Anda di halaman 1dari 62

ASAS-ASAS

SISTEMATIKA BIOLOGI

Mien A. Rifai

“Herbarium Bogoriense” Puslit Biologi LIPI


Bogor, 2017
DAFTAR ISI

1. PENDAHULUAN . . . . 1

2. PENCIRIAN . . . . 4
Ciri dan Sifat Ciri . . . .4
Sumber Ciri untuk Bukti Taksonomi . . . . 7
Pertelaan . . . . 14

3. PERTELAAN . . . . 16
Satuan-Satuan Klasifikasi . . . . 17
Seperangkat Asas Pemandu Penyusunan Sistem Klasifikasi . . . . 21
Macam-Macam Klasifikasi . . . . 23

4. PENAMAAN . . . . 25
Jalan Pendeterminasian . . . . 25
Kunci Determinasi . . . . 27
Tata Nama . . . . 30

5. PENDEKATAN DAN METODOLOGI . . . . 37


Pola Langkah Penelitian Taksonomi . . . . 37
Bahan Baku Penelitian . . . . 39
Dari Intuisi sampai Komputer . . . . 40
Penyajian Data . . . . 43

6. PENGERISTALAN . . . . 45

7. Lampiran: KLASIFIKASI TANAMAN BUDI DAYA . . . . 49

2
1. PENDAHULUAN

Salah satu kegiatan manusia yang sudah pasti akan selalu dikerjakannya setiap hari
adalah menggolonggolongkan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Dalam melakukan
penggolongan itu ada dua kegiatan lain yang dilaksanakannya secara berurutan ataupun
bersamaan, ialah mengenal ciri atau penanda objeknya, dan menentukan macamnya.
Kegiatan yang terakhir umumnya diselenggarakan dengan menetapkan atau memberi nama
pada objek itu. Ketiga kesibukan tadi – – pencirian, penggolongan dan penamaan – –sering
berlangsung secara cepat serta hampir sekaligus, dan semuanya adakalanya dilakukan tanpa
kesadaran.
Hasrat dan keinginan untuk menggolonggolongkan atau mengelasifikasikan segala
sesuatu itu merupakan naluri yang dibawa manusia sejak saat dilahirkannya dan akan terus
dimilikinya sampai ia masuk ke liang kuburnya. Baginya tidak ada pilihan lain kecuali
mengelasifikasi. Bangun tidur pagi-pagi ia akan terus menentukan bahwa hari ini adalah Senin,
jadi tergolong hari kerja. Cairan berwarna coklat dalam gelas yang ada di hadapannya adalah
teh, suatu jenis minuman dan bukan racun. Bunyi hiruk pikuk di halaman depan dikenalnya
sebagai teriakan anak-anak tetangganya. Saat memasuki kamar mandi ia mungkin
morang-maring karena kehilangan handuknya, yang bersama-sama dengan sabun, sikat gigi,
odol, dan pisau cukur termasuk perlengkapan mandi. Dan begitulah seterusnya. Bahkan ia
juga akan merasa perlu untuk mengidentifikasi dirinya sebagai anggota golongan sosial
masyarakat yang sesuai, entah mungkin sebagai kelompok guru, petani, santri, atau
karyawan, serta termasuk manusia Minang, suku bangsa Madura, atau orang Bugis, atau
bangsa Indonesia, dan lain-lainnya lagi.
Kita pasti sudah pernah melihat bahwa dalam menjajakan dagangannya seorang
tukang sayur biasa mengelompokkan wortel sesama wortelnya, kangkung sesama
kangkungnya, tomat sesama tomatnya, timun sesama timunnya, dan bayam sesama
bayamnya. Penggolongan yang dilakukan tukang sayur tadi memunyai nilai terapan yang
tidak kalah pentingnya dengan kegiatan seorang rektor perguruan tinggi yang menyatukan
jurusan-jurusan matematika, biologi, kimia, dan fisika dalam satu fakultas matematika dan
ilmu pengetahuan alam. Dapat dibayangkan betapa besarnya kesulitan yang timbul jika
wortel, kangkung, tomat, timun, dan bayam tadi tercampur baur tidak karuan, sehingga
bakulnya lalu tidak akan berbeda dengan sebuah keranjang sampah. Kekacauan yang sama
pasti terjadi jika jurusan-jurusan sastra timur, hukum perdata, atau sejarah sampai terselip
ke dalam sebuah fakultas teknik.
Kepentingan serta keeratan hubungan penamaan dan pencirian terhadap
penggolongan itu besar sekali. Dengan bantuan nama, pengacuan atau penyebutan sesuatu
dapat mudah dilakukan sehingga dapat memerlancar komunikasi. Pencirian yang dapat
diberikan dalam bentuk pertelaan, pemerian, atau uraian ciri dan sifat daripada ciri objek
dapat memberikan keyakinan bahwa apa yang dibicarakan hari ini sama dengan yang
disebutkan bulan yang lalu atau yang akan dimaksudkannya tahun depan. Si tukang sayur
memang harus mengenal semua ciri dan sifat ciri sayur yang dijualnya secara pasti. Ia tentu

3
perlu mengetahui jenis yang dapat dipakai sebagai lalap untuk dimakan mentah, dan secara
umum ia pasti dapat membedakan tanaman yang cocok untuk dibuat lodeh atau sayur asam.
Berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya ia tentu akan mengenal nama setiap jenis
sayur yang diperjualbelikannya sehingga orang yang mau membeli bayam tidak akan
disodorinya bawang.
Penamaan, pencirian, dan penggolongan makhluk selalu giat dipelajari dan dilakukan
oleh orang yang ingin mendalami seluk-beluk kehidupan di muka bumi. Adapun asas-asas
ketiga kegiatan ini secara khusus dipelajari orang dalam bidang taksonomi, yang merupakan
bagian biologi. Taksonomi merupakan pawang biologi, tetapi perkembangannya amatlah
bergantung pada kemajuan cabang-cabang biologi lainnya. Data yang diungkapkan sebagai
hasil penelitian sitologi, genetika, anatomi perbandingan, ekologi, morfologi, paleontologi,
biogeografi, biokimia, biologi molekul, dan cabang-cabang biologi lainnya memang amat
berguna bagi taksonomi. Akan tetapi ilmu-ilmu itu sendiri tidaklah mungkin dapat berjalan
pesat secara efisien tanpa bantuan taksonomi. Pelbagai percobaan yang dilakukan dalam
penelitian cabang biologi yang banyak itu tidak mungkin dapat diulangi dan kebenaran
simpulannya diperbandingkan dan dikukuhkan, kalau identitas atau nama makhluk sebagai
objek yang dijadikan pumpunan kegiatannya diragukan. Kekurangcermatan dalam penamaan
objek percobaan akan menyebabkan nilai suatu penelitian merosot atau bahkan tidak ada
harganya sama sekali.
Penggolongan tidak hanya menyangkut soal pernamaan dan pencirian saja tetapi
juga berkaitan dengan masalah pemahaman hubungan kekeluargaan antara makhluk yang
satu dengan yang lainnya. Pengetahuan tentang hubungan kekerabatan ini memunyai nilai
terapan yang amat penting dalam usaha pemuliaan makhluk melalui hibridisasi atau
persilangan. Persilangan yang banyak dilakukan orang dalam bidang peternakan, pertanian,
dan hortikultura hanya dapat terjadi antara jenis yang memunyai hubungan kekeluargaan
yang erat. Pendatangan bibit baru dari luar negeri untuk dipakai sebagai bakal induk atau
sumber gen baru dalam kegiatan persilangan umumnya dilakukan oleh orang-orang yang
mengenal betul hubungan kekerabatan jenis-jenisnya. Setelah meminjamkan tangan dan
menyumbangkan jasanya, taksonomi kemudian mencoba mengambil keuntungan dari usaha
pemuliaan dan penerapan biologi lainnya untuk lebih cermat menafsirkan hubungan
kekerabatan jenis-jenis yang dihadapinya. Berdasarkan data, pendalaman, dan simpulan
tersebut dapatlah diperoleh pemahaman yang lebih mendasar mengenai mekanisme,
asal-usul, hubungan, dan bahkan arah evolusi kelompok objek terkait sampai terjadinya
keanekaragaman makhluk yang teramati di sekulilingnya. Dengan demikian taksonomi telah
berkembang melampaui ranahnya, sehingga terjelmalah sistematika.
Dalam buku-buku dan pelbagai risalah biologi orang sering mencampuradukkan dan
memertukarkan pengertian istilah-istilah klasifikasi, taksonomi, dan sistematika. Dalam
beberapa dasawarsa terakhir mulai ada kecenderungan untuk memberikan pengertian
tersendiri bagi masing-masing istilah tadi. Menurut pengertian baru ini, taksonomi ialah ilmu
tentang teori-teori pencirian, penamaan, dan klasifikasi. Dengan demikian kegiatan
taksonomi mencakup dasar-dasar pencirian, tata cara pengenalan dan hukum-hukum

4
penamaan, serta asas-asas pengaturan makhluk dalam golongan atau satuan kelasnya yang
berjenjang secara ideal. Berlainan dengan klasifikasi yang produk akhir kegiatannya adalah
sebuah sistem klasifikasi, taksonomi sudah sering diartikan sebagai teori dan praktik
klasifikasi dan bukan hasil akhirnya. Dengan sendirinya pengetahuan tentang seluk-beluk
penamaan, pencirian, dan penggolongan saja––jadi taksonomi semata-mata––belumlah dapat
menerangkan sebab-musabab dan asal-usul sampai terjadinya suatu bentuk pengaturan
seperti yang dituangkan dalam suatu sistem klasifikasi. Untuk itu orang lalu melakukan
kegiatan pengajian kekerabatan dan keanekaragaman melalui taksonomi pencobaan atau
biosistematika, sedangkan hubungan evolusi makhluk didalami oleh filogenetika. Gabungan
antara taksonomi dan biosistematika serta filogenetika inilah yang sekarang dianggap
merupakan ranah sistematika biologi.
Dengan demikian sistematika biologi itu dapat didefinisikan sebagai ilmu yang secara
ilmiah memelajari tentang macam-macam dan keanekaragaman makhluk serta sejarah
hubungan kekerabatan evolusi yang ada di antara mereka.

5
2. PENCIRIAN

Jika nama dapat memerlancar komunikasi karena memudahkan pengacuan kepada


sesuatu takson (yaitu satuan taksonomi tanpa memerhatikan peringkatnya), akan diperlukan
suatu upaya yang mampu memberikan kepastian tentang konsep takson termaksud. Fungsi
ini dapat dipenuhi oleh pertelaan, pemerian, atau deskripsi, yaitu pemaparan batasan atau
ruang lingkup dan ciri-ciri suatu takson dengan suatu pelukisan atau penggambaran
terperinci yang menggunakan kata dan istilah serta terkadang dilengkapi pula dengan
ilustrasi. Dengan perkataan lain, pertelaan merupakan simpulan dan pewujudan pencirian
sesuatu takson. Bahan baku pencirian pada umumnya berupa ciri (character) dan sifat ciri
(character state) yang diperinci, dianalisis, disintesis, dan semuanya lalu disajikan sebagai
bukti taksonomi. Ciri dan sifat ciri inilah yang memungkinkan orang menggambarkan konsep
untuk membatasi dan mengenal suatu takson secara mapan. Hampir semua kegiatan
sistematika biologi memang selalu melibatkan ciri dan sifat ciri makhluk beserta keseluruhan
variasinya. Segala simpulan yang diambil orang dalam penelitian sistematika biologi hampir
seluruhnya didasarkan pada evaluasi ciri beserta sifat cirinya itu.

Ciri dan Sifat Ciri

Dalam sistematika biologi, secara umum ciri dapat diartikan sebagai penanda yang
mengacu kepada bentuk, susunan, kandungan, atau peri laku makhluk, yang dapat digunakan
untuk membandingkan, mendeterminasi, menginterprestasi, mengelompokkan atau
memisahkan suatu makhluk dari yang lainnya. Hal ini dimungkinkan karena ciri itu hampir
selalu memunyai variasi yang derajatnya berbeda-beda. Beberapa ciri dapat dikatakan
mantap bila hanya menunjukkan variasi sedikit dari satu individu ke individu lainnya, dari
suatu generasi ke generasi berikutnya, dan dari satu golongan ke golongan lainnya. Ciri lain
mungkin memerlihatkan kisaran variasi yang jelas, sedangkan beberapa ciri lainnya lagi
mungkin menunjukkan pola variasi yang berkesinambungan atau tidak terputus-putus. Hal
ini dapat mudah dimengerti karena ciri itu bergantung kepada pengejawantahan pelbagai
macam faktor genetika yang berbeda, serta adakalanya pula dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan.
Ciri makhluk dapat merupakan sesuatu yang abstrak (misalnya, daun tidak ada),
tetapi umumnya berwujud sesuatu. Ciri memiliki variasi yang dapat diamati, dihitung, diukur,
dan terkadang memungkinkan untuk diberi perlakuan. Oleh karena itu dapatlah dimengerti
mengapa variasi ciri itu amat penting untuk keperluan pencirian, penggolongan, dan
penamaan makhluk. Dalam taksonomi, pernyataan atau keadaan variasi ciri umumnya disebut
sifat ciri. Tinggi pohon dan warna sayap serangga adalah contoh daripada ciri. Tinggi pohon
dapat 5 meter atau 70 meter, dan warna sayap mungkin dewangga, lembayung, atau lainnya

6
lagi, yang berturut-turut merupakan sifat ciri tinggi pohon dan sifat ciri warna sayap
serangga tersebut. Dengan demikian, untuk keperluan sehari-hari ciri dapat dinyatakan
sebagai penanda yang sifat atau pernyataan variasinya dapat dihitung (benang sari dua tukal),
diukur (panjang segmen tungkai 5–9 cm) atau diberi penilaian secara lain (daun menjantung
sungsang, kaki bertelapuk, warna spora ungu, bau menyengak).
Berdasarkan batasan ini, tidak hanya data morfologi saja yang dapat
menyumbangkan ciri untuk keperluan sistematika, sebab data-data dari biokimia, fisiologi,
ekologi, peri laku dan lainnya lagi juga akan termasuk ke dalamnya. Macam ciri yang akan
dipakai amatlah bergantung pada golongan makhluknya. Untuk tumbuhan berbiji ciri
morfologi bunga yang begitu banyak dan mudah terlihat akan lebih sering dipakai, tetapi
untuk bakteri peri laku metabolismenya, sedangkan pada ganggang kandungan pigmennya
yang akan lebih menonjol peranannya.
Dengan melihat kemudahannya untuk diberi penilaian, orang sering membedakan
antara ciri kualitatif dan ciri kuantitatif. Ada atau tidaknya suatu ciri, duduk daun
berhadapan atau berseling, dan peri laku serangga yang giat malam (nocturnal) atau giat
siang (diurnal), adalah contoh ciri kualitatif. Ciri yang sifatnya dapat dinilai secara langsung
dengan mengukur panjang, berat, kerapatan, dan lain-lainnya adalah ciri-ciri kuantitatif.
Adakalanya perbedaan antara keduanya tidaklah begitu jelas, sebab ciri kualitatif (seperti
bentuk) dapat juga dinyatakan secara kuantitatif. Daun membundar telur dapat bervariasi
membundar telur sempit atau membundar telur lebar. Pengalaman menunjukkan bahwa ciri
kualitatif memunyai nilai yang lebih penting daripada ciri kuantitatif, sebab yang terakhir ini
kadang-kadang memunyai kisaran yang besar. Kisaran variasi yang besar terutama terjumpai
pada ciri yang berasal dari bagian tubuh vegetatif yang seringkali dipengaruhi oleh
faktor-faktor lingkungan.
Sekalipun setiap individu makhluk mungkin memunyai ratusan atau ribuan ciri, dan
meskipun orang mengelasifikasi keseluruhan individu itu, demi praktisnya hanya beberapa
ciri saja yang terpakai untuk keperluan sistematika. Pemilihan ciri yang dipakai untuk
menandakan sesuatu makhluk pasti dapat memengaruhi hasil penggolongannya. Karena
ahli-ahli taksonomi dari tempat berlainan mungkin sekali memilih ciri-ciri yang berbeda dari
suatu makhluk yang sama, sistem klasifikasi yang dihasilkan akan dapat berlainan pula.
Untuk keperluan pengelasifikasian umum, orang biasanya menggunakan ciri sintesis,
yaitu ciri yang terdapat secara serba sama dan luas merata pada seluruh anggota sesuatu
takson berperingkat tinggi. Terdapatnya bunga pada Angiospermae, atau adanya tulang
belakang pada Vertebrata, misalnya, adalah contoh ciri sintesis. Karena kebersamaan
pemilikan dan luasnya persebaran keterdapatannya tadi, mudahlah dimengerti jika ciri
sintesis tidak banyak manfaatnya untuk penggolongan takson-takson berperingkat rendah.
Perbungaan majemuk yang amat mencirikan pada suku sembung-sembungan Compositae,
misalnya, tidak akan dapat dipakai untuk membedakan jenis-jenis Eupatorium. Untuk
keperluan pencirian atau pembatasan takson, orang memakai ciri analisis. ciri diagnosis, ciri
kunci, atau. Ciri ini memunyai sifat yang terdapatnya terbatas dan khas karena dipilihkan dari
ciri yang memunyai kisaran variasi yang bermacam-macam polanya. Karena terbatasnya

7
persebaran dan besarnya ketidaksamaan variasi ciri-ciri analisis, sukarlah bagi mereka untuk
dipakai sebagai ciri untuk memersatukan atau menyintesiskan takson yang berperingkat
tinggi. Pada pihak lain, untuk keperluan pendeterminasian yang sering harus dilakukan
dengan cepat, orang menggunakan ciri diagnosis atau ciri kunci yang dapat berasal baik dari
ciri sintesis maupun ciri analisis.
Perbedaan antara ciri analisis dan ciri sintesis tidak berlaku secara umum di luar
suatu takson tertentu. Jika buah amat berguna untuk mengenal marga suku
meranti-merantian Dipterocarpaceae, dalam pencirian marga anggrek-anggrekan
Orchidaceae buah tidak ada gunanya sama sekali. Baik jeleknya sesuatu ciri untuk sesuatu
maksud atau golongan takson tertentu hanya dapat diketahui berdasarkan penelitian,
pengamatan, dan pengalaman. Secara umum dapat dikatakan bahwa ciri yang baik untuk
keperluan sistematika biologi haruslah tidak terpengaruhi faktor lingkungan, variasinya
konsisten, berkorelasi dengan ciri-ciri lainnya, dan tidak mudah termodifikasi oleh
perubahan segregasi atau rekombinasi faktor genetika yang sederhana.
Keefektifan upaya penamaan, pencirian, dan pengelasifikasian sesuatu takson amat
bergantung pada evaluasi yang tepat tentang pola variasi ciri serta sifat-sifat ciri yang
bermacam-macam itu. Keberhasilan kegiatan tadi juga ditentukan oleh penggunaan yang
semestinya data-data yang terkumpul pada peringkat yang sesuai dalam sistem kategori
taksonomi. Untuk itu perlulah dipahami terjadinya pola variasi ciri yang menghasilkan sifat
ciri tadi, dengan jalan menganalisis pola persebarannya dalam keseluruhan anggota takson
yang dihadapi.
Seperti ditekankan di atas, taksonomi sangat bergantung pada ciri yang tak
berkesinambungan, yang berarti secara lekat diri ciri tadi harus terdiri atas sifat-sifat ciri
yang juga terputus-putus. Setiap sifat yang mungkin tertampilkan dapat dinilai dan disandi
dengan angka, sehingga ekor burung berbulunggas merah, misalnya, diberi angka 0,
sedangkan yang berbulunggas kuning 1, dan sebaliknya. Penilaian dan penafsiran paling
sederhana memang dapat mudah dilakukan kalau yang dihadapi adalah ciri dengan sifat biner
atau hanya dengan dua sifat ciri (seperti ada tidaknya sayap pada serangga). Akan tetapi
keadaan ciri di alam sering tidak semudah dan sesederhana itu, sebab mungkin saja warna
mahkota bunga tumbuhan berwarna merah, jingga dan kuning, sehingga sifat ciri warna merah
dapat disandi 2 karena dianggap lebih berbeda dari sifat ciri jingga yang disandi angka 1, dan
kuning yang diberi bersandi 0.
Secara tidak langsung dalam kasus ini terkesan adanya model garis evolusi jelas yang
meningkat secara aritmetika yang mungkin tidak dimaksudkan atau tidak disukai karena
mungkin sekali bukan demikian proses kejadiannya di alam. Pada pihak lain persoalannya
mudah dipahami dan dihayati jika disadari bahwa ciri dapat didefinisikan sebagai “. . . bentuk
asli ditambah dengan semua modifikasi yang terjadi kemudian . . ..” Definisi ini menyiratkan
bahwa memang terjadi suatu transisi dari satu sifat ciri ke sifat ciri yang lain. Untuk
memastikan itu lalu dianggap perlu melakukan suatu polarisasi sifat ciri, dengan jalan
membedakan sifat ciri yang merupakan bentuk leluhur atau plesiomorf (istilah yang lebih
disukai dibandingkan dengan ‘primitif’ karena tidak perlu berkonotasi kesederhanaan) dan

8
bentuk turunan atau apomorf (yang lebih disukai ketimbang istilah ‘maju’). Dalam kaitan ini,
jika dua atau lebih takson menampilkan adanya sifat ciri plesiomorf serupa, sifat ciri itu
merupakan simplesiomorf. Sebaliknya kalau suatu apomorf homolog dimiliki oleh dua atau
lebih takson (yang menunjukkan bahwa mereka mungkin memiliki leluhur bersama), sifat ciri
itu dikatakan sinapomorf. Penentuan polarisasi sifat ciri ini dipermudah dengan
membandingkan takson yang sedang ditangani (umumnya disebut kelompok dalam, ingroup)
dengan takson kerabat dekatnya (sering diacu sebagai kelompok luar, outgroup) yang untuk
keperluan penilaian lalu dianggap lebih bersifat primitif.
Karena corak pendekatannya, dengan sendirinya hanya sifat ciri yang homolog saja
yang harus dipakai dalam analisis, sehingga kemungkinan terlibatkannya sifat ciri yang analog
harus diwaspadai. Sebagaimana diketahui perubahan sifat ciri tidak selalu menunjukkan
adanya hubungan evolusi. Persebaran sifat ciri dalam jajaran takson yang ditangani mungkin
merupakan hasil evolusi yang paralel, atau konvergensi, atau bahkan pembalikan (reversal)
suatu sifat ciri apomorf ke keadaan plesiomorf. Perubahan-perubahan evolusi yang
menyebabkan kesalahan simpulan dalam penggambaran filogeninya ini secara kolektif
disebut homoplasi.

Sumber Ciri untuk Bukti Taksonomi

Ciri yang dipakai sebagai bukti taksonomi dalam mencirikan, menggolongkan, dan
menamakan makhluk dapat berasal dari seluruh bagian tubuh dan dari semua fase serta
proses pertumbuhan makhluk. Kenyataan ini mendukung pendapat bahwa sistematika
merupakan sintesis biologi, karena semua data yang dihasilkan oleh cabang-cabang biologi
yang banyak itu––morfologi, biokimia, urutan DNA, kariologi, peri laku, ultrastruktur––telah
dimanfaatkan seleluasanya sebagai data baku kegiatannya.

Morfologi. Dalam praktiknya para ahli taksonomi sampai saat ini masih seringkali
harus mendasarkan simpulannya pada ciri-ciri morfologi belaka. Kebanyakan peneliti
sistematika biologi acapkali harus menghadapi kenyataan bahwa bukti-bukti taksonomi yang
tersedia baginya hanyalah ciri-ciri morfologi, keterangan tentang persebaran geografi,
ekologi, dan beberapa data lapangan lainya. Hal ini tidak berarti bahwa data-data lain yang
berasal dari anatomi, embriologi, sitologi, biokimia, dan lain-lainnya lagi tidak penting atau
tidak ada sama sekali. Sekalipun pelbagai data tadi sudah tersedia, tetapi umumnya belum
lengkap, tidak merata pemeriksaannya untuk suatu kelompok takson, tidak serba sama
terperincinya, dan jumlahnya masih belum memadai. Sebagai akibatnya penggunaannya
untuk dijadikan dasar penyusunan suatu sistem klasifikasi secara umum kurang terandalkan,
tidak efisien, dan sulit mengoordinasikannya. Oleh karena itu agaknya akan sukar untuk
dibantah bahwa untuk keperluan sehari-hari kriteria morfologi masih akan terus menjadi
tumpuan utama kegiatan pendeterminasian, pencirian, dan penyusunan sistem klasifikasi
yang praktis.

