1. PENDAHULUAN
Cumi-cumi (Loligo sp.) atau biasa dikenal sebagai squid termasuk dalam
kelompok hewan Cephalopoda (Boyle & Rodhouse, 2005) filum Moluska (Roper
et al., 1984). Cumi-cumi merupakan hewan air penghuni semi pelagis atau
demersal pada daerah pantai dan paparan benua sampai kedalaman 400 m (Boyle
& Rodhouse, 2005). Pada umumnya cumi-cumi memiliki rata-rata ukuran
panjang mantel (ML) antara 20-25 mm, walaupun ada yang berukuran lebih
kecil dari itu (<10 mm) dan tidak lebih dari satu meter (Hanlon & Messenger,
1988; Boyle & Rodhouse, 2005). Namun demikian terdapat cumi-cumi raksasa
jenis Architeuthis princeps dengan panjang mantel hingga lebih dari 15 m,
dengan bobot mencapai 50-60 kg (Robson, 1933; Stephen, 1961). Cumi-cumi
raksasa (giant squid) (Roper & Boss, 1982) sering ditemukan di perairan
Newfoundland dekat Grand Banks (Robson, 1933; Aldrich, 1968, 1991; Brix,
1983). Cumi-cumi hidup secara bergerombol maupun soliter (Goldman et al.,
1975), hal ini berkaitan dengan pola migrasinya dengan melakukan pergerakan
diurnal secara berkelompok, dekat dengan dasar perairan pada saat siang hari dan
akan menyebar pada malam hari (de Araujo & Gasalla, 2018). Bersifat
fototaksis positif (tertarik pada cahaya) (Mulyawan et al., 2015), karena itu
sering ditangkap dengan menggunakan alat bantu cahaya (Jackson et al., 1997).
Sifat fototaksis dan pergerakan diurnal menjadi tanda migrasinya. Namun
demikian, tidak seluruh spesies melakukan migrasi musiman (Arkhipkin et al.,
2015). Migrasi cumi-cumi terjadi karena respon terhadap perubahan suhu
(Prasetyo et al., 2014) terutama di daerah sub-tropis (Susiloningtyas et al., 2014).
Pada musim dingin, biasanya sering ditemukan di perairan lepas pantai yang
lebih dalam (Wahyudin, 2011; Roper et al., 2015). Umumnya cumi-cumi
melakukan migrasi ke arah pantai berdasarkan kelompok ukuran (Summers,
1969; Susiloningtyas et al., 2014), yakni individu berukuran besar bermigrasi
pada permulaan musim semi, lalu diikuti individu berukuran lebih kecil pada
musim panas (Triharyuni & Puspasari, 2016).
Pada musim gugur, cumi-cumi akan kembali ke arah perairan yang lebih
dalam (Susiloningtyas et al., 2014). Di Indonesia hingga Atlantik Tengah
(Summers, 1971), cumi-cumi termasuk salah satu jenis sumberdaya ikan
ekonomis penting (Sudjoko, 1988). Cumi-cumi umumnya dimanfaatkan sebagai
bahan makanan (Sudjoko, 1988; Boyle & Rodhouse, 2005). Selain karena
kandungan gizinya yakni selenium, riboflavin, dan vitamin B12 (Sudjoko,
1988), melanoprotein tinta pada cumi-cumi mengandung asam amino esensial
dominan, yakni lisin, leusin, arginin dan fenilalanin yang baik bagi tubuh
(Kurniawan et al., 2012). Badan cumi-cumi tidak bersisik sehingga praktis
seluruh tubuhnya dapat dimakan (Boyle & Rodhouse, 2005). Sebagian cumi-cumi
dimanfaatkan sebagai pakan tambahan dalam budidaya udang dan kepiting
(Santoso et al., 2007; Fitriani et al., 2017; Usman & Rochmady, 2017). Berbagai
manfaat ekonomis tersebut, berdampak masifnya penangkapan cumi-cumi.
Adapun yang mengatur kesemua sistem hormon tersebut adalah adanya kelenjar
endokrin, dimana kelenjar endokrin ini mengatur sejumlah besar mekanisme
homeostatis. Selain itu sobat, termasuk juga di dalamnya aktivitas neuron, otot,
dan juga sel – sel pigmen selama perilaku spesifik ( asupan makanan, bekerja,
reprduksi), dan juga berbagai fungsi yang lainnya pada umumnya. Namun selain
kelenjar dari endokrin tersebut, banyak neuron dari sistem syaraf pusat dan perifer
yang memproduksi hormon yang dilepasan secara lokal dalam rnag ekstraseluler,
serta bisa juga kedalam aliran darah.
