Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Perubahan pola hidup dan berkembangnya kesehatan diikuti dengan perubahan


pola penyakit dari infeksi menjadi penyakit degeneratif dan alergi. Data dari World
Allergy Organization pada tahun 2013 menunjukkan bahwa angka prevalensi alergi
mencapai 10-40% dari total populasi dunia. Data tersebut sejalan dengan data dari
Center for Disease Control and Prevention (CDC) yang mencatat kenaikan tiga kali
lipat pad aangka kejadian alergi dari tahun 1993-2006. Membahas mengenai alergi,
tentu tidak lepas dari histamin dan antihistamin.
Histamin merupakan senyawa alkaloid yang terdapat pada hampir semua
jaringan dan sel.1 Histamin dibentuk dari asam amino histidin oleh L-histidin
dekarboksilase.2 Histamin selanjutnya disimpan dalam granul sitoplasma basophil dan
sel mast.3 Pelepasan histamin terjadi akibat reaksi antigen-antibodi, kerusakan jaringan
atau kontak dengan obat, makanan, dan zat kimia lainnya. Histamin ini kemudian
mengadakan reaksi dengan reseptornya yang tersebar di berbagai jaringan tubuh.
Terdapat empat reseptor histamin yang sudah diidentifikasi. Reseptor histamin-
1 terdapat di saluran nafas, pembuluh darah, saluran pencernaan, otak, retina, medulla
adenal dan saluran genitourinarius.4 Reseptor histamin-2 terdapat di saluran cerna dan
jantung. Reseptor histamin-3 terdapat di korteks serebri dan otot polos bronkus.
Reseptor histamin-4 paling banyak terdapat di sel basofil, sumsum tulang, kelenjar
timus, usus halus, limfa dan usus besar. 2 Histamin menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus dan usus, relaksasi kuat pada pembuluh darah dan perangsang kuat sekresi
asam lambung berserta kelenjar eksokrin lainnya.
Sejak histamin ditemukan sebagai suatu zat yang mempengaruhi berbagai
proses faal tubuh, maka dicari obat yang dapat melawan fungsi histamin. Epinefrin
adalah antagonis yang pertama kali digunakan. Hingga selanjutnya pada tahun 1937
ditemukanlah antihistamin generasi pertama dan selama sekitar 40 tahun setelahnya,
ditemukan berbagai antihistamin yang memiliki kinerja yang hampir sama. Hingga
pada tahun 1981, ditemukanlah antihistamin generasi kedua.2 Tujuan dari penulisan
tinjauan pustaka ini adalah untuk mengetahui mekanisme kerja, indikasi,
kontraindikasi dan efek samping dari berbagai obat antihistamin.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Antihistamin generasi pertama

2.1.1. Mekanisme kerja

Antihistamin generasi pertama berkompetisi dengan histamin untuk


menempati (blokade) atau sering disebut sebagai inhibitor kompetitif
reseptor histamin-1 yang bersifat reversibel. Blokade reseptor H1 oleh
antihistamin-1 (AH-1) tidak diikuti oleh aktivasi reseptor H1, tetapi hanya
mencegah agar histamine tidak berkaitan tanpa menimbulkan efek biologik
dari histamin. AH-1 tidak hanya sebagai antagonis namun juga sebaia
inverse agonist yang dapat menurukan aktivitas reseptor H1 yang diinduksi
oleh agonisnya, sehingga mampu menurunkan aktivitas NF-kB dan
menghambat terjadinya peradangan.5

Seperti histamin, antihistamin ini memiliki gugus amin tersubtitusi.


Berbeda dengan histamin yang memiliki gugus amino primer dan cincin
aromatik tunggal, AH-1 memiliki gugus amino tersier yang dihubungkan
rantai beratom dua atau tiga. AH-1 generasi pertama bersifat lipofilik
sehingga dapat menembus sawar darah otak.6

Gambar 1. (a) Struktur histamin (b) Struktur antihistamin

Telah dijelaskan sebelumnya, reseptor histamin 1 diantaranya terdapat


pada otot polos usus dan bronkus, sehingga pemberian AH-1 dapat
menghambat terjadinya bronkokontriksi dan kontraksi otot polos usus. Pada
pembuluh darah, AH-1 dapat menghambat peningkatan permeabilitas
kapiler dan edema. Selain itu, AH-1 dapat menghambat sekresi saliva, dan
kelenjar eksokrin lain kecuali lambung, menghambat terjadinya asfiksia,
beberapa dapat bekerja sebagai anastetik lokal (prometazin dan pililamin),
dan antikolenergik. 7

