Anda di halaman 1dari 35

FISIOLOGI REPRODUKSI CUMI – CUMI (Loligo sp)

1. PENDAHULUAN

Perairan Indonesia memiliki potensi sumberdaya perairan laut yang cukup


besar, diantaranya adalah ikan pelagis, karang, udang, lobster, dan cumi- cumi.
Kontribusi hasil tangkapan cumi- cumi sangatlah sedikit dibandingkan dengan
produksi total perikanan Indonesia yaitu hanya 0,8% (Prima & Puspasari, 2011).
Produksi cumi-cumi pada tahun 2010 tercatat mencapai 34.925.401 kg,
kemudian menunjukkan peningkatan yang cukup tajam pada tahun 2011
sebesar 48.803.318 kg, dan tahun 2012 sebesar 58.145.503 kg. Produksi cumi-
cumi di Indonesia diperkirakan mencapai 58,25 ribu ton per tahun (KKP,
2013). Peningkatan ekspor ini ternyata masih jauh lebih kecil dari kebutuhan
pasar dunia sebagai contoh negara Amerika pada tahun 2010 membutuhkan 640
ribu ton, Jepang 580 ribu ton, sedangkan produksi dalam negeri hanya mampu
menghasilkan 58,25 ribu ton (KKP, 2013).

Tingginya permintaan pasar terhadap cumi-cumi sebagai komoditas ekspor


Indonesia menjadikan cumi-cumi sebagai salah satu hasil tangkapan utama selain
ikan, dan lobster, namun disisi lain, pengetahuan masyarakat mengenai kelompok
cumi- cumi masih sangat terbatas sehingga masyarakat perlu mengenal terkait
morfologi, jenis dan sebaran cumi-cumi khusus nya di Indonesia. Cumi-cumi
merupakan salah satu jenis Filum Molusca, Kelas Cephalopoda yang tidak
bertulang belakang. Molusca merupakan hewan bertubuh lunak, sebagian
anggotanya dilindungi dengan cangkang dari zat kapur dan sebagian lainnya tanpa
cangkang (Kusnadi et al., 2008). Chepalopoda berasal dari kata cephal: kepala,
poda: kaki, yang berarti memiliki kaki (tentakel) di bagian kepala. Beberapa jenis
cephalopoda memiliki nilai komersial dan merupakan salah satu sumberdaya
hayati penting dalam sektor perikanan laut misalnya cumi-cumi (squid), sotong
(cuttlefish), dan gurita (octopus) (Roper et al., 2006).

Perbedaan mendasar antara cumi-cumi (squid), sotong (cuttlefish) dan


gurita (octopus) yaitu cumi- cumi memiliki tubuh lebih panjang
dibandingkan dengan tubuh sotong maupun gurita, dengan sirip berbentuk belah
ketupat, sedangkan sotong (Sepia sp) memiliki tubuh berbentuk bulat agak
pendek dengan panjang 30-35 cm, sirip melingkari seluruh badan dan bagian
belakang tubuh bulat. Warna sotong bervariasi tetapi umumnya coklat atau
kuning kecokelatan dengan garis-garis di punggung (Hartati, 2004). Gurita
umumnya berbentuk agak bulat dan pendek, tidak memiliki sirip. Bagian utama
dari tubuh gurita menyerupai gelembung dengan lengan berjumlah delapan dan
dilengkapi dengan selaput renang (Budiyanto & Sugiarto, 1997).

1.1. Sejarah Reproduksi

Cumi-cumi (Loligo sp.) atau biasa dikenal sebagai squid termasuk dalam
kelompok hewan Cephalopoda (Boyle & Rodhouse, 2005) filum Moluska (Roper
et al., 1984). Cumi-cumi merupakan hewan air penghuni semi pelagis atau
demersal pada daerah pantai dan paparan benua sampai kedalaman 400 m (Boyle
& Rodhouse, 2005). Pada umumnya cumi-cumi memiliki rata-rata ukuran
panjang mantel (ML) antara 20-25 mm, walaupun ada yang berukuran lebih
kecil dari itu (<10 mm) dan tidak lebih dari satu meter (Hanlon & Messenger,
1988; Boyle & Rodhouse, 2005). Namun demikian terdapat cumi-cumi raksasa
jenis Architeuthis princeps dengan panjang mantel hingga lebih dari 15 m,
dengan bobot mencapai 50-60 kg (Robson, 1933; Stephen, 1961). Cumi-cumi
raksasa (giant squid) (Roper & Boss, 1982) sering ditemukan di perairan
Newfoundland dekat Grand Banks (Robson, 1933; Aldrich, 1968, 1991; Brix,
1983). Cumi-cumi hidup secara bergerombol maupun soliter (Goldman et al.,
1975), hal ini berkaitan dengan pola migrasinya dengan melakukan pergerakan
diurnal secara berkelompok, dekat dengan dasar perairan pada saat siang hari dan
akan menyebar pada malam hari (de Araujo & Gasalla, 2018). Bersifat
fototaksis positif (tertarik pada cahaya) (Mulyawan et al., 2015), karena itu
sering ditangkap dengan menggunakan alat bantu cahaya (Jackson et al., 1997).
Sifat fototaksis dan pergerakan diurnal menjadi tanda migrasinya. Namun
demikian, tidak seluruh spesies melakukan migrasi musiman (Arkhipkin et al.,
2015). Migrasi cumi-cumi terjadi karena respon terhadap perubahan suhu
(Prasetyo et al., 2014) terutama di daerah sub-tropis (Susiloningtyas et al., 2014).
Pada musim dingin, biasanya sering ditemukan di perairan lepas pantai yang
lebih dalam (Wahyudin, 2011; Roper et al., 2015). Umumnya cumi-cumi
melakukan migrasi ke arah pantai berdasarkan kelompok ukuran (Summers,
1969; Susiloningtyas et al., 2014), yakni individu berukuran besar bermigrasi
pada permulaan musim semi, lalu diikuti individu berukuran lebih kecil pada
musim panas (Triharyuni & Puspasari, 2016).

Pada musim gugur, cumi-cumi akan kembali ke arah perairan yang lebih
dalam (Susiloningtyas et al., 2014). Di Indonesia hingga Atlantik Tengah
(Summers, 1971), cumi-cumi termasuk salah satu jenis sumberdaya ikan
ekonomis penting (Sudjoko, 1988). Cumi-cumi umumnya dimanfaatkan sebagai
bahan makanan (Sudjoko, 1988; Boyle & Rodhouse, 2005). Selain karena
kandungan gizinya yakni selenium, riboflavin, dan vitamin B12 (Sudjoko,
1988), melanoprotein tinta pada cumi-cumi mengandung asam amino esensial
dominan, yakni lisin, leusin, arginin dan fenilalanin yang baik bagi tubuh
(Kurniawan et al., 2012). Badan cumi-cumi tidak bersisik sehingga praktis
seluruh tubuhnya dapat dimakan (Boyle & Rodhouse, 2005). Sebagian cumi-cumi
dimanfaatkan sebagai pakan tambahan dalam budidaya udang dan kepiting
(Santoso et al., 2007; Fitriani et al., 2017; Usman & Rochmady, 2017). Berbagai
manfaat ekonomis tersebut, berdampak masifnya penangkapan cumi-cumi.

Sejak tahun 70-an, penangkapan cumi-cumi telah dilakukan untuk


memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor (Sudjoko, 1988). Dengan
demikian penangkapan cumi-cumi mengalami peningkatan dari waktu ke
waktu. Di Kabupaten Kendal dilaporkan jumlah tangkapan mencapai 50.454 kg
tahun 2011 mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya (Theresia et al.,
2013). Lebih lanjut dijelaskan jumlah tangkapan per unit upaya (CPUE) pada
tahun 2007-2011 mencapai 166 kg per unit alat tangkap, dengan MSY sebesar
60.706 kg per tahun dengan upaya optimum sebesar 182 unit alat tangkap per
tahun. Di Belawan dilaporkan aktifitas penangkapan cumi-cumi terus
mengalami peningkatan. Sedikitnya terdapat 700 unit kapal pancing cumi
tradisional dengan hasil tangkapan mencapai 2.082 ton selama Februari-
Oktober 2016 (Ilhamdi & Yahya, 2017). Hal yang sama dilaporkan
kegiatan penangkapan cumi-cumi di Rembang. Pada tahun 2005-2009
produksi cumi-cumi mencapai 2.785 ton atau sebesar 27,36% dari total
produksi Jawa Tengah sebesar 10.179 ton pada tahun yang sama
(Triharyuni & Puspasari, 2016).

Perairan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Propinsi


Sulawesi Selatan merupakan salah satu wilayah perairan yang berbatasan
dengan Selat Makassar memiliki potensi sumberdaya perikanan cukup tinggi
(Susiana et al., 2013, 2014, 2017; Rochmady & Susiana, 2014). Salah satunya
adalah potensi perikanan pelagis yakni cumi-cumi (Aras & Hasmawati,
2016), sehingga wilayah perairan Pangkep dikenal sebagai salah satu wilayah
dengan penangkapan cumi-cumi yang relatif tinggi (Omar, 2002; Aras &
Hasmawati, 2016). Pada musim tertentu, hasil tangkapan cumi-cumi mencapai
776,4 ton selama tahun 2005-2010 (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2010). Jika
upaya penangkapan terus ditingkatkan tanpa mempertimbangkan stok,
dikhawatirkan dapat menggangu kelestarian sumberdaya cumi-cumi. Oleh
karena itu diperlukan suatu upaya pengelolaan sumberdaya agar kelestarian
sumberdaya cumi- cumi tetap terjaga. Dengan kata lain, panen biomassa
dilakukan secara optimal tanpa mengganggu prospek di masa mendatang.
Salah satunya melalui pendekatan potensi lestari dalam pengelolaan
sumberdaya melalui pemodelan (Kekenusa, 2006).

