Anda di halaman 1dari 194

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM KERJA LAPANGAN

EKOLOGI HEWAN
(ABKC 2602)
Disusun oleh :
Kelompok I
Fitriyani (1810119120022)
M. Helmi Rifa’i (1810119110018)
Nabila Ripda Maisa (1810119220025)
Rina Rahmawati (1810119120002)
Siti Rukmanah (1810119120010)
Asisten Dosen :
Maulida
Muhammad Arsyad, S.Pd.
Muhammad Guntur Al Ghani, S.Pd.
Muhammad Wahyu Maulana Sufit
Nur Abdi Suga S. S.Pd.
Nur Aulia Rahmah, S.Pd.
Siti Sarah, S.Pd.
Vika Wulansari Pohan, S.Pd.
Asisten Lapangan :
Ahmad Fazri Haekal Muhammad Mirza Fahlevi
Amalia Kusuma Devi Nada Salsabila, S.Pd.
Annisa Aliffira Syaumi Nida Hayati
Ayatul Fajrin, S.Pd., M.Pd. Nur Aulia Rahma
Dieny Aulia, S.Pd. Nurin Najwa
Evi Wulandari Nurul Wahdatun Nufus, S.Pd.
Ghina Hafizah Rahmi Murdiyanti, S.Pd.
Iim Mahayu Buana K.R., S.Pd. Rama Fara Nadha
Julita Hotmaida Boro Solin Rema Yulianti, S.Pd.
Kristina Febriana P., S.Pd. Rida Sita Dewi
Maulana Reza Irfandy Syifa Fauzia
M. Sarip Zaini Akbar
Meidita Alpisah Rina
Dosen Pengampu :
Dr. Dharmono, M.Si.
Drs. H. Hardiansyah, M.Si.
Mahrudin, S.Pd., M.Pd.
Maulana Khalid Riefani, S.Si., M.Sc., M.Pd.
Nurul Hidayati Utami, S.Pd., M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
MEI 2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Alhamdulillah, puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT.
Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahamt dan karunia-Nya lah kami dapat
menyelesaikan Laporan Akhir Praktikum Ekologi Hewan ini dengan tepat waktu.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada keharibaan kita Nabi besar
Muhammad SAW dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir zaman.
Dalam kesempatan ini izinkan kami untuk mengucapkan terimakasih
kepada :
1. Bapak Dr. Dharmono, M.Si., Bapak Drs. H. Hardiansyah, M.Si., Bapak
Mahrudin, S.Pd., M.Pd., Bapak Maulana Khalid Riefani, S.Si., M.Sc.,
M.Pd dan Ibu Nurul Hidayati Utami, S.Pd., M.Pd. selaku dosen
pengampu mata kuliah Praktikum Ekologi Hewan.
2. Kakak Maulida, Kakak Muhammad Wahyu Maulana Sufit, Kakak Nur
Abdi Suga S. S.Pd., dan Kakak Siti Sarah, S.Pd. selaku asisten dosen mata
kuliah Praktikum Ekologi Hewan yang telah memberikan arahan dan
bimbingan kepada kami selama melaksanakan praktikum.
3. Teman-teman, khususnya kelompok I yang telah memberikan saran, kritik
dan motivasinya selama bersama-sama mengikuti praktikum.
4. Serta semua pihak yang telah membantu sehingga laporan ini dapat
diselesaikan.
Kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada laporan akhir
praktikum ini dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengaharapkan
kritik dan saran yang membangun demi perbaikan kedepannya. Semoga laporan
ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Aamiin Ya Rabbal’alamin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Banjarmasin, Mei 2021

Kelompok I

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
PRAKTIKUM I Keanekaragaman Dan Kemelimpahan Arthropoda Tanah...........2
PRAKTIKUM II Keanekaragaman Dan Kemelimpahan Insekta Malam.............23
PRAKTIKUM III Pola Pembagian Niche Oleh Serangga.....................................51
PRAKTIKUM IV Keanekaragaman Hewan Serasah............................................64
PRAKTIKUM V Keanekaragaman Annelida........................................................88
PRAKTIKUM VI Keanekaragaman Dan Kemelimpahan Makrozoobentos.......103
PRAKTIKUM VII Menentukan Pola Penyebaran Hewan Pantai.......................119
PRAKTIKUM VIII Keanekaragaman Ordo Annura...........................................155
PRAKTIKUM IX Keanekaragaman Jenis Burung Aves.....................................171

ii
EKOLOGI HEWAN
(ABKC 2602)

PRAKTIKUM I
“Keanekaragaman Dan
Kemelimpahan Arthropoda
Tanah”

1
PRAKTIKUM I
Topik : Kemelimpahan dan Keanekaragaman Arthropoda tanah

Tujuan : Untuk mengetahui keanekaragaman dan kemelimpahan


Arthropoda tanah
Hari/tanggal : Sabtu-Minggu/03-04 April 2021

Tempat : Lingkungan Desa Sungai Bakau, Kecamatan Kurau,


Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan

I. ALAT DAN BAHAN


A. Alat:
1. Gelas pop ice bekas
2. Atap seng
3. Penggali lubang (linggis, parang,sekop)
4. Patok paku
5. Plastik sampel 
6. Kertas label 
7. Termometer
8. pH meter
9. Hygrometer
10. Soil tester
11. Lux meter
12. Anemometer 
13. Alat tulis 
14. Alat dokumentasi
B. Bahan
1. Larutan deterjen
2. Air
3. Kain kasa

2
II. CARA KERJA
1. Memilih beberapa lokasi yang akan diletakkan perangkap, yang dibagi
menjadi 2 lokasi yaitu daerah ternaung, daerah semak, dan daerah terdedah. 
2. Menggali lubang setinggi gelas pop ice dengan menggunakan penggali
lubang.
3. Menempatkan gelas pop ice bekas pada lubang tersebut sejajar dengan tanah.
4. Mengisi dengan larutan deterjen ± ½ isi gelas.
5. Meletakkan atap seng di atas gelas perangkap untuk menghindari masuknya
air hujan dengan menggunakan patok paku.
6. Mencatat faktor lingkungan seperti suhu udara, kelembaban udara, pH tanah
dan kelembaban tanah pada saat meletakkan perangkap dan pengambilan
perangkap.
7. Membiarkan perangkap tersebut selama beberapa waktu yaitu :
 Untuk arthropoda siang dari pukul 6 pagi s/d 6 sore
 Untuk arthropoda malam dari pukul 6 sore s/d 6 pagi
8. Setelah selang waktu demikian, mengambil perangkap tersebut dan hewan
yang terjebak di dalamnya, menyisihkannya ke dalam cawan khusus dan
memberi tanda.
8. Mengamati hewan temuan dengan menggunakan loup untuk
mengeidentifikasi sampai ke tingkat spesies dengan buku identifikasi.
9. Menghitung keanekaragaman dan kemelimpahannya
Kerapatan (K) =  jumlah individu suatu spesies titik
Kerapatan Relatif (KR) = kerapatan suatu species x 100%  kerapatan
seluruh species 
Frekuensi (F) = jumlah jebakan  yang ditempati suatu spesies
jumlah seluruh jebakan
Frekuensi Relatif (FR) = jumlah frekuensi suatu spesies x 100% jumlah
frekuensi seluruh species 
NP = KR + FR
H = -Pi log Pi
Pi = n/N

3
n = jumlah individu suatu species
N = jumlah seluruh individu

III. TEORI DASAR


Tanah merupakan suatu materi dimana berbagai macam kehidupan
terdapat padanya. Tanah terbentuk sebagai akibat adanya proses komposisi
yang dilakukan oleh flora dan fauna tanah.
Ada banyak sekali fauna terdapat pada tanah mulai berukura kecil hingga
yang berukuran besar. Berdasarkan ukuran tubunya, Odum, E. (1993) memilih
fauna tersebut ke dalam tiga kelompok, yaitu:
1. Mikrofauna : kelompok yang ukuran tubuhnya berkisar 20-200 mikron,
misalnya : protozoa, Acarina, Nematoda, Rotifera, trdigrada dan sebagainya.
2. Mesofauna : kelompok yang memiliki ukuran tubuh berkisar antara 200
mikron – 1 cm, misalnya : Acarina, Colembola, Nematoda, serangga, isopoda
dan sebagainya.
3. Makrofauna : kelompok yang mempunyai ukuran tubuh lebih besar dari 1
cm, misalnya : Megascolidae, Molusca, Insecta, Arachnida dan vertebrata
kecil.
Kemelimpahan dan keanekaragamanfauna atau dalam tanah dipengaruhi
oleh berbegai factor lingkungan antara lain : vegetasi tanah, suhu tanah, pH
tanah, kadar air, atmosfir tanah, dan profil tanah (Odum, E. 1993).
Untuk penyelidikan keanekaragaman dan kemelimpahan fauna tanah
dapat dengan menggunakan beberapa metode pengambilan atau pemisahan
fauna tanah, diantaranya dengan menggunakan : perangkap jebak (pit fall
trape), corong Barless Tulgren dan metode mekanik.

4
IV. HASIL PENGAMATAN
A. Tabel Hasil Pengamatan dan Perhitungan
1. Tabel Hasil Pengamatan dan Perhitungan
Titik ∑ ∑ (-)
K KR % F FR % NP % Pi H'
No Nama 03:00 06:00 14:00 Ind Cup pilnpi
. Spesies 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
2
Tegenaria 0,07
1 6 5 0,500 7,143 0,417 21,739 28,882 0,189  
domestica 1 1         1   1 2     1
Teleogryllus 0,06
2 5 4 0,417 5,952 0,333 17,391 23,344 0,168  
mitratus 2 1 1     1             0
Stegobium 0,02
3 2 2 0,167 2,381 0,167 8,696 11,077 0,089  
paniceum   1           1         4
Drosophila
0,06
4 melanogaste 5 1 0,417 5,952 0,083 4,348 10,300 0,168  
0
r 5                      
Lasius niger 0,27
5 23 2 1,917 27,381 0,167 8,696 36,077 0,355 1,848
  21 2                   4
Valanga 0,02
6 2 1 0,167 2,381 0,083 4,348 6,729 0,089  
nigricornis       2                 4
Oecophylla 0,21
7 18 3 1,500 21,429 0,250 13,043 34,472 0,330  
smaragdina         7     5     6   4
Tapinoma 0,23
8 20 3 1,667 23,810 0,250 13,043 36,853 0,342  
sessile           6         9 5 8
Nebria 0,03
9 3 2 0,250 3,571 0,167 8,696 12,267 0,119  
brevicollis             1     2     6

5
100,00 100,00 200,00 1,00
8 24 3 2 7 7 2 6 1 4 15 5 84 23 7,000 1,917 1,848 1,848
∑ 0 0 0 0
Kesimpulan : Jadi, Keanekaragaman dan Kemelimpahan dari Arthropoda Tanah adalah sedang karena 1 ≤ H' ≤ 3 yakni 1,848

Indeks Keanekaragaman
H' < 1 Rendah
1 ≤ H' ≤ 3 Sedang
H' > 3 Tinggi

2. Contoh Perhitungan Untuk Tegenaria domestica


K = (Ind) / (Titik) = 6 / 12 = 0,500
KR = (∑ Kindividu) / (∑ K) x 100% = 0,500 / 7,000 x 100% = 7,143%
F = (Cup) / (Titik) = 5 / 12 = 0,417
FR = (∑ Findividu) / (∑ F) x 100% = 0,417 / 1,917 x 100% = 21,739%
NP = KR + FR = 7,143 + 21,739 = 28,882
Pi = n / N = 6 / 84 = 0,071
-Pi Ln Pi = (-0,071) Ln (0,071) = 0,189

B. Tabel Parameter
1. Pukul 00:00 WITA
Pengulangan
Nama alat Pengukuran Kisaran

6
Max 0,5 m/s 2,1 m/s 1,4 m/s
Min 64,20% 62,70% 65%
62,7-67,5 %
Max 64,40% 65,7% 67,50%
Hygrometer (%)
80% 80% 80%
  80-100%
100% 100% 100%
Altimeter (mdpl)   1 mdpl 1 mdpl 1mdpl 1 mdpl

2. Pukul 03:00 WITA


Pengulangan
Nama alat Pengukuran Kisaran
1 2 3
pH 7 6,5 7 6,5-7
Soil Tester
Kelembaban (%) 70% 70% 75% 70-75 %
25˚C 25˚C 25˚C
Termometer (˚C) Suhu 30˚C 30˚C 30˚C 25-30˚C
26˚C 28˚C 28˚C
Min 0 lux 0 lux 0 lux
Lux meter (Lux) 0 lux
Max 0 lux 0 lux 0 lux
Hygrometer (%)   80% 80% 80% 80%
Min 0,5 m/s 0,4 m/s 0,3 m/s 0,3-0,5 m/s
Anemometer (m/s) Max 0,5 m/s 2,1 m/s 1,4 m/s 0,5-2,1 m/s
Altimeter (mdpl)   1 mdpl 1 mdpl 1 mdpl 1 mdpl

7
3. Pukul 06:00 WITA
Pengulangan Kisaran
Nama alat Pengukuran
1 2 3
pH 7 7 7 7
Soil tester
Kelembaban (%) 10% 10% 10% 10%
Termometer (˚C) Suhu 25˚C 25˚C 25˚C 25˚C
Min 4280 lux 6080 lux 13290 lux
Lux meter (Lux) 3280-19000 lux
Max 11480 lux 8400 lux 19000 lux
Min 0,5 m/s 0,4 m/s 0,3 m/s
Anemometer (m/s) 0,3-2,1 m/s
Max 0,5 m/s 2,1 m/s 1,4 m/s
Hygrometer (%) Min 64,20% 62,70% 65% 62,7-67,5%
Max 64,40% 65,70% 67,50%
1mdpl 1mdpl 1mdpl 1mdpl
Altimeter (mdpl)  
1mdpl 1mdpl 1mdpl 1mdpl

4. Pukul 14:00 WITA


Pengulangan Kisaran
Nama alat Pengukuran
1 2 3
pH 7 7 6,9 6,9-7
Soil Tester
Kelembaban (%) 50% 52% 53% 50-53%

Termometer (˚C) Suhu 33˚C 31˚C 30˚C 30-33˚C

8
Min 1670 lux 3500 lux 3450 lux 1670 - > 20000
Luxmeter (Lux)
Max >20.000 lux >20.000 lux >20.000 lux lux
Min 0,1 m/s 1,2 m/s 1,2 m/s
Anemometer (m/s) 0,1-2,9 m/s
Max 0,9 m/s 1,6 m/s 2,9 m/s
Min 80,40% 72,30% 68,40%
Hygrometer (%) 68,4-81,80%
Max 81,80% 81,60% 71,20%
Altimeter (mdpl)   -1mdpl -1mdpl -1mdpl -1mdpl

9
C. Foto Hasil Pengamatan dan Literatur
No Nama Nama Foto Pengamatan Foto Literatur
Indonesia Ilmiah
1. Laba-laba Tegenaria
berkaki domestica
panjang

(Sumber : Dok. Kel 1, (Sumber : Sollfors,


2021) 2006)
2. Jangkrik Teleogryllus
Bering mitratus

(Sumber : Dok. Kel 1, (Sumber : Tao, 2012)


2021)
3. Kumbang Stegobium
Biskuit paniceum

(Sumber : Dok.Kel 1, (Sumber : Gallura,


2021) 2021)
4. Lalat Buah Drosophila
melanogaste
r

(Sumber : Dok. Kel 1, (Sumber : Breugel,


2021) 2016)

10
5. Semut Lasius niger
Kebun
Hitam

(Sumber : Dok. Kel 1, (Sumber : Pfeiffer,


2021) 2012)
6. Belalang Valanga
Kayu nigricornis

(Sumber : Dok. Kel 1, (Sumber : Utami,


2021) 2017)
7. Semut Oecophylla
Rangrang smaragdina

(Sumber : Dok. Kel 1, (Sumber : Kumpe,


2021) 2014)
8. Semut Bau Tapinoma
sessile

(Sumber : Dok. Kel 1, (Sumber : Wild, 2019)


2021)

11
9. Kumbang Nebria
tanah brevicollis

(Sumber : Dok. Kel 1, (Sumber : Khramov,


2021) 2017)

12
V. ANALISIS DATA
Pada topik praktikum kali ini, kami mengamati keanekaragaman dan
kemelimpahan Arthropoda Tanah. Pengamatan dilakukan di area terdedah dan
terdapat 3 kali pengamatan yang kami lakukan yaitu pada pagi hari tepatnya
pukul (03:00), (06:00), dan yang terakhir pukul (14:00) siang hari. Pada
pengamatan praktikum arthropoda tanah diarea terdedah banyak ditemukan
spesies Lasius niger atau biasa dikenal sebagai semut kebun hitam dengan
jumlah keseluruhan yakni 23. Pengamatan yang kami lakukan dilapangan
menggunakan metode perangkap jebak pitfall trap, yakni pengambilan sampel
dilakukan dengan cara melubangi tanah sesuai dengan ukuran dan tingginya
pitfal trap, kemudian meletakkan gelas pop ice pada masing-masing lubang
dengan mengusahakan mulut gelas rata dengan permukaan tanah, dapat juga
membuat posisi tanah landai menuju mulut gelas yang harapannya
memudahkan serangga mudah masuk atau terdorong ke dalam gelas. Setelah
itu gelas perangkap tersebut diberikan larutan sabun, lalu diberikan naungan
dengan menggunakan seng yang dipaku menyerupai tenda agar terlindungi dari
hujan. Larutan sabun berfungsi sebagai perekat arthropoda yang masuk
kedalam lubang tersebut dan terperangkap hingga tidak dapat keluar. Selain itu
penggunaan larutan sabun juga berfungsi agar spesies yang terjebak tidak
mudah hancur saat akan dilakukan pengamatan.
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah kami lakukan ditempat
terdedah, pada pengamatan pertama dipagi hari tepatnya pukul 03:00
ditemukan beberapa spesies yakni 2 Tegenaria domestica, 4 Teleogryllus
mitratus, 1 Stegobium paniceum, 5 Drosophila melanogaster, 23 Lasius niger,
dan 2 Valanga nigricornis. Pengamatan selanjutnya pada pagi hari tepatnya
pukul 06:00 ditemukan adanya spesies Tegenaria domestica 1, Teleogryllus
mitratus 1, Stegobium paniceum 1, Oecophylla smaragdina 12, Tapinoma
sessile 6, dan Nebria brevicollis 1. Pengamatan terakhir pada pukul 14:00 siang
hari ditemukan beberapa sepesies diantaranya 3 Tegenaria domestica, 6
Oecophylla smaragdina, 14 Tapinoma sessile, dan 2 Nebria brevicollis.

13
Sehingga didapatkan kesimpulan yakni keanekaragaman dan Kemelimpahan
dari Arthropoda Tanah adalah sedang karena 1 ≤ H' ≤ 3 yakni 1,848.
Adanya perbedaan keanekaragaman arthropoda tanah di daerah ternaung
dan terdedah disebabkan banyak faktor salah satunya adalah tersedianya
makanan dengan kualitas yang cocok dan kuantitas yang cukup akan
menyebabkan perbedaan keanekaragaman pada dua daerah tersebut.
Arthropoda tanah merupakan Arthropoda yang melakukan aktivitas makan,
reproduksi, dan aktivitas mencari makan di tanah. Arthropoda tanah berperan
penting dalam peningkatan kesuburan tanah dan penghancuran serasah serta
sisa-sisa bahan organic. Arthropoda tanah sebagai komponen biotic pada
ekosistem tanah sangat tergantung pada faktor lingkungan. Perubahan faktor
fisika kimia tanah berpengaruh terhadap kepadatan hewan tanah (Fatmala,
2017).
Arthropoda tanah memiliki peran yang sangat vital dalam rantai makanan
khususnya sebagai dekomposer, karena tanpa organisme ini alam tidak akan
dapat mendaur ulang bahan organik. Selain itu, arthropoda juga berperan
sebagai mangsa bagi predator kecil yang lain, sehingga akan menjaga
kelangsungan arthropoda yang lain. Sebagai konsekuensi struktur komunitas
mikro arthropoda akan mencerminkan faktor lingkungan yang berpengaruh
terhadap tanah, termasuk terhadap aktivitas manusia. Berdasarkan uraian di
atas maka identifikasi kelimpahan serta keanekaragaman jenis merupakan hal
yang penting, sehingga dapat diketahui peran organisme terhadap lingkungan
(Samudra, dkk, 2013).
Berdasarkan hasil tabel perhitungan diketahui bahwa spesies arthropoda
tanah terdedah di kawasan lingkungan Desa Sungai Bakau, Kecamatan
Takisung, Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan memiliki nilai
angka penting sebagai berikut. Spesies yang memiliki nilai angka penting
paling besar adalah Tapinoma sessile sebesar 36,853%, sedangkan spesies
yang memiliki nilai angka penting paling rendah yaitu Valanga nigricornis
sebesar 6,729%. Besarnya indeks nilai penting menunjukkan peranan jenis
yang bersangkutan dalam komunitasnya atau pada lokasi penelitian. Sehingga

14
dari pengamatan yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa vegetasi dominan
yang tersebar pada hutan lingkungan Desa Sungai Bakau, Kecamatan
Takisung, Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan adalah spesies
Tapinoma sessile.
Indeks Nilai Penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan dominasi
suatu jenis terhadap jenis lainnya atau dengan kata lain nilai penting
menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis dalam komunitas. Indeks
Nilai Penting dihitung berdasarkan penjumlahan nilai Kerapatan Relatif (KR),
Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR), (Rahmadi, 2013).
Pada saat pengamatan juga diukur kelembapan tanah, diketahui bahwa
pada daerah terdedah kelembapan tanah berbeda-beda pada setiap waktunya.
Pada pengukuran pertama pemasangan perangkap pukul (00:00) kelembaban
tanah yakni 70%, pada pukul (03:00) kelembaban tanah bekisar 70-75%, pukul
(06:00) kelembaban tanah 10%, sedangkan pada siang hari pukul (14:00)
kelembaban tanah berkisar antara 50-53%. Kelembaban juga memberi
pengaruh yang dapat mengurangi spesies arthropoda permukaan tanah.
Kelembaban tanah memberikan efek membatasi pertumbuhan organisme
apabila keadaan kelembaban ekstrim tinggi atau rendah, selain itu kelembaban
tanah juga sangat mempengaruhi nitrifikasi, kelembaban tinggi lebih baik bagi
hewan tanah dari pada kelembaban rendah.
Athropoda tanah berperan dalam siklus daur ulang organik diwilayah
suatu ekosistem. Selain itu Arthropoda tanah berperan sebagai parasitoid
(hidup sebagai parasit pada serangga lain), predator atau pemangsa, penyerbuk,
dan penular vektor bibit penyakit tertentu. Dengan adanya Arthropoda tanah,
dapat dijadikan sebagai indikator kualitas tanah dan sebagai agen dekomposer
di wilayah tersebut (Rahmat, 2013).
Temperatur yang paling efektif bagi Anthropoda yaitu temperatur
minimum 15˚ C, temperatur optimum 25˚C, dan temperatur maksimum 45˚C
Jumar (2000) dalam Faradila (2019).
Menurut Erawati (2010) Faktor lingkungan sangat berperang penting
dalam menentukan berbagai pola penyebaran arthropoda permukaan tanah.

15
Adapun faktor yang mempengaruhi keanekaragaman arthropoda permukaan
tanah meliputi faktor biotik dan faktor abiotik yang bekerja bersama-sama
dalam suatu ekosistem, menentukan kehadiran, kelimpahan dan penampilan
organisme.

Faktor Biotik:
a. Kemampuan Berkembang biak
Kemampuan berkembangbiak spesies arthropoda permukaan tanah
dipengaruhi oleh fekunditas serta waktu perkembangan (kecepatan
berkembangbiak). Natalitas adalah besarnya kemampuan suatu jenis
arthropoda permukaan tanah untuk melahirkan keturunan baru. Arthropoda
umumnya memiliki tingkat natalitas yang tinggi, sedangkan fekunditas
(kesuburan) adalah kemampuan yang dimiliki oleh seekor arthropoda betina
untuk memproduksi telur.
b. Perbandingan Kelamin
Perbandingan kelamin adalah perbandingan antara jumlah individu
jantan dan betina yang diturunkan oleh arthropoda betina. Perbandingan
kelamin ini pada umumnya adalah 1:1, akan tetapi karena pengaruh
terntentu baik faktor dalam maupun faktor luar seperti keadaan musim dan
kepadatan populasi, maka perbandingan kelamin ini dapat berubah.
c. Faktor Makanan
Pengaruh jenis makanan, kandungan air dalam makanan dan besarnya
butiran mineral juga berpengaruh terhadap perkembangan suatu spesies
arthropoda permukaan tanah. Masing-masing jenis arthropoda memiliki
kisaran makanan (inang) dari satu sampai banyak makanan (inang).
d. Faktor Hayati
Faktor hayati adalah faktor-faktor hidup yang di lingkungan dapat
berupa arthropoda, binatang lainnya, jamur, bakteri, virus dan lain-lain.
Organisme tersebut dapat menghambat atau mengganggu perkembangan
arthropoda permukaan tanah karena membunuh, menekannya, memarasit,

16
menjadi penyakit, bersaing (berkompetisi) dalam mencari makanan atau
bersaing dalam gerka ruang hidup.

Faktor Abiotik :
a. Suhu
Arthropoda permukaan tanah memiliki kisaran suhu tertentu dimana
spesies tersebut dapat hidup, di luar kisaran suhu tersebut arthropoda akan
mati kedinginan atau kepanasan. Pengaruh suhu jelas terlihat pada proses
fisiologi arthropoda. Umumnya kisaran suhu minimum 15 C, suhu optimum
25C dan suhu maksimu 45
b. Kelembaban
Kelembaban tanah, udara, dan tempat hidup arthropoda permukaan
tanah merupakan faktor yang mempengaruhi distribusi, kegiatan dan
perkembangannya. Umumnya arthropoda permukaan tanah lebih tahan
terhadap daerah yang mengandung banyak air, bahkan beberapa arthropoda
yang bukan arthropoda perairan dapat tersebar karena hanyut bersama air.
c. pH Tanah
pH tanah sangat penting dalam ekologi hewan tanah karena
keberadaan dan kepadatan hewan tanah sangat tergantung pada pH tanah.
pH tanah dapat menjadikan organisme mengalami kehidupan yang tidak
sempurna atau bahkan akan mati pada kondisi pH yang terlalu asam atau
terlalu basa. Arthropoda permukaan tanah yang dapat hidup pada tanah yang
memiliki pHnya asam dan basa, yaitu Collembola. Oleh sebab itu,
pengukuran pH tanah sangat penting dalam ekologi hewan tanah, karena
keberadaan arthropoda permukaan tanah sangat tergantung pada pH tanah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keanekaragaman suatu spesies adalah
sebagai berikut:
1.      Waktu
Keragaman komunitas bertambah sejalan dengan waktu, berarti
komunitas tua yang sudah lama berkembang, lebih banyak terdapat
organisme dari pada komunitas muda yang belum berkembang.  Dalam

17
ekologi, waktu dapat berjalan lebih pendek atau hanya sampai puluhan
generasi. Keragaman jenis suatu komunitas bergantung pada kecepatan
penambahan jenis melalui evolusi tetapi bergantung pula pada kecepatan
hilang jenis  melalui kepenuhan dan emigrasi.
2.      Heterogenitas ruang
Semakin heterogen suatu lingkungan fisik semakin kompleks
komunitas flora dan fauna di tempat tersebut dan semakin tinggi keragaman
jenisnya. Faktor  heterogenitas berlaku pada skala makro maupun mikro.
3.      Kompetisi
Terjadi apabila sejumlah organisme (dari spesies yang sama atau yang
berbeda) menggunakan sumber yang sama ketersediaannya kurang, atau
walaupun ketersediaan sumber tersebut cukup namun persaingan tetap
terjadi  juga bila organisme-organisme itu memanfaatkan sumber tersebut,
yang satu menyerang yang lain atau sebaliknya.
4.      Pemangsaan
Pemangsaan yang mempertahankan komunitas populasi dari jenis
bersaing yang berbeda dibawah daya dukung masing-masing selalu
memperbesar kemungkinan hidup berdampingan sehingga mempertinggi
keragaman, apabila intensitas dari pemengsaan terlalu tinggi atau terlalu
rendah dapat menurunkan keragaman jenis.
5.      Kestabilan Iklim
Makin stabil keadaan suhu, kelembaban, salinitas, pH dalam suatu
lingkungan yang stabil lebih memungkinkan keberlangsungan evolusi.
6.      Prduktivitas merupakan syarat mutlak untuk keanekaragaman yang tinggi.
Keenam faktor ini saling berinteraksi untuk menetapkan keanekaragaman
jenis dalam komunitas yang berbeda. Keanekaragaman spesies sangatlah
penting dalam menetukan batas kerusakan yang dilakukan terhadap sistem
alam akibat turut campur tangan manusia. Dalam keadaan ekosistem yang
stabil, populasi suatu jenis organisme selalu dalam keadaan keseimbangan
dengan populasi organisme lainnya dalam komunitasnya. Keseimbangan ini
terjadi karena adanya mekanisme pengendalian yang bekerja secara umpan

18
balik negatif yang berjalan pada tingkat antar spesies (persaingan, predasi) dan
tingkat inter spesies (persaingan, teritorial).

19
VI. KESIMPULAN
1. Arthropoda tanah merupakan Arthropoda yang melakukan aktivitas makan,
reproduksi, dan aktivitas mencari makan di tanah.
2. Arthropoda tanah memiliki peran yang sangat vital dalam rantai makanan
khususnya sebagai dekomposer, karena tanpa organisme ini alam tidak akan
dapat mendaur ulang bahan organik.
3. Keanekaragaman arthropoda tanah yang terdapat di daerah terdedah termasuk
kategori sedang, karena 1 ≤ H' ≤ 3 yakni 1,848.
4. Spesies arthropoda tanah yang ditemukan pada daerah terdedah sebanyak 9
spesies, yakni Tegenaria domestica, Teleogryllus mitratus, Stegobium
paniceum, Drosophila melanogaster, Lasius niger, Valanga nigricornis,
Oecophylla smaragdina, Tapinoma sessile, dan Nebria brevicollis.
5. Kemelimpahan dan keanekaragaman Arthoropoda tanah dipengaruhi oleh
berbagai faktor lingkungan diantaranya suhu, pH tanah, kelembaban udara, dan
kelembaban tanah.

20
VII. DAFTAR PUSTAKA
Breugel, Van Floris. (2016). Fruit Fly (Drosophila melanogaster) Female
(Left) and Male (Right). Diakses melalui https://www.naturepl.com.
Pada tanggal 14 April 2021.

Erawaty, dan Kahono. (2018). ”Keanekaragaman dan kemelimpahan belalalng


dan kerabatnya Dua Ekosistem Pegunungan di Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak. Jurnal Entomol Indonesia, Vol 7 No 2.

