Anda di halaman 1dari 227

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

EKOLOGI TUMBUHAN
(ABKC 2604)

Dosen Pengasuh:
Dr. Dharmono, M.Si.
Drs. H. Hardiansyah, M.Si.
Mahrudin, S.Pd.,M.Pd.
Maulana Khalid Riefani, S.Si., M.Sc., M.Pd.
Nurul Hidayati Utami, S.Pd.,M.Pd.

KoordinatorAsisten :
Hery Fajeriadi, S.Pd.,M.Pd.

Asisten Dosen:
Muhammad Arsyad, S.Pd.
Muhammad Guntur Al-Ghani, S.Pd.
Nada Salsabila
Naufal Hafidh Mahdi S. P., S.Pd.
Nur Abdi Suga S. S.Pd.
Rahmi Murdiyanti
Siti Muthia Rahmah
Wahyu Dita Zulkafifah

Asisten Lapangan :
Farida Rahmi, S. Pd. Nurul Wahdatun Nufus,
Hadi Kusuma S.Pd.
Kristina Febriana Panjaitan, Rakhmani Mulkan S. Pd
S.Pd. Rema Yulianti
Muhammad Agus Sarpani, S. Riski Maulida
Pd. Siti Nur Latifah
Nurfatma, S. Pd. Tsaqila Amalia

Disusun Oleh:
Kelompok XIII
Maulida (1710119120015)
Nida Hayati (1710119120017)
Rama Fara Nadha (1710119210025)
Syifa Fauzia (1710119220030)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
APRIL 2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah


SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan
Laporan Akhir Praktikum Ekologi Tumbuhan ini tepat pada waktunya.
Laporan Akhir Praktikum Ekologi Tumbuhan ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Ekologi Tumbuhan.
Dalam kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Dharmono, M.Si., Drs. H. Hardiansyah, M.Si., Mahrudin,
S.Pd.,M.Pd., Maulana Khalid Riefani, S.Si., M.Sc., M.Pd., dan Ibu Nurul
Hidayati Utami, S.Pd.,M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Ekologi
Tumbuhan.
2. Kakak Muhammad Arsyad, S.Pd., Muhammad Guntur Al-Ghani, S.Pd., Nada
Salsabila, Naufal Hafidh Mahdi S. P., S.Pd., Nur Abdi Suga S. S.Pd., Rahmi
Murdiyanti, Siti Muthia Rahmah, dan Wahyu Dita Zulkafifah selaku asisten
dosen mata kuliah Praktikum Ekologi Tumbuhan dan Ekologi Hewan yang
telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penyusun selama
melaksanakan praktikum.
3. Teman-teman, khususnya kelompok XIII yang telah memberikan saran, kritik
dan motivasi yang membangun selama bersama-sama mengikuti praktikum.
4. Serta semua pihak yang telah membantu sehingga laporan ini dapat
diselesaikan.
Penyusun menyadari laporan akhir ini masih jauh dari
kesempuranaan yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan yang
penyusun miliki. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran
yang sifatnya membangun demi memperbaiki laporan ini. Semoga laporan
ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Aamiin Ya Rabbal Alamin.

Banjarmasin, April 2020

Kelompok XIII

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................
DAFTAR ISI.................................................................................................................
PRAKTIKUM I LINGKUNGAN ABIOTIK................................................................
PRAKTIKUM II SAMPLING KOMUNITAS MENURUT METODE RELEVE
.....................................................................................................................................
PRAKTIKUM III KOMUNITAS HERBA.................................................................
PRAKTIKUM IV TEKNIK SAMPLING TANPA PLOT DENGAN POINT
FREQUENCY FRAME..............................................................................................
PRAKTIKUM V METODE TRANSEK UNTUK PENENTUAN STRUKTUR
TEGAKAN..................................................................................................................
PRAKTIKUM VI METODE TRANSEK UNTUK PENENTUAN STRUKTUR
VEGETASI SEMAK...................................................................................................
PRAKTIKUM VII TEKNIK SAMPLING TANPA PLOT DENGAN POINT
CENTERE QUARTER.............................................................................................116
PRAKTIKUM VIII MENENTUKAN POLA PENYEBARAN SPESIES...............133
PRAKTIKUM IX STRUKTUR POPULASI............................................................153
PRAKTIKUM X ASOSIASI DAN INTERAKSI ANTAR SPESIES......................174
PRAKTIKUM XI EPIFIT DAN PARASIT..............................................................195

ii
EKOLOGI TUMBUHAN
(ABKC 2604)

PRAKTIKUM I
LINGKUNGAN ABIOTIK

1
PRAKTIKUM I

Topik : Lingkungan Abiotik


Tujuan : Untuk mengenal dan mengetahui alat-alat pengukur faktor-
faktor lingkungan dalam penelitian/praktikum ekologi hewan.
Hari / Tanggal : Sabtu/ 08 Februari 2020
Tempat : Sekitaran Gedung Serba Guna ULM Banjarmasin

I. ALAT DAN BAHAN

1. Soil Tester 10. Light trap


2. Anemometer 11. Multitester
3. pH meter 12. Jaring serangga
4. Termometer 13. Kompas
5. Hygrometer 14. Teropong
6. Altimeter 15. Ekman grab
7. Lux Meter 16. Plankton net
8. Secchi disk 17. Salinometer
9. Bola arus

II. CARA KERJA


1. Soil Tester
a. Kegunaan untuk mengukur pH tanah dan kelembaban tanah dengan
stauannya %.
b. Cara penggunaan :
1) Mencapkan ujung alat runcing ke dalam tanah hingga sel-selnya
terbenam dalam tanah dan membiarkan beberapa saat.
2) Melihat skala besar/atas untuk penentuan pH tanah.
3) Menekan tombol yang berada di samping alat untuk menentukan
kelembaban tanah setelah dibiarkan beberapa saat dan melihat
skala kecil/bawah sebagai penunjuk kelembaban tanah.

2
2. Anemometer
a. Kegunaan untuk mengukur kecapatan angin dengan satuan km/jam.
b. Cara penggunaan :
1) Menormalkan skala pada alat yaitu dengan penunjukkan skala
bawah yang besar dan kecil harus 0.
2) Menggantungkan pada tempat yang agak tinggi dengan arah alat
pada datangnya angin. Membiarkan beberapa menit (± 5 menit).
3) Setelah itu kedua skala yang ditunjukkan untuk besarnya
kecepatan angin dalam menit kemudian diubah ke dalam km/jam.
3. pH meter
a. Kegunaan untuk mengukur pH tanah.
b. Cara penggunaan :
1) Terlebih dahulu mengkalibrasi alat tersebut, dengan laruran
penyangga pH 7, caranya dengan mencelupkan probe ke dalam
larutan penyangga dan stel jarum hingga tepat menunjukkan pH
7.
2) Pengukuran pH larutan dengan mencelupkan probe ke dalam
larutan yang akan dikur pH-nya dan membaca berapa pH yang
ditunjukkan, itulah pH larutan.
3) Mencuci probe dengan aquadest jika sudah selesai, dan melap
dengan tisue lembut, dan menutup dengan sarungnya.
4. Termometer
a. Untuk mengukur suhu udara dengan satuan oC/oK/oF.
b. Cara penggunaan :
1) Memegang alat pada pegangannya kemudian melihat skala yang
ditunjukkan.
2) Bila perlu sebelum digunakan skala alat harus diskala nol dengan
diberi pendingin.
5. Hygrometer
a. Kegunaan untuk mengukur kelembaban udara dengan satuan %
b. Cara penggunaan :

3
1) Meletakkan alat pada permukaan tempat yang akan diukur dan
dibiarkan beberapa saat kemudian melihat skala yang
ditunjukkan.
6. Altimeter
a. Kegunaan untuk mengukurketinggian tempat dengan satuan meter
dpl
b. Cara penggunaan :
1) Meletakkan alat pada permukaan tanah yang datar dari tempat
yang akan diukur biarkan beberapa saat dan melihat skala yang
ditunjukkan alat.
7. Lux Meter
a. Kegunaan untuk mengukur intensitas cahaya dengan satuan lux bath.
b. Cara penggunaan :
1) Mengkalibrasi alat sebelum digunakan yaitu skala 1.
2) Mengarahkan penerimaan cahaya alat pada datangnya cahaya
yang akan diukur dengan menentukan besarnya intensitas cahaya
bertahap dari 1x, 10x dan 100x.
3) Apabila skala rendah (1x) masing mengukur skala 1 maka
tingkatkan yang lebih tinggi yaitu 10x dan apabila masih 1
diteruskan pada yang lebih tinggi yaitu 100x.
4) Melihat angka yang ditunjukkan alat yaitu dapat dari angka yang
sering muncul atau kisarannya.
8. Sechi disk
a. Kegunaan untuk mengukur kecerahan air dengan satuan meter.
b. Cara penggunaan :
1) Alat ini berupa porselen warna putih yang bisa dilihat di dalam
permukaan air kemudian diberi tali.
2) Memasukkan sechi disk ke dalam permukaan air sampai warna
putihnya tidak terlihat lagi dan bila ditarik sedikit terlihat warna
putihnya, kemudian pegang tali mulai permukaan air.

4
3) Kemudian mengukur tali dari permukaan air sampai batas sechi
disk.

9. Bola arus
a. Kegunaan untuk mengukur kecepatan arus air dengan satuan
meter/detik.
b. Cara penggunaan :
1) Mengukur tali dan mengikat bola pimpongnya misalnya 5 meter.
2) Kemudian satu orang berdiri membelakangi arus untuk
melepaskan bolanya. Satu orang lagi memegang stopwatch untuk
menghitung waktunya.
3) Melepaskan bola bersamaan dengan perhitungan waktu,
kemudian menghentikan stopwatch setelah bola mencapai jarak 5
meter sesuai dengan panjang talinya. Melihat angka yang
ditunjukkan oleh stopwatch.
10. Light trap
Cara penggunaan:
1) Mengumpulkan semua komponen light trap
2) Memasang semua komponen light trap
3) Memasang light trap yang sudah dirakit pada pohon atau kayu pada
tempat yang akan diamati
4) Menghubungkan lampu dengan aliran listrik untuk menyalakan lampu
5) Mengamati setiap beberapa jam sekali.
11. Multitester
Cara penggunaan lux meter:
1. Mengkalibrasi alat sebelum digunakan.
2. Mengarahkan penerimaan cahaya alat pada datangnya cahaya
3. Melihat angka min max yang ditunjukkan alat yaitu dapat dari angka
yang sering muncul atau kisarannya.
Cara penggunaan anemometer:
1. Menormalkan skala pada alat

5
2. Mengarahkan pada tempat yang agak tinggi dengan arah alat pada
datangnya angin. Membiarkan beberapa menit (± 5 menit).
3. Setelah itu melihat skala min max yang ditunjukkan untuk besarnya
kecepatan angina
Cara penggunaan hygrometer:
1) Meletakkan alat pada permukaan tempat yang akan diukur dan
dibiarkan beberapa saat kemudian melihat skala yang ditunjukkan.
12. Jaring serangga
Cara penggunaan:
1) Saat ada serangga yang sedang terbang, ayunkan jaring ke arah
serangga
2) Saat serangga sudah masuk ke dalam jarring, putar jaring agar
serangga terjebak dan tidak keluar.
13. Kompas
Cara penggunaan:
1) Meletakkan kompas pada tangan dan memasukkan ibu jari ke cincin
kompas
2) Kemudian dekatkan mata pada kompas
3) Cari suatu benda yang dapat dijadikan titik, lalu bidik dan lihat berapa
angka yang ditunjukkan kompas tersebut
4) Untuk mencari derajat yang lain bisa menggerakkan tubuh sampai
ditemukan derajat atau arah yang diinginkan
14. Teropong
Cara penggunaan:
1) Mendekatkan teropong ke mata
2) Cari titik atau benda yang akan diamati
3) Kemudian atur fokus untuk hasil yang jelas
15. Ekman grab
Cara penggunaan:
1) Membuka Ekman grab dengan cara menginjak Ekman grab

6
2) Tarik kedua tali kawat yang ada di samping dan kaitkan pada pengait
agar Ekman grab tidak kembali tertutup
3) Lemparkan Ekman grab ke dasar air
4) Kencangkan tali pegangan kemudian jatuhkan pemberat sampai
menyentuh Ekman grab
5) Angkat dan buka Ekman grab untuk mengeluarkan lumpur yang telah
terambil.
16. Plankton net
Cara penggunaan:
1) Mengambil sampel air
2) Siramkan ke sisi-sisi Plankton net
3) Ambil botol penampung pada bagian bawah Plankton net
4) Pindahkan sampel air ke botol yang gelap.
17. Salinometer
Cara penggunaan:
1) Mengambil air dan memasukkan ke dalam tabung.
2) Memasukkan alat ke dalam tabung berisi air dan melihat skala pada
salinometer.