1.2. Reproduksi Cumi-cumi

Reproduksi cumi – cumi diawali dengan jantan merayu betina


menggunakan warna kulit mereka dan jika diterima oleh betina , kemudian
menggunakan lengan yang disebut hectocotylus untuk mentransfer paket sperma
disebut spermatophore, ke betina. Betina memproduksi sekitar 200 telur dan
menempelkan pada dasar laut dalam kelompok yang besar bergabung dengan telur
betina lainnya. Kadang-kadang "sneaker" jantan mengintai di sekitar sarang telur,
hectocotylus mereka melesat masuk ke dalam tubuh betina untuk menambahkan
sperma merek ke telur betina yang berada di dalam tubuh (MBL, 2000).
Gambar perbedaan anatomi cumi – cumi jantan dan betina

Cumi – cumi digolongkan sebagai hewan karnivora karena memakan


udang dan ikan – ikan pelagis yang ditangkap dengan tentakelnya (Barnes, 1987).
Komponen makanan ditemukan dalam lambung cumi – cumi adalah ikan – ikna
kecil. Selain ikan – ikan kecil, crustacean merupakan komponen makanan yang
mempunyai frekuensi kejadian yang cukup besar (Raharjo dan Bengen, 1984).
Menurut Soewito dan Syarif (1990), menyatakan cumi – cumi menghuni perairan
dengan suhu antara 8 sampai 32 derajat celcius dan salinitas 8,5 sampai 30 per
mil. Terjadinya kelimpahan cumi – cumi ditunjang oleh adanya zat hara yang
terbawa arus (run off) dari daratan. Zat hara tersebut dimanfaatkan oleh
fitoplankton yang selanjutnya dimanfaatkan oleh zooplankton, juvenile ikan
ataupun ikan – ikan kecil merupakan makanan cumi – cumi. Penyebaran cumi-
cumi hampir di seluruh laut di dunia ini , mulai dari pantai sampai laut lepas dan
mulai permukaan sampai kedalaman beberapa ribu meter (Hamabe, M et al.
1982).

1.3. Fertilisasi Cumi-cumi

Cumi-cumi berkembang biak melalui fertilisasi (seksual). Cumi-cumi


betina mengeluarkan telur yg mirip benang ke dalam air. Cumi-cumi jantan juga
mengeluarkan sperma. Salah satu tentakel cumi jantan yaitu hectocotylus
termodifikasi untuk memindahkan spermatofora ke dinding rongga mantel betina
dekat oviduct. Sehingga terjadi fertilisasi eksternal (fertilisasi diluar tubuh).
cumi-cumi melakukan reproduksi dengan cara seksual, cara berkembang biak
cumi-cumi yang diawali dengan jantan merayu betina dengan menggunakan
warna kulit mereka dan bila diterima oleh betina kemudian menggunakan lengan
yang disebut dengan hectocotylus untuk mentransfer paket sperma disebut
spermatophore ke betinanya. Betina memproduksi sekitar 200 telur dan
menempelkan pada dasar laut dalam kelompok yang besar bergabung dengan telur
betina lainnya. Pada sistem reproduksi seksual pada cumi-cumi terdiri atas sistem
reproduksi, reproduksi jantan terdiri atas testis, pori genital dan penis. Sedangkan
betina meliputi ovum, saluran ovum, kelenjar kuning telur. Cumi-cumi memiliki
sistem reproduki yang terpisah yang dimana gonadnya terletak pada bagian
posterior tubuhnya.

1.4. Embriologi Alat Kelamin

Menurut para ilmuwan itu, kesempatan bertemu dengan pasangan di kegelapan


dasar laut sangat jarang sehingga cumi-cumi misterius itu mungkin tidak dapat
membedakan jenis kelamin kawannya. Penemuan ini diterbitkan dalam jurnal
the Royal Society Biology Letters. Para peneliti itu mengamati video yang direkam
selama 20 tahun oleh kendaraan selam yang dikendalikan dari jauh (ROV).
Sebagian besar rekaman dilakukan di Monterey Submarine Canyon, di lepas
pantai California. Spesies yang diamati disebut Octopteuthis deletron, suatu
makhluk yang memiliki tangan-tangan atau tentakel sepanjang 12 cm. Hewan-
hewan itu direkam di kedalaman antara 400 meter dan 800 di bawah permukaan
laut. Hingga kini, kehidupan seks makhluk ini tak banyak diketahui selain
kenyataan bahwa yang jantan menggunakan alat kelamin yang panjang untuk
memasukkan spermanya ke cumi-cumi betina, yang kemudian menyerapnya ke
dalam tissuenya. Cumi-cumi merupakan binatang lunak dengan tubuh berbentuk
silindris. Sirip-siripnya berbentuk trianguler atau radar yang menjadi satu pada
ujungnya. Pada kepalanya di sekitar luabang mulut terdapat 10 tentakel yang
dilengkapi dengan alat penghisap (sucker). Tubuh terdiri dari isi rongga tubuh
(visceral mass) dan mantel. Lapisan isi rongga tubuh berbentuk silinder dengan
dinding sebelah dalam tipis dan halus. Mantel yang dimilikinya berukuran tebal,
berotot, dan menutupi isi rongga tubuh pada seluruh isi serta mempunyai tepi
yang disebut leher (Pelu 1989).

Menurut Voss (1963) dan Roper, daerah penyebaran cumi-cumi adalah di


perairan Pasifik Barat, Australia Utara, Pulau Filipina, bagian utara Laut Cina
Selatan sampai Jepang. Penyebaran cumi-cumi (Loligo sp.) di seluruh perairan
Indonesia hampir merata, yaitu dari Barat Sumatera sampai ke selatan Irian Jaya,
dari Selat Malaka ke timur sampai ke perairan Timur Sumatera, Laut Jawa, Laut
Banda, dan perairan Maluku/ Arafura.
Cumi-cumi (Loligo sp.) merupakan penghuni demersal atau semi pelagik
pada daerah pantai dan paparan benua sampai kedalaman 400 m. Beberapa spesies
hidup sampai di perairan payau. Cumi-cumi melakukan pergerakan diurnal, yaitu
pada siang hari akan berkelompok dekat dasar perairan dan akan menyebar pada
kolom perairan pada malam hari. Cumi-cumi tertarik pada cahaya (fototaksis
positif), oleh karena itu sering ditangkap dengan menggunakan bantuan cahaya
(Roper et.al. 1984).
Karakteristik yang dimiliki cumi-cumi adalah adanya kantong tinta yang
terletak di atas usus besar. Bila kantung ini dibuka, maka akan mengeluarkan tinta
berwarna coklat atau hitam yang diakibatkan oleh pigmen melanin. Cumi-cumi
akan mengeluarkan tintanya melalui siphon untuk menghindari predator
(Buchsbaum et.al. 1987).
Cumi-cumi (Loligo sp.) mempunyai sistem reproduksi yang terpisah
(dioecious), dimana gonadnya terletak pada bagian posterior tubuhnya.
Spermatophora (sel kelamin jantan) yang sudah matang gonad akan disimpan
pada nedhem sac (Pelu 1988).

STRUKTUR ANATOMI CUMI CUMI

·         Faring : bagian depan kerongkongan berfungsi untuk mengisap makanan dari


mulut dan membasahinya dengan lendir.
·         Mulut : tempat masuknya makanan.
·         Mata : sebaga alat penglihatan.
·         Tentakel : berfungsi sebagai alat gerak ,merasa, memeriksa dan alat penagkap
mangsa.Anus : mengeluarkan sisa metabolisme.
·         Hati : mengambil sari-sari makanan dalam darah dan sebagai tempat penghasil
empedu.
·         Esofagus : saluran di belakang rongga mulut berfungsi menghubungkan rongga
mulut dan lambung.
·         Insang : sebagai organ pernapasan.
·         Lambung : sebagai bagian dari organ pencernaan.
·         Cangkang dalam : sebagai pelindung organ tubuh bagian dalam.
·         Ovarium : penghasil sel telur.
·         Rektum : sebagai bagian usus belakang yang membuka ke anus.
·         Kantung tinta : kantung selaput yang terdapat pada cumi,yang mengandung
tinta. Tinta akan di semprotkan bila cumi merasa terganggu akan kedatangan /
bertemu pemangsa/predator.
Reproduksi cumi – cumi diawali dengan jantan merayu betina menggunakan
warna kulit mereka dan jika diterima oleh betina , kemudian menggunakan lengan
yang disebut hectocotylus untuk mentransfer paket sperma disebut
spermatophore, ke betina. Betina memproduksi sekitar 200 telur dan
menempelkan pada dasar laut dalam kelompok yang besar bergabung dengan telur
betina lainnya. Kadang-kadang "sneaker" jantan mengintai di sekitar sarang telur,
hectocotylus mereka melesat masuk ke dalam tubuh betina untuk menambahkan
sperma merek ke telur betina yang berada di dalam tubuh (MBL, 2000).