Pada sistem saraf, AH-1 dapat menstimulasi (insomnia, gelisah dan


eksitasi) maupun menghambat sistem saraf (mengantuk, berkurangnya
kewaspadaan, berkurangnya waktu respon) tergantung dosis penggunaan.
Dosis terapi biasanya mengakibatkan terhambatnya sistem saraf, sedangkan
pada dosis tinggi (keracunan) dapat menstimulasi sistem saraf. 7

2.1.2 Indikasi

AH-1 berguna untuk pengobatan simptomatik dan paliatif berbagai


7
penyakit alergi tipe eksudatif akut seperti polinosis dan urtikaria. AH-1
tidak berpengaruh pada intensitas reaksi antigen-antibodi yang menjadi
penyebab alergi, sehingga menghindari alergen dan desensitisasi menjadi
terapi utama. Antihistamin dapat juga diberikan sebagai profilaksis asma
bronkial ringan, sedang untuk asma bronkial berat AH-1 saja tidak cukup.
Selain itu AH-1 digunakan untuk pengobatan simptomatik vertigo,
antiemesis, obat tambahan Parkinson dan simptomatik influenza.

2.1.3 Farmakokinetik

AH-1 diabsorbsi dengan baik setelah pemberian oral/perenteral. Efek


rata-rata timbul 15-30 menit dan maksimal 1-2 jam setelah pemberian. Lama
kerja AH-1 generasi pertama rata-rata 4-6 jam, namun beberapa derivat
piperizin memiliki masa kerja yang lebih lama. Kadar maksimal dalam
darah berbeda-beda tiap obat, rata-rata AH-1 mencapai kadar maksimal 2
jam, dan menetap pada kadar tersebut untuk 2 jam selanjutnya. Tempat utam
abiotransformasi adalah hati, tetapi juga dapat terjadi pada paru dan ginjal.
AH-1 dieksresi melalui urin setelah 24 jam dalam bentuk metabolitnya.7

2.1.4 Golongan Antihistamin-1 Generasi 1

Menurut struktur kimianya, AH-1 dapat dibagi menjadi beberapa


kelompok menurut rumus dasar R-X-C-C-N= R1 dan R2, dimana X=atom
O, N atau C. R= gugus aromatik dan/atau hetersosiklik, R1 dan R2 = gugus
metal atau heterosiklik. Dapat dilihat bahwa inti molekul terdiri atas
etilamin, yang terdapat juga pada histamin.

a. Golongan Etanolamin (X=O)

Rumus =Ar(Ar-CH2) CH-O-CH2-CH2-N(CH3)2

Gambar 2. Struktur senyawa etanolamin

Etanolamin merupakan derivat AH-1 generasi pertama yang memiliki


efek antikolenergik dan antisedatif yang cukup kuat dengan insidensi efek
samping pada gastrointestinal sedikit.7 efek antikolenergik golongan ini
memiliki daya kerja seperti atropin.

Hubungan struktur dan afinitas golongan etanolamin:

1. Pemasukan gugus Cl, Br dan OCH3 pada posisi pada cincin


aromatik akan meningkatkan aktivitas dan menurunkan efek
samping
2. Pemasukan gugus CH3 pada posisi p-cincin aromatic dapat
meningkatkan aktivitas tetapi pemasukan pada posisi o- akan
menghilangkan efek antagonis H1 dan akan meningkatkan
aktivitas antikolinergik
3. Senyawa turunan eter aminoalkil mempunyai aktivitas
antikolenergik yang cukup bermakna karena mempunyai struktur
mirip dengan eteraminoalkohol, yang merupakan suatu senyawa
pemblok kolinergik
4. Dimenhidrinat adalah garam yang terbentuk dari difenhidramin
dan 8-kloroteofilin
5. Karbinoksamin merupakan derivate piridil dan klor yang
mengandung satu atom C asimetrik yang mengikat dua cinicn
aromatik
6. Klemastin memiliki struktur yang mirip klorfenoksamin. Namun
dnegan substituent siklik (pirolidin).