Fatmala, Lisa. (2017). Keanekaragaman Arthropoda Permukaan Tanah Di


Bawah Tegakan Vegetasi Pinus (Pinus merkusii) Tahura Pocut
Meurah Intan Sebagai Referensi Praktikum Ekologi Hewan. Melalui
https://repository.ar-raniry.ac.id/1339/1/skripsi.pdf. Diakses pada
tanggal 19 Mei 2021.

Gallura, (2021). Stegobium Paniceum. Diakses melalui


https://www.galluradisinfestazioni.com/ pada tanggal 15 April 2021.

Khramov, Peter. (2017). Nebria brevicollis (Fabricius, 1792). Diakses melalui


http://insecta.pro.com. Pada tanggal 14 April 2021.

Kumpe, L. (2014). Rangrang Oecophylla smaragdina. Diakses melalui


https://www.inaturalist.org pada tanggal 27 April 2021.

Odum, E. (1993). Dasar-Dasar Ekologi. Yogyakarta : UGM Press.

Pfeiffer, Martin. (2012). Lasius niger lateral. Diakses melalui


http://www.antbase.net/. Pada tanggal 14 April 2021.

Rahmadi, Cahyo. (2013). Keanekaragaman Arthropoda Tanah Di Lantai


Hutan Kawasan Hulu Sungai Katingan Kalimantan Tengah. Jurnal
Berita Biologi Vol. 6 No. 4.

Rahmat, (2013). Pelatihan Inventarisasi dan Monitoring Flora dan Fauna


(Serangga), Bandung.

Samudra, Ferdianto Budi., Izzati, Munifatul., dan Purnaweni, Hartuti. (2013).


Kemelimpahan Dan Keanekaragaman Arthropoda Tanah Di Lahan
Sayuran Organic “Urban Farming”. Jurnal Prosiding Seminar
Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan. Vol. 2
No.1 : 190-196.

Sollfors, Stefan. (2006). Tegenaria domestica. Diakses melalui


https://www.eurospiders.com. Pada tanggal 14 April 2021.

21
Tao, Zhang. (2012). Teleogryllus mitratus (Burmeister, 1838). Diakses melalui
https://www.flickr.com. Pada tanggal 14 April 2021.

Utami. (2017). Mengenal Klasifikasi Belalang Kayu di Indonesia. Diakses


melalui https://plasticdeath.com. Pada tanggal 14 April 2021.

Wild, Alexander. L. (2019). Tapinoma sessile. Diakses melalui


https://www.antkey.org. pada tanggal 14 April 2021.

22
EKOLOGI HEWAN
(ABKC 2602)

PRAKTIKUM II
“Keanekaragaman Dan
Kemelimpahan Insekta
Malam”

23
PRAKTIKUM II
Topik : Kemelimpahan dan Keanekaragaman Insekta Malam

Tujuan : Untuk Mendeskripsikan Kemelimpahan, Keanekaragaman


Jenis dan Jumlah Insekta Malam
Hari/tanggal : Sabtu-Minggu/03-04 April 2021

Tempat : Lingkungan Desa Sungai Bakau, Kecamatan Kurau,


Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan

I. ALAT DAN BAHAN


A. Alat:
1. Light trap
2. Termometer
3. Higrometer
4. Anemometer
5. Lux meter
6. Plastik gula
7. Plastik sampel
8. Kertas label
9. Larutan sabun
10. Karet gelang
11. Karet ban
B. Bahan
1. Jenis-jenis insekta malam yang terjerat dalam perangkap jerat sinar.

II. CARA KERJA


1. Menentukan tempat pengambilan sampel daerah yang cocok dan banyak
tumbuhannya dan jauh dari cahaya.
2. Memasang alat jerat sinar mulai pukul 00.00 WITA dan mengambilnya
pukul 03.00 dan 06.00 WITA.
3. Mengukur parameter lingkungan seperti suhu, kelembaban dan kecepatan
angin dan intesitas cahaya pada daerah pengambilan sampel.

24
4. Mengamati serangga yang terjebak menggunakan loupe lalu
mengidentifikasi dengan menggunakan buku identifikasi.
5. Mencatat data yang dihasilkan dalam tabel pengamatan
6. Menganalisis data yang diperoleh.
Untuk menghitung kemelimpahan dapat menggunakan rumus nilai
penting yang dikemukakan oleh Soerianegara dan Indrawan (1978) yaitu :
Nilai penting (NP) = FR + KR
Keterangan :

Frekuensi suatu spesies


Frekuensi Relatif (FR) = x 100 %
Total frekuensi seluruh spesies

Kerapatan suatu spesies


Kerapatan Relatif (KR) = x 100 %
Total kerapatan seluruh spesies
Untuk pengujian menghitung indeks keanekaragaman digunakan rumus
yang dikemukakan oleh Shannon – Wiener dalam Odum (1993) sebagai
berikut :
H’ = - Σ Pi ln Pi
Dimana Pi = ni/N
ni = Jumlah individu jenis ke-i, N = Jumlah individu keseluruhan

III. TEORI DASAR


Insekta merupakan kelompok binatang yang tersebar didunia, kira-kira
lebih dari 1.000.000 spesies yang telah ditemukan dan diberi nama.
Diperkirakan masih ada 1.000.000 spesies lagi yang masih perlu diberi nama
(Waluyo, 1982). Kelompok hewan ini menarik untuk diamati karena selain
jenisnya cukup banyak juga karena peranannya dalam kehidupan. Menurut
Harahap (1994) di dalam ekosistem baik alami maupun buatan insekta dapat
memainkan peranan penting antara lain : pemakan tumbuhan, parasitoid dan
predator pada insekta lain, parasit pada hewan lain, pengurai penyerbukan serta
penghasil bahan-bahan berguna bagi manusia.

25
Suatu perkebunan insekta bisa datang sendiri untuk mencari makan,
tetapi kehadirannya itu dapat pula terbawa oleh hewan lain seperti burung.
Pada mulanya memang jumlahnya sedikit kemudian menjadi besar manakala
kondisi lingkungan sesuai dengan yang diinginkan insekta tadi (Dharmono,
2021).
Menurut Soemarwoto, J, et al (1990) semua organisme mempunyai
tingkah laku iriabilitas yaitu daya menanggapi, agaknya merupakan salah 1
sifat utama makhluk hidup. Daya ini memungkinkan organisme menyesuaikan
diri terhadap perubahan lingkungannya, betapapun sederhananya organisme
tadi. Rangsangan dalam bentuk cahaya akan mempengaruhi kegiatan insekta
malam. Cahaya juga memberikan informasi vitalo tentang lingkungannya
kepada binatang (Cromer,A.H.1994).
Insekta adalah makhluk hidup yang paling banyak didunia, karena itu tak
mengherankan bila dimanapun kita berada selalu menemukan mereka. Banyak
jenis diantara insekta yang merupakan pengganggu dilingkungan kita akan
tetapi tidak sedikit pula yang menguntungkan (Kuncoro,1984). Menurut Yasin
(1984) insekta merupakan invertebrata yang hidup ditempat kering dengan
sayapnya dapat terbang, kemampuan terbang menolong insekta dalam mencari
makan, bertemu lawan jenis dan dapat menghindarkan diri dari musuh.
Tubuh insekta yang kecil juga memberikan keuntungan yang besar sebab
dengan tubuhnya yang kecil mereka dapat mengirit makanan. Sebutir gula
sudah mampu menghidupi sekelompok semut. Keuntungan yang lain adalah
insekta mampu berkembang biak (reproduksi) dengan cepat dan kebanyakan
dari mereka mempunyai siklus hidup yang pendek (Putra,1994).

26
IV. HASIL PENGAMATAN
A. Tabel Hasil Pengamatan dan Perhitungan
1. Tabel Hasil Pengamatan
Waktu
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Spesies
.
03.0 06.0 03.0 06.0 03.0 06.0 03.0 06.0 03.0 06.0 03.0 06.0 03.0 06.0 03.0 06.0 03.0 06.0 03.0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 06.00
1 Androsus Sp. 1   1       1       1                 1
Camponotus
2
pennsylvanicus   1                                 1  
Gryllus
3
bimaculatus     2                                  
4 Phalacrus politus     1                                  
Stegobium
5
paniceum     1       3                          
Araneus
6
diadematus       1                             2  
7 Phlaeoba Sp.       1     1                          
8 Culex pipiens         1                              
Dolichoderus
9
thoracicus           1           2                
10 Solenopsis invicta           1         3                 2
11 Bemissia tabaci 1   1           2 2                    
12 Gryllus mitratus                 1 1                    
13 Chilocorinae Sp.                   4                    
Culex
14
quinquefasciatus                   1                    
Luperomorpha
15
xanthodera                   2                    
16 Sitotroga                     1                  

27
cerealella
17 Ahasverus advena                         1       1   2  
18 Altica cyanea                         1       1      
Onthophagus
19
taurus                         1           1  
20 Polistes stigma                         1 2            
21 Apis dorsata                           1            
Henosepilachna
22 vigintioctopunctat
a                           2            
23 Musca domestica                             1     1    
24 Adoretus sinicus                                 1      
25 Isoptera                                 1      
  ∑ 2 1 6 2 1 2 5   3 10 4 2 4 5 1   4 1 7 3

2. Tabel Perhitungan

∑individ PiLn(-
∑cup K KR (%) F FR (%) NP (%) Pi
u pi)
5 5 0,250 7,937 0,250 10,870 18,806 0,079 0,201
2 2 0,100 3,175 0,100 4,348 7,522 0,032 0,110
2 1 0,100 3,175 0,050 2,174 5,349 0,032 0,110
1 1 0,050 1,587 0,050 2,174 3,761 0,016 0,066
4 2 0,200 6,349 0,100 4,348 10,697 0,063 0,175
3 2 0,150 4,762 0,100 4,348 9,110 0,048 0,145
2 2 0,100 3,175 0,100 4,348 7,522 0,032 0,110
1 1 0,050 1,587 0,050 2,174 3,761 0,016 0,066

28
3 2 0,150 4,762 0,100 4,348 9,110 0,048 0,145
6 3 0,300 9,524 0,150 6,522 16,046 0,095 0,224
6 4 0,300 9,524 0,200 8,696 18,219 0,095 0,224
2 2 0,100 3,175 0,100 4,348 7,522 0,032 0,110
4 1 0,200 6,349 0,050 2,174 8,523 0,063 0,175
1 1 0,050 1,587 0,050 2,174 3,761 0,016 0,066
2 1 0,100 3,175 0,050 2,174 5,349 0,032 0,110
1 1 0,050 1,587 0,050 2,174 3,761 0,016 0,066
4 3 0,200 6,349 0,150 6,522 12,871 0,063 0,175
2 2 0,100 3,175 0,100 4,348 7,522 0,032 0,110
2 2 0,100 3,175 0,100 4,348 7,522 0,032 0,110
3 2 0,150 4,762 0,100 4,348 9,110 0,048 0,145
1 1 0,050 1,587 0,050 2,174 3,761 0,016 0,066
2 1 0,100 3,175 0,050 2,174 5,349 0,032 0,110
2 2 0,100 3,175 0,100 4,348 7,522 0,032 0,110
1 1 0,050 1,587 0,050 2,174 3,761 0,016 0,066
1 1 0,050 1,587 0,050 2,174 3,761 0,016 0,066
200,00
63 46 3,150 100,000 2,300 100,000 0 1,000 3,055

Kesimpulan : Jadi, Keanekaragaman dan Kemelimpahan Insecta Malam adalah Tinggi karena nilai H' > 3 yakni 3,055.
Indeks Keanekaragaman
H' < 1 Rendah
1 ≤ H' ≤ 3 Sedang
H' > 3 Tinggi

29
3. Contoh Perhitungan Untuk Androsus Sp.
K = (Ind) / (Titik) = 5 / 20 = 0,250
KR = (∑ Kindividu) / (∑ K) x 100% = 0,250/ 3,150 x 100% = 7,937%
F = (Cup) / (Titik) = 5 / 20 = 0,250
FR = (∑ Findividu) / (∑ F) x 100% = 0,250 / 2,300 x 100% = 10,870%
NP = KR + FR = 7,937 + 10,870 = 18,806
Pi = n / N = 5 / 63 = 0,079
-Pi Ln Pi = (-0,079) Ln (0,079) = 0,201

B. Tabel Parameter
1. Pukul 00:00 WITA
Pengulangan
Nama alat Pengukuran Kisaran
1 2 3
pH 6 5,5 6 5,5-6
Soil tester
Kelembaban 70 70 70 70
Termometer (˚C)   27 ˚C 27 ˚C 27 ˚C 27 ˚C
Min 0% 0% 0%
Hygrometer (%) 0-43%
Max 43% 43% 43%
Min 0,5 m/s 0,4 m/s 0,3 m/s
Anemometer (m/s) 0,3-2,1 m/s
Max 0,5 m/s 2,1 m/s 1,4 m/s
Luxmeter (lux Min 0 lux 0 lux 0 lux 0 lux

30
Max 0 lux 0 lux 0 lux
Altimeter (mdpl)   1 mdpl 1 mdpl 1 mdpl 1 mdpl

2. Pukul 06:00 WITA


Pengulangan Kisaran
Nama alat Pengukuran
1 2 3
pH 6 5,5 6 5,5-6
Soil tester
Kelembaban (%) 100% 100% 30% 30-100%
27˚C 26˚C 25˚C
Termometer (˚C) Suhu 25-30 ˚C
30˚C 29˚C 30˚C
Min 0% 0% 0% 0%
Hygrometer (%)
Max 43% 45% 45% 43-45%
Anemometer Min 0,7 m/s 0,4 m/s 0,3 m/s
0,3-2,2 m/s
(m/s) Max 0,5 m/s 2,2 m/s 1,4 m/s
Min 4280 lux 6080 lux 14290 lux
Luxmeter (Lux) 4280-19800 lux
Max 11480 lux 8500 lux 19800 lux
Altimeter (mdpl)   1 mdpl 1 mdpl 1 mdpl 1 mdpl

31
C. Foto Hasil Pengamatan dan Foto Literatur
No Nama Nama Ilmiah Foto Pengamatan Foto Literatur
Indonesia
1. Kumbang Androsus sp

(Sumber : Dok. (Sumber:


Kelas, 2021) Warikar, E
L, 2012)
2. Semut Kayu Camponotus
pennsylvanicus

(Sumber : Dok. (Sumber:


Kelas, 2021) Supriati,R.d
kk, 2019)
3. Jangkrik Gryllus
Kalung bimaculatu
s

(Sumber : Dok. (Sumber:


Kelas, 2021) Nugroho,
2020)
4. Kumbang Phalacrus politus
bunga

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber: Riyanto,

32
2021 2016)
5. Kumbang Stegobiu
Biskuit m
paniceum

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber: Wagiman,


2021) 1998)
6. Laba-Laba Araneus
diadematu
s

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber: Vernacular,


2021) 2020)
7. Belalang Phlaeoba sp.

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber: Crisco,


2021) 2014)
8. Nyamuk Culex pipiens
Rumah

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber:


2021) Bestiasonica, 2017)

33
9. Semut Dolichoderu
Hitam s Thoracicus

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber: Apriyanto,


2021) 2016)
10. Semut Solenopsis
Merah invicta

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber: Taib, 2012)


2021)
11. Kutu Kebul Bemissia tabaci

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber: Harpenden,


2021) 2016)
12. Jangkrik Gryllus mitratus
Cliring

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber: Johnny,


2021) 2013)

34
13. Kumbang Chilocorinae sp.
Koksi

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber: David Ball,


2021) 2014)
14. Nyamuk Culex
kaki gajah quinquefasciatu
s

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber: Bryant,


2021) 2008)
15. Kumbang Luperomorph
Kutu Bunga a xanthodera

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber: Kerbtier,


2021) 2015)
16. Ngengat Sitotroga
Gabah cerealell
a

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber: Rentokil,


2021) 2019)

35
17. Kumbang Ahasveru
Hama s advena

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber:


2021) Mikequinn,
2010)
18. Kumbang Altica cyanea
Biru

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber:


2021) Younaturel
ove, 2012)
19. Kumbang Onthophagu
Kotoran s taurus

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber: Roundglass,


2021) 2021)
20. Tawon Polistes stigma
Kertas

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber: Ahan, 2021)


2021)

36
21. Lebah Apis dorsata
Madu
Raksasa

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber: Redearth,


2021) 2019)
22. Kumbang Henosepilachna
Lembing vigintioctopunct
a ta

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber:


2021) Hattori,
2021)
23. Lalat Musca domestica
Rumah

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber: Sarana,


2021) 2021)
24. Kumbang Adoretus sinicus
Mawar Cina

(Sumber : Dok.
Kelas, 2021)
(Sumber: Pradana,
2020)

37
25. Laron Isoptera

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber :


2021) Yuliawati,
2017)

38
V. ANALISIS DATA
Pada topik praktikum kali ini, kami mengamati kemelimpahan dan
keanekaragaman Insekta Malam yang bertujuan untuk menganalisis
kemelimpahan, keanekaragaman jenis dan jumlah insekta malam. Adapun
ketertarikan insekta malam terhadap cahaya lampu yang dipasang disebabkan
faktor kepekaan yang dimiliki oleh setiap insekta malam terhadap rangsangan
cahaya. Pada perangkap yang digunakan pada praktikum kali ini juga
menggunakan air sabun. Fungsi dari air sabun pada jebakan light trap adalah
untuk menjebak insecta yang sudah masuk (terjebak) agar tidak bisa keluar dari
jebakan. Lampu yang digunakan sebagai penarik serangga menggunakan aliran
listrik dari sumber listrik di dekat lokasi pengamatan, jadi light trap ini fungsinya
untuk menjebak serangga dengan menggunakan metode pencahayaan dengan bola
lampu, dan fungsi 3 buah seng yang di pasang di samping2 light trap untuk
membiaskan cahaya bola lampu agar tidak terurai cahayanya.
Menurut literature, Penelitian ini mengunakan metode jebakan/trapping
dengan teknik purposive sampling dalam meletakkan jebakan sebagai alat untuk
memperoleh data serangga malam hari yang dibutuhkan. Pengambilan sampel dan
data dilakukan dengan menggunakan perangkap modifikasih light trap penentuan
titik trap berdasarkan Teknik purposive dan pengambilan data berdasarkan line
transek (Harahap, 2020).
Berdasarkan hasil pengamatan, kami mengambil air sabun sebanyak 2 kali
pengulangan yang diawali pemasangan perangkap dimalam hari. Pengambilan
sampel pertama pada dini hari pukul (03:00) WITA dan pada pagi hari pukul
(06:00) WITA. Dari data kelas kami mengamati beberapa warna lampu, akibat ada
kendala saat penyaluran istrik kami menggunakan lampu dari senter yang sebagian
ada yang berwarna kuning dan putih. Pada lampu pertama atau lampu yang
digunakan oleh kelompok 1 terdapat 3 spesies yang didapat dengan jumlah 3
individu dalam 2 kali pengambilan sampel, lampu kedua atau kelompok 2 terdapat
7 spesies dengan jumlah 8 individu dalam 2 kali pengambilan sampel, lampu

39
ketiga terdapat 3 spesies dengan jumlah 3 individu dalam 2 kali pengambilan
sampel, lampu keempat terdapat 3 spesies dengan jumlah 5 individu dalam 2 kali
pengambilan sampel, lampu kelima terdapat 5 spesies dengan jumlah 13 individu,
lampu keenam terdapat 4 spesies dengan jumlah 7 individu yang ditemukan,
lampu ketujuh terdapat 6 spesies dengan jumlah 9 individu yang ditemukan, lampu
kedelapan terdapat 1 spesies yang didapat dengan jumlah individu hanya 1, lampu
kesembilan terdapat 5 spesies dengan jumlah 5 individu yang ditemukan, dan pada
lampu kesepuluh terdapat 6 spesies dengan jumlah individu sebanyak 9 yang
ditemukan dalam 2 kali pengambilan sampel. Didapat keseluruhan spesies yang
ditemukan pada semua lampu yakni sebanyak 25 spesies dengan 63 individu.
Berdasarkan perhitungan nilai penting untuk mengetahui dominansi suatu
spesies terdapat pada spesies Androsus sp. Yang memiliki nilai NP (Nilai Penting)
sebesar 18,806%. Keanekaragaman dan Kemelimpahan Insecta Malam yang kami
dapatkan adalah tinggi karena nilai H' > 3 yakni 3,055. Keanekaragaman ini
menunjukan hubungan spesies dengan komunitasnya apakah stabil atau tidak. Jika
keanekaragaman tinggi maka komunitas yang ada di tempat tersebut stabil.
Keanekaragaman dilihat dari jumlah spesies dan variasinya. Variasi ini didapatkan
dari hasil perkawinan, perkawinan dan perkembangan dipengaruhi oleh factor
lingkungan dan juga sumber daya yang akan mendukung terjadinya perkawinan
dan juga perkembangan telur.
Keanekaragaman yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki
kompleksitas yang tinggi. Komunitas yang tua dan stabil akan mempunyai
keanekaragaman jenis yang tinggi. Sedangkan suatu komunitas yang sedang
berkembang pada tingkat suksesi mempunyai jumlah jenis rendah daripada
komunitas yang sudah mencapai klimaks. Komunitas yang memiliki
keanekaragaman yang tinggi lebih tidak mudah terganggu oleh pengaruh
lingkungan. Jadi dalam suatu komunitas dimana keanekaragamannya tinggi akan
terjadi interaksi spesies yang melibatkan transfer energi, predasi, kompetisi
danniche yang lebih kompleks (Harahap, 2020).

40
Keanekaragaman spesies merupakan ciri tingkatan komunitas berdasarkan
organisme bioliginya. Keanekaragaman spesies dapat digunakan untuk
menyaktakan struktur komunitas, yaitu kemampuan suatu komunitas untuk
menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponen
komponennya. Untuk mengetahui keanekaragaman jenis dihitung dengan
menggunakan indeks keanekaragaman Shanon-Winner Odum (1971) dalam
Harahap (2020).
Penggolongan jenis serangga berdasarkan aktivitasnya, dikenal serangga
yang aktif disiang hari (Diurnal) dan serangga yang aktif dimalam hari
(Nocturnal). Serangga malam hari (Nocturnal) ialah hewan yang tidur pada siang
hari, dan aktif pada malam hari. Serangga Nocturnal umumnya memiliki
kemampuan penglihatan yang tajam. Serangga Nocturnal dapat merasakan
gelombang cahaya yang lebih panjang daripada manusia dan dapat memilah
panjang gelombang cahaya yang berbeda-beda. Panjang gelombang cahaya dari
300-400 nm (mendekati ultraviolet) sampai 600-650 nm (orange). Redeksi bahwa
serangga tertarik pada ultraviolet karena cahaya itu merupakan cahaya yang
diabsorbsi oleh alam terutama oleh daun (Borror, 1996).
 Faktor Cahaya
Beberapa aktivitas insekta dipengaruhi oleh responnya terhadap cahaya,
sehingga timbul spesies insekta yang aktif pada pagi, siang, sore, atau malam hari.
Insekta yang bersifat diurnal yakni aktif pada siang mengunjungi bunga,
meletakkan telur atau makan pada bagian-bagian tanaman dan lain-lain. Selain
tertarik pada cahaya, ditemukan juga insekta yang tertarik oleh suatu warna hijau
dan kuning. Insekta juga memiliki preferensi (kesukaan) tersendiri terhadap warna
dan bau, seperti terhadap warna-warna bunga. Contoh : kupu-kupu (Pieris
brassicae) dalam mencari makananya memperlihatkan preferensi yang nyata
terhadap warna biru dan ungu. Besarnya keanekaragaman insekta pada suatu
komunitas memungkinkan adanya jenis insekta yang melimpah (Jumar, 2000).

41
Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa terdapat variasi jenis
serangga yang ditemukan pada jebakan dengan warna lampu berbeda. Hal ini
menunjukkan adanya pengaruh kuatnya pencahayaan dan warna yang dihasilkan
pada lampu dengan ketertarikan berbagai jenis insekta malam. Pada pengamatan
kami menggunakan alat parameter luxmeter, pada pengukuran pukul (00:00)
sekitar (3280-19000 lux), dan pengukuran pada pukul (06:00) sekitar (4280-19800
lux). Banyaknya spesies insekta yang terjebak dipengaruhi oleh panjang
gelombang yang dihasilkan pada lampu light trap dan seberapa strategisnya light
trap diposisikan. Dan juga pengaruh dari kondisi cuaca, suhu dan keadaan suatu
angin sehingga mempengaruhi keadaan lingkungan untuk keragaman insekta
malam.
Menurut Gustilin (2008), cahaya sebagai salah satu faktor ekologis meliputi
cahaya-cahaya yang dapat dilihat dari suatu spectrum cahaya yaitu mempunyai
panjang gelombang antara 4.000-7.600 0A, atau warna-warna merah dan biru.
Serangga memberikan reaksi yang berbeda-beda terhadap masing-masing jenis
cahaya, baik mengenai panjang gelombang maupun intensitasnya. Kisaran
panjang gelombang yang dapat diterima serangga adalah 2540-6000 A atau 254-
600 nm. Respon serangga terhadap cahaya dapat bersifat positif atau negatif,
yang ditunjukkan oleh spesies-spesies serangga nocturnal (aktif pada malam
hari). Serangga berespon positif apabila mendatangi sumber cahaya, sedangkan
serangga berespon negatif apabila tidak terpengaruh oleh adanya cahaya.
Serangga memberikan reaksi yang berbeda-beda terhadap masing-masing
jenis cahaya, baik mengenai panjang gelombang maupun intensitasnya. Daya
persepsi berhubungan dengan kemampuan indera yang dimiliki oleh serangga,
antara lain adalah indera penglihatan. Serangga mempunyai mata faset (mata
majemuk) dan mata tunggal (ocellus). Mata faset mempunyai ukuran yang lebih
besar dari mata tunggal. Mata faset ini mampu menerima sinar yang sudut
datangnya lebih besar dan 180°, mampu menerima sinar / cahaya yang
mempunyai panjang gelombang pendek, antara 2500 sampai 7000° A, sehingga

42
serangga dapat melihat gelombang cahaya yang jauh lebih pendek daripada yang
dapat dilihat manusia (Lupita, dkk, 2016).
 Kelembaban
Berdasarkan hasil pengamatan, pada pengamatan kelembaban udara dengan
pengukuran menggunakan hygrometer, dengan 3 kali pengulangan pada pukul
00.00 berkisar 0-43%, dan pada pukul 06:00 pagi berkisar 43-45%. Kelembaban
udara adalah faktor penting yang mempengaruhi distribusi, kegiatan dan
perkembangan insekta. Menurut Jumar (2000), kelembaban udara yang sesuai
pada habitat yang ditempati insekta, akan menyebabkan insekta lebih tahan
terhadap suhu ekstrim yakni apabila keadaan sangat tinggi atau sangat rendah.
Sebagaimana halnya organisme yang lain, maka penyebaran dan
perkembangan hidup serangga sangat tergantung oleh adanya air di dalam
lingkungan hidupnya. Efektivitas dari suhu di dalam merangsang kecepatan
perkembangan hidup serangga juga dipengaruhi oleh kelembaban yang ada.
Dalam keadaan lembab yang serasi serangga tersebut tidak begitu peka
terhadap pengaruh suhu yang ekstrim. Tubuh serangga mengandung 80-90% air,
dan harus dijaga agar tidak mengalami banyak kehilangan air yang dapat
mengganggu proses fisiologinya. Ketahanan serangga terhadap kelembaban
bervariasi. Ada serangga yang mampu hidup dalam suasana kering tetapi
adapula yang hidupnya di dalam air. Biasanya serangga tidak tahan mengalami
kehilangan air yang terlalu banyak, namun ada beberapa serangga yang
mempunyai ketahanan karena dilengkapi dengan berbagai alat pelindung untuk
mencegah kehilangan air tersebut, misalnya kutikula yang dilapisi lilin (Jumar,
2000).
Tempratur memberikan efek membatasi pertumbuhan organisme apabila
keadaan kelembaban ekstrim tinggi atau rendah, akan tetapi kelembaban
memberikan efek lebih kritis terhadap organisme pada kelembaban yang tinggi
atau rendah. Banyak jenis serangga mempunyai batas toleransi sempit terhadap

43
kelembaban. Jika kondisi kelembaban lingkungan sangat tinggi serangga dapat
mati atau berimigran ke tempat lain. Kondisi yang kering kadang-kadang juga
mengurangi adanya jenis tertentu karena berkurangnya populasi (Harahap, 2020).
Rata-rata pengukuran suhu di lokasi pengamatan pada pukul (00:00) yakni
27˚C, dan pada pukul (06:00) berkisar antara 25-37˚C. Suhu tersebut masih berada
dalam kisaran suhu untuk serangga berkembang dengan baik. Menurut Harahap
(2020), suhu merupakan faktor lingkungan yang menemukan aktifitas hidup
serangga. Pada suhu tertentu, aktivitas hidup serangga tinggi (sangat aktif),
sedangkan pada suhu yang lain aktivitas serangga sangat rendah (kurang aktif).
Kisaran suhu yang efektif untuk hidup dan berkembang dengan baik adalah suhu
minimum 15˚C, suhu optimum 25˚C dan suhu maksimum 45˚C.
Berdasarkan hasil pengamatan, pada pengamatan kecepatan angin dengan
pengukuran menggunakan anemometer, didapatkan hasil pengamatan pada pukul
(00:00) yaitu berkisar antara 0,3-2,1 m/s, dan pada pukul (06:00) berkisar antara
0,3-2,2 m/s. Menurut Gustilin (2008), kecepatan angin sangat berperan dalam
membantu penyebaran insekta yang kecil karena mudah terbang terbawa oleh
angin dari satu tempat ketempat yang lain. Angin akan membantu penyebaran
serangga, terutama serangga yang berukuran kecil. Secara tidak Iangsung angin
juga mempengaruhi kandungan air dalam tubuh serangga, karena angin
mempercepat penguapan dan penyebaran udara.
Faktor iklim/ cuaca akan mempengaruhi secara langsung ataupun tidak
langsung terhadap perkembangan hidup dan suatu species serangga. Misalnya
gaya mekanis/ kinetis dan hujan yang deras dapat mengurangi larva yang
sedang saatnya tumbuh dan berkembang, dengan demikian akan mengurangi
kemungkinan timbulnya epidemi pada waktu yang akan datang. Cuaca panas dan
lembab memungkinkan meningkatnya populasi organisme pemakan serangga,
seperti misalnya bakteri-bakteri penyebab penyakit atau Protozoa. Sedangkan
di sisi lain cuaca yang kering dapat mengurangi pertumbuhan vegetatif dan
tanaman yang menjadi makanannya serangga, sehingga dengan populasi yang

44
tidak tinggipun dapat menyebabkan kerusakan yang besar. Pada kebanyakan
serangga perusak daun populasinya akan meningkat apabila suhu meningkat
dengan jumlah hujan yang sedang (Rosalyn, 2007).
Faktor makanan merupakan sumber gizi yang digunakan oleh serangga
untuk mendukung kehidupan dan perkembangannya. Kehidupan dan
perkembangan serangga sangat dipengaruhi oleh kualitas makanan dan jumlah
makanan yang tersedia (Rosalyn, 2007).
Faktor hayati adalah faktor-faktor hidup yang ada di lingkungan yang dapat
berupa serangga, binatang, binatang lainnya, bakteri, jamur, virus, dan lain-lain.
Organisme tersebut danpat mengganggu atau menghambat perkembangbiakan
serangga, karena membunuh atau menekannya, memarasit atau menjadi penyakit
atau karena bersaing (berkompetisi) dalam mencari makanan atau berkompetisi
dalam gerak ruang hidup (Harahap, 2020).