1.5. Perkembangan Testes

Tingkat kematangan gonad Klasifikasi tingkat kematangan gonad cumi –


cumi dikemukakan oleh Lipinski (1979) dalam Juanico (1983) adalah sebagai
berikut : TKG Betina Jantan I (Muda) Organ-organ seksual sangat sulit ditemukan
tanpa alat bantu (mikroskop atau kaca pembesar). Oviduk dan NG (Nidamental
Glands) terlihat seperti garis yang dapat ditembus cahaya. Indung telur tembus
cahaya, berselaput. Organ-organ seksual sangat sulit ditemukan tanpa alat bantu
(mikroskop atau kaca pembesar). Spermatofora terlihat kompleks (jika ada)
seperti sebuah noda yang jernih atau tembus pandang. Testis tembus pandang dan
seperti selaput. II (Belum matang) Organ-organ seksual berwarna jernih atau
keputih-putihan. Oviduk dan NG tampak jelas tembus cahaya atau seperti garis
keputih putihan. Oviduk tampak berkelok-kelok. NG kecil, semua isi perut di
belakangnya dapat diamati dengan mudah. Ovari tampak jelas tanpa alat bantu.
Organ-organ seksual jernih atau keputihputihan; bagian terpisah dari
Spermatofora kompleks tampak dengan nyata; testis kecil; strukturnya tidak
tampak. III (Persiapan) Organ seksual tidak tembus cahaya. Lekukan dari oviduk
panjang. NG membesar, menutupi beberapa organ bagian dalam seperti ginjal dan
bagian distal serta jaringan luar oviduk menggemuk dan mengembang. Bentuk
luar ovari tampak dengan jelas Organ-organ seksual tidak tembus pandang. Vas
deferens keputih-putihan atau putih; Organ Spermatoforik dengan lapisan putih;
struktur testis tidak jelas. IV (Sedang matang) Banyak telur dalam oviduk.
Kelokan oviduk mulai mengeras. Telur tidak jernih (95% kasar) dan padat
sekurang-kurangnya pada bagian oviduk proksimal.

Ada kemungkinan perbedaan stadia kematangan pada telur di dalam


bagian yang jauh dari oviduk. Duktus spermatophora putih; beliku-liku;
membesar; Kantong spermatofora memanjang dengan partikel keputihan di
dalamnya, tetapi tanpa spermatofora; testis sempit; tidak memiliki cairan;
permukaan testis tertutup oleh jaringan V (Matang) Seperti di atas, tetapi telur
telurnya tembus cahaya/jernih (lebih dari 60%) paling tidak pada bagian
proksimal dari oviduk. Apabila tergores NG mengeluarkan zat yang kental
berwarna kekuning-kuningan. Duktus spermatofora putih; berliku-liku;
membesar; Kantong spermatofora memanjang dengan partikel di dalamnya
keputihan, spermatofora terdapat dalam kantong spermatofora; testis sempit;
kering; permukaan testis tertutup jaringan. Indeks kematangan gonad Menurut
Sivashanthini et al. (2010), indeks kematangan gonad yaitu suatu nilai dalam
persen sebagai hasil dari perbandingan berat gonad dengan berat tubuh cumi –
cumi dikalikan dengan 100%. Untuk menghitung IKG diperlukan data berat
tubuh, berat testis untuk jantan dan berat ovarium untuk betina. Rumus
perhitungan IKG adalah sebagai berikut : IKG = BG x 100% BT Keterangan :
IKG = Indeks Kematangan Gonad (%) BG = Berat Gonad (g), BT = Berat Tubuh
(g).

1.6. Perkembangan Ovarium

Sepioteuthis lessoniana Lesson, 1830. Kriteria penilaian perkembangan testis


dan ovarium cumi-cumi (modifikasi Andy Omar 2002b)

TKG Jantan Betina

I Organ-organ seksual sulit ditemukan


Immature dengan mata telanjang. Testis kecil,
berwarna putih. Kantong Needham sangat
kecil, transparan, tidak ada sperma.

Organ-organ seksual tembus cahaya atau


II berwarna keputih-putihan. Bagian-bagian
Maturing yang terpisah dari spermatophoric
complex terlihat jelas. Testis mulai
IV Fully mature membesar. Penis dan vesicula seminalis
telah berkembang dan nampak nyata.
Kantong Needham berwarna putih dan
terdapat sperma.

Organ-organ seksual tidak tembus

cahaya, vas deferens keputih-putihan atau


berwarna putih, spermatophora tampak
jelas di dalamnya. Testis pada

kebanyakan kasus berwarna putih susu.


III Di dalam kantong Needham tampak jelas
Mature
adanya spermatophora
Testis Organ-organ nidamental juga membesar
sangat seksual tembus dan berwarna jingga atau
besar, cahaya atau kemerah- merahan. Ovarium
berwarna berwarna keputih- membesr, mengisi hampir
putih putihan. Ovarium seluruh bagian dorsal rongga
susu. tembus cahaya, mantel. Telur-telur tidak
Pada memiliki transparan dengan rata-rata
daerah membran. Kelenjar diameter 4.5 –
sekitar nidamental kecil 5.0 mm. Kemungkinan
penis dan nampak jelas. terdapat telur-telur dari
terdapat Organ-organ berbagai tahap di
spermato bagian distal saluran telu
seksual tidak
phora. tembus cahaya atau
Organ
spermato berwarna keputih-
phora putihan. Kelenjar
(spermat nidamental
ophoric membesar, sangat
organ) jelas sekali, tidak
dan
tembus cahaya
kantong
spermato atau berwarna
phora keputih-putihan,
(spermat menutupi beberapa
ophoric organ dalam.
sac) atau Ovarium terlihat
kantong
jelas, berwarna
Needha
m sangat putih, tidak tembus
besar, di cahaya, secara
dalamny umum dapat
a tampak diamati dengan
jelas mata telanjang.
spermato
Telur kecil dengan
phora
rata-rata diameter
0.5 – 1.0 mm.
Organ-organ
seksual tidak
tembus cahaya.
Kelenjar
nidamental
semakin
membesar,
berwarna putih
susu. Kelejar
asesori nidamental
sudah nampak,
berwarna jingga.
Ovarium terlihat
dengan jelas,
dibungkus oleh
lapisan gelatin.
Telur besar
dengan ukuran
rata-rata diameter
2.5 – 3.0 mm.
Kelenjar
nidamental sangat
besar, berwarna
putih susu.
Kelenjar asesori
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Reproduksi

Reproduksi cumi – cumi diawali dengan jantan merayu betina


menggunakan warna kulit mereka dan jika diterima oleh betina , kemudian
menggunakan lengan yang disebut hectocotylus untuk mentransfer paket sperma
disebut spermatophore, ke betina. Betina memproduksi sekitar 200 telur dan
menempelkan pada dasar laut dalam kelompok yang besar bergabung dengan telur
betina lainnya. Kadang-kadang "sneaker" jantan mengintai di sekitar sarang telur,
hectocotylus mereka melesat masuk ke dalam tubuh betina untuk menambahkan
sperma merek ke telur betina yang berada di dalam tubuh (MBL, 2000).

2.2. Definisi Hormon

Sistem hormon pada Mollusca merupakan sistem endokrin yang


merupakan mekanisme komunikasi antar satu sel dengan sel yang lainnya, yang
mana nantinya sistem hormon tersebut bernfungsi untuk mengontrol dan juga
untuk mengkordimnasikan proses biokikima, proses fisiologis, yang melibatkan
sinyal yang disekresikan, hormon yang mempengaruhi sel target secara langsung,
karena pada intinya semua sel mengepresikan semua reseptor untuk hormon yang
diberikan  yang akan bereaksi ketika hormon tersebut bereaksi. Adapun yang
mengatur kesemua sistem hormon tersebut adalah adanya kelenjar endokrin,
dimana kelenjar endokrin ini mengatur sejumlah besar mekanisme homeostatis. 
Selain itu, termasuk juga di dalamnya aktivitas neuron, otot, dan juga sel –   sel
pigmen selama perilaku spesifik ( asupan makanan, bekerja, reprduksi), dan juga
berbagai fungsi yang lainnya pada umumnya. Namun selain kelenjar dari
endokrin tersebut, banyak neuron dari sistem syaraf pusat dan perifer yang
memproduksi hormon yang dilepasan secara lokal dalam rnag ekstraseluler, serta
bisa juga kedalam aliran darah.

2.3. Alur Hormonal Reproduksi

Cumi-cumi (Loligo sp.) memiliki tentakel, lengan alat penghisap siphon,


insang, rectum, penis, vena, pembuluh nadi, ginjal dan lain-lain. Masing-masing
organ ini memiliki fungsi. Tubuh cumi-cumi dapat dibedakan atas kepala , leher,
dan badan. Kepala cumi-cumi besar, matanya berkembang dengan baik karena
dapat berfungsi untuk melihat. Mulutnya terdapat di tengah-tengah, dikelilingi 2
oleh 10 tentakel, 2 tentakel panjang dan 8 tentakel lebih pendek. Tentakel panjang
berfungsi untuk menangkap mangsa dan berenang. Pada setiap tentakel terdapat
alat penghisap atau sucker. Di sisi kiri dan kanan tubuhnya terdapat sirip yang
penting untuk keseimbangan tubuh. Pada dinding permukaan dorsal terdapat pen
yang penting untuk menyangga tubuh. Seluruh tubuh cumi-cumi terbungkus oleh
mantel. Di bagian punggung, mantel melekat pada badan, sedangkan di daerah
perut tidak melekat, sehingga terbentuk rongga disebut rongga mentel (Surahman,
2015). Cumi-cumi dapat bergerak dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan
tentakel dan dengan menyemprotkan air dari rongga mantel. Bila rongga mantel
penuh air, dan air menyemprot melalui sifon menyebabkan tubuh cumi-cumi
terdorong mundur. Semprotan air menimbulkan dorongan yang sangat kuat
terhadap tubuh cumi-cumi, sehingga timbul gerakan seperti panah, itulah
sebabnya cumi-cumi sering disebut panah laut. Alat pencernaan cumi-cumi terdiri
atas mulut, pharynx, kerongkongan, lambung, usus buntu, usus dan anus. Sistem
pencernaan cumi-cumi telah dilengkapi kelenjar pencernaan yang meliputi
kelenjar ludah, hati, dan pankreas. Makanan cumi-cumi adalah udang-udangan,
mollusca lain, dan ikan. Anus cumi-cumi bermuara pada rongga mantel.
Cumicumi hanya dapat berkembang biak secara kawin. Alat kelaminnya terpisah,
masing-masing alat kelamin terdapat di dekat ujung rongga mantel dekat saluran
yang terbuka kearah corong sifon. Cumi-cumi betina menghasilkan telur yang
akan dibuahi di dalam rongga mantel. Kemudian, telur yang sudah dibuahi 3
dibungkus dengan kapsul dari bahan gelatin. Telur yang menetas menghasilkan
cumi-cumi muda berukuran kecil (Surahman, 2015). Tinta cumi-cumi mempunyai
nilai gizi yang cukup baik terutama kandungan protein dan asam amino. Mukholik
(1995) menyatakan bahwa tinta cumi-cumi mengandung protein sebesar 10,88%
yang terdiri atas asam amino esensial dan non esensial. Menurut Okozumi dan
Fujii (2000), melanoprotein tinta cumi-cumi mengandung asam amino esensial
yang dominan berupa lisin, leusin, arginin dan fenilalanin. Sementara kadar asam
amino non esensial yang dominan adalah asam glutamat dan asam aspartat. Untuk
memperoleh asam amino tinta cumi-cumi dapat dilakukan dengan cara
dihidrolisis. Tinta cumi-cumi mengeluarkan bau amis yang sangat menyengat
sehingga harus ditambahkan daun salam sebagai penetralisir bau amis dari tinta
cumi-cumi.