Obat yang termasuk dalam golongan ini diantaranya adalah:

Obat Dosis Masa Sedasi Indikasi


dewasa kerja
Difenhidramin 25-50mg 4-6 jam Kuat Anti motion sickness,
anti emesis, vertigo,
tambahan obat
parkinson, spasmolitik
Dimenhidrinat 50-100 mg 4-6 jam Kuat Anti motion sickness,
anti emesis pada
kehamilan
Orfenadin 50mg 8 jam - Sindrom
ektrapiramidal,
tambahan obat
Parkinson
Karboksilamin 4-8 mg 3-4 jam Ringan Hay fever
s.d
sedang
Klorfenoksamin 20-40 mg 8-12 Tambahan obat
jam Parkinson
Klemastin Oral: 1mg 12 jam Pruritus ec alergi
a.c
IM : 2 mg

b. Golongan Etilendiamin (X=N)

Rumus= Ar(Ar’)N-CH2-CH2-N(CH3)2

Gambar 3. Struktur senyawa etilendiamin

Golongan ini termasuk AH-1 generasi pertama yang paling spesifik


sehingga memiliki efek antisedatif dan antikolenergik yang lebih ringan
dan tidak memiliki efek antiemetik, namun efek samping terhadap
gastoitestinal lebih bermakna.

Hubungan struktur AH-1 golongan etilendiamin:

1. Adanya nitrogen diperlukan untuk pembentukan garam yang


stabil dengan asam mineral
2. Tripelnamin mempunyai efek antihistamin sebanding dnegan
difenhidramin dengan efek samping lebih rendah
3. Antazolin mempunyai aktivitas antihistamin lebih rendah
dibanding golongan etilendiamin lainnya

Contoh obat dari golongan ini adalah:

Obat Dosis dewasa Masa kerja Sedasi Indikasi


dan
pemberian
Tripelenami Oral:25-50mg 4-6 jam Sedang Pruritus
n Krim : 2%
Pirilamin 25-50 mg 4-6 jam Sedang Anestesi
Antazolin 50-100 mg 6-12jam Salesma
Mepiramin 50-100 mg, 6-8 jam Analgesik pre dan
(Demerol) maksimal paska operasi
600mg/hari (tidak
direkomendasikan
karena dapat
menimbulkan
adiksi)

c. Golongan Piperazin

Gambar 4. Struktur senyawa piperazin

Piperazin mempunyai efek antihistamin sedang dengan awal kerja


lambat dan mas akerja relative panjang (long acting). Golongan ini
memiliki efek sedasi dan antiemetik yang cukup kuat. Hubungan struktur
AH-1 golongan piperazin adalah sebagai berikut:
1. Hidroksizin dapat menekan aktivitas subkotrikal tertentu pad
asistem saraf pusat
2. Homoklorsiklizin mempuanyai spectrum kerja luas, merupakan
antagonis histamin kuat dan dapat memblok kerja bradikinin dan
slow reacting substance of anaphlylaxis (SRS-a)

Obat yang termasuk golongan ini diantaranya adalah:

Obat Dosis Masa kerja Sedasi Indikasi


dan
pemberian
Hidroksizi 25-100 6-24 jam Kuat Urtikaria, pruritus,
n mg spasmolitik,
transquilizer
Siklizin 25-50 mg 4-6 jam Ringa Anti motion
Profilaksis: 1 n sickness
jam sebelum (teratogenik pada
perjalanan trimester 1),
Meklizin 25-50 mg 12-24 jam Ringa Anti motion
n sickness (pada
kehamilan),
vertigo

d. Golongan Fenotiazin

Gambar 5. Struktur senyawa fenotiazin


Golongan ini bersifat sedatif, antikolinergik dan antiemetik yang kuat.
Fenotizin juga mempunyai aktivitas transquilizer dan neuroleptik kuat
sehingga sering digunakan pada keadaan psikosis. Selain itu, fenotiazin
sering dimanfaatkan sebagai obat batuk. Contoh dari golongan ini adalah
prometazin dengan dosis 10-25 mg dan memiliki masa kerja 4-6 jam.
Prometazin biasa digunakan sebagai antipuritus akibat gigitan serangga,
8
vertigo, anastesi lokal dan anti motion sickness. Obat lain yang
termausk dalam golongan ini adalah pizotifen hydrogen dumarat yang
sering digunakan untuk perangsang nafsu makan.