9
Sekalipun demikian perlu ditekankan bahwa tidak ada ahli sistematika biologi yang
akan beranggapan bahwa klasifikasi berdasarkan ciri morfologi semata-mata merupakan
sesuatu yang paling ideal. Bias kepada morfologi terjadi karena pendekatan ini memberikan
jalan tercepat dalam memeragakan keanekaragaman makhluk. Selain itu klasifikasi
berdasarkan morfologi ternyata masih dapat dipakai sebagai sistem pengacuan umum karena
mampu menampung pernyataan data-data dari bidang biologi lainnya. Lagi pula ciri-ciri
morfologi mudah dilihat sehingga variasinya dapat dinilai dengan cepat jika dibandingkan
dengan ciri-ciri lainnya.
Walaupun ciri morfologi sudah lama dipergunakan orang dalam pendeterminasian,
pencirian dan penggolongan makhluk, masih banyak masalah yang belum diperinci dan
diterapkan dengan sempurna. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya “mode ” dalam
penelitian biologi masa kini yang lebih mementingkan masalah aktivitas biologi pada tahap
molekul atau ultra mikroskop yang pemecahanya memerlukan peralatan rumit serta
percobaan terkontrol dengan rancangan penelitian yang hasilnya harus dihitung dengan
bantuan matematika mutakhir. Sebagai akibatnya maka morfologi––yang kegiatannya hanya
terbatas pada pengamatan dan pertelaan susunan sesuatu organ apa adanya – – jadi
tersisihkan ke samping.
Untuk makhluk tropik sebenarnya masih banyak peluang dan kemungkinan untuk
membuat temuan-temuan baru yang dapat diungkapkan dengan mengadakan penelitian
morfologi sederhana. Pelaksanaan pekerjaan ini hanya memerlukan kecekatan pemakaian
pisau, lensa tangan, mata yang kritis dan kesabaran mengamati secara cermat dan teliti
terhadap ciri-ciri morfologi. Sudah dapat dipastikan bahwa pengetahuan yang mendalam
tentang homologi dan analogi organ-organ vegetatif dan generatif tumbuhan tropik yang
beraneka ragam itu akan memaksa orang untuk mengganti beberapa konsep dan sistem
klasifikasi yang sekarang umum dianut.
Perawakan tumbuhan belum sepenuhnya dimengerti orang karena jarangnya ciri ini
tercantum pada etiket spesimen herbarium. Bentuk mahkota pohon yang bulat, lonjong atau
runjung ditentukan oleh cara percabangan dan ini merupakan faktor dalam menentukan
bentuk pohon secara keseluruhan. Bentuk serta ada tidaknya akar banir seringkali amat khas
untuk setiap jenisnya. Begitu pula ciri pepagan amatlah besar peranannya dalam pengenalan
pohon di lapangan. Orang sudah lama mengenal adanya bermacam-macam ptiksis, yaitu cara
pelipatan atau penggulungan daun atau bagian-bagian bunga ketika masih dalam kuncup.
Penggunaan ptiksis untuk membedabedakan takson masih jarang dilakukan kecuali pada suku
pinang- pinangan Palmae yang kini mulai banyak diterapkan orang. Susunan dan bentuk daun
sudah biasa dimanfaatkan orang untuk kepentingan klasifikasi, tetapi tidak demikian halnya
dengan penulangan daun sekalipun ciri ini amat penting dalam pendeterminasian fosil-fosil.
Keanekaragaman bentuk, susunan, dan persebaran bulu pada bagian-bagian tubuh tumbuh-
tumbuhan memunyai arti yang penting dalam sistematika tumbuhan dan penggunaannya
secara menyeluruh baru terlihat kalau sudah diadakan pertelaan secara terperinci untuk
masing-masing golongan.

10
Karena mantapnya perbungaan dan ciri generatif lainnya dalam berbagai keadaan
lingkungan, sudah menjadi tradisi untuk memergunakan ciri-ciri ini secara jauh lebih luas jika
dibandingkan dengan ciri-ciri vegetatif. Sekalipun demikian masih banyak ciri perbungaan
yang belum dimanfaatkan semestinya secara penuh. Sampai sekarang masih terdapat
beberapa kesulitan untuk menentukan homologi berbagai organ generatif pada golongan
tumbuhan yang berlainan. Buah dan biji berukuran renik jarang sekali dipertelakan dengan
sempurna dalam flora atau buku-buku pegangan. Akibatnya sulit sekali untuk
mendeterminasi biji-biji lepas, padahal pengetahuan tentang biji ini amat penting bagi
pertanian, misalnya dalam pemberantasan gulma.
Sayangnya proses perkembangan ciri morfologi itu gampang termutasikan. Oleh
karena itu bentuk akhir pengejawantahannya dapat dipengaruhi oleh faktor non-genetika
seperti keadaan kesehatan makhluk, status gizi dan makanannya, umur, lingkungan sekitar,
serta tahapan siklus penangkarannya. Ketidakmampuan ahli sistematika membedakan ciri
terpengaruh lingkungan dan ciri yang dikendalikan faktor genetika telah menyebabkan
banyaknya jumlah takson (terutama jenis dan satuan-satuan di bawahnya) yang diusulkan
dan dipertelakan orang. Pengetahuan yang mendalam tentang biologi makhluk bersangkutan
serta tumpukan data dan informasi yang terkumpulkan dari spesimen yang tersedia akan
dapat mengatasi masalah muskil ini.

Ontogeni dan Embriologi. Ontogeni juga belum mendapat perhatian yang wajar
karena pengklasifikasian makhluk umumnya didasarkan pada fase perkembangbiakan individu
yang sudah dewasa. Ternyata bahwa perubahan bentuk dalam proses pendewasaan
organ-organ tubuh tertentu dapat berbeda dari jenis yang satu ke jenis yang lainnya.
Perkembangan setiap jenis tumbuhan mulai dari biji menjadi kecambah, lalu semai dan terus
sampai belta sebelum menjadi pohon dewasa belum dapat diperbandingkan dengan seksama
sebab kekurangan data. Sudah diketahui orang bahwa morfologi semai seringkali
menambahkan bukti-bukti taksonomi yang penting. Kemampuan untuk dapat
mendeterminasi semai dan belta sendiri amatlah diperlukan dalam penelitian ekologi,
kehutanan dan pertanian.
Pembagian utama tumbuhan berbunga menjadi dikotil dan monokotil didasarkan
pada satu ciri (embrio) lembaga, yaitu apakah ia berkeping lembaga satu atau dua.
Penggunaan data-data embriologi (ilmu yang memelajari perkembangan lembaga sebelum,
selama, dan sesudah pembuahan) memang baru terbatas pada takson berperingkat tinggi.
Macam dan susunan kantong lembaga ternyata mantap dalam sesuatu suku, sehingga dapat
membantu penggolongan suku-suku yang “sulit”. Dalam suku rumput-rumputan Poaceae,
sembung-sembungan Compositae dan beberapa lainnya lagi, data-data embriologi berguna
juga sebagai bukti tambahan untuk menentukan batasan marga dan menyusun sistem
klasifikasi yang lebih alamiah.

Warna. Penampilan umum makhluk adakalanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan,


sehingga polimorfisme warna pada serangga dapat dramatis karena variasi berbeda dapat

11
terjadi oleh pengaruh musim, suhu, panjang hari, kelembapan, tahap daur hidup, dan lain-lain.
Variasi besar itu dapat terjadi sebagai reaksi mereka terhadap ancaman predator, apalagi
karena sudah umum diketahui bahwa burung mencari mangsa dengan mengandalkan pada
kemampuan visualnya. Begitu pula warna bunga dapat berubah-ubah hanya karena adanya
perbedaan pH tanah tempat tanamannya tumbuh.
Sekalipun demikian, di tangan seorang ahli sistematika yang cermat warna seringkali
dimanfaatkan sebagai ciri penyedia bukti taksonomi karena dapat menjadi penanda untuk
identifikasi jenis yang terandalkan. Dalam mikologi warna spora bahkan menjadi ciri yang
sangat vital untuk mengenal berbagai kelompok utama jamur. Perbedaan warna yang terkait
dengan persebaran geografi makhluknya sering dijadikan indikasi untuk mengakui adanya
bentuk-bentuk yang dapat diberi status subspesies. Perlu diperhatikan bahwa dalam
kebanyakan hal, pola warna lebih bermanfaat dibandingkan dengan corak warnanya sendiri,
apalagi karena warna dapat memudar pada spesimen yang diawetkan.

Anatomi dan Ciri Tersembunyi. Sudah menjadi tradisi di kalangan zoologi klasik
untuk menggunakan organisasi internal tubuh yang diperoleh dari pembedahan dan anatomi
komparatif sebagai dasar taksonomi. Keserbasamaan penampilan luar cacing dan nematoda
memaksa penggunaan ciri yang tersembunyi tadi untuk keperluan pencirian, penggolongan
dan penamaannya, yang ternyata merupakan ciri sangat berguna untuk menganalisis
hubungan filogenetikanya. Penggunaan alat kelamin jantan pada serangga sudah lama
diketahui orang, dan penafsiran hubungan kekerabatan evolusi Vertebrata sangat
bergantung pada anatomi jantung, sistem sirkulasi, dan susunan otak. Pemakaian ciri
tersembunyi sebagai bukti taksonomi memang sering menghadirkan takson tersembunyi
(kriptospesies) pula sehingga harus dilakukan dengan penuh pertimbangan dan kehatihatian.
Data anatomi sudah lama juga dipakai untuk kepentingan sistematika tumbuhan,
baik dalam pendeterminasian dan penentuan batasan sesuatu takson, maupun dalam usaha
menunjukkan kecondongan evolusi atau menjelaskan kekerabatan derajat hubungan secara
filogenetikanya. Pencirian takson tumbuhan rendah dan fosil tidak mungkin dapat dilakukan
tanpa bantuan anatomi. Anatomi dan histologi akar atau batang kayu tidak saja penting untuk
paleontologi tetapi juga berguna untuk mendeterminasi jenis-jenis kayu bangunan yang
sudah dipergunakan orang.
Berdasarkan anatomi perbandingan orang dapat menyimpulkan bahwa anggapan
keprimitifan suku-suku Ranales dapat diperkuat dan dibenarkan oleh tidak adanya pembuluh
tapis; ciri ini dijumpai juga pada tumbuhan berbiji terbuka dan pada tumbuhan paku. Ciri-ciri
epidermis dan mulut daun merupakan bukti taksonomi penting dalam pendeterminasian dan
pencirian tumbuhan fosil, dan akhir-akhir ini mulai banyak digunakan orang dalam tumbuhan
yang masih ada sekarang. Ternyata bahwa susunan sel-sel pelindung mulut daun
berbeda-beda dan mantap untuk sesuatu marga atau takson yang lebih tinggi peringkatnya.
Kerapatan mulut daun untuk suatu satuan luas tertentu adakalanya membantu dalam
membedakan jenis. Tersedianya data tambahan dari susunan jaringan daun amat besar
bantuannya dalam penggolongan anggota suku rumput-rumputan Poaceae yang bunganya

12
tereduksi. Kerapatan, bentuk dan susunan trikom atau rambut tumbuhan amatlah penting
untuk mendeterminasi dan menggolongkan beberapa takson tertentu.
Pada penelitian anatomi bunga dapat dilihat adanya bekas-bekas ikatan pembuluh
sekalipun bunganya sangat tereduksi. Karena itu orang dapat membuktikan adanya
bekas-bekas mahkota pada suku pasang-pasangan Fagaceae yang dalam perjalanan evolusi
sudah menghilang. Kenyataan ini menguatkan gagasan bahwa Fagaceae dan sebangsanya
memunyai bunga yang tidak primitif. Data-data anatomi bunga berguna juga dalam
menunjukkan kekerabatan serta menentukan batasan-batasan takson, tetapi umumnya
kurang bermanfaat untuk keperluan determinasi.

Ultrastruktur. Tersedianya mikroskop elektron transmisi (transmission electron


microscope, TEM) dan mikroskop elektron pindai (scanning electron microscope, SEM)
dalam beberapa dasawarsa terakhir telah memungkinkan ahli sistematika mendapatkan ciri
yang tak terakseskan sebelumnya. Struktur permukaan renik sekarang dapat ditampilkan
oleh SEM secara jelas sehingga menambah ciri yang dapat dimanfaatkan sebagai bukti
taksonomi secara lebih meyakinkan. TEM memfasilitasi penelaahan ultrastruktur sel yang
berpengaruh besar pada pemecahan masalah taksonomi dan filogenetika sehingga dipercaya
akan membantu perbaikan pemahaman tentang hubungan kekerabatan evolusi makhluk.
Dalam kaitannya dengan pengerahan ciri ultrastruktur untuk keperluan penelaahan
filogenetika, perlu diwaspadai kenyataan bahwa ciri renik itu sering bersifat sederhana atau
kurang kompleks sehingga hanya dikendalikan oleh sejumlah kecil gen. Begitu pula
kehomologian dan keanalogian ciri yang sangat renik itu tidak mudah ditentukan karena
sedikit atau kecilnya variasi yang terdeteksi sehingga menyulitkan untuk membandingkan
perkembangannya. Dengan demikian kemungkinan dijumpainya homoplasi menjadi
meningkat, seperti terbukti dari penelitian palinologi. Tumbuhan yang tergolong dalam
suku-suku monokot serta beberapa suku primitif Ranales yang tergolong dikot umumnya
memunyai serbuk sari monokalpat (hanya diperlengkapi dengan sebuah alur). Kenyataan ini
memerkuat gagasan ketidaktegasan pemisahan monokot dan dikot, yang serbuk sarinya
umumnya berciri trikolpat (memunyai tiga alur pada meridiannya). Pada pihak lain ciri-ciri
serbuk sari dapat khas untuk jenis, marga atau suku, dan juga membawa sejumlah besar
informasi filogenetika.

Sitologi. Sitologi adalah ilmu yang memelajari seluk-beluk sel. Dalam sistematika
biologi istilah ini biasa diberi pengertian yang sempit untuk hanya meliputi bahan-bahan inti
saja dan khususnya bentuk dan jumlah kromosom serta peri laku kromosom selama meiosis.
Untuk keperluan bukti taksonomi biasanya dibandingkan kariotipe (keadaan kromosom pada
tahap metafase proses mitosis), yang meliputi ciri-ciri ukuran panjang kromosom, letak
sentromer, ada tidaknya satelit dan jumlah kromosom.
Ukuran kromosom ternyata mantap untuk setiap jenis. Secara umum dapat
dikatakan bahwa kromosom tumbuhan monokot memunyai ukuran lebih besar jika

13
dibandingkan dengan kromosom dikot. Tumbuhan berkayu kebanyakan memunyai kromosom
berukuran lebih kecil dibandingkan dengan kromosom tumbuhan terna yang sekerabat.
Jumlah kromosom semua individu yang tergolong satu jenis umumnya sama,
sehingga ciri ini memunyai nilai yang penting. Akan tetapi sampai sekarang baru kira-kira 10
% seluruh tumbuhan yang ada yang sudah diperiksa secara sitologi. Jumlah tadi bervariasi dari
n (jumlah haploid atau jumlah satu set kromosom) = 2 untuk Haplopappus gracilis
(Compositae) sampai n = 631 pada Ophioglossum reticulatum (tumbuhan paku). Secara garis
besar terdapat tiga macam jumlah kromosom. Kelompok yang pertama memunyai jumlah
kromosom yang sama untuk seluruh anggota golongan (misalnya suatu marga atau suku),
seperti terlihat pada marga Pinus yang seluruh jenisnya memunyai n = 12. Pada kelompok
kedua terlihat adanya kelipatan jumlah kromosom sehingga terjadi deret poliploid pada
pelbagai anggota sesuatu golongan tumbuhan. Pada Taraxacum (Compositae) misalnya orang
mendapatkan 2n = 16, 24, 32, 40, 48. Dalam deret poliploid ini 8 merupakan jumlah dasar
(yang umumnya ditandai dengan x dan dianggap sebagai jumlah asal atau jumlah primitif yang
menurun jumlah-jumlah poliploid lainnya). Ada juga kelompok tumbuhan yang jumlah
kromosomnya tidak beraturan hubungannya satu sama lainnya. Dalam satu golongan
tumbuhan dapat terjadi bahwa jumlah kromosomnya seolah-olah bertambah atau berkurang
satu demi satu jika dibandingkan terhadap jumlah dasar haploidnya. Keadaan ini disebut
aneuploid.
Kepentingan nilai jumlah kromosom sebagai bukti taksonomi disebabkan oleh karena
kemantapannya berkolerasi dengan penggolongan alamiah makhluk. Dengan demikian ciri ini
dapat dipakai sebagai penunjuk untuk membagi-bagi sesuatu takson, asal saja terhadap ciri
lain menguatkannya. Manfaat jumlah kromosom ini umumnya amat terasa pada takson di
bawah suku, terutama pada tingkat jenis peranan ciri kromosom amatlah menonjolnya dalam
menginterpretasi suatu sistem klasifikasi dan dalam menentukan kekerabatan serta arah
evolusi, menjelaskan mekanisme terjadinya suatu golongan, menunjukan adanya reproduksi
isolasi dan lain-lain. Data-data ini, bersama dengan hasil percobaan dalam bidang genetika,
morfologi perbandingan dan ekologi memungkinkan kita mematamatai arah, jalan atau kerja
evolusi.

Biokimia. Penggolongan utama ganggang sudah biasa didasarkan pada kodrat


pigmen dalam plastidnya, serta susunan kimia senyawaan cadangan makanan yang dikandung
tubuhnya. Cadangan makanan yang umumnya berupa serbuk pati itu ternyata dapat juga
digunakan sebagai bukti taksonomi penguat dalam menggolongkan anggota-anggota
Graminae. Tukalan-tukalan kristal kalsiumoksalat yang disebut rafid dan terlihat dalam
sel-sel beberapa tumbuhan tertentu juga memunyai nilai sebagai bukti taksonomi. Adanya
rafid tadi sudah membantu penyusunan sistem klasifikasi yang lebih alamiah dalam suku
kopi-kopian Rubiaceae, bakung-bakungan Liliaceae, dan sembung-sembungan Compositae.
Ia juga berguna untuk menunjukkan kekerabatan antara kaktus-kaktusan Cactaceae dan
anggota bangsa Centrospermae lainnya.

14
Makin sempurnanya teknik analisis dengan cara kromatografi kertas dan
kromatografi gas telah membuka horizon baru dalam menggunakan data-data biokimia
sebagai bukti taksonomi. Dengan teknik ini dapatlah diketahui persebaran dan profil
kromatogram senyawa-senyawa fenol, glikosida HCN, alkaloid, minyak dan lemak,
karbohidrat terlarutkan dalam air, asam-asam amino bebas dan sebagainya. Bergantung
kepada kandungan senyawa kimianya, profil kromatogram yang dihasilkan oleh ekstrak setiap
jenis tumbuhan akan berbeda. Sebagai akibatnya data-data tadi dapat langsung terus
dipergunakan untuk keperluan bukti taksonomi tanpa terlebih dahulu perlu mendeterminasi
susunan senyawa kimianya sendiri.
Karena memunyai nilai terapan yang penting dalam farmakologi, alkoloid sudah lama
diselidiki orang. Adanya morfin dalam Papaver somniferum telah menyebabkan persebaran
alkaloid dalam suku deruju-derujuan Papaveraceae diketahui orang. Data yang tersedia juga
terpakai dalam menentukan kekerabatan antara Papaveraceae, Fumariaceae dan
Berberidaceae. Dalam suku kamboja-kambojaan Apocynaceae (yang antara lain beranggotan
pulai Alstonia scholaris dan pulai pandak Rauwolfia serpentina yang terkenal dalam
farmakologi) alkoloid telah menyokong gagasan pemisahan jenis-jenis Catharanthus dari
jenis-jenis Vinca.
Senyawa fenol diketahui adanya dalam kayu, daun, bunga dan biji tanaman dan
meliputi senyawa-senyawaan seperti antosianin, leuko-antosianin, flavonol, tanium,
kumarin, antrakuinon dan lain––lain. Seperti ciri-ciri kimia lainnya, pola persebaran senyawa
fenol bermanfaat sebagai penguat penggolongan sesuatu golongan tumbuhan kalau mereka
berkolerasi dengan ciri-ciri lainnya. Dari semua data biokimia senyawa fenol dapat
merupakan bukti taksonomi yang terpenting sebab dapat menjajagi hubungan berbagai
golongan tumbuhan yang berkerabat secara evolusi. Dengan jalan mengetahui
langkah-langkah atau rangkaian proses yang dilewati berbagai senyawa fenol tadi dalam
pembentukannya, jalan atau arah evolusi kimia (dan tumbuhan yang mengandungnya) akan
dapat ditentukan, setidak tidaknya secara nisbi. Pendugaan jalan atau arah evolusi ini
mungkin dilakukan berdasarkan kenyataan bahwa reaksi kimia pembentukan pelbagai
senyawa fenol tadi tidak terbalikkan.
Kesulitan dalam menganalisis protein secara langsung menyebabkan tipisnya
harapan bahwa penelitian perbandingan protein akan dapat memberikan data-data berarti
untuk keperluan taksonomi. Lain hanya dengan cara serologi yang dapat cepat dan mudah
dilaksanakan yang akhir-akhir ini telah memungkinkan orang untuk menguji dan
menyocokkan hasil reaksi antigen-antiserum dengan sistem klasifikasi yang ada. Ditemukan
bahwa diagnosis serum dapat menguatkan sistem klasifikasi dalam suku cempaka-cempakaan
Magnoliaceae yang disusun berdasarkan pendekatan morfologi. Metode elektroforesis yang
mereaksikan antigen-antiserum pada gel agar untuk membentuk pita presipitasi telah
memungkinkan pengujian protein dengan efisien. Pengujian fraksi albumin biji beberapa
marga polong-polongan menunjukan kemanfaatan cara ini untuk memerkuat sistem
klasifikasi yang ada dalam menunjukkan bagian-bagian sistem yang perlu diperbaiki.

15
Urutan Molekul. Kemajuan bioteknologi akhir-akhir ini telah menyediakan
instrumen yang memungkinkan dikumpulkannya data untuk keperluan pemahaman
kekerabatan filogenetika makhluk. Urutan nukleotida DNA dan RNA, atau residu asam amino
dalam protein pelbagai makhluk semakin banyak diungkapkan orang. Masalah muncul karena
ketidakmungkinan membedakan homologi dan analogi untuk setiap posisi dalam urutan
molekul, sehingga homoplasi diduga lebih sering dijumpai dibandingkan dengan ciri yang
disediakan morfologi.
Persoalan lain yang juga mencuat ke permukaan adalah kenyataan seringnya
dijumpai inkongruensi atau ketidaksesuaian dalam gambaran simpulan hasil yang diperoleh
dari analisis kekerabatan berbasis pendekatan molekul bila dibandingkan dengan hasil dari
pendekatan morfologi. Hal ini terjadi karena ketidaksamaan kecepatan evolusi pada ciri-ciri
yang diamati. Sudah bukan rahasia lagi bahwa laju evolusi morfologi terhitung lambat dan
terhenti-henti, yang tidak berlaku pada evolusi ciri biokimia secara umum. Inkongruensi
terjumpai juga bila hasil pendekatan lain diperbandingkan, tetapi perbedaannya tidak
mencolok seperti pada ciri yang disediakan oleh bidang biokimia.

Artefakta Hewan. Banyak sekali makhluk yang menghasilkan artefakta, yang


ternyata sangat berguna untuk keperluan pencirian guna menyempurnakan pengertian
tentang hubungan filogenetika anggotanya. Tapak pemartandangan (courtship site) burung,
sarang lebah, tawon, rayap, dan burung, liang yang ditambang di tanah (rodentia) atau pada
dedaunan (serangga), jala-jala labah-labah . . . adalah contoh artefakta yang sudah terkenal
kegunaannya untuk keperluan taksonomi.
Dalam kaitan ini menarik untuk dicatat keterkaitan sarang semut dengan tumbuhan
yang ditempatinya. Begitu pula domatia, yaitu struktur yang adakalanya muncul secara
teratur dan mantap pada daun sebagai akibat aktivitas serangga.

Peri laku. Sekalipun peri laku hewan bersifat plastis, beberapa di antaranya ternyata
dikendalikan oleh faktor-faktor genetika yang mapan sehingga mampu menyediakan ciri
sebagai bukti taksonomi terandalkan. Data etologi sebenarnya sudah banyak terkumpul
tetapi belum banyak digunakan untuk keperluan taksonomi. Malah sebaliknya, hipotesis
filogenetika sering dipakai untuk menguji gagasan tentang evolusi peri laku.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa perkembangan peri laku memang tidak selalu
bersifat plastis sehingga tidak selamanya dapat dianggap sebagai homoplasi. Kicau dan
peragaan pemartandangan burung sudah umum dipakai untuk membedakan jenis. Isolasi
genetika anak jenis dan jenis sanak sering dibarengi dengan perbedaan peri laku. Peri laku
reproduksi juga sangat menentukan, sebab jenis yang giat malam dan kerabatnya yang giat
siang tidak punya peluang luas untuk melakukan perkawinan.

Persebaran Geografi. Secara tidak langsung, sebenarnya hampir semua ciri yang
dipakai dalam sistematika merupakan hasil kegiatan fisiologi makhluk, yang semuanya
terkontrol secara genetika. Sekalipun demikian data-data fisiologi umumnya tidak dipakai

16
secara langsung untuk keperluan bukti-bukti taksonomi. Musim berbunga (fenologi),
keperluan cahaya, pola perkawinan, persebaran geografi, dan ekologi merupakan ciri-ciri
terkait fisiologi yang berguna untuk memertegas persamaan dan perbedaan jenis makhluk.
Dari semua itu, persebaran geografi makhluk memegang peranan penting dalam
menentukan apakah suatu kelompok populasi perlu diperlakukan sebagai suatu jenis
tersendiri, atau cukup di anggap sebagai forma atau varietas (dalam taksonomi tumbuhan),
atau sebagai anak jenis daripada jenis yang lain. Dalam kaitan ini persebaran geografi erat
pula hubungannya dengan faktor ekologi yang menentukan beberapa ciri biologi makhluk
yang bersangkutan. Di samping itu persebaran geografi juga amat berfaedah dalam
memelajari asal usul, sejarah perkembangan dan evolusi takson-takson tertentu. Dengan
pertolongan peta yang memuat persebaran setiap jenis yang diselidiki, dapatlah diketahui
daerah yang paling banyak jumlah jenisnya serta paling besar variasi ciri-cirinya. Daerah
tersebut dikenal sebagai pusat keanekaragaman dan seringkali merupakan daerah yang
dianggap sebagai tempat asal leluhur evolusi takson-takson itu.