45
VI. KESIMPULAN
1. Pengambilan sampel dan data dilakukan dengan menggunakan perangkap
modifikasi light trap.
2. light trap adalah alat untuk menangkap insekta malam dengan metode jebakan
lampu.
3. Spesies yang memiliki NP (Nilai Penting) tertinggi yakni Androsus Sp. Dengan
NP yaitu 18,806%.
4. Keanekaragaman dan kemelimpahan insekta malam yang diamati dilapangan
tergolong tinggi, karena 1 ≤ H' ≤ 3 yaitu 3,055.
5. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keanekaragaman dan
kemelimpahan dari insekta malam yakni faktor cahaya, kelembaban, angin,
cuaca/iklim, faktor makanan dan Faktor Hayati.

46
VII. DAFTAR PUSTAKA
Ahan. (2021). Tropical Paper Wasp (Polistes stigma). Diakses melalui
https://www.inaturalist.org/photos/119945923 pada tanggal 15 April
2021.

Akbar. (2017). Belalang Hijau. Diakses melalui https://jenis.net/belalang-hijau/


Pada tanggal 15 April 2021.

Anthony. (2018). Ischnurasenegalensis. Diakses melalui


https://singaporeodonata.wordpress.com/ Pada tanggal 15 April 2021.

Apriyanto. (2016). KeanekaragamanJenisSemutPenggangguPemukiman Di Bogor.


Bogor: ITB.

Bestiasonica. (2017). Culex pipiens. Diakses melalui


https://commons.m.wikimedia.org/wiki/Culex_pipiens Pada tanggal 15
April 2021.

Borror, D.J., Triplehorn, C.A. dan N.F. Johson. (1996). Pengenalan Pelajaran
Serangga Edisi ke-enam. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Bryant, P. J. 2008. Southern House Mosquito Culex quinquefasciatus. Diakses


melalui http://nathistoc.bio.uci.edu/ pada tanggal 22 April 2021.

Burroughs. (2016). Chironomus sp. Diakses melalui


https://petehillmansnaturephotography.wordpress.com/chironomus-sp/.
Pada tanggal 15 April 2021.

Crisco. (2014).Phaleoba sp. Diakses melalui


https://commons.m.wikimedia.org/wiki/File:Unidentified_grasshopper_o
n_flowers_at _Pramaban,_Yogyakarta,_2014-05-31_02.jpg Pada tanggal
15 April 2021.

Cromer, A. H. (1994). Fisika Untuk Ilmu-Ilmu Hayati. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

David Ball. (2014). Chilocorus sp. Coccinellidae. Subfamily Chilocorinaei.


Diakses melauihttps://www.flickr.com/photos/davegball/15275079243
Pada tanggal 15 April 2021.

Dharmono, dkk. (2021). Penuntun Praktikum Ekologi Hewan. Banjarmasin:


PMIPA FKIP ULM.

47
Dwiputra. (2018). Valanga nigricornis. Diakses melalui
https://www.dreamstime.com/ Pada tanggal 15 April 2021.

Farof. (2014).Tinjauan Pustaka Nyamuk Culex sp.


Diakses melalui http://repostory.um.ac.id/ Pada tanggal 15
April 2021.

Harahap, Fadillah Raihan S. (2020). Keanekaragaman Serangga Malam


(Nocturnal) Di Kebun Kelapa Sawit Pt. Cinta Raja. Jurnal Pertanian
Berkelanjutan. Vol. 8 No. 3 : 122-133.

Harahap, I.S, (1994). Seri PHT Hama Palawija. Penebar Swadaya. Jakarta.

Harpenden. (2016). Sweetpotato whitefly (Bemisiatabaci). Diakses melalui


https://www.ipmimages.org pada tanggal 15 April 2021.

Hattori, T. (2021). Hadda Beetle (Henosepilachnavigintioctopunctata). Diakses


melalui https://www.inaturalist.org/photos/120576882 pada tanggal 15
April 2021.

John. (2009).Plodia interpunctella. Diakses melalui


https://www.discoverlife.org/mp/20q?search=Plodia+interpunctella. Pada
tanggal 15 April 2021.

Johnny N. Dell. (2013). Field crickets. Diakses melalui


https://www.ipmimages.org/browse/detail.cfm?imgnum=5482825# Pada
tanggal 15 April 2021.

Jumar. (2000). Entomologi Pertanian. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Lall, R.,
1986. Tropical Ecology and Physical Edaphology. John Willey and Sons
Inc. Canada.

Kerbtier. (2015). Luperomorphaxanthodera. Diakses melalui


https://www.kerbtier.de/ Pada tanggal 15 April 2021.

Lupita,Oktaviona , Agus Dharmawan , dan Sofia Ery Rahayu. (2016). Preferensi


Serangga Nokturnal Terhadap Warna Lampu Light Trap Di Kebun Jeruk
Siem“. Malang: Universitas Negeri Malang.

Mikequinn. (2010). Ahasverusadvena (Waltl). Diakses melalui https://bugguide.net


Pada tanggal 15 April 2021.

48
Niansyah, (2011). Klasifikasi Ilmiah Dysdercus cingulatus. Diakses melalui
https://bangnian.ac.id/ Pada tanggal 15 April 2021.

Nugroho. (2020). Studi Pola Interaksi Perilaku Jangkrik (Gryllus bimaculatus)


Jantan dan Betina. Jurnal Biologi. Vol 7, no 1.

Oomen. (2020). Limnephilus centralis. Diakses melalui


http://vilkenart.se/Art.aspx?Namn=Limnephilus%20centralis pada
tanggal 15 April 2021.

Padil. (2013). Kepinding Tanah Rice Blackbug Scotinophora coarctata. Diakses


melalui https://serangga.id/kepinding-tanah-rice-blackbug-scotinophara-
coarctata/. Pada tanggal 15 April 2021.

Pradana, Gama Mahardika, Hartanta, Hari Priwiratama, Agus Eko Prasetyo, &
Agus Susanto. (2020). Aplikasi Perangkap Lampu Sebagai Sarana
Monitoring dan Pengendalian Hama Kumbang Malam di Pembibitan
Kelapa Sawit. Warta PPKS No. 25, hal 23-30.

Putra, N. S. (1994). Serangga di Sekitar Kita. Yogyakarta: Kanisius.

Rahmadi. (2018).Blaberus Discoidalis. Diakses melalui


https://www.sites.google.com/ Pada tanggal 15 April 2021.

Redearth, C. (2019). Giant Honey Bee (Apis dorsata). Diakses melalui


https://www.inaturalist.org/photos/48356222 Pada tanggal 28 April 2021.

Rentokil. (2019). Spesies Ngengat. Diakses melalui https://www.rentokil.co.id/


Pada tanggal 15 April 2021.

Riyanto. (2016). Keanekaragaman dan Kelimpahan Serangga Ordo Coleoptera di


Tepian Sungai Musi Kota Palembang sebagai Sumbangan Materi pada
Mata Kuliah Entomologi di Pendidikan Biologi FKIP Universitas
Sriwijaya. Jurnal Pembelajaran Biologi. Vol 3, No 1.

Rosalyn, I., (2007), Indeks Keanekaragaman Jenis Serangga Pada Pertanaman


Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq,) Di Kebun Tanah Raja
Perbaungan PT Perkebunan Nusantara III. USU Repository dan
Agroklimat, Bogor.

Roundglass. (2021). Dung Beetles : The little Things That Run the World. Diakses
melalui https://sustain.round.glass/ Pada tanggal 15 April 2021.

49
Sarana. (2021).House Fly (Musca domestica). Dikases
melalui https://www.inaturalist.org/photos/118770733 Pada tanggal 15
April 2021.

Soemarwoto, I dkk. (1990). Biologi Umum II. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.

Soerianegara, I., dan Indrawan, A., (1978). Ekologi Hutan Indonesia. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.

Supriati, Rochmah. ET all. (2019). Identifikasi Jenis Semut Famili Formicdae Di


kawasan Taman Wisata Alam Pantai Panjang Pulau Baai Kota Bengkulu.
Jurnal Konservasi Hayati Vol. 10 hlm 1-9.

Taib, M. (2012). Ekologi Semut Api (Solenopsis Invicta). SMP Negeri


Widyakrama. Gorontalo.

Vernacular. (2020). Araneus diadematus. Diakses melalui


https://commons.m.wikimedia.org/wiki/Araneus_diadematus Pada
tanggal 15 April 2021.

Wagiman, F.X dan Poerdriesti, V. (1998). Kajian Kekhususan Inang Stegobium


paniceum (Coleoptera : Anobiidae). Jurnal Perlindungan Tanaman
Indonesia, Vol 4 No 1, 73.

Warikar, Evie Lilly. (2012). Keragaman kumbang (coleoptera : famili


tenebrionidae) didistrik Honggo, kabupaten Sarmi, Papua. Jurnal Biologi
Papua. Vol. 4 No. 2 Hal 69-74.

Wayne. (2015). Scatella. Diakses melalui


https://www.researchgate.net/figure/Figures-6-7Scatella-Scatella-
plaumanni-sp-nov-Brazil-Santa-Catarina-Nova_fig3. Pada tanggal 15
April 2021.

Yasin, M. (1984). Sistematika Hewan. Surabaya: Usaha Nasional.

Yodi. (2015). Image Apis florae. Diakses melalui https://id.depositphotos.com/


Pada tanggal 15 April 2021.

Younaturelove. (2012).Beetles and Hot Plants. Diakses melalui


http://www.natureloveyou.sg Pada tanggal 15 April 2021.

50
Yuliawaty, Nurfanida. (2017). Serbuan Laron Lagi?. Diakses
melalui https://dokternida.com/serbuan-laron-lagi/ pada tanggal 28 April
2021.

EKOLOGI HEWAN
(ABKC 2602)

PRAKTIKUM III
“Pola Pembagian Niche Oleh
Serangga”

51
PRAKTIKUM III
Topik : Pola Pembagian Niche oleh Serangga
Tujuan : Untuk mengetahui keanekaragaman niche pada serangga
Hari/Tanggal : Sabtu / 27 Maret 2021
Tempat : Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin,
Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin, Provinsi
Kalimantan Selatan

I. ALAT DAN BAHAN


A. Alat
1. Jaring serangga
2. Plastik sampel
3. Kertas label
4. Alat tulis
5. Alat Dokumentasi
6. Termometer
7. Soil Tester
8. Anemometer
9. Hygrometer
10. Altimeter
11. Lux meter

B. Bahan
1. Seluruh spesies serangga yang berada pada tumbuhan Pohon Gempal
(Nauclea orientalis)

52
II. CARA KERJA
1. Menyiapkan alat yang diperlukan.
2. Menentukan satu spesies tumbuhan yang akan di ambil serangga di sekitarnya
3. Mengambil seluruh spesies serangga pada tanaman tersebut pada pagi, siang
dan sore hari.
4. Memasukkan seluruh spesies ke dalam plastik sampel
5. Mengukur parameter lingkungan
6. Mengidentifkasi seluruh spesies yang ditemukan
7. Membuat tabel hasil pengamatan pola pembagian niche oleh serangga
8. Menghitung kerapatan, kerapatan relatif, frekuensi, frekuensi relatif, nilai
penting, dan indeks keanekaragaman.

III.TEORI DASAR
Clement dan Shelford (1939) dalam Keindeigh (1980) menjelaskan
bahwa bagian biosfer disebut mikrohabitat adalah seperangkat kondisi lokal dan
langsung berhubungan dengan satu makhluk, sebatamg kayu yang membusuk,
individu atau spesies lain yang dianggap sebagai bagian komunitas dan bukan
dalam habitatnya.
Hukum Gause menyatakan bahwa tidak ada dua spesies yang hidup
bersama-sama pada suatu niche yang sama. Oleh sebab itu agar kedua spesies
tersebut dapat memenuhi kebutuhannya perlu dilakukan pembagian niche baik
waktu pengambilan maupun jenis sumber daya tersebut.
Relung atau niche merupakan tempat makhluk hidup berfungsi di
habitatnya, bagaimana cara hidup, atau peran ekologi makhluk hidup tersebut.
Jadi pada dasarnya makhluk hidup secara alamiah akan memilih habitat dan
relung ekologinya sesuai dengan kebutuhannya, dalam arti bertempat tinggal,
tumbuh berkembang dan melaksanakan fungsi ekologi pada habitat yang sesuai
dengan kondisi lingkungan (misalnya iklim), nutrien, dan interaksi antara
makhluk hidup yang ada.

53
Dalam ekologi, seluruh peranan dan fungsi makhluk hidup dalam
komunitasnya dinamakan relung atau niche ekologi. Jadi relung ekologi
merupakan semua faktor atau unsur yang terdapat dalam habitatnya yang
mencakup jenis-jenis organisme yang berperan, lingkungan, dan tempat tinggal
yang sesuai dan spesialisasi populasi organisme yang terdapat dalam komunitas.
Relung ekologi bukan konsep yang sederhana, melainkan konsep yang kompleks
yang berkaitan dengan konsep populasi dan komunitas. Relung ekologi
merupakan peranan total dari semua makhluk hidup dalam komunitasnya
(Dharmono,dkk, 2021).

54
IV. HASIL PENGAMATAN
A. Tabel Hasil Pengamatan dan Perhitungan
1. Tabel Hasil Pengamatan dan Perhitungan
Waktu (Pagi )
No Nama Spesies 8:00 ∑ Ind ∑ Cup K KR % F FR % NP % Pi (-)pilnpi
Cheiracanthium
1
1 inclusum 1 1 1,000 7,143 1,000 33,333 40,476 0,071 0,189
Tapinoma 104,76
10
2 melanocephalum 10 1 10,000 71,429 1,000 33,333 2 0,714 0,240
Coptosoma
3
3 variegata 3 1 3,000 21,429 1,000 33,333 54,762 0,214 0,330
∑ 14 14 3 14,000 100 3,000 100 200 1 0,759

Indeks Keanekaragaman
Indeks Keanekaragaman
H'<1 Rendah
1 ≤ H' ≤ 3 Sedang
H' > 3 Tinggi

Jadi dapat disimpulkan bahwa pola pembagian Niche oleh serangga adalah rendah karena H' < 1 yakni 0,759

55
2. Contoh Perhitungan
1) Cheiracanthium inclusum
K = Σ Individu / Titik NP = KR + FR
KR = (K Ind / Σ K) x Pi =n/N
100%
F = Σ Cuplikan / Titik - = -(n/N) ln (n/N)
PilnPi
FR = (F Ind / Σ F) x
100%

K = Σ Individu / Titik NP = KR + FR
= 1/1 = 7,143 % +
33,333 %
= 1,000 ind/titik = 40,476 %
KR = (K Ind / Σ K) x Pi =n/N
100%
= (1,000 / 14,000) x = 1/14
100%
= 7,143 % = 0,071
F = Σ Cuplikan / Titik - = -(n/N) ln (n/N)
PilnPi
= 1/1 = -(0,071) ln
(0,071)
= 1,000 cup/titik = 0,189
FR = (F Ind / Σ F) x
100%
= (1,000 / 3,000) x
100%
= 33,333 %

B. Table Parameter Lingkungan


Pengulangan
Nama alat Pengukuran Kisaran
1 2 3
6,6 6,2 6,6
Soil tester pH 6,2-6,5
6,5 6,5 6,2

56
64,1-68,7
67,70% 68,70% 64,10%
Kelembaban %
31˚C 29˚C 30˚C
Termometer 29˚C 29˚C 29˚C
Suhu 29-31 ˚C
(˚C) 29˚C 30˚C 30˚C
30˚C 32˚C 31˚C
Min 16510 lux 15330 lux 18300 lux

Max 17000 lux >20000 lux >20000 lux


1284-
Lux meter
Min 8878 lux 8000 lux 14280 lux >20000
(Lux)
lux
Max 11050 lux 13570 lux 18400 lux
Min 1500 lux 1284 lux 5356 lux
Max 1660 lux 1520 lux 5400 lux
Min 0m/s 0m/s 0m/s
Anemometer Max 0,5m/s 0,5m/s 0,5m/s
0-0,5 m/s
(m/s) Min 0m/s 0m/s 0m/s
Max 0m/s 0,1 m/s 0,2 m/s
91% 92% 91%
Hygrometer 68,10% 68% 72,70%
  15-92%
(%) 18% 24% 15%
89% 89% 87%
-3- (-4)
-4 mdpl -3 mdpl -3 mdpl
Altimeter mdpl
 
(mdpl) -1 mdpl -1 mdpl -1 mdpl -1 mdpl
-1 mdpl -1 mdpl -1 mdpl -1 mdpl

57
C. Foto Hasil Pengamatan
No. Nama Nama Foto Pengamatan Foto Literatur
Indonesia Ilmiah
1. Laba-laba Cheiracanthiu
Kantung m inclusum
Kuning

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber : Luri, 2020)


2021)
2. Semut Tapinoma
Pudak melanocephalu
m

(Sumber : Dok. Kelas,


2021) (Sumber : Tsai, 2019)

3. Kepik Coptosom
Hitam a
variegata

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber : Seng, 2019)


2021)

58
V. ANALISIS DATA
Pada praktikum menentukan pola pembagian niche oleh serangga
bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman niche pada serangga.
Pengambilan sampel pada satu titik di pagi hari. Berdasarkan hasil
pengamatan di lingkungan Universitas Lambung Mangkurat jumlah spesies
yang ditemukan ada 3 spesies dengan jumlah individu 14.
Kata niche diungkapkan Grinnell pada awal tahun 1914, meliputi
berbagai hal yang menyatakan keberadaan spesies di berbagai lokasi
termasuk faktor abiotik seperti suhu, kelembaban, curah hujan, dan faktor
biotik seperti kehadiran makanan, pesaing, predator, tempat penampungan,
dan lain-lain. Menurut Sumarto (2016), niche atau relung ekologi diartikan
sebagai kedudukan fungsional suatu populasi dalam habitatnya atau
menunjukkan kedudukan pada parameter multidimensi atau peran dalam
ekosistemnya. Contohnya relung ekologi termal untuk spesies yang
memiliki keterbatasan hidup pada suhu tertentu atau kedudukan suatu
spesies sesuai dengan rantai makanan (piramida makanan). Sedangkan
menurut Indriyanto (2006), niche menunjukkan peranan fungsional dan
posisi suatu organisme dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu.
Setiap organisme memiliki relung yang berbeda-beda berdasarkan beberapa
faktor, yaitu tipe makanan yang dikonsumsinya, pemilihan mikrohabitat,
sifat fisik dan perilaku saat mengumpulkan makanan, dan sumber daya yang
diperlukan untuk tempat tinggal dan pembiakan (Petren, 2001).
Berdasarkan hasil pengamatan, pola pembagian niche oleh serangga
di lingkungan Universitas Lambung Mangkurat, yaitu pada satu titik di
tanaman Kaliandra (Calliandra tergemina) pada pagi hari, ditemukan 3
spesies yaitu, laba-laba kantung kuning sebanyak 1 individu, semut pudak
sebanyak 10 individu, dan kepik hitam sebanyak 3 individu.
Menurut Herdiawan (2008), tanaman kaliandra merupakan tanaman
multiguna yang berfungsi sebagai konservasi lahan, penghijauan dan bahkan
dapat dijadikan pakan ternak, dan pakan lebah. Tanaman kaliandra memiliki
protein yang sangat tinggi. Hal tersebut jugalah yang membuat beberapa

59
spesies menyukai tanaman kaliandra ini. Jumlah individu terbanyak menurut
pengamatan adalah spesies semut, khususnya semut pudak.
Di alam semut dapat berperan sebagai predator, menguraikan bahan
organik, mengendalikan hama dan bahkan membantu penyerbukan. Semut
secara ekonomi kurang bermanfaat langsung bagi manusia, namun bila
dilihat secara ekologi dapat bermanfaat untuk hewan lain dan tumbuhan,
karena dalam rantai makanan memiliki peran yang sangat penting. Semut
dapat dimanfatkan menjadi predator untuk mengurangi hama di perkebunan.
Semut pudak, di anggap sebagai semut pengganggu atau hama. Semut ini
biasanya bersarang di area yang terganggu, di pot bunga, di bawah benda-
benda di tanah, di bawah kulit kayu yang lepas, dan di pangkal pelepah
sawit (Nickerson, 2003).
Kami melakukan pengukuran parameter lingkungan di sekitar lokasi
pengambilan sampel sebanyak 3x pengulangan. Pengambilan data
menggunakan alat Soil tester, Termometer, Anemometer, Luxmeter,
Altimeter dan Hygrometer. Berdasarkan hasil pengukuran parameter
lingkungan di sekitar pengambilan sampel pada alat soil tester hasil pH
(derajat keasaman) berkisar 6,2-6,5 dan kelembaban berkisar 64,1-68,7 %.
Termometer (Suhu) berkisar 29-31 ˚C, lux meter (intensitas cahaya)
berkisar 1284 - >20000 lux, anemometer (kecepatan angin) berkisar 0-0,5
m/s, hygrometer (kelembaban tempat) berkisar 15-92%, dan altimeter
(ketinggian tempat / titik) berkisar -1 – (-4).
Terdapat keterkaitan yang erat antara relung ekologis dengan habitat.
Relung ekologis suatu organisme harus tersedia di dalam habitat. Konsep
relung menyangkut pertimbangan yang tempat tinggal organisme,
kedudukan yang ditempati oleh suatu spesies di dalam jaring-jaring serta
faktor lingkungan lain seperti kisaran suhu, kelembaban, salinitas dan
sebagainya, yang dapat diterima oleh setiap dua spesies dalam suatu habitat
untuk ikut menentukan relung ekologisnya. Menurut Rizka (2017), faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi komposisi dan struktur komunitas semut
adalah sebagai berikut:

60
1. Habitat, Setiap makhluk hidup mempunyai habitat yang sesuai
dengan kebutuhannya. Apabila terjadi gangguan atau perubahan
yang cepat makhluk tersebut mungkin akan mati atau pergi
mencari habitat lain yang cocok. Perubahan habitat sangat
memengaruhi keberadaan semut. Respon semut yang sangat
sensitif terhadap perubahan habitat menjadikan semut dapat
digunakan sebagai bioindikator dari gangguan habitat, termasuk
juga pengaruh aplikasi pestisida.
2. Vegetasi Tumbuhan Organisme, tanah mempengaruhi
pertumbuhan tanaman dan organisme lain yang hidup di atas tanah
dan sebaliknya. Tumbuhan merupakan jembatan antara ekosistem
yang ada di atas dan di dalam tanah. Perubahan keragaman
vegetasi tentu saja akan mengubah fungsi ekosistem di atas dan di
dalam tanah. Perubahan struktur vegetasi akan mempengaruhi
fungsi ekosistem dalam tanah termasuk proses-proses
pembentukan tanah, struktur tanah dan komunitas biota tanah.
3. Suhu Tanah, merupakan salah satu faktor fisika tanah yang sangat
menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah, dengan
demikian suhu tanah akan sangat menentukan tingkat dekomposisi
material organik tanah. Kisaran suhu 25 - 32°C merupakan suhu
optimal dan toleran bagi aktifitas semut di daerah tropis.
4. Suhu Udara, serangga memiliki kisaran suhu tertentu dimana dia
dapat hidup, di luar kisaran suhu tersebut serangga akan mati
kedinginan atau kepanasan. Pengaruh suhu ini jelas terlihat pada
proses fisiologis serangga. Umumnya kisaran suhu yang efektif
bagi serangga, yaitu suhu minimum 15°C, suhu optimum 25°C,
dan suhu maksimum 45°C.
5. pH Tanah, pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk
menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh
suatu larutan. Kisaran optimum pH tanah untuk penggunaan lahan
berkisar antara 5 -7,5.

61
6. Kelembaban Tanah dan Kelembaban Udara, Kelembaban yang
dimaksud adalah kelembaban tanah, udara dan tempat hidup
serangga dimana merupakan faktor penting yang mempengaruhi
distribusi kegiatan dan perkembangan serangga, dalam kelembaban
yang sesuai serangga biasanya lebih tahan terhadap suhu ekstrim.

VI. KESIMPULAN
1. Pada pengamatan pola pembagian niche oleh serangga jumlah spesies
yang ditemukan ada 3 spesies, yaitu laba – laba kantung kuning, semut
pudak, dan kepik hitam dengan jumlah total individu keseluruhan adalah
14. Spesies terbanyak yang ditemukan adalah semut pudak dengan
jumlah 10 individu.
2. Pola pembagian Niche oleh serangga berdasarkan pengamatan yang
dilakukan tergolong rendah.
3. hasil pengukuran parameter lingkungan di sekitar pengambilan sampel
pada alat soil tester hasil pH (derajat keasaman) berkisar 6,2-6,5 dan
kelembaban berkisar 64,1-68,7 %. Termometer (Suhu) berkisar 29-31
˚C, lux meter (intensitas cahaya) berkisar 1284 - >20000 lux,
anemometer (kecepatan angin) berkisar 0-0,5 m/s, hygrometer
(kelembaban tempat) berkisar 15-92%, dan altimeter (ketinggian
tempat / titik) berkisar -1 – (-4).
4. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi komposisi dan struktur
suatu hewan diantaranya adalah habitat, vegetasi tumbuhan organisme,
suhu udara maupun suhu tanah, pH tanah, dan kelembaban tanah serta
kelembaban udara

62
VII. DAFTAR PUSTAKA
Indriyanto. (2006). Ekologi Hutan. Jakarta: Bumi Aksara
Luri, H. A. (2020). Cheiracanthium inclusum. Diakses melalui
https://www.inaturalist.org/ pada tanggal 14 April 2021.

Herdiawan, I. A, Faninndi, dan A. Semali. (2008). Karakteristik dan


Pemanfaatan Kaliandra (Caliandra calothyrsus). Bogor:
Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Balai Penelitian
Ternak.

Nickerson, J. C. and J. C Bloomcamp. (2003). scientific name: Tapinoma


melanocephalum (Fabricius) (Insecta: Hymenoptera:
Formicidae); Introduction, Distribution, Description, Biology and
Behavior – Economic Importance, Detection, Management,
Selected references. Diakses melalui http://entnemdept.ufl.edu/
pada tanggal 26 Mei 2021.

Petren, K. (2001). Habitat and Niche, concept of. Encyclopedia of


Biodiversity. Vol. 3: 303 – 315.

Rizka, S. H. (2017). Komposisi dan Struktur Komunitas Semut


(Hymenoptera: Formicidae) di Hutan Sekunder Gampong Pisang
Labuhan Haji Aceh Selatan sebagai Referensi Mata Kuliah
Ekologi Hewan. Banda Aceh: Universitas Islam Negeri Ar-Raniry
Darussalam.

Seng, Ong Jyh. (2019). Coptosoma variegata. Diakses


melalui https://www.inaturalist.org. pada tanggal 14 April
2021.

Sumarto, S dan Roni, K. (2016). Ekologi Hewan. Bandung: CV. Patra


Media Grafindo.

Tsai, Ben. (2019). Semut Pudak Tapinoma melanocephalum. Diakses


melalui https://www.inaturalist.org pada tanggal 14 April 2021.