Selain membahs mengenai sistem hormon pada Mollusca tersebut, kita juga akan
membahas mengenai sistem organ pada Mollusca tersebut.
b. LH ( Luteinizing Hormon)
Pada wanita, hormon ini berfungsi untuk merangsang pengeluaran sel telur
dari ovarium dan mempertahankan folikel sisa sel telur tersebut serta membuatnya
berwarna kekuningan (lutein). Pada laki-laki, hormon ini berfungsi untuk
merangsang sel-sel interstisial di dalam testis untuk berkembang dan
mensekresikan hormon testosteron
2.4.4. Steroid Hormone
a. Definisi
Ciri seksual sekunder terdiri atas dua jenis yaitu yang tidak mempunyai
hubungan dengan kegiatan reproduksi secara keseluruhan, dan merupakan alat
tambahan pada pemijahan. Bentuk tubuh ikan merupakan ciri seksual sekunder
yang penting. Biasanya ikan betina lebih buncit dibandingkan ikan jantan,
terutama ketika ikan tersebut telah matang atau mendekati saat pemijahan
(spawning). Hal tersebut disebabkan karena produk seksual yang dikandungnya
relatif besar.
Menurut Zairin (2003) di alam ikan akan mengalami pematangan gonad
setelah emndapat sinyal lingkungan yang tepat untuk pematangan Gonad. Sinyal-
sinyal ini biasanya datangnya musiman. Didalam wadah budidaya sinyal-sinyal
tersebut bisa hilang. Selain itu budidaya adalah aktivitas yang ingin terlepas dari
musim. Bagi ikan-ikan yang bersifat musiman, pematangan goad di luar musim
merupakan suatu keharusan. Kinerja reproduksi merupakan suatu proses yang
berkelanjutan pada ikan akibat adanya rangsangan dari luar ataupun dari dalam
tubuh ikan itu sendiri. Rangsangan tersebut dapat berupa rangsangan hormonal
ataupun rangsangan lingkungan. Rangsangan hormonal yang terjadi pada induk
ikan betina berbeda dengan induk jantan. Pada induk betina, rangsangan hormonal
ditujukan untuk pembentukan telur dan pematangannya, sedangkan pada ikan
jantan rangsangan tersebut untuk pembentukan sperma. ( Permadi, 2009 hal 17).
a. Jantan
Pada ikan jantan. Menurut Setiawan (2009) ciri-ciri induk jantan lele dumbo
jantan yang telah siap untuk dipijahkan sebagai berikut :
b. Betina
- Bagian perut tampak membesar ke arah anus dan jika diraba terasa
lembek.
- Lubang kelamin berwarna kemerahan dan tampak agak membesar.
- Jika bagian perut secara perlahan diurut ke arah anus, akan keluar
beberapa butir
- telur berwarna hijau tua dan ukurannya relatif besar.
- Gerakannya lambat.
2.6. Klasifikasi dan Morfologi cumi-cumi
Klasifikasi Cumi-cumi
Kingdom : Animalia
Filum : Mollusca
Kelas : Cephalopoda
Ordo : Decapoda
Famili : Loliginidae
Genus : Loligo
Spesies : Loligo sp.
Proses pengambilan data biologis ikan layang merupakan tahap pertama dalam
kegiatan histologi. Pengambilan data biologis dilakukan pada hari sabtu, 28
Oktober 2019 di Loka Riset Perikanan Tuna (LRPT) Denpasar, Bali. Alur
Pengambilan data biologis ikan layang Sebelum pengambilan data biologis ikan
dilakukan, hal pertama yang harus dilakukanyaitu pengambilan gambar ikan.
Pengambilan gambar tersebut dilakukan pada latar belakang berwarna putih dan
diberi penggaris. Setelah pengambilan foto selesai, maka selanjutnya ikan yang
akan dibedah dan diberi nomor urut agar data yang dihasilkan tidak tertukar satu
sama lain. kedua yaitu pengukuran panjang cagak. Pengukuran panjang cagak
dilakukan dengan cara meletakkan ikan diatas papan ukur yaitu Pengambilan Data
Panjang CagakIkan Pengambilan Data Panjang Total Ikan Pengambilan Data
Berat Ikan Pengambilan Data Berat Gonad Ikan Pengambilan Gambar Ikan
Layang 32 mulai dari ujung mulut hingga pangkal ekor kemudian dicatat hasilnya.