2.4. Hormon - Hormon Reproduksi

Sistem hormon pada Mollusca merupakan sistem endokrin yang


merupakan mekanisme komunikasi antar satu sel dengan sel yang lainnya, yang
mana nantinya sistem hormon tersebut bernfungsi untuk mengontrol dan juga
untuk mengkordimnasikan proses biokikima, proses fisiologis, yang melibatkan
sinyal yang disekresikan, hormon yang mempengaruhi sel target secara langsung,
karena pada intinya semua sel mengepresikan semua reseptor untuk hormon yang
diberikan  yang akan bereaksi ketika hormon tersebut bereaksi.

Adapun yang mengatur kesemua sistem hormon tersebut adalah adanya kelenjar
endokrin, dimana kelenjar endokrin ini mengatur sejumlah besar mekanisme
homeostatis.  Selain itu sobat, termasuk juga di dalamnya aktivitas neuron, otot,
dan juga sel –   sel pigmen selama perilaku spesifik ( asupan makanan, bekerja,
reprduksi), dan juga berbagai fungsi yang lainnya pada umumnya. Namun selain
kelenjar dari endokrin tersebut, banyak neuron dari sistem syaraf pusat dan perifer
yang memproduksi hormon yang dilepasan secara lokal dalam rnag ekstraseluler,
serta bisa juga kedalam aliran darah.

Selain membahs mengenai sistem hormon pada Mollusca tersebut, kita juga akan
membahas mengenai sistem organ pada Mollusca tersebut.

 Sistem peredaran darah. Adapun sistem peredaran darah Mollusca ini


memiliki sistem peredaran darah terbuka, yakni darah mengair dari rongga
terbuka dari tubuh yang tidak ada arteri atau venanya.
 Sistem pencernaaan. Sistem pencernaan Mollusca terdiri dari mulut,
esophagus, lambung, usus dan juga anus.
 Sistem Saraf. Sitem saraf pada Mollusca ini terdiri dari sistem saraf yang
mengelilingi esophagus dan serabut saraf yang lainnya yang menyebar dari cincin
tersebut untuk melengkapi berbagai saraf dalam organ Mollusca tersebut.
 Sistem eksresi. Sistem sekresi Mollusca ini berupa nefridia yang berperan
mirip dengan gunjal
 Sistem respurasi. Berbeda –  beda sesuai dengan habitat hidupnya.

2.4.1. Releasing Hormone

Menurut Voss (1963), daerah penyebaran cumi-cumi adalah di perairan


Pasifik Barat, Australia Utara, Pulau Filipina, bagian utara Laut Cina Selatan
sampai Jepang. Penyebaran cumi-cumi (Loligo sp.) di seluruh perairan Indonesia
hampir merata, yaitu dari barat Sumatera sampai ke selatan Irian Jaya, dari Selat
Malaka ke timur sampai ke perairan timur Sumatera, Laut Jawa, Laut Banda, dan
perairan Maluku/ Arafura. Cumi-cumi (Loligo sp.) merupakan
penghuni demersal atau semi pelagik pada daerah pantai dan paparan benua
sampai kedalaman 400 m. Beberapa spesies hidup sampai di perairan payau.
Cumi-cumi melakukan pergerakan diurnal, yaitu pada siang hari akan
berkelompok dekat dasar perairan dan akan menyebar pada kolom perairan pada
malam hari. Cumi-cumi tertarik pada cahaya (fototaksis positif), oleh karena itu
sering ditangkap dengan menggunakan bantuan cahaya (Roper et.al., 1984).
Karakteristik yang dimiliki cumi-cumi adalah adanya kantong tinta yang terletak
di atas usus besar. Bila kantung ini dibuka, maka akan mengeluarkan tinta
berwarna coklat atau hitam yang diakibatkan oleh pigmen melanin. Cumi-cumi
akan mengeluarkan tintanya melalui siphon untuk menghindari predator
(Buchsbaum et.al., 1987).

2.4.2. Inhibiting Hormone

Ekosistem laut memiliki sumber kekayaan senyawa bioaktif yang belum


secara keseluruhan diketahui sehingga mendorong perkembangan dan penelitian
pada beragam sifat dan kegunaan. Tinta cumi (Loligo sp.) memiliki komponen
utama yaitu percampuran melanin (protein, lipid, glycosaminoglycans, dan
berbagai mineral) yang berjumlah banyak dengan protein-polisakarida kompleks.
Polisakarida tersulfatasi dengan komponen garam tributylammonium (TBA) yang
terkandung dalam tinta cumi bebas melanin merupakan senyawa yang digunakan
sebagai antiangiogenesis. Tumor tidak dapat melebar walaupun hanya 1-2 mm,
kecuali terjadi pembentukan pembuluh darah. Angiogenesis merupakan hal yang
sangat berkaitan secara biologis dengan malignancy atau keganasan sebuah tumor.
Tujuan penelitian ini adalah mempelajari potensi crude extract dari tinta cumi
(Loligo sp.) sebagai bahan antiangiogenik dan mempelajari konsentrasi optimum
senyawa bioaktif crude extract tinta cumi (Loligo sp.).

2.4.3. Gonadotropin Hormone

Gonadotropin merupakan hormon yang diproduksi oleh aktivitas sel pada ovarium


dan testis. Gonadotropin sangat berperan dalam kesuburan. Hal yang terpenting
adalah Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH), yang
keduanya disekresikan oleh kelenjar pituitari.

a. FSH (Follicle Stimulating Hormone )

adalah hormon yang dikeluarkan oleh gonadotrop. FSH berfungsi untuk


memacu pertumbuhan dan kematangan folikel atau sel telur dalam ovarium dan
juga berpengaruh pada peningkatan hormon estrogen pada wanita. Pada pria, FSH
mengatur dan memelihara proses pembentukan sperma. Jumlah FSH sedikit
ketika kecil dan tinggi setelah menopause.

b. LH ( Luteinizing Hormon)

Hormon pelutein (bahasa Inggris: luteinizing hormone, LH, lutropin)[1])


adalah hormon dengan berkas genetik CGALHB,
yang dikeluarkan oleh gonadotropin. Pada wanita, hormon ini berfungsi untuk
merangsang pengeluaran sel telur dari ovarium dan mempertahankan folikel sisa
sel telur tersebut serta membuatnya berwarna kekuningan (lutein. Pada laki-laki,
hormon ini disebut Interstitial Cell Stimulating Hormone (ICSH),[2] yang
berfungsi untuk merangsang sel-sel interstisial di dalam testis untuk berkembang
dan mensekresikan hormon testosteron.

c. ICSH ( Interstitial Cell Stimulating Hormone)

Pada wanita, hormon ini berfungsi untuk merangsang pengeluaran sel telur
dari ovarium dan mempertahankan folikel sisa sel telur tersebut serta membuatnya
berwarna kekuningan (lutein). Pada laki-laki, hormon ini berfungsi untuk
merangsang sel-sel interstisial di dalam testis untuk berkembang dan
mensekresikan hormon testosteron
2.4.4. Steroid Hormone

Hormon steroid adalah steroid yang bertindak sebagai hormon. Hormon


steroid dapat dikelompokkan menurut reseptor yang
diikat: glukokortikoid, mineralokortikoid, androgen, estrogen, dan progestagen.
Hormon steroid pada umumnya disintesa dari kolesterol di
dalam gonad dan kelenjar adrenal. Bentuk dari hormon ini, biasanya adalah lipid,
bukan peptida, dan mempunyai kurir khusus berbentuk globulin. Hormon steroid
biasanya bersifat katabolisme.

a. Definisi

Hormon steroid adalah steroid yang bertindak sebagai hormon. Hormon


steroid dapat dikelompokkan menurut reseptor yang diikat: glukokortikoid,
mineralokortikoid, androgen, estrogen, dan progestagen. Hormon steroid pada
umumnya disintesa dari kolesterol di dalam gonad dan kelenjar adrenal

b. Macam –Macam Steroid Hormone

Hormon steroid dapat dikelompokkan menurut reseptor yang diikat:


glukokortikoid, mineralokortikoid, androgen, estrogen, dan progestagen.

2.5. Determinasi Seks

Determinasi seks adalah penentuan jenis kelamin, yang diwariskan secara


bebas olrh gamet parentalnya kepada keturunan dalam peristiwa meiosis

2.5.1. Seks Primer

Ciri seksual primer adalah alat/organ yang berhubungan dengan proses


reproduksi secara langsung. Ciri tersebut meliputi testes dan salurannya pada ikan
jantan serta ovarium dan salurannya pada ikan betina.Ciri seksual primer sering
memerlukan pembedahan untuk melihat perbedaannya.Hal ini membuat ciri
seksual sekunder lebih berguna dalam membedakan jantan dan betina meskipun
kadangkala juga tidak memberikan hasil yang nyata.