63
EKOLOGI HEWAN
(ABKC 2602)

PRAKTIKUM IV
“Keanekaragaman Hewan
Serasah”

64
PRAKTIKUM IV
Topik : Keanekaragaman dan Kemelimpahan Hewan Serasah
Tujuan : Untuk Mengetahui Keanekaragaman dan Kemelimpahan Hewan
Serasah
Hari/ tanggal : Sabtu/ 27 Maret 2021
Tempat : Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin,
Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin, Provinsi
Kalimantan Selatan

I. ALAT DAN BAHAN


A. Alat
1. Tali rapia 11. Alat dokumentasi
2. Rol meter 12. Milimeter block
3. Kompas 13. Alat ukut parameter
4. Paku/ patok lingkungan:
5. Plastik sampel a. soil tester
6. Jas hujan b. termometer
7. Palu c. Lux meter
8. Alat tulis d. anemometer
9. Kertas label e. Hygrometer
10. Plastik merah f. Altimeter

65
B. Bahan
1. Seluruh spesies hewan yang berada di bawah serasah

II. CARA KERJA


1. Menyiapkan alat yang akan digunakan
2. Menetukan tempat yang banyak terdapat serasah dan memilih satu
pohon sebagai center
3. Menentukan arah mata angin menggunakan kompas
4. Membuat 4 plot dengan ukuran 1×1m menggunakan tali rapia di setiap
arah mata angin dengan jarak 1m dari pohon center
5. Mengambil satu persatu serasah (daun kering) di dalam plot dan
mengamati hewan yang terdapat di plot tersebut, memasukan hewan
yang ditemukan ke dalam plastik sampel serta memberikan keterangan
menggunakan kertas label
6. Mengidentifikasi hewan yang didapat, mendokumentasikannya di atas
mm block
7. Menghitung kemelimpahan yang dilihat dari indeks Nilai Penting (NP)
dan keanekaragamaan (H’)
NP = KR + FR
Kerapatan (K) = jumlah ind/titik
Kerapatan Relatif (KR) = kerapatan ind/kerapatan seluruh spesies×100%
Frekuensi (F) = cuplikan/titik
Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi ind/frekuensi seluruh spesies×100%
H’ = -∑ (Pi Ln Pi)
Pi = n/N
n = Jumlah individu suatu spesies
N = Jumlah seluruh individu
8. Mengukur parameter lingkungan

66
III. TEORI DASAR
Menurut Kendeigh (1980) terdapat saling keterkaitan fungsional
antara komunitas dan habitat yang banyak dan majemuk yang menyusun
ekosistem. Yang paling penting diantaranya adalah pembentukan tanah,
pendauran hara dan arus energi. Tumbuhan dan hewan penting peranannya
di dalam pembentukan tanah, baik pengaruhnya terhadap tanah, maupun
bantuannya dalam produksi humus.
Pembentukan serasah lebih rendah di daerah arlktik dibandingkan di
daerah tropika. Di daerah tropika yang panas jumlah humusnya yang
terkumpul di dasar hutan adalah rendah sebab laju dekomposisi yang tinggi,
oleh sebab air permukaan dan oleh pelindian (Soetjipta, 1993).
Seekor hewan memakan dan melaksanakan metabolisme makanan
dari tumbuhan. Banyak makanan dari tumbuhan itu dikembalikan ke tanah,
sebagai ekstrakta hewan yang masih hidup, sebagian lainnya lagi sebagai
tubuh hewan yang telah mati, sebagian lagi berwujud gas.
Dalam praktikum kali ini akan diamati seberapa besar
keanekaragaman dan kemelimpahan hewan-hewan serasah mengingat
fungsi dari hewan tersebut terhadap pembentukan tanah

67
IV. HASIL PENGAMATAN
A. Tabel Hasil Pngamatan
1. Tabel hasil perhitungan
Titik ∑Ind
No. Nama Sp 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Chaetophilos 2
2 1 1 3 3 18 2 1 3 3
cia cellaria 6 63
2 Monomoriu 2 1 1 1 1 4 8 1 6 1 7
2 15 9 3 3 1 3
m minimum 5 3 5 3 1 2 0 187
3 Lumbricus
5 4 9 6 2 3 1 1 1
terrestris 32
4 Cylindroiulu 2 3 2 1 1 5 7 8 2
7 5 14 7 9 6 1 5 4 1 2 1
s Sagittarius 2 2 0 4 5 187
5 Rhysida 1
2 1 2 2 2 1
longipes 11
6 Oecophylla 1 1 3 2 3 1 2 2
1 1 3 9 2 2 1 6 4 3 3 4 2 2 11 6 9 4 19 22
smaragdina 3 5 0 9 7 4 6 3 301
7 Loxosceles
1 1 1 1 1 1
reclusa 6
8 Obama 3 4
1 1 1
Nungara 10
9 Subulina 2
6 9 16 8 7 1 3 4 2 1
octona 0 77
10 Orthomorph 1 1 2 3 3 1 2
3 4 31 7 5 3 1 1 1 3 1 1 5 8 8 5 3
a coarctata 1 2 5 2 2 1 2 235
11 Medetera 1 1 1 3 6
dolichopodid

68
ae
12 Solenopsis 1 1 1 2 1 1
7 9 8 3 1 2 1 6 7
invicta 5 1 9 5 0 6 140
13 Trochosa
2 5 3 1
canapii 11
14 Trechus
1 2 2
splendens 5
15 Parcoblatta 1
3 27 2 2
virginica 1 45
16 Allocosa
4 1
apachea 5
17 Trigoniulus 1 2
4 2 1 6 2 2 1 6 1
corallinus 6 5 66
18 Phyllophaga
3
rugosa 3
19 Pomacea
2 2 1 2 2 1 20
canaliculata 30
20 Wallaconchi
1 2 1
s uncinus 4
21 Gryllus
1 2 2 1
assimilis 6
22 Pycnoscelus 2
1
surinamensis 3
23 Achatina
1
fulica 1
∑ 1
5 3 8 3 9 9 14 2 3 4 3 7 1 1 1 2 2 1 5 4 6 5 1 1 2 1 1 2 1434
3 5 0 0 4 7 6 6 2 8 5 1 6 6 7 8 3 1 6 1 0 2 6 0 5 7 6 2 20 9 8 6 5 8 26 53 8 8 1 9

2. Tabel Perhitungan

69
Nama Sp ∑Ind ∑Cup K KR% F FR% NP% Pi -pi ln pi H’
Chaetophiloscia cellaria 63 11 1,575 4,393 0,275 5,446 9,839 0,044 0,137
Monomorium minimum 187 18 4,675 13,040 0,450 8,911 21,951 0,130 0,265
Lumbricus terrestris 32 9 0,800 2,232 0,225 4,455 6,687 0,022 0,084
Cylindroiulus Sagittarius 187 21 4,675 13,040 0,525 10,396 23,436 0,130 0,265
Rhysida longipes 11 7 0,275 0,767 0,175 3,465 4,232 0,008 0,039
Oecophylla smaragdina 301 28 7,525 20,990 0,700 13,861 34,851 0,210 0,328
Loxosceles reclusa 6 6 0,150 0,418 0,150 2,970 3,388 0,004 0,022
Obama Nungara 10 5 0,250 0,697 0,125 2,475 3,172 0,007 0,035
Subulina octona 77 11 1,925 5,370 0,275 5,446 10,816 0,054 0,158
Orthomorpha coarctata 235 24 5,875 16,388 0,600 11,881 28,269 0,164 0,296
Medetera dolichopodidae 6 4 0,150 0,418 0,100 1,980 2,398 0,004 0,022
Solenopsis invicta 140 15 3,500 9,763 0,375 7,426 17,189 0,098 0,228
Trochosa canapii 11 4 0,275 0,767 0,100 1,980 2,747 0,008 0,039 2,353
Trechus splendens 5 3 0,125 0,349 0,075 1,485 1,834 0,003 0,017
Parcoblatta virginica 45 5 1,125 3,138 0,125 2,475 5,613 0,031 0,108
Allocosa apachea 5 2 0,125 0,349 0,050 0,990 1,339 0,003 0,017
Trigoniulus corallinus 66 11 1,650 4,603 0,275 5,446 10,049 0,046 0,142
Phyllophaga rugosa 3 1 0,075 0,209 0,025 0,495 0,704 0,002 0,012
Pomacea canaliculata 30 7 0,750 2,092 0,175 3,465 5,557 0,021 0,081
Wallaconchis uncinus 4 3 0,100 0,279 0,075 1,485 1,764 0,003 0,017
Gryllus assimilis 6 4 0,150 0,418 0,100 1,980 2,398 0,004 0,022
Pycnoscelus
surinamensis 3 2 0,075 0,209 0,050 0,990 1,199 0,002 0,012
Achatina fulica 1 1 0,025 0,070 0,025 0,495 0,565 0,001 0,007
∑ 1434 202 35,850 100 5,050 100 200 1 2,353

70
3. Perhitungan
H1 = 2,353
1 < H1 < 3 = Keanekaragaman Sedang
Contoh Perhitungan Chaetophiloscia cellaria:
jumlahindividusuatuspecies
K (kerapatan) = jumlahtitik = 63/40 = 1,575

ker apa tan suatuspecies


KR (Kerapatan relatif) = jumlah ker apa tan seluruhspecies x 100%
1,575
= 35,850 x 100% = 4,393%
11
F (frekuensi) = 40 = 0,275

Frekuensisuatuspecies
FR (frekuensi relatif) = frekuensiseluruhspecies x 100%
0,275
= 5,050 x 100% = 5,446%

Nilai Penting (NP) = KR + FR


= 4,393 + 5,446
= 9,839

n 63
Pi = N = 1434 = 0,044

H’ = -Pi ln Pi
= - 0,044 ln 0,044
= 0,137

71
B. Tabel Parameter Lingkungan
Pengukura Pengulangan
Nama alat Kisaran
n 1 2 3
6.2 5.6 5.3
6 6 6.4
pH 6.6 6.2 6.6 5,3-6,6
6 6 6
6.4 6.4 6.1
100% 100% 65%
Soil tester
84.30% 83.20% 82.20%
93.60% 93.90% 93%
Kelembaba
65% 75% 40% 40-100%
n (%)
100% 100% 100%
82% 81% 83%
80% 80% 80%
31˚C 31˚C 31˚C
27˚C 27˚C 27˚C
30˚C 30˚C 30˚C
25,5˚C 25,5˚C 25,5˚C
26˚C 25˚C 25˚C
Termometer (˚C ) Suhu 26˚C 25˚C 25˚C 25-32˚C
26˚C 26˚C 29˚C
30˚C 32˚C 30˚C
31˚C 30˚C 30˚C
30˚C 30˚C 30˚C
30˚C 29˚C 28,5˚C
Lux meter (Lux) Min 1010 8550 7440 1010-8550
Max 13330 13110 8110 8110-13330
Min 777 788 830 777-830
Max 1034 1041 987 987-1041
Min 6250 17950 8210 6250-17950
9010 -
Max 9130 >20000 9010
>20000
Min 1021 1767 1077 1021-1767
Max 1619 1950 1301 1301-1950
Min 1120 8550 8110 1120-8550
Max 1152 1211 7440 1152-7440
Min 1800 2040 3270 1800-3270
Max 6300 2490 4730 2490-6300
72
Min 1940 1707 5850 1707-5850
Max 5230 5230 8120 5230-8120
Min 1101 2167 2130 1101-2167
Max 2880 3700 3010 2880-3700
Min 3900 4280 3030 3030-4280
Max 6320 7620 4930 4930-7620
Min 3280 6080 13290 3280-13290
Max 11480 8400 19000 8400-19000
Min 0m/s 0m/s 0m/s
Max 0m/s 1,3 m/s 0,7 m/s
Min 0m/s 0,1m/s 0 m/s
Max 0m/s 0,1m/s 0 m/s
Min 0,2 m/s 0,3 m/s 1,3m/s
Max 1,1 m/s 0,9 m/s 0,5 m/s
Min 0m/s 0m/s 0m/s
Anemometer (m/s) 0-1,3 m/s
Max 0,5m/s 0,5 m/s 0,3 m/s
Min 0m/s 0m/s 0m/s
Max 0,3 m/s 0,4 m/s 0,3 m/s
Min 0,9 m/s 0,3 m/s 0,3 m/s
Max 1,2 m/s 1,3 m/s 1,3 m/s
Min 0 m/s 0m/s 0,5m/s
Max 0,5 m/s 2,1m/s 1,4 m/s
Min 71.10% 66% 65%
Max 71.10% 68.10% 65.60%
Min 64.20% 62.70% 65%
Max 64.40% 65.70% 67.50%
Min 93.60% 93.10% 92.40%
Hygrometer (%) Max 93.90% 93.40% 93.40% 47-93,9%
Min 93.40% 93.20% 93.10%
Max 94% 93.70% 94%
48% 47% 48%
Analog 91% 92% 92%
84% 88% 86%
1 mdpl 1 mdpl 0 mdpl
1 mdpl 1 mdpl 1 mdpl
1 mdpl 2 mdpl 2 mdpl
Altimeter (mdpl) 0-1,5 mdpl
1,5 mdpl 1,5 mdpl 1,5 mdpl
1,5mdpl 1,5 mdpl 1,5 mdpl
  1 mdpl 1 mdpl 1 mdpl

73
C. Foto Hasil Pengamatan
D. Nama Nama Ilmiah Foto Pengamatan Foto Literatur
N Indonesia

1. Kutu kayu Chaetoph


iloscia
cellari
a

(Sumber: Picardy, 2012)


(Sumber: Dok. Kelas,
2021)
2. Semut Mono
hit mor
am ium
kec min
il imu
m

(Sumber: Dok. Kelas,


2021) (Sumber : Siska, 2017)
3. Cacing tanah Lu
m
b
r
i
c
u
s (Sumber: Dok. Kelas, (Sumber:Firmansyah,
t 2021) M.A., 2014)
e
r
r
e
s
t
r
i
s
4. Kaki seribu Cylind
roiu
lus
Sagi

74
ttari
us

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Owen, 2019)


2021)
5. Lipan Rhys
id
a
lo
n
gi
p
e
s (Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Kevin,
2021) 2016)
6. Semu Oeco
t ph
ran yll
g- a
ran s
g m
ar
ag
di (Sumber: Dok. Kelas,
2021) (Sumber: Pavan, 2020)
na
7. La Lox
b o
a s
- c
l e
a l
b e
a s (Sumber: Dok. Kelas, (Sumber:Greta, 2005)
r
p e 2021)
e c
r l
t u
a s
p a
a
75
c
o
k
l
a
t
8. Lintah Obama Nungara

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber : Alex, 2009)


2021)

76
9. Sumpil Subulina octona

(Sumber: Naturelove,
(Sumber: Dok. Kelas, 2017)
2021)
10. Kaki seribu Orthomorpha
coarctata

(Sumber: Saussure H,
1860)
(Sumber: Dok. Kelas,
2021)
11. Lalat kaki Medetera
panjang dolichopodidae

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Moore, 2019)


2021)
12. Semut api Solenopsis
invicta

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Taib, M,


2021)
2012)

77
13. Laba-laba Trochosa
tanah canapii

(Sumber: Simbolon,
(Sumber: Dok. Kelas,
2021) 2018)
14. Kumbang Trechus
tanah splendens

(Sumber: Dok. Kelas,


2021) (Sumber: Lompe, 2016)
15. Kecoa kayu Parcoblatta
virginica

(Sumber: Cranshaw,
(Sumber: Dok. Kelas,
2018)
2021)
16. Laba-laba Allocosa
serigala funerea

(Sumber: Tom, 2010)


(Sumber: Dok. Kelas,
2021)

78
17. Kaki seribu Trigoniulus
corallinus

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Modi. S,


2021)
2020)
18. Kumbang Phyllophaga
Juni rugosa

(Sumber: Sabrina, 2018)


(Sumber: Dok. Kelas,
2021)
19. Keong Pomacea
sawah canaliculata

(Sumber: Pastorino G,
(Sumber: Dok. Kelas, 2012)
2021)
20. Siput Wallaconchis
telanjang uncinus

(Sumber: Khalil, 2018)


(Sumber: Dok. Kelas,
2021)

79
21. Jangkrik Gryllus assimilis

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Arvin, 2018)


2021)
22. Kecoa Pycnoscelus
penggali surinamensis

(Sumber: Affandi, 2020)


(Sumber: Dok. Kelas,
2021)
23. Bekicot Achatina fulica

(Sumber: Nafata, 2015)


(Sumber: Dok. Kelas,
2021)

80
V. ANALISIS DATA
Serasah adalah suatu proses pengguguran bagian-bagian yang sudah tua
berupa daun, ranting, cabang, dan pohonnya sendiri yang tumbang (Halidah,
1993) dalam Dharmono (2000). Dilanjutkan oleh Sallata dan Halidah (1990)
dalam Dharmono (2000) menyatakan bahwa serasah adalah bahan yang
terletak di permukaan tanah terutama disusun oleh bagian yang sudah mati,
bahan-bahan yang mati dan masih berdiri seperti pohon atau cabang yang
masih belum patah. Tumbuhan tersebut setiap harinya akan menggugurkan
daunnya, cabang atau ranting, bunga dan buahnya yang akan menumpuk di
permukaan tanah berupa serasah. Penumpukan daun tersebut akan menjadikan
tanah kaya akan zat organik yang berguna bagi sumber makanan hewan
terutama hewan serasah. Pada lapisan serasah ini banyak sekali hidup hewan
tanah, dan hewan tanah itu disebut hewan serasah.
Berdasarkan hasil pengamtan yang kami peroleh maka terdapat 23 jenis
hewan serasah yang ditemukan di dalam tumpukan serasah di bawah pohon
Beringin , yaitu : Achatina fulica, Ceraleptus lividus, Chaetophiloscia
cellaria , Cylindroiulus Sagittarius, Gryllus assimilis, Laevicaulis alte,
Loxosceles apachea, Lumbricus terrestris, Medetera dolichopodidae,
Monomorium minimum, Obama Nungara, Oecophylla smaragdina,
Orthomorpha coarctata, Palystes superciliosus, Parcoblatta virginica,
Phyllophaga rugosa, Pomacea canaliculata, Rhysida longipes, Solenopsis
invicta, Subulina octona, Trechus splendens, Trigoniulus corallinus dan
Trochosa canapii. Komposisi dan jenis serasah daun itu menentukan jenis
hewan yang dapat hidup disana, dan banyaknya serasah itu menentukan
kepadatan hewan serasah. Di lapisan serasah inilah mulai terjadinya proses
humifikasi (pembentukan humus akibat proses dekomposisi) dan mineralisasi
(pecahnya material organik menjadi mineral, gas dan air). Keanekaragaman
pada serasah yang terdapat di bawah pohon tersebut menunjukkan indeks
deversitas sebesar 2,353 jadi keanekaragaman hewan serasah tersebut memiliki
keanekaragaman sedang. Menurut Manurung (1995) keanekaragaman meliputi
kekayaan species, yakni jumlah species yang ada di suatu komunitas dan

81
heterogenitas, yakni penggabungan dari konsep kekayaan species dengan
konsep kelimpahan.
Bila dikaitkan dengan konsep kemelimpahan maka species dari hewan
serasah yang jumlahnya terbanyak adalah Oecophylla smaragdina. Dimana
species ini mempunyai kerapatan, frekuensi dan nilai penting yang lebih tinggi
dibandingkan species lainnya. Di samping itu faktor lainnya yang juga
berperan yaitu faktor lingkungan.
Mengenai faktor lingkungan bila dikaitkan dengan parameter lingkungan
hal ini sesuai dengan karakteristik species Oecophylla smaragdina yang
menyukai tempat yang lembab dan cocok dengan kondisi di bawah serasah.
Menurut Boror dan Jonson (1992) semut-semut itu barangkali yang paling
sukses dari semua kelompok serangga, mereka praktis terdapat dimana-mana.
Di habitat darat, jumlah individu melebihi jumlah kebanyakan hewan darat
lainnya. Selain itu, factor sumber daya alam misalnya makanan yang lebih
banyak dan sesuai mendukung terjadinya tingkat produktivitas atau
bereproduksi.
Sedangkan species dari hewan serasah yang terendah yaitu Achatina
fulica. Hal ini bisa dilihat dari kerapatan, frekuensi, dan nilai penting yang
rendah. Hal ini diduga disebabkan oleh wilayah yang kurang mendukung
baginya bila dilihat dari segi makanannya yang mungkin tidak cocok baginya
sehingga memungkinkan jumlahnya yang menyusut dan mungkin juga
kebanyakan dari hewan ini pindah tempat untuk mencari tempat dan makanan
yang sesuai bagi dirinya.
Meskipun ditemukan dalam jumlah sedikit, hewan serasah tersebut
tentunya mempunyai peran yaitu untuk membantu proses penguraian tumpukan
serasah dalam pembentukan tanah, baik pengaruhnya terhadap tanah maupun
bantuan dalam membantu menyuburkan.
Kemelimpahan dan keanekaragaman fauna pada atau dalam tanah
dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan anatara lain: vegetasi tanah, suhu
tanah, pH tanah, kadar air, atmosfer tanah, dan profil tanah (Wallwork, 1970).
Pada saat pengamatan dilakukan pengukuran terhadap parameter lingkungan

82
yaitu soil tester, termometer, anemometer, lux meter, hygrometer, dan
altimeter. Untuk soil tester diperoleh untuk pH kisaran 5,3-6,6 dan untuk
kelembaban pada kisaran 40-100%, sedangkan untuk termometernya kisaran
adalah 25-32˚C. Untuk kecepatan angin kisaran adalah 0-1,3 m/s, sedangkan
kisaran untuk kelembaban udaranya adalah 47-93,9%. Untuk intensitas cahaya
pada kisaran . Dan pada pengukuran altimeter berada pada kisaran 0-1,5 mdpl.
Faktor lingkungan sangat mempengaruhi keanekaragaman dan
kemelimpahan serta keberadaan suatu organisme. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Polunin (1990 : 384) dimana faktor-faktor ekologi atau lingkungan
(fisika dan kimia) yang mempengaruhi organisme itu banyak dan beragam
sering kali bercampur secara rumit dan saling bergantungan. Namun meskipun
parameter lingkungan telah sesuai, keanekaragaman tumbuhan sebagai bagian
dari ekosistem juga sangat mempengaruhi dimana daerah praktikum ini adalah
daerah perkebunan yang memiliki keanekaragaman tumbuhan yang rendah
secara tidak langsung juga mempengaruhi keanekaragaman hewan yang ada
disekitarnya.

83
VI. KESIMPULAN
1. Berdasarkan hasil pengamatan, jenis hewan yang ditemukan di bawah
pohon Beringin yaitu Chaetophiloscia cellaria, Monomorium minimum,
Lumbricus terrestris, Cylindroiulus Sagittarius, Rhysida longipes,
Oecophylla smaragdina, Palystes superciliosus, Obama Nungara,
Subulina octona, Orthomorpha coarctata, Medetera dolichopodidae,
Solenopsis invicta, Trochosa canapii, Trechus splendens, Parcoblatta
virginica, Loxosceles apachea, Trigoniulus corallinus, Phyllophaga
rugosa, Pomacea canaliculata, Laevicaulis alte, Gryllus assimilis,
Ceraleptus lividus,dan Achatina fulica.
2. Hewan yang memiliki nilai penting (NP) tertinggi adalah Oecophylla
smaragdina dengan nilai 34,852. Hal ini berarti Oecophylla smaragdina
melimpah dan mendominasi daerah tersebut.
3. Hewan yang memiliki NP terendah adalah Achatina fulica yaitu 0,565%.
Hal ini mungkin disebabkan faktor lingkungan yang kurang mendukung.
4. Nilai indeks keanekaragaman yang diperoleh berjumlah 2,353. Hal ini
berarti pada daerah tersebut memiliki keanekaragaman spesies sedang.
5. Kemelimpahan dan keanekaragaman fauna pada atau dalam tanah di pengaruhi
oleh berbagai faktor lingkungan anatara lain: vegetasi tanah, suhu tanah, pH
tanah, kadar air, atmosfer tanah, dan profil tanah.

84
VII. DAFTAR PUSTAKA
Andy. (2019). Bulletin of the British Myriapod& Isopod Group.Diakses
melaluihttps://docplayer.net/163609848-Bulletin-of-the-british-
myriapod-and-isopod-group.htmlpadatanggal 15 April 2021.

Apriyanto. (2016). KeanekaragamanJenisSemutPenggangguPemukiman Di


Bogor. Bogor: ITB.

Borror,Triplehorn dan Jhonson, (1992). Pengenalan pelajaran serangga,


terjemahan oleh SoetiyonoPartosoedjono, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.

DE, Chemnitz. (2018). Bradycellus (Bradycellus) verbasci (Duftschmid,


1812). Diakses melalui https://arthropodafotos.de/pada 16 April
2021.

Heddy,S.dkk. (1994). Prinsip-Prinsip Dasar Ekologi. Raja Grafika Persada.


Jakarta.

Hunt, Christopher. (2005). Species Tegenaria domestica - Barn Funnel


Weaver. Diakses melalui bugguide.net pada 15 April 2021

Idris Ghani, dkk. (2013). Zorotypus in Peninsular (Zoraptera: Zorotypidae),


with the description of three new species. Anatomy and evolusion
of Zoraptera. Zootaxa.

Karim, Mahdi. (2017). Red Weaver Ant, Oecophyllasmaragdina. Wikipedia


MikriMakro.

Kendeigh, S.C. (1980). Ecology, With Spesial Reference to Animal and Man
Promates Limited : New Delhi. India.

Khan, Inroze. (2016). Divergent immune priming responses across flour


beetle life stages and populations. Diakses melalui researchgate.net
pada 15 April 2021.

Lompe, Von Arved. (2016). Trechus splendens. Diakses melalui


http://coleonet.de/coleo/texte/trechus_splendens-grp.htm pada
tanggal 15 April

Michael,P. (1995). Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Lapangan dan


Laboratorium.UI Press. Jakarta.

Murrya,T.(2019). Camponotuspennsylvanicus. melaluihttps://antwiki.org/


Pad 15 April 2021.

85
Nafata, B Bayu. (2015). Fauna LahanBasahBekicot.
Diaksesmelauihttps://pllbfmipaunlam.wordpress.com/2015/padatan
gga 15 April 2021.

Naturelove, (2017). Subulina octona. Diakses pada


http://www.natureloveyou.sg/Minibeast-Snail/Subulina
%20octona/Main.html. Pada tanggal 16 April 2021.

Nosa. (2012). Contacyphonpubescens. Diakses melalui


http://v3.boldsystems.org/ pada 16 April 2021

Owen. (2019). Bulletin of the British Myriapod& Isopod


Group.Diaksesmelaluihttps://docplayer.net/163609848-Bulletin-of-
the-british-myriapod-and-isopod-group.htmlpadatanggal 15 April
2021.

Pariyanto, P. (2019). Keanekaragaman Insekta yang Terdapat di Hutan


Pendidikan dan Pelatihan Universitas Muhammadiyah Bengkulu.
BIOEDUSAINS: Jurnal Pendidikan Biologi Dan Sains 2.2 (2019):
70-92.

Polunin, N., (1990), Pengantar Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu


Serumpun, Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Robert. (2014). Bembidionrapidum. Diakses melalui


https://commons.wikimedia.org/ pada 16 April 2021

Soegianto, A., (1994), Ekologi Kuantitatif. Usaha Nasional. Surabaya.

Soetjipto. (1993). Dasar-Dasar Ekologi Hewan. Depdikbud. Jakarta.

Thomas . (2020). Tachypodoiulus niger (Leach, 1814). Diakses melalui


https://www.bmig.org.uk/ pada tanggal 15 April 2021

Van Hoeve, W. (1996). Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna (terjemahan).


PT.Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta.

Vladimirov, Nikolai. (2016). Ceraleptuslividus.


Diaksesmelaluihttp://insecta.pro/padatanggal 15 April 2021.

Xespox. (2009). Julus or Leptoiulus sp. Photo Properties.

86
EKOLOGI HEWAN
(ABKC 2602)

PRAKTIKUM V
“Keanekaragaman Annelida”

87
PRAKTIKUM V
Topik : Keanekaragaman Annelida
Tujuan : Untuk mengetahui keanekaragaman Annelida
Hari / Tanggal : Minggu/ 28 Maret 2021
Tempat : Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin,
Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin, Provinsi
Kalimantan Selatan

I. ALAT DAN BAHAN


A. Alat
1. Meteran
2. Patok
3. Kertas label
4. Plastik sampel
5. Spidol
6. Parameter lingkungan
7. Penggali tanah
8. Tali rapia
B. Bahan
1. Spesies cacing

II. CARA KERJA


1. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2. Menentukan lokasi dengan luas kuadran 30 x 30 cm.
3. Menggali tanah dengan alat penggali sampai kedalaman 30 cm.
4. Mengambil cacing tanah pada lokasi tersebut.
5. Mengukur parameter lingkungan.
6. Memisahkan cacing tanah tersebut berdasarkan jenisnya.
7. Membersihkan atau mencuci dengan air cacing tanah tersebut.
8. Memasukkan data pengamatan dalam tabel pengamatan

88
9. Menghitung kerapatan, kerapatan relatif, frekuensi, frekuensi relatif, nilai
penting, dan indeks keanekaragaman.

III. TEORI DASAR


Bagi kalangan masyarakat cacing tanah bukanlah merupakan
hewan yang asing. Hewan ini kadang-kadang menjijikkan dan merupakan
penghuni tanah pekarangan, sawah, tegal, hutan dan tanah lainnya. Dilihat
secara mikroskopis cacing tanah tampak lunak dan lemah, namun dibalik itu
dia memilik peranan yang cukup penting dalam proses pembentukan tanah
(Dharmono,2021).
Menurut Fenton (1947) dalam Odum (1993) struktur komunitas
tanah dibedakan dalam 3 kelompok ukuran yang dikenal yaitu:
1) Mirkobiota, meliputi alga tanah, bakteri, jamur dan protozoa.
2) Mesobiota, meliputi Nematoda, Oligochaeta dan larva serangga.
3) Makrobiota, meliputi serangga yanag lebih besar, cacing tanah
(Lumbricidae) dan organisme yang mudah dipilih dengan termasuk
tikus tanah.
Cacing tanah yang menyamai nematoda-nematoda dalam tanah
terutama yang banyak dalam tanah mineral, terutama tanah liat berkapur, di
mana dapat mencapai kepadatan lebih 30 ekor per meter. Cacing tanah yang
hanya sedikit terdapat dalam tanah berpasir dan rendah kandungan
organiknya. Walaupun demikian jumlah dan aktivitas cacing tanah sangat
besar dari lokaasi ke lokasi yang lainnya seperti halnya organisme tanah
lainnya. Bentuk-bentuk gundukan tanah menggambarkan banyaknya cacing
tanah. (Adianto,1983)
Pada bentuk morfologi cacing tanah mempunyai alat bantu yaitu
seta. Seluruh tubuh cacing tanah dilapisis lendir yang dihasilkan oleh
kelenjar epidermis. Lendir tersebut berfungsi untuk mempertahankan dir
idari musuh-musuhnya.
Tubuh cacing tanah mudah teradaptaasi dengan lngkungannya,
sebab struktur organ-organ yanga adimilikinya sangat sederhana. Untuk

89
pergerakkannya cacing tanah menggunakan otot badannya. Pada bagian
depan tubuhnya terdapat mulut yanag dilengkapi bentuk bibir yang disebut
protomium yang berfungsi untuk menembus tanah.(Adianto,1983).

IV.

90
V. HASIL PENGAMATAN
A. Tabel Hasil Pengamatan dan Perhitungan
1. Tabel Hasil Pengamatan dan Perhitungan
Titik
Nama 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
No
Spesies 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 30
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lumbricus 1 1 2 1
1 9 3 1 7 3 8 7 2     3 2 2     5 1 1 1 2 3 1 5 7 5 20
rubellus 0 2 0 3
Pantoscole
2 x             5 1 1   2 2       3 5                          
corethrurus
Amynthas
3                   2   1                                    
aspergillum
1 1 2 1
∑ 9 3 1 7 3 8 8 4 2 3 3 2 2 3 5 5 1 1 1 2 3 1 5 7 5 20
5 3 0 3

2. Tabel perhitungan

K F
∑ ∑ - pi
(Individu/titik KR% (Cuplikan/titik FR% NP Pi
Ind cup Ln pi
) )

153 26 5,100 87,429 0,867 74,286 161,71 0,874 0,117

91
4
19 7 0,633 10,857 0,233 20,000 30,857 0,109 0,241
3 2 0,100 1,714 0,067 5,714 7,429 0,017 0,070
100,00 100,00 200,00
175 35 5,833 1,167 1,000 0,428
0 0 0

Indeks Keanekaragaman
Indeks Keanekaragaman
H'<1 Rendah
1 ≤ H' ≤ 3 Sedang
H' > 3 Tinggi
Jadi dapat disimpulkan bahwa keanekaragaman Annelida adalah rendah karena H'<1 yakni
0.428

92
3. Contoh Perhitungan
1) Lumbricus rubellus
K = Σ Individu / Titik NP = KR + FR
KR = (K Ind / Σ K) x Pi =n/N
100%
F = Σ Cuplikan / Titik - = -(n/N) ln (n/N)
PilnPi
FR = (F Ind / Σ F) x
100%

K = Σ Individu / Titik NP = KR + FR
= 153/30 = 87,429 % +
74,286%
= 5,100 ind/titik = 161,714 %
KR = (K Ind / Σ K) x Pi =n/N
100%
= (5,100 / 5,833) x = 153/175
100%
= 87,429 % = 0,874
F = Σ Cuplikan / - = -(n/N) ln (n/N)
Titik PilnPi
= 26/30 = -(0,874) ln(0,874)
= 0,867 cup/titik = 0,117
FR = (F Ind / Σ F) x
100%
= (0,867 / 1,167) x
100%
= 74,286 %

B. Table Parameter Lingkungan


Pengulangan
Nama alat Pengukuran Kisaran
1 2 3
7 6,1 7
pH 6,1-7,1
Soil tester 7 7,1 6,9
Kelembaban (%) 85% 85% 85% 85%

93
Termometer 29˚C 27˚C 28,5˚C
Suhu 27-29˚C
(˚C) 29˚C 28˚C 28˚C
Anemometer Min 0,4 m/s 0,3 m/s 0,5 m/s
0,3-0,6 m/s
(m/s) Max 0,5 m/s 0,5 m/s 0,6 m/s
13290
Min 3280 lux 6080 lux
lux 3280-19000
Luxmeter (lux)
19000 lux
Max 11480 lux 8400 lux
lux
Hygrometer (%)   85% 85% 85% 85%
Altimeter (mdpl)   2 mdpl 2 mdpl 3 mdpl 2-3 mdpl

94
C. Foto Hasil Pengamatan
No. Nama Nama Foto Pengamatan Foto Literatur
Indonesia Ilmiah
1. Cacing Lumbricu
Tanah s
Merah terrestris
Besar

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber:Firmansyah,


2021) M.A., 2014)
2. Cacing Pontoscole
penggali x
corethrurus

(Sumber : Dok. Kelas,


2021)
(Sumber : Xiaodong,
2012)
3. Cacing Amynthas
gila aspergillu
bodoh m

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber : Herman, 2013)


2021)

95
VI. ANALISIS DATA
Pada praktikum menentukan keanekaragaman annelida bertujuan
untuk mengetahui mengetahui keanekaragaman annelida. Pengambilan
sampel terbagi menjadi 30 titik. Berdasarkan hasil pengamatan di
lingkungan Universitas Lambung Mangkurat jumlah spesies yang
ditemukan ada 3 spesies, yaitu cacing tanah merah besar, cacing penggali,
dan cacing gila bodoh, dengan jumlah total keseluruhan individu adalah 175
individu.
Menurut Azhari dan Nofisulastri (2018), Annelida berasal dari
bahasa latin, yaitu “annulus” yang berarti cincin dan “oidos” yang berarti
bentuk, secara keseluruhan annelida dapat disebut sebagai cacing yang
bentuk tubuhnya bergelang-gelang. Pada Annelida terdapat selom yang oleh
septum-septum dibagi menjadi beberapa kompartemen. Annelida
merupakan hewan simetris bilateral, mempunyai sistem peredaran darah
yang tertutup dan sistem saraf yang tersusun seperti tangga tali. Annelida
memiliki sistem digesti, saraf, ekskresi dan reproduksi yang bersifat
metamerik. Cacing-cacing yang termasuk dalam Filum Annelida ini,
tubuhnya bersegmen-segmen. Mereka hidup di dalam tanah yang lembab,
dalam laut, dan dalam air tawar. Annelida ada yang hidup bebas, ada yang
hidup dalam liang, beberapa bersifat komensal pada hewan-hewan aquatik,
dan ada juga yang bersifat parasit pada vertebrata. Hewan Annelida
berperan penting pada lingkungan khususnya ekosistem air tawar mengalir
(lotik) sebagai pengurai (dekomposer) serta menjadi makanan untuk
organisme yang hidup di dalamnya.
Pada pengamatan, jumlah spesies yang paling banyak ditemukan
adalah spesies cacing tanah, yaitu cacing tanah merah besar. Cacing ini
relatif besar, berwarna merah muda sampai coklat kemerahan, tubuhnya
berbentuk silinder pada penampang melintang, kecuali pada bagian
posterior yang lebar dan rata. Ujung kepala berwarna coklat tua sampai
bagian samping coklat kemerahan, pigmentasi punggung memudar ke arah
belakang.