Pertelaan

Dari hasil penelitiannya seorang ahli sistematika biologi akan menyimpulkan dan
menentukan batasan atau ruang lingkup takson-takson yang dipelajarinya. Catatan lengkap
pengamatan dan analisis ciri-ciri setiap takson akan dituangkan dalam serangkaian pertelaan.
Dalam penerbitan yang memuat hasil penelitian sistematika, pertelaan merupakan bagian
yang terpenting sebab di situ termuat data-data baku yang teramati, jadi menyimpan
kumpulan pengetahuan tentang takson-takson itu. Pertelaan tadi umumnya berisi ciri-ciri
beserta sifatnya, yang karena kodratnya untuk sebagian besar bersumber pada ciri-ciri
morfologi makhluk. Gambar-gambar yang memerlihatkan analisis bagian-bagian tubuh
makhluk secara lengkap dan terperinci merupakan pelengkap yang berharga suatu pertelaan
sehingga adakalanya dapat diperlakukan sebagai pengganti suatu pertelaan.
Baik untuk keperluan penyusunan maupun guna pemakaian suatu pertelaan akan
dibutuhkan pengetahuan yang cukup mengenai susunan – – berikut nama atau istilah yang
dipakai untuk mengacu – – bagian-bagian tubuh makhluk. Istilah yang dipakai dalam
memertelakan makhluk yang dimuat oleh flora, fauna, monografi, revisi, atau penerbitan
lainnya jumlahnya banyak sekali. Salah satu cara untuk menguasai istilah yang banyak tadi
ialah dengan mencoba memelajari satu jenis makhluk dengan seksama. Makhluk tadi
hendaklah dianalisis sampai susunan morfologi bagian-bagian tubuhnya dipahami sepenuhnya
berikut istilah-istilah yang dipakai orang untuk mengacu sifat-sifatnya. Kemudian cobalah
membuat sendiri pertelaan makhluk itu berdasarkan pola yang dibakukan, lalu perbandingkan
hasilnya dengan pertelaan yang terdapat dalam pustaka-pustaka yang ada.

Bentuk dan isi pertelaan. Sudah jadi kebiasaan sejak dulu untuk menulis pertelaan
dalam bentuk yang singkat, ringkas, tetapi padat seperti umum dilakukan orang kalau

17
menulis suatu telegram. Sekalipun demikian suatu pertelaan yang baik akan mampu
menyajikan suatu sketsa yang lengkap karena dalam penyusunannya telah dipakai
istilah-istilah teknis yang makna setiap katanya tegas dan jelas serta tidak meragukan.
Mengingat fungsinya yang penting dalam sistematika biologi, isi pertelaan yang
relatif pendek itu haruslah tepat, terperinci dengan lengkap dan menyeluruh, serta dapat
dibandingkan sesamanya. Untuk keperluan yang terakhir ini penyusunan pertelaan biasanya
mengikuti suatu pola atau skema tertentu dengan urutan yang konsisten. Urutan yang biasa
dipakai orang dalam memertelakan suatu jenis makhluk beserta setiap organnya ialah dari
yang umum sampai yang khusus, dari dasar ke ujung, dari bagian luar ke bagian dalam, dan
dari organ secara umum sampai kepada bagian-bagiannya secara teperinci sendiri-sendiri.
Jadi dalam memertelakan sekuntum bunga, misalnya, orang mulai dengan ciri-ciri umum
seperti macam kelaminnya, bentuk umum dan simetrinya, lalu diteruskan dengan
bagian-bagiannya. Untuk itu diuraikanlah ciri tangkai bunga, kelopak tambahan, kelopak,
mahkota, benang sari, tangkai sari, kepala sari, putik, bakal buah dan bakal biji. Untuk
masing-masing bagian tadi diperinci letak, jumlah komponennya, bentuk, warna dan ukuran.
Karena merupakan definisi suatu takson, pertelaan suatu takson haruslah mencakup
takson-takson di bawahnya. Oleh karena itu semakin tinggi peringkat suatu takson umumnya
semakin pendek pertelaannya. Dalam pertelaan suatu jenis, misalnya, di samping ciri
sintesisnya akan dipakai pula semua ciri diagnosis atau ciri analisis, yang dengan sendirinya
tak dapat dimasukkan dalam pertelaaan marganya. Pertelaan marga itu harus lebih berciri
umum sehingga dapat menampung semua variasi ciri jenis––jenis yang tergolong ke dalamnya.
Sebaliknya, untuk menghemat tempat ciri sintesis yang sudah dimuat dalam pertelaan marga
adakalanya tidak diulang dalam pertelaan jenis––jenisnya.

Diagnosis. Dalam sistematika biologi orang membedakan antara pertelaan (“ . . .


pelukisan yang secara lengkap dan terperinci menggambarkan sesuatu dengan kata-kata . . .”)
dan diagnosis. Yang terakhir ini adalah uraian singkat yang hanya memuat sifat ciri utama
terpenting yang khas untuk suatu takson sehingga memungkinkan orang membedakannya
dengan segera dari kerabat-kerabat dekatnya. Diagnosis seringkali dipakai pada waktu
memerkenalkan suatu takson baru untuk pertama kali dan umumnya ditempatkan di awal
pertelaan. Adakalanya diagnosis disisipkan dalam pertelaan biasa tetapi ditonjolkan dengan
jalan menggarisbawahi atau mencetak miring ciri-ciri diagnosis itu.

18
3. PENGGOLONGAN

Dalam biologi penggolongan atau klasifikasi itu berarti proses pengaturan jasad
renik, hewan atau tumbuhan dalam tingkat-tingkat satuan kelasnya yang sesuai secara ideal.
Ini dicapai dengan menyatukan golongan-golongan yang sama dan memisahkan
golongan-golongan yang berbeda. Hasil proses pengaturan ini ialah suatu sistem klasifikasi,
yang sengaja diciptakan untuk menyatakan hubungan kekerabatan jenis-jenis makhluk satu
sama lainnya. Pemakaian dan pengertian istilah klasifikasi dalam praktek sehari-hari
biasanya bersimpang-siur, dan seringkali dipakai baik untuk proses pengaturannya maupun
untuk sistem yang dihasilkannya.
Setiap individu makhluk sekaligus dianggap termasuk dalam sejumlah takson (atau
satuan taksonomi) yang jenjang tingkatnya berurutan. Dengan demikian suatu satuan terbagi
atas satuan-satuan berikutnya yang lebih rendah tingkatnya dan seterusnya. Sebenarnya
sistem satuan dalam satuan itu sudah merupakan cara yang umum dipakai dalam
menggolongkan objek apapun di dunia. Dalam kemiliteran seorang prajurit misalnya termasuk
dalam suatu regu. Beberapa regu dikelompokkan untuk membentuk suatu peleton, gabungan
peleton menjadi kompi dan kompi-kompi bersatu dalam sebuah batalyon. Selanjutnya
batalyon-batalyon bergabung dalam sebuah resimen dan himpunan beberapa resimen
menjadi suatu divisi. Dari beberapa divisi itu terjelmalah suatu angkatan. Di dalam
ketatanegaraan Indonesia maka desa adalah satuan pemerintahan yang terendah. Beberapa
desa digabungkan dalam suatu kecamatan, yang pada gilirannya dimasukkan dalam sebuah
kabupaten, dan dari beberapa kabupaten terjadilah provinsi. Di atas provinsi kita dapatkan
negara, yang merupakan satuan pemerintahan tertinggi. Walaupun istilahnya bukan kompi
dan kecamatan, prinsip satuan-dalam-satuan itu dipakai juga dalam menggolongkan makhluk.
Oleh karena itu, seperti halnya seorang prajurit atau suatu desa, setiap individu makhluk itu
tergolong dalam satuan-satuan taksonomi yang masing-masing memunyai kedudukan
tertentu dalam sistem yang terjelma.
Takson atau satuan taksonomi yang dipakai dalam menggolongkan makhluk adalah
jenis, marga, suku, dan seterusnya. Penentuan tingkat takson itu tergantung kepada
besarnya derajat kesamaan ciri yang dimiliki komponen di bawahnya. Jadi jika ciri-ciri
tertentu terlihat pada suatu golongan makhluk yang besar jumlahnya, golongan tadi dapat
diberi peringkat takson yang tinggi. Biasanya dalam golongan yang besar tadi dapat dilihat
kelompok-kelompok lebih kecil yang berbeda satu sama lain berdasarkan kelainan ciri-ciri
yang lebih kecil derajatnya. Kelompok-kelompok ini dapat diberi peringkat takson yang lebih
rendah tingkatnya, dan demikian seterusnya secara berturut-turut.
Penyajian asas satuan-dalam-satuan ini dapat diberikan dalam bentuk gambar
kotak-dalam-kotak atau berupa dendrogram. Baik gambar kotak-dalam-kotak ataupun
dendrogram umumnya hanyalah memerlihatkan hubungan takson yang satu dengan takson
yang lainnya berdasarkan kesamaan umumnya, jadi tidak menggambarkan hubungan

19
filogenetika. Dendrogram juga lain sifatnya dengan silsilah filogeni, sebab dendrogram tidak
menunjukkan faktor waktu atau derajat keprimitifan dalam perjalanan evolusi takson-takson
tadi.

Satuan-Satuan Klasifikasi

Setiap harinya ahli-ahli biologi yang memelajari keanekaragaman makhluk selalu


menghadapi persoalan dalam menentukan peringkat takson kelompok yang dipelajarinya.
Suatu jenis bagi seorang peneliti mungkin hanya akan diperlakukan sebagai suatu varietas
oleh peneliti lainnya, dan apa yang dianggap suku oleh seseorang adakalanya akan
merupakan bangsa bagi orang lain. Memang harus diakui bahwa amatlah sukar untuk
membuat definisi takson-takson tadi secara tepat. Oleh karena itu tradisi pemakaian
takson-takson yang umumnya sudah disepakati secara luas dapat dijadikan pedoman untuk
memahami pemberian batasan, penentuan peringkat, dan pencarian hubungan kekerabatan
sesuatu takson.
Penyusunan sistem klasifikasi biasanya didasarkan pada persamaan dan perbedaan
ciri yang secara genetika bersifat mantap, sehingga faktor lingkungan tidak memengaruhi
hasil pengelasifikasian itu. Selanjutnya orang mengusahakan dan mencari agar ciri-ciri yang
dipakai memunyai korelasi satu sama lainnya. Untuk keperluan ini semua bahan yang tersedia
harus dipergunakan, apalagi karena penyusunan sistem klasifikasi itu dimulai dari bawah,
sebagaimana halnya orang membuat piramida. Berdasarkan hal ini pembicaraan tentang
satuan-satuan klasifikasi itu akan dimulai dari satuan yang terkecil.

Satuan-Satuan Penyusun Jenis. Satuan organik yang paling sederhana dalam sistem
alam raya makhluk adalah individu. Batasan individu tidak mudah mendefinisikannya tapi
kebanyakan ahli biologi sekarang menyetujui bahwa ciri keautonomian fisiologi merupakan
ciri utama suatu individu. Jadi pada tumbuhan yang berkoloni dan berkembang biak secara
vegetatif, suatu individu baru akan terbentuk bila terjadi pemisahan organik antara individu
itu dan tetuanya.
Individu-individu yang menyusun jenis atau bagian-bagiannya secara keseluruhan
biasa disebut populasi. Populasi umumnya didefinisikan sebagai sekelompok individu yang
semacam, memunyai persamaan-persamaan umum dan menghuni tempat yang sama pada
saat yang bersamaan. Individu-individu suatu populasi itu akan berkembang biak, saling
kawin-mengawini dan bertukar gen, mati atau pindah, terpecah-belah atau manggabung
dengan populasi lainnya. Sekalipun demikian ciri dasar populasi itu secara keseluruhan tetap.
Karena itu dapatlah dimengerti mengapa konsep satuan taksonomi yang berdasarkan
populasi itu dianggap konkrit, sebab populasi sendiri dapat dianggap merupakan sesuatu
yang konkrit.
Biotipe adalah suatu populasi yang individu-individunya memunyai susunan
genotipe yang sama. Suatu biotipe itu mungkin berciri homozigot atau heterozigot; di alam

20
biotipe yang berciri homozigot itu jarang dapat dijumpai. Sekalipun tidak merupakan satuan
taksonomi atau takson yang perlu diberi nama ilmiah, biotipe itu penting dalam sitematika
biologi sebab merupakan satuan dasar bagi penelitian-penelitian genetika populasi dan
taksonomi eksperimen atau biosistematika. Konsep-konsep satuan taksonomi sekarang
umumnya disusun berdasarkan biotipe-biotipe itu. Apomiksis (yaitu populasi yang terjadi
karena apogami atau perkembangbiakan kawin dengan tidak melalui pembuahan satu individu)
dan klon (suatu populasi yang merupakan keturunan vegetatif daripada suatu individu) adalah
macam-macam khusus biotipe. Keduanya memunyai arti penting tidak saja bagi taksonomi
tapi juga untuk keperluan praktik, misalnya dalam memerbanyak bibit -bibit tebu, ubi kayu,
karet atau tanaman lain melalui stek klon-klon unggul yang sudah dimuliakan.
Dalam suatu populasi jenis, secara sporadik adakalanya terdapat satu atau beberapa
biotipe tanpa pola persebaran tertentu tetapi menunjukkan variasi bentuk yang jelas berbeda
dengan anggota-anggota populasi lainnya. Inilah yang dalam botani disebut forma, yang
seringkali terjadi karena secara kebetulan faktor-faktor gen resesif terkumpul sehingga
timbulnya dalam populasi berciri sporadik dan terbatas tetapi dengan ciri-ciri yang mantap.
Forma itu merupakan peringkat terendah yang diberi pengakuan taksonomi dan nama ilmiah
sebab umumnya mudah dikenal (misalnya karena perbedaan warna bunga, atau bentuk dan
ukuran daun).
Masih dalam botani, takson di bawah tingkat jenis yang paling banyak dipergunakan
orang ialah varietas, dengan pengertian yang sering berbeda-beda. Untuk keperluan
klasifikasi biologi ahli-ahli botani sekarang pada umumnya menganggap varietas itu sebagian
suatu populasi yang terdiri atas satu atau beberapa biotipe, memunyai ciri morfologi yang
nyata dan tersebar dalam daerah yang terbatas, jadi merupakan ras lokal daripada populasi
jenisnya. Karena itu variasi yang menjadi ciri varietas dapat memunyai ciri yang sesuai
dengan faktor-faktor geografi, ekologi, atau sitologi, atau gabungan dari ketiganya.
Dalam kaitan ini perlu disisipkan catatan bahwa di lingkungan pertanian istilah
varietas umum dipakai untuk mengacu segala bentuk variasi jenis tanaman; untuk ini istilah
yang paling tepat ialah kultivar (dari cultivar = cultivated variety, varietas yang
dibudidayakan atau dijinakkan). Kultivar seringkali terjelma karena usaha manusia untuk
mendapatkan bibit tanaman yang unggul dengan jalan memuliakan kultivar-kultivar yang ada
melalui seleksi, hibridisasi, radiasi dan lain-lainnya. Biasanya kultivar itu diberi nama-nama
atau penunjuk-penunjuk fantasi bukan dalam Bahasa Latin, misalnya padi Rojo Lele, karet
Harapan, dan anggrek Vanda Miss Joaqiem.
Berbeda dengan varietas yang persebarannya terbatas atau berciri lokal, anak jenis
atau subspesies merupakan populasi yang terdiri atas beberapa biotipe dengan daerah
persebaran yang meluas sampai meliputi suatu wilayah atau kawasan. Jadi anak-anak jenis itu
dapat dianggap sebagai ras-ras geografi daripada populasi jenis, terpisah satu sama lain oleh
perbedaan-perbedaan morfologi tetapi di antaranya tidak terdapat penghalang genetika,
sekalipun daerah persebarannya mungkin terpisah satu sama lainnya. Peringkat anak jenis
banyak dipakai dalam zoologi yang tidak mengenal satuan taksonomi lain di bawahnya.

21
Luas tingkat persebaran (sporadik untuk forma, lokal untuk varietas dan regional
atau kawasan untuk anak jenis) tidak selamanya berimbangan dengan perbedaan-perbedaan
antara sesama anak jenis. Oleh karena itu adakalanya terjumpai bahwa perbedaan antara
anak jenis tidaklah setajam atau sebanyak perbedaan-perbedaan antara varietas-varietas,
atau bahkan antara forma-forma yang sejenis.

Jenis: Batu Dasar Sistematika. Gabungan semua populasi yang semacam, jadi
gabungan seluruh individu makhluk yang satu macam biasa disebut jenis. Semua jagung yang
tumbuh di dunia, semua kucing yang hidup di manapun juga, semua manusia yang ada,
masing-masing golongan itu merupakan satu jenis. Setiap biologiwan pasti sudah memunyai
gambaran kira-kira tentang apa jenis itu, sebab untuk hampir semua keperluan biologi jenis
sudah biasa diterima sebagai batu dasar satuan klasifikasi. Akan tetapi banyaknya faktor dan
kriteria yang bisa dijadikan dasar untuk mendefinisikan jenis, telah menyebabkan banyaknya
pendapat tentang batasan atau difinisi jenis itu. Hal ini lebih dipersulit oleh terselipnya faktor
pertimbangan subjektif seseorang dalam menafsirkan jenis, apalagi karena adakalanya
diperlukan definisi berlainan untuk maksud yang berlainan. Memang sudah diakui bahwa
masalah di seputar jenis itu tidak akan pernah terselesaikan. Pertanyaan-pertanyaan apakah
jenis itu merupakan konsep suatu satuan yang abstrak atau konkrit, bagaimana
mendefinisikan supaya dapat diterima oleh semua orang, atau bahkan apakah satuan jenis itu
berhak untuk terus dipakai sebagai konsep filosofi yang asasi, semuanya agaknya akan tetap
menjadi masalah yang tak terpecahkan secara memuaskan.
Setiap ahli biologi pasti akan menganut atau memunyai pendapat atau konsep
sendiri-sendiri tentang jenis sesuai dengan bidang keahliannya. Dalam praktik ternyata
bahwa pandangan-pandangan yang berbeda itu umumnya memberikan hasil yang bersamaan.
Memang amat disayangkan bahwa perbedaan-perbedaan antara dasar konsep itu lebih
ditonjolkan, sehingga titik-titik persamaannya jadi tersembunyi. Pada garis besarnya
definisi-definisi jenis yang banyak itu dapat digolongkan dalam dua kelompok.
Kelompok pertama mendefinisikan jenis berdasarkan tradisi, jadi menggunakan
kriteria morfologi. Di samping morfologi faktor geografi kemudian diperhitungkan juga karena
diakuinya kepentingan variasi yang terdapat dalam daerah persebaran populasi. Definisi
berdasarkan kriteria morfologi geografi ini menghasilkan jenis taksonomi. Konsep ini sudah
dipakai sejak sebelum zaman Linnaeus dan merupakan konsep yang paling umum dipakai
orang hingga sekarang. Menurut konsep ini jenis itu merupakan populasi-populasi yang
terdiri atas individu-individu dengan ciri-ciri morfologi yang berkorelasi. Keberhasilan
konsep ini disebabkan karena satuan yang dihasilkannya dapat dilihat, dikenal, diukur dan
dikomunikasikan dengan mudah. Kejelekannya terutama karena besarnya peluang masuknya
faktor pertimbangan subjektif seseorang, tetapi hal ini mulai dapat diatasi dengan
penggunaan biometrika.
Kelompok definisi yang kedua menelorkan konsep jenis biologi, yang
memformulasikan jenis sebagai populasi-populasi yang disatukan satu sama lain oleh
kemungkinan untuk saling kawin-mengawini secara bebas, dan terpisah atau terisolasi dari

22
jenis-jenis lainnya oleh adanya penghalang reproduksi. Ketidaksinambungan yang terdapat
di alam disebabkan oleh pembatasan lalu lintas gen di antara anggota populasi jenis-jenis
yang berbeda. Dengan dasar ini orang mengharapkan agar kriteria jenis dapat diberikan
secara objektif dan dapat dipastikan dengan percobaan-percobaan. Dalam praktik konsep ini
seringkali sulit untuk diterapkan secara konsekuen. Di alam terdapat hibrid, yang merupakan
hasil perkawinan silang antara dua jenis yang berbeda; kita akan menyalahi kodrat alam kalau
kedua tetua itu dianggap merupakan satu jenis. Derajat keberhasilan kawin-mengawini
antara dua populasi kadang-kadang sulit menilainya sebab pada jenis-jenis tertentu
hibridnya dapat peridi ataupun mandul sama sekali. Pada jenis-jenis apomiksis pengetesan
keberhasilan kawin-mengawin ini tidak akan ada artinya.
Sebenarnya perbedaan antara jenis taksonomi yang berdasarkan morfologi dan jenis
biologi yang berlandaskan ciri-ciri sitogenetika itu tidaklah perlu dipertajam. Bukankah
morfologi itu merupakan pernyataan atau ekspresi gen-gen yang dikandung makhluk
bersangkutan dalam menghadapi keadaan lingkungan? Ada ahli-ahli yang menyatakan bahwa
tidak ada salahnya untuk mendefinisikan jenis itu berdasarkan susunan kombinasi dan
pernyataan gen-gen yang dikandungnya, karena dalam memberikan pengakuan dan
pengenalan jenis tersebut toh pasti selalu akan bertumpu pada ciri-ciri morfologinya.
Gabungan daripada kedua kelompok tadi bukannya tidak mungkin dan ini sekarang memang
sudah mulai biasa dianut orang. Dengan demikian jenis dapat dikenal secara morfologi, dan
terdiri atas populasi atau gabungan individu yang diperkirakan dapat saling kawin-mengawini
sesamanya secara bebas untuk menghasilkan keturunan yang menyerupai tetuanya, serta
merupakan pembawa dan pernyataan lungkang gen (gene pool). Di antara satu jenis dan jenis
lainnya dengan sendirinya diharapkan terdapat suatu pemisah, suatu ketidaksinambungan
dalam berbagai ciri morfologi dan ciri-ciri kebakaan lainnya.
Perkembangan terakhir menuntut dianutnya konsep jenis filogenetika, yang dapat
didefinisikan sebagai satuan terkecil makhluk yang berkembang biak secara seksual yang
sedikitdikitnya memiliki satu ciri diagnosis yang terdapat pada semua anggotanya tetapi tidak
dijumpai pada kerabat terdekatnya.

Takson-Takson di Atas Jenis. Dari dulu orang sudah menyadari bahwa setiap jenis
makhluk yang ada di dunia ini memunyai hubungan kekerabatan atau kekeluargaan satu sama
lainnya. Dapat dipastikan bahwa suatu jenis makhluk tertentu akan lebih dekat hubungannya
kepada jenis yang satu daripada jenis-jenis yang lainnya. Agaknya tidaklah sulit untuk
menyimpulkan bahwa kembang sepatu, misalnya, lebih dekat hubungan kekerabatannya pada
waru atau kapas dibandingkan dengan pada bunga matahari, pisang, atau kelapa. Seperti
sudah disinggung di atas dekat jauhnya hubungan kekerabatan itu ditentukan oleh banyaknya
persamaan morfologi di antara mereka, dan hal ini menentukan macam peringkat takson yang
diperlukan untuk mencerminkan hubungan tadi.
Konsep takson-takson di atas jenis biasanya dianggap sesuatu yang abstrak.
Sekalipun demikian marga mungkin merupakan satuan yang sudah dikenal orang sebelum
biologi berkembang sebagai suatu ilmu. Dalam bahasa apapun di dunia hampir selalu ada

23
nama (misalnya jambu, pandan, kucing, harimau) yang mengacu pada sekelompok jenis yang
amat erat hubungan kekerabatan satu sama lainnya, yang sekarang umumnya dianggap
tergolong dalam satu marga.
Sebagai salah satu satuan taksonomi marga memunyai fungsi untuk menyediakan
wadah yang memersatukan semua jenis yang erat kekerabatannya secara alamiah. Dalam
menentukan batasan-batasan marga, keeratan hubungan kekeluargaan jenis-jenisnya selalu
mendapat perhatian utama. Penempatan suatu jenis dalam suatu marga harus didahului oleh
pemastian bahwa jenis itu betul-betul erat hubungan kekerabatannya dengan jenis yang
tanpa diragukan lagi merupakan anggota sejati marganya. Di samping kealamiahan satuan
yang dihasilkannya, penentuan batasan marga perlu memerhatikan kenyataan bahwa
pemisahan marga-marga yang berdekatan harus dilakukan berdasarkan sejumlah ciri-ciri
yang berkorelasi dan tidak hanya oleh satu ciri buatan saja. Besar derajat perbedaan, besar
jumlah jenis yang tersangkut, dan tradisi pemakaian sesuatu marga penting juga pengaruhnya
dalam memertimbangkan apakah suatu kelompok jenis itu dapat dianggap merupakan satu
marga atau tidak. Dalam meninjau batasan ruang lingkup suatu marga, perbandingan dengan
marga-marga yang berdekatan perlu diadakan. Di sinilah letak kesulitan pemberian batasan
tadi, sebab peluang selalu terbuka untuk memasukkan faktor pertimbangan subjektif
seseorang.
Gabungan marga-marga yang sekerabat ditampung dalam suku. Seperti halnya
dengan marga, kealamiahan dan besar jumlah anggotanya juga merupakan faktor yang
penting dalam pemberian batasan suku. Korelasi ciri-ciri morfologi dalam seluruh anggota
suku itu seringkali besar jumlahnya. Adanya ciri-ciri khusus tertentu yang menjadi
pemersatu marga-marga tertentu telah menimbulkan suku-suku yang ciri kealamiahannya
mudah dilihat, misalnya pada suku rumput-rumputan Gramineae, teki-tekian Cyperaceae,
sembung-sembungan Compositae, jeruju-jerujuan Acanthaceae dan lain-lain. Akan tetapi
banyak juga suku-suku, misalnya mawar-mawaran Rosaceae dan paku-pakuan
Polypodiaceae, yang menunjukkan keanekaragaman yang besar. Kemungkinan besar
suku-suku seperti ini nantinya perlu dipecah-pecah menjadi beberapa suku yang lebih
homogen.
Bangsa adalah satuan taksonomi tempat mewadahi kumpulan suku-suku yang erat
hubungan kekerabatan satu sama lainnya. Takson ini merupakan satuan yang paling tidak
sempurna batasan-batasannya (kecuali mungkin pada beberapa bangsa seperti Scitamineae
atau Musales) dan kegunaanya untuk pendeterminasian hampir tidak ada. Kumpulan bangsa
ditampung dalam kelas dan gabungan kelas membentuk filum. Sebagai satuan tertinggi kita
dapati dunia yang beranggotakan semua filum makhluk.
Biasanya timbul anggapan bahwa semakin tinggi tingkat takson itu akan semakin
kurang kealamiahannya, sebab takson-takson teratas itu hanya merupakan penggabungan
takson-takson di bawahnya atas gagasan manusia. Hal ini tidak selamanya benar, sebab kelas
Anthopsida (tumbuhan berbunga atau Angiospermae) misalnya, sebagai suatu satuan
taksonomi jauh bersifat lebih alamiah jika dibandingkan dengan suku Rosaceae.