2.5.2. Seks Skunder

Ciri seksual sekunder terdiri atas dua jenis yaitu yang tidak mempunyai
hubungan dengan kegiatan reproduksi secara keseluruhan, dan merupakan alat
tambahan pada pemijahan. Bentuk tubuh ikan merupakan ciri seksual sekunder
yang penting. Biasanya ikan betina lebih buncit dibandingkan ikan jantan,
terutama ketika ikan tersebut telah matang atau mendekati saat pemijahan
(spawning). Hal tersebut disebabkan karena produk seksual yang dikandungnya
relatif besar.

2.5.3. Ciri - Ciri Matang Gonad


Selama proses reproduksi sebagian besar hasil metabolisme tertuju pada
perkembangan gonad. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan dalam gonad itu
sendiri. Umumnya pertambahan gonad pada ikan betina berkisar antara 10 sampai
25 % dari bobot tubuh Tang dan Affandi 2000 dalam Bijaksana (2012) Faktor
yang mempengaruhi kematangan gonad.

Menurut Zairin (2003) di  alam ikan akan mengalami pematangan gonad
setelah emndapat sinyal lingkungan yang tepat untuk pematangan Gonad. Sinyal-
sinyal ini biasanya datangnya musiman. Didalam wadah budidaya sinyal-sinyal
tersebut bisa hilang. Selain itu budidaya adalah aktivitas yang ingin terlepas dari
musim. Bagi ikan-ikan yang bersifat musiman, pematangan goad di luar musim
merupakan suatu keharusan. Kinerja reproduksi merupakan suatu proses yang
berkelanjutan pada ikan akibat adanya rangsangan dari luar ataupun dari dalam
tubuh ikan itu sendiri. Rangsangan tersebut dapat berupa rangsangan hormonal
ataupun rangsangan lingkungan. Rangsangan hormonal yang terjadi pada induk
ikan betina berbeda dengan induk jantan. Pada induk betina, rangsangan hormonal
ditujukan untuk pembentukan telur dan pematangannya, sedangkan pada ikan
jantan rangsangan tersebut untuk pembentukan sperma. ( Permadi, 2009 hal 17).

a. Jantan

Ciri kematangan gonad pada ikan

Pada ikan jantan. Menurut Setiawan (2009) ciri-ciri induk jantan lele dumbo
jantan yang telah siap untuk dipijahkan sebagai berikut :

- Alat kelamin tampak jelas memerah


- Warna tubuh agak kemerah- merahan
- Tubuh ramping dan gerakannya lincah

b. Betina

Pada ikan betina

- Bagian perut tampak membesar ke arah anus dan jika diraba terasa
lembek.
- Lubang kelamin berwarna kemerahan dan tampak agak membesar.
- Jika bagian perut secara perlahan diurut ke arah anus, akan keluar
beberapa butir
- telur berwarna hijau tua dan ukurannya relatif besar.
- Gerakannya lambat.
2.6. Klasifikasi dan Morfologi cumi-cumi

Klasifikasi Cumi-cumi

Menurut Hegner dan engemann (1986) dalam (Pricillia, 2011), cumi-cumi


dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom  : Animalia

Filum        : Mollusca

Kelas                    : Cephalopoda

Ordo                     : Decapoda

Famili       : Loliginidae

Genus       : Loligo

Spesies     : Loligo sp.

Cumi-cumi merupakan salah satu jenis chepalopoda bertubuh lunak,


dan memiliki cangkang yang terbuat dari sel kapur. Secara umum, biologi cumi-
cumi Famili Lolinginidae tidak jauh berbeda dengan jenis chepalopoda lainya.
Cumi- cumi memiliki kepala dan kaki yang dapat dibedakan dengan jelas.
Organ mata terdapat di kepala dengan ukuran yang besar, tentakelnya dilengkapi
dengan alat penghisap yang berfungsi sebagai kemudi ketika berenang. Selain itu
juga tentakel digunakan untuk mempertahankan diri dan menangkap mangsa
(Kusnadi et al., 2008). Sistem pergerakannya menggunakan sifon yang
mengatur sirkulasi air untuk dilewatkan ke insang. Sifon menyeprotkan air keluar
dengan cepat sehingga memberikan daya dorong, cumi-cumi bergerak sesuai
arah yang diinginkan dengan cara mengatur posisi sifon. Sistem ini disebut
dengan sistem jet prepultion (Nontji, 2002). Cumi-cumi bersifat dioecious dan
melakukan reproduksi dengan kopulasi. Pada individu jantan terdapat modifikasi
lengan yang disebut hectocotylus, yang berfungsi untuk menyuntikkan sperma ke
dalam mantel individu betina (Rocha et al., 2001). Cumi-cumi memiliki
ciri- ciri mantel memanjang, ramping, berujung tumpul, sirip berbentuk belah
ketupat, panjang sirip dan panjang mantel bervariasi. Panjang mantel
maksimum 400 mm, namun secara umum panjang mantel cumi-cumi yaitu
200 mm (Chodrijah & Budiarti, 2011). Cumi-cumi menangkap mangsanya
menggunakan tentakel, selain itu hewan ini dapat mengelabui musuhnya dengan
menyemprotkan cairan tinta berwarna gelap atau merubah warna kulitnya (Roper
et al., 2006). Cumi-cumi merupakan penghuni demersal atau semipelagik pada
daerah pantai dan paparan benua sampai kedalaman 700 m. Pergerakan cumi-
cumi dilakukan secara diurnal, yaitu pada siang hari akan berkelompok dekat
dasar perairan dan akan menyebar pada kolom perairan ketika malam hari. Cumi-
cumi tertarik pada cahaya (fototaksis positif), oleh karena itu sering ditangkap
dengan menggunakan bantuan cahaya (Jereb & Roper, 2010).

2.7. Histologi Gonad

Mengetahui daur hidup ikan sangat diperlukan dalam mempelajari


dinamika populasi. Sebagai pegangan yang dimaksud ikan jantan adalah ikan
yang mempunyai organ penghasil sperma (testis), sedangkan betina adalah ikan
yang mempunyai organ penghasil telur (ovarium), kedua organ tersebut
dinamakan gonad. Untuk menentukan tingkat kematangan gonad ikan secara pasti
perlu dibuat preparat histologinya melalui proses sebagai berikut: fiksasi,
dehidrasi, clearing (penjernihan), embedding (penanaman sampel), blocking
(pengeblokan), sectioning (pengirisan), peletakan pada gelas obyek, dan staining
(pewarnaan) juga penutupan (covering).

Hasil dari histologi yang dilihat di bawah mikroskop pada


tingkatan awal (I, II, III) oosit berwarna kebiru-biruan, pada tingkat IV, V, dan VI
oosit berwarna kemerah-merahan. Pada gonad jantan hasil histologi berwarna
kebiru-biruan berbentuk buti ran kecil menyebar merupakan spermatosi t. Ada
juga gonad hemaprodit yaitu terdapat spermatosit dan oosit.

2.7.1. Pengambilan Gonad

Proses pengambilan data biologis ikan layang merupakan tahap pertama dalam
kegiatan histologi. Pengambilan data biologis dilakukan pada hari sabtu, 28
Oktober 2019 di Loka Riset Perikanan Tuna (LRPT) Denpasar, Bali. Alur
Pengambilan data biologis ikan layang Sebelum pengambilan data biologis ikan
dilakukan, hal pertama yang harus dilakukanyaitu pengambilan gambar ikan.
Pengambilan gambar tersebut dilakukan pada latar belakang berwarna putih dan
diberi penggaris. Setelah pengambilan foto selesai, maka selanjutnya ikan yang
akan dibedah dan diberi nomor urut agar data yang dihasilkan tidak tertukar satu
sama lain. kedua yaitu pengukuran panjang cagak. Pengukuran panjang cagak
dilakukan dengan cara meletakkan ikan diatas papan ukur yaitu Pengambilan Data
Panjang CagakIkan Pengambilan Data Panjang Total Ikan Pengambilan Data
Berat Ikan Pengambilan Data Berat Gonad Ikan Pengambilan Gambar Ikan
Layang 32 mulai dari ujung mulut hingga pangkal ekor kemudian dicatat hasilnya.
Ketiga yaitu pengukuran panjang total dilakukan dengan cara yang sama seperti
mengukur panjang cagak yaitu meletakkan ikan diatas papan ukur kemudian
mulai diukur dari ujung mulut hingga ujung ekor ikan. Setelah didapatkan ukuran
panjang ikan, kemudian tahap keempat yaitu ikan ditimbang menggunakan
timbangan untuk mendapatkan berat ikan. Tahap kelima yaitu pembedahan perut
ikan untuk pengambilan gonad. Perut ikan dibedah menggunakan Dissecting set
mulai dari anus menuju ke dada secara horizontal, lalu gonad diambil secara hati-
hati agar tidak mudah rusak. Gonad yang telah diambil tersebut lalu ditimbang
beratnya menggunakan timbangan digital dan dicatat hasilnya. Gonad yang telah
diambil dimasukkan kedalam botol sampel dan diberi larutan formalin 10% agar
gonad tetap awet dan tidak mudah rusak sehingga gonad dapat digunakan dalam
proses pegamatan.

2.7.2. Fixation

adalah perubahan pada suatu lungkang gendari keadaan di mana terdapat


paling tidak dua varian gen tertentu (alel) menjadi keadaan di mana hanya ada
satu alel yang tersisa. Istilah ini dapat merujuk pada gen secara umum ataupun
posisi nukleotida tertentu pada rantai DNA (lokus). Fiksasi adalah suatu metode
untuk mempertahankan komponen-komponen sel atau jaringan agar tidak
mengalami perubahan dan tidak mudah rusak. Proses fiksasi ini diharapkan setiap
molekul pada jaringan yang hidup tetap berada pada tempatnya dan tidak ada
molekul baru yang timbul. Pada prosesnya ini tentu tidak akan berjalan dengan
sempurna, apabila timbul molekul asing baru pada jaringannya disebut artefak.
Tujuan fiksasi ini agar jaringan tersebut tetap utuh. Fiksasi harus dilakukan
sesegera mungkin setelah pengangkatan jaringan atau setelah kematian agar tidak
terjadi autolisis (Anil & Rajendran, 2008).

