14). Berikut
ini gradasi warna yang terjadi pada buah:

Gambar 14. Gradasi warna buah muda hingga buah matang pada mutan cabai
rawit G7/01/M4 tanaman T2

27
28

Ciri ciri cabai rawit (Capsicum frustescens L) yaitu buahnya menjulang


menghadap langit, warnanya hijau sewaktu muda dan berubah warna menuju
orange sampai keseluruhan buah masak bewarna merah (Carvalho dkk, 2017).
Gradasi warna pada cabai rawit dari muda hingga matang berhubungan erat dengan
pigmen antosianin dan karotenoid. Warna buah matang merupakan akibat dari
reduksi klorofil, pigmentasi antosianin, akumulasi pigmen karitenoid serta pigmen
capsanthin dan capsorubin yang termasuk pigmen terbanyak pada buah matang
berwarna merah (Stommel dan Albrech, 2012). Warna berubah dari hijau menjadi
merah juga disebabkan karena adanya gen yang mengkode ekspresi capsanthin atau
capsorubin synthase dan ekspresi gen ini meningkat tajam, juga terdapat pengaruh
ekspresi biosintesis karotenoid (Kim dkk., 2009).

4.4 Tingkat Kepedasan Buah Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescens


L.) Genotip G7/01/M4.
Tingkat kepedasan cabai diamati dalam dua kondisi yang berbeda yaitu pada saat
kondisi buah masih hijau (muda) berumur 45 (HSP) dan kondisi saat buah sudah
matang merah (merah) berumur (60 HSP). Namun saat penelitian beberapa tanaman
yang dipilih tersebut mengalami layu fusarium sehingga tanaman mati sebelum
buah menjadi matang dan tidak dapat dianalisis kandungan kapsaisin buah matang
(merah). Tanaman mutan G7/01 memiliki tingkat kepedasan yang lebih tinggi
dibanding dengan kontrol dan memiliki perbedaan yang signifikan (Gambar 15).

3500
Leve kepedasan ( x 1000 SHU)

3000

2500

2000

1500

1000 bd

500

0
K T1 T2 T3 T9 T17 T20 T22 T28 T36 T39
Jenis tanaman

Gambar 15. Variasi kandungan kapsaisin cabai rawit mutan G7/01/M4


(Keterangan: notasi label huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda

28
29

signifikan berdasarkan uji LSD 95 %) (Kontrol merupakan data


sekunder oleh penelitian (Juliandari, 2017))

Menurut penelitian Juliandari, (2017) pada cabai rawit kontrol G7 memiliki


tingkat kepedasan yang sangat tinggi sebesar 252.133,34 ± 31.473,53 SHU. Cabai
G7 hasil mutasi EMS 0.01 % G7/01/M4 memiliki tingkat kepedasan yang tinggi
lebih dibanding kontrol melalui data sekunder. Level kepedasan cabai dengan
kategori sangat pedas ditunjukan dengan nilai > 80.000 SHU (Al Othman dkk.,
2016). Tingkat kepedasan cabai rawit yang diamati memiliki variasi, tingkat
kepedasan tertinggi saat buah masih hijau (muda) dimiliki oleh tanaman mutan
G7/01/M4 ke T39 dari populasi mutan yaitu sebesar > 3.000.000 SHU. Hasil
analisis tingkat kepedasan tanaman mutan G7/01/M4 berdasarkan uji beda (Tukey
5 %) menunjukkan bahwa tanaman mutan ke- T1,T2,T3 berbeda signifikan
terhadap tanaman mutan ke- T17, T20, T22, T28, T36 dan T39. Tanaman mutan
ke- T9 berbeda signifikan dengan tanaman mutan ke- T17, T20, T39. Semua
tanaman mutan yang dipilih berbeda signifikan terhadap tanaman kontrol (Gambar
20). Berdasarkan analisis statistik uji Anova one-way dan uji beda lanjut (LSD) (α
= 0.05 LSD value: 140.1) menunjukkan bahwa tingkat kepedasan tanaman yang
dipilih rata-rata berbeda signifikan dibanding dengan kontrol dan tanaman T39
yang menunjukkan perbedaan paling signifikan.

4.5 Analisis Molekuler Menggunakan Metode PCR-RAPD Cabai Rawit


(Capsicum frutescens L.) Kontrol G7 dan Genotip G7/01/M4
Berdasarkan hasil analisis PCR-RAPD menggunakan 10 primer pada cabai
rawit kontrol G7 (n=1) dan genotip G7/01/M4 (n=10) menunjukkan terdapat pita
polimorfik dan pita monomorfik. Ukuran pita DNA yang dihasilkan setelah amplif
ikasi juga bervariasi antara 300-4700 basepair (LG 24) Berikut ini adalah contoh
hasil visualisasi hasil PCR-RAPD (Gambar 16).

29
30

Gambar 16. Contoh hasil visualisasi PCR-RAPD menggunakan primer OPD13 dan
OPW 4 (Keterangan: notasi warna merah menunjukkan (A) pita
polimorfik; (B) pita monomorfik

Terdapat dua macam pola pita DNA hasil elektroforesis yaitu pola pita
polimorfik dan monomorfik (Gambar 20). Perbedaan pola pita DNA ini
dipengaruhi oleh hasil amplifikasi DNA genom. Pita polimorfik adalah gambaran
pita DNA pada ukuran tertentu tetapi pada sampel yang lain tidak terlihat (Gambar
20A). Polimorfik tersebut disebabkan oleh perbedaan urutan basa pada suatu lokus
dengan titik penempelan primer. Sampel DNA yang menghasilkan pita
menandakan bahwa DNA tesebut memiliki sekuens yang komplemen dengan
primer. Perbedaan ini sebagai petunjuk dasar keragaman genetik sampel diantara
populasi (Muharram dkk., 2012)
Hasil ampifikasi menggunakan 10 marka RAPD menunjukkan terdapat 44
fragmen DNA dengan panjang base pair yang berbeda dan menunjukkan adanya
tingkat polimorfisme. Hal tersebut terlihat pada pita polimorfik yang lebih banyak
dibanding pita monomorfik kecuali pada primer OPD13. Presentase pita polmorfik
yaitu sebesar 86,4 % sedangkan pita monomorfik 13,6 % (Tabel 5).