24
Adakalanya satuan-satuan taksonomi utama yang dibicarakan di atas dianggap
masih kurang untuk mencerminkan keanekaragaman ataupun kekerabatan golongan makhluk
yang diklasifikasi. Suatu suku misalnya memunyai jumlah marga yang besar. Ternyata bahwa
marga-marga tadi beragregasi secara alamiah menjadi tiga kelompok, yang masing-masing
anggotanya memunyai hubungan kekeluargaan yang lebih erat sesamanya daripada dengan
anggota kelompok lainnya. Tetapi ketiga kelompok itu mungkin masih dianggap terlalu dekat
hubungannya untuk masing-masing diperlakukan sebagai suku-suku tersendiri. Untuk
menampung dan mengakui adanya ketiga kelompok marga tadi, di antara jenjang suku dan
marga dapat diakui adanya jenjang-jenjang baru, misalnya anak suku atau puak, atau anak
puak, atau lainnya. Penentuan tingkat satuan apa yang akan dipergunakan bergantung
kepada besarnya persamaan dan perbedaan antara ketiga kelompok tadi. Makin kecil
perbedaan yang memisahkan ketiganya makin rendah peringkat takson yang diperlukan
untuk kelompok-kelompok tadi, dan sebaliknya. Begitu pula, bila diperlukan di antara
tingkat-tingkat takson lainnya dapat pula diselipkan satuan-satuan taksonomi baru dengan
tingkat yang sesuai dengan ketentuan Kode Tata Nama.
.

Seperangkat Asas Pemandu Penyusunan Sistem Klasifikasi

Suatu sistem klasifikasi yang baik adalah sistem yang tahan bantingan zaman. Ini
merupakan impian setiap penyusun sistem klasifikasi yang sulit direalisasikan. Dengan
demikian sistem itu diharapkan akan selalu dapat digunakan untuk keperluan apa saja, kapan
saja dan di mana saja, serta dapat disajikan dengan pelbagai macam cara dan bentuk, dan
kalau perlu dapat pula dipetakan. Agar sistem yang dihasilkan itu dapat mencapai tujuan ideal
tersebut, dalam menyusunnya perlu diperhatikan seperangkat asas pemandu.
Sebelum suatu sistem klasifikasi dapat disusun, terlebih dulu perlu diketahui dengan
baik semua ciri beserta kodrat dan fitrah objek yang dihadapi sebagai penanda atau pengenal
keseutuhan objek. Sejauhjauhnya objek-objek itu seyogianya dibuat setara baik cakupan
maupun peringkat dan tingkat perkembangannya. Untuk itu perlu dibuat batasan atau definisi
sehingga diperoleh kesamaan variasi ciri dan sifat ciri yang akan dipakai, keluasan dan
kedalaman cakupan, serta tolok ukur atau tanda pengenal lainnya. Dengan demikian setiap
objek tadi dapat dijadikan ‘satuan kegiatan operasi’ untuk dapat diberi perlakuan yang sama,
sehingga segala sesuatunya memang harus terukurkan, terbandingkan, dan utuh.
Asas lain yang harus diperhatikan dalam mengelasifikasi sesuatu adalah kealamiahan
objek. Kealamiahan ini harus dihormati sehingga posisi dan fungsinya dalam relung yang
ditempatinya pada sistem klasifikasi yang dihasilkan nanti akan serba berkewajaran. Dengan
perkataan lain segala sesuatu yang lekat diri pada objek tadilah yang harus menuntun atau
bahkan mendiktekan penempatan dirinya dalam sistem, dan sekali-kali bukan kemauan
penyusun atau pelaku klasifikasi. (Nasihat pakem kepada para mahasiswa: Talk to the object
and ask what it wants!)

25
Dalam melakukan klasifikasi orang perlu pula memerhatikan keharmonisan dan
keseimbangan sehingga hasil atau sistem klasifikasi yang diciptakan akan baik (sound) serta
mendekati kesempurnaan yang ideal. Asas ini akan memungkinkan kita dengan cepat dapat
melihat keanomalian atau kejanggalan oleh kesalahan penempatan suatu objek dalam suatu
peringkat kelas, yang dapat terjadi karena kurang sempurnanya pengetahuan tentang seluk
beluk objek yang diklasifikasi tadi. Adanya suatu penyimpangan menunjukkan perlunya
dilakukan perapian batasan agar keharmonisan setiap satuan peringkat kelas tetap
berkeseimbangan dan berkewajaran.
Pelaksanaan klasifikasi haruslah dilakukan secara bertaat asas berdasarkan kriteria
yang dijadikan bukti ciri atau landasan pengelasifikasian. Perlu diketahui bahwa suatu ciri
yang berguna untuk sekumpulan objek di suatu peringkat belum tentu baik bila dipakai untuk
peringkat lain, apalagi untuk objek lain.
Kemultigunaan merupakan salah satu asas pemandu penting yang perlu diperhatikan
dalam melakukan klasifikasi. Klasifikasi yang dilandaskan hanya pada satu manfaaat biasanya
tidak akan dapat dipakai untuk digunakan di tempat, pada waktu, atau untuk maksud lain.
Kemultigunaan dapat dicapai kalau ciri yang dijadikan landasan pengelasifikasian itu
berjumlah banyak, dengan setiap ciri berpautan satu sama lainnya. Secara empiris dalam
biologi diketahui bahwa idealnya jumlah ciri itu sebanyak jumlah objek yang diklasifikasi
kurang satu, (n –1).
Hasil klasifikasi hendaklah merupakan sistem yang terbuka, sebab jika tidak maka
adanya objek baru mungkin akan sulit diakomodasi, sehingga sistem yang ada terpaksa harus
direvisi dari waktu ke waktu dengan jalan menyusunnya dari awal lagi. Perlu diketahui bahwa
sistem yang tertutup sebenarnya bukanlah suatu klasifikasi, tetapi merupakan kategorisasi
yang umumnya berciri sangat kaku.
Pada asasnya klasifikasi yang baik itu haruslah merupakan satuan-satuan kelas yang
tersusun seperti kotak-dalam-kotak yang berperingkat, sehingga memang dapat dipetakan
seperti kalau kita memetakan desa-desa dalam kecamatan, yang kemudian ditempatkan
dalam kabupaten serta provinsinya, dan demikian seterusnya. Penyajiannya dapat pula
dibuat seperti sebuah dendrogram, atau dengan menggunakan penomoran bersistem.
Dengan demikian setiap objek hanya akan memunyai satu tempat (atau satu relung)
dalam sistem klasifikasi itu, tetapi sekaligus tertempatkan dalam setiap perangkat kelas yang
diterima atau diakui adanya. Pengulangan yang merupakan variasi lekat diri pada objek yang
khas memang dimungkinkan, sesuai dengan kodrat alami objek tadi. Akan tetapi pengulangan
ini sifatnya subordinasi pada inti pokok objek yang tidak terulang. Perlu disadari bahwa baik
dendrogram maupun kotak-dalam-kotak sering hanya dapat menggambarkan hubungan
‘ kekerabatan ’ horisontal berdasarkan kesamaan ciri yang menyeluruh, tetapi umumnya
belum bisa menunjukkan hubungan ‘kekeluargaan’ berdasarkan asal-usul atau filogenetika.
Perlu pula diketahui bahwa klasifikasi yang baik itu lebih memerlihatkan persamaan
unsur-unsur atau antarobjeknya, dan bukan perbedaannya. Penerapan asas ini akan
memungkinkan terkumpulkannya objek-objek yang memiliki kesamaan tinggi dalam satu
kelas, dan sekaligus terpisahkannya objek berbeda dalam kelas lain. Asas ini juga

26
menggalakkan orang untuk bersifat lumper (bercakupan lebar) yang menghasilkan sistem
klasifikasi yang dianggap lebih baik karena sederhana dan tidak rumit serta
bercabang-cabang seperti yang diciptakan oleh orang yang bersifat splitter (bercakupan
sempit). Sistem klasifikasi yang rumit sering mengundang terjadinya pelbagai keanomalian
dan kesalahan lainnya.
Dari asas-asas yang diuraikan di atas jelas bahwa kalau seseorang melakukan proses
klasifikasi, maka yang diklasifikasinya sebenarnya adalah pengetahuan orang tersebut
tentang objeknya. Jadi sama sekali memang bukan objeknya an sich yang diklasifikasikan.
Berdasarkan kenyatan ini dapatlah dimengerti mengapa kalau sekumpulan objek diklasifikasi
secara terpisah oleh sejumlah orang, pasti akan dihasilkan sejumlah sistem klasifikasi yang
satu sama lain tidak sama!
Terciptanya suatu sistem klasifikasi umum akan memungkinkan disusunnya
sistem-sistem khusus lain untuk suatu keperluan tertentu. Sistem klasifikasi khusus memang
sering dibutuhkan, misalnya karena diinginkan dilakukannya penilikan lebih mendalam
terhadap sekelompok objek, atau karena perlu dikembangkan dan dimekarkannya ramifikasi
lebih lanjut sistem klasifikasi sesuatu objek. Kegiatan terakhir memang akan menghasilkan
suatu kerangka yang berciri monolitik, tetapi selama dibiarkan terbuka serta dimungkinkan
dilakukannya reiterasi atau pengulangan yang berciri subordinasi sesuai dengan tuntutan
keadaan serupa di tempat lain, hal itu sahih adanya dan dapat diterima secara ilmiah.

Macam-Macam Klasifikasi

Setiap pendatang baru dalam sistematika biologi tentu akan terkejut melihat
banyaknya sistem klasifikasi makhluk yang ada. Dalam mengelasifikasi makhluk seorang ahli
harus menilai semua data yang ada di hadapannya dan membuat simpulan-simpulan yang
masuk akal. Sekalipun dasar dan tujuan serta macam klasifikasi yang akan disusun mungkin
sama, tetapi dalam menarik simpulan tidak ada pedoman atau penunjuk lain yang pasti kecuali
pertimbangan pribadinya yang dengan sendirinya berciri subjektif. Sebagai akibatnya
tidaklah mengherankan jika akan timbul bermacam-macam pendapat mengenai bagaimana
dunia tumbuh-tumbuhan itu harus dikelompok-kelompokan. Sebagai hasil
perbedaan-perbedaan pendapat tadi timbullah bermacam-macam sistem klasifikasi, yang
jumlahnya mungkin mendekati jumlah ahli-ahli botani sistematika yang ada!
Tidak seorang pun akan dapat memutuskan dengan pasti sistem mana di antara
sistem-sistem klasifikasi yang ada itu yang terbaik. Malahan mungkin tidak ada satu sistem
pun yang dianggap relatif terbaik (kecuali menurut penilaian penciptanya) sebab setiap
sistem itu pasti memunyai kelebihan dan kekurangan jika dibandingkan dengan sistem-sistem
lainnya. Setiap sistem yang sudah atau akan diusulkan umumnya selalu bersifat sementara
dan tidak pernah final atau sempurna. Sistem-sistem yang ada sudah pasti akan terus
mengalami perubahan, perombakan, pembaharuan, perbaikan, atau akan diganti atau
malahan dibuang sama sekali segera sesudah diperoleh data, bukti, dan pengetahuan baru

27
yang lebih sempurna. Perkembangan dan kemajuan biologi secara keseluruhan memang akan
memengaruhi corak sistem klasifikasi yang akan dianut orang pada masa-masa tertentu.
Seperti ditekankan di atas, hal ini sudah dapat dimengerti asal saja kita mau menyadari bahwa
dalam menggolonggolongkan makhluk itu maka yang diklasifikasi sebenarnya bukanlah
makhluknya, melainkan pengetahuan kita tentang makhluk itu.
Bergantung pada motif, dasar dan cara yang dipakai, klasifikasi itu dapat dibagi
dalam dua golongan, yaitu klasifikasi empirik dan klasifikasi rasional. Klasifikasi empirik ialah
penggolongan makhluk yang tidak memerdulikan makhluknya sendiri, jadi suatu
penggolongan yang tidak didasarkan pada ciri-ciri yang dimiliki oleh makhluk yang
diklasifikasi. Klasifikasi menurut abjad adalah contoh klasifikasi empirik, karena pedoman
utama dalam mengklasifikasi di sini ialah huruf awal namanya, yang sebenarnya hanya buatan
manusia belaka. Golongan yang kedua, klasifikasi rasional merupakan suatu klasifikasi yang
betul-betul memunyai hubungan langsung dengan makhluk yang digolongkan, dengan
menggunakan ciri yang dimiliki makhluk tadi sebagai dasarnya.
Dari kedua golongan klasifikasi itu hanya klasifikasi rasional sajalah yang patut
mendapat perhatian secara ilmiah. Pada dasarnya terdapat empat macam klasifikasi rasional,
yaitu klasifikasi-klasifikasi praktis, klasik, fenetik, filogenetika. Klasifikasi praktis seringkali
dinamakan klasifikasi khusus sebab diadakan hanya untuk memenuhi keperluan-keperluan
tertentu. Sebenarnya klasifikasi ini paling banyak dipakai orang sehari-hari sebab klasifikasi
ini menggolanggolongkan makhluk berdasarkan ciri-cirinya yang berguna bagi manusia,
misalnya penggolongan tumbuh-tumbuhan atas tanaman serat, tanaman obat, tumbuhan
gulma, dan tanaman penghasil getah.
Klasifikasi-klasifikasi klasik, fenetik, dan filogenetika seringkali berpautan satu
sama lainnya sehingga batas perbedaan di antaranya kadang-kadang tidak jelas. Urut-urutan
timbulnya ketiga macam klasifikasi itu serta kesempurnaan ilmiah sistem-sistem yang
dihasilkannya sejalan dengan sejarah perkembangan biologi secara keseluruhan, jadi
berhubungan erat dengan kemajuan pengetahuan manusia tentang makhluk.

28
4. PENAMAAN

Bagi setiap orang yang pekerjaannya berhubungan dengan makhluk – – entah ia


pedagang sayur, guru besar biologi, ataupun peneliti taksonomi – – identitas objek
kegiatannya pasti merupakan masalah yang selalu dihadapinya. Masalah ini harus dipecahkan
agar ia dapat melangkah lebih lanjut lagi. Untuk itu ia harus mengadakan determinasi atau
identifikasi, ialah penentuan atau pemastian apakah suatu makhluk dapat dimasukkan ke
dalam golongan makhluk yang sebelumnya sudah diketahui identitasnya. Dengan perkataan
lain makhluk tadi diperbandingkan (dicocokkan atau dipersamakan) dengan salah satu
anggota golongan itu. Jika suatu makhluk sudah dibandingkan dengan satu makhluk lain yang
sudah dikenal sebelumnya dan ternyata sama, maka dikatakan orang bahwa makhluk yang
pertama sudah dideterminasi atau diidentifikasi. Karena di dunia ini tidak ada dua benda yang
identik atau persis sama dalam arti yang hakiki, istilah determinasi (Inggris to determine =
menentukan, memastikan) di anggap lebih tepat dari pada istilah identifikasi (Inggris to
identify = memersamakan).
Tujuan atau hasil akhir suatu pendeterminasian adalah mendapatkan nama makhluk
yang dideterminasi. Tetapi adakalanya kita mendeterminasi suatu makhluk tanpa memeroleh
namanya, sebab kita dapat menentukan bahwa suatu makhluk yang ditemukan di suatu
lapangan sama dengan yang terdapat di halaman tapi yang belum diketahui namanya.
Pekerjaan mendeterminasi makhluk memang tidak merupakan hal yang mudah. Berhasil
tidaknya pekerjaan itu bergantung kepada kecekatan, ketekunan, keberuntungan,
kelengkapan sarana, serta beberapa faktor lainnya lagi. Oleh karena itu, nama takson (atau
golongan makhluk) yang dihasilkan dalam suatu kegiatan pendeterminasian mungkin dapat
langsung sampai memeroleh nama jenisnya, atau baru nama marganya, atau hanya mencapai
nama sukunya, atau bahkan baru tahu kelompok besarnya saja.
Penamaan merupakan peran penting sistematika, sebab kegiatan ini tidak hanya
menyediakan nama dan klasifikasi makhluk tetapi sekaligus menyediakan sarana untuk
memungkinkannya dilakukan pendeterminasian.

Jalan Pendeterminasian

Jika kita memunyai spesimen atau contoh suatu jenis makhluk yang ingin
dideterminasi, hal pertama yang harus dilakukan ialah memelajarinya sebaikbaiknya. Semua
ciri morfologinya (seperti posisi, bentuk, ukuran, dan jumlah bagian-bagian organ tubuhnya)
perlu dianalisis sehingga perincian sifat-sifat cirinya diketahui dikuasai sepenuhnya. Langkah
berikutnya ialah mencoba membandingkan atau memersamakan ciri-ciri makhluk tadi dengan
ciri-ciri makhluk lain yang sudah dikenal identitasnya, dengan memakai salah satu cara yang
diuraikan di bawah.

29
Ingatan. Kita mungkin sudah mengenal makhluk tadi secara langsung, sebab
identitas jenis makhluk yang sama sudah kita ketahui sebelumnya. Pengetahuan akan
identitasnya ini mungkin didapatkan di kelas waktu mengadakan praktikum, atau karena
pernah memelajarinya, pernah diberitahukan atau ditunjukkan orang lain, atau pernah
melihat gambarnya, dan lain-lain lagi. Jadi pendeterminasian seperti itu dilakukan
berdasarkan pengalaman atau ingatan kita, seperti halnya kita mengenal si Sri atau si
Nurhadi, teman-teman yang sudah kita kenal bertahun-tahun lamanya.

Bantuan Orang. Pendeterminasian makhluk dapat dilaksanakan dengan meminta


bantuan (terkadang dengan harus membayar pelayanan jasa) ahli sistematika biologi yang
biasanya bekerja di lembaga penelitian, atau dari siapa saja yang bisa memberikan
pertolongan. Karena pengalaman (jadi berdasarkan ingatannya) seorang ahli umumnya dapat
cepat melakukan pendeterminasian, dan kalau ia menemui kesukaran akan dipakainya salah
satu dari beberapa cara lain. Setiap orang yang memiliki fasilitas yang tersedia bagi ahli akan
dapat pula melakukannya sendiri. Perlu ditambahkan bahwa ahli-ahli itu umumnya memunyai
spesialiasasi yang sempit, misalnya perhatiannya hanya mungkin dikhususkan pada satu suku
saja, dan bahkan adakalanya hanya pada satu marga yang besar dan sulit.

Spesimen Acuan. Pedeterminasian suatu jenis makhluk dapat pula dilakukan dengan
membandingkan secara langsung dengan spesimen acuan yang biasanya diberi etiket
bertuliskan namanya. Spesimen tadi dapat berupa makhluk yang hidup, misalnya koleksi
tumbuhan yang ditanam di kebun raya, hewan yang dipelihara di kebun binatang, atau jasad
renik di lembaga penyimpan biakan. Akan tetapi spesimen acuan yang biasa dipakai dalam
mendeterminasi ialah koleksi kering berupa bahan herbarium atau bahan museum. Sebagai
bahan acuan, spesimen-spesimen tersebut merupakan koleksi yang jumlahnya dapat besar
sekali, umumnya disimpan atau disusun berdasarkan suatu sistem untuk membantu
kelancaran pelaksanaanan pendeterminasian.

Pustaka. Cara lain untuk mengadakan pendeterminasian ialah dengan


membandingkan atau mencocokkan ciri dan sifat ciri makhluk yang akan dideterminasi itu
dengan pertelaaan serta gambar-gambar yang ada dalam pustaka. Pertelaan yang umumnya
bercorak teknis itu dapat dijumpai dalam laporan hasil penelitian sistematika yang disajikan
dalam bentuk monografi, revisi, flora, fauna, buku pegangan ataupun bentuk lainnya.
Kesulitan cara ini terletak pada kenyataan bahwa karya-karya ilmiah tadi diterbitkan secara
terpencar-pencar pada ratusan berkala ilmiah atau pustaka lainnya, ditulis dalam puluhan
bahasa dan disusun oleh ahli-ahli biologi dari berbagai bangsa dengan spesialisasi yang
berbeda-beda. Karenanya akan diperlukan waktu yang banyak untuk mencari pustaka yang
tepat dan sesuai, membaca, memelajari, dan membandingkan pertelaan-pertelaan yang ada
dengan makhluk yang ingin dideterminasi. Untungnya pustaka memuat kunci determinasi
yang merupakan jalan untuk memintasi kesulitan-kesulitan ini.

30
Komputer. Berkat pesatnya kemajuan teknologi dan biometrika kini sudah ada
peralatan mesin elektronik modern yang diprogramkan untuk menyimpan, mengolah, dan
memberikan kembali pelbagai data dan informasi tentang makhluk. Dengan demikian
pendeterminasian makhluk sudah mulai dapat dilaksanakan dengan bantuan komputer.
Sekarang sudah banyak dikembangkan kunci interaktif untuk kelompok makhluk yang
memunyai kepentingan luas dan peminat banyak. Bahkan sudah dapat diprogramkan bahwa
jika makhluk yang dihadapi merupakan sesuatu yang baru untuk ilmu pengetahuan, komputer
akan menunjukkan penemuan itu (“Selamat! Anda menemukan marga baru”), serta sekaligus
menyatakan kerabat-kerabatnya, dan dengan demikian menentukan posisi taksonominya,
mungkin pula menyarankan namanya, dan seterusnya.

Penyepadanan. Tidak semua makhluk dapat dideterminasi dengan kunci yang sudah
dibakukan karena sulitnya memeriksa semua ciri yang dipergunakan atau sebab variasi lekat
diri antarindividunya yang tidak berpola secara beraturan. Pada bakteri dan protozoa yang
penciriannya sangat bergantung pada sederetan uji biokimia, hasil yang diperolehnya
mungkin merupakan kisaran yang meragukan untuk diandalkan kepastiannya. Oleh karena
itu dalam bidang patologi, pendeterminasian sering dilakukan dengan menggunakan
penyepadanan algoritme untuk mendapatkan kesesuaian yang terbaik antara serangkaian
informasi patogen yang dihadapi dan keterangan yang tersedia tentang galur dan takson yang
tersedia dan tersimpan dalam pangkalan data.

Kunci Determinasi

Penggunaan kunci determinasi merupakan jalan yang paling sering dipakai orang
dalam mendeterminasi makhluk, terutama oleh mereka yang tidak memunyai spesimen acuan
yang cukup. Kunci determinasi memang merupakan suatu alat yang sengaja diciptakan
khusus untuk melancarkan pelaksanaan pendeterminasian makhluk. Sebagai akibatnya, kunci
determinasi hampir selalu dapat dijumpai dalam tulisan-tulisan yang memuat hasil pekerjaan
sistematika biologi.
Pendeterminasian dengan bantuan kunci harus dilakukan secara bertahap, sebab
setiap kunci determinasi itu memunyai batas kemampuan sendiri-sendiri. Ada kunci yang
disusun hanya untuk mendeterminasi takson sampai suku saja, atau marga, atau juga sampai
jenis. Masing-masing peringkat perlu diikuti secara berurutan dan bertahap sampai didapat
jawaban yang diingini. Perlu ditekankan bahwa setiap kali mendapatkan jawaban dari sesuatu
kunci (artinya berhasil memeroleh nama takson atau golongan tumbuhan, misalnya nama
suku, atau marga, atau jenis), ciri makhluk yang ingin dideterminasi harus diakurkan dengan
pertelaan takson yang diperoleh itu. Jika terdapat ketidaksesuaian yang mencolok antara
makhluk dan pertelaannya, besar kemungkinan bahwa telah terjadi kesalahan dalam
menggunakan kunci determinasi, atau dalam penyusunan kuncinya.

