Anda di halaman 1dari 13

TUGAS ENDOKRINOLOGI HEWAN AIR

“ADAPTASI FISIOLOGI OSMOREGULASI PADA AMFIBI”

Oleh :

M. RISWAN
1810247009

Dosen Pengajar :
Dr. Ir. Henni Syawal, M.Si

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KELAUTAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya

sehingga paper ini dapat diselesaikan. Tema yang diberikan dalam penulisan paper ini

adalah adaptasi fisiologi osmoregulasi pada amfibi. Makalah ini dibuat untuk

memenuhi kewajiban tugas mata kuliah Endokrinologi Hewan Air.

Kemudian dengan segala hormat dan kerendahan hati penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah penulis jadikan referensi

dalam penyusunan paper ini. Tidak lupa penulis sampaikan permohonan maaf bila

dalam proses penulisan paper terdapat kekurangan dan kesalahan. Kritik dan saran

yang bersifat membangun, penulis harapkan demi kesempurnaan ilmu pengetahuan

kedepan. Terima kasih atas perhatiannya, semoga paper ini bermanfaat bagi para

pembaca.

Pekanbaru, Maret 2020

Penulis
I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Amfibi merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang menghuni habitat

perairan dan daratan. Amfibi menghuni habitat yang sangat bervasiasi, dari genangan

air hingga hidup di pohon (Sari et al., 2014). Menurut Yunaefa et al., (2012), amfibi

selalu berasosiasi dengan air, karena air dapat menjaga perubahan pada temperatur

tubuhnya. Keanekaragaman jenis amfibi sangat tinggi di dunia, lebih kurang terdapat

7.428 spesies amfibi yang terdiri dari 6.548 spesies (88%) dari ordo Anura, 691

spesies (9%) dari ordo Caudata dan 205 spesies (3%) dari ordo Gymnophiona (Frost,

2015).

Menurut David (2008), tubuh amfibi 70 sampai 80% tubuhnya terdiri dari air

yang tersebar dalam cairan intrasel dan ekstrasel dan sewaktu-waktu konsentrasi

cairannya tersebut bisa berubah. Maka keseimbangan harus dipertahankan oleh

amfibi melalui mekanisme yang disebut dengan osmoregulasi (Yustina dan Darmadi,

2017).

Osmoregulasi adalah proses mengatur konsentrasi cairan dan

menyeimbangkan pemasukan serta pengeluaran cairan tubuh oleh sel atau organisme

hidup. Proses osmoregulasi diperlukan karena adanya perbedaan konsentrasi cairan

tubuh dengan lingkungan di sekitarnya (Yustina dan Darmadi, 2017). Organisme

hidup harus melakukan osmoregulasi karena harus terjadi keseimbangan antara

substansi tubuh dan lingkungan. Membran sel yang permeabel merupakan tempat

lewatnya beberapa substansi yang bergerak cepat. Adanya perbedaan tekanan


osmosis antara cairan tubuh dan lingkungan. Semakin jauh perbedaan tekanan

osmosis antara tubuh dan lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang

dibutuhkan untuk melakukan osmoregulasi sebagai upaya adaptasi (Fujaya, 2004).

Untuk melakukan upaya adaptasi osmoregulasi amfibi memiliki organ yang

melakukan upaya adaptasi seperti hati, ginjal dan kulit, organ-organ ini akan

melakukan fungsi adaptasi di bawah kontrol hormon osmoregulasi, terutama hormon-

hormon seperti hormon neurohypophysial, hormon arginine vasotocin (AVT) dan

antidiuretic hormone (ADH) (Fujaya, 2004).

I.2. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari pembuatan paper ini adalah mengetahui adaptasi fisiologi

osmoregulasi amfibi. Sedangkan manfaat dari pembuatan paper ini diharapkan dapat

menambah wawasan mengenai adaptasi fisiologi osmoregulasi amfibi untuk

menjamin kelestarian sumberdaya amfibi tersebut.