2.7.3. Dehydration

kondisi ketika tubuh kehilangan lebih banyak cairan daripada yang


didapatkan, sehingga keseimbangan zat gula dan garam menjadi terganggu,
akibatnya tubuh tidak dapat berfungsi secara normal. Kandungan air di dalam
tubuh manusia yang sehat adalah lebih dari 60% total berat badan.

2.7.4. Clearing

Clearing merupakan proses perendaman di dalam larutan xylol selama 15


menit yang bertujuan menjadikan struktur C. ... Proses ini akan maksimal apabila
digunakan waktu perendaman dalam xylol overnight. Hasil perendaman overnight
dapat memperlihatkan struktur tubuh C. felis yang lebih jelas, jernih dan
transparan.

2.7.5. Embedding dan Blocking

Ekstraksi Enzim Kolagenase (Kim et al. 2002) Proses ekstraksi dilakukan dengan
cara mencuci daging cumi-cumi dengan air dingin dan ditambah dengan 100 mM
buffer Tris-HCl (pH 8,0) dengan perbandingan bahan baku:larutan buffer 1:5,
kemudian dihomogenkan dengan homogenizer. Daging yang telah homogen
tersebut, disentrifugasi dengan kecepatan 7.000 rpm selama 20 menit.Pelet yang
telah dihasilkan disentrifugasi kembali dengan kecepatan 7.000 rpm selama 20
menit menggunakan larutan buffer yang sama. Perbandingan antara pelet:larutan
buffer sebesar 1:3. Selanjutnya supernatan yang dihasilkan ditambah dengan 20
mM Tris-HCl (pH 8,0) yang mengandung 0,36 mM CaCl2 dan didiamkan pada
suhu rendah (± 4 C) selama 48 jam. Supernatan yang dihasilkan merupakan
ekstrak kasar kolagenase yang akan digunakan untuk mengukur aktivitas
enzimnya. Substrat yang digunakan untuk mengukur aktivitas enzim kolagenase
merupakan kolagen. Proses pembuatan kolagen cumi-cumi mengacu pada
penelitian Veeruraj et al. (2015). Proses pembuatan kolagen cumi-cumi diawali
dengan pencucian daging cumi-cumi menggunakan air mengalir. Daging yang
telah bersih dipotong sebesar dadu kemudian dipretreatment. Pretreatment yang
dilakukan pada daging cumi-cumi yaitu penghilangan protein non-kolagen dan
lemak. Penghilangan protein non-kolagen dilakukan dengan metode penelitian
Veeruraj et al (2015) dengan merendam daging cumi-cumi dalam larutan NaOH
0,1M 1:10 (b/v) selama 72 jam pada suhu 4C. Larutan NaOH diganti setiap 24
jam sekali. Penghilangan lemak dilakukan dengan merendam daging cumi-cumi
dalam larutan butil alkohol 10% 1:10 (b/v) selama 24 jam pada suhu 4C. Tahap
selanjutnya yaitu dilakukan penetralan menggunakan akuades. Daging cumi-cumi
hasil pretreatment diekstraksi dengan konsentrasi asam asetat 0,5 M dan akuades
dengan perbandingan 1:10 (b/v). Larutan diaduk selama 72 jam pada suhu 4C.
Larutan kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 7.000 rpm selama 60 menit
pada suhu 4C. Pelet hasil sentrifugasi ditambah dengan asam asetat 0,5 M
dengan perbandingan 1:10 (b/v) yang disimpan selama 48 jam pada suhu 4C.
Larutan kemudian disentrifugasi kembali dengan kecepatan 7.000 rpm selama 60
menit pada suhu 4C. Supernatan hasil sentrifugasi ditambah NaCl 6 0,9 M
dengan perbandingan 1:10 (b/v), tahap ini dinamakan proses presipitasi. Proses
presipitasi dilakukan dengan menambahkan NaCl sampai konsentrasi 2,3 M
secara bertahap. Hasil presipitasi disentrifugasi dengan kecepatan 7.000 rpm pada
suhu 4C. Pelet hasil sentrifugasi ditambah dengan asam asetat 0,5 M dengan
perbandingan 1:10 (b/v). Proses selanjutnya yaitu dialisis dan larutan yang
digunakan untuk proses dialisis menggunakan asam asetat 0,1 M dengan
perbandingan 1:10 (b/v). Dialisis dilakukan menggunakan membran yang
memiliki berat molekul 12 kDa selama 24 jam pada suhu 4C, dan setiap 8 jam
sekali larutan dialisis diganti. Setelah itu proses dialisis dilakukan dengan akuades
sampai pHnya netral.

2.7.6. Sectioning dan Peletakan pada Gelas Objek

pembuatan sayatan atau pita dari balok parafin yang telah terbentuk
dengan menggunakan mikrotom, yang bertujuan untuk membuat sayatan jaringan
dan dapat dilihat jelas dari dalam mikroskop.

2.7.7. Staining dan Penutupan


suatu metode pembuatan sediaan dari spesimen tertentu melalui suatu
rangkaian proses hingga diperoleh suatu preparat histologi yang siap untuk
dianalisa. Preparat histologi dapat digunakan untuk mengetahui keadaan patologis
serta perubahan suatu sel atau jaringan (Juliati, 2017). Untuk membuat suatu
sediaan histologi, jaringan diambil terlebih dahulu dari sumbernya kemudian siap
untuk diproses. Ada beberapa rangkaian proses dalam pembuatan sediaan
histologi diantaranya adalah fiksasi, dehidrasi, penjernihan, impegnasi, blocking,
pemotongan block, floating dan pewarnaan (Prasetyani, 2017).

2.8. Sex Reversal

Merupakan cara pembalikan arah perkembangan kelamin ikan yang


seharusnya berkelamin jantan diarahkan perkembangan gonadnya menjadi betina
atau sebaliknya. Teknik ini dilakukan pada saat belum terdiferensiasinya gonad
(kelamin) ikan secara jelas antara jantan dan betina pada waktu menetas

2.8.1. Definisi Sex Reversal

sex reversal merupakan cara pembalikan arah perkembangan kelamin ikan


yang seharusnya berkelamin jantan diarahkan perkembangan gonadnya menjadi
betina atau sebaliknya. Teknik ini dilakukan pada saat belum terdiferensiasinya
gonad (kelamin) ikan secara jelas antara jantan dan betina pada waktu
menetas. Sex reversal merubah fenotip ikan tetapi tidak merubah genotipnya.
Teknik sex reversal mulai dikenal pada tahun 1937 ketika estradiol 17 disintesis
untuk pertama kalinya di Amerika Serikat. Pada mulanya teknik ini diterapkan
pada ikan guppy (Poeciliareticulata). Kemudian dikembangkan oleh Yamamato di
Jepang pada ikan medaka (Oryzias latipes). Ikan medaka betina yang diberi
metiltestosteron akan berubah menjadi jantan. Setelah melalui berbagai penelitian
teknik ini menyebar keberbagai negara lain dan diterapkan pada berbagai jenis
ikan. Awalnya diyakini bahwa saat yang baik untuk melakukan sex
reversal adalah beberapa hari sebelum menetas (gonad belum didiferensiasikan).
Teori ini pun berkembang karena adanya fakta yang menunjukkan bahwa sex
reversal dapat diterapkan melalui embrio dan induk yang sedang bunting.

Penerapan sex reversal dapat menghasilkan populasi monosex (kelamin


tunggal). Kegiatan budidaya secara monosex (monoculture) akan bermanfaat 
dalam mempercepat pertumbuhan ikan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan
tingkat pertumbuhan antara ikan berjenis jantan dengan betina. Beberapa ikan
yang berjenis jantan dapat tumbuh lebih cepat daripada jenis betina misalkan ikan
nila dan ikan lele. Selain itu, budidaya monosex juga dapat digunakan untuk
mencegah pemijahan liar pada kegiatan pembesaran ikan. Pemijahan liar yang
tidak terkontrol dapat menyebabkan kolam  cepat penuh dengan berbagai ukuran
ikan. Total biomass ikan tinggi namun kualitasnya rendah. Pemeliharaan ikan
monoseks akan mencegah perkawinan dan pemijahan liar sehingga kolam tidak
cepat dipenuhi ikan. Selain itu ikan yang dihasilkan akan berukuran besar dan
seragam. Contoh ikan yang cepat berkembangbiak yaitu ikan nila dan mujair.
Pada beberapa jenis ikan hias seperti cupang, guppy, kongo dan rainbow akan
memiliki penampilan tubuh yang lebih baik pada jantan daripada ikan betina.
Dengan demikian nilai jual ikan jantan lebih tinggi ketimbang ikan betina.

Sex reversal juga dapat dimanfaatkan untuk teknik pemurnian ras ikan.


Telah lama diketahui ikan dapat dimurnikan dengan teknik ginogenesis yang
produknya adalah semua betina. Menjelang diferensiasi gonad, sebagian dari
populasi betina tersebut diambil dan diberi hormon androgen berupa
metiltestosteron sehingga menjadi ikan jantan. Selanjutnya ikan ini dikawinkan
dengan saudaranya dan diulangi beberapa kali sampai diperoleh ikan dengan ras
murni. Pada kasus hermaprodit, hormon yang diberikan hanya akan mempercepat
proses perubahan, sedangkan pada sex reversal perubahannya benar-benar
dipaksakan. Ikan yang seharusnya berkembang menjadi betina dibelokkan
perkembangannya menjadi jantan melalui proses penjantanan (maskulinisasi).
Sedangkan ikan yang seharusnya menjadi jantan dibelokkan menjadi betina
melalui proses pembetinaan (feminisasi).