Tabel 3. Jumlah pita hasil ampifikasi DNA dan tingkat polimorfisme masing-masing
primer
Pita Pita
Primer Urutan basa 5’-3’ Jumlah
polimorfik monomorfik
OPA-01 CAGGCCCTTC 6 0 6
OPA-02 TGCCGAGCTG 1 2 3
OPA-11 CAATCGCCGT 6 0 6

30
31

OPB-04 GGACTGGAGT 5 2 7
OPD-13 GGGGTGACGA 4 0 4
OPF-09 CCAAGCTTCC 3 1 4
OPL-05 ACGCAGGCAC 2 0 2
OPU-10 ACCTCGGCAC 2 0 2
OPU-19 GTCAGTGCGG 6 1 7
OPW-04 CAGAAGCGGA 3 0 3
Jumlah 38 6 44
Persentase 86,4 % 13,6% 100%

Besarnya tingkat polimorfisme pada tanaman, diduga tanaman tersebut


masih banyak perubahan genom yang disebabkan inersi atau delesi pada DNA.
Perubahan ini disebabkan oleh alkilasi oleh EMS yang mengubah basa AT menjadi
GC sehingga pasangan basanya pun berbeda (Khalid, 2013). Tingkat polimorfisme
yang tinggi pada marka molekuler RAPD menunjukkan bahwa tanaman mutan
masih mengalami segregasi dikarenakan tanaman yang digunakan sebagai sampel
memiliki karakter yang khas dan mencolok yang sangat berbeda pada populasi
tanaman mutan. Karakter yang khas tersebut karena adanya segregasi alel yang
menghasilkan variasi, variasi tersebut disebabkan adanya perubahan basa
nukleotida oleh EMS. Sehingga tidak adanya amplifikasi pada beberapa primer
tersebut karena urutan basa primer tidak komplemen dengan urutan basa atau
hilangnya potongan pada DNA template. Sebagai contoh pada mutan tanaman T1
jarang menghasilkan pita saat diamplifikasi menggunakan beberapa primer.
Sehingga saat skrining dan dipresentasekan maka akan menghasilkan hasil yang
polimorfik untuk keseluruhan mutan dan kontrol, walaupun pada mutan lainnya
selain T1 lebih banyak menghasilkan pita yang monomorfik.

4.6 Similaritas Berdasarkan Data Karakter Morfologi-Fisiologi, Molekuler


PCR RAPD dan Morfologi-Fisiologi-Molekuler PCR RAPD
Karakter morfologi-fisiologi dari tanaman kontrol G7 dan tanaman
G7/01/M4 yang digunakan untuk analisis similaritas. Hasil analisis similaritas

31
32

menunjukkan terdapat lima kluster dengan indeks similaritas (0,650). Kluster I


meliputi tanaman T39, kluster II meliputi tanaman T3 dan T36, kluster III meliputi
tanaman T9, T20, T22, T28 dan T17, kluster IV meliputi tanaman T1 dan T2,
sedangkan kluster V meliputi tanaman K (kontrol G7). Meskipun demikian,
keseluruhan kluster memiliki indeks similaritas yang tidak jauh berbeda kecuali
kluster I dan V.(Gambar 17).

I
II

III

IV
V

Gambar 21. Dendrogram hasil kluster analisis metode UPGMA koefisien


similaritas Jaccard berdasarkan data morfologi dan fisiologi kontrol
G7 dan 10 tanaman mutan G7/01/M4.

Dendrogram tersebut menunjukkan bahwa tanaman T39 pada kluster I memiliki


similaritas terjauh dengan tanaman kontrol maupun mutan lainnya. Tanaman T39
memiliki tingkat kepedasan paling yang paling tinggi. Tanaman T3 dan T36 masuk
dalam kluster tersendiri yaitu kluster II karena tanaman ini memiliki panjang
internodus yang paling panjang. Tanaman T9, T20, T22, T28, T17 masuk dalam
kluster III karena tanaman dalam kelompok ini memiliki percabangan trikotom.
Tanaman T1 dan T2 masuk kedalam kluster IV karena memiliki ciri-ciri yang sama
meliputi tingkat kepedasan yang tidak jauh berbeda, waktu pembungaan dan berbuah
matang lebih cepat dan termasuk tanaman yang paling tinggi, sedangkan tanaman
kontrol membentuk kluster tersendiri yaitu kluster V karena memiliki tingkat
kepedasan yang paling rendah, serta belum mengalami pembentukan buah sampai
akhir penelitian.

32
33

Analisis similaritas berdasarkan data PCR RAPD menunjukkan terdapat tiga


kluster dengan indeks similaritas (0,675). Kluster I meliputi tanaman T2,T20, T9, T17,
T3, T22 dan kontrol. Kluster II meliputi tanaman T28, T36, T39. Kluster III meliputi
tanaman T1 Meskipun demikian, keseluruhan kluster memiliki indeks similaritas yang
tidak jauh berbeda kecuali kluster III.(Gambar 18).

II
III

Gambar 18. Dendrogram hasil kluster analisis metode UPGMA koefisien


similaritas Jaccard berdasarkan data PCR RAPD kontrol G7 dan 10
tanaman mutan G7/01/M4.