III. TEORI DASAR


Lingkungan merupakan kompleks dari faktor yang saling
berinteraksi satu sama lainnya, tidak saja antara faktor-faktor biotic dan
abiotik, tetapi juga antara biotic maupun abiotik itu sendiri. Dengan
demikian secara operasional adalah sulit untuk memisahkan satu faktor
terhadap faktor-faktor lainnya tanpa mempengaruhi kondisi keseluruhannya.
Meskipun demikian untuk memahami struktur dan berfungsinya faktor
lingkungan ini, secara abstrak kita bisa membagi faktor-faktor lingkungan
ke dalam komponen-komponennya. Berbagai cara dilakukan oleh para pakar
ekologi dalam pembagian komponen lingkungan ini, salah satunya adalah
pembagian di bawah ini :

7
i. Faktor iklim, meliputi parameter iklim utama seperti cahaya, suhu,
ketersediaan air dan angin.
ii. Faktor tanah, merupakan karakteristik dari tanah seperti nutrisi tanah,
reaksi tanah, kadar air tanah, dan kondisi fisika tanah.
iii. Faktor topografi, meliputi pengaruh dari terrain seperti sudut
kemiringan, aspek kemiringan tanah, tinggi dari permukaan laut.
iv. Faktor biotik, merupakan gambaran dari semua interaksi dari organisme
hidup seperti kompetisi, peneduhan, dan sebagainya. (Dharmono, dkk,
2020)

8
IV. HASIL PENGAMATAN

NO NAMA ALAT PENGUKURAN KISARAN SATUAN


I II III
1. Bola arus 0,021 0,03 0,033 0,021-0,033 m/s
2. Light trap - - - - -
3. Secchi disk 32 49 33 32-49 cm
4. Anemometer Min 0 0 0,51 0-0,51 m/s
Max 0,68 0,34 0,70 0,34-0,70
5. Multitester
Terdedah
- Lux meter Min >2000 2490 389 389->2000 lux
Max >2000 2750 577 577->2000
- Anemometer Min 30,5 36,2 38,4 30,5-38,4 m/s
Max 34,9 36,9 38,7 34,9-38,7
- Hygrometer Min 42,2 41,4 42,9 42,2-42,9 %
Max 42,3 42,5 43,3 42,3-43,3
6. Lux meter (manual) 350  >5000  >5000 350- >5000 lux
7. Jaring serangga - - - Sp1 : -
Belalang
Coklat
Sp2 : Capung
Hijau
8. Kompas U 70 10 - ˚(derajat)
9. Soil Tester
- pH 6,4 6,1 6,2 6,1-6,4 -
- Kelembaban 70 62 80 62-80 %
10. Hygrometer 74 74 73 73-74 %
11. Termometer 34 34 33 33-34 ˚C
12. pH meter 7,7 7,7 7,6 7,6-7,7
13. Altimeter -1 0 0 -1-0 mdpl
14. Teropong - - - Burung Paruh dan
kutilang ekor
hitam,
badan
warna
coklat

15. Ekman Grab 2 2 4 - -


16. Plankton net - - - - -
17. Salino meter 0 0 0 0 ppm

9
V. ANALISIS DATA

Lingkungan merupakan semua faktor eksternal yang bersifat biologis


danlangsung mempengaruhi kehidupan pertumbuhan dan reproduksi
organisme. Lingkungan abiotik merupakan suatu komponen atau faktor yang
segala sesuatunya tidak bernyawa, yaitu seperti tanah, udara, air, iklim,
kelembaban, cahaya dan bunyi. Lingkungan biotik yaitu suatu komponen atau
faktor yang bernyawa atau hidup, seperti manusia, hewan, tumbuhan dan
mikroorganisme. Dalam suatu ekosistem terdapat satuan untuk menghitung dan
mengelompokkan makhluk hidup yaitu berupa individu, populasi dan
komunitas. Jumlah anggota populasi dapat mengalami perubahan karena
kematian, kelahiran dan migrasi. (Heddy, 1986)
Secara garis besar, faktor lingkungan terbagi atas dua, yaitu faktor biotik
dan abiotik. Faktor biotik terdiri atas manusia, hewan, tumbuhan dan
mikroorganisme. Sedangkan faktor-faktor abiotik contohnya adalah tanah, air,
cahaya, udara, suhu, kelembaban, curah hujan, dan lain-lain. Baik faktor biotik
maupun abiotik memberikan pengaruh yang sangat besar bagi suatu organisme.
(Heddy, 1986)
Faktor lingkungan abiotik secara garis besar dapat dibagi atas faktor fisika
dan faktor kimia. Faktor fisika antara lain ialah suhu, kadar air, porositas, dan
tekstur tanah. Faktor kimia antara lain adalah salinitas, pH, kadar organik
tanah, dan unsur-unsur mineral tanah. Faktor lingkungan abiotik sangat
menentukan struktur komunitas hewan-hewan yang terdapat di suatu habitat.
(Suin, 1997)
Pengetahuan mengenai alat-alat yang digunakan ketika kegiatan
praktikum, dapat memudahkan praktikan untuk melaksanakan kegiatan
praktikum, khususnya praktikum Ekologi Hewan. Praktikum Ekologi Hewan
sendiri menggunakan banyak alat yang khusus dan beraneka ragam untuk
mengetahui kondisi-kondisi ekosistem yang sedang dianalisis secara akurat.
Maka tidak heran pengetahuan mengenai alat-alat praktikum sangat dibutuhkan
oleh praktikan untuk mendukung lancarnya kegiatan praktikum Ekologi Hewan
yang dilakukan.

10
Pengetahuan mengenai fungsi, spesifikasi, cara kerja, serta prinsip kerja
alat merupakan hal yang wajib diketahui mengingat peran alat yang sangat
fundamental dalam kegiatan praktikum ekologi. Selain itu, pengetahuan wajib
dimiliki oleh masing-masing ekolog agar alat tidak mudah rusak mengingat
peralatan ekologi memiliki harga yang kebanyakan tidak murah.
Pada praktikum ini digunakan beberapa alat untuk mengukur parameter
lingkungan. Alat-alat tersebut adalah soil tester, anemometer, pH meter,
termometer, hygrometer, altimeter, lux meter, sechi disc, salinometer, Ekman
grab.
a. Lux meter
Lux meter berfungsi untuk mengukur intensitas cahaya di suatu
tempat dengan satuan lux. Cara penggunaannya adalah dengan
mengkalibrasi alat yang akan digunakan yaitu skala 1. Arahkan alat ke
arah datangnya cahaya. Lalu menunggu sampai skala terlihat diam.
Apabila skala melewati angka 500 lux, maka skala diubah menjadi 10x
dan apabila masih melewati angka 500 lux, maka ditutup dengan tangan ½
bagian. Dan jika tetap mencapai angka 500 lux, maka ditutup ¾
bagiannya. Bedasarkan hasil pengamatan intesitas cahaya bekisar 350 -
5000 lux. (Hardjosuwarno. 1994)

b. Soil Tester
Soil tester mempunyai bagian ujung runcing. Bagian ujung yang
runcing inilah yang digunakan untuk ditancapkan ke tanah sampai batas
warna kuning. Soil tester berguna untuk mengukur pH tanah dan
kelembaban tanah. Cara menggunakannya adalah dengan menancapkan
ujung alat yang runcing ke dalam tanah hingga sel-selnya berada di dalam
tanah. Lalu, diamkan selama 2-3 menit dan kemudian lihat skala besar/
atas untuk melihat pH tanah. Sedangkan untuk melihat kelembaban tanah
dengan cara menekan tombol yang berada di samping alat dan lihat skala
kecil/ bawah dengan satuan % (persen). Berdasarkan hasil pengukuran
diketahui bahwa tanah disekitar lingkungan pengamatan bersifat asam

11
dengan rentang 6,1-6,4 pH dan kelembapan tanah 62-80%. (Djuwanto.
2000)

c. Hygrometer
Hygrometer berfungsi untuk mengukur kelembaban udara dengan
satuan %. Hygrometer yang digunakan berbentuk bulat dan dilakukan
pengamatan pada 3 titik ternaung dan 3 titik terdedah. Cara
penggunaannya adalah dengan menggantungkan alat pada cabang pohon
lalu mendiamkannya selama 3-5 menit atau sampai skala (jarum panjang)
berhenti bergerak. Berdasarkan hasil pengukuran ditempat terdedah yaitu
42,3-43,3 dan ditempat ternaung yaitu 48,6-52,6.
Tinggi rendahnya kelembaban udara di suatu tempat sangat
bergantung pada beberapa faktor yaitu (Umar, 2012):
a) Suhu
b) Tekanan udara
c) Pergerakan angina
d) Kuantitas dan kualitas penyinaran
e) Vegetasi
f) Ketersediaan air di suatu tempat (air, tanah, perairan).

d. Thermometer
Termometer digunakan untuk mengukur suhu udara dengan satuan
0
C/0K/0F, yang sering digunakan adalah 0C. Cara penggunaan adalah
dengan menggantungkan alat pada cabang pohon lalu mendiamkannya
selama 3-5 menit. Setelah itu barulah dilihat skalanya. Saat pengamatan,
pengukuran suhu udara didapatkan hasil yaitu 33-340C.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya suhu udara
disuatu daerah:
a) Sudut datang sinar matahari
Semakin tegak sudut pandang sinar matahari maka energi panas yang
diterima semakin besar.