31
Sebenarnya kunci determinasi merupakan daya penganalisis yang berisi ciri-ciri
khas takson yang dicakupnya. Ciri ciri dalam sebuah kunci disusun sedemikian rupa sehingga
selangkah-demi-selangkah pemakai kunci dipaksa memilih satu di antara dua atau beberapa
ciri yang sengaja dipertentangkan, dan begitu seterusnya sehingga akhirnya diperoleh suatu
jawaban berupa identitas makhluk yang diinginkan. Berdasarkan cara penyusunan ciri-ciri
yang harus dipilih tadi, dikenal orang tiga macam kunci determinasi, ialah kunci perbandingan,
kunci analisis, dan sinopsis.

Kunci Perbandingan. Dalam kunci perbandingan, semua takson yang dicakup dan
segala sifat ciri utamanya dicantumkan sekaligus. Jadi kunci perbandingan itu merupakan
suatu survai yang dapat dipergunakan untuk membandingbandingkan semua takson yang
dicakupnya. Oleh karena itu kunci perbandingan amat berguna dalam menyusun kunci
analisis.
Pemakai kunci perbandingan dapat menentukan sendiri tempat atau ciri untuk
memulai menggunakan kunci itu, jadi tidak perlu bertahap setapak demi setapak seperti
dalam kunci analisis. Karena bentuknya itu, kelompok kunci determinasi ini disebut juga
poliklad atau kunci berlipat ganda. Ketidakharusan mengikuti tahap secara berurutan ini
sangat menguntungkan si pemakai, apalagi kalau bahan yang akan dideterminasi tidak
lengkap.
Tabel yang lajur dan kolomnya berturut-turut memuat takson dan ciri-cirinya (atau
sebaliknya) merupakan salah satu bentuk dasar kunci perbandingan. Takson yang memunyai
ciri tertentu diberi tanda pada kolom dan lajurnya yang sesuai. Dengan
membandingbandingkan ada tidaknya ciri-ciri tertentu pada makhluk yang akan
dideterminasi dan yang didaftar dalam tabel, pendeterminasian akan dapat dilakukan.
Kartu berlubang merupakan bentuk lain penyajian kunci perbandingan. Pada
umumnya sistem ini memunyai satu kartu takson serta sejumlah kartu ciri. Kartu takson
memuat lingkaran-lingkaran kecil yang letaknya teratur. Jumlah lingkaran tadi sama dengan
jumlah takson yang dicakup oleh kunci itu. Masing-masing lingkaran memuat nama satu
takson, atau diberi bernomor urut sesuai dengan urut taksonnya. Setiap sifat ciri memunyai
kartu sendiri-sendiri, dan kartu ini memuat lingkaran-lingkaran kecil yang besar dan
letaknya sama seperti yang terdapat pada kartu takson. Semua takson yang memunyai sifat
ciri yang tertera pada kartu ciri itu lingkarannya dilubangi atau dibuang. Dengan
menumpangtindihkan beberapa kartu ciri yang dimiliki oleh makhluk yang akan dideterminasi,
lama-kelamaan hanya akan ada satu lubang terbuka kalau tumpukan kartu itu dipegang
menghadap cahaya. Dengan mengetahui nomor lubang tersisa, atau dengan membaca nama
takson yang terdapat pada lingkaran kartu takson yang tidak tertutup, pendeterminasian itu
sudah selesai.
Untuk takson yang jumlah anggotanya besar, baik tabel ataupun kartu berlubang
umumnya sulit untuk menerbitkan dan menyimpannya di perpustakaan. Kesulitan ini dicoba
diatasi dengan menyusun kunci Leenhouts, yang kadang-kadang disebut kunci sinopsis atau
kunci padat. Pada dasarnya kunci Leenhouts merupakan daftar ciri yang disusun secara

32
efisien. Di belakang masing-masing sifat ciri dicantumkan nomor-nomor takson yang
memunyai sifat ciri tadi. Pendeterminasian dapat dimulai dengan salah satu sifat ciri yang
mana saja yang dimiliki makhluk yang ingin dideterminasi. Pada secarik kertas ditulislah
semua nomor takson makhluk sesuai dengan nomor yang terlihat dalam daftar sifat ciri
tersebut. Kemudian diambil sifat ciri lainnya dan dari daftar ciri bisa ditentukan nomor takson
yang tidak ada dan bisa dicoret dari deretan nomor yang ditulis pada secarik kertas tadi.
Dengan mengulang pengambilan ciri-ciri lainnya lagi akhirnya hanya akan tinggal satu nomor
takson makhluk yang merupakan identitas makhluk yang ingin dideterminasi tadi.

Kunci Analisis. Bentuk kunci ini merupakan yang paling umum dipakai dalam
pustaka. Berbeda dengan kunci perbandingan, sifat ciri yang dipakai dalam menyusun kunci
analisis umumnya dicari dari bahan yang mengalami pertumbuhan optimum (dan untuk
tumbuhan sering dipersyaratkan harus dalam keadaan berbunga atau berbuah).
Kunci analisis sering juga disebut kunci dikotomi sebab pada dasarnya terdiri atas
sederetan bait atau kuplet. Setiap bait terdiri atas dua (atau adakalanya beberapa) baris yang
disebut penuntun dan berisi sifat ciri yang dipertentangkan dengan yang terdapat pada baris
pasangannya. Untuk memudahkan pemakaian dan pengacuan, setiap bait diberi nomor
berurutan sedangkan penuntunnya ditandai dengan huruf. Seperti sudah disinggung di atas
pemakai kunci analisis harus mengikuti bait-bait secara bertahap sesuai dengan yang
ditentukan oleh penuntun. Tetapi dengan memertentangkan sifat ciri yang tercantum dalam
penuntun-penuntun itu dengan cermat akhirnya hanya akan tinggal satu kemungkinan dan
kita akan dituntun langsung pada nama takson makhluk yang dicari. Kunci bertakik dan
kunci pararel merupakan dua bentuk kunci analisis yang paling umum, yang dibedakan satu
sama lain dalam cara penempatan bait-baitnya.
Pada kunci bertakik penuntun-penuntun yang sebait ditakikkan pada tempat
tertentu dari pinggir halaman, tetapi letaknya berjauhan. Di antara kedua penuntun itu
ditempatkan bait-bait takson––dengan ditakikkan lebih ke tengah lagi dari pinggir––yang
memenuhi ciri penuntun pertama, juga dengan penuntun-penuntun yang dipisah berjauhan.
Dengan demikian unsur-unsur takson yang memunyai ciri yang sama jadi bersatu sehingga
bisa terlihat sekaligus.
Penuntun––penuntun kunci pararel yang sebait ditempatkan secara berurutan dan
semua baitnya disusun seperti gurindam atau sajak. Di akhir setiap penuntun diberikan
nomor bait yang harus diikuti untuk dibandingkan ciri selanjutnya, dan demikian seterusnya
sehingga akhirnya diperoleh nama takson makhluk yang dicari. Jika dibandingkan dengan
kunci bertakik, kunci paralel menghemat banyak tempat, terutama kalau takson tumbuhan
yang dicakupnya besar sekali. Buku Flora of Java yang ditulis oleh Backer dan Bakhuizen van
der Brink semuanya ditulis dalam bentuk kunci pararel, dengan penuntun yang panjang sebab
memuat pertelaan lengkap semua jenis tumbuhan yang ada di Jawa.

Sinopsis. Sinopsis sebenarnya merupakan simpulan suatu sistem penggolongan yang


disajikan secara tertulis. Golongan-golongan yang diduga memunyai kekerabatan yang erat

33
dikelompokkan dan ciri umum utama yang dipakai sebagai dasar pengelompokan itu
dicantumkan. Jadi walaupun penyajian sinopsis itu kebanyakan menyerupai bentuk kunci
bertakik, tujuan utama penyusunannya bukanlah dimaksudkan untuk mendeterminasikan
takson makhluk anggotanya. Ada juga orang yang mencoba menyusun kunci yang selain
untuk mendeterminasikan juga sekaligus mencerminkan sistem penggolongan makhluknya.
Gabungan antara sinopsis dan kunci analisis ini disebut kunci alamiah, yang biasanya sulit
untuk dipakai mendeterminasikan karena ciri yang biasanya sulit untuk dipakai
mendeterminasi karena ciri-ciri yang dipergunakan memerlukan pengetahuan mendalam
tentang takson makhluknya.

Kiat Penyusunan Kunci Determinasi

Kunci disusun untuk pemakai yang memiliki variasi dalam kemampuan, minat,
pengalaman, keinginan, kebutuhan dan lain-lainnya lagi. Sebagai akibatnya penyusunan
kunci determinasi harus dilakukan dengan penuh kehatihatian.
Penyusunan kunci hendaklah dilakukan oleh orang yang betul-betul mendalami dan
memahami seluk-beluk biologi takson yang bersangkutan. Ruang lingkup takson dan cakupan
geografi yang diliputnya harus tegas, karena dipersyaratkan bahwa seluruh anggota takson
yang ada dalam wilayah termaksud harus dimasukkan.
Sekalipun banyak pendapat yang dilontarkan orang tentang jumlah ciri yang harus
dipakai dalam satu bait kunci, semuanya sepakat bahwa terlalu banyak dapat menimbulkan
kebingungan sehingga menyebabkan orang tidak memercayainya. Pada pihak lain
penggunaan hanya satu ciri juga sangat tidak dianjurkan, karena dapat menghalangi pemakai
untuk terus melanjutkan upayanya kalau ciri yang ditawarkan sulit diamati atau mudah hilang.
Antena serangga bisa patah, daun penumpu sering mudah luruh, dan seterusnya. Penggunaan
ciri tunggal sangat tidak dianjurkan di awal-awal kunci. Sebagai akibatnya pelibatan dua atau
tiga ciri merupakan kompromi yang baik.
Kunci sering sulit dipakai karena susunan kalimatnya rancu serta menimbulkan
keraguan penafsiran. Penggunaan ciri yang sifatnya sulit dipertentangkan karena tidak tajam
beda atau sulit diamati juga menyebabkan kunci menjadi tidak membantu pemakai. Penyusun
kunci harus menyadari kemungkinan pemakai sudah salah mengidentifikasi kelompok
makhluknya sebelum kunci dipergunakan sehingga judul kunci harus jelas.
Kemudahan pemakaian kunci sampai berhasil sangat bergantung kepada kejelasan
gaya penulisan penyusunannya. Bentuk telegram sangat dianjurkan tetapi harus cermat
merangkai kata-katanya sehingga tidak mengaburkan arti yang dimaksudkan. Dalam sebuah
bait, baris harus dimulai dengan kata yang sama. Pada pihak lain bait yang berdekatan
sebisabisanya harus diusahakan penggunaan kata berbeda. Dengan demikian mata pemakai
akan mudah mencari kembali tempat memulai membaca barisnya kalau terjadi kesalahan dan
harus mengulang di tengah jalan.

34
Hindari pemakaian ciri yang “mula-mula begini kalau tua begitu”. Pada kunci yang
panjang karena taksonnya banyak sering menyebabkan penyusunnya berkilah dengan
mengatakan “tetapi” atau “sekalipun” serta pilihan “kalau tidak begini” lalu “atau”, yang juga
harus dijauhi. Pemakaian kalimat dengan tata bahasa jelek sering terjadi karena dipaksakan
memasukkan pelbagai keinginan (mendeterminasi dan menunjukkan kekhasan atau
kekerabatan) sekaligus dalam satu kalimat bergaya telegram. Kesulitan juga ditimbulkan
karena dipaksakannya satu takson muncul hanya sekali dalam satu kunci padahal takson
terkait cukup bervariasi sehingga kuncinya menjadi bersengkelit (reticulate atau looped
key).
Sebelum difinalkan, kunci hendaklah diuji coba oleh orang lain di luar penyusunnya,
setidaktidaknya untuk mendeteksi ketidaktaatasasan, pernyataan meragukan, dan bentuk
kesalahan kecil tetapi fatal lainnya.

Tata Nama

Di atas sudah disebutkan bahwa tujuan atau hasil akhir pendeterminasian ialah
mendapatkan nama. Dalam biologi, nama yang dimaksud bukanlah nama daerah atau nama
sehari-hari yang biasa diberikan orang yang hidup di sekitar tempat makhluk itu dijumpai.
Hal ini disebabkan karena untuk keperluan komunikasi ilmiah nama-nama daerah sama sekali
tidak memenuhi syarat. Komunikasi ilmiah memerlukan nama yang tepat dan penuh kepastian,
sedangkan nama daerah sering memunyai pengertian yang kabur atau berbeda-beda.
Bergantung daerahnya nama “kumis kucing”, misalnya, dipakai untuk Gynandropsis speciosa,
Orthosiphon grandiflorus, dan Tacca palmata yang tidak ada hubungan kekerabatannya sama
sekali. Pada pihak lain “gelinggam”, “galuga”, “kesumba”, dan “pacar keling”semuanya mengacu
pada suatu jenis tanaman yang sama Bixa orellana. Selanjutnya nama daerah itu terbatas
pengertiannya pada orang-orang sebahasa saja, seperti dicontohkan oleh “gedang ” yang
dalam bahasa Madura berarti pisang, sedangkan dalam bahasa Sunda maka pepayalah yang
dimaksud.
Perbedaan-perbedaan pemakaian dan pengertian seperti ini dengan sendirinya akan
menimbulkan kericuhan yang tiada henti-hentinya. Karena makhluk tidak mengenal
batas-batas politik negara, kesimpangsiuran yang terjadi karena pemakaian nama daerah
dalam forum internasional sudah pasti akan lebih gawat lagi. Apalagi karena tidak ada badan
atau peraturan yang dapat memutuskan pertikaian atau masalah-masalah lain mengenai cara
pemakaian nama daerah itu. Sebagai akibatnya dalam dua setengah abad terakhir pemakai
nama ilmiah, nama biologi, nama teknis, atau nama Latin dalam biologi sudah menjadi
kebiasaan yang umum diterapkan orang di seluruh dunia.

Nama Ilmiah. Salah satu keuntungan penggunaan nama ilmiah ialah bahwa
penentuan, pemberian, dan cara pemakaiannya untuk setiap golongan makhluk dapat
dilakukan berdasarkan suatu aturan sistem tata nama yang disepakati secara luas di forum

35
internasional. Akan tetapi hal ini baru dapat dilaksanakan sepenuhnya setelah ilmu
pengetahuan mencoba-coba selama beberapa waktu lamanya. Dahulu nama ilmiah makhluk
merupakan sebuah pertelaan atau pemerian sehingga sering disebut “nama pertelaan”. Setiap
nama dapat terdiri atas selusin patah perkataan atau lebih. Tanaman rosela, misalnya, dulu
memunyai nama ilmiah Hibiscus inermis foliis serratis inferioribus obovatis integris
superioribus trilobis. Nama ini memunyai arti “ Hibiscus yang tak berduri dengan daun
bergerigi, bagian bawahnya rata membundar telur sungsang bagian atasnya bercuping tiga”,
yang sebenarnya merupakan pertelaan ciri dan sifat ciri tanaman rosela. Dapat dibayangkan
betapa sulitnya untuk mengadakan komunikasi ilmiah dengan nama yang panjang dan sulit
diingat seperti itu. Kenyataan ini merupakan salah satu penjelaan mengapa biologi dalam
abad pertengahan lambat sekali perkembangannya.
Baru dalam abad XVI beberapa ahli filsafat dan peneliti perikehidupan alam seperti
Charles L. Escluse (1526 – 1609) dan Gaspard Bauhin (1560 – 1624) mulai menggunakan
nama-nama jenis tumbuh-tumbuhan yang terdiri atas dua patah perkataan. Akan tetapi
pemakaian nama ini belumlah beraturan dan tidak konsisten. Pemakaian binomen atau tata
nama ganda secara mantap dan besar-besaran baru dilaksanakan pada tahun 1753, jadi lebih
dari seratus tahun kemudian. Perintis pemakaian tata nama ganda untuk jenis ini adalah Carl
von Linne yang namanya umum dilatinkan menjadi Carolus Linnaeus (1707–1778) yang pada
tahun itu menerbitkan buku Systema Plantarum. Linnaeus adalah orang Swedia, seorang ahli
biologi, dokter kerajaan dan mahaguru yang sampai sekarang dianggap sebagai dewa
sistematika biologi. Penghormatan tersebut diberikan padanya terutama karena jasanya yang
besar dalam merintis penerapan tata nama ganda yang amat praktis itu.
Menurut sistem tata nama ganda tersebut, setiap jenis makhluk memeroleh dua
nama, satu untuk nama marganya dan satu lagi penunjuk jenisnya (ini khusus untuk botani,
sedangkan zoologi menyebut patah kedua sebagai nama jenis). Gabungan nama marga dan
nama yang menunjukkan jenisnya itulah yang merupakan nama jenis makhluk. Hibiscus
tiliaceus adalah nama jenis pohon waru: Hibiscus merupakan nama marganya sedangkan
tiliaceus adalah penunjuk jenisnya. Karena dicontohkan oleh buku yang memuat aturan
penamaan itu, nama jenis dan nama latin lainnya kalau dicetak selalu memakai huruf-huruf
miring atau kursif, dan kalau ditulis tangan atau ditik lazim digarisbawahi. Perlu ditekankan
bahwa kebiasaan ini bukan aturan tata nama biologi, tetapi aturan tata ejaan bahasa (seperti
Bahasa Indonesia), karena dalam setiap bahasa nama Latin merupakan unsur asing.
Nama ganda itu bukanlah hanya nama suatu jenis makhluk belaka. Nama itu juga
menempatkan makhluknya dalam suatu sistem, yang sekaligus menunjukkan kekerabatannya
dengan makhluk lainnya. Jadi ketika Linnaeus membaptiskan tanaman rosela dengan nama
Hibiscus sabdarifa, ia langsung mengatakan bahwa rosela dan pohon waru itu sekerabat,
sebab sama-sama tergolong dalam marga Hibiscus. Dari sini terlihat bahwa sistem tata nama
ganda itu sederhana, praktis, dan efektif, apalagi karena setiap patah perkataan nama itu
dapat memunyai makna yang berarti. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika sistem
penamaan ini lalu dianut oleh seluruh ahli biologi sehingga tercapai keseragaman universal.

36
Keberatan utama yang biasa dilontarkan terhadap pemakaian nama ilmiah ialah
bahwa nama tadi kedengarannya “asing” sehingga sulit untuk mengingatnya. Apalagi karena
untuk kebanyakan orang, nama ilmiah seperti Voandzeia subterranea memang hanya akan
merupakan serentetan bunyi atau huruf pematah lidah yang tidak ada artinya sama sekali.
Akan tetapi nama yang kelihatannya angker ini merupakan satu-satunya nama yang dapat
dipakai oleh semua orang di mana saja kalau kita mau membicarakan “kacang bogor”.

Kode Tata Nama. Baik jenis makhluk maupun ahli-ahli biologi yang menelaahnya
jumlahnya besar sekali dan tersebar luas di muka bumi. Oleh karena itu untuk mencapai
keseragaman dan menghindari kesalahpahaman dalam berkomunikasi perlulah adanya satu
sistem tata nama makhluk yang berlaku di seluruh dunia. Kode Internasional Tata Nama
untuk Ganggang, Jamur dan Tumbuhan (ICN) merupakan perwujudan usaha ahli-ahli botani
sejak tahun 1867 dalam menciptakan tata aturan penamaan tumbuh-tumbuhan secara ilmiah
dan berciri internasional. Untuk hewan ada Kode Internasional Tata Nama Hewan (ICZN),
buat bakteri tersedia Kode Internasional Tata Nama untuk Bakteri (ICNB), bagi tanaman
budidaya orang menyusun Kode Internasional Tata Nama untuk Tanaman Budidaya (ICNCP),
sedangkan tata nama virus diatur oleh Komisi Internasional Taksonomi Virus (ICTV).
Isi Kode Tata Nama terbagi atas asas-asas (yang merupakan dasar daripada sistem
tata nama), peraturan-peraturan, dan saran-saran (yang diuraikan dalam pasal- pasal), serta
lampiran (yang antara lain memuat nama-nama yang dilestarikan). Selanjutnya dicantumkan
persyaratan bahwa perubahan atau tambahan pasal-pasal peraturan Kode Tata Nama itu
hanya dapat dilaksanakan sesudah disetujui oleh sidang paripurna kongres internasional
disiplin ilmu terkait yang biasanya diadakan setiap lima tahun dan dihadiri oleh ribuan ahli.
Kode Tata Nama bertujuan untuk menyediakan cara penamaan yang mantap,
menjauhi pemakaian nama yang mungkin menyebabkan kericuhan, dan menghindari
terciptanya nama-nama yang tidak perlu. Peraturan-peraturan yang diadakan ditujukan
untuk menertibkan tata nama di masa lampau dan menyediakan jalan untuk mencapai
ketertiban dan kemantapan tata nama di masa depan. Selain itu ditekankan pula bahwa asas
penting yang mendasarinya adalah penjaminan agar suatu kelompok taksonomi hanya
memiliki satu nama.
Sekalipun ketertiban dan kemantapan merupakan tujuan utama Kode Tata Nama,
untuk mencapainya penggantian nama kadang-kadang tidak dapat dielakkan. Adakalanya
nama yang sudah lazim dipakai ternyata tidak sesuai dengan isi Kode Tata Nama sehingga
nama tadi terpaksa perlu diubah. Tanaman cengkeh misalnya sudah lama dikenal dengan
nama Eugenia aromatica. Nama ini ternyata tidak boleh dipakai untuk cengkeh sebab sudah
ada jenis tanaman lain yang juga bernama Eugenia aromatica yang lebih dulu diterbitkan
orang. Sebagai akibatnya cengkeh perlu mendapat nama lain, sehingga diciptakanlah Eugenia
caryophyllata. Tetapi pemakaian ini pun menyalahi salah satu pasal Kode Tata Nama,
sehingga kembali cengkeh mendapat nama lain lagi, Eugenia caryophyllus. Menurut
peraturan-peraturan Kode Tata Nama, Eugenia caryophyllus inilah nama yang harus dipakai
untuk cengkeh. Pengetahuan orang tentang biologi cengkeh terus berkembang dan

37
bertambah yang menyebabkan makin baiknya pengertian kita tentang hubungan
kekeluargaan cengkeh dengan jenis-jenis lainnya. Ahli-ahli botani yang meninjau kembali
cara penggolongan cengkeh umumnya menyimpulkan bahwa cengkeh tidak dapat dianggap
sebagai anggota Eugenia, tetapi harus diklasifikasikan sebagai suatu jenis Syzygium.
Berdasarkan isi peraturan-peraturan Kode Tata Nama yang berlaku, bagi para penganut
pendapat terakhir ini nama ilmiah cengkeh yang tepat adalah Syzygium aromaticum sehingga
nama inilah yang sekarang dipakai untuknya. Penerapan isi peraturan Kode Tata Nama
secara konsekuen memang kadang-kadang memaksa terjadinya penggontagantian nama yang
manfaatnya baru dirasakan dalam jangka waktu panjang, yaitu setelah kemantapannya yang
menjadi tujuan itu tercapai.

Syarat Nama Sah. Dalam salah satu asas Kode Tata Nama dinyatakan bahwa
nama-nama ilmiah harus memergunakan bahasa Latin. Pemakaian kata-kata dari bahasa lain
diperkenankan juga asal saja penggunaannya dilatinkan (misalnya Durio dari durian dan
Pandanus dari pandan). Khusus untuk takson tetumbuhan, kalau nama ilmiahnya baru
diusulkan untuk pertama kali (misalnya dalam memberikan nama pada suatu jenis tumbuhan
baru) diharuskan pula untuk menyertakan suatu pertelaan dalam Bahasa Latin atau Bahasa
Inggris. Gunanya ialah agar setiap ahli botani akan dapat mengenal atau memunyai gambaran
tentang takson tumbuhan yang baru itu, sekalipun karangan ilmiahnya ditulis dalam bahasa
Badui, Jerman, atau Swahili ataupun dicetak dengan aksara Arab, Bugis, atau Cina.
Agar menjadi sah, setiap nama baru harus diterbitkan secara terlaksana dalam
sebuah buku atau majalah ilmiah yang dicetak dan disebarluaskan. Jadi pengusulan nama baru
itu tidak boleh dilakukan hanya dengan mengungkapkannya dalam suatu pertemuan,
mengumumkannya dalam radio, atau dengan memuatnya dalam surat kabar harian atau
majalah hiburan dan sebangsanya. Sekali nama itu terbit dan semua persyaratan
peraturan-peraturan Kode Tata Nama dipenuhi, nama itu secara otomatis menjadi sah dan
berlaku, tanpa memerlukan pengesahan lagi dari suatu badan atau komisi apapun.