Kluster III yaitu tanaman T1 terpisah jauh dan membentuk kluster tersendiri
juga memiliki indeks similaritas yang paling jauh dibandingkan dengan tanaman
mutan maupun kontrol. Hal ini dikarenakan tanaman T1 saat diamplifikasi dengan
primer RAPD (OPA-01 OPB-04 OPF-09) hasil visualisasinya tidak teramplifikasi
atau tidak memunculkan pita atau band DNA pada panjang base pair tertentu yang
dimiliki mutan lain maupun kontrol. Hal ini terjadi karena adanya perubahan genom
yang disebabkan inersi atau delesi pada DNA atau diakibatkan karena masing-
masing primer memiliki situs anneling yang spesifik pada genom, semakin
homolog maka semakin banyak pita yang terbentuk (Ludyasari, 2017).
Analisis similaritas berdasarkan data morfologi, fisiologi dan molekuler
pada indeks similaritas (0,620) menunjukkan terdapat 3 kluster. Kluster I meliputi
tanaman T2, T3, T9, T17, T20, T22 dan kontrol. Kluster II meliputi tanaman T28,

33
34

T36, T39 dan kluster III meliputi tanaman T1. Meskipun masing-masing kluster
memiliki indeks similaritas yang tidak jauh berbeda (0,635-0,675) kecuali kluster
III (Gambar 23).

II
III

Gambar 23. Dendrogram hasil kluster analisis metode UPGMA koefisien


similaritas Jaccard berdasarkan data morfologi, fisiologi dan PCR
RAPD kontrol G7 dan 10 tanaman mutan G7/01/M4.

Indeks similaritas yang tinggi menunjukkan semakin tinggi kemiripan


mutan, sebaliknya indeks similaritas yang rendah menunjukkan semakin rendah
kemiripan mutan. Analisis similaritas berdasarkan morfologi-fisiologi dan
molekuler PCR RAPD tersebut memiliki kluster dan anggota yang sama dengan
similaritas berdasarkan molekuler PCR RAPD. Tanaman T1 tetap terpisah jauh
dengan tanaman kontrol maupun mutan lainnya. Berdasarkan data morfologi dan
molekuler, tanaman T1 memiliki ciri khas yang paling berbeda yaitu tanaman
termasuk dalam kategori paling tinggi, pembungaan dan pembuahannya termasuk
paling cepat, kematangan buahnya paling cepat serta DNA tanaman T1 tidak
teramplifikasi pada beberapa primer RAPD yang digunakan. Hal dimungkinkan
karena tanaman T1 memiliki mutasi paling besar dibandingkan tanaman lain.
Ethyl Methane Sulfonate (EMS) sebagai agen pengetilasi merupakan
senyawa kimia yang dapat menyebabkan terbentuknya variasi dalam proses
biosintesis, bersifat mutagenik, menyebabkan misscoding, letal, serta kerusakan
pada bagian non coding (Britt, 1996). Adanya variasi ini disebabkan karena adanya
peristiwa segregasi pada generasi ke 4. Segregasi adalah proses pemisahan

34
35

alel suatu gen (Kohmetscher dan Lee, 2013). Alel tersebut yang berpisah akan
berpasangan dengan alel yang lain secara bebas yang mengakibatkan adanya
fenotip yang berbeda (Bateson & Mendel, 2013)
Adanya pengaruh mutasi dari EMS dapat menyebabkan kerusakan pada
DNA namun pada setiap tanaman memiliki kemampuan perbaikan DNA, kerusakan
DNA dan mekanisme perbaikan dapat menciptakan variasi genetik atau keragaman
genetik (Britt, 1996). DNA menjadi target penting dalam induksi mutasi terkait
dengan keberadaan sisi aktif pada DNA yang dapat bereaksi dengan EMS. Reaksi
penambahan gugus alkil pada basa nitrogen penyusun DNA seringkali terjadi secara
non random (Friedberg., 1996 dalam Arumingtyas, 2005). Senyawa EMS (Ethyl
Methane Sulfonate) diketahui selalu menambahkan gugus alkil pada basa purin
(adenin atau guanin) dan tidak pada basa pirimidin (sitosin dan timin)
(Arumingtyas, 2005).

35
36

BAB 5
POTENSI HASIL

Adapun potensi hasil yang dapat dikembangkan dari penelitian ini adalah:
5.1 Manfaat Artikel Ilmiah
Artikel dan Skripsi (Tugas Akhir) yang telah dipublikasi dapat dijadikan
acuan dan pengutipan artikel yang relevan oleh masyarakat, akademisi, peneliti
maupun pemulia tanaman.
5.2 Peluang Paten
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tanaman cabai rawit (Capsicum
frutescens L.) hasil mutasi EMS, menunjukkan galur yang unggul dibandingkan
dengan cabai rawit kontrol atau wild type (tipe asli). Galur mutan tersebut dapat
dilepas dan dipatenkan menjadi variasi yang unggul dalam plasma nutfah cabai
rawit di Indonesia.
5.3 Potensi Ekonomi
Tanaman cabai rawit (Capsicum frutescens L.) merupakan tanaman yang
memberikan nilai ekonomi tinggi dan tanaman ini cukup mudah dibudidayakan di
Indonesia. Produktivitas cabai rawit dapat dipengaruhi beberapa faktor yaitu
varietas yang digunakan, cara budidaya dan faktor eksternal maupun internal
lainnya. Varietas yang baik dan unggul dapat didapatkan melalui rekayasa genetik
yaitu induksi menggunakan mutagen EMS dan tanaman yang sudah diinduksi
mutagen disebut dengan mutan.
Tanaman cabai rawit hasil mutasi EMS dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa tanaman cenderung lebih unggul dibandingkan dengan kontrol yaitu pada
habitus, ketahanan terhadap kondisi lingkungan maupun hama, peningkatan
kandungan kapsaisin (kepedasan). Hal tersebut akan mempengaruhi produktivitas
yang lebih baik dalam budidaya cabai rawit oleh petani maupun lembaga
pemerintah lainnya. Produktivitas yang lebih baik tersebut akan menghasilkan nilai
ekonomi yang jauh lebih tinggi.