II. PEMBAHASAN

II.1. Pengertian Osmoregulasi

Osmoregulasi adalah proses untuk menjaga keseimbangan antara jumlah air

dan zat terlarut yang ada dalam tubuh hewan. Osmoregulasi dapat juga didefinisikan

sebagai proses homeostasis untuk menjaga agar cairan tubuh selalu berada dalam

keadaan stabil atau steady state. Alasan utama hewan harus melakukan osmoregulasi

ialah karena perubahan keseimbangan jumlah air dan zat terlarut di dalam tubuh

memungkinkan terjadinya perubahan arah aliran air/zat terlarut menuju ke arah yang

tidak diharapkan. Proses inti dalam osmoregulasi yaitu osmosis. Osmosis adalah

pergerakan air dari cairan yang mempunyai kandungan air lebih tinggi (yang lebih

encer) menuju ke cairan yang mempunyai kandungan air yang lebih rendah (yang

lebih pekat) (Yustina dan Darmadi, 2017).

Hewan harus menjaga volume tubuh dan kosentrasi larutan tubuhnya dalam

rentangan yang agak sempit. Yang menjadi masalah adalah konsentrasi yang tepat

dari cairan tubuh hewan selalu berbeda dengan yang ada dilingkungannya. Perbedaan

konsentrasi tersebut cenderung mengganggu keadaan manpat dari kondisi internal.

Hanya sedikit hewan yang membiarkan kosentrasi cairan tubuhnya berubah-ubah

sesuai degan lingkungannya dalam kedaan demikian hewan dikatakan melakukan

osmokonfirmitas. Kebanyakan hewan menjaga agar kosentrasi cairan tubuhnya tetap

lebih tinggi dari mediumnya (regulasi hiporosmotis) atau lebih rendah dari

mediumnya (regulasi hipoosmotis) (Yustina dan Darmadi, 2017).


Berdasarkan kemampuannya menjaga tekanan osmotik tubuh, dikenal adanya

hewan osmokonformer dan osmoregulator (Yustina dan Darmadi, 2017).

a. Osmokonformer

Osmokonformer merupakan hewan yang tidak mampu mempertahankan

tekanan osmotik di dalam tubuhnya, oleh karena itu hewan harus melakukan

berbagai adaptasi agar dapat bertahan di dalam tempat hidupnya. Adaptasi

dapat dilakukan sepanjang perubahan yang terjadi pada lingkungannya tidak

terlalu besar dan masih ada dalam kisaran konsentrasi yang dapat diterimanya.

Jika perubahan lingkungan terlalu besar maka hewan yang melakukan

osmokonfermer tidak dapat bertahan hidup di tempat tersebut.

b. Osmoregulator

Osmoregulasi adalah organisme yang menjaga osmolaritasnya tanpa

tergantung lingkungan sekitar. Oleh karena kemampuan meregulasi ini maka

osmoregulator dapat hidup di lingkungan air tawar, daratan, serta lautan. Di

lingkungan dengan konsentrasi cairan yang rendah, osmoregulator akan

melepaskan cairan berlebihan dan sebaliknya.

2.2. Organ yang Berperan Dalam Fisiologi Osmoregulasi Amfibi

Osmoregulasi pada amfibi dapat dilakukan melalui tiga organ, yaitu:

1) Melalui Hati
Osmoregulasi pada hati bertujuan untuk membuang racun yang terdapat didalam

darah. Racun yang didapat berasal dari darah yang dialirkan dari anyaman pembuluh

kapiler darah yang berasal dari sistem pencernaan. Selanjutnya, racun tersebut akan
dibuang dari tubuh melalui urine dan feses. Dengan demikian, konsentrasi darah

dapat terjaga dalam batas normal.

Gambar 1. Organ Hati Katak

2) Melalui Ginjal

Ginjal berfungsi sebagai penyaring darah. Proses penyaringan darah meliputi tiga

tahapan proses, yaitu:

a. Darah yang dating melalui arteri interlobular akan memasuki glomerulus. Di

glomerulus, terjadi proses filtrasi yang akan menghasilkan urine primer yang

kemudian urine primer tersebut akan mengalami proses reabsorbsi.

b. Pada tahapan reabsorbsi, tubuh akan menyerap kembali zat-zat yang

mungkin masih di perlukan. Zat-zat tersebut meliputi air ataupun garam-garam

mineral yang mungkim masih diperlukan oleh tubuh. Proses reabsorbsi ini

sangat dipengaruhi oleh kerja hormone ADH yang di sekresikan oleh kelenjar

hipofisis.