12
b) Cerah semakin besar
Semakin cerah cuaca, energi yang sampai ke permukaan bumi semakin
banyak.
c) Lama penyinaran matahari
Daerah yang lebih lama menerima radiasi maka derah tersebut akan
semakin panas.
d) Letak lintang
Semakin dekat dengan eguator, suhu udara semakin panas.
e) Ketinggian tempat
Semakin mendekati daerah pantai maka suhu udara akan semakin
panas. (Suryati, 2007)

e. Sechi disk
Sechi disc berfungsi untuk mengukur tingkat kecerahan air dengan
satuan cm. Sechi disc berupa porselen berbagai macam warna yang bisa
dilihat di dalam permukaan air yang kemudian diberi tali. Lalu,
memasukkan sechi disc ke dalam air yang akan diukur tingkat
kecerahannya sampai warnanya tidak terlihat lagi. Kemudian, tali
dipegang di bagian yang tepat dengan batas air di permukaan air itu.
Kemudian, mengukur panjang tali dari permukaan air sampai ke batas
sechi disc. Semakin keruh air, maka semakin pendek jarak antara
permukaan air sampai ke batas sechi discnya. Sebaliknya, jika air nampak
jernih, maka jarak antara permukaan air dengan batas sechi discnya akan
semakin panjang.
Perbedaan warna secchi mempengaruhi nilai kedalaman secchi.
Secchi disk merupakan kontras instrument mata manusia dalam melihat
objek (Secchi disk) dan juga background lingkungan perairan, sehingga
pembacaan hasilnya bergantung pada ketajaman visual dari pengamat.
Secchi putih disarankan untuk pengukuran kecerahan di laut, secchi
berwarna hitam digunakan untuk di sungai atau perairan mengalir,
sedangkan secchi kombinasi hitam putih digunakan di perairan tergenang

13
atau danau, hal ini disebabkan disesuaikan dengan kondisi background
masing-masing perairan tersebut. Warna merah-putih memiliki nilai
kecerahan yang hampir sama dengan warna hitam-putih, dibandingkan
dengan warna hijau-putih dan kuning-putih.
Tabel Interpretasi Kedalaman secchi

Kedalaman Keterangan
Secchi
< 20 cm Perairan sangat keruh. Jika kekeruhan disebabkan oleh
phytoplankton maka konsentrasi oksigen terlarut pada
pagi hari akan rendah. Jika disebabkan oleh partikel
tersuspensi maka produktivitas perairan rendah.

20-30 cm Kekeruhan mulai tinggi.

30-45 cm Kondisi perairan yang baik, terutama jika kekeruhan


disebabkan oleh phytoplankton.

45-60 cm Phytoplankton jarang ditemukan.

> 60 cm Perairan jernih, produktivitas sangat rendah dan dapat


menimbulkan masalah dengan tanaman air

Berdasarkan hasil pengukuran diketahu bahwa kisaran pengukuran


Sechi disc yaitu 32-49 cm. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perairan
yang baik, terutama jika kekeruhan disebabkan oleh phytoplankton dan
phytoplankton jarang ditemukan. (Hardjosuwarno. 1994)

f. Salinometer
Salinometer berfungsi untuk mengukur salinitas atau kadar garam
air. Cara penggunaannya dengan memasukkan air yang akan diukur
salinitasnya/ kadar garamnya ke dalam gelas ukur. Kemudian, memasukkan
salinometer dan melihat skala yang ada pada salinometer. Apabila air
mengandung kadar garam, maka salinometer akan mengapung dan
sebaliknya. (Djuwanto. 2000)

g. Bola arus

14
Pergerakan air atau arus air diperlukan untuk ketersediaannya
makanan bagi jasad renik dan oksigen. Selain itu untuk menghindari karang
dari proses pengendapan. Adanya adukan air yang disebabkan oleh adanya
pergerakan air akan menghasilkan oksigen di dalam perairan tersebut. Pada
umumnya bila suatu perairan mempunyai arus yang cukup deras maka
kadar oksigen yang terlarut juga akan semakin tinggi. Berdasarkan hasil
pengukuran diketahui bahwa kisaran pengukuran bola arus yaitu 0,021-
0,033 m/s.
Pengukuran debit air sangat dipengaruhi oleh kecepatan arus air.
Kecepatan arus yang berkaitan dengan pengukuran debit air ditentukan oleh
kecepatan gradien permukaan, tingkat kekasaran, kedalaman, dan lebar
perairan. Pengukuran debit air juga sangat memiliki peranan yang penting
dalam dunia perikanan atau pemanfaatan perairan. Melalui pengukuran
debit air maka dapat diketahui kemampuan perairan untuk menyuplai air
untuk kebutuhan mahkluk hidup seperti manusia, maupun hewan dan
tumbuhan. (Umar, 2012)

h. Altimeter
Altimeter berfungsi untuk mengukur ketinggian suatu tempat
dengan satuan mdpl. Cara penggunaannya adalah dengan meletakkan alat
pada permukaan tempat yang akan diukur ketinggiannya. Lalu
mendiamkannya selama beberapa menit sekitar 2-3 menit atau sampai
skalanya berhenti bergerak. Dari hasil pengukuran ditiga titik pengamatan
didapatkan hasil yaitu -1-0 mdpl. Altimeter secara umum bekerja dengan
beberapa prinsip yaitu:
1) Tekanan udara (yang paling umum dipakai)
2) Mangnet bumi (dengan sudut inclinasi)
3) Gelombang (ultrasonic ataupun infra merah dan lain sebagainya)
4) Pemakaian Altimeter biasanya selalu diikuti dengan pemakaian
kompas.

15
Altimeter bekerja berdasar pada tekanan udara sesuai naiknya
angka ketinggian. Jika alat ini akan dipakai sebaiknya jangan dimasukkan
kedalam tas/ransel karena hal tersebut bisa mempengaruhi prinsip kerja
altimeter. Di dalam pengukuran sangat dibutuhkan suatu ketelitian,
keakuratan, dan kepekaan. Pengukuran menggunakan altimeter analog
seringkali menghasilkan pengukuran yang tidak akurat karena banyaknya
faktor kesalahan yang mempengaruhi. Untuk mengurangi faktor kesalahan
maka altimeter dibuat secara digital. (Beckwith, 1987)

i. pH meter
pH meter berfungsi untuk mengukur pH air. Cara menggunakannya
adalah membuka tutup pH meter, kemudian geser ke arah tombol “on”.
Setelah itu dicelupkan ke dalam air dan tidak boleh terlalu lama. Batas
mencelupkannya hanya sampai garis penutup pada pH meter. Jika air
memiliki pH 1-7, maka air itu bersifat asam. Sedangkan, jika air itu
memiliki pH di atas 7, maka air itu bersifat basa.
Secara alamiah, pH perairan dipengaruhi oleh konsentrasi
karbondioksida (CO2) dan senyawa bersifat asam. Perairan umum dengan
aktivitas fotosintesis dan respirasi organisme yang hidup didalamnya.
Tinggi atau rendahnya nilai pH air tergantung pada beberapa faktor yaitu:
a) Konsentrasi gas-gas dalam air seperti CO2
b) Konsentrasi garam-garam karbonat dan bikarbonat
c) Proses dekomposisi bahan organik di dasar perairan. (Suryati. 2007)

j. Multitester
Alat yang terdapat yaitu ada Hygrometer untuk mengukur
kelembapan udara. Luxmeter untuk mengukur intensitas cahaya dan
Anemometer untuk mengukur kecepatan angin. Multitester ini satu alat
namun memiliki banyak fungsi sekaligus. Berdasarkan hasil pengamatan,
didapatkan kisaran pengukuran lux meter yaitu 577- >2000 lux. Kisaran

16
pengukuran anemometer yaitu 34,9-38,7 m/s. Kisaran pengukuran
hygrometer yaitu 42,3-43,3 %. (Umar, 2012)

k. Ekman Grab
Ekman Grab (Grab sampler) berfungsi untuk mengambil sedimen
permukaan yang ketebalannya tergantung dari tinggi dan dalamnya grab
masuk kedalam lapisan sedimen. Alat ini biasa digunakan untuk mengambil
sampel sedimen pada perairan dangkal. Ekman Grab berfungsi untuk
mengambil makrozoobenthos di sungai /perairan yang dasarnya lumpur.
Ekman Grab ini dapat digunakan dan dioperasionalkan dengan mudah,
hanya dengan menggunakan boat kecil alat ini dapat diturunkan dan
dinaikkan dengan tangan.
Pengambilan sampel sedimen dengan alat ini dapat dilakukan oleh
satu orang dengan cara menrunkannya secara perlahan dari atas boat agar
supaya posisi grab tetap berdiri sewaktu sampai pada permukaan dasar
perairan. Pada saat penurunan alat, arah dan kecepatan arus harus
diperhitungkan supaya alat tetap konstant pada posisi titik sampling.
Keuntungan pemakaian grab sampler adalah lokasi sampel dapat
ditentukan dengan pasti, perkiraan kedalam perairan dapat diketahui,
sedangkan kerugiannya adalah sampel teraduk, dan beberapa fraksi sedimen
yang halus mungkin hilang. (Djuwanto. 2000).

VI. KESIMPULAN
1. Lingkungan abiotik adalah semua benda mati di permukaan bumi yang
bermanfaat dan berpengaruh dalam kehidupan
2. Mengetahui keadaan lingkungan abiotik penting untuk mengetahui
keadaan lingkungan
3. Lingkungan abiotik yang di amat adalah intensitas cahaya, kelembapan
udara, temperature, kejernihan air, ketinggian tempat, kecepatan arus, pH
tanah dan sebagainya

17
4. Alata yang digunakan yaitu Lux meter ,Soil
tester ,Klinometer ,Hygrometer ,Termometer, Sechi
disc ,Salinometer ,Bola arus ,Altimeter, pH meter dan sebagainya

VII. DAFTAR PUSTAKA


Beckwith Thomas G., Buck N. Lewis, Marangoni Roy D. 1987.
Pengukuran Mekanis. Erlangga. Jakarta.

Dharmono, dkk. 2020. Penuntun Praktikum Ekologi Hewan. PMIPA FKIP


UNLAM. Banjarmasin.

Djuwanto. 2000. Petunjuk Praktikum Ekologi. UNY Press. Yogyakarta.

Hardjosuwarno. S. 1994. Metode Ekologi Hewan. Fakultas Biologi UGM.


Yogyakarta.

Heddy, S. , 1986,  Pengantar Ekologi, CV Rajawali, Jakarta.

Suin, N. M. 1997. Ekologi Hewan tanah. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta.

Suryati. 2007. Pengantar Ekologi. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.

Umar, M. Ruslan. 2012. Penuntun Praktikum Ekologi Umum. Universitas


Hasanuddin. Makassar.

18
EKOLOGI TUMBUHAN
(ABKC 2604)

PRAKTIKUM II
SAMPLING KOMUNITAS MENURUT METODE RELEVE
PRAKTIKUM II

Topik : Sampling Komunitas Menurut Metode Releve


Tujuan : 1. Untuk menentukan ukuran plot minimal suatu komunitas
dengan metode releve.
: 2. Menguji apakah area minimal yang didapatkan sudah bisa
digunakan untuk sampling komunitas.
Hari / Tanggal : Minggu – Sabtu/ 16 - 22 Februari 2020
Tempat : Lingkungan Desa TabanioKecamatan Takisung, Kabupaten
Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan

I. ALAT DAN BAHAN


A. Alat :
1. Roll meter 8. Tali rapia
2. Gunting/cutter 9. Headlamp
3. Patok kayu 10. Parang
4. Alat dokumentasi 11. Termometer
5. Alat tulis 12. Hygrometer
6. Meteran 13. Anemometer
7. Plastik sampel 14. Lux meter

B. Bahan:
1. Herba (rumput-rumputan)
2. Semak
3. Pohon

II. CARA KERJA


1. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2. Melakukan segmentasi pada vegetasi herba, yaitu terdedah.
3. Menentukan stand secara subjektif pada masing-masing urea.