36
37

BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Tanaman mutan G7/01/M4 tidak berbeda signifikan terhadap paraneter rata-
rata tinggi tanaman, panjang hingga dikotomus, panjang internodus, panjang daun
dan berbeda signifikan terhadap parameter rata-rata lebar daun, jumlah nodus,
panjang buah, panjang tangkai buah, diameter buah, berat buah dan jumlah biji
dengan kontrol G7. Rata-rata tingkat kepedasan buah G7/01/M4 berbeda sangat
signifikan terhadap kontrol G7 dan memiliki tingkat kepedasan yang lebih tinggi.
Tanaman G7/01/M4 berdasarkan karakteristik morfologi dan fisiologi memiliki
variasi, namun variasi ini mayoritas tidak berbeda signifikan atau seragam antara
mutan. Diduga tanaman mutan G7/01/M4 sudah mulai mendekati kestabilan gen,
meskipun beberapa tanaman mutan masih menunjukkan segregasi yang besar
akibat mutasi EMS. Similaritas berdasarkan analisis dendrogram karakter
morfologi-fisiologi menunjukkan mutan tanaman G7/01/M4 terutama tanaman
mutan T39 membentuk kluster tersendiri dan paling berbeda jauh dengan kontrol,
sedangkan berdasarkan karakter morfologi-fisiologi- molekuler tanaman mutan T1
membentuk kluster tersendiri dan dianggap memiliki karakter atau ciri yang paling
berbeda dengan tanaman kontrol maupun mutan lainnya.

5.2 Saran
Tanaman mutan G7/01/04 merupakan tanaman yang unggul dibandingkan
tipe asalnya. Tanaman mutan ini layak untuk dilepaskan menjadi varietas yang
unggul, tetapi karena masih terdapat beberapa tanaman yang memiliki segregasi
alel yang besar, maka perlu dilakukan proses seleksi generasi selanjutnya yaitu
mutan G7/01/05. Penelitian G7/01/05 perlu dilakukan untuk menginvestigasi
adanya variasi baru yang terbentuk atau telah menunjukkan kestabilan genetik.
Kestabilan genetik tersebut merupakan galur murni yang dapat dijadikan salah satu
varietas yang unggul dan menambah plasma nutfah cabai rawit.

37
38

PENUTUP
Daftar Pustaka :
Anggereini, E. 2008. Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD), Suatu
Metode Analisis DNA Dalam Menjelaskan Berbagai Fenomena Biologi. J
Biospecies 1(2):73-76
Alvida, 2016. Karakterisasi Morfologi, Pertumbuhan, dan Kualitas Galur-
galur Cabai Hias. Departemen Agronomi dan Holtikultura Fakultas Petanian
IPB. Skripsi.
Al Othman, Z., Ahmed, M. A Habila & A. A. Ghafar 2011. Determination of
kapsaisin and dihydrokapsaisin in capsicum fruit samples using high
performance liquid chromatography. J Molecules (16): 8919-8929
Arisha, M. H., Syed, H. G. Zhen, J. Hua, Chao & X. Z. Hua. 2015. Ethyl methane
sulfonate induced mutations in M2 generation and physiological variation in
M1 generation of pepper (Capsicum annuum L.). Frontiers in Plant Science.
6: 3(99).
Arruvitasari, P. N. 2016. Pengaruh induksi mutagen Ethyl Methane Sulfonate
(EMS) terhadap karakter morfologi dan kandungan kapsaisin tiga
genotip cabai rawit lokal (Capsicum frutescens L..). Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya.
Malang. Skripsi.
Arumingtyas, E. L. 2005. Induksi mutasi dengan mutagen Ethyl Methane
Sulfonate (EMS) untuk menghasilkan percabangan pada kenaf (Hibiscus
cannabinus L.). Universitas Brawijaya. Malang. Disertasi.
Arumingtyas, E. L., J. Kusnadi, D. R. T Sari & N. Ratih. 2017. Genetic variability
of Indonesian local chili pepper: The facts. AIP Conference Proceedings
Arumingtyas, E. L. 2019. Mutasi Prinsip Dasar dan Konsekuensi. UB Press.
Malang
Bateson & Mendel. 2013. Mendels Principles of Heredity. Dover Publication,
Inc. New York
Britt, A.B. 1996. DNA damage and repair in plants. Plant Physiol. Plant Mol.
Biol. 47:75-100