Sex reversal dapat dilakukan melalui terapi hormon (cara langsung) dan


melalui rekayasa kromosom (cara tidak langsung). Pada terapi langsung hormon
androgen dan estrogen mempengaruhi fenotip tetapi tidak mempengaruhi genotip.
Metode langsung dapat diterapkan pada semua jenis ikan apapun kromosom seks-
nya.  Cara langsung dapat meminimalkan jumlah kematian ikan. Kelemahan dari
cara ini adalah hasilnya tidak bisa seragam dikarenakan perbandingan alamiah
kelamin yang tidak selalu sama. Misalkan pada ikan hias, nisbah kelamin anakan
tidak selalu 1:1 tetapi 50% jantan:50% betina pada pemijahan pertama, dan 30%
jantan:50% betina pada pemijahan berikutnya. Hormon yang biasa digunakan
adalah metil testosterone (maskulinisasi) dan estradiol (feminisasi).

2.8.2. Manfaat sex Reversal

Adalah mendapatkan ikan dengan pertubuhan yang lebih cepat. Mencegah


pemijahan liar. Mendapatkan penampilan ikan yang ebih baik.

2.8.3. Metode Sex Reversal

merupakan cara pembalikan arah perkembangan kelamin ikan yang


seharusnya berkelamin jantan diarahkan perkembangan gonadnya menjadi betina
atau sebaliknya. Teknik ini dilakukan pada saat belum terdiferensiasinya gonad
(kelamin) ikan secara jelas antara jantan dan betina pada waktu menetas.

2.8.4. Kegunaan Madu dalam Sex Reversal

Ikan nila jantan memiliki laju pertumbuhan sekitar dua kali lebih cepat
dibandingkan dengan ikan betina, sehingga tingkat produksi, dan potensi
keuntungan budidaya ikan nila jantan semua (monoseks) adalah lebih tinggi.Salah
satu cara untuk memproduksi populasi monoseks jantan adalah dengan teknologi
sex reversal, yakni suatu teknologi yang mengarahkan diferensiasi kelamin
menjadi jantan, dan dilakukan pada saat gonad ikan belum terdiferensiasi. Cara
yang umum dilakukan untuk memperoleh ikan monoseks adalah dengan
menggunakan hormon steroid 17α-metiltestosteron (MT) dan aromatase inhibitor
seperti fadrozole. Akan tetapi, penggunaan hormon MT diduga dapat bersifat
karsinogenik pada manusia dan aromatase inhibitor tidak dijual bebas di pasaran,
sehingga untuk mengatasinya diperlukan bahan alternatif lain yang aman dan
mudah diperoleh. Madu merupakan bahan alami mengandung flavonoid chrysin
yang diduga dapat berfungsi sebagai penghambat kerja enzim aromatase atau
sebagai aromatase inhibitor. Madu bersifat ramah lingkungan, dan kandungan
mineralnya tinggi, terutama kalium. Kalium dalam madu diduga berfungsi sebagai
pengarah diferensiasi kelamin ikan melalui modulasi peredaran testosteron, dan
pengendalian tindakan androgen. Dalam penelitian ini digunakan tiga jenis madu,
yaitu madu hutan (madu yang diperoleh dari beberapa macam nektar bunga dari
lebah liar di hutan), madu ternak (madu yang diperoleh dari nektar tanaman
tertentu oleh lebah yang dibudidayakan), dan madu bakau (madu dari nektar
tanaman bakau oleh lebah di daerah hutan bakau). Analisis kandungan madu yang
diuji, dan pemberian chrysin dan kalium dalam sex reversal juga berpotensi besar
dapat menjelaskan perbedaan aktivitas madu uji, dan bahan yang berperan dalam
sex reversal ikan nila.

3. ANATOMI DAN FISIOLOGI TESTES DAN OVARIUM

  Berasal dari kata Cephale = Kepala, dan podos = kaki • Kebanyakan tidak
bercangkang, kecuali Nautilus sp • Bukan termasuk hewan hermafrodit • Dapat
mengubah warna tubuhnya sesuai dengan warna benda disekitarnya • Rangka
tubuh dibentuk dari zat hasil sekresi internal oleh mantel (cth : Cumi-cumi) •
Karnivora • Sistem peredaran darah tertutup • Memiliki kantung tinta sebagai alat
pertahanan kecuali Nautilus sp • Memiliki sifon yang berfungsi sebagai kemudi
jika ingin bergerak mundur. • Contoh spesies : Loligo sp , Octopus sp , Sepia sp ,
Nautilus sp

- Loligo sp Octopus sp Sepia sp Nautilus sp


- Anatomi
- Female (betina) • Sekum = Organ/bagian dari system pencernaannya •
Ovarium = Penghasil sel telur • Arteri mantel lateral = Arteri yang
terhubung dengan mantel pada bagian lateral yang berfungsi dalam
sirkulasi darah dari cumi-cumi tersebut • Kelenjar Ovaducal = Berperan
dalam system reproduksi cumi-cumi • Cabang arteri aferen = Membawa
darah ke ginjal • Cabang vena eferen = Pembuluh balik • Oviduk = Tempat
terjadinya fertilisasi • Kelenjar ovaducal = membuat membran untuk telur
• Kelenjar Nidamental = Kelenjar sel telur yang berperan dalam proses
reproduksi cumi-cumi dengan melapisi telur dengan suatu massa gelatin •
Tambahan kelenjar nidamental = Bagian dari kelenjar Nidamental
(tambahan dari kelenjar tersebut) • Mantel = Pembungkus tubuh cumi-
cumi
- Male (Jantan) • Pen = Penyangga tubuh cumi-cumi • Testis = Penghasil sel
sperma • Sekum = Organ/bagian dari system pencernaan • Vena cava
posterior = membawa darah menuju jantung • Vas deferens = Pengangkut
sperma • Insang = untuk bernapas • Ginjal = menapis cairan dari ruang
pericardium ke dalam rongga mantel melalui lubang yang terletak di usus •
Rektum = bagian dari usus belakang yang membuka ke anus • Penis = alat
kopulasi • Kantung tinta = menghasilkan cairan tinta hitam yang akan
disemburkan dalam keadaan bahaya untuk menghindar dari musuhnya.
kantong tinta yang terletak di atas usus besar Bila kantung ini dibuka,
maka akan mengeluarkan tinta berwarna coklat atau hitam yang
diakibatkan oleh pigmen melanin. • Hati = mengambil sari-sari makanan
dalam darah dan sebagai penghasil empedu • Esofagus = saluran di
belakang rongga mulut yang berfungsi menghubungkan rongga mulut
dengan lambung • Corong/sifon = untuk menyemprotkan air (untuk
pergerakan) ke arah depan sehingga cumi-cumi terdorong mundur
a. Faring : bagian depan kerongkongan berfungsi untuk mengisap
makanan dari mulut dan membasahinya dengan lendir.
b. Mulut : tempat masuknya makanan.
c. Mata : sebaga alat penglihatan.
d. Tentakel : berfungsi sebagai alat gerak ,merasa, memeriksa dan alat
penagkap mangsa.Anus : mengeluarkan sisa metabolisme.
e. Hati : mengambil sari-sari makanan dalam darah dan sebagai
tempat penghasil empedu.
f. Esofagus : saluran di belakang rongga mulut berfungsi
menghubungkan rongga mulut dan lambung.
g. Insang : sebagai organ pernapasan.
h. Lambung : sebagai bagian dari organ pencernaan.
i. Cangkang dalam : sebagai pelindung organ tubuh bagian dalam.
j. Ovarium : penghasil sel telur. • k. Rektum : sebagai bagian usus
belakang yang membuka ke anus.
k. Kantung tinta : kantung selaput yang terdapat pada cumi,yang
mengandung tinta. Tinta akan di semprotkan bila cumi merasa
terganggu akan kedatangan / bertemu pemangsa/predator.

3.1. Anatomi Testes dan Ovari

a. Faring : bagian depan kerongkongan berfungsi untuk mengisap makanan dari


mulut dan membasahinya dengan lendir.
b.  Mulut : tempat masuknya makanan.
c.  Mata : sebaga alat penglihatan.
d. Tentakel : berfungsi sebagai alat gerak ,merasa, memeriksa dan alat penagkap
mangsa.Anus : mengeluarkan sisa metabolisme.
e. Hati : mengambil sari-sari makanan dalam darah dan sebagai tempat penghasil
empedu.
f. Esofagus : saluran di belakang rongga mulut berfungsi menghubungkan rongga
mulut dan lambung.
g.  Insang : sebagai organ pernapasan.
h.  Lambung : sebagai bagian dari organ pencernaan.
i.  Cangkang dalam : sebagai pelindung organ tubuh bagian dalam.
j.  Ovarium : penghasil sel telur.
k.   Rektum : sebagai bagian usus belakang yang membuka ke anus.
l.   Kantung tinta : kantung selaput yang terdapat pada cumi,yang mengandung
tinta. Tinta akan di semprotkan bila cumi merasa terganggu akan kedatangan /
bertemu pemangsa/predator.
Hewan ini memiliki dua ginjal atau nefridia berbentuk segitiga berwarna putih
yang berfungsi menapis cairan dari ruang pericardium dan membuangnya ke
dalam rongga mantel melalui lubang yang terletak di sisi usus (Kastawi, 2003).

3.2. Histologi Testes dan Ovari

Hasil mikroskop elektron payar (SEM) pada organ cahaya yang berbentuk
bola kecil di bagian dalam kantong tinta cumi- cumi dewasa memperlihatkan
bahwa kantong memiliki banyak lekukan dan diantara lekukan ada lumen.
Lekukannya lebih banyak terjadi pada bagian tepi bawah bola sedangkan lekukan
di bagian tengah bola lebih sedikit. Ada rongga/lumen lebih besar terjadi di
bagian tepi atas bola, dekat dengan organ cahaya di bagian luar kantong tinta.