18
4. Menentukan area minimal dengan teknik nested plot yang dimulai dari
ukuran plot 0,5 x 0,5 m², kemudian diperbesar 2 kali, 4 kali, 8 kali dan
seterusnya sampai tidak ada penambahan spesies lagi.
5. Mencatat semua spesies yang ada dalam plot komulatif.
6. Membuat tabel untuk menentukan area minimal berdasarkan jumlah total
spesies komulatif dari plot-plot tersebut.
7. Mengadakan replikasi sebanyak 5 plot untuk masing-masing area dengan
ukuran plot sesuai area minimal yang didapatkan.
8. Melakukan pengambilan data parameter lingkungan dan mencatat hasil
pengamatan.
9. Mengidentifikasi tumbuhan yang ditemukan.
10. Menggambar grafik berdasarkan hasil pengamatan.
11. Mencatat nama spesies dan penutupan masing-masing spesies.

III. TEORI DASAR


Langkah pertama yang harus dilakukan untuk mengkaji vegetasi
dengan metode releve adalah melakukan segmentasi vegetasi, sehingga
dapat ditemukan batas-batas komunkasi dari suatu vegetasi. Kemudian pada
setiap komunitas ditentukan sampel stand secara subyektif.
Syarat-syarat dari sampel stand adalah:
1. Cukup luas untuk memuat semua jenis dari komuntitas.
2. Habitatnya uniform
3. Penutupan tumbuhan tampak homogen.
Area sampel minimal
Area sampel minimal adalah persyaratan luas daerah suatu releve
(plot), dan area minimal suatu vegetasi memberi petunjuk ukuran releve
atau kuadrat yang harus dipakai untuk sampling.
Area minimal sangat tergantung pada macam komunitas untuk
vegetasi daerah temperate berdasarkan nilai empiris adalah:
a. Hutan stratum pohon (temperate) yaitu 200- 500 m².
b. Hutan stratum tumbuhan bawah yaitu 50 – 200 m².

19
c. Padang rumput kering yaitu 50 – 200 m².
d. Perdu kerdil kering yaitu 10 – 25 m².
e. Padang jerami yaitu 10 – 20 m².
f. Padang gembala yang dipupuk 5 – 10 m².
g. Komunitas gulma pertanian yaitu 25 – 100 m².
h. Komunitas lumut yaitu 1 – 4 m².
i. Komunitas lichens 0,1 – 1 m².
Cara menentukan area minimal adalah pertama-tama diletakkan
kuadrat berukuran 0,5 m X 0,5 m atau 0,25 m X 0,25 m untuk vegetasi
herba, dan semua jenis tumbuhan yang ada dicatat. Kemudian luas plot
diperluas 2X, 4X, 8X, dan seterusnya, sampai tidak ada penambahan spesies
lagi. Hasilnya masukan ke dalam tabel.
Dengan menggunakan tabel tersebut dibuat kurva spesies area
yaitu dengan memplotkan jumlah jenis tumbuhan pada sumbu Y dan luas
area pada sumbu X. Area minimal ditentukan oleh titik pada kurva di mana
kurva telah mulai mendaftar sehingga diperoleh luas area minimal.
Perkiraan jumlah individu
Pada metode releve tidak perlu menghitung jumlah individu
secara akurat, cukup diperkirakan saja, yang dipentingkan adalah jumlah
semua spesies yang hadir. Braun Blanquet telah menciptakan sistem praktis
untuk menganalisis, sehingga cara memperkirakan jumlah tersebut banyak
digunakan peneliti.

20
Skala penutupan Braun Blanquet adalah:
5 = sembarang jumlah dengan penutupan > 75%
4 = sembarang jumlah dengan penutupan > 50 – 75%
3 = sembarang jumlah dengan penutupan > 25 – 50%
2 = sembarang jumlah dengan penutupan > 5 – 25%
1 = banyak, tetapi penutupan < 5%
+ = beberapa dengan penutupan kecil
r = soliter, dengan penutupan kecil

1 2
4
3 6
5

Gambar 1. Sistem nested plot untuk menentukan area minimal

Garis semu (x . v)

Jumlah individu

Area minimal

0 ? ? Luas kuadran
Gambar 2. Grafik area minimal yang dicari

21
22
IV. HASIL PENGAMATAN
A. Tabel Hasil Perhitungan
1. Herba
No
Ukuran Plot Jumlah sp
.
1. 0,5 x 0,5 m 6
2. 0,5 x 1 m 2
3. 1x1m 4
4. 1x2m 3
5. 2x4m 4

2. Semak
No. Ukuran Plot Jumlah sp
1. 1x1m 4
2. 1x2m 3
3. 2x4m 1
4. 4x4m 1

3. Pohon
No
Ukuran Plot Jumlah sp
.
1. 5x5m 3
2. 5 x 10 m 2
3. 10 x 10 m 1
4. 10 x 20 m 3

23
B. Kurva Hasil Pengamatan
1. Herba
20
18
16
14
12
Axis Title

10
8 Y-Values
6
4
2
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5
Axis Title

2. Semak
10
9
8
7
6
Axis Title

5
4 Y-Values
3
2
1
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Axis Title

24
3. Pohon
10
9
8
7
6
Axis Title

5
4 Y-Values
3
2
1
0
0 50 100 150 200 250
Axis Title

C. Tabel Parameter Lingkungan


Pengulangan
Nama Alat   1 2 3 Kisaran
Termometer   29˚C 30˚C 30˚C 29-30˚C
Min 0.1 m/s 0 m/s 0.2 m/s 0-0.2 m/s
Ma
Anemometer x 0.5 m/s 0.3 m/s 0.6 m/s 0.3-0.6 m/s
1359.2 >20000 1359.2->20000
Min 5556.3 lux lux lux lux
Ma >20000 1994.8 >20000 1994.8->20000
Lux meter x lux lux lux lux
Hygrometer   70,00% 72,00% 71,00% 70-72%

25
D. Foto Pengamatan dan Literatur
a. Herba
No Nama spesies Foto Pengamatan Foto Literatur
1 Phragmites
australis

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Michael, 2018)


2 Cuscuta
epthymum L

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Kew, 2017)


3 Trifolium
subterraneum

Sumber : (Key, 2016)


Sumber: (Kelompok 13, 2020)
4 Sphenopus
divaricatus

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Jose, 2019)

26
5 Spergula arvensis
L

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Roser, 2015)


6 Arenaria
serpyllifolia

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Somerset, 2017)


7 Myosolis
ramosissima

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Olivier, 2007)


8 Veronica
urticifolia

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Dolomiti, 2012)


9 Biysmus
compressus L.

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Alamy, 2017)

27
10 Galium aparine
L..

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Kew, 2016)


11. Ononis spinosa

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Antonio, 2006)


12. Calamagrostis
pseudophragmites

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Veronica, 2017)


13 Polygonum
glaucum

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Arthur, 2014)


14 Cynodon dactylon

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Cynda, 2017)

28
15 Trifolium repens

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Badrinath, 2008)


16 Mentha aquatica

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Ponds, 2017)


17 Tipularia discolor

Sumber : (Prem, 2010)


Sumber: (Kelompok 13, 2020)
18 Rubus ulmifolius

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Apinguela, 2010)

29
19 Fimbristylis
dichotoma

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Thomas, 2017)

b. Semak
No Nama spesies Foto Pengamatan Foto Literatur
1. Ligustum vulgare

Sumber : (Ares, 2019)


Sumber: (Kelompok 13, 2020)
2 Polygonum
maritimum L.

Sumber : (Walker, 2016)


Sumber: (Kelompok 13, 2020)
3 Teucrium scorodonia
L.

30
Sumber : (Riky, 2015)
Sumber: (Kelompok 13, 2020)
4 Rhapis gracilis

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber: (Nisa, 2016)


5 Laurus nobilus L.

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber: (March, 2004)


6 Euphorbia peplus L.

Sumber: (Jardins, 2019)


Sumber: (Kelompok 13, 2020)
7 Ochthocharis
bornensis

Sumber : (Suratno, 2017)


Sumber: (Kelompok 13, 2020)

31
8 Fagus sylvatica

Sumber: (Kelompok 13, 2020)


Sumber : (Daniel, 2018)
9 Chromolaena
odorata L.

Sumber : (Lino, 2019)


Sumber: (Kelompok 13, 2020)

c. Pohon
No Nama spesies Foto Pengamatan Foto Literatur
1 Flacourtia
rukam

Sumber: (Kelompok 13, 2020)


Sumber : (Rusyana, 2011)

32
2 Syzygium
jambos L.

Sumber : (Anges, 2017)

Sumber: (Kelompok 13, 2020)


3 Ficus
benjamina L.

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Laila, 2011)

4 Mangifera
indica

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Novi, 2007)

33
5 Tapura
guianensis

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Guyane, 2013)


6 Dillenia
suffruticosa

Sumber : (Riverine, 2013)

Sumber: (Kelompok 13, 2020)


7 Hoya carnosa
L.

Sumber : (Jojonomic, 2019)

Sumber: (Kelompok 13, 2020)

34
8 Ligustrum
lucidum

Sumber : (Aryanto, 2012)

Sumber: (Kelompok 13, 2020)


9 Fraxinus
excelsior L.

Sumber : (Framingham, 2020)

Sumber: (Kelompok 13, 2020)