38
39

Bielach. 2017. Plants under stress: involvement of auxin and cytokinin. J


Molecular Science 18(7): 145-165
Cahyono, B. 2003. Cabai Rawit Teknik Budidaya dan Analisis Usaha Tani.
Kanisius. Yogyakarta.
Campbell., Reece, Mitchell. 2003. Biologi Edisi ke 5 Jilid II.Penerbit Erlangga.
Jakarta
Campbell., Reece, Mitchell. 2008. Biologi Edisi ke 4 Jilid III.Penerbit Erlangga.
Jakarta
Carvalho. S. I. C., L. B. Bianchetti, C. F. Ragassi, C. S. C. Ribeir, F. J.
B. Reifschneider. 2017. Genetic variability of a Brazilian Capsicum
frutescens germplasm collection using morphological characteristics and SSR
markers. J Genetic Molecular Research 6 (3): 123-147
Dwinianti, E F., R. R. Juliandari, R. Mastuti, & E. L. Arumingtyas. 2018. The
profile of partial sequence of putative aminotransferase (pAMT) gene and
total kapsaisinoid content of Ethyl Methane Sulfonate (EMS)-induced chilli
pepper (Capsicum frutescens L..) mutans. J Plant Cell Biotechnology and
Molecular Biology. 19(7-8): 284-292.
Dheer, M., S. P. Sumer, R. Baksi, N.K. Jain. 2014. Morphological features of an
open flower mutant plant and characterization of their progenies in lentil
(Lens culinaris Medik.). Genetic Resources and Crop Evolution 61(5):879-
886
Pitojo. 2003. Penangkaran Benih Cabai. Kanisius. Yogyakarta.
Food and Agriculture Organization (FAO). 2018. Capsicum frutescens L.. FAO
Production Yearbook. Italy.
Greene, E. A., C. A. Codomo, N. E, Taylor, J. G. Henikoff, B. J. Till, S. H.
Reynolds. 2003. Spectrum of chemically induced mutations from a large-
scale reverse-genetic screen in Arabidopsis. J of Genetics (164): 731–740
Girija & Dhanavel. 2009. Mutagenic effectiveness and efficiency of gamma rays
ethyl methane sulfonate and their combined treatments in cowpea (Vigna
unguiculata L. Walp). J of Molecular Sciences 4 (2): 68-75
Harteen, V. A. M. 2007. Mutation Breeding: Theory and Practical Application.
Cambridge University Press. New York.

39
40

Handayanti, W. 2013. Perkembangan Pemuliaan Mutasi Tanaman Hias di


Indonesia. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Malang.
Haini. A. Y. 2019. Heritabilitas dan Kemajuan Genetik Karakter Agronomi
Cabai Merah (Capsicum annum L.) Varietas Laris Generasi M3 Hasil
Iradiasi Sinar Gamma. Fakultas Pertanian. Univeristas Lampung. Bandar
Lampung. Skripsi.
Hepsibha, T.B. 2010. Genetic diversity in Azima tetracantha (Lam) assessed
through RAPD analysis. J Indian of Science and Technology 3 (2):170-123
IPGRI, AVRDC, & CATIE. 1995. Descriptor for Capsicum (Capsicum spp.).
International Plant Genetic Resources Institute. Roma, The Asian Vegetable
Research and Development Center. Tapei.
Jabeen, N., B. Mirza. 2004. Ethyl methane sulfonate induces morphological
mutations in Capsicum annuum. International Journal of Agriculture and
Biology 6: 340-345
Juliandari, R. R., S. Zairina, E. N. Khasna, E. S. Sulasmi, D. Listyorini. 2017.
Isolation 3’-end fragment of pun1 gene from capsicum frutescens L.. cultivar
cakra hijau. Conference Paper International Conference on Biological
Science (17): 194-200
Juliandari, R. R. 2017 Analisis Variasi Genetik Berdasarkan Simple Sequence
Repeat (Ssr) Dan Profil Genetik Gen Pun1 Serta Kandungan Total
Kapsaisinoid Pada Cabai Rawit (Capsicum frutescens L..) Hasil Induksi
Mutasi Dengan Ethyl Methane Sulfonate (EMS). Jurusan Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya. Malang.
Thesis.
Jovita, D. 2018. Analisis Unsur Makro (K, Ca, Mg) Mikro (Fe, Zn, Cu) pada
Lahan Pertanian dengan Metode Inductively Coupled Plasma Optical
Emission Spectrophotometry (ICP-OES). Jurusan Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Bandar Lampung.
Lampung. Skripsi
Karjadi. A. K., A. Buchory. 2008. Pengaruh auksin dan sitokinin terhadap
pertumbuhan dan perkembangan jaringan meristem kentang kultivar granola.
J Hortikultura 18(4):380-384

40
41

Khalid, M. 2013. The Handbook of Plant Mutation Screening: Mining of Natural


and Induced Alleles. Willey Publisher. USA.
Kim, S., T. Y. Ha, Hwang. 2009. Analysis, bioavailability, and potential healthy
effects of capsanthin, natural red pigment from Capsicum spp. J Food Reviews
International, (25):198–213
Kohmetscher & Lee, 2013. Segregation of genes: the plant breeder’s method of
predicting the future. J of Natural Resources and Life Sciences Education
42(1):191
Lakitan, B. 2008. Fisiologi Tanaman: Pertumbuhan dan Perkembangan. PT.
Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Lingga & Lany. 2012. Health Secret of Pepper (Cabai). PT. Elex Media
Komputindo. Jakarta.
Li, J., Chuanyou, S.M. Smith. 2017. Hormone Metabolism and Signaling in
Plants. Academic Press. United Kingdom
Ludyasari, I. 2017. Pengaruh Suhu Annealing pada Program PCR Terhadap
Keberhasilan Amplifikasi DNA Udang Jari (Metapenaeus elegans De
Man, 1907) Laguna Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah). Jurusan
Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UIN Maulana
Malik Ibrahim, Malang. Skripsi
Muharram, E.G. 2012. Analisis Kekerabatan Ikan Mas Koi (Cyprinus carpio
koi) dan Ikan Mas Majalaya (Cyprinus carpio carpio) Menggunakan
Metoda RAPD. Program Studi Perikanan.Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Padjadjaran. Skripsi.
Nur, A., Syahruddin, S. 2017. Aplikasi Teknologi Mutasi Pembentukan Gandum
Tropis: Gandum: Peluang dan Pengembangan di Indonesia.Balai Penelitian
Tanaman Serelia. Suwalesi Selatan.
Nirwanto, W. 2012. Karakterisasi Morfologi dan Pola Pita Isozim Pada Ubi
Kayu (Manihot esculenta dan Tinggi Beta Karoten. Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.
Skripsi.