e. Golongan alkilamin
Rumus umum = Ar(Ar’)CH-CH2-CH2-N(CH3)2

Gambar 6. Struktur senyawa alkilamin


Golongan alkilamin memiliki efek sedatif dan antikolenergik sedang
dan tidak memiliki efek antiemetik. Golongan ini merupakan antihistamin
dengan indeks terpetik cukup baik dengan efek samping dan toksisitas
yang rendah dan sering ditambahkan untuk mengatasi influenza.
Contoh obat golongan ini adalah:
Obat Dosis obat Masa kerja Sedasi Indikasi
Klorfeniramin 4-8 mg 4-6 jam Ringan Rhinitis alergi,
maleat (CTM) dermatitis alergi,
common cold,
konjungtivitis
alergi
Bromfenirami 4-8 mg 4-6 jam Ringan Hay fever,
n pruritus,
urtikaria

f. Siproheptidin
Siproheptidin merupakan senyawa trisiklik yang memiliki efek sedasi
sedang dan antiserotonin. Siproheptidin memiliki efek stimulasi terhadap
pertumbuhan jaringan sehingga dahulu sering dimanfaatkan untuk
menngemukkan badan. Namun saat ini sudah dilarang. Siproheptidin
8
dapat digunakan untuk mengatasi urtikaria, hay fever, migrain. Dosis
yang diperlukan sebanyak 4mg dan masa kerja rata-rata 6 jam. 7

2.1.4 Efek samping

Pada dosis terapi, semua AH-1 generasi pertama dapat menimbukan


efek samping yang bervariasi antar individu. Efek samping yang muncul
biasanya ringan dan beberapa dimanfaatkan terapi, seperti efek sedatif.
Efek samping antikolenergik yang dapat muncul adalah mulut kering,
disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan.
Efek samping pada saluran gastrointestinal yang sering ditemukan adlaah
berkurangnya nafsu makan, mual, muntah, keluhan pada epigastrium,
konstipasi atau diare. Efek samping ini dapat diminimalisir dengan cara
penggunaan sewaktu makan. 7

Golongan Sedatif Anti Antiemetik Gastrointestinal


kolinergik
Etanolamin + sd +++ +++ ++ sd +++ +
Etilendiamin + sd ++ - - +++
Piperazin + sd +++ + +++ +
Fenotiazin +++ +++ ++++ -
Alkilamin + sd ++ ++ - +

2.1.5 Kontraindikasi

AH-1 generasi pertama memiliki kontraindikasi pada bayi prematur.


Beberapa obat memiliki kontraindikasi pada ibu menyusui dan efek
muskarinik dikontraindikasikan pada pasien dengan hipertrofi prostat,
retensi urin, resiko glaucoma sudut sempit, obstuksi pyloroduodenal
penyakit hati dan epilepsi.7 Dosis juga perlu diturunkan pada pasien
dengan gangguan ginjal. Efek teratogenik perlu diperhatikan untuk
penggunaan pada ibu hamil.

2.2 Antihistamin-1 generasi kedua

2.2.1 Mekanisme kerja

AH-1 generasi kedua memiliki mekanisme kerja yang hampir


sama dengan generasi pertama yaitu sebagai inhibitor kompetitif
reseptor histamin-1. Hanya saja, golongan yang diperkenalkan ada
tahun 1981 ini lebih selektif terhadap reseptor H1 dan tidak memiliki
efek kolinergik. Selain itu senyawa ini bersifat lipofobik sehingga
memiliki kemampuan penetrasi yang buruk ke sawar darah otak dan
mengakibatkan rendahnya efek sedatif. 5

2.2.2 Indikasi

Seperti halnya AH-1 generasi pertama, AH-1 generasi kedua


dapat digunakan untuk mengatasi simptomatik alergi, anti-motion
sickness, dan vertigo. AH-1 generasi kedua lebih direkomendasikan
dalam penanganan urtikaria kronis karena lebih aman pada pemakaian
jangka lama.9

2.2.3 Golongan AH-1 genersi kedua

a. Piperidin

Golongan ini sudah jarang digunakan karena interaksinya


dengan ketokonazol, itrakonazol, antibiotik golongan makrolid, jus
anggur dan pada pasien gangguan hati dapat mengakibatkan
memanjangnya QT interval dan mencetuskan aritmia ventrikel
(torsade de pointes) yang dapat fatal.7 hal ini disebabkan karena
interaksi tersebut menghambat metabolisme terfenadin dan astemizol
oleh enzim CYP3A4 dan meningkatkan kadarnya dalam plasma
darah secara bermakna.