96
Menurut Sugiantoro (2012), tubuh cacing tanah terdiri dari segmen -
segmen dan memiliki struktur organ-organ sederhana, namun tetap dapat
terus beradaptasi dengan lingkungan hidupnya. Cacing tanah tidak memiliki
alat gerak seperti kaki dan tangan, otot badannya memanjang (longitudinal)
dan otot badannya yang melingkar tebal (sirkuler) berguna untuk
pergerakan.
Menurut Yuwafi (2016), warna cacing tanah tergantung pada ada
atau tidaknya dan jenis pigmen yang dimiliki cacing tersebut. Cacing yang
tanpa atau berpigmen sedikit, jika berkulit transparan biasanya terlihat
berwarna merah atau pink akibat adanya hemoglobin dari zona dipermukaan
pembuluh kapiler, tetapi jika kulitnya transparan akan terlihat putih. Kulit
cacing tanah terdiri dari kutikula luar, epidermis, lapisan jaringan saraf,
lapisan otot melingkar dan memanjang, serta peritoneum yang memisahkan
kulit dari kulom rongga badan. Cacing tanah bernapas dengan kulit, kulitnya
bersifat lembab, tipis, banyak mengandung kapiler – kapiler darah. Cacing
tanah tidak memiliki mata, tetap pada kulit tubuhnya terdapat sel – sel
syaraf tertentu yang peka terhadap sinar ( Kastawi, 2005). Cacing tanah
memakan serasah daun dan materi tumbuhan yang mati lainnya, dengan
demikian materi tersebut terurai dan hancur (Hardjowigeno, 2010).
Kami melakukan pengukuran parameter lingkungan di sekitar lokasi
pengambilan sampel sebanyak 3x pengulangan. Pengambilan data
menggunakan alat Soil tester, Termometer, Anemometer, Luxmeter,
Altimeter dan Hygrometer. Berdasarkan hasil pengukuran parameter
lingkungan di sekitar pengambilan sampel pada alat soil tester hasil pH
(derajat keasaman) berkisar 6,1-7,1 dan kelembaban sekitar 85%.
Termometer (Suhu) berkisar 27-29˚C, lux meter (intensitas cahaya) berkisar
3280-19000 lux, anemometer (kecepatan angin) berkisar 0,3-0,6 m/s,
hygrometer (kelembaban tempat) sekitar 85%, dan altimeter (ketinggian
tempat / titik) berkisar 2-3 mdpl.
Menurut Supriyadi (2008), Kelembaban tanah yang berkisar antara
30% – 60% dan derajat keasaman tanah yang berkisar antara 6 – 8

97
merupakan kondisi optimum untuk hidup cacing tanah. Sedangkan pada
pengukuran kelembaban tanah pengambilan sampel tergolong tinggi yaitu
85%, curah hujan, jenis tanah dan laju evapotranspirasi merupakan faktor-
faktor yang menentukan kelembaban tanah kemudian derajat keasaam
sesuai dengan yang dipaparkan pada literatur.
Faktor lingkungan yang mempengaruhi tempat tinggal cacing tanah
adalah sebagai berikut:
1. pH Tanah, Kemasaman tanah sangat mempengaruhi populasi dan
aktivitas cacing, Sehingga menjadi faktor pembatas penyebaran
dan spesiesnya. Cacing tanah tumbuh baik pada pH sekitar 7.0,
namum L. Terrestris, A. Caliginose hidup ada tanah masam dengan
pH 5,2 - 5.4, beberapa spesies tropis genus Megascolex hidup pada
tanah masam ber-pH 4,7 – 5,1 bahkan Denrobaena octaedra tahan
pada pH di bawah 4.3 sehingga dianggap spesies yang tahan
masam. Cacing tanah yang hanya dapat hidup pada tanah yang
asam disebut bertoleransi terhadap asam, sedangkan yang dapat
hidup pada tanah asam dan netral disebut tidak terpengaruh oleh
keasaman tanah (Suin, 2012). Pada pengamatan cacing tanah
ditemukan pada lingkungan tanah yang memiliki pH 6,1-7,1.
2. Kelengasan Tanah, berkisar 75-90 % bobot cacing tanah hidup
adalah air sehingga dehidrasi (pengeringan) merupakan hal yang
sangat menentukan bagi cacing tanah. Secara alami, cacing akan
bergerak ke tempat yang lebih basah atau diam jika terjadi
kekeringan tanah. Apabila tidak terhindar dari tanah kering, ia
tetap bertahan hidup meskipun banyak kehilangan air tubuhnya.
Cacing tanah biasanya menghindari tanah yang jenuh air. Bila
cacing-cacing ini muncul sepanjang hari ketika hujan cacing itu
mati oleh penyinaran ultraviolet kecuali jika cacing itu segera
mendapatkan perlindungan.
3. Temperatur, temperatur permukaan tanah optimum untuk aktivitas
cacing tanah di Malam hari adalah 10.5°C, berselisih minimal 2°C

98
di atas rumput dan ada hujan 4 hari sebelumnya. Limit atas
temperatur kematian cacing tanah setelah terpapar 48 jam adalah
28°C untuk L. Terrestris (Hanafiah, dkk., 2005).
4. Aerasi dan CO2, Aerasi tanah mencerminkan keadaan oksigen
dalam tanah. Tekanan CO2 tanah mempengaruhi distribusi cacing
di dalam tanah. Batas konsentrasi CO2 di dalam tanah biasanya
antara 0.01% dan 11.5% dan cacing tanah dapat hidup pada
konsentrasi CO2 yang jauh lebih tinggi dari nilai bahkan sampai
50% CO2
5. Bahan Organik, kualitas bahan organik (nisbah C/N, konsentrasi
lignin dan polifenol) mempengaruhi tinggi rendahnya populasi
cacing tanah. Bahan organik yang memiliki kandungan N dan P
tinggi meningkatkan populasi cacing tanah. Menurut Hanafiah,
dkk. (2005), pada tanah miskin bahan organik hanya sedikit jumlah
cacing tanah yang dijumpai. Namun apabila jumlah cacing tanah
sedikit, sedangkan bahan organik segar banyak, pelapukan akan
terhambat seperti terlihat di hutan dan padang rumput.
6. Jenis tanah, pada tanah bertekstur lempung dan liat sedang akan
cocok untuk pertumbuhan cacing dan organisme tanah. Sebaliknya
pada tanah bertekstur pasir yang memiliki kapasitas menahan air
rendah tidak cocok untuk pertumbuhan organisme tanah (Widyati,
2013).
7. Suplai Pakan, cacing tanah yang disuplai bahan organik berkadar N
tinggi terlihat lebih cepat tumbuh dan lebih banyak produksi
(Hanafiah, dkk., 2005).

99
VII. KESIMPULAN
1. Pada pengamatan keanekaragaman annelida ditemukan ada 3 spesies,
yaitu cacing tanah merah besar, cacing penggali, dan cacing gila bodoh,
dengan jumlah total keseluruhan individu adalah 175. Spesies terbanyak
yang ditemukan adalah cacing tanah merah besar.
2. Berdasarkan hasil perhitungan, keanekaragaman annelida tergolong
rendah
3. Hasil pengukuran parameter lingkungan di sekitar pengambilan sampel
pada alat soil tester hasil pH (derajat keasaman) berkisar 6,1-7,1 dan
kelembaban sekitar 85%. Termometer (Suhu) berkisar 27-29˚C, lux
meter (intensitas cahaya) berkisar 3280-19000 lux, anemometer
(kecepatan angin) berkisar 0,3-0,6 m/s, hygrometer (kelembaban
tempat) sekitar 85%, dan altimeter (ketinggian tempat / titik) berkisar 2-
3 mdpl.
4. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi tempat tinggal cacing
tanah yaitu pH tanah, kelengasan tanah, temperature, aerasi dan CO 2,
bahan organik, jenis tanah, dan suplai pakan

100
VIII. DAFTAR PUSTAKA
Azhari, N., dan Nofisulastri. (2018). Identifikasi Jenis Annelida Pada
Habitat Sungai Jangkok Kota Mataram. Bioscientist : Jurnal
Ilmiah Biologi. Vol. 6 (2): 130 – 137.

Firmansyah, M.A. (2014). Karakterisasi Populasi dan Potensi Cacing


Tanah untuk Pakan Ternak dari Tepi Sungai Kahayan dan Barito.
Berita Biologi. Vol. 13(3): 333-341.

Hanafiah, K. A., Anas, I., Napoleon, A., dan Ghoffar, N. (2005). Biologi
Tanah. Ekologi dan Mikrobiologi Tanah. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

Hardjowigeno. (2010). Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo.

Herman. (2013). Karakter Morfologi dan Pertumbuhan Tiga Jenis Cacing


Tanah Lokal Pekanbaru pada Dua Macam Media Pertumbuhan.
ISSN 2085-191X pada tanggal 15 April 2021.

Kastawi, Y. (2005). Zoologi Avertebrata. Malang: UM Press.

Sugiantoro. (2012). Harta Karun dari Cacing Tanah. Yogyakarta: Dafa


Publishing.

Suin, N. M. (2018). Ekologi Hewan Tanah. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Supriyadi. (2008). Kandungan Bahan Organik Sebagai dasar Pengelolaan


Tanah Dilahan Kering Madura. Embryo. Vol. 5 (2): 176 -183.

Widyati, E. (2013). Pentingnya Keragaman Fungsional Organisme Tanah


terhadap Produktivitas Lahan. Tekno Hutan Tanaman. Vol. 6(1):
29-37.

Xiaodong. (2012). Disturbance is Important Determinant on Successful


Invasion of P. Corethrurus in Tropics. Diakses melalui
http://m.extbg.cas.cn/ pada tanggal 15 April 2021.

Yuwafi, H. (2016). Kepadatan Cacing Tanah di Perkebunan Kopi PTPN


XII Bangelan Kecamatan Wonosari Kabupaten Malang.
Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang:
Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi.

101
EKOLOGI HEWAN
(ABKC 2602)

PRAKTIKUM VI
“Keanekaragaman Dan
Kemelimpahan
Makrozoobentos”

102
PRAKTIKUM VI
Topik : Keanekaragaman dan Kemelimpahan Makrozoobentos
Tujuan : Untuk Mengetahui Keanekaragaman dan Kemelimpahan Hewan
Makrozoobentos
Hari / Tanggal : Minggu / 28 Maret 2021
Tempat : Lingkungan Kolam GSG Universitas Lambung Mangkurat
Banjarmasin, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin,
Provinsi Kalimantan Selatan

I. ALAT DAN BAHAN


A. Alat :

1. Ekman grab 6. Anemometer


2. Jaring Bentoz 7. Hygrometer
3. Soil Tester 8. Altimeter
4. Termometer 9. Secchi disk
5. Luxmeter 10. Alat tulis

B. Bahan
1. Sampel Makrozoobentos
2. Kantong Plastik
3. Plastik Sampel
4. Kertas Label

II. CARA KERJA

1. Menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan


2. Menentukan lokasi titik pengambilan sampel
3. Pada titik 1, menancapkan alat ekman grab ke dasar kolam, kemudian
mengangkatnya ke tepi kolam
4. Membuka ekman dan meletakkan hasilnya di atas penyaring bentos

103
5. Mengambil Makrozoobentos yang tersaring dan memasukkannya ke dalam
plastik sampel
6. Melakukan pengulangan sebanyak 3 kali pada titik 1
7. Melakukan cara kerja nomor 3-6 pada titik yang kedua
8. Mencatat spesies apa saja yang terdapat pada setiap plot (diantara spesies yang
telah ditentukan) tanpa menghitung kerapatan maupun penutupannya.
9. Mengukur parameter lingkungan di tempat pengamatan
10. Mengidentifikasi makrozoobentos yang telah diperoleh
11. Menghitung indeks keanekaragaman masing-masing spesies yang telah
diidentifikasi

III. TEORI DASAR


Bentos adalah organisme yang hidup di dekat dasar sungai atau dikenal sebagai
zona benthink. Mereka hidup di dekat sedimen baik itu batu, lumpur, pasir dan lain-
lain dan beradaptasi dengan tekanan air dalam serta arus perairan yang deras.
Sebagian atau seluruh siklus hidup bentos berada di dasar perairan, baik yang sesil,
merayap maupun menggali lubang. Selain itu pergerakan bentos relatif terbatas.
Bentos sendiri mempunyai berbagai ciri-ciri yang diantaranya menurut
Sudarjanti dan Wijarni (2006) adalah : 1) mempunyai toleransi yang berbeda
terhadap berbagai tipe pencemaran dan mempunyai reaksi yang cepat. 2) Ditemukan
melimpah di perairan, terutama di ekosistem sungai, dipengaruhi oleh berbagai tipe
polutan yang ada. 3) mempunyai keanekaragaman yang tinggi dan mempunyai
respon terhadap lingkungan yang stress. 4) hidup melekat di dasar perairan. 5)
mempunyai siklus hidup yang panjang.
Suwondo dkk, (2004) juga mengemukakan bahwa bentos merupakan organisme
perairan yang keberadaannya dapat dijadikan indikator perubahan kualitas biologi
perairan sungai. Selain itu, organisme bentos juga dapat digunkan sebagai indikator
biologis dalam mempelajari ekosistem sungai (Canter dan Hills, 1979). Hal ini
disebabkan adanya respon yang berbeda terhadap suatu bahan pencemar yang masuk
dalam perairan sungai dan bersifat immobile.

104
Mahmudi dkk, (1999) juga mempertegas bahwa makrozoobentos mempunyai
peranan penting di ekosistem sungai, yaitu : 1) dapat memberikan informasi
mengenai mepindahan dan penggunaan energi dalam ekosistem sungai, 2)
mempunyai peranan dalam proses self purification sungai, dan 3) dapat digunakan
untuk kepentingan restorasi perairan sungai dengan cara menciptakan habitat yang
mendorong kolonisasi makrozoobentos. Komunitas makrozoobentos bahkan menjadi
sumber energi untuk perikanan di ekosistem sungai. Komunitas bentos termasuk
beraneka ragam spesies dan larva serangga, termasuk nyamuk-nyamuk kecil, lalat,
lalat naga muda dan jenis cacing cacingan.

105
IV. HASIL PENGAMATAN
D. Tabel Hasil Pengamatan dan Perhitungan
3. Tabel Hasil Pengamatan dan Perhitungan

Titik ∑ ∑
In Cu K KR % F FR % NP % Pi (-)pilnpi H'
No Nama Spesies 1 2
d p
1 2 3 4 5 6
0,33
1 Filopalodina javanica       1   1 2 2 0,333 4,878 3 12,500 17,378 0,049 0,147
Sulcospira 1,00
2 testudinaria 5 6 1 2 6 1 21 6 3,500 51,220 0 37,500 88,720 0,512 0,343
Pomacea 0,33 1,09
3 canaliculata 1 1         2 2 0,333 4,878 3 12,500 17,378 0,049 0,147 6
0,83
4 Lumbricus rubellus 2 8 1   2 2 15 5 2,500 36,585 3 31,250 67,835 0,366 0,368
0,16
5 Amerianna carinata 1           1 1 0,167 2,439 7 6,250 8,689 0,024 0,091
100,00 2,66 100,00 200,00 1,09
    9 15 2 3 8 4 41 16 6,833 0 7 0 0 1,000 1,096 6

Indeks Keanekaragaman
Indeks Keanekaragaman
H'<1 Rendah
1 ≤ H' ≤ 3 Sedang
H' > 3 Tinggi

Jadi dapat disimpulkan bahwa keanekaragaman dan kemelimpahan dari Makrozobentos adalah sedang karena 1 ≤ H' ≤ 3 yakni

106
1,096

107
4. Contoh Perhitungan

K = Σ Individu / Titik NP = KR + FR
KR = (K Ind / Σ K) x 100% Pi =n/N
F = Σ Cuplikan / Titik -PilnPi = -(n/N)ln(n/N)
FR = (F Ind / Σ F) x 100%
1. Filopalodina javanica
K = Σ Individu / Titik NP = KR + FR
= 2/6 = 4,878% + 12,500%
= 0,333 ind/titik = 17,378%

KR = (K Ind / Σ K) x Pi =n/N
100%
= (0,333 / 6,833) x = 2/41
100%
= 4,878% = 0,049
F = Σ Cuplikan / Titik - = -(n/N)ln(n/N)
PilnPi
= 2/6 = -(0,049)ln(0,049)
= 0,333 cup/titik = 0,147
FR = (F Ind / Σ F) x
100%
= (0,333 / 2,667) x
100%
= 12,500 %

108
E. Table Parameter Lingkungan

Pengulangan
Nama alat Pengukuran Kisaran
1 2 3
pH 6,6 6,2 6,6 6.2-6.6
Soil Tester Kelembaban 65% 67% 70% 65-70 %
31˚C 31˚C 31˚C
Termometer 33˚C 33˚C 33˚C
  31-37˚C
(˚C) 35˚C 34˚C 37˚C
33˚C 31˚C 32˚C
4700 1104 1750
Min
lux lux lux
4790 1844 1800
Max
lux lux lux
7660 10520 <20000
Min 1104 -
Luxmeter lux lux lux
>20000
(Lux) 9110 11210 >20000
Max lux
lux lux lux
5800 5470 5580
Min
lux lux lux
7850 6230 6490
Max
lux lux lux
Anemometer Min 0,2 m/s 0,1 m/s 0,1 m/s 0,1-0,4
(m/s) Max 0,4 m/s 0,3 m/s 0,3 m/s m/s
Min 63% 62,60% 55,50%
64,90
Max 62,90% 56,70%
%
57,20
Min 56,50% 56,10%
Hygrometer % 55,5 -
(%) 58,20 65,5%
Max 57,50% 56,80%
%
62,50
Min 62,30% 62,40%
%
Max 63% 65% 63,90%
-1 -2 -2 -1 - (-
Altimeter mdpl mdpl mdpl 2) mdpl
 
(mdpl) -2 -2 -2 -2
mdpl mdpl mdpl mdpl
Secchi disk 24,5 19-34
  19 cm 34 cm
(cm) cm cm

109
110
F. Foto Hasil Pengamatan

No. N Nama Foto Pengamatan Foto Literatur


am Ilmiah
a
Ind
one
sia
1. T Filopa
u lodina
t javani
u ca
t

J
a
w (Sumber: Dok. Kelas,
(Sumber : Claude, 2013)
a 2021)
2. S Sulco
u spira
s testu
u dinar
h ia

k
u
r (Sumber: Dok. Kelas,
a 2021) (Sumber :Ristiyanti,
2011)
3. K Poma
e cea
o canal
n iculat
g a

M (Sumber : Zulkifli. 2015)


a (Sumber: Dok. Kelas,
s 2021)
4. C Lu
a mbr
c icus
i rub
n ellu
g s
J (Sumber: Dok. Kelas,
a 2021) (Sumber : Sakip, 2017)

111
y
a
g
ir
i
5. Ke Ame
on rian
g na
Ka cari
ntu nata
ng
Te (Sumber : Elrin. 2014)
mb (Sumber: Dok. Kelas,
ika 2021)
r

112
V. ANALISIS DATA
Pada praktikum menentukan keanekaragaman dan kemelimpahan
makrozoobentos bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman dan kemelimpahan
hewan makrozoobentos. Pengambilan sampel terbagi menjadi 6 titik. Berdasarkan
hasil pengamatan di lingkungan Universitas Lambung Mangkurat jumlah spesies
yang ditemukan ada 5 spesies, yaitu tutut jawa, susuh kura, keong mas, cacing
jayagiri, dan keong kantung tembikar dengan jumlah total keseluruhan individu
41.
Jumlah individu terbanyak yang ditemukan saat pengamatan adalah susuh
kura (Sulcospira testudinaria) yaitu keong kecil dengan cangkang berbentuk
contong (kerucut panjang). Cangkang berwarna cokelat kehijauan, bercorak-corak
tegak cokelat atau cokelat tua, atau bersabuk cokelat. Cangkang agak ramping dan
licin. Mulut cangkang bundar telur, dengan tepi tipis, tajam, tidak bersambung,
sebelah bawahnya agak melebar. Siput ini dapat ditemukan di berbagai perairan,
baik yang tenang ataupun yang berarus lambat atau deras; terutama yang dasarnya
berlumpur, hingga ketinggian 1.400 m dpl (Djajasasmita, 1999).
Menurut Fachrul (2007), bentos merupakan organisme dasar perairan, baik
berupa hewan maupun tumbuhan, baik yang hidup di permukaan dasar ataupun
dasar perairan. Bentos adalah organisme yang hidup di dasar perairan (substrat)
baik yang sesil, merayap maupun menggali lubang. Bentos hidup di pasir, lumpur,
batuan, patahan karang atau karang yang sudah mati. Menurut Odum (1994),
Makrozoobenthos adalah organisme yang mendiami dasar perairan atau tinggal di
sedimen dasar perairan. Organisme bentos mencakup organisme nabati yang
disebut fitobentos dan organisme hewani yang disebut zoobentos.
Makrozoobentos umumnya sangat peka terhadap perubahan lingkungan
perairan yang ditempatinya, karena itulah makrozoobentos ini sering dijadikan
sebagai indikator ekologi suatu perairan dikarenakan cara hidup, ukuran tubuh,
dan perbedaan kisaran toleransi di antara spesies di lingkungan perairan. Alasan
pemilihan makrozoobentos sebagai indikator ekologi menurut Wilhm (1978), dan
Wargadinata (1995) adalah sebagai berikut:
1. Mobilitas terbatas sehingga memudahkan pengambilan sampel.

113
2. Ukuran tubuh relatif besar sehingga memudahkan untuk identifikasi.
3. Hidup di dasar perairan, relatif diam sehingga secara terus menerus
penurunan kualitas oleh air sekitarnya.
4. Pendekatan yang terus menerus mengakibatkan makrozoobentos
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan.
Berdasarkan derajat toleransinya terhadap pencemaran, bentos dapat
dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Jenis yang tahan terhadap bahan pencemar, misalnya cacing Tubificid,
larva nyamuk, siput, terutama Masculium sp dan psidium
2. Jenis yang lebih jernih (Bersih), misalnya siput yang senang arus,
Bryozoa, serangga air, dan crustacea.
3. Jenis yang hanya senang bersih, misalnya: siput dari Vivinatidae dan
Amnicolidae, serangga (larvanimfa) dari bangsa Ephemeridae, Odonata,
Hemiptera, dan coleopatra.
Kami melakukan pengukuran parameter lingkungan di sekitar lokasi
pengambilan sampel sebanyak 3x pengulangan. Pengambilan data menggunakan
alat Soil tester, Termometer, Anemometer, Luxmeter, Altimeter, Hygrometer, dan
Secchi Disk. Berdasarkan hasil pengukuran parameter lingkungan di sekitar
pengambilan sampel pada alat soil tester hasil pH ( derajat keasaman) berkisar
6.2-6.6 dan kelembaban berkisar 65-70 %. Termometer (Suhu) berkisar 31-37˚C,
lux meter (intensitas cahaya) berkisar 1104 - >20000 lux, anemometer (kecepatan
angin) berkisar 0,1-0,4 m/s, hygrometer (kelembaban tempat) berkisar 55,5 -
65,5%, dan altimeter (ketinggian tempat / titik) berkisar -1 - (-2) mdpl. Secchi
Disk (tingkat kekeruhan air) berkisar 19-34 cm.
Berikut adalah parameter lingkungan dari makrozobentos:
1. Suhu, suhu mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelarutan oksigen
di air apabila suhu air naik maka kelarutan oksigen di dalam air
menurun. Suhu merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan hewan
bentos. Batas toleransi hewan terhadap suhu tergantung kepada
spesiesnya. Umumnya suhu di atas 30°C dapat menekan pertumbuhan
populasi hewan bentos (Sinaga, 2009).

114
2. Disolved Oxygen (DO), merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam
suatu perairan. Kelarutan oksigen di dalam air bergantung pada keadaan
suhu, pergerakan di permukaan air, luasnya daerah permukaan air yang
terbuka bagi atmosfer, dan persentase oksigen di udara sekelilingnya
kelarutan oksigen di dalam air bergantung pada keadaan suhu,
pergerakan di permukaan air, luasnya daerah permukaan air yang
terbuka bagi atmosfer, dan persentase oksigen di udara sekelilingnya.
Kehidupan di air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimum
sebanyak 5 mg oksigen setiap liter air (Sinaga, 2009).
3. pH, nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada
umumnya berkisar antara 7 - 8,5. Kondisi perairan yang sangat basa
maupun yang sangat asam akan membahayakan kelangsungan hidup
organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme
karena akan menyebabkan tejadinya gangguan metabolisme dan
respirasi.
4. Salinitas, semakin tinggi salinitas, semakin besar tekanan osmosisnya
sehingga organisme harus memiliki kemampuan beradaptasi terhadap
perubahan salinitas sampai batas tertentu melalui mekanisme
osmoregulasi. Organisme yang hidup di daerah intertidal biasanya telah
beradaptasi untuk menolerir perubahan salinitas hingga 15‰. Menurut
Mudjiman (1981), kisaran salinitas yang dianggap layak bagi kehidupan
makrozoobentos berkisar 15-45‰, karena pada perairan yang
bersalinitas rendah maupun tinggi dapat ditemukan makrozoobentos
seperti siput, cacing (Annelida) dan kerang-kerangan.
5. Substrat, substrat dasar yang berupa batu-batu pipih dan batu kerikil
merupakan lingkungan hidup yang baik bagi makrozoobentos sehingga
bisa mempunyai kepadatan dan keanekaragaman yang besar
(Odum,1994).
6. Bahan Organik Total (BOT), menggambarkan kandungan bahan organik
total suatu perairan yang terdiri dari bahan organik terlarut, tersuspensi
(partikulate) dan koloid. Bahan organik pada sedimen merupakan

115
penimbunan dari sisa tumbuhan dan binatang yang sebagian telah
mengalami pelapukan (Chalid, 2014). Standar bahan organik total yang
diperbolehkan agar organisme dapat hidup berkisar 0,68- 17ppm.
Berdasarkan hasil perhitungan indeks keanekaragaman, makrozobentos di
kolam sekitar lingkungan Universitas Lambung Mangkurat tergolong sedang,
yang berarti air tercemar sedang. Keanekaragaman makrozoobentos dapat
memberikan informasi status kualitas air apakah sudah atau belum tercemar.
Dalam Wilhm (1975), kriteria nilai indeks menurut Shannon, adalah sebagai
berikut:

H'<1 Tercemar atau kualitas air tercemar berat


1 ≤ H' ≤ 3 Stabilitas komunitas biota sedang atau air tercemar
sedang
H' > 3 Stabilitas komunitas biota dalam kondisi prima (stabil)
atau kualitas air bersih

116
VI. KESIMPULAN
1. Pada pengamatan keanekaragaman dan kemelimpahan makrozoobentos
bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman dan kemelimpahan hewan
makrozoobentos, jumlah spesies yang ditemukan ada 5 spesies, yaitu tutut
jawa, susuh kura, keong mas, cacing jayagiri, dan keong kantung tembikar
dengan jumlah total keseluruhan individu 41. Spesies terbanyak yang
ditemukan adalah susuh kura dengan jumlah 21 individu.
2. Berdasarkan hasil perhitungan, keanekaragaman dan kemelimpahan dari
Makrozobentos tergolong sedang
3. Hasil pengukuran parameter lingkungan di sekitar pengambilan sampel pada
alat soil tester hasil pH (derajat keasaman) berkisar 6.2-6.6 dan kelembaban
berkisar 65-70 %. Termometer (Suhu) berkisar 31-37˚C, lux meter (intensitas
cahaya) berkisar 1104 - >20000 lux, anemometer (kecepatan angin) berkisar
0,1-0,4 m/s, hygrometer (kelembaban tempat) berkisar 55,5 - 65,5%, dan
altimeter (ketinggian tempat / titik) berkisar -1 - (-2) mdpl. Secchi Disk
(tingkat kekeruhan air) berkisar 19-34 cm.
4. Parameter lingkungan atau faktor – faktor yang dapat mempengaruhi
keberadan makrozobentos adalah suhu, disolved oxygen (DO), pH, salinitas,
substrat dan bahan organik total.

117
VII. DAFTAR PUSTAKA
Chalid, A., (2014). Keanekaragaman dan Distribusi Makrozoobentos pada
Daerah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Tanjung Buli, Halmahera Timur.
Universitas Hasanudin Makassar.

Claude dan Amandine. (2013). Filopalodina javanica. Diakses melalui


https://www.flickr.com/photos/ pada tanggal 15 April 2021.