Peringkat Satuan Taksonomi. Untuk memudahkan penentuan hubungan


kekeluargaan dan memerlancar pelaksanaan penggolongan makhluk, diadakan orang
satuan-satuan taksonomi yang berbeda-beda peringkatnya. Macam dan peringkat satuan
masing-masing umumnya dapat segera dikenali dari nama ilmiahnya, sebab setiap satuan
taksonomi itu memunyai akhiran nama sendiri-sendiri.
Sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang dicantumkan dalam Kode Tata Nama
Botani, maka suatu individu tumbuhan dapat dimasukkan dalam peringkat satuan taksonomi
sebagai berikut (dalam urutan menurun, beserta akhiran-akhiran nama ilmiahnya): dunia
tumbuh-tumbuhan (regnum Vegetabile), filum atau divisi (phylum atau divisio, nama
ilmiahnya berakhiran -phyta; khusus untuk jamur dipakai akhiran -mycota), anak filum atau
anak divisi (subphylum atau subdivisio, -phytina; untuk jamur -mycotina), kelas (classis,
-opsida; untuk jamur -mycetes, untuk ganggang -phyceae), anak kelas (subclassis, -idea),
bangsa (ordo, -ales), anak bangsa (subordo, -ineae), suku (familia, -aceae), anak suku

38
(subfamilia, -oidea), puak (tribus: -eae), anak puak (subtribus: -inae), marga (genus; nama
ilmiah marga dan semua tingkat di bawahnya tidak diseragamkan akhirannya), anak marga
(subgenus), seksi (sectio), anak seksi (subsectio), deret (series), anak deret (subseries), jenis
(species), anak jenis (subspecies), varietas (varietas), anak varietas (subvarietas), forma
(forma) dan anak forma (subforma). Urutan peringkat satuan taksonomi itu tidak boleh diubah
atau dipertukarkan, tetapi bilamana dirasakan keperluannya boleh ditambahkan dengan
menyisipkannya.
Dengan tidak memerhatikan peringkatnya yang bermacam-macam itu setiap satuan
taksonomi tadi (misalnya suku, jenis, varietas, anak filum) masing-masing disebut takson.

Kodrat Nama Takson. Untuk menghindari kericuhan dalam pemakaian nama ilmiah,
Kode Tata Nama menetapkan bahwa penerapan nama-nama takson ditentukan berdasarkan
tipe tata nama. Tipe tata nama ilmiah ialah salah satu unsur penyusun takson, yang selalu
dikaitkan dengan nama takson yang bersangkutan untuk selamalamanya.
Tipe tata nama takson di atas marga ialah suatu marga. Oleh karena itu mudah
dimengerti mangapa nama puak, suku, bangsa dan lain-lainnya biasanya terdiri atas nama
marga yang menjadi anggota takson yang bersangkutan, ditambah dengan akhiran yang
sesuai tingkatnya seperti disebutkan di atas (puak Hibisceae – – dari Hibiscus, bangsa
Malvales dari Malva dan Malvaceae, dan seterusnya). Dalam tata nama botani Indonesia
nama suku terdiri atas kata ulang salah satu nama daerah tumbuhan yang menjadi anggota
suku tadi, misalnya suku kapas-kapasan (Malvaceae), suku kopi-kopian (Rubiaceae), dan
suku tusam-tusaman (Pinaceae).
Tipe tata nama suatu marga atau takson-takson di antara marga dan jenis ialah suatu
jenis, sedangkan tipe untuk jenis dan takson-takson di bawahnya ialah suatu spesimen yang
diawetkan. Untuk yang terakhir ini yang terpenting adalah holotipe , ialah suatu spesimen
asli yang dipakai sebagai dasar waktu pertama kali mengusulkan nama jenis yang baru.
Selama holotipe masih ada, penerapan nama yang bersangkutan dengannya dapat dipastikan
secara otomatis. Kalau holotipe itu hilang atau hancur maka tipe pengganti atau tipe baru
dapat ditunjuk untuk menggantikannya. Tipe pengganti ialah spesimen tipe yang dipilih dari
spesimen–spesimen asli (misalnya isotipe atau duplikat holotipe) sedangkan tipe baru ialah
spesimen tipe yang ditentukan dari spesimen mana saja, bila spesimen-spesimen asli sudah
tidak ada sama sekali.
Nama-nama takson di atas peringkat jenis diperlakukan sebagai kata benda dengan
tidak memerhatikan asalnya dan selalu ditulis dengan awal huruf besar. Sebaliknya
penunjuk-penunjuk takson lain di bawah jenis biasanya merupakan kata sifat yang akhirannya
disesuaikan dengan deklinasi nama marganya, dan selalu ditulis dengan huruf kecil.
Agar penunjukan nama suatu takson dapat tepat dan lengkap dan agar memudahkan
penelitian tentang kesahan nama itu, dalam suatu tulisan sistematika diperlukan
mencantumkan nama pengarang yang menerbitkan nama sah takson itu untuk pertama kali.
Nama ilmiah durian yang lengkap ialah Durio zibethinus Murray; Durio nama marganya,
zibethinus penunjuk jenis dan Murray adalah pengarang atau pengusul nama jenis durian itu.

39
Perkataan “ex” dalam nama Pithecellobium fagifolium Blume ex Miquel menyatakan bahwa
nama jenis yang mula-mula diusulkan oleh Blume ternyata tidak sah penerbitan
pengusulannya, dan nama itu baru kemudian memenuhi persyaratan Kode Tata Nama setelah
diusulkan kembali oleh Miquel. Kadang-kadang suatu nama ilmiah diikuti oleh dua atau
beberapa pengarang, dengan nama pengarang pertama terletak di dalam kurung, misalnya
Syzygium aromaticum (L.) Merr. & Perry. Hal ini untuk menunjukkan bahwa pengarang asli
nama telah membuat kesalahan botani waktu pertama kali mengusulkan nama itu.
Nama-nama pengarang yang dicantumkan di belakang nama takson dapat disingkat,
misalnya L. untuk Linnaeus, Bl. untuk Blume, Kosterm. untuk Kostermans dan seterusnya.
Perlu diperhatikan bahwa sejak tahun 2000 nama pengarang hanya dicantumkan di belakang
nama takson tetumbuhan dalam artikel penelitian atau karya taksonomi saja, sedangkan
dalam tulisan dan terbitan di bidang lain pencantuman tersebut tidak lagi diperlukan.
Selanjutnya perlu pula dicermati bahwa di antara nama ilmiah dan nama pengarangnya tidak
terdapat tanda-tanda baca seperti titik, koma, atau tanda lainnya. Akan tetapi adakalanya di
antara nama marga dan penunjuk jenis terdapat tanda kali ( x )––misalnya Hibiscus x archeri
Watson––untuk menunjukkan bahwa jenis tadi adalah hibrid. Nama hibrid seperti Hibiscus
x archeri ini adakalanya ditulis dengan menujukan nama lengkap tetua-tetuanya, jadi
Hibiscus rosa-sinensis x schizopetalus atau Hibiscus rosa-sinensis L. x Hibiscus
schizopetalus (Masters) Hooker.

Satu Takson Satu Nama. Salah satu asas yang penting dalam Kode Tata Nama
menyatakan bahwa setiap satuan taksonomi hanya boleh memunyai satu nama ilmiah yang
tepat, yaitu nama tertua yang sesuai dengan bunyi peraturan-peraturan. Hal ini diadakan
untuk mengatasi kemungkinan dipakainya beberapa nama ilmiah yang berlainan untuk suatu
takson yang sama (sinonim). Sebaliknya peraturan yang sama juga perlu untuk menghindari
pemakaian satu nama ilmiah untuk beberapa takson yang berbeda (homonim). Penentuan
nama tertua yang harus dipakai umumnya didasarkan pada prioritas tanggal penerbitan nama
itu. Prioritas itu memunyai batas waktu sampai 1 Mei 1753 sehingga nama-nama ilmiah yang
diterbitkan sebelum tanggal itu tidak perlu diperhitungkan dalam memilih nama yang akan
dipakai. Tanggal 1 Mei 1753 disebut tanggal titik tolak tata nama tumbuh-tumbuhan dan
merupakan tanggal diterbitkannya buku karangan Linnaeus yang berjudul Systema
Plantarum. Seperti sudah diungkapkan di atas, dalam buku inilah sistem tata nama ganda
dipakai secara bertaat asas, teratur dan besar-besaran untuk pertama kali.
Pohon rasamala yang tumbuh di Pulau Jawa, Semenanjung Malaya, Assam, dan
Bhutan telah tiga kali diberi nama yang berbeda oleh tiga orang ahli secara tak sengaja.
Pertama kali pohon ini pada tahun 1790 diberi nama ilmiah Altingia excelsa oleh Noronha,
seorang ahli botani Spanyol yang berdiam di Manila dan kebetulan berkunjung ke pedalaman
Jawa Barat. Pada tahun 1825 seorang ahli Belanda bernama Blume menamakannya
Liquidambar altingiana (hanya karena ia tidak suka pada nama ciptaan orang Spanyol).
Secara terpisah pada tahun 1836 pohon rasamala sekali lagi memeroleh nama ilmiah baru
Sedgwickia cerasifolia, kali ini dari Griffith seorang ahli botani berkebangsaan Inggris. Karena

40
Altingia excelsa merupakan nama yang tertua, sesuai dengan peraturan-peraturan Kode
Tata Nama itulah nama ilmiah yang diakui sebagai nama yang tepat sehingga dipakai orang
sekarang untuk mengacu pohon rasamala. Adapun Liquidambar altingiana dan Sedwickia
cerasifolia diperlakukan sebagai sinomim-sinonimnya.
Di atas sudah ditunjukkan bahwa nama Eugenia aromatica untuk cengkeh
merupakan homonim dari pada Eugenia aromatica yang telah dipakai terlebih dulu untuk jenis
lain. Nama marga jamur Drosophila boleh dipakai sekalipun merupakan homonim nama marga
lalat Drosophila, sebab tata nama tumbuh-tumbuhan bebas, mandiri, dan tidak memunyai
hubungan dengan tata nama hewan.
Perlu ditambahkan di sini bahwa tata nama dan kodenya itu sama sekali bukan biologi,
tetapi hanya merupakan alat penolong dalam mengatur pemberian dan pemakaian nama
makhluk secara ilmiah. Sekalipun demikian kegunaan tata nama sebagai faktor yang
memudahkan penggalian, penambahan, perbaikan, penukaran, penyimpanan, dan pemakaian
informasi tentang seluk beluk kehidupan makhluk amatlah vitalnya. Dengan berbekalkan
nama ilmiah segala perbendaharaan pengetahuan manusia yang terkait pada makhluk
bersangkutan serta terkumpul dalam semua bahan pustaka akan terbuka bagi kita untuk
ditelusuri, dipelajari, ditelaah, diolah dan dimanfaatkan seperlunya. Karena itu dapatlah
dinyatakan bahwa nama ilmiah suatu jenis makhluk merupakan kunci mukjizat untuk
membuka khazanah yang berisi semua pengetahuan manusia tentang jenis itu.

41
5. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

Botani sistematika dan keseluruhannya cabang ilmu botani sebenarnya berasal dari
ilmu kedokteran. Mula-mulanya botani itu memang hanya digunakan untuk mengenal
tumbuh-tumbuhan guna keperluan obat-obatan. Kebun-kebun raya zaman dahulu umumnya
adalah “kebun obat” yang dipakai untuk mendidik calon-calon dokter memelajari kehidupan
tumbuhan. Ilmu botani dari dulu sampai sekarang memang memelajari tumbuh-tumbuhan
yang hidup, baik yang ditanam maupun yang tumbuh liar; begitu juga halnya kalau kita belajar
botani sistematika. Tradisi, efesiensi pekerjaan dan perkembangan ilmu-ilmu yang
memelajari bentuk (morfologi), susunan dalam (anatomi), fosil-fosil (palaentologi), ciri
kandungan kimia (fitokimia) dan botani sistematika mengharuskan kita untuk tidak saja
menggunakan tumbuhan hidup dalam melaksanakan penelitian tetapi juga tumbuhan yang
sudah dimatikan, dikeringkan dan diawetkan, bahkan juga tumbuhan yang sudah punah dan
hanya bekas-bekasnya saja, yang umumnya disimpan di museum atau herbarium.
Para peneliti botani sistematika pada umumnya mendapatkan pendidikan tata cara
dan asas penelitian dengan jalan mencontoh pekerjaan orang lain, jadi dengan sistem
“magang” kepada seorang yang sudah berpengalaman. Tumbuhan diklasifikasi berdasarkan
intuisi atau perasaan dan kata hati serta pengalaman, sebab asas dan hukum klasifikasi pada
umumnya masih diabaikan, tidak dimengerti atau bahkan dianggap tidak ada. Buku-buku
pelajaran seringkali menyelimuti sendi-sendi botani sistematika itu dengan kabut rahasia dan
membayangkan kegiatan para ahli botani sistematika itu seolah hanyalah sibuk
menggonta-ganti nama dan merombak model sistem klasifikasi filogeni. Semuanya ini
mengakibatkan kedudukan botani sistematika sebagai suatu cabang ilmu tidaklah begitu
“terhormat” sehingga peranannya tidak akan disadari dan dimengerti.
Dengan memahami asas, hukum dan tata cara semua kegiatan taksonomi serta
mengetahui metodologi dan pendekatan yang dipakai dalam penelitian botani sistematika
maka akan terlihat bahwa ilmu ini tidaklah berbeda dengan cabang botani lainnya. Botani
sistematika jelas merupakan satu-satunya alat yang mampu mengungkapkan
keanekaragaman dunia tumbuhan pada variasi dan mekanisme evolusi yang menyebabkan
adanya pola itu, serta menjadi kerangka wadah penampung massa fakta dan gagasan yang
alih-alih tidak terkoordinasi.

Pola Langkah Penelitian Taksonomi

Kegiatan botani sistematika itu dapat diibaratkan sebagai orang yang membangun
suatu piramida dengan jenis sebagai dasarnya. Jika dasar tadi kuat maka akan kokohlah
segala kesimpulan yang disusunnya. Karena itu para pemula peneliti botani sistematika
biasanya disarankan untuk mengerjakan suatu takson, umumnya suatu marga yang kecil,

42
yang akan memungkinkan mereka dapat memunyai pengertian, gambaran, dan konsep sendiri
tentang apa jenis itu.
Banyak sekali jalan yang dapat ditempuh untuk mengadakan penelitian botani
sistematika itu. Dengan sendirinya pendekatan yang akan dipakai – – apakah memberikan
peranan dan penekanan utama pada ciri sitologi, morfologi, fitokimia atau ciri lainnya – –
menentukan teknik analisis, bahan dan cara yang akan dipergunakan. Sekalipun demikian
semua penelitian itu umumnya mengikuti pola langkah yang lebih kurang sama, seperti yang
biasa dipraktekan oleh para peneliti sistematika makhluk hidup lainnya. Perlu disebutkan
bahwa mungkin mereka tidak sadar bahwa pelaksanaan penelitian yang sudah
bertahun-tahun dilakukannya itu memakai suatu pola! Berikut ini adalah pola langkah yang
lazim dianut orang, yang dimulai dengan memilih masalah sampai menerbitkan hasilnya.
1. Pemilihan takson dan penentuan ruang lingkup penelitian yang akan dikerjakan.
Batas takson yang dikerjakan, apakah suatu marga atau anak marga atau suku harus
ditetapkan dari semula, begitu pula batas geografi yang akan dicakupnya, apakah dari seluruh
dunia atau pulau madura saja atau dari daerah Malesia.
2. Pengumpulan bahan penelitian sebanyak-banyaknya. Ini amat bergantung kepada
pendekatan yang dipakai. Penekanan pada ciri sitologi akan mengharuskan kita
mengumpulkan sebanyak-banyaknya biji untuk dikecambahkan untuk dibuat preparat
akarnya, serta sebanyak-banyaknya kuncup bunga. Penggunaan ciri morfologi akan
memerlukan spesimen herbarium yang dapat diperoleh dengan mengumpulkan sendiri,
meminjam dan lain-lain.
3. Peninjauan pustaka dan pencatatan semua nama ilmiah yang tercakup dalam takson
itu serta data-data yang terpenting.
4. Pemilihan bahan yang sudah terkumpul dalam satuan-satuan taksonomi secara
coba-coba berdasarkan ciri-ciri yang terlihat.
5. Pemeriksaan bahan yang tersedia dengan sempurna berdasarkan pendekatan yang
dipakai. Setiap spesimen harus dianalisis, dilakukan diseksi, pengukuran, penggambaran dan
lain-lain serta siapkan catatan-catatan selengkapnya.
6. Pengujian ciri-ciri yang dipakai oleh peneliti sebelumnya dan pemeriksaan apakah
korelasi yang ada di antara berbagai ciri dapat dikukuhkan atau tidak.
7. Penarikan batasan takson sesuai dengan hasil penelitian dan pengujian kebenaran
ciri-ciri yang baru ditemukan.
8. Pencarian dan penentuan keeratan hubungan kekerabatan di antara takson-takson
itu dan penentuan tingkat-tingkat satuan taksonomi yang diperlukan. Dengan demikian
dapatlah diketahui apakah suatu marga itu perlu dibagi-bagi dalam seksi atau deret dan
seterusnya. Dalam hubungan ini semua data dari bidang ilmu lain yang tersedia harus
diperhatikan.
9. Penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan tata nama. Berdasarkan
kesimpulan hasil penelitian perlu ditetapkan nama yang tepat, mana yang menjadi sinonim,
nama baru untuk jenis baru ditemukan dan lain-lainnya.

43
10. Penyusunan kunci determinasi untuk takson-takson yang diterima berdasarkan ciri
yang menonjol. Bantuan orang lain untuk menguji kunci itu akan diperlukan.
11. Pemberian etiket pada setiap spesimen yang diperiksa sesuai dengan nama yang
disimpulkan dalam penelitian.
12. Penyusunan pertelaan setiap takson yang diterima. Data-data ekologi dan
penyebaran harus dimasukkan, beserta pembahasan mengenai pernyataan atau pendapat
orang lain tentang takson itu seperlunya sesuai dengan kesimpulan penelitian.
13. Pembuatan gambar-gambar untuk penerbitan sesuai dengan keperluan.
14. Penyusunan pendahuluan dan pembahasan umum dan penyiapan naskah untuk
diterbitkan. Untuk keperluan ini perlu dipertimbangkan dengan sematang-matangnya ke
majalah yang mana naskah itu akan dikirimkan untuk diterbitkan, sehingga gaya penyajian
dan penulisannya disesuaikan dengan tepat.

Bahan Baku Penelitian

Seorang ahli botani sistematika yang sedang meneliti jenis-jenis durian tentu ingin
sekali agar ia dapat langsung memelajari jenis yang hidup liar di hutan-hutan Kalimantan,
yang sedang berbunga di Siam, yang buahnya bermatangan di berbagai kebun rakyat Bogor
ataupun yang ditanam di Sumatra atau di Semenanjung Malaya. Agar supaya jenis-jenis tadi
dapat dibandingkan dengan teliti satu sama lainnya, perlulah si peneliti tadi dapat mampu
mondar-mandir seleluasanya ke tempat tumbuh pelbagai jenis itu. Karena hal ini tidak
mungkin dapat dilakukan secara efisien, perlulah dicari jalan agar semua jenis yang diselidiki
entah dari mana pun asalnya akan dapat diamati, diteliti, dibandingkan dan dicoba-coba
dengan perlakuan yang sama secara saksama sekaligus dalam keadaan, waktu dan tempat
yang sama pula. Untuk durian orang mungkin dapat menanam jenis-jenisnya di kebun raya,
akan tetapi biaya yang diperlukan akan besar dan waktu yang diperlukan mulai dari biji
berkecambah sampai pohonnya berbunga dan berbuah akan lama sekali. Kalau marga yang
diselidiki memunyai jumlah jenis ratusan dengan penyebaran yang luas dan meliputi daerah
yang iklimnya amat berbeda maka penanamannya tidak akan mungkin dilaksanakan.
Untuk mengatasi kesulitan ini dibuat oranglah hortus siccus atau kebun raya kering
yang sekarang terkenal dengan nama herbarium. Menurut dugaan herbarium pertama kali
diciptakan oleh Luca Ghini (1490-1556) orang Itali yang pada tahun 1543 juga menjadi
pendiri kebun raya Pisa yang pada saat ini merupakan kebun raya tertua di dunia. Sekalipun
herbarium juga berarti gedung tempat penyimpannya, istilah ini umumnya diartikan sebagai
suatu kumpulan contoh atau spesimen tumbuh-tumbuhan yang dikeringkan, diawetkan,
disimpan dan diberi nama secara beraturan. Dahulu herbarium itu terdiri atas contoh
seadanya saja dan ditempelkan pada halaman sebuah buku, tapi sekarang pembuatan dan
penyediaannya sudah dibakukan.
Untuk keperluan penelitian spesimen herbarium yang dikumpulkan di lapangan itu
harus lengkap, atau paling tidak harus dewasa dengan alat perkembangbiakan kawinnya
terbawa. Jadi untuk tumbuhan tinggi misalnya haruslah berupa ranting berdaun dengan bunga

44
dan atau buah. Agar daun dan bagian-bagian tubuh lainnya tidak mudah luruh atau terlepas,
spesimen yang baru dikumpulkan biasanya terus dimatikan cepat atau difiksasi dalam alkohol
96%. Kemudian spesimen tadi diratakan di antara kertas koran atau kertas pengisap dan
ditekan di antara lembaran karton lalu dikeringkan (dengan panas api penggarangan, cahaya
matahari, kompor atau sumber panas lainnya). Sesudah kering sebaiknya spesimen tadi
diracun dengan merendamnya dalam larutan 5% sublimat (HgC12) dalam alkohol 96% selama
lebih kurang 10 menit, sehingga bahaya dirusakkan oleh serangga jadi berkurang. Spesimen
itu sekarang sudah siap untuk ditempelkan pada sehelai kertas gambar yang umumnya
berukuran 28 x 41 cm, bersama-sama dengan etiketnya. Etiket tadi memuat
keterangan-keterangan yang dibuat di lapangan dan berisikan hal-hal yang tidak terlihat
sesudah spesimen tadi diawetkan, misalnya nama dan nomor pengumpul, tempat dan tanggal
pengumpulan, nama daerah, macam habitat tempat tumbuhnya, tinggi tumbuhan, warna dan
bau bunga atau buah dan lain-lainnya lagi. Sesudah dideterminasi spesimen tadi lalu disimpan
secara teratur berdasarkan suatu sistem yang memudahkan mencarinya kembali, dan siap
untuk dimanfaatkan selanjutnya.
Kegunaan spesimen herbarium untuk botani sistematika mutlak sekali, sebab
penelitian botani sistematika tak mungkin dapat dilaksanakan secara efisien tanpa adanya
spesimen tadi. Jarang orang menyadari bahwa bahan-bahan kering yang diawetkan itu
sebenarnya merupakan data-data baku bagi kesimpulan-kesimpulan penelitian botani
sistematika, suatu kumpulan data yang dapat dengan mudah diperiksa kembali dan
diverifikasi oleh peneliti-peneliti berikutnya. Secara ilmiah data yang diberikan oleh bahan
kering itu tidak berbeda atau tidak kalah nilainya dengan data tentang jumlah CO2 yang
dikeluarkan kecambah yang sedang tumbuh dalam percobaan fisiologi pernafasan, atau
angka-angka yang menunjukkan toleransi bakau terhadap perbedaan kadar garam dalam
penelitian ekologi. Pendekatan dari bidang fitokimia, sitogenetika, genekologi dan kegiatan
biosistematika lainnya memerlukan bahan baku penelitian yang agak lain pengumpulan dan
perlakuannya. Pada umumnya contoh-contoh yang diperlukan berjumlah besar, sebab dasar
penelitiannya adalah populasi. Untuk setiap populasi dalam penelitian genekologi, misalnya,
harus dikumpulkan 300 - 600 biji yang akan dikecambahkan menjadi semai untuk keperluan
perlakuan ekologi selanjutnya. Bentuk ukuran dan jumlah kromosom biasanya ditentukan
pada kariotipe ujung akar. Dalam penelitian ini ujung akar segar diletakkan dalam campuran
1 : 1 larutan 45% orsein asetat dan larutan 1n HCl yang kemudian dihangatkan sampai 60
derajat Celcius selama 15 menit. Ujung akar itu kemudian dikeluarkan dan dibuat sediaan
gilasan ujung akar dengan medium 45% asam asetat, lalu diperiksa dibawah mikroskop.
Perbandingan kelakuan kromosom pada saat meiosis serbuk sari. Untuk keperluan ini kuncup
bunga difiksasi selama 24 jam dalam larutan 1:3 asam asetat dan alkohol yang diberi sedikit
ferri asetat. Benangsarinya kemudian didiseksi dalam medium 45 % asetokarium, dihangati
sedikit lalu digilas di bawah gelas tutup dan diperiksa dengan mikroskop. Pengumpulan bahan
penelitian untuk fitokimia dengan sendirinya harus disesuaikan dengan bagian organ tubuh
yang mengandung senyawa kimia yang menjadi pumpunan penelitian, jadi mungkin berupa
akar, pepagan, buah, biji dan lain-lainnya.

45
Dari Intuisi sampai Komputer

Penamaan, pencirian, penggolongan, serta pengajian kekerabatan dan


keanekaragaman tumbuhan amat bergantung kepada korelasi ciri-ciri tumbuhan, dan juga
dipengaruhi oleh ketidaksinambungan pola korelasi itu. Pendeterminasian umumnya dapat
dilakukan dengan hanya memerhatikan beberapa ciri penting, atau bahkan hanya satu dua
ciri amat khas saja. Akan tetapi untuk keperluan penggolongan maka semua ciri yang
tersedia harus diperhatikan dan dinilai sekaligus. Untuk ini terdapat beberapa cara
pendekatan mulai dari yang paling sederhana sampai ke yang rumit sekali.