Obat Dosis Masa kerja Indikasi


Terfenadin 60mg 12-24 jam Rhinitis alergi, urtikaria
- Feksofenadin
Astemizol 10mg <24 jam Hay fever

b. Golongan lain-lain

Golongan ini paling sering ditemukan dan digunakan dalam praktik


sehari-hari karena termasuk AH-1 non sedatif yang relatif aman

Obat Dosis Masa kerja Indikasi


Loratadin 10 mg 24 jam Rhinitis alergi, urtikaria
Cetirizin 5-10 mg 12-24 jam Rhinitis alergi,
konjungtivitis, pruritus,
urtikaria

c. AH-1 golongan kedua terbaru

Pada beberapa tahun belakangan dikenal beberapa antihistamin H1


generasi kedua yang baru, yaitu Bilastine dan Rupatadine. Kedua
antihistamin baru ini memiliki keunggulan masing-masing dibandingkan
antihistamin generasi kedua sebelumnya. 9

1. Bilastin

Bilastin atau 2-[4-[2-[4-[1-(2-ethoxyethyl) benzimidazol-2-


yl]piperidin-1-yl]ethyl]phenyl]-2-methylpropionic acid memiliki
struktur kimia binzimidazole piperidinyl dengan berat molekul 463,6
daltons. Struktur Bilastin tidak berasal dari antihistamin lain, tidak juga
metabolit atau enansiomer dari antihistamin lainnya. Struktur kimia dari
bilastin hampir sama dengan piperidinyl-benzimidazole.

Gambar 8. Stuktur kimia bilastine


Bilastine merupakan antihistamin H1 yang baru dikenal luas
dalam terapi rhinokonjungtivitis dan urtikaria pada dewasa dan anak-
anak diatas 12 tahun. Bilastine tidak dimetabolisme di hati, relatif aman
dan tidak menyebabkan efek kolinergik. Pemberian bilastin bersamaan
dengan jus anggur mengurangi efek sistemik bilastin secara signifikan.
Penelitian klinis menunjukkan bilastine dengan dosis 20mg/hari
sama efektifnya dengan levocetirizin pada urtikaria kronik. Pemberian
Bilastin dengan dosis 40mg dapat menyebabkan mengantuk, tetapi
tidak terbukti secara objektif. Pemberian dengan dosis 80mg (4kali
diatas dosis yang direkomendasikan) menyebabkan gangguan
psikomotor. Pemberian Bilastin dengan dosis 20mg terbukti aman dan
tidak ada efek terhadap susunan saraf pusat. 10,11
2. Rupatadin
Struktur kimia Rupatadin adalah Rupatadine (8-chloro-11-[1-[5-
methyl-3-pyridinyl)methyl]piperidin-4-ylidene]-6,11-dihydro-5H
benzo[5,6]cycloheptal 1,2-b]pyridine fumarate). Rupatadin merupakan
salah satu antihistamin H1 non sedatif yang modern, dimana juga
mempunyai efek tambahan berupa antagonis platelet activating factor
(PAF). Secara komersial Rupatadin tersedia dalam bentuk sediaan
tablet 10 mg di Spanyol dan beberapa negara eropa lainnya.
Gambar 9. Struktur kimia Rupatadin

Rupatadin berikatan lebih selektif dengan reseptor H1 di jaringan


paru dibandingkan di jaringan otak (serebelum) setelah pemberian oral
0,16 mg/kg pada hewan percobaan. Biotransformasi Rupatadin
dilakukan oleh sitokrom P450 CYP3A4 . Konsentrasi maksimum
plasma pada dewasa dicapai setelah 45 menit sampai dengan 1 jam
secara oral dengan waktu paruh Rupatadin 5,9 jam.
Berbeda dari antihistamin generasi pertama, rupatadin tidak
memilki efek antikolinergik pada pemberian dosis tunggal 10-80mg dan
aman terhadap kardiovaskuler.12
Obat Dosis dewasa Masa kerja Indikasi
Bilastin 20mg 10-14 jam Urtikaria kronis
dan
rhinokonjungtivitis
Rupatadin 10-80mg 5,9 jam Hinitis dan
urtikaria kronis