35
V. ANALISIS DATA
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, maka dapat
diketahui bahwa pengamatan dilakukan pada jenis tumbuhan herba, semak,
dan pohon. Pada pengamatan herba, plot pertama dengan ukuran 0,5 x 0,5 m
ada 6 spesies yang ditemukan, pada plot 0,5 x 1 m ditemukan spesies baru
lagi yaitu ada 2 spesies, pada plot 1 x 1 m terjadi penambahan spesies lagi
sebanyak 4 spesies, pada plot 1 x 2 m terjadi penambahan spesies lagi
sebanyak 3 spesies, dan pada plot 2 x 4 m terjadi penambahan spesies
sebanyak 4 spesies. Setelah itu tidak ditemukan lagi spesies herba yang
berbeda.
Sedangkan hasil pengamatan yang telah dilakukan pada jenis tumbuhan
semak, maka dapat diketahui bahwa pada plot pertama yaitu ukuran 1 x 1 m
ada 4 spesies yang ditemukan, pada plot 1 x 2 m ditemukan spesies baru lagi
yaitu ada 3 spesies, pada plot 2 x 4 m terjadi penambahan spesies lagi
sebanyak 1 spesies, pada plot 4 x 4 m terjadi penambahan spesies lagi
sebanyak 1 spesies. Setelah itu tidak ditemukan lagi spesies semak yang
berbeda.
Kemudian pada hasil pengamatan yang telah dilakukan pada jenis
tumbuhan pohon, maka dapat diketahui bahwa pada plot pertama yaitu
ukuran 5 x 5 m ada 3 spesies yang ditemukan, pada plot 5 x 10 m ditemukan
spesies baru lagi yaitu ada 2 spesies, pada plot 10 x 10 m terjadi penambahan
spesies lagi sebanyak 1 spesies, pada plot 10 x 20 m terjadi penambahan
spesies lagi sebanyak 4 spesies. Setelah itu tidak ditemukan lagi spesies
pohon yang berbeda.
Berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan, apabila setelah
penambahan beberapa plot jumlah jenis spesies tidak bertambah dari plot
sebelumnya, maka praktikum dihentikan. Karena pada luas tersebut tidak
terjadi penambahan spesies baru atau jumlah spesies dari plot sebelumnya
tetap artinya luas tersebut sudah mewakili karakteristik komunitas yang ada
disana karena sejumlah  sampel dikatakan representatif bila didalamnya
terdapat semua atau sebagian jenis tanaman yang membentuk komunitas atau
vegetasi sehingga daerah minimal tersebut dapat mencerminkan kekayaan
atau vegetasi.
Setelah itu dibuatlah grafik untuk menentukan luas area minimal
komunitas herba. Ditariklah garis x dan y dimana x menunjukkan luas area
dan y menunjukkan jumlah kumulatif. Dibuatlah titik-titik pada grafik yang
disesuaikan antara jumlah kumulatif spesies yang didapatkan dengan luas
area. Untuk mendapatkan garis persinggungan maka diperoleh dari rumus
: X = √(𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑙𝑜𝑡) dan Y : √(∑𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠). Setelah garis singgung awal
terbentuk, maka ditariklah garis singgung sejajar untuk mendapatkan titik
singgungnya. Dari titik garis singgung ini lah nanti dapat didapatkan luas area
minimal.
Releve adalah suatu plot yang berdasar minimal area sehingga sampling
komunitas menurut metode releve plot yang dipakai berdasarkan Releve atau
minimal area. Sedangkan pada metode koordinasi atau analisis kontinum
dipakai kuadrat atau plot hitung yang berukuran lebih kecil daripada releve
(Hardiansyah, 2010).
Klasifikasi bertujuan untuk mengelompokkan individu ke dalam
kategori-kategori sedemikian sehingga bahan yang sama dimasukkan dalam
satu kelas. Koordinat bertujuan melukiskan tiap individu stand ke dalam
bentuk model geometrik (Hardiansyah, 2010).
Metode klasifikasi ini tumbuh berkembang dari metode releve atau plant
list dengan tujuan memperoleh check list tumbuhan secara lengkap dalam
satu seri releve atau plot dengan lingkungan uniform. Metode ini bekerja
dengan komunitas homogen dipandang dari jenis dominan dan subdominan
pada lapisan vegetasi yang ada teknik metode ini bertujuan membuat
deskripsi melalui klasifikasi dan public group tumbuhan yang muncul
kembali yang secara visual dapat mudah dibedakan. Biasanya intensitas
sampling tinggi karena sampling untuk pemunculan kembali atau recording
melibatkan replikasi sampling tinggi. Jenis spesies hadir dan tak hadir
dianggap lebih penting daripada variasi komunitas karenanya metode ini
bersifat kualitatif (Hardiansyah, 2010).

37
Metode koordinasi tubuh dari metode survei kayu atau timber survei dan
umumnya mengabaikan tumbuhan bawah. Metode ini bekerja dengan
komunitas yang hanya homogen berdasarkan pada jenis dominan atau lapisan
dominan saja. Sehingga umumnya komunitas lebih luas dan karenanya dapat
bersifat heterogen pada tumbuhan bawah dan pada habitatnya. Tujuannya
adalah membuat deskripsi melalui koordinasi, yaitu menyusun sampel
standar. Dalam susunan kesamaan, dengan cara sampling baik secara acak,
sistematik, atau subjektif di sepanjang kontinu floristik atau gradien
lingkungan. Intensitas sampling pada metode ini dapat tinggi atau
rendah.Tiap sampel stand dapat tinggi atau rendah dan tiap sampel stan dapat
berisi kelompok tumbuhan yang sangat berbeda atau perbedaannya rendah,
replikasi sampling tidak begitu diutamakan, dan adanya pola recurring atau
kemunculan kembali adalah masalah kesempatan saja jenis yang hadir dan
tindakan yang dianggap kurang penting daripada variasi kecil dalam kuantitas
sehingga metode ini terutama bersifat kuantitatif (Hardiansyah, 2010).
Metode klasifikasi dengan analisis releve berkembang di Eropa dan
metode koordinasi dengan analisis kontinum berkembang di Amerika di
Amerika Utara. Kedua-duanya sungguh bersifat komplementer, dan sampel
stand untuk klasifikasi dapat pula dipakai untuk koordinasi karena perbedaan
hanya terletak pada tingkat entitasi dan distribusi sampel saja (Hardiansyah,
2010).
Dalam metode releve kita menggunakan area sampel minimal dan teknik
nested plot. Pada pengamatan kali ini menggunakan teknik nested plot. Area
minimal hanya ditentukan di dalam komunitasnya secara relatif homogen
bukan pada daerah yang bersifat fragmentari. Komunitas fragmentari biasa
jumlah spesies sudah berkurang karena gangguan ternak atau lainnya, jadi
sudah sangat selektif dan sudah terbagi ke dalam segmen yang terlalu kecil.
Cara menentukan minimal area pertama-tama dilakukan dengan meletakkan
kuadrat ukuran 0,5 x 0,4 m (0,250 m), daan semua jenis tumbuhan yang ada
dalam kuadrat tersebut dicatat. Kemudian area sampel ini diperluas 2 kali 0,4
kali 8 kali dan seterusnya dan semua spesies yang terdapat pada tiap ukuran

38
plot dicatat secara komulatif yaitu dengan selalu menambah spesies baru pada
plot yang diperluas. Area sampel terus ditambah sampai spesies baru muncul
menjadi sangat sedikit atau tidak ada lagi (Hardiansyah, 2010).
Komunitas tumbuhan pada suatu daerah menurut Parejiya et al (2013)
dalam Maridi et al (2015) me-rupakan fungsi waktu; meskipun altitude,
kemiringan, latitude, hujan, dan kelembaban memegang peran penting dalam
pembentukan komunitas tumbuhan dan komposisinya. Variasi
keanekaragaman spesies di bawah gradien lingkungan me-rupakan topik
penyelidikan ekologi utama dan dijelaskan sebagai interaksi antara iklim,
produktivitas, interaksi biotik, heterogenitas habitat, dan sejarah. Penutupan
tumbuhan (plant cover) dalam suatu ka-wasan yang terdiri dari beberapa
komuni-tas tumbuhan yang membentuk vegetasi.
Metode releve ini bertujuan membuat deskripsi melalui klasifikasi dan
sampling grup tumbuhan yang muncul kembali yang secara visual dapat
mudah dibedakan. Biasanya intensitas sampling tinggi karena sampling untuk
pemunculan kembali (recurring) melibatkan replikasi sampling tinggi. Jenis
spesies hadir dan tak hadir dianggap lebih penting daripada variasi komunitas,
karenanya metode ini bersifat kualitatif (Hardiansyah, 2010).
Penentuan ini harus mencukupi syarat-syarat, antara lain yang berkaitan
dengan homogenitas : 1) cukup luas untuk memuat semua jenis milik
komunitas, 2) habitat uniform, 3) penutupan tumbuhan tampak homogen,
artinya separoh sample area tidak didominir satu macam spesies dan separoh
sisanya didominir spesies kedua (Hardiansyah, 2010).
Dilihat dari parameter lingkungan faktor abiotik pada penelitian ini yaitu
kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas cahaya. Faktor
abiotik tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Kelembaban Udara
Kelembaban terkait dengan suhu. semakin rendah suhu umumnya
akan menaikkan kelembaban, kelembaban udara berpengaruh terhadap
transpirasi, semakin rendah kelembaban maka semakin tinggi transpirasi.
Kelembaban udara di daerah pengamatan yaitu berkisar antara 70-72%.

39
Kadar air dalam udara dan tanah dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan. Tempat yang lembab menguntungkan bagi
tumbuhan di mana tumbuhan dapat mendapatkan air lebih mudah serta
berkurangnya penguapan yang akan berdampak pada pembentukan sel
yang lebih cepat (Noorhidayati, 2010).
b. Suhu Udara
Suhu udara di daerah pengamatan antara 29-300C. Suhu udara
berperan sebagai pengendali proses-proses fisik dan kimiawi yang
selanjutnya akan mengendalikan reaksi biologi dalam tubuh tanaman.
Suhu ideal yang diperlukan untuk pertumbuhan yang paling baik adalah
suhu optimum, yang berbeda untuk tiap jenis tumbuhan. Tinggi rendahnya
suhu menjadi salah satu faktor yang menentukan tumbuh kembang,
reproduksi dan juga kelangsungan hidup dari tanaman. Suhu yang baik
bagi tumbuhan adalah antara 220C-370C. Temperatur yang lebih atau
kurang dari batas normal tersebut dapat mengakibatkan pertumbuhan yang
lambat atau berhenti (Noorhidayati, 2010)
c. Kecepatan Angin
Kecepatan angin adalah kecepatan udara yang bergerak secara
horizontal. Kecepatan angin di daerah pengamatan yaitu berkisar antara 0-
0.2 m/s untuk pengukuran minimalnya, sedangkan pada pengukuran
maksimal berkisar antara 0.3-0.6 m/s. Kecepatan angin diperlukan dalam
perkembangbiakan tumbuhan ini dengan menerbangkan benih-benihnya
dan tumbuh menjadi tanaman dewasa.
d. Intensitas Cahaya
Intensitas cahaya di daerah pengamatan berkisar antara 1359.2-
>20000 lux untuk pengukuran minimalnya, sedangkan pada pengukuran
maksimalnya berkisar antara 1994.8->20000 lux, hal tersebut karena
pengambilan data dilakukan saat siang hari sehingga intensitas cahaya
tinggi.
Cahaya matahari sebagai sumber energi primer di muka bumi, sangat
menentukan kehidupan dan produksi tanaman. Pengaruh cahaya

40
tergantung mutu berdasarkan panjang gelombang (antara panjang
gelombang 0,4 – 0,7 milimikron). Sebagai sumber energi pengaruh
cahaya ditentukan oleh intensitas cahaya maupun lama penyinaran
(Noorhidayati, 2010).
Menurut Sagar (2008), suatu tumbuhan memiliki kebutuhan akan
intensitas cahaya yang berbeda, sehingga pertumbuhan suatu spesies
berbeda pula. Untuk wilayah yang terbuka biasanya memiliki intensitas
cahaya yang tinggi sehingga jumlah variasi tumbuhan yang tinggi pula.
Kecepatan dan efesiensi fotosintesis tergantung pada berbagai faktor,
baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal meliputi :
struktur dan komposisi komunitas, jenis dan umur tumbuhan, dan
peneduhan. Sedangkan faktor eksternal meliputi : cahaya, karbondioksida,
nutrisi dan suhu (Hardiansyah, 2010).
Organisme di alam dikontrol tidak hanya oleh suplai materi yang
minimum diperlukannya, tetapi juga oleh faktor-faktor lainnya yang
keadaannya kritis. Faktor apapun yang kurang atau melebihi batas
toleransinya akan menjadi faktor pembatas dalam penyebaran jenis. Pada
umumnya, faktor lingkungan dapat membatasi pertumbuhan dan
penyebaran suatu jenis tumbuhan. Faktor-faktor tersebut meliputi : cahaya
matahari, suhu, air, faktor edafik dan fisika tanah, dan gas-gas atmosfer
(Hardiansyah, 2010).
Selain faktor abiotik juga terdapat faktor biotik pada penelitian ini
yaitu berupa interaksi antar komponen biotik, interaksi tersebut dapat
terjadi antar organisme, populasi maupun komunitas. Di alam, pada
umumnya suatu komunitas terdiri atas beberapa populasi baik tumbuhan
maupun hewan. Di antara individu tersebut akan terjadi berbagai
kemungkinan tipe interaksi biologis antara individu yang satu dengan
individu lainnya, contohnya interaksi netralisme mutualisme,
komensalisme, parasitisme, dan predasi (Ramlawati et al., 2017).
Contoh faktor biotik yang terdapat di lapangan adalah interaksi
komensalisme yang menstimulir secara menguntungkan satu organisme

41
tapi tidak berpengaruh terhadap organisme lainnya. Contoh : tumbuhan
epifit seperti lumut, paku-pakuan, dan anggrek. Tumbuhan epifit ini tidak
menyerap makanan (fotositrat) dari tumbuhan inangnya. Terkadang ada
tumbuhan epifit yang berubah menjadi parasit jika tumbuhan inang
mengembangkan organ penyerap (haustoria) yang menembus floem tubuh
inang.