c. Urine yang telah mengalami proses reabsorbsi kemudian akan dialirkan

menuju vesika urinaria melalui duktus kolektivus. Yang selanjutnya akan

dibuang dari tubuh melalui ureter sebagai urine


Gambar 2. Organ Urogenital pada Katak

3) Melalui Kulit

Osmoregulasi pada katak juga dapat berlangsung melalui kulit. Pada umumnya

amfibi memiliki kulit yang tipis, banyak pembuluh darah dan selalu basah. Kondisi

kulit tersebut pada amfibi berperan sebagai alat respirasi. Bahkan beberapa jenis

amfibi paru-parunya mereduksi sehingga system respirasi hanya menggunakan kulit

saja atau disebut repirasi cutaneous (Hutchins et al., 2003).

Suatu struktur yang sangat cocok sebagai organ yang dapat mengalami difusi dan

osmosis. Hal ini menyebabkan katak dapat mengambil air ataupun mineral yang ia

perlukan melalui kulitnya. Kulit katak cenderung bersifat permiabel terhadap air.

Oleh sebab itu, apabila katak berada di dalam air, katak akan menghasilkan urine

yang sangat encer untuk menjaga homoeostasis tubuhnya. Sedangkan apabila ia

sedang berada di darat, katak dapat mereabsorbsi kembali air yang terkandung di

dalam urine untuk mengatasi evaporasi yang ia alami melalui kulitnya. Sehingga, urin
yang dihasilkan menjadi lebih pekat dari pada saat ia berada di dalam air atau

lingkungan yang basah/lembab.

Gambar 3. Organ Kulit pada Katak

2.3. Mekanisme Osmoregulasi Pada Amfibi

Ginjal amfiibi sama dengan ginjal ikan air tawar yaitu berfungsi untuk

mengeluarkan air yang berlebih. Karena kulit katak permeable terhadap air, maka

pada saat berada di air, banyak air yang masuk ke tubuh katak secara osmosis. Ketika

di air tawar, kulit katak terakumulasi garam tertentu dari air dengan transpor aktif,

dan ginjal mengekskresikan urin encer. Pada saat berada di darat harus melakukan

konservasi air dan tidak membuangnya. Dehidrasi adalah masalah yang paling

menekan, katak menghemat cairan tubuh oleh reabsorbing air melintasi epitel

kandung kemih (Yustina dan Darmadi, 2017),

Katak menyesuaikan dirinya terhadap kandungan air sesuai dengan

lingkungannya dengan cara mengatur laju filtrasi yang dilakukan oleh glomerulus,

sistem portal renal berfungsi untuk membuang bahan-bahan yang diserap kembali

oleh tubuh selama masa aliran darah melalui glomerulus dibatasi. Katak juga

menggunakan kantung kemih untuk konservasi air. Apabila sedang berada di air,
kantung kemih terisi urine yang encer. Pada saat berada di darat air diserap kembali

kedalam darah menggantikan air yang hilang melalui evaporasi kulit. Hormon yang

mengendalikan adalah hormon yang sama dengan ADH (Yustina dan Darmadi,

2017).

2.4. Hormon Osmoregulasi Pada Amfibi

Tipe ginjal pada amfibi adalah tipe ginjal opistonefros. Katak jantan memiliki

saluran ginjal dan saluran kelamin yang bersatu dan berakhir di kloaka. Namun, hal

tersebut tidak terjadi pada katak betina. Ginjal pada katak seperti halnya pada ikan,

juga menjadi salah satu organ yang sangat berperan dalam pengaturan kadar air

dalam tubuhnya. Kulit amfiibi yang tipis dapat menyebabkan amfibi kekurangan

cairan jika terlalu lama berada di darat. Begitu pula jika katak berada terlalu lama

dalam air tawar. Air dengan sangat mudah masuk secara osmosis ke dalam jaringan

tubuh melalui kulitnya. Katak dapat mengatur laju filtrasi dengan bantuan hormon,

sesuai dengan kondisi air di sekitarnya. Ketika berada dalam air dengan jangka waktu

yang lama, katak mengeluarkan urine dalam volume yang besar. Namun, kandung

kemih katak dapat dengan mudah terisi air. Air tersebut dapat diserap oleh dinding

kandung kemihnya sebagai cadangan air ketika katak berada di darat untuk waktu

yang lama (Purnamasari dan Santi, 2017).