Djajasasmita. (1999). Keong dan Kerang Sawah. Bogor: Puslitbang Biologi


LIPI.

Elrincondelmala. (2014) .Planordibae. Diakses melalui


http://www.elrincondelmalacologo.com pada tanggal 15 April 2021.

Fachrul, M. F. (2007). Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara.

Mahmudi, Wiadnyana, dan Wiharto. (1999). Produktivitas Perairan. Malang:


Universitas Brawijaya.

Odum, E.P. (1994). Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Terjemahan Oleh


Koesbiono, D.G. Bengon, M. Eidmen & S. Sukarjo. Jakarta: PT
Gramedia.

Ristiyanti. (2011). Keong Air Tawar Pulau Jawa (Moluska, Gastropoda).


Diakses melalui https://edoc.tips/download/keong-air-tawar-pulau-jawa-
moluska-gastropoda_pdf pada tanggal 15 April 2021.

Sakip. (2017). Budidaya Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) Keuntungan dan


Manfaat Yang Berlimpah. Diakses melalui https://dkp.jatimprov.go.id
pada tanggal 15 April 2021.

Sinaga, T. (2009). Keanekaragaman Makarozoobentos Sebagai Indikator


Kualitas Perairan Danau Toba Balige Kabupaten Toba Samosir.
Universitas Sumatera Utara Medan.

Sudarjanti dan Wijarni. (2006). Keanekaragaman dan


KelimpahanMakrozoobenthos. Jakarta : Erlangga.

Suwondo, Elya Febrita, Dessy dan Mahmud Alpusari. (2004). Kualitas Biologi
Perairan Sungai Senapelan, Sago dan Sail di Kota Pekanbaru
berdasarkan Bioindikator Plankton dan Bentos. Jurnal Biogenesis Vol.
1(1):15-20.

Wargadinata, E. L. (1995). Makrozoobentos sebagai Indikator Ekologi di


Sungai Percut. Medan. Universitas Sumatera Utara Medan.

118
Wilhm, J. F. (1975). Biological Indicator of Pollution. London Black Well
Scientific. Oxford. Hal: 370-402.

Zulkifli. (2015). Studi Ekologi Keong Mas (Pomacea Canalicula L.) sebagai
Bahan Sumbangan Materi Pembelajaran Kontekstual pada Mata
Pelajaran Biologi Sma dDi Oku Timur. Diakses melalui
https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/fpb/article/download/4715/pdf.
Pada tanggal 15 April 2021.

119
EKOLOGI HEWAN
(ABKC 2602)

PRAKTIKUM VII
“Menentukan Pola Penyebaran
Hewan Pantai”

120
PRAKTIKUM VII
Topik : Menentukan Pola Penyebaran Hewan Pantai
Tujuan : Untuk mengetahui pola penyebaran hewan pantai
Hari / Tanggal : Minggu / 4 April 2021
Tempat : Lingkungan Desa Sungai Bakau, Kecamatan Kurau, Kabupaten Tanah
Laut, Provinsi Kalimantan Selatan

I. ALAT DAN BAHAN


A. Alat
1. Jaring 7. Anemometer
2. Plastik Sampel 8. Lux meter
3. Alat tulis 9. Secchi Disk
4. Kertas label 10. Salino Meter
5. Termometer 11. pH Meter
6. Hygrometer 12. Soil Tester
B. Bahan
1. Sampel hewan pantai

II. CARA KERJA


1. Menyiapkan alat yang akan digunakan.
2. Menentukan dua titik tempat pengambilan sampel yaitu selutut dan
sepinggang.
3. Pada tiap titik membuat area kajian dengan luas 4 x 4 m.
4. Dengan menggunakan jaring atau cara manual, mengambil semua hewan
dasar yang terdapat pada area tersebut kemudian memasukkannya kedalam
plastik sampel.
5. Mengukur parameter lingkungan seperti suhu, kelembaban, kecepatan angin,
dan intensitas cahaya.
6. Mengidentifikasi hewan-hewan pantai yang didapat.
7. Mencatat dan menghitung data yang diperoleh ke dalam tabel pengamatan.
8. Menganalisis data yang diperoleh.

121
III. TEORI DASAR
Laut merupakan satu kesatuan ekosistem, dimana serangkaian komunitas
dipengaruhi dan pada gilirannya mempengaruhi faktor-faktor fisik kimia air laut
disekitarnya (Dharmono, 2021). Laut juga merupakan salah satu bentuk
kehidupan yang sangat berperan bagi umat manusia, terutama kekayaan yang
terkandung di dalamnya baik hewan ataupun tumbuhan (Dharmono, 2021).
Negara Indonesia adalah negara kepulauan, luas lautannya lebih besar dari
pada luas daratannya. Jalur tanah yang membatasi daratan, tempat daratan
bertemu dengan lautan yang dikenal sebagai pantai (Dharmono, 2021).
Untuk daerah pesisir (Psamolitoral) sepanjang pantai pasir dikenal dengan
daerah hidropsamon dan higropsamon. Daerah hidrosapmon merupakan daerah
yang pantai pasirnya terendam air laut, sedangkan daerah higropsamon
merupakan daerah yang dipengaruhi oleh perembesan air laut tidak terendam air
laut. Daerah higrosapmon didominasi oleh hewan-hewan yang membuat pasir
selama terjadi pasang surut (Dharmono, 2021).
Pantai pasir umum terdapat diseluruh dunia dan lebih dikenal dari pada
pantai berbatu, karena pantai ini merupakan tempat yang dipilih untuk melakukan
berbagai aktivitas rekreasi. Demikian pula, pantai ini memperlihatkan perbedaan
yang nyata dari pada pantai berbatu. Pada pantai pasir kelihatannya tidak dihuni
oleh kehidupan mikroskopik. Organisme tentu saja tidak tampak karena faktor-
faktor lingkungan yang bereaksi di pantai ini membentuk kondisi dimana seluruh
organisme mengubur dirinya dalam substrat (Dharmono, 2021).
Pasang surut air laut menyebabkan terjadinya kisaran beberapa faktor
lingkungan air laut yang besar terutama suhu dan salinitasnya, sehingga jenis-
jenis tumbuhan dan hewan memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan
ekstrim ini, sehingga menyebabkan keragaman jenis kecil, tetapi mempunyai
kepadatan populasi setiap jenis umumnya besar (Dharmono, 2021).
Faktor lingkungan yang dominan pada pantai pesisir adalah gerakan
ombak yang membentuk substrat yang tidak stabil dan terus menerus bergerak.
Jika organisme ingin menghuni daerah ini, pertama-tama harus beradaptasi

122
terhadap lingkungan itu sendiri dan kemampuan untuk menggali dengan cepat.
Strategi ini banyak dilakukan oleh Annelida, Kopepoda, kerang kecil dan hewan
lainnya (Dharmono, 2021).
Pesisir pantai adalah daerah pemukiman penduduk, dan sebagian besar
penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Selain itu pantai adalah
daerah wisata yang secara tidak langsung berdampak negatif bagi ekosistem
pantai khususnya terhadap populasi hewan (fauna sisipan) penghuni pesisir pantai
sehingga mempengaruhi keanekaragamannya. Dharmono (2021) fauna sisipan
merupakan hewan yang hidupnya berada diantara butiran-butiran pasir.

123
IV. HASIL PENGAMATAN
A. Tabel Hasil Pengamatan dan Perhitungan
1. Tabel Hasil Pengamatan
Titik
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Spesies
. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 15 24 30
0 1 2 3 4 6 7 8 9 0 1 2 3 5 6 7 8 9
1 Bagrus nemurus     1                       2 1                          
Litopenaeus
2       1 2 2 3 5 4 1 1 1 2 1 4                         3 4 3
vannamei
Canarium
3 1 1                                 1         1         1  
erythrinum
Conomurex
4 1                           1       1     1               1
luhuanus
5 Urosalpinx cinerea 1                                     1                    
6 Turris ruthae   1                                                        
7 Natica arachnoidea   1 1                       1     1       1 1              
8 Turritella acropora     1                                             3        
9 Atule mate                     1                                      
10 Rissoina inca                     1                                      
11 Conus flavidus                       1                             1      
12 Arius thalassinus                       1                                    
13 Tritia reticulate                       1                                    
14 Subulina octona                           1 1                              
15 Mactra grandis                           3 2 3 1 1             1          

124
Glycymeris
16                               2                            
glycymeris
Pseudostomatella
17                             1                              
martini
18 Mitrella aemulata                             1                              
19 Rumina decollate                               1                            
20 Tegula eiseni                               1               1            
21 Pomacea maculate                           1 1                              
Ruditapes
22                                 1                          
decussatus
Argopecten
23                                 1         1 1              
irradians
Staramonita
24                                         1               2  
haemostoma
25 Anadara granosa                                       1               2   1
26 Lacuna snails                                         1     1       1    
1
27 Meretrik meretrik                                           1       4      
4
28 Placuna placenta                                             1              
29 Turritella terebra                                               1            
Σ                                                            

125
2. Tabel Perhitungan

No ∑ ∑
Nama Spesies K (∑X2) (∑X)2 IS Keterangan
. Ind cup

1 Bagrus nemurus 4 3 0.008 6 16 14.667 Mengelompok


Litopenaeus
2 37 15 0.077 117 1369 2.607 Mengelompok
vannamei
3 Canarium erythrinum 5 5 0.010 5 25 7.250 Mengelompok
4 Conomurex luhuanus 5 5 0.010 5 25 7.250 Mengelompok
5 Urosalpinx cinerea 2 2 0.004 2 4 29.000 Mengelompok
6 Turris ruthae 1 1 0.002 1 1 ∞ Tidak Terdeteksi
7 Natica arachnoidea 6 5 0.013 6 36 5.800 Mengelompok
8 Turritella acropora 4 2 0.008 10 16 24.667 Mengelompok
9 Atule mate 1 1 0.002 1 1 ∞ Tidak Terdeteksi
10 Rissoina inca 1 1 0.002 1 1 ∞ Tidak Terdeteksi
11 Conus flavidus 2 2 0.004 2 4 29.000 Mengelompok
12 Arius thalassinus 1 2 0.002 1 1 ∞ Tidak Terdeteksi
13 Tritia reticulate 1 1 0.002 1 1 ∞ Tidak Terdeteksi
14 Subulina octona 2 2 0.004 2 4 29.000 Mengelompok
15 Mactra grandis 11 6 0.023 25 121 6.718 Mengelompok
Glycymeris
16 2 1 0.004 4 4 59.000 Mengelompok
glycymeris
Pseudostomatella
17 1 1 0.002 1 1 ∞ Tidak Terdeteksi
martini

126
18 Mitrella aemulata 1 1 0.002 1 1 ∞ Tidak Terdeteksi
19 Rumina decollate 1 1 0.002 1 1 ∞ Tidak Terdeteksi
20 Tegula eiseni 2 2 0.004 2 4 29.000 Mengelompok
21 Pomacea maculate 2 2 0.004 2 4 29.000 Mengelompok
22 Ruditapes decussatus 1 1 0.002 1 1 ∞ Tidak Terdeteksi
23 Argopecten irradians 3 3 0.006 3 9 14.500 Mengelompok
Staramonita
24 3 2 0.006 5 9 24.500 Mengelompok
haemostoma
25 Anadara granosa 4 3 0.008 6 16 14.667 Mengelompok
26 Lacuna snails 3 3 0.006 3 9 14.500 Mengelompok
27 Meretrik meretrik 19 3 0.040 213 361 18.629 Mengelompok
28 Placuna placenta 1 1 0.002 1 1 ∞ Tidak Terdeteksi
29 Turritella terebra 1 1 0.002 1 1 ∞ Tidak Terdeteksi
Σ 127 78 0.26458 429 2047 359.754  

Indeks Keterangan
Is > 1 Mengelompok
Is (∞) Tidak Terdeteksi
Is < 1 Menyebar

127
1. Bagrus 2. Litopenaeus 3. Canarium 4.Conomurex 5.
nemurus vannamei erythrinum luhuanus Urosalpinx
cinerea
No No
X X2 No. X X2 No. X X2 No. X X2 X X2
. .
1     1     1 1 1 1 1 1 1 1 1
2     2     2 1 1 2     2    
3     3     3     3     3    
4 1 1 4 1 1 4     4     4    
5     5 2 4 5     5     5    
6     6 2 4 6     6     6    
7     7 3 9 7     7     7    
8     8 5 25 8     8     8    
9     9 4 16 9     9     9    
10     10 1 1 10     10     10    
11     11 1 1 11     11     11    
12     12 1 1 12     12     12    
13     13 2 4 13     13     13    
14     14 1 1 14     14     14    
15     15 4 16 15     15 1 1 15    

128
16 2 4 16     16     16     16    
17 1 1 17     17     17     17    
18     18     18     18     18    
19     19     19 1 1 19 1 1 19    
20     20     20     20     20 1 1
21     21     21     21     21    
22     22     22     22 1 1 22    
23     23     23     23     23    
24     24     24 1 1 24     24    
25     25     25     25     25    
26     26     26     26     26    
27     27     27     27     27    
28     28 3 9 28     28     28    
29     29 4 16 29     29     29    
30     30 3 9 30     30 1 1 30    
∑ 4 6 ∑ 37 117 ∑ 5 5 ∑ 5 5 ∑ 2 2

6. Turris ruthae 7. Natica arachnoidea 8. Turritella 9. Atule mate 10. Rissoina


acropora inca
No No
X X2 No. X X2 No. X X2 No. X X2 X X2
. .
1     1     1     1     1    
2 1 1 2 1 1 2     2     2    
3     3 1 1 3 1 1 3     3    
4     4     4     4   1 4    

129
5     5     5     5     5    
6     6     6     6     6    
7     7     7     7     7    
8     8     8     8     8    
9     9     9     9     9    
10     10     10     10 1 1 10 1 1
11     11     11     11     11    
12     12     12     12     12    
13     13     13     13     13    
14     14     14     14     14    
15     15 1 1 15     15     15    
16     16     16     16     16    
17     17     17     17     17    
18     18 1 1 18     18     18    
19     19     19     19     19    
20     20     20     20     20    
21     21     21     21     21    
22     22 1 1 22     22     22    
23     23 1 1 23     23     23    
24     24     24     24     24    
25     25     25     25     25    
26     26     26 3 9 26     26    
27     27     27     27     27    
28     28     28     28     28    
29     29     29     29     29    

130
30     30     30     30     30    
∑ 1 1 ∑ 6 6 ∑ 4 10 ∑ 1 1 ∑ 1 1

11. Conus 12. Arius thalassinus 13. Tritia 14. Subulina 15. Mactra
flavidus reticulate octona grandis
No No
X X2 No. X X2 No. X X2 No. X X2 X X2
. .
1     1     1     1     1    
2     2     2     2     2    
3     3     3     3     3    
4     4     4     4   4    
5     5     5     5     5    
6     6     6     6     6    
7     7     7     7     7    
8     8     8     8     8    
9     9     9     9     9    
10     10     10     10     10    
11 1 1 11 1 1 11 1 1 11     11    
12     12     12     12     12    
13     13     13     13     13 3 9
14     14     14     14 1 1 14 2 4
15     15     15     15 1 1 15 3 9
16     16     16     16     16 1 1
17     17     17     17     17 1 1

131
18     18     18     18     18    
19     19     19     19     19    
20     20     20     20     20    
21     21     21     21     21    
22     22     22     22     22    
23     23     23     23     23    
24     24     24     24     24    
25     25     25     25     25 1 1
26     26     26     26     26    
27 1 1 27     27     27     27    
28     28     28     28     28    
29     29     29     29     29    
30     30     30     30     30    
1
∑ 2 2 ∑ 1 1 ∑ 1 1 ∑ 2 2 ∑ 25
1

16. Glycymeris 17. Pseudostomatella 18. Mitrella 19. Rumina 20. Tegula
glycymeris martini aemulata decollate eiseni
No No
X X2 No. X X2 No. X X2 No. X X2 X X2
. .
1     1     1     1     1    
2     2     2     2     2    
3     3     3     3     3    
4     4     4     4     4    
5     5     5     5     5    

132
6     6     6     6     6    
7     7     7     7     7    
8     8     8     8     8    
9     9     9     9     9    
10     10     10     10     10    
11     11     11     11     11    
12     12     12     12     12    
13     13     13     13     13    
14     14 1 1 14 1 1 14     14    
15 2 4 15     15     15 1 1 15 1 1
16     16     16     16     16    
17     17     17     17     17    
18     18     18     18     18    
19     19     19     19     19    
20     20     20     20     20    
21     21     21     21     21    
22     22     22     22     22    
23     23     23     23     23    
24     24     24     24     24 1 1
25     25     25     25     25    
26     26     26     26     26    
27     27     27     27     27    
28     28     28     28     28    
29     29     29     29     29    
30     30     30     30     30    

133
∑ 2 4 ∑ 1 1 ∑ 1 1 ∑ 1 1 ∑ 2 2

21. Pomacea 22. Ruditapes 23. Argopecten 24. Staramonita 25. Anadara
maculate decussatus irradians haemostoma granosa
No No
X X2 No. X X2 No. X X2 No. X X2 X X2
. .
1     1     1     1     1    
2     2     2     2     2    
3     3     3     3     3    
4     4     4     4     4    
5     5     5     5     5    
6     6     6     6     6    
7     7     7     7     7    
8     8     8     8     8    
9     9     9     9     9    
10     10     10     10     10    
11     11     11     11     11    
12     12     12     12     12    
13 1 1 13     13     13     13    
14 1 1 14     14     14     14    
15     15     15     15     15    
16     16 1 1 16 1 1 16     16    
17     17     17     17     17    
18     18     18     18     18    

134
19     19     19     19     19    
20     20     20     20     20    
21     21     21     21 1 1 21    
22     22     22 1 1 22     22    
23     23     23 1 1 23     23    
24     24     24     24     24    
25     25     25     25     25    
26     26     26     26     26    
27     27     27     27     27    
28     28     28     28 2 4 28 2 4
29     29     29     29     29    
30     30     30     30     30 1 1
∑ 2 2 ∑ 1 1 ∑ 3 3 ∑ 3 5 ∑ 3 5

26. Lacuna 27. Meretrik meretrik 28. Placuna 29. Turritella


snails placenta terebra
No
X X2 No. X X2 No. X X2 No. X X2
.
1     1     1     1    
2     2     2     2    
3     3     3     3    
4     4     4     4    
5     5     5     5    
6     6     6     6    
7     7     7     7    

135
8     8     8     8    
9     9     9     9    
10     10     10     10    
11     11     11     11    
12     12     12     12    
13     13     13     13    
14     14     14     14    
15     15     15     15    
16     16     16     16    
17     17     17     17    
18     18     18     18    
19     19     19     19    
20     20     20     20    
21 1 1 21     21     21    
22     22 1 1 22     22 1 1
23     23     23 1 1 23    
24 1 1 24     24     24    
25     25 14 196 25     25    
26     26 26     26    
27     27 4 16 27     27    
28 1 1 28     28     28    
29     29     29     29    
30     30     30     30    
∑ 3 3 ∑ 4 213 ∑ 1 1 ∑ 1 1

136
3. Contoh perhitungan :
Kerapatan (K) :
Σ Individu
K=
luas area x titik
Indeks Similaritas (IS) :
IS=¿ ¿
1. Sembilang (Bagrus nemurus)
Σ Individu
K=
luas area x titik
4
K=
(4 x 4) x 30
4
K=
480
K = 0,008
IS=¿ ¿
( 30 x 6 ) −4
IS=
16−4
176
IS=
12
IS = 14,667
Kesimpulan : Jadi pola penyebaran Bagrus nemurus adalah mengelompok
dengan IS > 1, yaitu 14,667

B. Tabel Parameter Lingkungan


Pengulangan
Nama alat Pengukuran Kisaran
1 2 3
pH 5 7 7 5-7
Soil tester
Kelembaban (%) 55% 70% 65% 55-70%
Termometer
Suhu 31˚C 31˚C 31˚C 31˚C
(˚C)
8.1 8.1 8.1
pH Air   8,1-8,3
8.3 8.3 8.3
19 cm 17cm 17cm
Secchi Disk 17-65
  63 cm 64 cm 65 cm
(cm) cm
43 cm 45 cm 48 cm

137
1ppt 1ppt 1ppt 1ppt
Salinometer
  1ppt 1ppt 1ppt 1ppt
(ppt)
1ppt 1ppt 1ppt 1ppt

Anemomete 2,8 2,8-2,9


  2,8 m/s 2,9 m/s
r (m/s) m/s m/s

7221 -
Luxmeter 7221 10520 <2000
  <20000
(lux) lux lux 0 lux
lux
Hygrometer
  78% 80% 83% 78-83%
(%)

C. Foto Pengamatan
N Nama Nama Ilmiah Foto Pengamatan Foto Literatur
o. Indones
ia
1. Sembila Bagrus
nemurus
ng

(Sumber: Dok. Kelas,


2021) (Sumber: Jensen, 2018)

138
2. Udang Litopenaeus
Putih vannamei

(Sumber: Dok. Kelas,


2021) (Sumber: Roger, 2006)
3. Siput Canarium
Laut erythrinum

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Naung, 2018)


2021)
4. Keong Conomurex
stroberi luhuanus

(Sumber:
(Sumber: Dok. Kelas, Vanwalleghem, 2001)
2021)
5. Bor Urosalpinx
Tiram cinerea
Timur

(Sumber: Dok. Kelas,


2021) (Sumber: Houart, 2009)

139
6. Siput Turris ruthae
Laut
Turrid

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Kilburn, 2012)


2021)
7. Siput Natica
Bulan arachnoidea
Berbinti
k

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Bouchet,


2021)
2011)
8. Siput Turritella
Turritell acropora
a

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Dall,1889)


2021)
9. Ikan Atule mate
Selar
Como

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Anam, R.


2021)
2012)

140
10 Siput Rissoina inca
.
Menara

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Pennak, 1978)


2021)
11 Keong Conus
. Konus flavidus

(Sumber: Mudjiono,
(Sumber: Dok. Kelas,
2021) 1989)
12 Ikan Arius
. thalassinus
Manyun
g

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Arsita, 2016)


2021)

13 Siput Tritia
. Lumpur reticulate
Naga

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Fonseca dkk,


2021)
2020)

141
14 Siput Subulina
. Ujung octona
Lidi

Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Marwoto,


2021)
2016)
15 Kerang Mactra
. grandis
Kapal
Putih

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Ginting, 2017)


2021)
16 Kerang Glycymeris
. glycymeris
Pahit

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Linnaeus,


2021)
1758)
17 Siput Pseudostomat
. Tanah ella martini

Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Suharsono,


2021)
2014)

142
18 Siput Mitrella
. Burung aemulata
Merpati

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Rolan, 2005)


2021)
19 Siput Rumina
. Dekoliat decollate
e

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Natalia, 2006)


2021)
20 Tegula Tegula eiseni
. Banded
Barat

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Watson dkk,


2021)
2018)
21 Siput Pomacea
. maculate
Apel

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Sinambela,


2021) 2019)

143
22 Kerang Ruditapes
. Palourd decussatus
e

Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Sitompul,


2021)
2020)
23 Kerang Argopecten
. Calico irradians

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Xiao Liu,


2021)
2020)
24 Siput Staramonita
. Batu haemostoma
Bermulu
t Merah

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Philippe,


2021)
2019)
25 Kerang Anadara
. Darah granosa

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Nagir, 2013)


2021)

144
26 Siput Lacuna snails
. Perwink
le Kasar

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Cowles, 2014)


2021)
27 Kerang Meretrik
. meretrik
Susu

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Isdradjat,


2021) 2004)
28 Kerang Placuna
. Simping placenta

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Nisra, 2019)


2021)
29 Siput Turritella
. Laut terebra

(Sumber: Dok. Kelas, (Sumber: Esti, 2006)


2021)

145
V. ANALISIS DATA
Pada praktikum menentukan pola penyebaran hewan pantai bertujuan
untuk mengetahui pola penyebaran hewan pantai. Pengambilan sampel terbagi
menjadi 30 titik, tiap titik luasnya 4 x 4 m. Berdasarkan hasil pengamatan di
Pantai Sungai Bakau jumlah spesies yang ditemukan 29 spesies dengan jumlah
individu 127.
Menurut Solehudin (2018), distribusi atau disperse adalah pola penjarakan
antara individu dalam perbatasan evolusi. Pola penjarakannya atau pola distribusi
paling umum dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Pola distribusi bergerombol atau berkelompok (clumped), yaitu individu-
individu hidup mengelompok dalam lingkungan dan sumber makanan yang
tidak pernah seragam.
2. Pola distribusi seragam (uniform), atau berjarak sama, akibat dari interaksi
antara individu-individu dalam populasi.
3. Pola distribusi acak (random), penjarakan yang tidak bisa diprediksi, posisi
individu tidak bergantung pada individu lain, pola ini terbentuk jika tidak ada
gaya tarik atau tolak kuat di antara individu-individu dalam suatu populasi dan
apabila faktor fisik dan kimiawi relatif homogen di seluruh bagian areal
penelitian.
Berdasarkan hasil pengamatan, pola penyebaran hewan pantai di Pantai
Sungai Bakau pada spesies yang ditemukan dikategorikan ada yang mengelompok
dan ada juga yang tidak terdeteksi. Spesies yang dikategorikan ke dalam pola
penyebaran mengelompok terdapat 18 spesies yang meliputi Sembilang (Bagrus
nemurus), Udang Putih (Litopenaeus vannamei), Siput Laut (Canarium
erythrinum), Keong stroberi (Conomurex luhuanus), Bor Tiram Timur
(Urosalpinx cinereal), Siput Bulan Berbintik (Natica arachnoidea), Siput
Turritella (Turritella acropora), Keong Konus (Conus flavidus), Siput Ujung Lidi
(Subulina octona), Kerang Kapal Putih (Mactra grandis), Kerang Pahit
(Glycymeris glycymeris), Tegula Banded Barat (Tegula eiseni), Siput Apel
(Pomacea maculate), Kerang Calico (Argopecten irradians), Siput Batu Bermulut
Merah (Staramonita haemostoma), Kerang Darah (Anadara granosa), Siput

146
Perwinkle Kasar (Lacuna snails), dan Kerang Susu (Meretrik meretrik) karena IS
> 1.
Menurut Werdiningsih (2005), pola dengan sebaran mengelompok adalah
pola organisme atau biota di suatu habitat yang hidup berkelompok dalam jumlah
tertentu. Pola penyebaran sangat khas pada setiap spesies dan jenis habitat.
Penyebab terjadinya pola sebaran tersebut akibat dari adanya perbedaan respon
terhadap habitat secara lokal. Pola penyebaran mengelompok dengan tingkat
pengelompokkan yang bermacam-macam merupakan bentuk penyebaran yang
paling umum terjadi, karena individu-individu dalam populasi cenderung
membentuk kelompok dalam berbagai ukuran.
Menurut Mardatila, Izmiarti, dan Nurdin (2016) sifat berkelompok ini
diduga disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kondisi lingkungan, tipe
substrat, kebiasaan makan dan cara bereproduksi. Selain itu, cara hidup biota yang
berkelompok ini menunjukkan kecenderungan yang kuat untuk berkompetisi
dengan biota lain terutama dalam hal makan.
Spesies yang dikategorikan ke dalam pola penyebaran tidak terdeteksi
terdapat 11 spesies yang meliputi Siput Laut Turrid (Turris ruthae), Ikan Selar
Como (Atule mate), Siput Menara (Rissoina inca), Ikan Manyung (Arius
thalassinus), Siput Lumpur Naga (Tritia reticulate), Siput Tanah
(Pseudostomatella martini), Siput Burung Merpati (Mitrella aemulata), Siput
Dekoliate (Rumina decollate), Kerang Palourde (Ruditapes decussatus), Kerang
Simping (Placuna placenta), Siput Laut (Turritella terebra) karena Is (∞).
Menurut Solehudin (2018), pola distribusi acak atau random merupakan
penjarakan yang tidak bisa diprediksi, posisi individu tidak bergantung pada
individu lain, pola ini terbentuk jika tidak ada gaya tarik atau tolak kuat di antara
individu-individu dalam suatu populasi dan apabila faktor fisik dan kimiawi relatif
homogen di seluruh bagian areal penelitian.
Salah satu spesies yang ditemukan dengan jumlah individu terbanyak yaitu
udang putih (Litopenaeus vannamei) sebanyak 37 individu dengan Indeks
Similaritas 2,607 tergolong pola penyebaran mengelompok. Udang putih
termasuk ke dalam kelas crustasean. Pola distribusi mengelompok diduga

147
merupakan cara beradaptasi dari krustasea untuk mengatasi tekanan ekologis dari
lingkungan, sehingga organisme cenderung berkelompok pada daerah dimana
faktor yang dibutuhkan untuk hidupnya tersedia (Pratiwi, 2010).
Odum (1993) menyatakan bahwa adanya pengumpulan individu sebagai
strategi dalam menanggapi perubahan cuaca dan musim serta perubahan habitat
dan proses reproduksi. Derajat pengumpulan di dalam populasi jenis tertentu
tergantung pada sifat khas dari habitat. Pengelompokan juga terjadi akibat
pergerakan dari jenis makrozobenthos yang lambat (Akhrianti dkk, 2014).
Adanya sifat individu yang bergerombol (gregarios) disebabkan karena
adanya keseragaman habitat sehingga terjadi pengelompokkan di tempat yang
banyak bahan makanan (Junaidi dkk, 2010). Pada umumnya hewan hidup
berkelompok, hal ini dilakukan karena adanya kecenderungan untuk
mempertahankan diri dari predator dan faktor-faktor lain yang tidak
menguntungkan (Nybakken, 1992).
Pola distribusi bergantung pada sifat fisiko kimia lingkungan maupun
keistimewaan biologis organisme itu sendiri. Penyebaran berumpun, dimana
individu-individu selalu ada dalam kelompok-kelompok dan sangat jarang terlihat
sendiri secara terpisah. Pola bergerombol ini pola yang paling umum terjadi di
lingkungan yang merupakan sebuah aturan yang akan terjadi jika yang
diperhatikan adalah individu–individu maka individu tersebut di dalam sebuah
populasi akan membuat atau membentuk sebuah kelompok-kelompok dari ukuran
tertentu. Seperti, pasangan-pasangan dalam binatang atau koloni-koloni vegetatif
dalam tumbuhan (Solehudin, 2018).
Bahri (2006) menyatakan bahwa pola distribusi biota dipengaruhi oleh tipe
habitat yang meliputi faktor fisika-kimia perairan serta makanan dan kemampuan
adaptasi dari suatu biota dalam sebuah ekosistem. Substrat dasar perairan juga
dapat menentukan distribusi dalam suatu perairan karena di dalam substrat
terdapat sumber makanan (Junaidi dkk, 2010).
Kami melakukan pengukuran parameter lingkungan Pantai Sungai Bakau
dengan 3x pengambilan data menggunakan alat Soil tester, Termometer, pH Air,
Secchi Disk, Salinometer, Anemometer, Luxmeter, dan Hygrometer. Berdasarkan