VI. KESIMPULAN
1. Metode releve adalah adalah suatu plot yang berdasarkan atas area minimal,
metode ini biasanya digunakan untuk memudahkan dalam
pengklasifikasian.
2. Pada jenis tumbuhan herba ditemukan 19 spesies, semak 9 spesies, dan
pohon 19 spesies.
3. Faktor lingkungan dapat membatasi pertumbuhan dan penyebaran suatu
jenis tumbuhan. Faktor-faktor tersebut meliputi : cahaya matahari, suhu, air,
faktor edafik dan fisika tanah, dan gas-gas atmosfer.

VII. DAFTAR PUSTAKA


Alamy. (2017). Biysmus compressus. Diakses melalui
https://www.alamy.com/stock-photo/scirpus.html?
sortby=1&page=3 pada 17 Maret 2020.

Anges. (2017). Syzygium jambos L. Diakses melalui


http://vietmania.blogspot.com/2019/04/em-theo-que-huong-ho-
nguyen-cay-man-roi.html pada tanggal 05 Maret 2020.

Antonio. (2006). Ononis spinosa. Diakses melalui


https://www.biodiversidadvirtual.org/herbarium/Ononis-spinosa-
L.-img406840.html pada 17 Maret 2020.

Apinguela. (2010). Rubus ulmifolius. Diakses melalui


http://www.apinguela.com/Plantas/R/Rubus
ulmifolius/rubus_ulmifolius.htm pada 17 Maret 2020.

Ares. (2019). Ligustum vulgare. Diakses melalui https://all.biz/european-


privet-ligustrum-vulgare-60-90-23sh-g10187320UA pada 18 Maret
2020.

42
Arthur. (2014). Diakses melalui
https://nyc.books.plantsofsuburbia.com/polygonum-
glaucumseaside-knotweedpolygonaceae/ pada 18 Maret 2020.

Aryanto. (2012). Ligustrum lucidum. Diakses melalui


http://bonsaiar41.blogspot.com/2012/09/ligustrum.html pada
tanggal 05 Maret 2020.

Badrinath. (2008). Trifolium repens. Diakses melalui


https://sites.google.com/site/efloraofindia/species/a---l/f/fabaceae/
trifolium/trifolium-repens pada 17 Maret 2020.

Cynda. (2017). Cynodon dactylon. Diakses melalui http://origin-


www.bayercropscience.com/gwdsite/gwd/en/pic_CYNDA_2.html
pada 17 Maret 2020.

Daniel. (2018). Fagus sylvatica. Diakses melalui


http://www.euforgen.org/species/fagus-sylvatica/ pada 18 Maret
2020.

Dharmono, dkk. (2020). Penuntun Praktikum Ekologi Tumbuhan.


Banjarmasin: Batang Press.

Dolomiti. (2012). Veronica urticifolia. Diakses melalui


https://public.fotki.com/ngoosen/plantaginaceae/veronica/veronica-
urticifolia.html pada 17 Maret 2020.

Framingham. (2020). Fraxinus excelsior L. Diakses melalui


https://gobotany.nativeplanttrust.org/species/fraxinus/excelsior/
pada tanggal 05 Maret 2020.

Guyane. (2013). Tapura guianensis. Diakses melalui


https://floredeguyane.piwigo.com/picture?/20752 pada tanggal 05
Maret 2020.

Hardiansyah. (2010). Pengantar Ekologi Tumbuhan. Banjarmasin: PMIPA


FKIP ULM.

Jojonomic. (2019). Hoya carnosa L. Diakses melalui


https://jojonomic.com/Cactus-plantes-grasses-279635/plantes-
grasses-Hoya/ pada tanggal 05 Maret 2020.

Jose. (2019). Sphenopus divaricatus. Diakses melalui


http://www.florasilvestre.es/mediterranea/Gramineae/Sphenopus_d
ivaricatus.htm pada 17 Maret 2020.

43
Kew. (2016). Galium aparine. Diakses melalui
http://www.plantsoftheworldonline.org/taxon/urn:lsid:ipni.org:nam
es:30007294-2 pada 17 Maret 2020.

Kew. (2017). Cuscuta epthymum L. Diakses melalui


http://www.plantsoftheworldonline.org/taxon/urn:lsid:ipni.org:nam
es:267419-1 pada 17 Maret 2020.

Key. (2016). Trifolium subterraneum. Diakses melalui


https://keyserver.lucidcentral.org/weeds/data/media/Html/trifolium
_subterraneum.htm pada 17 Maret 2020.

Lambley. (2017). Teucrium scorodonia. Diakses melalui


https://lambley.com.au/plant/teucrium-scorodonia-crispum-
marginatum pada 18 Maret 2020.

Leila. (2011). How To Take Care of Ficus Benjamina Plants. Diakses


melalui http://tree-species.blogspot.com/2009/03/how-to-take-care-
of-ficus-benjamina.html pada tanggal 05 Maret 2020.

Maridi., Alanindra Saputra., dan Putri Agustina. (2015). Analisis Struktur


Vegetasi di Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali. Bioedukasi.
8(1), 28-42.

Michael. (2018). Phragmites australis. Diakses melalui http://cnps-


yerbabuena.org/common-reed-phragmites-australis/ pada 17 Maret
2020.

Novi, Pranitasari. (2017). Klasifikasi Tumbuhan Berbiji Mangga (Mangifera


indica). Diakses melalui
http://novi-biologi.blogspot.com/2011/06/mangga-mangifera-
indica.html pada tanggal 05 Maret 2020.

Olivier. (2007). Myosolis ramosissima. Diakses melalui


https://commons.m.wikimedia.org/wiki/File:Myosotis_ramosissim
a_route-ailly-sur-meuse_55_07042007_1.JPG pada 17 Maret 2020.

Ponds. (2017). Mentha aquatica. Diakses melalui


https://plantsforponds.co.uk/products/water-mint-mentha-aquatica
pada 17 Maret 2020.

Prem. (2010). Tipularia discolor. Diakses melalui


https://alchetron.com/Tipularia-discolor pada 17 Maret 2020.

44
Ramlawatii., Hamka., Siti Saenab., dan Yunus S.R. (2017). Sumber Belajar
Penunjang PLPG 2017 Mata Pelajaran IPA Bab VI Ekologi.
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.

Riverine. (2013). Dillenia suffruticosa. Diakses melalui


http://riverineparks.blogspot.com/2013/01/dillenia-
suffruticosa.html pada tanggal 05 Maret 2020.

Roser. (2015). Spergula arvensis L. Diakses melalui


https://commons.m.wikimedia.org/wiki/File:Corn_Spurrey_(Sperg
ula_arvensis).JPG pada 17 Maret 2020.

Rusyana. (2011). Rukam (Flacourtia rukam). Diakses melalui


http://floranegeriku.blogspot.com/2011/06/rukam-flacourtia-
rukam-zoll-mor.html pada tanggal 05 Maret 2020.

Sagar, R., Singh A., Singh J.S. (2008). Differential effect of woody plant
canopies on species composition and diversity of ground
vegetation: a case study. Tropical Ecology 49(2): 189-197.

Somerset. (2017). Arenaria serpyllifolia. Diakses melalui


https://www.uksouthwest.net/wildflowers/caryophyllaceae/arenaria
-serpyllifolia.html pada 17 Maret 2020.

Thomas. (2017). Fimbristylis dichotoma. Diakses melalui


https://www.wildflower.org/plants/result.php?id_plant=FIDI pada
18 Maret 2020.

Veronica. (2017). Calamagrostis pseudophragmites. Diakses melalui


https://pladias.cz/en/taxon/pictures/Calamagrostis
%20pseudophragmites pada 18 Maret 2020.

Walker. (2016). Polygonum maritimum. Diakses melalui


https://www.brc.ac.uk/plantatlas/plant/polygonum-maritimum pada
18 Maret 2020.

45
EKOLOGI TUMBUHAN
(ABKC 2604)

PRAKTIKUM III
KOMUNITAS HERBA

46
PRAKTIKUM III

Topik : Komunitas Herba


Tujuan : Untuk mengetahui keanekaragaman komunitas herba
Hari / Tanggal : Minggu – Sabtu/ 16 - 22 Februari 2020
Tempat : Lingkungan Desa Tabanio, Kecamatan Takisung, Kabupaten
Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan

I. ALAT DAN BAHAN


A. Alat :
1. Roll meter 7. Tali rapia
1. Gunting/cutter 8. Headlamp
2. Patok kayu 9. Parang
3. Alat dokumentasi 10. Termometer
4. Alat tulis 11. Hygrometer
5. Meteran 12. Anemometer
6. Plastik sampel 13. Lux meter

B. Bahan:
1. Herba (rumput-rumputan)

II. CARA KERJA


1. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2. Menentukan plot secara acak dengan luas sesuai dengan perhitungan plot
minimal untuk herba.
3. Mengadakan replikasi sebanyak 5 plot untuk masing-masing area dengan
ukuran plot sesuai area minimal yang didapatkan.
4. Melakukan pengambilan data parameter lingkungan dan mencatat hasil
pengamatan.
5. Mengidentifikasi tumbuhan yang ditemukan.

45
6. Mencatat nama spesies dan penutupan masing-masing spesies, dan
kemudian menghitung kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), nilai
penting, dan indeks keanekaragamannya.