Efek hormon neurohypophysial berpengaruh pada tingkat pengambilan air

pada amfibi. Hormon neurohypophysial diketahui meningkatkan permeabilitas

terhadap air kulit kebanyakan amfibi, dan terutama jenis anuran (Heller, 1965). Bufo

melanostictus, dosis vasopresin (4 mg) yang disuntikkan secara intramuscular


mengurangi energi aktivasi penyerapan air sekitar 4000 kal pada bagian kulit (Dicker

dan Elliott, 1967).

Rana cancrivora jenis katak euryhaline yang mampu toleransi salinitas air

laut. Setelah 24 jamt terpapar air suling atau larutan NaCl pada bagian kulit dari 100

hingga 670 osmole /L, konsentrasi osmolar dari plasma R. cancrivora selalu lebih

tinggi dari pada jenis R. pipiens dan R. temporaria. Hal ini disebabkan karena

adanya hormon neurohypophysial (Dicker dan Elliott, 1967).

Heller (1997), menjelaskan penggunaan hormon arginine vasotocin (AVT)

dan antidiuretic hormone (ADH) pada amfibi sebagai usaha untuk mengurangi

pembentukan urin dan menstimulasi permeabilitas air urin pada kandung kemih

sehingga osmolaritas dapat di atur. Peningkatan permeabilitas air pada kulit

memungkinkan katak untuk rehidrasi lebih cepat.


III. PENUTUP

Osmoregulasi merupakan sebagai proses homeostasis untuk menjaga agar

cairan tubuh selalu berada dalam keadaan stabil atau steady state. Organ pada amfibi

yang melakukan proses osmoregulasi adalah ginjal, hati dan kulit yang dibawah kerja

dari sistem hormon seperti hormon neurohypophysial, hormon arginine vasotocin

(AVT) dan antidiuretic hormone (ADH).


DAFTAR PUSTAKA

Frost DR. 2015. Amphibian Species of the World: an Online Reference. Version 5.5
(31 January, 2011). Electronic Database accessible at
http://research.amnh.org/vz/herpetology/amphibia/ American Museum of
Natural History, New York, USA.

Dicker, S. E. dan Elliot, A. B. 1967. Water uptake by Bufo melanotictus, as affected


by osmotic gradients, vasopressin and temperature. J. Physiol. 190, 359-370.

Dicker, S.E. dan Elliot, A.B. 1970. Water Uptake By The Crab-Eating Frog Rana
Cancrivora, As Affected By Osmotic Gradients And By Neurohypophysial
Hormones. J. Physiol. 287, pp. 119-132.

Heller, H. 1965. Osmoregulation in Amphibia. Archs Anat. microdc. 54, 471-490.

Heller H. 1974. History of neurohypophyseal research. In: Knobil E, Sawyer WH,


editors. Handbook of physiology, section 7: endocrinology volume IV. The
pituitary gland and its neuroendocrine control, part 1. Washington, DC:
American Physiological Society.

Hutchins, M., Duellman , W. E dan Schlager, N. 2003. Grizimek’s Animals Life


Encyclopedia Second Edition Volume 6 Amphibians. Buku. Gale Group.
Farmington Hill. 288p.

Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan. Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. PT. Rineka
Cipta, Jakarta..

Purnamasari, R., dan Santi, DR. 2017. Fisiologi Hewan. Program Studi Arsitektur
UIN Sunan Ampel, Surabaya.

Sari, I. N., Nurdjali, B., dan Erianto. 2014. Keanekaragaman Jenis Ampibi (Ordo
Anura) Dalam Kawasan Hutan Lindung Gunung Ambawang Kecamatan
Kubu Kabupaten Kubu Raya. Jurnal Hutan Lestari Vol. 2. No. 1:116-125.

Yanuarefa MF, Hariyanto G, Utami J. 2012. Panduan Lapang Herpetofauna (Amfibi


dan Reptil) Taman Nasional Alas Purwo. Balai Taman Nasional Alas Purwo,
Banyuwangi.

Yustina, dan Darhmadi. 2017. Buku Ajar Fisiologi Hewan. Program Studi Pendidikan
Biologi. Universitas Riau.

Anda mungkin juga menyukai