41
42

Nugroho, W.P., B. Maimun, N. Sa’diyan. 2013 pola segregasi karakter agronomi


tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) generasi f2 hasil persilangan
yellow bean dan taichung. J. Agrotek Tropika 1(1): 38-44
Ogawa, K., K. Murota, Shimura, M. Furuya, Y. Togawa, T. Matsumura, Masuta.
2015. Evidence of kapsaisin synthase activity of the Pun1-encoded protein
and its role as a determinant of kapsaisinoid accumulation in pepper. J Plant
Biology (15) 15:93
Purnomo, E., R. S. Ferniah 2018. Polimorfisme cabai rawit dan cabai gendot dengan
penanda RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) Menggunakan
Primer OPA-8. J Bioteknologi (1): 1-5
Prajnanta, F. 2007. Agribisnis Cabai Hibrida. Penebar Swadaya. Jakarta Ramesh,
Y., V. Ramassamy. 2014. Effect of gelling agents in in vitro
multiplication of banana var. Poovan. Int. J. Advanced Bio. research 4(3):
308 – 311
Reece, J.B, L.A. Urry, M.L. Cain, S.A. Wasserman, V. M. Petter. 2011.
Campbell Biology 9th Edition. Amazon. New York.
Salinas & Sanches-Serano, 2006. Methods in Molecular Biology: Arabidopsis
Protocol. 2nd. Human Press Inc. New York.
Sari, A., A. Purwito, D. Soepandie, R. Purwananingsih, E. Sodarmanowati. 2015.
Pengaruh irradiasi sinar gamma pada pertumbuhan kalus dan tunas tanaman
tandum (Triticum aestivum L.). J Ilmu Pertanian (Agricultural Science) 18(1):
44–50.
Saskuma. 2004. Two transcription factors, DREB1 and DREB2, with an
EREBP/AP2 DNA binding domain separate two cellular signal transduction
pathways in drought- and low-temperature-responsive gene expression,
respectively, in Arabidopsis. J Plant Cell 10(8): 1391-1406
Sarpras M., K. Gaur, V. Sharma, S. S. Chhapekar, Das, Kumar, S. K. Jaddar, 2016.
Comparative analysis of fruit metabolites and pungency candidate genes
expression between bhut jolokia and other capsicum species. J Sciences
Thecnology 6(3): 145-187

42
43

Sobrizal, I. 2007. Mutasi Induksi Untuk Mereduksi Tinggi Tanaman Padi


Galur KI 237. Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (BATAN).
Jakarta
Srivastava & Jitendra. 2012. Role of Kapsaisin in Oxidative Stress and Cancer.
Spinger Science & Business Media. New York.
Sumpena, U. 2013. Penetapan kadar kapsaisin beberapa jenis cabe (Capsicum sp)
di Indonesia. Jurnal Mediagro (9) 22. Balai Penelitian Tanaman Sayuran.
BandungSari, A. Purwito A., Soepandie, D., Purwananingsih. R., &
Sodarmanowati, E. 2015. Pengaruh irradiasi sinar gamma pada pertumbuhan
kalus dan tunas tanaman tandum (Triticum aestivum L.). J Ilmu Pertanian
(Agricultural Science) 18(1): 44–50.
Sujitno. E., M. Dianawati. 2015. Produksi panen berbagai varietas unggul baru
cabai rawit (Capsicum frutescens) di lahan kering Kabupaten Garut, Jawa
Barat. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon 1: 874-877
Stommel & Albrech, 2012. Genetic diversity and population structure of Capsicum
baccatum genetic resources. J Genetic Resources and Crop Evolution 59(4)
Sofiasari, E dan R. Kirana. 2009. Analisis pola segregasi dan distribusi beberapa
karakter cabai. J Hort 19(3):255-263
USDA. 2006. Why in Genetic Diversity Important?. Why We Care about Genetic
Vol. 1. National Forest Genetic Laboratory. USDA Forest Service. USA.
Williams, O.J. 2000. Genetic Molecular Analysis with Fusion in Drosophila J
Genetics (125): 833-844.
Xu, Q., S. Krishnan, E. Merewitz, J. X, B. Huang. 2016. Gibberellin-regulation and
genetic variations in leaf elongation for tall fescue in association with
differential gene expression controlling cell expansion. Sci. Rep. 6: 30258

43
44

LAMPIRAN PENDUKUNG PENELITIAN


Lampiran 1. Deskripsi karakterisasi organ vegetatif dan generatif secara
kualitatif dan kuantitatif

LT 4. Deskripsi karakterisasi organ vegetatif dan generatif secara kualitatif dan


kuantitatif
No. Karakter Keterangan Referensi
1. Tinggi Tinggi tanaman diukur dari (Novitasari dkk., 2019)
tanaman ujung pangkal batang sampai
(cm) ujung pucuk apikal tanaman
ketika tanaman sudah mulai
fase maksimal pertumbuhan
generatif.
2. Panjang Tinggi diukur dari pangkal
batang batang diatas pemukaan tanah
sampai hingga pada bagian batang
percabangan yang memunculkan
dikotomus percabangan
(cm)
3. Panjang dan Panjang daun diukur dari IPGRI, AVRDC &
lebar daun pangkal lamina hingg ujung CATIE (1995)
(cm) daun dan lebar daun diukur
dari lamina daun kanan-kiri
4. Jumlah Jumlah nodus dihitung dari
nodus panjang batang hingga
percabangan.
5. Panjang Panjang internodus diukur (Novitasari dkk., 2019)
internodus dari panjang antara dua nodus
yang berdekatan
LT5. Deskripsi karakterisasi morfologi organ generatif secara
kualitatif
No. Karakter Keterangan Referensi
1 Warna Kategori:
mahkota 1. Putih
bunga 2. Kuning muda
3. Kuning
4. Kuning kehijauan
5. Ungu dengan warna
dominan putih
IPGRI, AVRDC &
6. Putih dengan warna
CATIE (1995)
dominan ungu
7. Putih dengan tepi ungu
2 Warna buah Kategori :
saat masih 1. Putih
muda 2. Kuning
3. Putih-kekuning
4. Hijau Muda