148
hasil pengukuran parameter lingkungan di Pantai Sungai Bakau pada alat soil
tester hasil pH berkisar 5-7 dan kelembaban berkisar 55-70%. Menurut literatur,
tanah pasir di daerah pantai cenderung bersifat basa karena kandungan garamnya
yang tinggi dan sedikitnya partikel liat serta kurangnya bahan organik (Sulastri,
2012).
Hasil pengukuran suhu menggunakan alat termometer di Pantai Sungai
Bakau berkisar 31oC. Kisaran ini sesuai dengan suhu yang umum dijumpai di
perairan laut Indonesia dan suhu untuk biota laut. Menurut literatur, kisaran suhu
yang umum dijumpai di perairan laut Indonesia berkisar antara 27-32 oC. Suhu
untuk biota laut adalah berkisar antara 28-32oC dan diperbolehkan terjadi
perubahan sampai dengan < 2oC dari suhu alami. Kondisi suhu air di suatu
perairan di pengaruhi terutama oleh kondisi atmosfir, cuaca dan intensitas
matahari yang masuk ke laut. Selain itu sebaran suhu air juga dipengaruhi oleh
faktor geografis dan dinamika arus (Patty & Akbar, 2018). Suhu merupakan
parameter fisik yang sangat mempengaruhi pola kehidupan organisme perairan,
seperti distribusi, komposisi, kelimpahan dan mortalitas (Taqwa, 2010).
Pengukuran pada alat pH air di Pantai Sungai Bakau berkisar 8,1-8,3.
Kisaran ini sesuai dengan nilai pH suatu perairan normal. Menurut literatur, pH di
suatu perairan yang normal berkisar antara 8,0-8,3. Secara umum tidak ada
perbedaan yang nyata antara pH di lapisan permukaan dengan pH di dekat dasar.
Variasi nilai derajat keasaman (pH) air laut dapat dijadikan sebagai salah satu
identifikasi kualitas air laut. Pada kisaran nilai pH tertentu dapat diindikasikan
terjadinya suatu perubahan dalam kualitas perairan. Umumnya air laut relatif lebih
alkali (basa) sekitar 8,0 akan tetapi organisme air laut relatif mampu beradaptasi
dengan ruang pH yang lebar. Batasan pH yang ideal bagi biota laut nilainya
berkisar antara 6,5 - 8,5. Nilai pH dalam suatu perairan dipengaruhi oleh berbagai
faktor diantaranya curah hujan dan pengaruh dari daratan maupun proses oksidasi
yang dapat mengakibatkan rendahnya nilai pH (Patty & Akbar, 2018).
Pengukuran kejernihan air pada alat secchi disk di Pantai Sungai Bakau
berkisar 17-65 cm. Menurut literatur, kecerahan mencirikan penetrasi cahaya
matahari yang masuk ke perairan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerahan

149
antara lain keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi
serta ketelitian peneliti pada saat pengukuran (Tambunan, Anggoro, & Purnaweni,
2013). Nilai kecerahan di perairan untuk biota laut adalah 3-5 meter. Persebaran
kecerahan di perairan biasanya berbanding terbalik dengan nilai kekeruhan. Hal
ini karena semakin banyaknya padatan tersuspensi di perairan akan menghambat
cahaya matahari masuk ke dalam air. Pola persebaran kecerahan juga bergantung
dari proses fisis air laut. Arus laut memiliki kemampuan untuk membawa padatan
tersuspensi menyebar ke berbagai arah (Indrayana, Yusuf, & Rifai, 2014).
Pengukuran salinitas air pada alat salinometer di Pantai Sungai Bakau
berkisar 1 ppt. Menurut literatur, Nilai salinitas wilayah laut Indonesia umumnya
berkisar antara 28-33%. Salinitas yang normal air pantai dan air campuran yaitu
berkisar antara 32,0-34,0%. Tinggi rendahnya nilai salinitas di laut dipengaruhi
oleh berbagai faktor, seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran
sungai. Perbedaan nilai salinitas air laut dapat disebabkan oleh terjadinya
pengacauan (mixing) akibat gelombang laut ataupun gerakan massa air yang
ditimbulkan oleh tiupan angin (Patty & Akbar, 2018). Salinitas dapat
mempengaruhi penyebaran organisme benthos baik secara horizontal, maupun
vertikal. Pengaruh salinitas secara tidak langsung mengakibatkan adanya
perubahan komposisi dalam suatu ekosistem (Odum, 1993).
Pengukuran kecepatan angin pada alat anemometer di Pantai Sungai
Bakau berkisar 2,8-2,9 m/s. Pengukuran intensitas cahaya pada alat lux meter di
Pantai Sungai Bakau berkisar 7221 - < 20000 lux. Pengukuran kelembaban udara
pada alat hygrometer di Pantai Sungai Bakau berkisar 78-83%.
Menurut Pratiwi (2010), setiap hewan khususnya krustasea mempunyai
kemampuan hidup pada taraf tertentu dan pada setiap faktor lingkungannya.
Apabila nilai-nilai unsur yang dibutuhkan jumlahnya di bawah kebutuhan
minimum suatu spesies, maka tidak akan ditemukan jenis itu di suatu perairan.
Lebih penting lagi, jika salah satu faktor lingkungan melewati batas toleransi
spesies atau salah satu unsur menurun smpai di bawah kebutuhan minimum
spesies, maka spesies tersebut akan tersingkir. Hal itu dapat terjadi walaupun
faktor lingkungan dan unsur yang lain memenuhi syarat (Nybakken, 1992).

150
151
VI. KESIMPULAN
1. Pengamatan hewan pantai di Pantai Sungai Bakau jumlah spesies yang
ditemukan 29 spesies dan terdiri dari 127 individu.
2. Terdapat 3 pola penyebaran yang paling umum yaitu mengelompok, tidak
terdeteksi, dan menyebar.
3. Spesies yang ditemukan di Pantai Sungai Bakau dikategorikan 18 spesies
dengan pola penyebaran mengelompok dan 11 spesies dengan pola
penyebaran tidak terdeteksi.
4. Pola penyebaran dipengaruhi oleh tipe habitat yang meliputi faktor fisika-
kimia perairan, makanan, kemampuan adaptasi dari suatu biota dalam sebuah
ekosistem, dan substrat dasar perairan.
5. Hasil pengukuran parameter lingkungan Pantai Sungai Bakau menggunakan
alat Soil tester pada pH berkisar 5-7 dan kelembaban berkisar 55-70%, alat
Termometer berkisar 31oC, alat pH Air berkisar 8,1-8,3, alat Secchi Disk
berkisar 17-48 cm, alat Salinometer berkisar 1 ppt, alat Anemometer berkisar
2,8-2,9 m/s, alat Luxmeter berkisar 7221 - < 20000 lux, dan alat Hygrometer
berkisar 78-83%.

152
VII. DAFTAR PUSTAKA
Akhrianti, I., D.G. Bengen, dan I. Setyobudiandi. (2014). Distribusi spasial dan
preferensi habitat Bivalvia di pesisir perairan Kecamatan Simpang Pesak
Kabupaten Belitung Timur. J. Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 171-
185.

Bahri, F. Y. 2006. Kenaekaragaman dan Kepadatan Komunitas Moluska di


Perairan Sebelah Utara Danau Maninjau. Institut Pertanian Bogor :
Bogor

Bouchet. (2011). Naticaarachnoidea (Gmelin, 1791). Diakses melalui


http://www.marinespecies.org. Pada tanggal 15 April 2021.

Cowles, Dave. (2014). Lacuna snail. Jurnal of Experimental Marine Biology and
Ecology.No 3 Hlmn 97. demonstrating virulence properties and
antimicrobial resistance. Journal of Food Safety

Dharmono. (2021). Penuntun Praktikum Ekologi Hewan. PMIPA FKIP


Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin
Esti, A. H. (2006). Keanekaragaman Jenis Gastropoda Di Pantai Randusanga
Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Semarang :Universitas Negeri
Semarang.

Ginting, E. D. D., Susetya, I. E., Patana, P., & Desrita. (2017). Identifikasi jenis-
jenis bivalvia di Perairan Tanjungbalai, Provinsi Sumatera Utara.
Journal Acta Aquatica, 4(1), 13-20.

Houart, Roland. (2009). Urosalpinxcinerea (Say, 1822). Diakses melalui


http://www.marinespecies.org/. pada tanggal 15 April 2021.

Indrayana, R., Yusuf, M., & Rifai, A. (2014). Pengaruh Arus Permukaan
Terhadap Sebaran Kualitas Air di Perairan Genuk Semarang. Journal of
Oceanography, 651-659.

Isdradjat Setyobudiandi. I, Soekendarsih. E, Vitner. Y, Setiawati.R. (2004). Bio-


Ecologi Kerang Lamis (Meretrix meretrix) Di Perairan Marunda. Jurnal
Ilmu- ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, 11(1): 61-66.

Jensen, Johnny. (2018). Bagrus nemurus. Diakses melalui


https://www.planetcatfish.com. Pada tanggal 15 April 2021.

Junaidi, E., E.P. Sagala, dan Joko. (2010). Kelimpahan populasi dan pola
distribusi remis (Corbicula sp) di Sungai Borang Kabupaten Banyuasin.
J. Penelitian Sains, 50-54.

153
Kilburn, R.N. (2012). Revision of the Genus Turris (Gastropoda: Conoidea:
Turridae) with the Description of Six New Species. Zootaxa. Vol. 1: 1-
58. Linnaeus (1758) Glycymeris glycymeris. Global Biodiversity
Information Facility ( GBIF )

Liu, Xiao. (2020). Draft genomes of two Atlantic bay scallop subspecies
Argopecten irradians irradians and A. i. concentricus. Scientific Data.
7:99.

Mardatila, S., Izmiarti, I., & Nurdin, J. (2016). Kepadatan, Keanekaragaman dan
Pola Distribusi Gastropoda di Danau Diatas, Kabupaten Solok, Provinsi
Sumatera Barat. Biocelebes, 25-31.

Marwoto, R. M. (2016). Keong Darat Dari Sumatera (Moluska, Gastropoda) The


Occurence Of The Terrestrial Snail From Sumatra (MOLLUSCA,
GASTROPOD). 25(1), 8-21.

Mudjiono. (1989). Jenis-Jenis Keong Laut Berbisa Dari Suku Conidae


(Mollusca : Gastropoda) Dan Beberapa Aspek Biologinya. 15(3), 73-80.

Nagir, Teguh, Muhammad. (2013). Morfometri Kerang Darah Anadara Granosa


L Pada Beberapa Pasar Rakyat Makassar, Sulawesi Selatan. Makassar.
Universitas Hasannudin

Natalia, Cardillo. (2006). Frist Report of Toxocara cati in the domestic land snail
Rumina decollata. Argentina, Vol 48 no 206 – 209

Naung. (2018). Distribution of the Genus Strombus Linnaeus 1758 (Gastropoda:


Strombidae) in Some Coastal Areas of Myanmar. Journal of
Aquaculture and Marine Biology. Vol. 07: 258 – 263

Nisra, Bahtiar, dan Irawati. N. (2019). Aspek Biologi Reproduksi Kerang Simping
(Placuna placenta) di Perairan Desa Langere Kecamatan Bonegunu
Kabupaten Buton Utara. Jurnal Manajemen Sumber Daya Perairan,
4(1): 83-91.

Nybakken, J.W. 1992. Biologi laut: suatu pendekatan ekologis. Jakarta : PT


Gramedia.

Odum, E.P. 1993. Dasar-dasar ekologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press.

Patty, S. I., & Akbar, N. (2018). Kondisi Suhu, Salinitas, pH dan Oksigen Terlarut
di Perairan Terumbu Karang Ternate, Tidore dan Sekitarnya. Jurnal
Ilmu Kelautan Kepulauan, 1-10.

154
Philippe, B. (2019). First record of the gastropod Stramonita haemastoma
(Linnaeus, 1767) in the English Channel. BioInvasions Records. (8).
Poppe. (2018). Turbinella pyrum pyrum. Diakses melalui
http://www.gastropods.com Pada tanggal 15 April 2021.

Pratiwi, R. (2010). Asosiasi Krustasea Di Ekosistem Padang Lamu Perairan Teluk


Lampung. J. Ilmu Kelautan, 15(2):66-76.

Roger, Chong. 2006. Fenneropenaeusmerguiensis. Diakses melalui


https://www.researchgate.net/. Pada tanggal 15 April 2021.

Rolan. (2005). Mitrella aemuta. Iberus 23 (2) 119 – 156

Sinambela, Masdiana. (2019). Faktor Utama Yang Mempengaruhi Ekologi


Gastropoda Di Sungai Babura Sumatra Utara Indonesia. Medan:
Universitas Sumatera Utara.

Sitompul, Mey Krisselni. (2020). Identifikasi Keanekaragaman Jenis-Jenas


Kerang (Bivalvia) Daerah Pasang Surut Di Perairan Desa Teluk Bakau.
Jurnal Manajemen Riset dan Teknologi. E-ISSN: 2685-8827.

Solehudin, J. (2018). Distribusi Dan Kelimpahan Coleoptera Di Hutan Pinus


Jayagiri. Diakses melalui http://repository.unpas.ac.id/35941/4/BAB
%20II.pdf pada tanggal 25 Mei 2021

Sulastri. (2012). Tanah Pasir Pantai. Diakses melalui


http://eprints.uny.ac.id/8190/3/bab%202%20-%2005308141009.pdf pada
tanggal 25 Mei 2021

Tambunan, J. M., Anggoro, S., & Purnaweni, H. (2013). Kajian Kualitas


Lingkungan dan Kesesuaian Wisata Pantai Tanjung Pesona Kabupaten
Bangka. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan, 356-362.

Taqwa, A. (2010). Analisis produktivitas primer fitoplankton dan struktur


komunitas fauna makrobenthos berdasarkan kerapatan mangrove di
kawasan konservasi mangrove dan bekantan Kota Tarakan, Kalimantan
Timur. Semarang : Universitas Diponegoro Semarang.

Vanwalleghem. (2001). Conomurex luhuanus. Diakses melalui


http://www.stromboidea.de/ pada tanggal 28 April 2021

Watson, G, Davies J, Wood H, Cocks A. (2018). A comparison of survivourship


and function (grazing and behaviour) of three gastropod species used as
clean-up crew for the marine aquarium trade. Journal National Library
of Medicine.

155
Werdiningsih, R. (2005) Struktur komunitas kepiting di habitat mangrove, pantai
Tanjung Pasir, Tanggerang, Banten. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Bogor

156
EKOLOGI HEWAN
(ABKC 2602)

PRAKTIKUM VIII
“Keanekaragaman Ordo
Annura”

157
PRAKTIKUM VIII
Topik : Keanekaragaman Ordo Annura
Tujuan : Untuk mengetahui keanekaragaman ordo Anura
Hari / Tanggal : Sabtu / 27 Maret 2021
Tempat : Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin,
Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan
Selatan

VIII. ALAT DAN BAHAN


A. Alat
1. Kayu ketapel
2. Jaring
3. Plastik sampel
4. Headlamp/senter
5. Lup
6. Milimeter blok
7. Alat tulis
8. Alat dokumentasi
9. Termometer
10. Soil tester
11. Hygrometer
12. Anemometer
13. Lux meter
B. Bahan
1. Spesies ordo annura yang ditemukan
2. Kertas label

IX. CARA KERJA


1. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan.
2. Menentukan lokasi setiap kelompok menjadi 3 titik dan berjarak 10 meter,
kemudian menentukan luas area.

158
3. Mencari spesies ordo Annura menggunakan headlamp atau senter pada malam
hari.
4. Mengambil spesies ordo Annura yang ditemukan menggunakan tangan
kosong maupun jaring.
5. Meletakkan spesies ordo Annura di milimeter blok tanpa menggunakan jarum
pentul.
6. Mengamati spesies Annura menggunakan headlamp atau senter.
7. Mengamati dan mencatat ciri-ciri dari setiap individu Annura yang ditemukan.
8. Mencatat faktor lingkungan seperti suhu tanah, suhu udara, kelembaban tanah,
pH tanah, kelembaban udara dan intensitas cahaya pada setiap area
pengamatan.
9. Mentabulasikan data yang didapatkan pada tabel pengamatan.

X. TEORI DASAR
Keanekaragaman spesies dapat diambil untuk menandai sejumlah spesies
dalam suatu daerah tertentu atau sebagai jumlah spesies diantara jumlah total
individu dari seluruh spesies yang ada. Hubungan ini dapat dinyatakan secara
numerik sebagai indeks keanekaragaman. Jumlah spesies dalam suatu komunitas
adalah penting dari segi ekologi karena keanekaragaman spesies tampaknya
bertambah bila komunitas menjadi semakin stabil. Suatu gangguan terhadap
lingkungan dapat menyebabkan penurunan keanekaragaman (Michael, 1994).
Manurung (1995) menyatakan bahwa kehadiran atau keberadaan suatu spesies
hewan pada suatu habitat ditentukan oleh beberapa faktor-faktor pada lingkungan
hewan yang mencakup habitat, ketersediaan makanan dan faktor kematian.
Ordo Annura memiliki tubuh yang pendek dan agak janggal, bermata
besar dan bertungkai belakang yang panjang. Adanya tungkai belakang yang
panjang merupakan pembeda utama antara Annura dengan Caudata (Salamander)
yang memiliki tungkai agak pendek yang panjangnya kira-kira sama, baik bagian
depan maupun bagian belakang. Ciri khas ordo Anura antara lain adanya gendang
telinga pada kedua sisi kepala, yaitu dibelakang matanya. Selaput gendang ini
sangat peka terhadap getaran udara dan ada kaitannya dengan kemampuan ordo

159
Annura untuk menghasilkan suara. Menurut Iskandar (2002) selain memiliki
gendang telinga yang sangat peka, golongan hewan dari ordo Anura juga
mempunyai ciri khas lain yaitu bernafas dengan menggunakan paru-paru pada
waktu dewasa, namun ketika baru menetas bernafas dengan insang luarnya.
Sulastri, dkk (2014) beberapa hewan memiliki kepekaan tersendiri
terhadap perubahan lingkungan. Penurunan keanekaragaman spesies ataupun
penurunan populasi menjadi indikator telah terjadinya pencemaran lingkungan
adalah katak (ordo Anura). Adanya perubahan lingkungan akan mengakibatkan
terjadinya perubahan kondisi kesehatan katak. Igawa (2012) tidak adanya ordo
Annura disebuah ekosistem baik perairan maupun darat menjadi indikator
sederhana kerusakan lingkungan yang bisa disebabkan oleh pemanasan global.
Ordo Annura memiliki banyak manfaat dalam kehidupan manusia. Daging
ordo Anura memiliki kandungan gizi yang tinggi yaitu sebagai sumber protein
hewani. Selain itu, limbah ordo Anura dapat digunakan untuk ransum ternak
seperti itik dan ayam. Kulit ordo Anura bisa diopset menjadi hiasan rumah dengan
harga yang cukup tinggi. Kelenjar hipofisa yang terdapat dalam kepala ordo
Anura dapat digunakan untuk merangsang Anura dalam perkembanganbiakan
secara buatan (Susanto, 2003).

160
XI. HASIL PENGAMATAN
A. Tabel Hasil Pengamatan dan Perhitungan
1. Tabel Hasil Pengamatan
Titik
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Spesies
. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 30
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Phrynoidis
1 1       1         1   1     1                              
aspera
Duttaphryunu
2 s 1   1 2   2 2     3 2 4   1 1       1   1       1 1   1   1
melanostictus
Fejevara
3 1 1 1         1                             1     1 1 1 3 3
cancrivora
Polypedates
4                 1             3 3 1       1   1         1  
leucomystax
  Σ 3 1 2 2 1 2 2 1   4 2 5   1 1 3 3 1 1   1 1 1 1 1 2 1 2 4 4

2. Tabel Perhitungan

∑ F
No ∑ K
.
Nama Spesies Ind cu KR% (Cuplikan/titik FR% NP Pi pi Ln pi
(Individu/titik)
p )

Phrynoidis 0.09
1 5 5 0.167 9.091 0.167 13.158 22.249 0.218
aspera 1

161
Duttaphryunu
0.45
2 s 25 16 0.833 45.455 0.533 42.105 87.560 0.358
5
melanostictus
Fejevara 0.25
3 14 10 0.467 25.455 0.333 26.316 51.770 0.348
cancrivora 5
Polypedates 0.20
4 11 7 0.367 20.000 0.233 18.421 38.421 0.322
leucomystax 0
100.00 1.00
  Σ 55 38 1.833 1.267 100.000 200.000 1.247
0 0

Kesimpulan: Jadi, keanekaragaman anura tergolong sedang, karena 1 ≤ H' ≤ 3 yaitu 1,247

3. Indeks
KeanaekaragamanIndeks
Keanekaragaman
4. I
n
d 5. Keanekarag
e aman
k
s
6. H
'
< 7. Rendah

1
8. 1 9. Sedang

162

H
'

3
10. H
'
> 11. Tinggi

3
12.

163
B. Contoh Perhitungan :
K = Σ Individu / Titik NP = KR + FR
KR = (K Ind / Σ K) x 100% Pi =n/N
F = Σ Cuplikan / Titik -PilnPi = -(n/N)ln(n/N)
FR = (F Ind / Σ F) x 100%
1. Kodok batu (Phrynoidis aspera)
Kerapatan (K) :
Σ Individu
K=
Σ Titik
5
K=
30
K = 0,167
Kerapatan Relatif (KR) :
K Ind
KR= x 100 %
ΣK
0,167
KR= x 100 %
1,833
KR = 9,091%
Frekuensi (F) :
Σ Cuplikan
F=
Σ Titik
5
F=
30
F = 0,167
Frekuensi Relatif (FR) :
F Ind
FR= x 100 %
ΣF
0,167
FR= x 100 %
1,267
FR = 13,158%
Nilai Penting (NP) :
NP = KR + FR
NP = 9,091% + 13,158%
Pi :
n
Pi=
N

164
5
Pi=
55
Pi = 0,091
(-) Pi ln Pi :
(-) (n/N) ln (n/N) = - (5/55) ln (5/55) = 0,218

C. Tabel Parameter Lingkungan


Pengulangan
Nama alat Pengukuran Kisaran
1 2 3
6 7 7
6.5 6 6
pH 6 6 6.5 6-7
Soil tester
7 6.4 7
6, 1 6, 2 6
Kelembaban (%) 80% 80% 80% 80%
27˚C 27˚C 27˚C
Termometer (˚C) Suhu 28˚C 26˚C 28˚C 26-28˚C
27˚C 27˚C 27˚C
Min 214 lux 214 lux 218 lux 214-225
Lux meter (Lux)
Max 225 lux 220 lux 234 lux lux
Anemometer Min 0,4 m/s 0,3 m/s 0,5 m/s 0,3-0,6
(m/s) Max 0,5 m/s 0,5 m/s 0,6 m/s m/s
84.60
87.80% 83.40%
Min %
85.80 83.4-
Hygrometer (%) 89.80% 84.50%
Max % 93,6 %
Min 93.70% 93, 7% 93, 7 %
Max 93, 6 % 93, 6% 93, 6 %

D. Foto Hasil Pengamatan


E. N Nama Nama Ilmiah Foto Pengamatan Foto Literatur
o Indonesia
Kodok Phrynoidi
Batu s aspera

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber: Kurniawati,


2021) 2013)

165
Kodok Duttaphryunu
Buduk s
Melanostictus

(Sumber:
(Sumber : Dok. Kelas, Yudha,2013)
2021)
Katak Fejevara
Sawah cancrivor
a

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber :Alponsin,


2021) 2019)
Katak Polypedates
Pohon leucomysta
x

(Sumber : Dok. Kelas, (Sumber: Muslim,


2021) 2017

166
XII. ANALISIS DATA
Pada praktikum keanekaragaman ordo annura bertujuan untuk
mengetahui keanekaragaman ordo Anura. Berdasarkan hasil pengamatan
ditemukan 4 spesies di Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat
Banjarmasin, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin, Provinsi
Kalimantan Selatan yaitu Kodok Batu (Phrynoidis aspera), Kodok Buduk
(Duttaphryunus melanostictus), Katak Sawah (Fejevara cancrivora), Katak
Pohon (Polypedates leucomystax). Setelah dilakukan perhitungan,
didapatkan indeks keanekaragaman (H’) 1,247 sehingga keanekaragaman
ordo annura tergolong sedang, karena 1 ≤ H' ≤ 3. Kemungkinan lingkungan
ekosistem terdapat gangguan dan komunitas disusun oleh jenis yang sedang
sehingga keanekaragaman cenderung sedang. Menurut Odum (1971)
keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh faktor eksternal (tekanan
eksploitasi, degradasi lingkungan, pencemaran) atau faktor internal
(pemangsaan dan persaingan antar spesies).
Indeks keanekaragaman (H’) dapat diartikan sebagai suatu
penggambaran secara sistematik yang melukiskan struktur komunitas dan
dapat memudahkan proses analisa informasi-informasi mengenai macam
dan jumlah organisme. Semakin banyak jenis yang ditemukan maka
keanekaragaman akan semakin besar, meskipun nilai ini sangat tergantung
dari jumlah inividu masing-masing jenis (Wilhm dan Doris 1986). Semakin
banyak jumlah anggota individunya dan merata maka indeks
keanekaragaman juga akan semakin besar Krebs (1985).
Menurut Soegianto (1994), suatu komunitas dikatakan mempunyai
keanekaragaman jenis tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak jenis
dengan kelimpahan jenis yang sama atau hampir sama. Sebaliknya jika
komunitas itu disusun oleh sangat sedikit jenis dan jika hanya sedikit jenis
yang dominan maka keanekaragaman jenisnya rendah.
Kriteria indeks keanekaragaman jika H’ < 1, maka keanekaragaman
rendah, H’ 1 – 3, maka keanekaragaman sedang, dan H’ > 3, maka
keanekaragaman tinggi. Keanekaragaman identik dengan kestabilan suatu

167
ekosistem, yaitu jika keanekaragaman suatu ekosistem relatif tinggi maka
kondisi ekosistem tersebut cenderung stabil. Lingkungan ekosistem yang
memiliki gangguan keanekaragaman cenderung sedang, pada kasus
lingkungan ekosistem yang tercemar keanekaragaman jenis cenderung
rendah (Odum, 1993).
Berdasarkan tabel perhitungan, spesies yang memiliki nilai penting
(NP) tertinggi yaitu Kodok Buduk (Duttaphryunus melanostictus) 87,560
dan yang terendah yaitu Kodok Batu (Phrynoidis aspera) 22,249. Artinya
Kodok Buduk (Duttaphryunus melanostictus) lebih dominan dibanding
Kodok Batu (Phrynoidis aspera) 22,249 pada Lingkungan Universitas
Lambung Mangkurat Banjarmasin, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota
Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan. Karena menurut Kusmana
(1995), Indeks nilai penting dapat dijadikan suatu petunjuk untuk
menentukan jenis yang dominan pada suatu tempat. Menurut Pamoengkas
& Zamzam (2017), jenis dominan adalah jenis yang dapat memanfaatkan
lingkungannya secara efisien dari jenis lain dalam tempat yang sama.
Kami melakukan pengukuran parameter lingkungan dengan 3x
pengambilan data menggunakan alat soil tester, termometer, lux meter,
anemometer, dan hygrometer. Berdasarkan hasil pengukuran parameter
lingkungan, pada alat soil tester hasil pH berkisar 6-7 dan kelembaban 80%.
Kondisi pH sesuai dengan hasil penelitian Pratomo (1994) bahwa terdapat
beberapa genus Rana mampu hidup pada kisaran pH 5,8–7,2. Kemudian
kondisi kelebaban tanah juga sudah sesuai dengan kebutuhan ordo annura.
Menurut Wati (2016) yang menjelaskan bahwa sebagian besar jenis ordo
anura membutuhkan kelembaban tanah yang cukup tinggi berkisar 75%-
85% untuk melindungi tubuh dari kekeringan.
Hasil pengukuran suhu menggunakan alat termometer berkisar 26-
28˚C. Sesuai dengan pernyataan Goin dkk (1978), amfibi dapat hidup pada
suhu yang berkisar antara 3°- 41°C, dan suhu optimum pada habitat katak
berkisar pada 25°C - 30°C. Kehidupan herpetofauna seperti amfibi secara
signifikan dipengaruhi oleh suhu (Izza dkk, 2014). Hal ini disebabkan

168
karena amfibi adalah hewan polikiotermik (Adhiaramanti dkk, 2016)
dimana suhu tubuh berfluktuasi terhadap suhu lingkungan (Qurniawan &
Eprilurahman, 2012).
Hasil pengukuran intensitas cahaya menggunakan alat lux meter
berkisar 214-225 lux karena pengamatan dilakukan saat malam hari.
Menurut Mistar (2003), Umumnya amfibi dijumpai pada malam hari atau
pada musim penghujan. Aktivitas dari Ordo yakni Anura aktif mencari
makan dan melakukan perkawinan pada malam hari (hidup secara
nokturnal). Selain itu, Anura saat musim penghujan melakukan
perkembangbiakan, dikarenakan saat musim penghujan merupakan puncak
dari Ordo Anura melakukan perkembangbiakan (Zug, 1993).
Hasil pengukuran kecepatan angin menggunakan alat anemometer
berkisar 0,3-0,6 m/s. Sedangkan pada penelitian Wahyuni, Zainal, & Sabran
(2020), hasil pengukuran kecepatan angin 18-88,9 m/s. Kondisi fisik
tersebut sangat mendukung untuk menjadi habitat utama dihuninya
organisme katak dan kodok.
Hasil pengukuran kelembaban udara menggunakan alat hygrometer
berkisar 83.4-93,6 %. Sesuai dengan pernyataan Priyono (2001), ordo Anura
masih dapat ditemukan pada lingkungan dengan kelembaban berkisar antara
71-92%. Menurut Wells (2007) mengungkapkan bahwa cara Anura
menghindari pengeringan adalah melalui perubahan perilaku diantaranya
meliputi : Pemilihan habitat mikro lembab yang memungkinkan hewan
untuk menyeimbangkan kehilangan air dengan serapan air, berlindung
ditempat yang lebih lembab seperti dibawah daun-daun (serasah), tumpukan
puing-puing, atau dalam lubang, menggali ke dalam tanah selama periode
kering, memanfaatkan bekas lubang yang dibuat oleh hewan lain, merubah
postur tubuh, dan merapat/ berkumpul dengan individu lainnya.

169
XIII. KESIMPULAN
1. Pada praktikum keanekaragaman ordo annura ditemukan 4 spesies yaitu
Kodok Batu (Phrynoidis aspera), Kodok Buduk (Duttaphryunus
melanostictus), Katak Sawah (Fejevara cancrivora), Katak Pohon
(Polypedates leucomystax).
2. Indeks keanekaragaman (H’) diartikan sebagai suatu penggambaran
secara sistematik yang melukiskan struktur komunitas dan dapat
memudahkan proses analisa informasi-informasi mengenai macam dan
jumlah organisme.
3. Indeks keanekaragaman ordo annura di Lingkungan Universitas
Lambung Mangkurat Banjarmasin, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota
Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan tergolong sedang, karena 1 ≤
H' ≤ 3 yaitu 1,247.
4. Keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh faktor eksternal (tekanan
eksploitasi, degradasi lingkungan, pencemaran) atau faktor internal
(pemangsaan dan persaingan antar spesies).
5. Faktor lingkungan yang meliputih pH tanah, kelembaban tanah, suhu,
intensitas cahaya, kecepatan angin, dan kelembaban udara di tempat
pengamatan mendukung untuk menjadi habitat ordo annura.