Ketiga yaitu pengukuran panjang total dilakukan dengan cara yang sama seperti
mengukur panjang cagak yaitu meletakkan ikan diatas papan ukur kemudian
mulai diukur dari ujung mulut hingga ujung ekor ikan. Setelah didapatkan ukuran
panjang ikan, kemudian tahap keempat yaitu ikan ditimbang menggunakan
timbangan untuk mendapatkan berat ikan. Tahap kelima yaitu pembedahan perut
ikan untuk pengambilan gonad. Perut ikan dibedah menggunakan Dissecting set
mulai dari anus menuju ke dada secara horizontal, lalu gonad diambil secara hati-
hati agar tidak mudah rusak. Gonad yang telah diambil tersebut lalu ditimbang
beratnya menggunakan timbangan digital dan dicatat hasilnya. Gonad yang telah
diambil dimasukkan kedalam botol sampel dan diberi larutan formalin 10% agar
gonad tetap awet dan tidak mudah rusak sehingga gonad dapat digunakan dalam
proses pegamatan.
2.7.2. Fixation
2.7.3. Dehydration
2.7.4. Clearing
Ekstraksi Enzim Kolagenase (Kim et al. 2002) Proses ekstraksi dilakukan dengan
cara mencuci daging cumi-cumi dengan air dingin dan ditambah dengan 100 mM
buffer Tris-HCl (pH 8,0) dengan perbandingan bahan baku:larutan buffer 1:5,
kemudian dihomogenkan dengan homogenizer. Daging yang telah homogen
tersebut, disentrifugasi dengan kecepatan 7.000 rpm selama 20 menit.Pelet yang
telah dihasilkan disentrifugasi kembali dengan kecepatan 7.000 rpm selama 20
menit menggunakan larutan buffer yang sama. Perbandingan antara pelet:larutan
buffer sebesar 1:3. Selanjutnya supernatan yang dihasilkan ditambah dengan 20
mM Tris-HCl (pH 8,0) yang mengandung 0,36 mM CaCl2 dan didiamkan pada
suhu rendah (± 4 C) selama 48 jam. Supernatan yang dihasilkan merupakan
ekstrak kasar kolagenase yang akan digunakan untuk mengukur aktivitas
enzimnya. Substrat yang digunakan untuk mengukur aktivitas enzim kolagenase
merupakan kolagen. Proses pembuatan kolagen cumi-cumi mengacu pada
penelitian Veeruraj et al. (2015). Proses pembuatan kolagen cumi-cumi diawali
dengan pencucian daging cumi-cumi menggunakan air mengalir. Daging yang
telah bersih dipotong sebesar dadu kemudian dipretreatment. Pretreatment yang
dilakukan pada daging cumi-cumi yaitu penghilangan protein non-kolagen dan
lemak. Penghilangan protein non-kolagen dilakukan dengan metode penelitian
Veeruraj et al (2015) dengan merendam daging cumi-cumi dalam larutan NaOH
0,1M 1:10 (b/v) selama 72 jam pada suhu 4C. Larutan NaOH diganti setiap 24
jam sekali. Penghilangan lemak dilakukan dengan merendam daging cumi-cumi
dalam larutan butil alkohol 10% 1:10 (b/v) selama 24 jam pada suhu 4C. Tahap
selanjutnya yaitu dilakukan penetralan menggunakan akuades. Daging cumi-cumi
hasil pretreatment diekstraksi dengan konsentrasi asam asetat 0,5 M dan akuades
dengan perbandingan 1:10 (b/v). Larutan diaduk selama 72 jam pada suhu 4C.
Larutan kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 7.000 rpm selama 60 menit
pada suhu 4C. Pelet hasil sentrifugasi ditambah dengan asam asetat 0,5 M
dengan perbandingan 1:10 (b/v) yang disimpan selama 48 jam pada suhu 4C.