44
45

5. Hijau Tua
6. Jingga
7. Ungu
3 Warna buah Kategori :
saat sudah 1. Putih
matang 2. Kuning
3. Jingga
4. Merah
5. Ungu
6. Cokelat

LT6. Deskripsi karakterisasi morfologi organ generatif secara


kuantitatif
No. Karakter Keterangan Referensi
1 Panjang buah Panjang buah diukur dari bagian pangkal
hingga ujung buah.
2 Panjang tangkai Panjang tangkai diukur dari pangkal buah
buah hingga ujung tangkai
IPGRI,
3 Diameter buah Diameter buah diukur pada bagian buah
AVRDC &
yang paling lebar
CATIE (1995)
4 Berat buah Berta buah segar ditimbang tanpa tangkai
buah
5 Jumlah biji Biji dihitung dalam satu buah

A B C
(IPGRI, AVRDC & CATIE, 1995)

LG 26. Deskriptor daun cabai rawit: a) deltoid, b) ovate dan c) lanceolate

Lampiran 2. Uji Kuantitatif DNA Tanaman


LT 5. Uji kuantitatif DNA tanaman cabai rawit G1/01/M4 dan kontrol

Absorbansi Kemurnian
DNA dari
Sampel DNA dari Konsentrasi DNA (ng/µL)
RNA dan
230 260 280 polisakarida
Protein
(A260/230)
(A260/280)
T1 0.088 0.165 0.084 0.954 1.364 1145
T2 0.075 0.128 0.064 0.853 1.388 888
T3 0.081 0.138 0.068 0.839 1.409 958
T9 0.080 0.157 0.076 0.950 1.434 1090

45
46

T17 0.075 0.138 0.064 0.853 1.497 958


T20 0.095 0.148 0.078 0.821 1.317 1027
T22 0.065 0.137 0.059 0.907 1.612 951
T28 0.125 0.148 0.97 0.776 1.525 1027
T36 0.086 0.126 0.087 1.011 1.011 875
T39 0.073 0.133 0.071 0.973 0.972 923

Lampiran 3. Hasil Visualisasi Molekuler PCR RAPD Beberapa Primer

46
47

47
48

48
49

LG 24. Hasil visualisasi elektroforesis sampel kontrol dan mutan G7/01 menggunakan
beberapa primer RAPD.

Lampiran 4. Skoring Hasil Visualisasi Band DNA Molekuler PCR RAPD Beberapa
Primer
LT 6. Skoring band DNA hasil PCR RAPD menggunakan primer OPW4
Panjang Mutan G7/01/M4
pita DNA T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10
(bp)
4700 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4200 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3800 0 0 1 0 1 1 1 0 0 1
3000 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1
2800 1 0 1 0 1 1 1 1 0 0
1300 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Ket: terdapat pita (1), tidak terdapat pita (0)

LT 7. Skoring band DNA hasil PCR RAPD menggunakan primer OPD13


Panjang Mutan G7/01/M4
pita DNA T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10
(bp)
2800 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
2200 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1100 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1
Ket: terdapat pita (1), tidak terdapat pita (0)

49
50

LT 8. Skoring band DNA hasil PCR RAPD menggunakan primer OPB11


Panjang Mutan G7/01/M4
pita DNA T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10
(bp)
2000 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0

1000 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1

750 1 0 1 1 0 0 1 1 1 1

500 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

400 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0

200 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
Ket: terdapat pita (1), tidak terdapat pita (0)
LT 9. Skoring band DNA hasil PCR RAPD menggunakan primer OPL05
Panjang Mutan G7/01/M4
pita DNA T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10
(bp)
1800 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0

1000 1 1 0 1 1 1 0 0 0 0

900 1 0 1 1 1 1 0 0 0 1

800 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1

600 1 0 1 1 1 1 0 1 0 1

450 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

300 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Ket: terdapat pita (1), tidak terdapat pita (0)

LT 10. Skoring band DNA hasil PCR RAPD menggunakan primer OPB04
Panjang Mutan G7/01/M4
pita DNA T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10
(bp)
1200 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1

1000 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1

900 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

700 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1
Ket: terdapat pita (1), tidak terdapat pita (0)

LT 11. Skoring band DNA hasil PCR RAPD menggunakan primer OPD19
Panjang Mutan G7/01/M4
pita DNA T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10
(bp)
900 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1

700 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1
Ket: terdapat pita (1), tidak terdapat pita (0)

50
51

LT 12. Skoring band DNA hasil PCR RAPD menggunakan primer OPD10
Panjang Mutan G7/01/M4
pita DNA T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10
(bp)
900 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0

800 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0
Ket: terdapat pita (1), tidak terdapat pita (0)

LT 13. Skoring band DNA hasil PCR RAPD menggunakan primer OPU10
Panjang Mutan G7/01/M4
pita DNA T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10
(bp)
2300 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1

2000 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1

1300 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0

1000 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1

2300 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1

2000 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1
Ket: terdapat pita (1), tidak terdapat pita (0)

LT 14. Skoring band DNA hasil PCR RAPD menggunakan primer OPA01
Panjang Mutan G7/01/M4
pita DNA T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10
(bp)
3000 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1

2500 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

2000 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1

1800 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0

1200 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0

1000 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0
800 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1
Ket: terdapat pita (1), tidak terdapat pita (0)

LT 15. Skoring band DNA hasil PCR RAPD menggunakan primer OPF19
Panjang Mutan G7/01/M4
pita DNA T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10
(bp)
1000 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0