2.2.4 Efek samping

Efek samping pada AH-1 generasi kedua, terutama untuk


golongan lain-lain, jarang muncul. Selain pemanjangan QT interval dan
aritmia ventrikuler, penggunaan astemizol lebih dari 2 minggu
dilaporkan menyebabkan bertambahnya nafsu makan dan berta badan. 7
BAB III

RINGKASAN

AH-1 dibagi dalam dua kategori, AH-1 generasi pertama dan AH-2 generasi
kedua. Kedua golongan tersebut sama-sama memiliki daya kuratif dan paliatif
terhadap gejala alergi. Yang berbeda adalah efek samping sedative dan antikolinergik
yang dimiliki oleh AH-1 generasi pertama. Efek sedatif ini karena AH-1 generasi
pertama mampu menembus sawar darah otak sehingga dapat menempel pada reseptor
H-1 di sel-sel otak.

Efek sedatif dan antikolinergik tersebut dapat merugikan sekaligus


mengutungkan. Untuk beberapa pasien yang membutuhkan istirahat lebih dan rawat
inap, efek sedative AH-1 generasi pertama dapat membantu proses penyembuhan.
Namun, untuk pasien rawat jalan yang aktif bekerja, tentu AH-1 generasi kedua lebih
rasional untuk dipilih sebagai terapi. Selain itu, efek samping beberapa obat AH-1
seperti teratogenik dan kardiotoksik harus diperhatikan sebelum pemilihan terapi.
Seperti pemilihan obat ntihistamin idealnya memenuhi kriteria sebagai berikut yaitu
keamanan, kualitas, pemberian mudah, absropsi cepat tanpa efek samping .
DAFTAR PUSTAKA

1. R. Soetiono Gapar. Farmakologi obat-obatan antihistamin non sedatif pada


penyakit alergi. Universitas Sumatra Utara. 2003: 1-3.
2. Keith J Simons dan F. Estelle R. Simons. Histamine and H1-antihistamine:
celebrating a century of progress. Journal of Allergy Clin Immunology
2011;128: 1139-49.
3. Gemy Nastity Handayani dan Misbahuddin. Farmakologi II. Universitas Islam
Negeri Alaudin. 2010;56-9.
4. Fajar Arifin Gunawijaya. Manfaat penggunaan antihistamin generasi ketiga.
Jurnal kedokteran Trisakti. 2010: 3; 123-9.
5. Farida Tabri. Antihistamin H1 sistemik ada pediatric dalam bidang
dermatologi. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, 2016; 5.
6. B.G. Katzung, S. B. Masters, A.J. Trevor. Basic and clinical pharmacology 12 th
ed. McGraw-Hill. 2012; 277-280.
7. Ian Tanu. Farmakologi dan terapi ed 5. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2012; 279-81.
8. Badan Pengawas Obat dan Makanan. Antihistamin. Pusat Informasi Obat
Nasional BPOM. Diakses melalui pionas.pom.go.id pada 17 Agustus 2018.

9. Fesdia Sari dan Satya Wydya Yenny. Antihistamin terbaru dibidang


dermatologi. Jurnal Kesehatan Andalas, 2018 (7): 61-5.
10. Auregui I, Ferrer M, Bartra J, Del Cuvillo A, Dávila I, Montoro J, dkk.
Bilastine for the treatment of urticaria. Expert Opinion on Pharmacotherapy.
2013;14(11):1537-1544.
11. Farré M, Pérez-Mañá C, Papaseit E, Menoyo E, Pérez M, Martin S, dkk.
Bilastine vs. hydroxyzine: occupation of brain histamine H 1 -receptors
evaluated by positron emission tomography in healthy volunteers. Britania
Journal of Clinical Pharmacology. 2014; 78(5):970-80.
12. Ridolo E, Montagni M, Fassio F, Massaro I, Rossi O, Incorvaia C, dkk.
Rupatadine for the treatment of allergic rhinitis and urticaria: a look at the
clinical data. Clinical Investigation. 2014; 4(5):453-61.

Anda mungkin juga menyukai