Larutan kemudian disentrifugasi kembali dengan kecepatan 7.000 rpm selama 60
menit pada suhu 4C. Supernatan hasil sentrifugasi ditambah NaCl 6 0,9 M
dengan perbandingan 1:10 (b/v), tahap ini dinamakan proses presipitasi. Proses
presipitasi dilakukan dengan menambahkan NaCl sampai konsentrasi 2,3 M
secara bertahap. Hasil presipitasi disentrifugasi dengan kecepatan 7.000 rpm pada
suhu 4C. Pelet hasil sentrifugasi ditambah dengan asam asetat 0,5 M dengan
perbandingan 1:10 (b/v). Proses selanjutnya yaitu dialisis dan larutan yang
digunakan untuk proses dialisis menggunakan asam asetat 0,1 M dengan
perbandingan 1:10 (b/v). Dialisis dilakukan menggunakan membran yang
memiliki berat molekul 12 kDa selama 24 jam pada suhu 4C, dan setiap 8 jam
sekali larutan dialisis diganti. Setelah itu proses dialisis dilakukan dengan akuades
sampai pHnya netral.
pembuatan sayatan atau pita dari balok parafin yang telah terbentuk
dengan menggunakan mikrotom, yang bertujuan untuk membuat sayatan jaringan
dan dapat dilihat jelas dari dalam mikroskop.
Ikan nila jantan memiliki laju pertumbuhan sekitar dua kali lebih cepat
dibandingkan dengan ikan betina, sehingga tingkat produksi, dan potensi
keuntungan budidaya ikan nila jantan semua (monoseks) adalah lebih tinggi.Salah
satu cara untuk memproduksi populasi monoseks jantan adalah dengan teknologi
sex reversal, yakni suatu teknologi yang mengarahkan diferensiasi kelamin
menjadi jantan, dan dilakukan pada saat gonad ikan belum terdiferensiasi. Cara
yang umum dilakukan untuk memperoleh ikan monoseks adalah dengan
menggunakan hormon steroid 17α-metiltestosteron (MT) dan aromatase inhibitor
seperti fadrozole. Akan tetapi, penggunaan hormon MT diduga dapat bersifat
karsinogenik pada manusia dan aromatase inhibitor tidak dijual bebas di pasaran,
sehingga untuk mengatasinya diperlukan bahan alternatif lain yang aman dan
mudah diperoleh. Madu merupakan bahan alami mengandung flavonoid chrysin
yang diduga dapat berfungsi sebagai penghambat kerja enzim aromatase atau
sebagai aromatase inhibitor. Madu bersifat ramah lingkungan, dan kandungan
mineralnya tinggi, terutama kalium. Kalium dalam madu diduga berfungsi sebagai
pengarah diferensiasi kelamin ikan melalui modulasi peredaran testosteron, dan
pengendalian tindakan androgen. Dalam penelitian ini digunakan tiga jenis madu,
yaitu madu hutan (madu yang diperoleh dari beberapa macam nektar bunga dari
lebah liar di hutan), madu ternak (madu yang diperoleh dari nektar tanaman
tertentu oleh lebah yang dibudidayakan), dan madu bakau (madu dari nektar
tanaman bakau oleh lebah di daerah hutan bakau). Analisis kandungan madu yang
diuji, dan pemberian chrysin dan kalium dalam sex reversal juga berpotensi besar
dapat menjelaskan perbedaan aktivitas madu uji, dan bahan yang berperan dalam
sex reversal ikan nila.
Berasal dari kata Cephale = Kepala, dan podos = kaki • Kebanyakan tidak
bercangkang, kecuali Nautilus sp • Bukan termasuk hewan hermafrodit • Dapat
mengubah warna tubuhnya sesuai dengan warna benda disekitarnya • Rangka
tubuh dibentuk dari zat hasil sekresi internal oleh mantel (cth : Cumi-cumi) •
Karnivora • Sistem peredaran darah tertutup • Memiliki kantung tinta sebagai alat
pertahanan kecuali Nautilus sp • Memiliki sifon yang berfungsi sebagai kemudi
jika ingin bergerak mundur. • Contoh spesies : Loligo sp , Octopus sp , Sepia sp ,
Nautilus sp
Hasil mikroskop elektron payar (SEM) pada organ cahaya yang berbentuk
bola kecil di bagian dalam kantong tinta cumi- cumi dewasa memperlihatkan
bahwa kantong memiliki banyak lekukan dan diantara lekukan ada lumen.
Lekukannya lebih banyak terjadi pada bagian tepi bawah bola sedangkan lekukan
di bagian tengah bola lebih sedikit. Ada rongga/lumen lebih besar terjadi di
bagian tepi atas bola, dekat dengan organ cahaya di bagian luar kantong tinta.