3.3. Fisiologi Testes dan Ovari


- sistem Pencernaan
        Organ pencernaan di mulai dari mulut yang mengandung radula dan dua
rahang yang terbuat dari zat khitin dan berbentuk seperti paruh burung betet.
Gerak kedua rahang tersebut di karenakan kontraksi otot. Terdapat dua kelenjar
ludah yang terletak di masa bukal. Kelenjar ludah ke tiga terletak ujung anterior
hati dan mensekresi racun yang akan bermuara ke daerah rahang. Kelenjar
pencernaan terdiri atas dua bagian yaitu hati yang terdapat di anterior dan
pancreas terletak di posterior. Lambung bersifat muscular dan berfungsi
mencampurkan makanan dari hasil sekresi dari kelenjar pencernaan. Zat-zat
makanan akan menuju ke dalam usus atau ke dalam sektum, organ pencernaan
berikutnya adalah rektum dan anus yang bermuara dalam rongga
mantel  (Kastawi, 2003).
- Sistem saraf
            Sistem syaraf terdiri atas tujuh buah ganglion yang terletak di dalam
kepala, dan saraf ganglion serebral, pedal, viseral, suprabukal, infrabukal, dan
optik. Organ sensoriik sangat berkembang dan terdiri atas mata, dua statosis dan
organ pembau. Statosis terletak di masing-masing lateral kepala dan berperan
sebagai organ keseimbangan. Terdapat pula mata, di mana mata tersebut sudah
sama dengan mata pada vertebrata  (Kastawi, 2003).
- Sistem Ekskresi
            Alat ekskresi berupa nephridia yang berbentuk segitiga, berwarna putih
terletak di sebelah jantung branchialis.
- Sistem Reproduksi
Suatu organisme dapat hidup, tumbuh dan berkembang biak serta menjaga
kelangsungan hidupnya hanya dalam batas-batas kisaran toleransi, dengan kondisi
faktor-faktor abiotik dan ketersediaan sumberdaya tertentu saja (Kramadibrata,
1996).
Beberapa cumi-cumi melakukan reproduksi dengan sexsual. Reproduksi pada
cumi-cumi secara seksual. Sistem reproduksi seksual pada cumi-cumi terdiri atas
sistem reproduksi betina meliputi ovum, saluran ovum, kelenjar kuning telur.
Sedangkan reproduksi jantan terdiri atas testis, pori genital dan
penis (Kramadibrata, 1996). 
Cumi-cumi (Loligo sp.) mempunyai sistem reproduksi yang terpisah (dioecious),
dimana gonadnya terletak pada bagian posterior tubuhnya. Spermatophora (sel
kelamin jantan) yang sudah matang gonad akan disimpan pada nedhem sac (Pelu
1988).
Reproduksi cumi – cumi diawali dengan jantan merayu betina menggunakan
warna kulit mereka dan jika diterima oleh betina , kemudian menggunakan lengan
yang disebut hectocotylus untuk mentransfer paket sperma disebut
spermatophore, ke betina. Betina memproduksi sekitar 200 telur dan
menempelkan pada dasar laut dalam kelompok yang besar bergabung dengan telur
betina lainnya. Kadang-kadang "sneaker" jantan mengintai di sekitar sarang telur,
hectocotylus mereka melesat masuk ke dalam tubuh betina untuk menambahkan
sperma merek ke telur betina yang berada di dalam tubuh (MBL, 2000).
- Habitat Cumi-cumi
Cumi – cumi digolongkan sebagai hewan karnivora karena memakan udang dan
ikan – ikan pelagis yang ditangkap dengan tentakelnya (Barnes, 1987). Komponen
makanan ditemukan dalam lambung cumi – cumi adalah ikan – ikan kecil. Selain
ikan – ikan kecil, crustacean merupakan komponen makanan yang mempunyai
frekuensi kejadian yang cukup besar (Raharjo dan Bengen, 1984).
Menurut Soewito dan Syarif (1990), menyatakan cumi – cumi menghuni perairan
dengan suhu antara 8 sampai 32 derajat celcius dan salinitas 8,5 sampai 30 per
mil. Terjadinya kelimpahan cumi – cumi ditunjang oleh adanya zat hara yang
terbawa arus (run off) dari daratan. Zat hara tersebut dimanfaatkan oleh
fitoplankton yang selanjutnya dimanfaatkan oleh zooplankton, juvenile ikan
ataupun ikan – ikan kecil merupakan makanan cumi – cumi.
Menurut Voss (1963) dan Roper, daerah penyebaran cumi-cumi adalah di perairan
Pasifik Barat, Australia Utara, Pulau Filipina, bagian utara Laut Cina Selatan
sampai Jepang. Penyebaran cumi-cumi (Loligo sp.) di seluruh perairan Indonesia
hampir merata, yaitu dari Barat Sumatera sampai ke selatan Irian Jaya, dari Selat
Malaka ke timur sampai ke perairan Timur Sumatera, Laut Jawa, Laut Banda, dan
perairan Maluku/ Arafura.
Penyebaran cumi-cumi hampir di seluruh laut di dunia ini , mulai dari pantai
sampai laut lepas dan mulai permukaan sampai kedalaman beberapa ribu meter
(Hamabe, M et al. 1982).
4. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian Sebaran Spasial Cumi-


cumi (Loligo Spp.) dengan Variabel Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a Data
Satelit MODIS AQUA di Selat Karimata hingga Laut Jawa adalah hasil
tangkapan cumi-cumi pada tahun 2011 dan 2012 lebih banyak tertangkap pada
musim peralihan II hingga musim barat (September-Desember) dimana sebaran
spasial penangkapan cumi-cumi banyak terjadi di bagian barat Laut Jawa hingga
Selat Karimata. Sebaran suhu permukaan laut di sekitar Selat Karimata hingga
Laut Jawa menunjukkan pada musim barat cenderung lebih tinggi dibandingkan
dengan musim timur, dan sebaran klorofil-a pada musim timur cenderung lebih
tinggi dibandingkan dengan musim barat. Hal tersebut disebabkan oleh gejala
musiman masuknya massa air laut dari arah utara yang terjadi di sekitar Selat
Karimata dan Laut Jawa. Korelasi antara suhu permukaan laut dan klorofil-a
dengan sebaran spasial hasil tangkapan cumi-cumi menunjukkan hubungan
variabel yang tidak begitu signifikan dengan nilai Koefisien korelasi (r) dan
determinasi (R2) tetapi bila dibandingkan klorofil-a masih memiliki nilai r dan
R2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu permukaan laut. Hal tersebut
membuktikan parameter oseanografi khususnya Klorofil-a masih sedikit
mempengaruhi sebaran tangkapan cumi-cumi di sekitar Selat Karimata dan Laut
Jawa.
DAFTRAR PUSTAKA

Boyle P. and R. Paul. 2006. Chepalopods Ecology and Fisheries.


Blackwell Science Ltd, Oxford, UK.
Brown, J., A. Colling, D. Park, J. Philips, D. Rothery, and J. Wright. 1989.
Ocean Circulation. The Open University. Published in Association with
Pergamon Press. New York.
Danakusumah. 1995. Studi Mengenai Aspek-aspek Biologi dan Budidaya
Cumi-cumi (Sepiotuehis lessonia L.) Musim Pemijahan. Pros. Seminar
Kelautan Nasional 15-16 November 2005 di Jakarta.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2011. Peta Keragaan Perikanan
Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-
RI). Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. 68 hal.

Gaol, J. L dan B. Sadhotomo. 2007. Karakteristik dan Variabilitas


Parameter Oseanografi Laut Jawa Hubungannya dengan Distribusi
Hasil Tangkapan Ikan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 13 (3):
Hadi, S. 2004. Metodologi Research. Andi, Yogyakarta, hlm 300 – 303.
Hamidi. 2007. Metode Penelitian dan Teori Komunikasi. Press Malang, Malang.
Hamzah M.S, dan Parmudji. 1997. Pengaruh Musim Terhadap Hasil Tangkapan
Cumi-cumi (Uretetuthis barchi, REHDER) Dengan Menggunakan
Beberapa Alat Tangkap Di Perairan Taliabu Barat, Maluku Utara.
Makalah Simposium Perikanan Indonesia II. Balitbang Sumberdaya
Laut, Puslitbang Oseanografi – LIPI, Ambon.
Hartati, S.T. 1998. Fluktuasi Musiman Hasil Tangkapan Cumi-cumi
(Loliginidae) di Perairan Selat Alas, NTB. [Thesis]. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 64 hal.
Hartoko, A. and M. Helmi. 2004. Development of Multilayer Ecosystem
Parameters Model. Journal of Coastal Development. Vol. 7, No. 3, June
2004. ISSN : 1410-5217
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Alih
bahasa oleh M. Eidman, Koesoebiono, D. G. Bengen, M. Hutomo, S.
Sukardjo. Gramedia. Jakarta. 459 hal.
Sudjoko, B. 1988. Cumi-cumi (Cephalopoda Molusca) Sebagai Salah Satu
Makanan dari Laut. Oseana, Jakarta, hlm 97 – 107.
Takdir, M. 2004. Penetasan Telur, Pemeliharaan Larva, dan Biologi Reproduksi
Cumi-cumi, Spioteuthis lessoniana LESSON. Makalah Falsafah Sains
(PPS702) Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Wyrtki K. 1961. Physical Oceanography of The South East Asian Waters.
Naga Report. Vol. 2. Scripps Intitution of Oceanography. The
University of California. La Jolla. California. 195 p.

Zainuddin, M. 2006. Aplikasi Sistem Informasi Geografis Dalam Penelitian


Perikanan Dan Kelautan. Disampaikan pada Lokakarya Agenda
Penelitian, COREMAP II Kab. Selayar, 9-10 September 2006.
5. Lampiran

Anda mungkin juga menyukai