III. TEORI DASAR


Dalam setiap tipe habitat, kelompok spesies tertentu secara bersama-
sama membentuk suatu komunitas. Anggota komunitas secara bersama-
sama berbagi dalam mendapatkan sinar matahari, air, tanah, dan nutrient
untuk menghasilkan biomassa. Mereka mendaur ulang nutrient dari tanah ke
jaringan hidup dan kembali lagi ke tanah, mereka satu sama lain hidup
bergantian dalam waktu dan ruang.
Umumnya terdapat gradient kenaikan diversitas spesies dari kutub ke
equator, dan dari elevasi tinggi ke rendah. Gradient ini mengikuti gradient
lingkungan yang kompleks, seperti perubahan suhu, tinggi tempat dan lain-
lain.
Komunitas yang stabil (meluas secara regional) dan homogen
memperlihatkan diversitas diversitas secara lebih rendah dari pada
komunitas yang terdiri atas bentuk mosaic atau secara setempat diganggu
pada waktu yang berbeda di masa lampau oleh hempasan angina, api,
penyakit dan lain-lain. Setelah gangguan kemudian, diikuti kenaikan
diversitas sesuai dengan waktu sampai suatu titik di mana didominasi oleh
sedikit spesies yang mampu hidup lama dan berukuran besar yang
mengakibatkan diversitas turun.
Banyak cara yang dipakai dalam kajian ekologi. Salah satu bentuk
kajian yaitu dengan mengadakan pengamatan dan membandingkan dua
lokasi yang diharapkan merupakan dua komunitas/ ekosistem yang berbeda.
Dari kedua lokasi ini dapat diperbandingkan menurut densitas suatu spesies
yang dipilih, atau indeks diversitas dua area atau komunitas tersebut.
Densitas adalah jumlah individu suatu spesies per satuan luas (m² dan
ha) atau per area cuplikan. Dominansi adalah persentasi penutupan suatu
spesies per luas area. Adapun frekuensi adlah kerapatan suatu jenis terdapat

46
di seluruh plot yang diambil. Nilai penting merupakan penjumlahan dari
densitas relatif, dominansi relatif dan frekuensi relatif. Menurut Cox (1978),
bahwa rumus yang digunakan adalah:
jumlah individu suatu spesies
Kerapatatan =
luas area

Kerapatan suatu spesies


Kerapatan relatif = x 100 %
total kerapatan seluruh spesies

Jumlah plot di mana suatu spesies terdapat


Frekuensi =
total seluruh plot

Frekuensi suatu spesies


Frekuensi Relatif = x 100%
total frekuensi seluruh spesies

Nilai Penting = KR + FR

Perhitungan indeks diversitas dapat dihitung menurut rumus


Shannon Winner yaitu:
H = - pi log pi x 3,32
Keterangan: pi = n/N
n = Nilai penutupan atau nilai penting suatu spesies
N = Jumlah penutupan seluruh spesies atau jumlah nilai
penting seluruh spesies
Sedangkan untuk mengetahui apakah kedua area/ komunitas berbeda
nyata atau tidak dalam dominansi, kerapatan, dan nilai penting spesies
penyusunnya atau indeks relatif dapat digunakan t test yaitu:

perbedaan antaradua rerata


t=
standar eror perbedaan

47
Dengan menggunakan derajat kebebasan dan tingkat signifikansi
tertentu, serta dengan membandingkan dengan tabel t dapat diketahui
apakah keduanya komunitas tersebut berbeda nyata atau tidak. (Dharmono,
dkk. 2020)

48
IV. HASIL PENGAMATAN
E. Tabel Hasil Pengamatan
No Nama Spesies Titik ∑ Indi ∑ K (Individu/ KR % F FR % NP% Pi (-) Pi ln Pi
1 2 3 4 5 vidu Cup luas (Cuplikan/
area*titik) titik)
1 Carex 15 18 5 20 5 63 5 2.38 34.05 1.00 25.00 59.05 0.3 0.37
cespitosa L. 4
2 Gnaphallium 10 13 - - - 23 2 0.87 12.43 0.40 10.00 22.43 0.1 0.26
uliginosum 2
3 Sphenopus 5 - 7 8 3 23 4 0.87 12.43 0.80 20.00 32.43 0.1 0.26
divaricatus 2
4 Inula salicina 7 5 13 10 8 43 5 1.62 23.24 1.00 25.00 48.24 0.2 0.34
3
5 Luzula 8 - 3 15 7 33 4 1.25 17.84 0.80 20.00 37.84 0.1 0.31
campestris 8
  ∑ 45 36 28 53 23 185 20 6.98 100.0 4.00 100.0 200.00 1.0 1.53
0 0 0

49
Contoh perhitungan :

Garis singgung = 10+14 = 24 F = cup / titik = 5/5 = 1 cup/titik


Luas plot minimal = 24/2 = 12 FR = F sp / ∑ total F x 100%
Luas Area = 5,3 m² x 5 = 26,5 m² = 1,00 / 4,00 x 100% = 25%
Carex cespitosa L NP = KR + FR = 34,05 + 25%
K = ind/m² = 63/(5,3 x 5) = 59,05%
= 2,38 ind/m2 Pi = n/N = 63/185 = 0,34
KR = K sp / ∑ total K x 100% -Pi Ln Pi = (-0,34) Ln(0,34) = 0,37
= 2,38 / 6,98 x 100% = 34,05 %

Indeks Keanekaragaman
H' < 1 Rendah
1 ≤ H' ≤ 3 Sedang
H' > 3 Tinggi
Sumber : Shannon Wienner

Kesimpulan:
Jadi keanekaragaman komunitas herba dengan metode releve termasuk ke dalam
kategori sedang karena 1<H'<3, yakni 1.53

50
F. Tabel Parameter Lingkungan

Pengulangan
Nama Alat Pengukuran Kisaran
1 2 3
Termometer   27˚C 26˚C 27˚C 26-27˚C
Min 87% 86.70% 86.80% 86.7-87%
Hygrometer
Max 88.30% 88% 87.60% 87.6-88.3%

Min 0 m/s 0 m/s 0 m/s 0 m/s


Anemometer
Max 0 m/s 0.8 m/s 0.6 m/s 0-0.8 m/s
Min 0 lux 0 lux 0 lux 0 lux
Lux meter
Max 0 lux 0 lux 0 lux 0 lux

G. Foto Pengamatan dan Literatur


No Nama spesies Foto Nama spesies
1 Carex
cespitosa L

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber: (Pavel. 2010)


2 Gnaphallium
uliginosum

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber: (Androws. 2016)

51
3 Sphenopus
divaricatus

Sumber: (Kelompok 13, 2020)


Sumber: (Jose. 2017)
4 Inula
salicina

Sumber: (Kelompok 13, 2020)


Sumber: (Amadej. 2017)

5 Luzula
campestris

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber: (Shannon. 2017)

52
V. ANALISIS DATA
Area minimal merupakan persyaratan ukuran luas releve (plot) pada
metode releve. Metode ini biasanya digunakan untuk memudahkan dalam
pengklasifikasian. Klasifikasi bertujuan untuk mengelompokkan stand individu
ke dalam kategori-kategori sedemikan rupa sehingga stand yang sama
dimasukkan dalam satu kelas. Ordinasi bertujuan melukiskan tiap individu
stand ke dalam bentuk model geometrik. Metode ini bersifat kualitatif di mana
jenis spesies yang hadir dan tidak hadir dianggap lebih penting daripada variasi
komunitas (Hardiansyah, 2010).
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman komunitas
herba. Vegetasi yang akan dikaji dengan menggunakan metode:
1. Segmentasi, dari diadakan segmentasi dapat ditentukan batas tiap
komunitas.
2. Sampling, dari tiap komunitas diadakan sampling untuk mendapatkan data
berupa informasi komunitas tersebut
3. Menentukan sampel stand dan releve.
Metode ini bertujuan membuat deskripsi melalui klasifikasi dan sampling
grup tumbuhan yang muncul kembali yang secara visual dapat mudah
dibedakan. Biasanya intensitas sampling tinggi karena sampling untuk
pemunculan kembali (recurring) melibatkan replikasi sampling tinggi. Jenis
spesies hadir dan tak hadir dianggap lebih penting daripada variasi komunitas,
karenanya metode ini bersifat kualitatif (Hardiansyah, 2010).
Setelah itu dibuatlah grafik untuk menentukan luas area minimal
komunitas herba. Ditariklah garis x dan y dimana x menunjukkan luas area dan
y menunjukkan jumlah kumulatif. Dibuatlah titik-titik pada grafik yang
disesuaikan antara jumlah kumulatif spesies yang didapatkan dengan luas area.
Untuk mendapatkan garis persinggungan maka diperoleh dari rumus: X = Luas
plot terbesar x 10% dan Y= Jumlah spesies terbanyak x 10%. Setelah garis
singgung awal terbentuk, maka ditariklah garis singgung sejajar untuk
mendapatkan titik singgungnya. Dari titik garis singgung ini lah nanti dapat
didapatkan luas area minimal, yaitu 12 m2. Setelah ditentukan luas area

53
minimal, akarkan titik singgung tersebut sehingga didapatkanlah ukuran plot
minimal suatu komunitas yang bisa dibuat yaitu 4 m × 3 m.
Luas plot minimalnya yaitu 12 m2 dan luas plot saat pengamatan yaitu
4x3. Berdasarkan hasil pengamatan yang terbagi menjadi 5 titik, ditemukan 5
spesies yaitu Carex cespitosa L, Gnaphallium uliginosum, Sphenopus
divaricatus, Inula salicina dan Luzula campestris. Densitas tertinggi diduduki
oleh spesies Carex cespitosa L dengan jumlah kerapatan sebesar 2,38 individu/
titik serta nilai pentingnya sebesar 59,05% dan spesies Gnaphallium
uliginosum, Sphenopus divaricatus dengan jumlah kerapatan terkecil yaitu 0,87
dan nilai penting terkecil pada spesies Gnaphallium uliginosum yaitu 22,43%.
Tumbuhan Carex cespitosa L (True Sedges) banyak dijumpai di wilayah
savannna atau padang rumput dan juga areal terbuka di hutan. Carex cespitosa
L merupakan tumbuhan yang termasuk dalam famili Cyperaceae. Saat ini
hanya beberapa jenis tumbuhan yang termasuk dalam famili Cyperaceae yang
dapat diidentifikasi, terutama yang dijumpai di sekitar danau taman hidup.
Tumbuhan Carex cespitosa L sulit diidentifikasi jika hanya berdasarkan
daunya saja, sehingga diperlukan dokumentasi bunga atau buah dari tumbuhan
tersebut. Jenis ini memilik kemiripan satu dengan yang lainnya, sehingga sulit
untuk dibedakan. Keterbatasan alat dokumentasi juga menjadi kesulitan
tersendiri dalam mengidentifikasi jenis tanaman ini. Selain itu belum ada data
tentang musim berbunga/berbuah tumbuhan ini dan belum ada penelitian yang
fokus pada jenis ini.
Tumbuhan Carex cespitosa L memiliki peranan sangat penting dalam
fungsi ekologi di lahan basah atau lahan kering. Mereka mungkin menjadi
komunitas yang dominan dalam keanekaragaman yang mengesankan di suatu
habitat. Mereka sangat bernilai dalam menstabilkan tanah dan sebagai makanan
bagi satwa liar dan hewan peliharaan. Beberapa spesies dari mereka dikenal
sebagai gulma, sehingga pemahaman terhadap cara persebaran mereka sangat
penting (Wilson et al., 2014)
Spesies Gnaphallium uliginosum dengan nilai penting terkecil yaitu
22,43%. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat tekanan ekologi baik dari faktor