Taksonomi Konvensional. Seseorang yang memelajari suatu golongan tumbuhan


dengan seksama secara tradisional dalam waktu yang cukup lama, selain mengumpulkan
pengalaman, biasanya juga mengembangkan suatu ”perasaan”. Tanpa disadarinya perasaan
itu terpakai dalam menentukan batasan serta hubungan kekerabatan jenis-jenis yang
dipelajarinya. Penilaian yang sangat subjektif ini ada kalanya merupakan dasar dari pada
suatu gagasan atau pendapat taksonomi. Sampai sekarang makhluk hidup umumnya
diklasifikasikan dengan memergunakan metode berakarkan intuisi ini, yang dicoba diperkuat
dengan jalan pikiran yang berdisiplin. Sudah lama disadari orang bahwa metode ini tidaklah
sempurna sama sekali, terutama karena penilaian bukti-bukti taksonomi yang tersedia tidak
dilakukan secara objektif. Apalagi karena metode ini tidak memungkinkan diuraikannya
secara jelas bagaimana suatu kesimpulan itu dicapai.
Sejak dulu para ahli botani sistematika itu menimbang atau memberi penilaian yang
berbeda terhadap ciri-ciri yang tersedia baginya, sebab pengalaman menunjukkan bahwa
ciri-ciri yang dipakai sebagai bukti-bukti taksonomi itu tidak memunyai nilai taksonomi yang
sama. Penimbangan itu dikatakan apriori bila dilakukan pada saat dilakukannya klasifikasi,
jadi sebelum adanya bukti bahwa untuk memerkuat benar ciri yang dipilihnya itu betul-betul
memunyai nilai kepentingan yang lebih besar dibandingkan ciri-ciri lainnya. Anggapan bahwa
bunga selalu lebih penting daripada daun, misalnya, merupakan penimbangan apriori. Akan
tetapi adakalanya suatu ciri itu dianggap amat penting nilainya sesudah tersusunnya suatu
sistem klasifikasi karena terlihat memunyai korelasi yang tinggi dengan ciri-ciri lainnya.
Penilaian demikian ini disebut penimbangan a posteriori atau penimbangan korelasi yang
sering dilakukan oleh ahli-ahli yang berpengalaman. Berdasarkan pengalamannya mereka
akan memilih beberapa ciri dan mencoba menyusun suatu sistem klasifikasi. Sesudah
beberapa kali percobaan, ciri yang menunjukkan korelasi tertinggi dengan ciri-ciri lain akan
diberinya penimbangan a posteriosi. Adanya penimbangan-penimbangan ciri ini dengan
sendirinya menambah kesubjektifan metode penelitian botani sistematika itu.

Metode Grafik. Jika hanya ciri morfologi saja yang harus diperhitungkan maka
berdasarkan perasaan, intuisi dan daya kemampuan sintensis otaknya seorang peneliti

46
taksonomi yang berpengalaman akan dapat mengadakan korelasi ciri-ciri itu secara efisien.
Keberhasilan cara ini dapat disaksikan pada sistem-sistem klasifikasi yang banyak dipakai
orang sekarang. Tetapi bila di samping ciri morfologi harus diintegrasikan pula ciri-ciri yang
tidak kelihatan seperti kandungan kimia atau peri laku kromosom maka akan sukarlah untuk
mengorelasikan semua data yang tersedia secara serentak. Untuk ini diperlukan upaya
seperti grafik ataupun diagram hambur bergambar. Upaya-upaya ini umumnya berhasil baik
jika didasarkan pada contoh yang jumlahnya besar, jadi pada populasi dan tidak pada
spesimen herbarium yang jumlahnya sedikit dan pengambilannya dari populasi tidaklah
dilakukan secara acak. Simpulan taksonomi yang diperoleh dengan menggunakan upaya ini
bersifat lebih objektif karena semuanya didasarkan pada pengukuran langsung ataupun
melalui penilaian dengan skoring yang dapat diulangi atau diverifikasi orang lain.
Pembedaan dua jenis yang berdekatan atau penentuan apakah suatu populasi itu
merupakan hibrid alamiah antara dua jenis serta beberapa masalah lainnya dapat dipecahkan
dengan bantuan berbagai macam metode grafik. Untuk ini diperlukan nilai indeks dari pada
takson yang diselidiki, yang dapat diperoleh dengan mengukur langsung bagian-bagian
tubuhnya serta skoring dari pada kelas ukuran, bentuk, warna dan ciri ciri lainnya. Variasi
ciri ini sebaiknya diskoring pada dasar per hitungan 1 - 3 - 5 sehingga bentuk-bentuk
perantara jadi jelas terlihat jika dibandingkan dengan perhitungan 1 - 2 - 3. Dari jumlah nilai
indeks ciri-ciri tadi dapatlah ditentukan besar kecilnya perbedaan/persamaan antara takson
yang diuji. Jika takson X memunyai indeks 10 dan takson Z 50 maka takson Y yang diduga
merupakan hibrid haruslah memunyai nilai indeks sekitar 30 yaitu rata-ratanya. Adanya
persilangan kembali terlihat dapat dari besarnya nilai indeks yang mestinya terletak antara
30 dan nilai indeks lainnya. Jika takson Y merupakan jenis tersendiri yang berasal mula dari
hibrid maka besar nilai indeksnya tidak beranjak jauh dari 30. Untuk memerkuat kesimpulan
mengenai status takson Y itu yang sebenarnya akan diper1ukan penelitian sistematika lebih
lanjut.
Nilai indeks dan data skoring lainnya dapat juga disajikan dalam bentuk histogram
atau kurva penyebaran normal dengan menggunakan frekuensi dan nilai tadi sebagai
ordinatnya. Selain menunjukkan variasi dan frekuensi sesuatu ciri dalam contoh yang
diselidiki, histogram dapat pula digunakan untuk membedakan takson yang memunyai ciri
morfologi berjalan secara lebih obyektif. Perbedaan nilai indeks dapat juga diperagakan dalam
bentuk poligon atau poligraf. Poligon ini digambar orang pada 2 sampai 6 sumbu yang tegak
lurus satu sama lain dan keluar dari satu titik. Setiap jari-jari merupakan suatu ciri dan jarak
dari titik pusat menyatakan variasi ciri tadi. Jika nilai skoring setiap ciri sudah ditentukan
letaknya dan kemudian masing-masing titik pada jari-jari tadi dihubungkan secara berurutan
maka akan diperoleh poligon yang bersudut 4 sampai 12 atau lebih. Dengan membandingkan
poligon yang diperoleh dari pengukuran yang cukup maka akan dapat diperoleh gambaran
perubahan atau perbedaan ciri dalam takson-takson yang diselidiki. Hibrid pada umumnya
condong untuk memunyai bentuk poligon yang menjadi perantara kedua tetuanya.
Korelasi beberapa ciri dapat juga ditunjukkan secara visual dengan bantuan
diagram-hambur-bergambar. Setiap sumbu diagram dapat menggambarkan kisaran variasi

47
ciri-ciri tertentu dan setiap individu yang diperiksa diletakkan pada tempatnya yang sesuai.
Dengan menggunakan bermacam-macam lambang gambar, pola variasi ciri yang terdapat
pada individu dapat diperlihatkan sekaligus sehingga korelasi yang ada jadi mudah
mengevaluasinya. Dengan demikian kedudukan setiap individu yang diperiksa jadi jelas dan
variasi cirinya dapat ditentukan sehingga hubungan takson-takson yang tersangkut pun akan
terungkapkan.

Taksonometrika. Pengolahan data secara elektronika semakin banyak dipakai dalam


pencatatan, penyimpanan dan pengambilan kembali keterangan berbagai macam untuk
keperluan klasifikasi yang memakai metode kuantitatif. Ini melahirkan cabang taksonomi baru
yang umumnya disebut taksonomi numeris atau taksometrika, yang dapat didefinisikan
sebagai evaluasi kekerabatan atau kesamaan antara satuan satuan taksonomi berdasarkan
angka-angka perhitungan serta pengaturan satuan-satuan tadi dalam takson-takson
berdasarkan kekerabatannya. Peranan komputer dalam hal ini ialah melakukan perbandingan
kuantitatif antara berbagai takson dengan melaksanakan perhitungan-perhitungan secara
cepat untuk mengorelasikan ciri dan sifat yang jum1ahnya amat banyak sekali. Taksometrika
didasarkan pada bukti-bukti finetik yang dapat diamati dan dicatat, sehingga semuanya dapat
diulangi dan diverifikasi dengan percobaan karenanya orang mengharapkan bahwa
kesimpu1an yang diperolehnya akan bersifat 1ebih objektif. Kegiatan taksometrik itu
memerlukan beberapa 1angkah berurutan sebagai berikut:
1. Terlebih dulu perlu ditentukan satuan taksonomi yang akan dijadikan dasar
penelitian yang mungkin berupa galur, jenis, marga dan sebagainya. Kesatuan terendah yang
dipilih untuk sesuatu penelitian disebut Satuan Operasi Taksonomi (SOT)
2. Ciri yang terdapat dalam SOT dipilih dan diukur atau diberi kode + dan –. Agar
diperoleh hasil penelitian yang memuaskan maka paling sedikit diperlukan 50, tapi kalau
mungkin lebih dari 100 ciri yang dapat di perbandingkan. Semua keterangan yang terkumpul
disusun dalam suatu tabel t x n atau matriks data yang terdiri atas jumlah t SOT yang
diskoring jumlah n cirinya.
3. Koefisien kesamaan antara SOT-SOT dihitung dengan memerbandingkan setiap
SOT dengan yang lain-lainnya. Hasil perhitungan umumnya dinyatakan dalam persentasi,
100% untuk menunjukkan keidentikan dan 0% bila berbeda sama sekali, serta disajikan dalam
matriks kesamaan.
4. Matriks kesamaan lalu disusun kembali dengan menggabungkan SOT-SOT yang
memunyai persentasi kesamaan terbesar sesamanya, hingga SOT-SOT yang berkerabat jadi
terlihat. Untuk menunjukkan kekerabatan finetik ini berbagai cara dapat dipakai, antara lain
fenogram atau dendrogram. Dengan menentukan tingkat kesamaan tertentu yang tetap
untuk suatu tingkat takson yang sesuai, dapatlah dicapai suatu cara untuk menentukan
tingkat satuan taksonomi yang seragam dalam suatu golongan yang diklasifikasikan secara
numeris.
5. Sesudah klasifikasi tersusun dapatlah sekarang ditentukan ciri yang mantap yang
dapat dipakai untuk membuat kunci determinasi atau diagnosis. Jadi kita meminta bantuan

48
komputer untuk menentukan ciri yang memunyai penimbangan a-posteriori.
Sampai sekarang fungsi komputer baru membantu perhitungan data-data yang
begitu banyak, tetapi toh para ahli taksonomi masih akan diperlukan untuk menyiapkan
data-data kasarnya dan mengevaluasi hasilnya. Berapa besar kesamaan persentasi korelasi
antara SOT untuk diklasifikasi bersama tangan pengalaman seorang ahli taksonomi, sehingga
keobyektifan taksonometrika itu sampai sekarang belumlah sempurna.

Penyajian Data

Kegiatan dokumentasi dalam penelitian botani sistematika umumnya meliputi


pencatatan, penyusunan katalog, pengisian data, penyimpanan dan pengambilan kembali
segala keterangan tentang tumbuhan dan menyajikannya pada umum dalam bentuk yang
dapat dimanfaatkan secara efisien. Seperti sudah ditunjukkan dalam bab-bab sebelumnya
tata nama ganda dan sistem penggolongan secara bertingkat yang dipakai dalam botani
sistematika merupakan salah satu cara penyimpanan dan pengambilan keterangan kembali
yang amat praktis dan efisien. Data-data seperti penyebaran, ekologi, penggunaan serta
lainnya dapat dikaitkan dengan nama masing-masing jenis secara komprehensif. Untuk itu
dan bergantung kepada kelengkapan dan ruang lingkupnya maka hasil penelitian botani
sistematika itu pada umumnya disajikan dalam bentuk monografi, revisi, flora atau pun sensus
jenis.
Monografi merupakan bentuk penyajian hasil penelitian botani sistematika yang
paling lengkap dan luas. Biasanya monografi itu mencakup seluruh jenis sesuatu marga, atau
kadang-kadang suatu suku. Semua jenis yang menjadi anggota marga atau suku itu
ditentukan nama tepatnya, dipertelakan dengan jelas, daerah penyebarannya digariskan,
data-data ekologi, variasi morfologi, sitologi ciri-ciri biologi bunga serta semua keterangan
lain yang ada diberikan dalam bentuk sintesis. Selanjutnya dicantumkan juga bahan-bahan
yang diperiksa beserta kunci determinasi yang memungkinkan dideterminasinya suatu bahan
yang belum dikenal. Berdasarkan korelasi data-data morfologi, geografi, dan sitogenetika
serta keterangan yang tersedia lainnya monografi itu mencoba juga mengungkapkan
interpretasi evolusi yang sudah dan akan terjadi dalam takson yang diteliti.
Seperti halnya dengan monografi maka revisi itu juga menyuguhkan batasan
takson-takson yang dicakupnya secara jelas, mengaturnya dalam kelompok
sealamiah-alamiahnya dan menyediakan jalan untuk memungkinkan dilakukannya
pendeterminasian. Hanya saja ruang lingkup revisi dapat lebih sempit dan sering hanya
mengupas anggota-anggota suatu marga dari suatu daerah atau hanya menangani sebagian
anggota suatu marga (mungkin suatu seksi daripada marga itu). Revisi seringkali lebih
bersifat analisis dan jarang mengupas soal-soal evolusi.
Tujuan utama penulisan flora suatu daerah ialah penyediaan suatu jalan untuk
mendeterminasi tumbuhan yang tumbuh dalam daerah itu. Karena itu dalam suatu flora
dimuat pertelaan dan kunci determinasi untuk semua jenis tumbuhan yang ada dalam sesuatu

49
daerah, data tentang ekologi dan persebaran, beserta beberapa keterangan lain sekadarnya.
Idealnya flora itu mencakup daerah yang memiliki batas alamiah (misalnya Flora Malesiana
yang meliputi Semenanjung Malaya, Filipina, Indonesia, dan Papua Nugini), tetapi
pertimbangan politik dapat menyebabkan flora itu ditulis berdasarkan negara (Flora Thailand,
Flora Indochina).
Untuk daerah yang floranya belum ditulis orang, maka biasanya disusun suatu
sensus jenis, sebuah checklist yang umumnya hanya memuat nama semua jenis beserta
keterangan penyebarannya, tapi tanpa kunci determinasi ataupun pertelaan jenis. Selain itu
atlas gambar-gambar atau atlas yang memuat peta penyebaran jenis-jenis juga dapat
merupakan salah satu cara penyajian kesimpulan penelitian botani sistematika.
Monografi, revisi, flora dan yang lainnya itu sudah mampu melayani keperluan botani
dengan baik. Kemajuan teknologi memungkinkan perbaikan cara penyajian perlayanan ini
sebab keterangan-keterangan faktual sekarang sudah dapat disimpan dan diambil kembali
secara automatis dengan bantuan komputer. Pertelaan, ilustrasi, peta dan informasi lain
dapat dimasukkan dalam pangkalan data di dunia maya (cyberspace) yang dapat
diprogramkan untuk menjawab segala pertanyaan yang mungkin timbul mengenai sesuatu
marga atau suku atau takson lainnya.

50
6. PENGERISTALAN

Keempat macam kegiatan sistematika––pengenalan, pertelaan, penggolongan dan


pengajian kekerabatan serta keanekaragaman––dapat dianggap sebagai tugas dan sekaligus
merupakan tujuan botani sistematika. Seperti sudah terlihat dari bab-bab terdahulu keempat
tujuan botani sistematika itu satu sama lainnya saling berpautan dan isi-mengisi, tapi
kadang-kadang juga tidak dapat dipertemukan sekaligus secara mudah.
Tujuan pertama botani sistematika ialah menyediakan jalan untuk memungkinkan
orang mengadakan pengenalan, penentuan, atau pendeterminasian semua jenis
tumbuh-tumbuhan yang ada di dunia ini. Untuk keperluan ini ahli-ahli botani sistematika
telah menciptakan sistem tata nama ilmiah yang universal, menyusun berbagai macam kunci
determinasi, menghimpun koleksi spesimen acuan, dan lain-lain lagi.
Jika tujuan pertama ini sudah tercapai maka tujuan-tujuan berikutnya dapat
dilaksanakan dengan efisien. Dengan sistem penyimpanan datanya yang unik itu maka semua
hal yang diketahui orang tentang tumbuh-tumbuhan dikumpulkan, disintesiskan dalam
pertelaan yang lengkap, lalu disatukan dalam bentuk penyajian data yang sesuai. Penyajian ini
dapat berupa suatu karangan yang bersifat umum, seperti misalnya monografi suku
kangkung-kangkungan Convolvulaceae, flora pulau Jawa, revisi marga Durio, dan
tulisan-tulisan sebangsanya. Semua keterangan yang terkumpul tadi dapat pula disajikan
dalam bentuk khusus, misalnya ensiklopedia tumbuh-tumbuhan ekonomi, buku pegangan
tentang ciri-ciri semai atau penyerbukan dan pembuahan, kumpulan keterangan tumbuhan
obat-obatan, pertelaan tanaman yang baik untuk sayur atau sebagai tanaman hias, daftar
tanaman penghasil minyak atsiri dan lain-lain lagi. Pengumpulan semua data yang lengkap
dipertelakan secara teratur itu merupakan tujuan kedua dari pada botani sistematika.
Tercapainya tujuan ini memungkinkan orang menarik keuntungan dari pengetahuan yang ada
dengan cepat. Dengan mengetahui semua jenis tumbuhan yang ada di suatu daerah tertentu,
misalnya, maka secara relatif orang dengan cepat akan dapat mengetahui subur tidaknya
tanah di situ, bagaimana pola iklimnya, berapa besar potensi daerah itu akan bahan pangan,
sandang dan papan, dan bahkan adakalanya mungkin pula untuk mengukur kekayaan mineral
yang dikandung daerah itu untuk keperluan pertambangan.
Berdasarkan hasil penelitian dalam merintis jalan untuk memungkinkan dilakukannya
pengenalan dan pencirian, orang mencoba mengatur tumbuh-tumbuhan dalam suatu sistem
klasifikasi. Terciptanya sistem klasifikasi ini merupakan tujuan utama ketiga botani
sistematika. Sistem klasifikasi yang tersusun sedapatdapatnya hendaklah mencerminkan jauh
dekatnya hubungan kekerabatan alamiah yang ada di antara tumbuh-tumbuhan itu, yang
sekaligus harus pula dapat mengungkapkan jalan evolusi tumbuhan. Sebenarnya hal ini
merupakan tujuan bersama yang ingin dicapai oleh semua macam klasifikasi yang sudah
dipaparkan dalam salah satu bab terdahulu, hanya saja tata cara pendekatannya yang

51
berlainan.
Dengan menggunakan tujuan-tujuan pertama, kedua, dan ketiga ini sebagai landasan
titik tolak orang mencoba mencapai tujuan yang, keempat dan terakhir. Dari segala
pengetahuan yang sudah tercapai itu dilakukan pengajian, analisis dan disintesiskan kembali
untuk memeroleh pengertian dasar ilmiah daripada keanekaragaman hubungan kekerabatan
tumbuh-tumbuhan, mengetahui bagaimana mekanisme terjadinya keanekaragaman itu,
menemukan proses-prosesnya serta memberikan penafsiran atau pendugaan hasilnya, atau
dengan perkataan lain memata-matai lintasan, mekanisme kerja, dan proses evolusi.
Untuk mencapai semua tujuan ini botani sistematika mengenal dua cara pendekatan,
yaitu pendekatan empirik dan pendekatan tafsiran. Pendekatan empirik didasarkan pada
fakta-fakta persebaran semua ciri yang dapat digali dari tumbuh-tumbuhan. Seperti dapat
diharapkan, hasilnya adalah suatu sistem klasifikasi dasar. Pendekatan tafsiran merupakan
kelanjutan yang wajar dari pada pendekatan empirik. Pada umumnya kegiatan pendekatan
tafsiran itu dilakukan dengan usaha memerbaiki sistem klasifikasi dasar tadi dengan
memberikan penafsiran dan pendugaan secara evolusi dengan istilah-istilah filogeni.
Berdasarkan kedua cara pendekatan tadi maka dikenal orang empat macam tahap
perkembangan botani sistematika. Tahap pertama biasa disebut tahap eksplorasi karena
kegiatan utamanya yang berupa penjelajahan daerah-daerah untuk mengumpulkan
contoh-contoh herbarium selengkaplengkapnya. Hasil-hasil yang diperoleh dideterminasi
dan diberi nama, dibuatkan pertelaan teknisnya, dan diadakan cacah jiwa seperlunya.
Sebenarnya tahap ini di Indonesia sudah dimulai sejak sebelum botani sistematika menjelma
sebagai ilmu yang teratur, berkat kegiatan pekerjaan yang dirintis oleh Rumphius dalam abad
XVII. Sekalipun demikian pekerjaan eksplorasi itu masih jauh dari mendekati penyelesaian,
sebab masih banyak daerah pedalaman Irian dan Kalimantan yang belum pernah didatangi
ahli-ahli botani. Akan tetapi hal ini tidak menghambat dimulainya tahap perkembangan
berikutnya, ialah tahap konsolidasi. Hal ini dimungkinkan oleh adanya aktivitas yang berarti
yang dilakukan oleh ahli-ahli Belanda dan ahli-ahli asing lainnya di Indonesia dalam masa dua
setengah abad terakhir ini. Hasil eksplorasi mereka sudah memberikan gambaran yang baik
tentang variasi geografi dari pada hampir semua jenis tumbuhan yang sudah dikenal.
Karenanya sudah dapatlah ditulis berbagai monografi dan revisi yang teliti beserta floranya
sekali. Puncak dari pada kegiatan ini ialah penulisan Flora Malesiana yang sekarang sedang
dilakukan oleh beberapa ahli dan yang hasilnya sebagian sudah diterbitkan.
Dengan terbitnya buku Flora of Java yang ditulis oleh Backer dan Bakhuizen van den
Brink dengan cermat dan lengkap maka botani sistematika di pulau Jawa sudah memasuki
tahap ketiga yaitu tahap biosistematika. Penelitian sistematika tumbuhan tinggi di Jawa
seharusnya tidak lagi didasarkan pada contoh-contoh herbarium yang terbatas jumlahnya,
tapi perlu memergunakan populasi dengan jumlah individu yang besar. Dengan demikian
dapatlah dikumpulkan data-tada tentang jumlah dan bentuk kromosom, ciri-ciri pembuahan,
sitologi kemantapan fenotipe dan genotipe, struktur populasi biotipe, genekologi dan
lain-lainnya. Pada saat ini data-data tentang susunan protein, karoten, alkaloid dan DNA
sudah mulai diperlukan peneliti-peneliti sistematika, sehingga sistematika molekular sudah

52
berada di ambang pintu. Penelitian biosistematika sekarang ini giat dilakukan di Eropah Barat,
Eropah utara, sebagian Amerika utara, Jepang dan beberapa tempat tertentu lainnya. Hal ini
dimungkinkah oleh adanya beberapa faktor yang menguntungkan di sana. Selain tersedianya
tenaga ahli, peralatan lengkap, dan biaya yang cukup, flora tempat-tempat itu sudah matang
diketahui dan jumlahnya relatif kecil (bandingkan saja misalnya pulau Jawa yang memunyai ±
6000 jenis tumbuhan dengan Inggeris Raya––yang luasnya 4 x pulau Jawa––yang hanya dihuni
oleh ±1500 jenis tumbuhan).
Sesudah penelitian-penelitian biosistematika itu menelorkan hasil yang banyak maka
sampailah kita pada tahap terakhir, yaitu tahap ensiklopedia. Tahap ini sebenarnya
merupakan tahap koordinasi tempat pengolah bersama dan menyintesiskan data-data yang
terkumpul dalam ketiga tahap sebelumnya. Berdasarkan semua data yang bermacam-macam
itu dan dengan pertolongan matematika modern beserta komputernya dapatlah disajikan
sejelas-jelasnya seluk beluk tentang macam-macam dan keanekaragaman tumbuh-tumbuhan
beserta segala hubungan kekerabatan yang ada di antara mereka.
Kedua tahap yang pertama, yaitu tahap eksplorasi dan tahap konsolidasi,
kadang-kadang disebut juga taksonomi alfa, taksonomi klasik, atau taksonomi ortodoks,
karena hasilnya hanyalah berupa sistem-sistem klasifikasi finetika seperti yang diciptakan
oleh de Candolle dan Bentham & Hooker. Taksonomi ini diharapkan akan berkembang
menjadi taksonomi omega atau taksonomi percobaan yang mampu menghasilkan suatu sistem
klasifikasi alamiah.
Botani sistematika dan cabang-cabang botani lainnya amat erat hubungannya dan
saling bergantung satu sama lainnya. Setiap biologiwan, entah apapun spesialisasinya asal ia
jujur kepada dirinya sendiri, pasti akan mengakui bahwa botani sistematika merupakan
pawang, penunjuk jalan, pandu, atau pionir botani, karena tanpa sistematika maka botani
tidak akan dapat berkembang dengan pesat dan efisien. Tetapi jarang sekali disadari orang
bahwa selain menjadi pramuka botani, sistematika juga merupakan ” halte ” (tempat
pemberhentian sementara) yang terakhir dari pada botani. Hal ini dapat terlihat jika kita
memahami sifat dan langkah kegiatan penelitian botani sistematika itu. Dalam memerbaiki
sistem klasifikasi maka semua data dan simpulan serta tambahan pengetahuan mutakhir dari
sejak cabang botani selalu akan diperhitungkan dan dikawinkan dengan data-data yang
diperoleh dari hasil pengamatan secara klasik. Semua data yang tersedia dari sumber mana
saja oleh botani sistematika selalu akan dicoba untuk diasimilasi, dikristalkan dan diambil pati
intisarinya untuk disintesiskan dalam suatu sistem klasifikasi alamiah, sehingga pantaslah jika
dikatakan bahwa botani sistematika itu merupakan sintesis yang tak berkesudahan. Karena
perkembangan teknik-teknik terbaru – – seperti penggunaan radio-isotop, mikroskop
elektron, kromatografi, mesin-mesin komputer––terus diikuti dikembangkan dan diterapkan
dalam praktek-praktek penelitian botani sistematika, maka dapatlah dikatakan bahwa ilmu
ini sebenarnya. bukanlah ilmu yang statis dan ortodoks serta selalu ketinggalan zaman.
Dengan demikian botani sistematika juga merupakan ilmu yang aktif bergerak di garis
terdepan dalam menjelajahi terra incognita ilmu pengetahuan.
Mengingat kodrat dan ruang lingkup yang dicakupnya maka tidaklah berlebihan jika