170
XIV. DAFTAR PUSTAKA
Adhiaramant, Titis & Sukiya. (2016). Keanekaragaman Anggota Ordo
Anura di Lingkungan Universitas Negeri Yogyakarta. Journal
Biologi. 5(6).

Alponsin. (2019). Identfkasi Morfologi dan Kunci Determinasi Kelas


Amphibia. Diakses melalui https://www.google.com. Diakses pada
tanggal 15 April.2021.

Elita, Agustina. (2018). Rencana Pembelajaran Semester (RPS) Zoologi


Vertebrata. Banda Aceh : Program Studi Pendidikan Biologi
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan.

Goin, C. J.,Goin, O. B., dan Zug, G. R. (1978). Introduction to Herpetology.


San Fransisco : Buku. W. H Freeman and Company.

Igawa, Rizaldi, dan Tjong, D. H. (2012). Komunitas Anura (Amphibia)


pada Tiga Tipe Habitat Perairan di Kawasan Hutan Harapan Jambi.
Jurnal Biologi Universitas Andalas. Vol. 1 No.2, Hal: 156-165.

Iskandar, D. T. and E. Colijn. (2002). Preliminary Checklist of Southeast


Asian and New Guinea Herpetofauna. Treubia. Vol. 31, No. 3, Hal
1-33.

Izza, Qotrun &Kurniawan, Nia. (2014). Eksplorasi Jenis-Jenis Amfibi Di


Kawasan OWA Cangar Dan Air Terjun Watu Ondo, Gunung
Welirang, Tahura R.Soerjo. Jurnal Biotropika, 2(2): 103-108

Kindersley, Tim Dorling. (2010). Ensiklopedia Dunia Hewan (Amfibi).


Jakarta : Lentera Abadi.

Krebs, C.J. (1985). Ecology: The Experimental Analysis of Distributions


and Abundance. Ed. New York: Harper and Row Publishers

Kurniawati, Hellen. (2013). Keragaman Suara Kodok Puru Besar


{PhrynoidisAspera (Gravenhorst, 1829)} Asal Jawa Barat.
Diakses melalui https://www.neliti.com/. Pada tanggal 15 April
2021.

Kusmana, Cecep. (1995). Teknik Pengukuran Keanekaragaman Tumbuhan.


Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor.

Manurung dan Hettie Manurung. (1995). Keanekaragaman Spesies Annura.


Bandung: Indonesia Publishing House.

171
Michael, P. (1994). Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan
Laboratorium. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Mistar. (2003). Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. The


Gibbon Foundation dan PILI-NGO Movement. Bogor.

Muslim, Teguh. (2017). Variasi Morfologi Warna Kulit Katak Polypedates


leucomystax di Areal Reklamasi Tambang Batu Bara PT Singlurus
Pratama. Seminar Nasional Silvikultur Ke- IV. Balikpapan: Balai
Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam.

Odum, E.P. 1993. Dasar-dasar ekologi, (3Jurnal Ilmu dan Teknologi


KelautanTropis, Vol. 10, No. 1, April 2018 97rded). Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

Odum, E.P., (1971). Fundamental of ecology., Philadelphia : W.E.Sounders

Pamoengkas, P., & Zamzam, A. K. (2017). Komposisi Functional Species


Group Pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur Di Area
Iuphhk-Ha Pt. Sarpatim, Kalimantan Tengah. Jurnal Silvikultur
Tropika, 160-169.

Pratomo, H. (1994). Keragamandan Ekologi Genus Rana (Amphibia:


Ranidae) di Daerah Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Tesis Pasca
Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Priyono, A. (2001). Keanekaragaman Jenis Amfibi (Ordo Anura) di Kebun


Raya Bogor. Skrpsi. Fakultas Kehutanan IPB: Bogor.

Qurniawan, T.F., & Eprilurahman, R. (2012). Keanekaragaman Jenis


Herpetofauna di Kawasan Ekowisata Goa Kiskendo, Kulonprogo,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Biota. 17(2):78-84

Soegianto, A. (1994). Ekologi Kuantitatif. Surabaya : Penerbit Usaha


Nasional.

Sri, Sulastri, Ngurah Intan Wiratmini, Ni Luh Suriani. (2014). Panjang


Siklus Estrus Mencit (Mus musculus L.) yang diberi Pemanis
Buatan Aspartam Secara Oral. Jurnal Biologi. Vol. 18, No. 2.

Susanto, Heru. (2003). Seri Agribisnis: Budidaya Kodok Unggul. Jakarta:


Penerbit Swadaya.

Thomas brown. (2020). File:Two-striped Grass Frog (Hylarana


taipehensis). Diakses melalui https://commons.wikimedia.org.
pada tanggal 15 April 2021.

172
Wahyuni, S., Zainal, S., & Sabran, M. (2020). Jenis-jenis Amphibi Ordo
Anura pada Kawasan Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi dan
Pemanfaatannya sebagai Sumber Belajar Pengayaan Materi Mata
Kuliah Taksonomi Hewan. Jurnal Kreatif Online, 8(3) 1-10.

Wati, M. (2016). Species Dicroglossidae (Amphibian) Pada Zona


Pemanfaatan Tnks di Wilayah Solok Selatan. Bioconcetta. 2(2).

Wells, J.W. (2007). Corals of Tirinity Group of the Comanchean of Central


Texas. Journal-Paleontology, Volume 6.

Wilhm, J. L., and T.C. Doris. (1986). Biologycal Parameter for water
quality Criteria. Bio. Science: 18.

Yudha ,dkk . (2013). (Duttaphryunus Melanostictus) Keanekaragaman


Jenis Katak dan Kodok di Sungai Code Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Fakultas Biologi UGM. Diakses pada tanggal 15 April
2021.

Zug, G.R. (1993). An Introductory Biology of Amphibians and Reptiles.


California : Academic Press.

173
EKOLOGI HEWAN
(ABKC 2602)

PRAKTIKUM IX
“Keanekaragaman Jenis
Burung Aves”

174
PRAKTIKUM IX
Topik : Keanekaragaman Jenis Burung
Tujuan : Untuk mengetahui Keanekaragaman Jenis Burung
Hari/tanggal : Minggu/28 Maret 2021
Tempat : Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin,
Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin, Provinsi
Kalimantan Selatan

I. ALAT DAN BAHAN


A. Alat
1. Alat tulis
2. Teropong binokuler
3. Kamera/ Hp
4. Arloji atau alat pengukur waktu
5. Termometer
6. Hygrometer
7. Soil tester
8. Anemometer
9. Lux meter

B. Bahan
1. Burung
2. Lembar pengamatan

II. CARA KERJA


1. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam pengamatan.
2. Melakukan pengamatan dimulai pada pagi hari
3. Melaksanakan pengamatan terkonsentrasi pada suatu titik yang diduga
sebagai tempat dengan peluang perjumpaan satwa tinggi. Misalnya tempat
tersediaanya pakan, air untuk minum dan lokasi tidurnya. Pengamatan dapat

175
dilakukan pada tempat yang tersembunyi sehingga tidak mengganggu
aktivitas satwa.
4. Pengamat berpindah pada titik yang lain setelah 20 menit pengamatan.
5. Mengidentifikasi burung secara langsung melalui teropong binokuler.
Menggambarkan morfologi jantan dan betina tersebut (sketsa) dan
mengambil foto dari burung tersebut.
6. Mengamati bentuk, ukuran tubuh, paruh, dan kaki, warna bulu tubuh, paruh,
dan kaki, serta ciri-ciri khas yang terlihat.
7. Mendata waktu perjumpaan, nama spesies, dan jumlah individu yang
ditemui.
8. Mengukur parameter lingkungan seperti suhu udara, kelembaban udara,
kecepatan angin, dan intesitas cahaya.
9. Mencatat hasil pengamatan di dalam tabel pengamatan.
10. Mengulangi langka 1-9 untuk mengawati pada waktu sore hari
11. Menganalisis data yang diperoleh.
12. Untuk menghitung kemelimpahan dapat menggunakan rumus nilai penting
yang dikemukakan oleh Soerianegara dan Indrawa (1978) yaitu:
Nilai penting (NP) = FR + KR

F individu
FR= ×100 %
Σ F seluruh spesies

K individu
KR= ×100 %
Σ K seluruh spesies

Untuk pengujian menghitung indeks keanakeragaman digunakan


rumus yang dikemukakan oleh Shannon-Wienner dalam Odum (1993)
sebagai berikut:
H’ = Ʃ –Pi ln Pi
Dimana
n( jumlah individu spesies)
Pi=
N ( jumlah individu seluruh spesies)

176
III. TEORI DASAR
Burung adalah salah satu hewan yang dapat dijadikan bioindikator.
Dalam beberapa penelitian dinyatakan bahwa jumlah spesies burung dihutan
primer lebih tinggi dari pada di hutan tebangan. Apabila dibandingkan
hewan lainnya, burung sedikit istimewa. Morfologinya yang berbeda,
warnannya yang bervariasi antar-spesies atau indah antar-jenis kelamin
membuat burung mudah diamati. Selain itu, kicauan yang merdu atau
ocehannya yang lucu menjadikan burung sebagai hewan peliharaan. Burung
menjadi penting tidak hanya karena fungsinya sebagai bioindikator dan
peranannya sebagai hewan peliharaan, tetapi juga karena manfaatnya
sebagai bahan pembelajaran.
Umumnya, daerah-daerah yang kaya dengan keragaman jenis burung
juga kaya dengan keragaman hayati lainnya. Berkurangnya jumlah burung
juga mengindikasikan dampak tertentu dari degradasi lingkungan
(MacKinnon, et al., 2010). Keanekaragaman jenis burung dapat diartikan
sebagai kekayaan atau jumlah jenis burung yang ditemukan pada suatu
kawasan yang secara morfologi dan biologi berbeda antara jenis yang satu
dengan jenis yang lain (Alikodra, 1990). Menurut Soendjoto, Riefani,
Mahrudin, dan Zen (2014), jumlah burung yang relative banyak difasilitasi
oleh kecukupan dan keragaman pakan. Lokasi mencari makan pada burung
biasanya dipilih berdasarkan perbedaan bentuk dan ukuran yang dimiliki
setiap spesies serta jenis makanan yang disukai (Elfidasari dan Junardi,
2005). Menurut Soendjoto, Riefani, Mahrudin, dan Zen (2014), keragaman
tipe habitat yang dicerminkan oleh kondisi fisik (berair dan tidak, terdapat
bangunan dan tidak, terdapat aktivitas manusia atau tidak) serta kondisi
biologi (spesies tumbuhan pembentuk habitat dan strata vegetasi
bentukannya) memicu keragaman burung penghuni habitat. (Dharmono dkk,
2020).

177
IV. HASIL PENGAMATAN
A. Tabel Hasil Pengamatan dan Perhitungan
1. Tabel Hasil Pengamatan
Waktu
Pagi (08:00-10:00) Sore (16:00 – 17:30)
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
No Nama Spesies 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 0 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 7 7 7 7 7 7 7
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
0 0 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 0 0 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 0 0 0 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 0 0 1 1 2 2 3
0 5 0 5 0 5 0 5 0 5 0 5 0 5 0 5 0 5 0 5 0 5 0 5 0 0 5 0 5 0 5 0 5 0 5 0 5 0 5 0 5 0 5 0
Dendrocopos           1                                                                            
1 moluccensis
Passer 1 1   1     1 1   1     1   1   1   1   1 1   1     1 1 1   1   1 1 1   1     1     1 1
2 montanus
Cinnyris                 1                                                                      
3 jugularis
Pycnonotus     1 1   1     1       1 1     1     1     1   1 1 1     1 1     1 1 1     1   1 1 1  
4 aurigaster
Orthotomus                               1                                                      
5 ruficeps
∑ 1 1 1 1   2 1 1 2 1     2 1 1 1 2   1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 2   1 2 2 1 1 1   1 1 1 2 1

2. Tabel Perhitungan


∑ Cup K KR % F FR % NP % Pi (-)pilnpi
Ind

1 1 0,500 2,083 0,500 14,286 16,369 0,021 0,081

178
24 2 12,000 50,000 1,000 28,571 78,571 0,500 0,347
1 1 0,500 2,083 0,500 14,286 16,369 0,021 0,081
21 2 10,500 43,750 1,000 28,571 72,321 0,438 0,362
1 1 0,500 2,083 0,500 14,286 16,369 0,021 0,081
48 7 24,000 100 3,500 100 200 1,000 0,950
Kesimpulan : Jadi, Keanekaragaman Jenis Burung (Aves) tergolong rendah karena nilai H'<1 yaitu 0,950

Indeks Keanekaragaman
H' < 1 Rendah
1 ≤ H' ≤ 3 Sedang
H' > 3 Tinggi

3. Contoh Perhitungan Untuk Dendrocopos moluccensis


K = (Ind) / (Titik) = 1 / 2 = 0,500
KR = (∑ Kindividu) / (∑ K) x 100% = 0,500 / 24,000 x 100% = 2,083%
F = (Cup) / (Titik) = 1 / 2 = 0,500
FR = (∑ Findividu) / (∑ F) x 100% = 0,500 / 3,500 x 100% = 14,286%
NP = KR + FR = 2,083 + 14,286 = 16,369
Pi = n / N = 1 / 48 = 0,021
-Pi Ln Pi = (-0,021) Ln (0,021) = 0,081

179
B. Tabel Parameter
1. Pukul 09:00 WITA
Pengulangan
Nama alat Pengukuran Kisaran
1 2 3
pH 6 6 6,4 6-6,4
Soil Tester
Kelembaban (%) 82% 81% 83% 81-83%
Termometer 31˚C 32˚C 30˚C
  28-33 ˚C
(˚C) 28 ˚C 33 ˚C 31 ˚C
Min >20000 lux 13940 lux 16878 lux
Max >20000 lux 16870 lux l7793 lux
Min 2110lux 2130 lux 1841 lux
Lux meter Max 9630 lux 3150lux 2450 lux 440 - > 20000
(Lux) Min 2140 lux 6180 lux 3420 lux lux
Max 6110 lux 6850 lux 4220 lux
Min 440 lux 3240 lux 4040 lux
Max 1063 lux 3270 lux 4080 lux
Min 0m/s 0m/s 0 m/s
Anemometer Max 0,1 m.s 0,1 m/s 0 m/s
0-5,6 m/s
(m/s) Min 1,3 m/s 1,5 m/s 1,2 m/s
Max 5,4 m/s 5,2 m/s 5,6 m/s
Min 82,40% 72,30% 68,40%
Hygrometer Max 84,80% 81,60% 71,20%
60,8-80,5%
(%) Min 68,30% 67,20% 68,30%
Max 78,10% 69,60% 68,70%

180
Min 69,60% 68,90% 69,80%
Max 69,90% 69,60% 70,70%
Min 79% 60,80% 61,60%
Max 80,50% 60,80% 61,60%
Altimeter -2 mdpl -2 mdpl -2 mdpl -2 mdpl
 
(mdpl) -4 mdpl -4 mdpl -4 mdpl -4 mdpl

181
C. Foto Hasil Pengamatan dan Literatur
No Nama Nama Foto Pengamatan Foto Literatur
Indonesia Ilmiah
1. Burung Dendrocopos
Caladi moluccensis
Tilik

(Sumber Yee, 2018)


2. Burung Passer
Gereja montanus

(Sumber : Dok. Kel 1, (Sumber : Sjögren,


2021) 2019)
3. Burung Cinnyris
Madu jugularis
Sriganti

(Sumber : Yung, 2016)


4. Burung Pycnonotus
Kutilang aurigaster

(Sumber : Dok. Kel 1, (Sumber : Chapman,


2021) 2015)

178
5. Burung Orthotomus
Cinenen ruficeps
Kelabu

(Sumber : Kee, 2019)

179
V. ANALISIS DATA
Pada topik praktikum kali ini Keanekaragaman Jenis Burung dengan
tujuan untuk mengetahui Keanekaragaman Jenis Burung. Berdasarkan hasil
pengamatan dilapangan yang dilakukan di Lingkungan Universitas Lambung
Mangkurat Banjarmasin, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin,
Provinsi Kalimantan Selatan. Ditemukan beberapa spesies burung yaitu burung
caladi titik (Dendrocopos moluccensis), burung gereja (Passer montanus),
burung madu sriganti (Cinnyris jugularis), burung kutilang (Pycnonotus
aurigaster), dan burung cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps).
Burung Caladi Titik (Dendrocopos moluccensis), Burung Madu Sriganti
(Cinnyris jugularis), dan Burung Cinenen Kelabu (Orthotomus ruficeps)
merupakan burung yang memiliki angka nilai penting yang paling rendah yakni
16,369%.
Fikriyanti dkk (2018), menyatakan bahwa jenis burung Cinenen kelabu
(Orthotomus ruficeps) menyukai areal hutan dan biasanya aktif berkelompok
pada batang pohon dan tajuk pohon. Selain itu, keberadaan serangga seperti
jangkrik, kroto dan pelet yang berlimpah pada suatu ekosistem, serangga
tersebut menjadi pakan bagi burung Orthotomus ruficeps.
Wiens (1992) menyatakan bahwa ketersediaan pakan dalam suatu tipe
habitat merupakan salah satu faktor utama bagi kehadiran populasi burung. Hal
ini juga berkaitan dengan adanya kemampuan burung untuk memilih habitat
yang sesuai dengan ketersediaan sumber daya untuk kebutuhan hidupnya.
Ketersedian pakan pada hutan mangrove berbeda dengan ketersedian pakan di
hutan dataran rendah. Menurut Qiptiyah dkk (2013), sebagian besar burung
yang ada di hutan mangrove ialah karnivora (pemakan serangga, ikan dan
vertebrata). Dendrocopos moluccensis merupakan burung yang suka memakan
semut, kumbang dan serangga lainnya, jenis ini lebih suka menyendiri dan
membuat sarang pada pohon mati yang berlubang.

180
Burung Gereja (Passer montanus) merupakan burung yang paling
banyak ditemukan saat pengamatan yang dilakukan pada pagi dan sore hari
dengan jumlah keseluruhan 24. Burung ini memiliki nilai penting terbesar pada
pengamatan kali ini yakni 78,571%. Burung ini memiliki ukuran tubuh ± 14
cm dengan warna coklat. Mahkotanya berwarna coklat berangan. Dagu,
tenggorokan, bercak pipi, dan garis pada mata berwarna hitam. Tubuh bagian
atas berbintik-bintik coklat dengan tanda hitam dan putih. Pada burung muda
berwarna lebih pucat dengan tanda khas yang kurang jelas.
Menurut literature burung (Passer montanus) merupakan salah satu jenis
Passerine yang memiliki tingkat adaptasi yang tinggi terhadap perubahan
kondisi cuaca, ketersediaan pakan maupun predator. Jenis ini merupakan jenis
dominan dan dapat ditemukan hampir di semua tempat, baik saat musim hujan
maupun musim kemarau (Dewi, 2013).
Pada jenis-jenis burung pemakan biji, akhir musim hujan merupakan
musim berbiak terbanyak karena ketersediaan pakan yang cukup.Pada saat
penelitian, Burung Gereja Erasia yang tertangkap justru lebih sedikit pada
akhir musim hujan.Hal ini diduga berkaitan dengan komposisi struktur umur
pada kedua musim.Pada awal musim hujan jumlah tangkapan melimpah karena
jumlah anak lebih banyak (62%) dibandingkan individu dewasa (38%). Hal
tersebut membuat individu banyak tertangkap karena individu anak belum
mahir terbang ataupun berpengalaman dengan adanya mist net sehingga mudah
untuk tertangkap akrena tidak dapat menghindari jaring (Dewi, 2013).
Menurut Adelina dkk (2016), tingginya jumlah spesies burung pada
habitat hutan diduga berkaitan dengan ketersediaan pakan yang cukup
melimpah. Selain untuk melihat keanekaragaman spesies burung, indeks
keanekaragaman juga dapat digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas,
yaitu kemampuan komunitas untuk menjaga kondisi tetap stabil meskipun ada
gangguan terhadap komponen-komponennya.
Burung Kutilang (Pycnonotus aurigaster) memiliki ukuran tubuh yang
sedang (± 20 cm). Burung ini bertopi hitam dan memiliki tungging berwarna
jingga kuning. Dagu dan kepalanya berwarna hitam. Sedangkan kerah, dada,

181
tunggir, dan perutnya berwarna putih. Sayapnya berwarna hitam dengan ekor
berwarna coklat (El-Arif, dkk, 2016). Burung ini hidup berkelompok, dijumpai
pada hutan-hutan sekunder, area terbuka, semak belukar dan padang rumput,
serta pakannya dari jenis-jenis serangga, ulat dan aneka hewan kecil lainnya.
Burung kutilang kerap mengunjungi tempat-tempat terbuka, tepi jalan, kebun,
pekarangan, semak belukar dan hutan sekunder, sampai dengan ketinggian
sekitar 1.600 mdpl. Daerah kebun dapat dikatakan merupakan habitat yang
sesuai bagi kutilang karena sifatnya yang merupakan area terbuka, kebun juga
dipenuhi oleh serangga-serangga yang merupakan makanannya.
Keanekaragaman Jenis Burung (Aves) yang diamati pada kawasan
Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Kecamatan
Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan tergolong
rendah karena nilai H'<1 yaitu 0,950. Keanekaragaman burung pada
pengamatan tergolong rendah karena vegetasi pada lokasi pengamatan kurang
beragam sehingga jenis makanan untuk burung tergolong kurang beragam pula,
dan makanan untuk jenis burung tidak dapat terpenuhi dengan baik, sehingga
keanekaragaman di lokasi pengamatan tergolong rendah.
Secara teori, keanekaragaman jenis burung dapat mencerminkan
tingginya keanekaragaman hayati kehidupan liar lainnya, artinya burung dapat
dijadikan sebagai indikator kualitas hutan. Berbagai tipe hutan, seperti hutan
primer, hutan sekunder maupun lahan terbuka/semak belukar merupakan
habitat bagi beragam jenis burung. Penyebaran dan populasi burung di suatu
habitat dipengaruhi oleh faktor fisik/lingkungan seperti tanah, air, temperatur,
cahaya matahari dan faktor biologis yang meliputi vegetasi dan satwa lainnya
(Welty dan Baptista, 1988).
Menurut Soetjipta (1993), keanekaragaman adalah kepadatan jumlah
individu dalam setiap jenis pada suatu populasi. Hal itu dapat diterapkan
kepada berbagai bentuk, sifat dan ciri dari suatu komunitas. Ada dua konsep
keanekaragaman jenis yang terdapat dalam komunitas yakni (1) kekayaan
jenis yakni jumlah atau cacah jenis yang ada dikomunitas tersebut, (2)
heterogenitas yakni penggabungan dari konsep kekayaan jenis dengan konsep

182
kemelimpahan aktif. Artinya dalam menganalisa keanekaragaman jenis yang
terdapat pada suatu komunitas, disamping faktor jumlah (cacah) jenis yang
terdapat pada suatu komunitas tersebut, faktor kemelimpahan relatif dari
masing – masing jenis yang terdapat pada komunitas itu turut diperhitungkan.
Keanekaragaman jenis burung dipengaruhi oleh keanekaragaman tipe
habitat. Struktur vegetasi dan ketersediaan pakan pada habitat merupakan
faktor utama yang mempengaruhi keanekaragaman jenis disuatu habitat.
Sehingga, dengan variasi vegetasi lebih beragam akan memiliki
keanekaragaman jenis burung yang lebih tinggi dibandingkan dengan habitat
yang memiliki sedikit jenis vegetasi (Tews dkk, 2004). Habitat dengan
keanekaragaman jenis vegetasi lebih tinggi memiliki keanekaragaman jenis
burung lebih tinggi dibandingkan dengan habitat yang miskin jenis vegetasi.
Habitat yang memiliki jenis vegetasi yang beragam akan menyediakan lebih
banyak jenis pakan, sehingga pilihan pakan bagi burung akan lebih banyak.
Beragamnya jenis vegetasi yang terdapat pada suatu habitat mendukung
ketersediaan pakan bagi burung, sehingga dengan beragamnya jenis vegetasi,
maka burung akan mendapatkan pilihan yang lebih banyak untuk memilih jenis
pakan (Dewi dkk, 2007).
Keanekaragaman jenis dapat diambil untuk menandai jumlah jenis dalam
suatu daerah tertentu atau sebagai jumlah jenis diantara jumla total individu
dari seluruh jenis yang ada. Hubungan ini dapat dinyatakan secara numeric
sebagai indeks keragaman. Jumlah jenis dalam suatu komunitas adalah penting
dari segi ekologi karena keragaman jenis tampaknya jenis tampaknya
bertambah bila komunitas menjadi makin stabil (Michael, 1995).
Faktor ketersediaan makanan sangat berpengaruh pada keanekaragaman
jenis burung karena makanan merupakan faktor pembatas. Sedangkan faktor
lingkungan dapat dilihat dari pengamatan parameter lingkungan burung, yaitu
suhu udara menggunakan termometer yaitu suhu menunjukkan 28-33˚C dan
kelembaban udara menggunakan hygrometer kisarannya antara 60,8-80,5%.
Pengukuran menggunakan anemometer yaitu kecepatan angin kisaran

183
minimumnya 0 m/s dan maksimumnya 0-5,6 m/s sedangkan intensitas cahaya
yang kisaran 440 - >20000 lux.
Menurut Campbell (2008), burung dapat mempertahankan suhu tubuh
yang konstan pada 40˚C dan suhu maksimumnya 60˚C, selama memiliki air
yang cukup. Burung juga dapat hidup di suhu lingkungan -40˚C, selama
memiliki makanan yang cukup. Sedangkan untuk kelembaban udara, burung
dapat hidup pada kisaran 78-90%.
Dapat dikatakan berdasarkan data parameter yang diukur terlihat bahwa
suhu di lokasi pengamatan tergolong normal sehingga burung dapat hidup di
kawasan tersebut dengan baik. Namun rendahnya keanekaragaman burung di
kawasan pengamatan mungkin dikarenakan jenis burung yang hidup di
kawasan tersebut tidak banyak.

184
VI. KESIMPULAN
1. Keanekaragaman Jenis Burung (Aves) tergolong rendah karena nilai H'<1
yaitu 0,950.
2. Keanekaragaman jenis burung yang terdapat di kawasan Lingkungan
Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Kecamatan Banjarmasin
Utara, Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan dipengaruhi oleh
faktor ketersediaan makanan dan faktor lingkungan.
3. Spesies yang paling banyak dijumpai dan memiliki nilai penting terbesar
yaki burung gereja (Passer montanus)
4. Spesies yang memiliki nilai penting terendah yakni Burung Caladi Titik
(Dendrocopos moluccensis), Burung Madu Sriganti (Cinnyris jugularis),
dan Burung Cinenen Kelabu (Orthotomus ruficeps).

185
VII. DAFTAR PUSTAKA
Adelina, Maya., Harianto, Sugeng P., Nurcahyani, Nuning. (2016).
Keanekaragaman Jenis Burung Di Hutan Rakyat Pekon Kelungu
Kecamatan Kotaagung Kabupaten Tanggamus. Jurnal Sylva
Lestari. Vol. 4 No. 2 : 51-60.

Campbell, N.A., J.B. Reece, L.G. Mitchell. (2008). Biologi : Jilid 3. Jakarta:
Erlangga.

Chapman, J. (2015). Sooty-headed Bulbul Pycnonotus aurigaster. Diakses


melalui https://ebird.org Pada tanggal 14 April 2021.

Das, A. (2016). Russet Sparrow Passer cinnamomeus. Diakses melalui


https://ebird.org Pada tanggal 15 April 2021.

Dewi, Lina Kristina. (2013). Penggunaan Jala Kabut Untuk Studi Populasi
Burung Gereja Erasia (Passer Montanus) Di Kampus Ipb
Dramaga: Variasi Jumlah Tangkapan Dan Bobot Tubuh Pada
Musim Berbeda. Jurnal Media Konservasi Vol. 18, No. 3 : 152 –
160.

Dewi, Rika Sandra, Yeni Mulyani, Dan Yanto Santosa. (2007).


Keanekaragaman Jenis Burung Di Beberapa Tipe Habitat Taman
Nasional Gunung Ciremai. Bogor: Ipb.

Dharmono, Hardiansyah, Mahruddin, dan Maulana Khalid Riefani. 2020.


Penuntun Praktikum Ekologi Hewan. PMIPA FKIP UNLAM :
Banjarmasin.

El-Arif, Aulia Rahman, Ngakan Made Suastika, Rakhmad Abinurizzaman,


Dan Endang Arisoesilaningsih. (2016). Diversitas Aves Diurnal Di
Agroforestry, Hutan Sekunder, Dan Pemukiman Masyarakat
Sekitar Rowo Bayu, Kecamatan Songgon, Banyuwangi. Jurnal
Biotropika, 4(2): 49-55.

Fikriyanti, Mariana., Wulandari, Sri., Fauzi, Irpan., Rahmat, Ade. (2018).


Keragaman Jenis Burung Pada Berbagai Komunitas Di Pulau
Sangiang, Provinsi Banten. Jurnal Biodjati. Vol. 3 No. 2 : 158-165.

Kee, N. H. (2019). Ashy Tailorbird Orthotomus ruficeps. Diakses melalui


https://ebird.org Pada tanggal 14 April 2021.

Michael, P. (1995). Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Lapangan Dan


Laboratorium. Jakarta: Ui Press.

186
Qiptiyah, M. & Broto, B. W. (2013). (Bird ’ S Diversity In Mangrove Area
Of Rawa Aopa Watumohai National Park). Jurnal Penelitian
Kehutanan Wallaceae, 2(1), , 41–50.

Soetjipta. (1993). Dasar-Dasar Ekologi Hewan. Jakarta: Pptlpt.

Sjogren, I. (2019). Eurasian Tree Sparrow Passer montanus. Diakses


melalui https://ebird.org Pada tanggal 14 April 2021.

Tews, J., Brose U,. Grimm V., Tielborger K., Wichmann M.C., Schwager
M., Dan Jeltsch F. (2004). Animal Species Diversity Driven By
Habitat Heterogeneity/Diversity: The Importance Of Keystone
Structure. Journal Of Biogeography, 31: 79-92.

Welty, J.C. And L. Baptista. (1988). The Life Of Bird. New York: Sounders
College Publishing.

Wiens, J. A. (1992). The Ecology Of Bird Community. Volume I.


Foundation And Patterns. Cambridge: Cambridge University
Press.

Yee, B. C. (2018). Caladi Tilik Yungipicus moluccensis. Diakses melalui


https://www.inaturalist.org Pada tanggal 14 April 2021.

Yung, S. K. (2016). Burung Madu Sriganti Cinnyris jugularis. Diakses


melalui https://www.inaturalist.org Pada tanggal 14 April 2021.

187

Anda mungkin juga menyukai