400 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
300 1 1 1 0 1 1 1 0 0 0
Ket: terdapat pita (1), tidak terdapat pita (0)

51
52

Lampiran 5. Hasil Uji Normalitas (Metode One-Sample Kolmogorov - Smirnov


Test)
LT 16. Hasil uji normalitas (metode One-Sample Kolmogorov - Smirnov Test) karakter
vegetatif

LT 17. Hasil uji normalitas (metode One-Sample Kolmogorov - Smirnov Test) karakter
generatif

Lampiran 6. Hasil Uji Deskriptif One Way ANOVA


LT 18. Hasil uji Deskriptif One Way ANOVA karakter vegetatif dan generatif

52
53

Lampiran 7. Hasil uji beda lanjut T mean paired test (LSD = 0.05 ) rata-rata
tanaman kontrol dengan mutan G7/01

Lampiran 8. Kurva standar kapsaisin berdasarkan nilai ppm dan nilai absorbansi

1
0,9 y = 0,0091x - 0,0218
0,8 R² = 0,9956
Absorbansi (nm)

0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
0 20 40 60 80 100 120
Konsentrasi larutan (ppm)

LG 25. Kurva standar kapsaisin berdasarkan nilai absorbansi 280 nm

53
54

LAMPIRAN
PENGGUNAAN DANA

A. Peralatan Penunjang

Penggunaan
Kuantitas Harga (Rp) Total Harga (Rp)
Dana
Pot 50 21.500 1.075.000
Wadah
10 20.000 20.0000
Hidroponik
Styrofoam 8 3.500 28.000
Pelubang
1 22.000 22.000
Hidroponik
Netpot 100 1.000 100.000
Kain Flanel 15 2.500 37.500
Roock wool 1 Slab 75.000 75.000
Masker 6 pack 45.000 270.000
Sarung tangan
4 pack 55.000 220.000
(gloves)
Rak Laboratorium 1 76.000 7.6000
Spidol 2 7.000 14.000
Kertas Saring 6 15.000 90.000
Lap 4 5.000 20.000
Tissue 6 14.000 84.000
Allumunium foil 7 30.000 210.000
Tube 1,5 ml 4 pack 91.000 364.000
Tube 10 ml 1 pack 71.000 71.000
Tube 0.2 ml 1 pack 106.000 106.000
Tube 5 ml 5 pack 79.000 395.000
Yellow tip 7 pack 61.000 427.000
Blue tip 6 pack 74.300 445.800
White tip 6 pack 79.000 474.000
Nampan semai 4 5.500 22.000

54
55

Label 7 3.500 24500


Tali rafia 1 15.000 15.000
Spidol DNA 3 15.500 46.500
Gunting 1 7.500 7.500
Rak tube 3 45.700 137.100
Wadah plastik 4 6.000 24.000
Selotip 3 7.000 21.000
TDS ukur 1 155.000 155.000
pH ukur 1 170.600 170.600
Pengukur pH
1 234.000 234.000
tanah
Rak Laboratorium 1 76.000 76.000
Sticky note 5 3.500 17.500
Spidol permanen 1 11.000 11.000
Kapas 4 12.000 48.000
Plastik klip 5 6.000 30.000
Lembaran kuning
1 15.000 15.000
perangkap hama
Bambu penguat
100 200.000 2.000.000
tanaman
Total 5.859.000

B. Bahan Habis Pakai


Penggunaan Kuantitas Harga (Rp) Total Harga (Rp)
Dana
AB Mix 3 kit 35.000 105.000
Tanah 3 pack 15.000 45.000
Kompos 3 pack 30.000 90.000
Pupuk OVIS 1 35.000 35.000
Pupuk POC 1 45.000 45.000
Pupuk NPK 1 37.500 37.500

55
56

Tricoderma sp 1 63.000 63.000


Pestisida 1 67.000 67.000
Methyl eugenol 1 37.500 37.500
Alkohol 90 % 2L 70.000 140.000
Alkohol 70 % 2L 63.000 126.000
Fenol 80 ml 9.000 720.000
Isopropanol 500 ml 1200 600.000
Aquades Steril 10 L 7.500 75.000
Aquades Non 20 L 5.000
100.000
Steril
Nitrogen cair 7L 15.000 105.000
ddH20 9 pack 5.500 49.500
Chloroform 500 ml 70.000 70.000
Amonium Assetat 500 ml 75.000 75.000
Gel Agarosa 4 pack 159.720 638.880
Nitrogen cair 8L 17.500 140.000
PCR mix 1 kit 759.000 759.000
Primer template 10 125.000 1.250.000
TBE buffer 500 ml 757.000 757.000
Loading dye 10 ml 363.000 363.000
BSA 10 gr 275.000 275.000
Total 6.783.380

C. Penggunaan Laboratorium
PCR Runing LSIH 4 35.000 350.000
Autoklaf LSIH 6 15.000 90.000
Sentrifugasi LSIH 14 10.000 140.000
Geldoc Lab LSIH 4 50.000 200.000
Elektroforesis Lab
4 25.000 100.000
LSIH
PCR Runing Lab 25 0 0

56
57

FKM
Autoklaf Lab
25 0 0
FKM
Sentrifugasi Lab
25 0 0
FKM
Elektroforesis Lab
25 0 0
FKM
Gel Doc 25 0 0
Peminjaman Lab
1 100.000 100.000
LSIH
Total 980.000

D. Draft dan Lainnya

Penggunaan Kuantitas Harga (Rp) Total Harga (Rp)


Dana
Print Skripsi 3 15.000 45.000
Publikasi Jurnal J
1 1.500.000 1.500.000
Trolis
Pembayaran
1 110.000 110.000
Komprehensif
Total 1.655.000

57
58

58

Anda mungkin juga menyukai