53
secara ideal seorang ahli botani sistematika harus memunyai beberapa kemampuan khusus,
agar dalam pekerjaannya dapat mencapai hasil yang maksimum. Botani sistematika itu
memunyai tradisi serta peraturan-peraturan yang bersimpang-siur dan sulit
menginterpretasikannya. Sebagai akibatnya seorang ahli botani sistematika itu perlu
mengerti dasar-dasar ilmu hukum untuk memungkinkannya mengikuti ketentuan-ketentuan
dalam Kode Internasional Tata Nama Tumbuh-tumbuhan. Mereka wajib memahami sejarah
geologi dan kebudayaan, memunyai pengetahuan tentang etnologi, dan wajib menguasai
geografi. Pengetahuan-pengetahuan ini akan diperlukan dalam hubungan sejarah dan
penyebaran tumbuhan melalui waktu dan ruang, serta peranan dan pengaruh manusia
terhadap penyebaran itu. Seorang ahli botani sistematika harus memiliki kemampuan
berkomunikasi dengan sempurna supaya tulisan-tulisannya mudah ditelaah, orang dan tidak
membosankan untuk dibaca, mengingat cara penyajian data datanya sudah ditentukan oleh
norma-norma yang penuh tradisi. Dalam hubungan ini mereka sebaiknya merupakan poliglot,
jadi menguasai berbagai bahasa asing agar dapat mudah mengikuti kemajuan botani yang di
tulis dalam berbagai bahasa oleh ahli-ahli dari Inggeris, Perancis, Jerman, Rusia, Belanda,
Spanyol, Jepang dan lain-lainnya. Dipunyainya kemampuan deduksi yang hebat seperti yang
dimiliki jago detektif Sherlock Holmes amatlah perlunya untuk dapat menelusuri dan
mengaitngaitkan data dari berbagai sumber. Begitu juga kepemilikan suatu daya ingatan
fotografi amat besar faedahnya karena akan memudahkan pelaksanaan determinasi. Seorang
ahli botani sistematika itu seyogyanya memunyai sifat petualang dan senang menjelajah
lapangan terbuka dan hutan belantara untuk mengumpulkan herbarium. Ia harus memunyai
kerakusan dan kekeranjingan seperti seorang pengumpul prangko dalam masalah-masalah
penambahan koleksi spesimen. Supaya mampu mengadakan sintesis ahli botani sistematika
harus dapat mengevaluasi, memilah, menggunakan data-data yang ada dan untuk ini ia
mutlak perlu menguasai berbagai cabang botani sebaikbaiknya. Besar sekali manfaatnya jika
ia pandai menggambar setidak-tidaknya membuat skema sebab ini dapat dipakai sebagai
kontrol hasil interpretasi atau pengertiannya tentang struktur yang diamatinya. Sebagai
pelengkap perlulah dikuasai dasar- dasar biokimia dan biometri sehingga penerapan
kemajuan bidang-bidang ini dalam botani sistematika dapat mudah dilaksanakannya.
Dengan sendirinya amatlah sulit untuk memenuhi semua persyaratan dan kualifikasi
yang diminta botani sistematika itu, yang kelihatannya merupakan kombinasi kualifikasi yang
mencakup ilmu dan seni sekaligus. Memang ada orang yang menyatakan bahwa botani
sistematika itu lebih berciri seni daripada ilmiah, It is more an art than science. Karenanya
ahli-ahli botani sistematika adakalanya dianggap sebagai ilmuwan berjiwa seni atau seniman
yang berilmu, bergantung dari segi mana kita mau melihat mereka. Akan tetapi perlu juga
diketahui bahwa dari segala cabang botani maka hanya dalam bidang botani sistematikalah
seorang amatir bisa menjadi tokoh yang disegani.
Mengingat bahwa 6000–7000 dari sekitar 40.000 jenis tumbuh-tumbuhan yang ada
di kawasan Malesia masih belum dikenal ilmu, jadi sama sekali masih belum diberi nama ilmiah,
maka Indonesia masih memerlukan satu batalion ahli botani sistematika dan ini hendaklah
dijadikan tantangan.

54
55
Lampiran

KLASIFIKASI TANAMAN BUDI DAYA

Asal Usul Pendomestikasian Tumbuhan

Manusia purba bersifat komunal, membentuk kelompok kecil yang mendukung


hidupnya dengan cara meramu (berburu hewan dan memungut bagian tumbuhan
termakankan––atau dapat dimakan––serta mengumpulkan produk sumber daya alam lain
yang diperlukannya) sehingga dari musim ke musim mereka hampir selalu berpindah tempat
sebagai nomad bila sumber kebutuhannya menipis. Untuk menaungi diri dari hujan dan cuaca
buruk lain serta berlindung dari ancaman bahaya mereka mungkin tinggal dalam gua-gua.
Pada siang hari kaum prianya umumnya aktif menjelajah alam untuk mencari makan,
sedangkan para wanitanya tinggal di belakang memelihara dan membesarkan anak-anaknya.
Lama-kelamaan di sekitar tempat berlindungnya menumpuk dan terserak sampah
sisa-sisa makanannya seperti kulit, tulang belulang, dan jeroan hewan, serta potongan umbi,
sulur berdaun, dan biji-bijian. Timbunan limbah yang kemudian membusuk itu pasti membuat
lingkungannya subur, sehingga biji-biji dan mata tunas tumbuhan yang terbuang bisa
berkecambah dan tumbuh membesar untuk berbunga serta berbuah. Lambat-laun akan
diketahuinya bahwa tetumbuhan yang berasal dari sisa makanannya tadi menghasilkan buah
dan bagian tumbuhan lain yang bisa dimakan atau dimanfaatkan. Tanpa disengaja terjadilah
proses ‘domestikasi’, fenomena keberhasilam membawa makhluk dari alam liar ke dalam
lingkungan hidup dekat permukimannya.
Diperkirakan bahwa satu keluarga batih yang terdiri atas sepasang tetua ibu dan
bapak beserta dua orang anaknya akan memerlukan tanah hutan seluas sekitar 1 kilometer
persegi atau 100 hektare untuk mendukung pola kehidupan meramu secara primitif tersebut.
Artinya mereka tidak perlu berbuat apa-apa kecuali langsung memungut saja apa yang
diperlukannya dari alam sekitarnya hari demi hari sepanjang tahun. Daya dukung
lingkungannya bisa tunak atau seimbang dinamis dengan kebutuhan dasar hidup manusianya
akan pangan (saat itu mereka tentu belum butuh sandang karena hampir tidak pernah
bertemu dengan manusia lain). Akan tetapi dengan bertambahnya anak keturunannya yang
juga harus dicukupi kebutuhan makanannya, kawasan hutan seluas 100 hektare tadi tidak
mencukupi lagi sehingga dayang dukungnya perlu ditingkatkan.
Untuk itu, sebagian lahan hutan ‘dipagari’agar kijang dan kelinci atau kambing hutan
tidak lari keluar, sedangkan tetumbuhan yang tidak menghasilkan buah, daun , atau umbi
yang bisa dimanfaatkan akan ditebang untuk diganti dengan jenis lain yang lebih berguna.
Terrjadilah ‘pertanian’, yaitu segala usaha manusia untuk meningkatkan hasil bumi. Dalam
upaya ini, tetumbuhan yang semula liar dan sekarang sudah menjadi tanaman yang dipelihara
lalu mulai dipilihi bentuk-bentuk yang hasilnya lebih menguntungkan karena produknya

56
banyak, lebih berkenan cita rasanya, dan lain-lain. Gulma yang menjadi pesaing tentu akan
disiangi, dan gangguan celeng dikurangi dengan membuat pagar sekeliling lahan pertaniannya.
Dengan demikian daya dukung daerah yang tadinya hanya culup untuk 4 orang, sekarang
mungkin mampu menghidupi sampai 16 orang. Dan demikianlah seterusnya selangkah demi
selangkah pertanian dimajukan untuk meningkatkan daya dukung lahan yang tadinya
terbatas . . ..
Perkembangan lebih lanjut upaya pertanian bisa menghasilkan produk yang melebihi
keperluan suatu kelompok sehingga dapat dilakukan pertukaran dengan kelompok lain yang
membutuhkannya. Dengan demikian ’pertanian’ lalu diberi definisi baru sehingga sekarang
bermakna segala upaya manusia dalam mengusahakan lahan untuk meningkatkan hasil
sumber daya hayati, termasuk pengolahan dan pemasaran produknya.

Sitotipe, Ekotipe, dan Subspesies

Untuk keperluan kegiatan penelitian, keanekaragaman tanaman budi daya yang ada
dicoba dikaitkan dengan variasi biasa yang dijumpai pada tumbuhan liar kerabatnya. Karena
umumnya diperoleh melalui seleksi yang bersifat artifisial, tanaman budi daya dapat
diklasifikasikan dengan lebih mudah. Dengan demikian variasi sifat cirinya seakan-akan
dapat diprediksi karena sengaja dibentuk dan diciptakan untuk memenuhi besarnya minat
dan kebutuhan manusia akan umbi, batang, daun, bunga, dan buah.
Jika diperhatikan variasi sifat ciri Beta maritima yang berperi laku hidup liar di dekat
pantai dan merupakan kerabat asal Beta vulgaris yang umum dibudidayakan di belahan bumi
utara untuk menghasilkan gula bit, terlihat bahwa kekerabatan di antara keduanya begitu
dekat sehingg tidak layak dibedakan menjadi dua jenis. Hasil serupa akan dijumpai kalau
diamati kacang buncis Phaseolus aborigineus dan Phaseolus vulgaris. Simpulan-simpulan ini
kemudian terbukti kebenarannya ketika orang berhasil melakukan persilangan di antara
keduanya untuk menghasilkan turunan-turunan yang peridi, yang membuktikan bahwa
kultivar tanaman budi daya dan takson tumbuhan liar kerabatnya tadi memang merupakan
satu jenis.
Guna memudahkan penanganannya, secara taksonomi orang lalu bersepakat untuk
menganggap populasi liar di alam sebagai suatu subspesies, begitu pula populasi tanaman
yang dibudiyakan di kebun-kebun sebagai suatu subspesies, dan populasinya yang kemudian
menggulma atau meliar kembali ke alam sebagai suatu subspecies yang lain lagi dari suatu
jenis yang sama.
Akan tetapi jangan menjadikan ini suatu dogma secara membabi buta.

Evolusi Tanamam Budi Daya

57
Jika beberapa tanaman budi daya terkenal seperti kacang tanah Arachis hypogea
atau cabai Capsicum annuum dipelajari asal-usulnya, terlihat keparalelan lintasan dan
tahapan evolusi yang telah dilaluinya selama berada dalam lingkungan kehidupan manusia.
Semuanya melalui tahap pertama berupa ‘ domestikasi ’ , dengan jalan memisahkan suatu
populasi langsung dari alam liar dan membawanya ke lingkungan pembudidayaan. Di sini tidak
terjadi sawar genetika (genetic barrier) sama sekali sehingga semua bahan genetikanya
bentuk liar dan yang sudah berhasil dijinakkan berada dalam sebuah lungkang gen (genetic
pool) bersama, yang masih dapat bebas saling dipertukarkan. Hanya saja karena manusia
terus memerbaiki kualitas buah dan bijinya serta bagian tanaman lain yang diperlukannya,
kemudian lalu tertampilkanlah perbedaan demi perbedaan. Kenyataan ini memudahkan orang
mengenal adanya specioid (semacam jenis), tetapi juga untuk menganggap kedua populasi
yang secara artifisial dipisahkan tadi sebagai dua subspesies yang berbeda.
Evolusi tahap kedua terjadi karena manusia lalu berupaya melakukan ‘partisi khusus’
dalam populasi yang sudah dapat dibudiyakannya tadi, sehingga dengan pelbagai kegiatan
dan pendekatan dihasilkanlah bentuk-bentuk ekotipe berdasarkan geografi, agronomi,
morfologi, lingkungan tertentu, perbedaan pemanfaatan, dan lain-lainnya lagi. Terjadilah
kultivar-kultivar yang secara umum sering terbentuk karena upaya seleksi dan adaptasi serta
pemuliaan yang tidak begitu intensif mengotak-atik potensi bahan genetikanya.
Adapun tahap ketiga evolusinya terjadi melalui pendekatan ‘atomisasi’ dalam upaya
manusia untuk menciptakan kultivar yang perbedaan satu sama lainnya bersifat renik,
misalnya pemuliaan khusus yang hanya melibatkan sejumlah kecil gen tetapi sangat
menentukan, seperti tersaksikan dalam bentuk GMO dan lain-lain.

Keseragaman Kultivar

Sebenarnya dalam kegiatan pertanian yang dipraktikkan orang di semua negara,


sudah umum dianut konsep untuk memisahkan tanaman budi daya dari kerabat tumbuhan
liarnya. Akan tetapi hanya di negara maju keberadaan kultivar yang secara khas terbedakan,
dan diproduksi secara massal dengan tingkat keseragaman yang tinggi, terus mendapat
perhatian bersungguh-sungguh dalam menjaga kestabilannya. Semua terjadi karena adanya
tuntutan konsumen didasarkan pada segi legal menurut undang-undang yang diberlakukan
secara bertaat asas. Pada pihak lain, di negara berkembang orang umum berdagang populasi
yang tidak terkendali identitas kultivarnya, sehingga juga tidak terjamin kestabilan
keseragamannya.
Untuk keperluan pembinaan keseragaman kultivar di masa depan saat segi hukum
yang memerhatikan kepentingan konsumen diberlakukan, maka kegiatannya tidak dapat
serempak dilaksanakan karena banyaknya jenis tanaman budi daya yang terlibat. Untuk itu
perlulah diperhatikan:
 pemerioritasan kultivar kasus-demi-kasus sesuai dengan kepentingan nasional

58
 upaya pengelasifikasian sebanyakbanyaknya kultivar yang mungkin ditangani
berdasarkan pendekatan morfologi dan agronomi dengan memanfaatkan data
biokimia dan sitologi
 pemilihan strategi reproduksi dan tekanan seleksi tepat untuk dimanfaatkan pada
kultivar yang paling banyak dibutuhkan masyarakat
 menghindari penciptaan sistem klasifikasi formal jika pola variasi tidak mencukupi,
dan sebaiknya satu saja sistem yang dipakai untuk tumbuhan liar dan tanaman budi
dayanya dengan tujuan pemanafaatannya untuk pemuliaan.
Sehubungan denga itu, maka sistem yang diusulkan untuk dipakai hendaklah
memenuhi persyaratan kemanfaatan yang bermultifungsi, antara lain
 menyatakan variasi alamiah karena didasarkan pada sifat ciri yang diketahui peri laku
dan manfaatnya untuk pemuliaan dan untuk pengenalan kultivar
 mudah dioperasikan
 dapat dilegalkan dan diatur sesuai keadaan dan keperluan
 berterima karena tunduk pada konvensi internasional (hierarki, kategori,
standardisasi, registrasi)

Kesinambungan Variasi

Karena kodratnya, variasi dalam suatu jenis memang harus selalu bersinambungan
sehingga keseluruhan populasinya bebas saling kawin-mengawini untuk bertukar gen.
Keperluan untuk melakukan penggolongan kultivar demi kepentingan konsumen
menghilangkan keberatan untuk melakukan pemotongan kesinambungan pada deretan variasi,
sekalipun pasti menimbulkan ketidakstabilan lekat diri pada sistem klasifikasi yang
dihasilkannya.
Secara mendasar klasifikasi infraspesies pada level kultivar sangat penting, sebab
akan diperlukan untuk 1) memertelakan pola variasi, guna memungkinkan 2) penyediaan
sarana pengacuan pada variasi tersebut, yang akan dapat 3) dimanfaatkan untuk membuat
orang tidak lupa pada sistem yang tersusun. Perlu disadari bahwa butir 1) dan 2) tidak
berdikotomi, dan bahwa butir 3) merupakan kelogisan asas sebab-akibat belaka.
Berdasarkan kenyataan bahwa sistem klasifikasi yang akan disusun akan selalu didasarkan
pada ciri variasi berkesinambungan, maka perlulah dikuasai penerapan teknik ordinasi dan
teknik kluster.
Sebagai sistem pengacuan, taksonomi tanaman budi daya perlu klasifikasi yang harus
memiliki nilai prediksi agar kemanfaatannya bisa maksimum. Menyadari bahwa yang akan
dibelah dan dikelompokkan adalah suatu kesinambungan, maka tidak diperlukan mencari
penggerombolan ciri yang bersifat alamiah. Karena tidak adanya bagian-bagian ciri yang
terisolasi secara menyendiri dan tersendiri, perlulah diciptakan daerah yang dapat dikatakan

59
merupakan rumpang taksonomi. Hanya saja perlu disadari bahwa sekalipun kisaran variasi
dapat dibelah/dipisahkan, klasifikasi yang didasarkan padanya pasti tidak stabil.
Penggunaan UPGMA sangat dianjurkan untuk pengelasifikasian tanaman budi daya.
Karena tujuan penciptaan klasifikasi adalah menyediakan sarana acuan untuk keperluan
komunikasi, batasan buatan yang terkesan ‘rapuh’ karena didasarkan pada kesinambungan
akan dapat diterima. Oleh karena itu, demi tercapainya tujuan yang besar manfaatnya,
belahkan kesinambungan yang tak dapat dihindari, tetapi terimalah kenyataan bahwa
batasan-batasan yang dihasilkannya hanyalah konvensi yang mungkin bersifat sementara dan
sangat artifisial. Hal serupa telah dipakai orang dalam melakukan klasifikasi vegetasi.

Inkongruensi sebagai Hambatan

Dalam pengelompokan tanaman budi daya sudah umum diketahui bahwa sistem yang
diciptakan berdasarkan ciri morfologi tidak selalu didukung data biokimia. Penelitian intensif
terhadap keanekaragaman di bawah jenis memang sering tidak selalu sesuai dengan kerangka
kaku tata nama formal. Penyebab utamanya adalah kenyataan bahwa langkah evolusi setiap
ciri tidak sama kepesatan lajunya. Tetapi ini tidak berarti biokimai versus morfologi, sebab
sering juga terjadi morfologi versus morfologi. Untuk itu perlu diingat adanya hipotesis
non-spesifik: Tidak ada satu gen yang secara eksklusif mengatur suatu kelas ciri morfologi.
Efek pleiotropi mungkin sangat berlaku di sini bahwa interaksi gen merefleksikan genotipe
yang menyeluruh, sehingga makin besar jumlah ciri yang dipakai makin meningkat kestabilan
klasifikasi yang dihasilkan (postulat Mahalanobis)
Pada pihak lain seleksi beraksi bebas secara tak berkaitan pada berbagai ciri,
sehingga terjadilah inkonguensi.

Tujuan Klasifikasi Tanaman Budi Daya

Klasifikasi tanaman budi daya dilakukan dengan jalan mengadakan 1) survai


variabilitas, 2) mengatur variasi yang terkenali dalam satuan-satuan klasifikasi, dan 3)
menafsirkan kekerabatannya. Data yang terhimpun akan memungkinkan dilakukannya
pelbagai kegiatan yang terkait dengan pencirian, seleksi, dan perbaikan bibit atau kultivar
melalui pemuliaan.
Muncul keraguan apakah hasilnya sahih secara ilmiah, bersifat informatif, dan
memang berguna sehingga termanfaatkan? Dapatkah hasil analisis semua pola variasi suatu
jenis nantinya dimasukkan dan diatur dalam suatu sistem klasifikasi? Karena diketahui
adanya gradasi variasi yang besar, mungkinkah mencari persaman versus perbedaan seperti
dilakukan dalam kegiatan penyusunan klasifikasi? Klasifikasi macam apa yang akan
diperlukan? Apa alasan keanekaragaman variasi yang besar tadi (strategi reproduksi

60
tanamannya, tekanan seleksi oleh manusia, atau murni proses evolusi alami), dan bagaimaan
memanfaatkannya? Lalu . . . akan dapatkah disusun dan dipakai sistem klasifikasi seperti
dikembangkan Linnaeus?
Idealnya memang hanya satu sistem saja yang dikembangkan dan dipakai. Akan
tetapi fakta lapangan menunjukkan bahwa tumbuhan liar lebih mudah disesuaikan dengan
sistem Linnaeus dan Kode Internasional untuk Tata Nama Ganggang, Jamur dan Tumbuhan,
sedangkan tanaman budi daya (sebagai hasil kreasi yang sengaja dirakit untuk menjawab
kebutuhan manusia yang terus meningkat) lebih cepat dapat diatur pemeringkatannya untuk
diranking secara buatan. Oleh karena itu perlulah disusun Kode Internasional Tata Nama
untuk Tanaman Budi Daya yang bersifat mandiri.
Untuk keperluan manusia yang sangat bersifat antroposentris, dan guna melindungi
konsumen serta membantu produsen dalam mencukupi permintaan pasar, dirasakan bahwa
upaya pertanian perlu memerhatikan agar produk yang dihasilkan dan diperjualbelikannya
nanti haruslah berupa kultivar (cultivated variety) yang bersifat distinct (terbedakan
sehingga harus true to type), uniform (seragam untuk menjamin kemurnian mutunya), dan
stable (mantap, karena akan menyangkut segi-segi hukum).

DUS: Keberbedaan, Keseragaman, dan Kestabilan

Perlu ditekankan bawa klasifikasi tanaman budi daya perlu dilakukan untuk
keperluan registrasi kultivar demi melindungi konsumen, yang membutuhkan bawa setiap
kultivar haruslah memiliki jaminan DUS: Keberbedaan, Keseragaman, dan Kestabilan. Jadi
kultivar haruslah tercirikan denagn satu atau beberapa ciri yang dapat dipertelakan dengan
jelas sehingga terbedakan dari kultivar lain kerabatnya. Semua ini hanya dimungkinkan kalau
ada suatu sistem klasifikasi sederhana yang bisa difungsikan untuk pelbagai keperluan.
Kesulitan muncul karena ciri yang tersedia lebih sering bersifat bersinambungan
secara kuantitatif yang umum diakui tidaklah sebaik ciri tidak berkesinambungan yang besifat
kualitatif. Sedapatdapatnya harus diupayakan untuk mencari ciri kuantitatif yang tidak
dipengaruhi lingkungan sehingga dapat diuji dalam keadaan terkontrol lingkungannya. Untuk
itu ciri tersebut hendaklah tidak kabur untuk diamati dan dapat mudah diuji dengan
menggunakan perlengkapan sederhana.
Karena sifatnya, diakui bahwa dalam banyak hal klasifikasi tanaman budi daya
bersifat artifisial karena penggolongan kultivar sering dilakukan hanya berdasarkan sejumlah
kecil ciri yang dipilih, sehingga terpaksa mengacuhkan ciri lain yang mungkin tersedia.
Klasifikasinya memang tidak alamiah karena tidak didasarkan pada semua ciri yang ada.
Padahal sudah luas diakui bahwa terdapat pelbagai kekurangan pada sistem yang bakal
disusun seperti terlihat pada Tabel 1.

61
Tabel 1. Perbandingan hasil klasifikasi alami dan buatan pada tanaman budi daya

Alami Buatan
menyatukakan kultivar serupa genetikanya kira-kira ya mungkin
mengelompokkan yang sama genealoginya ya tidak
bernilai prediktif tinggi rendah
kemudahan identifikasi sulit gampang

Untuk itu perlu disadari bahwa sistem yang disusun hanyalah bagus untuk keperluan
pengujian keberbedaan, keseragaman, dan kestabilan.

Pengelasifikasian Tanaman Budi Daya

Perkembangan taksonomi dalam dua dasawarsa terakhir menunjukkan terdapat


perbedaan asasi di antara klasifikasi botani dan klasifikasi tanaman budi daya. Kode
Internasional Tata Nama Ganggang, Jamur, dan Tumbuhan sangat menekankan latar
filogenetika, sedangkan Kode Internasional Tata Nama untuk Tanaman Budi Daya lebih
ditujukan untuk keperluan praktis. Oleh karena itu, jika botani taksonomi mengenal banyak
takson atau kategori berhierarki yang kompleks (antara lain filum, kelas, bangsa, suku,
marga, jenis, varietas dan forma), taksonomi kultivar hanya mengenal atau cukup
memerlukan dua kulton saja (yaitu grup dan kultivar).

62

Anda mungkin juga menyukai