54
biotik (persaingan antar individu tumbuhan) atau faktor abiotik.
Keanekaragaman rendah biasanya terdapat pada komunitas yang ada di daerah
dengan lingkungan yang ekstrim seperti daerah kering, tanah miskin
(Resosoedarmo, Kuswata & Apriliani, 1985).
Tingginya nilai INP mengartikan bahwa suatu jenis tersebut merupakan
dominan dan mempunyai daya adaptasi yang lebih baik dari jenis lainnya.
Menurut Lubis (2009), suatu jenis vegetasi dapat berpengaruh terhadap
kestabilan ekosistem karena bersifat dominan dari jenis lainnya. Indeks Nilai
Penting (INP) menunjukkan peranan jenis tersebut dalam suatu kawasan. Jenis
yang mempunyai INP paling besar berarti mempunyai peranan yang paling
penting di dalam kawasan tersebut. Jenis ini mempunyai pengaruh paling
dominan terhadap perubahan kondisi lingkungan maupun keberadaan jenis
lainnya dalam kawasan tersebut (Abdiyani, 2008).
Faktor–faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap vegetasi
diantaranya adalah ketinggian tempat, kelembaban udara, suhu udara serta
intensitas cahaya matahari. Faktor–faktor lingkungan tersebut berpengaruh
terhadap penyebaran jenis–jenis tumbuhan dan pertumbuhannya.
(Kartasapoetra, 1992)
Frekuensi, kerapatan dan kerimbunan ini merupakan data hasil analisa
kuantitatif yang merupakan data yang penting dalam menentukan peranan atau
spesies atau jenis dalam vegetasinya. Selain data dalam analisa, data hasil
analisa kuantitatif yang diperlukan juga data lain yaitu hasil analisa kuantitatif
yang memberikan sifat khusus dari spesies atau jenis terhadap vegetasi. Karena
dari hasil analisis kuantitatif ini terutama akan memberikan gambaran dari
setiap jenis yang ada pada waktu-waktu yang akan datang. (Rahardjanto, 2001)
Indeks keanekaragaman komunitas herba pada keseluruhan titik
pengamatan dengan nilai rata-rata adalah sedang, karena 1 <H'<3 yakni 1,53.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Shannon Winner yang menyatakan
bahwa apabila indeks keanekaragaman H' < 1, maka keanekaragaman spesies
tersebut rendah. Bila berkisar antara 1 ≤ H' ≤ 3, maka keanekaragaman spesies
tersebut sedang. Bila indeks keanekaragaman H' > 3, maka indeks

55
keanekaragaman spesies tersebut tinggi. Nilai ini menunjukkan bahwa jumlah
jenis diantara jumlah total individu seluruh jenis yang ada termasuk dalam
kategori sedang. Kategori tersebut mengartikan bahwa komunitas sedang
menuju pada kondisi yang stabil.
Nilai H’ 1 ≤ H’ ≤ 3 menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis pada
suatu kawasan adalah sedang, penyebaran jumlah individu tiap jenis sedang
dan kestabilan komunitas sedang. Tinggi rendahnya nilai indeks
keanekaragaman suatu jenis dipengaruhi oleh banyaknya jenis dan jumlah
individu yang ditemukan. (Miardini et al., 2010). Semakin banyak jenis yang
ditemukan maka akan semakin tinggi nilai indeks keanekaragamannya.
Semakin tinggi nilai keanekaragaman suatu kawasan menunjukkan semakin
stabil komunitas di kawasan tersebut. (Samingan, 1976)
Dilihat dari parameter lingkungannya yaitu pada pengamatan suhu udara
menggunakan termometer, menunjukkan bahwa suhu udara disekitar area
tersebut berkisar antara 26-27˚C. Salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi
rendahnya suhu udara suatu daerah adalah lama penyinaran matahari, sebab
lamanya penyinaran matahari membuat tinggi temperatur. Dengan begitu,
dapat diketahui bahwa area tersebut mendapatkan penyinaran yang cukup.
Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat berpengaruh
terhadap kehidupan mahluk hidup, termasuk tumbuhan. Suhu dapat
memberikan pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung. Suhu
dapat berperan hampir pada setiap fungsi dari tumbuhan dengan mengontrol
laju proses-proses kimia dalam tumbuhan.
Suhu sering berperan bersamaan dengan adanya cahaya dan air yang
bertugas untuk mengontrol fungsi-fungsi dari organisme tumbuhan. Untuk
mengukur suhu dalam suatu lingkungan relatif mudah tetapi sulit untuk
menentukan suhu yang cocok untuk pertumbuhan tanaman, apakah suhu
maksimum atau minimum. Dari pengamatan tersebut diketahui bahwa kondisi
suhu lokasi pengamatan optimal terutama bagi pertumbuhan Carex cespitosa.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Fitriany (2015), faktor abiotik
berperan penting dalam keberlangsungan kehidupan tumbuhan. Kelembaban

56
dan suhu udara merupakan komponen iklim mikro yang mempengaruhi
pertumbuhan dan mewujudkan keadaan lingkungan optimal bagi tumbuhan.
Pertumbuhan meningkat jika suhu meningkat dan kelembaban menurun
(Fitriany, 2015).
Selain itu, pH tanah juga berperan penting karena larutan tanah
mengandung unsur hara seperti Nitrogen (N), Pottasium/Kalium (K), dan
Pospor (P) dimana tanaman membutuhkan dalam jumlah tertentu untuk
tumbuh, berkembang dan bertahan terhadap penyakit. Jika pH larutan tanah
mengikat hingga diatas 5,5 Nitrogen (dalam bentuk nitrat) menjadi tersedia
bagi tanaman. Di sisi lain pospor akan tersedia bagi tanaman pada pH antara
6,0 hingga 7,0 (Fitriany, 2015)
Temperatur (suhu) tanah secara langsung mempengaruhi pertumbuhan
tanaman. Tenperatur tanah merupakan salah satu faktor tumbuh tanaman yang
penting sebagaimana air, udara dan unsur hara. Suhu merupakan salah satu
faktor yang mempunyai peranan utama dalam proses pertumbuhan karena suhu
dapat pula mempengaruhi aktifitas metabolisme tanaman. Pengaruhnya
terutama pada proses yang menyangkut reaksi thermokimia, ada tiga fungsi
fisiologis yang dipengaruhi oleh suhu, yaitu metabolisme, asimilasi dan
pernafasan. (Hardjosuwarno, 1994)
Pada pengamatan terhadap kelembapan udara menggunakan hygrometer,
menunjukkan bahwa kelembapan udara disekitar area tersebut berkisar antara
87.6-88.3%. Sehingga dapat dikategorikan bahwa kelembapan udara disana
tinggi. Kelembaban terkait dengan suhu, semakin rendah suhu umumnya akan
menaikkan kelembaban, kelembaban udara berpengaruh terhadap transpirasi,
semakin rendah kelembaban maka semakin tinggi transpirasi. Kadar air dalam
udara dan tanah dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
tumbuhan. Tempat yang lembab menguntungkan bagi tumbuhan di mana
tumbuhan dapat mendapatkan air lebih mudah serta berkurangnya penguapan
yang akan berdampak pada pembentukan sel yang lebih cepat. (Hardiansyah,
2010)

57
Pada pengamatan terhadap kecepatan angin menggunakan 4 in 1
(anemometer), menunjukkan bahwa kecepatan angin disekitar area tersebut
berkisar antara 0-0.8 m/s. Jadi, diketahui bahwa tempat tersebut memiliki
kecepatan angin yang tidak terlalu tinggi. Kecepatan angin adalah kecepatan
udara yang bergerak secara horizontal. Kecepatan angin diperlukan dalam
perkembangbiakan tumbuhan dengan menerbangkan benih-benihnya dan
tumbuh menjadi tanaman dewasa. (Soerianegara, 2005)
Pada pengamatan terhadap intensitas cahaya menggunakan 4 in 1 (lux
meter), menunjukkan bahwa intensitas cahaya disekitar area tersebut yaitu 0
lux. Jadi, diketahui bahwa tempat tersebut memiliki intensitas cahaya yang
redup dikarenakan pengamatan dilakukan pada malam hari. Menurut Sagar
(2008), suatu tumbuhan memiliki kebutuhan akan intensitas cahaya yang
berbeda, sehingga pertumbuhan suatu spesies berbeda pula.Untuk wilayah
yang terbuka biasanya memiliki intensitas cahaya yang tinggi sehingga jumlah
variasi tumbuhan yang tinggi pula. Menurut Hardiansyah (2010), panjang
gelombang maupun intensitas cahaya sangat berperan dalam fotosintesis, sebab
kualitas cahaya merupakan faktor pembatas dalam proses fotosintesis pada
tumbuhan. Adapun intensitas cahaya dapat menetukan jumlah energi yang
sampai pada permukaan daun dan menetukan jumlah energi yang dapat
digunakan dalam proses fotosintesis.
Kecepatan dan efesiensi fotosintesis tergantung pada berbagai faktor,
baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal meliputi : struktur
dan komposisi komunitas, jenis dan umur tumbuhan, dan peneduhan.
Sedangkan faktor eksternal meliputi : cahaya, karbondioksida, nutrisi dan suhu
(Hardiansyah, 2010).
Organisme di alam dikontrol tidak hanya oleh suplai materi yang
minimum diperlukannya, tetapi juga oleh faktor-faktor lainnya yang
keadaannya kritis. Faktor apapun yang kurang atau melebihi batas toleransinya
akan menjadi faktor pembatas dalam penyebaran jenis. Pada umumnya, faktor
lingkungan dapat membatasi pertumbuhan dan penyebaran suatu jenis

58
tumbuhan. Faktor-faktor tersebut meliputi : cahaya matahari, suhu, air, faktor
edafik dan fisika tanah, dan gas-gas atmosfer (Hardiansyah, 2010).

VI. KESIMPULAN
1. Metode releve adalah adalah suatu plot yang berdasarkan atas area minimal,
metode ini biasanya digunakan untuk memudahkan dalam pengklasifikasian.
2. Berdasarkan pengamatan, ukuran plot minimal yang dibuat dengan metode
releve adalah 4 m × 3 m.
3. Berdasarkan pengamatan, diketahui bahwa area minimal yang didapatkan
sudah bisa digunakan untuk sampling komunitas, dengan luas area minimal
yang diperoleh adalah 12 m2.
4. Berdasarkan pengamatan pada area yang diamati, ditemukan 5 spesies
tumbuhan berbeda.
5. Faktor lingkungan dapat membatasi pertumbuhan dan penyebaran suatu jenis
tumbuhan. Faktor-faktor tersebut meliputi : cahaya matahari, suhu, air, faktor
edafik dan fisika tanah, dan gas-gas atmosfer.

VII. DAFTAR PUSTAKA


Abdiyani S. 2008. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Bawah Berkhasiat
Obat Di Dataran Tinggi Dieng. Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam.

Amadej. 2017. Inula salicina. Diakses melalui


https://calphotos.berkeley.edu/ pada 10 April 2020

Androws. 2016. Gnaphallium uliginosum. Diakses melalui


https://vancouverislandgrows.wordpress.com/2016/01/26/gnaphalium-
uliginosum/amp/ pada 10 April 2020

Dharmono, Hardiansyah, Mahruddin, Riefani, M.K dan Utami, N.H. 2020.


Penuntun Praktikum Ekologi Hewan. PMIPA FKIP UNLAM:
Banjarmasin

Fitriany, Mei A.R. 2015. Studi Keanekaragaman Tumbuhan Herba Pada


Area Tidak Bertajuk Blok Curah Jarak di Hutan Musim Taman
Nasional Baluran. Diakses melalui http://karya-ilmiah.um.ac.id/ Pada
tanggal 4 April 2020.

59
Hardiansyah. 2010. Pengantar Ekologi Tumbuhan. PMIPA FKIP UNLAM.
Banjarmasin

Hardjosuwarno. S. 1994. Metode Ekologi Tumbuhan. UGM. Fakultas


Biologi. Yogyakarta.

Jose. 2017. Sphenopus divaricatus. Diakses melalui


http://www.florasilvestre.es/mediterranea/Gramineae/Sphenopus_diva
ricatus.htm pada 10 April 2020

Kartasapoetra G. 1992. Budidaya Tanaman Berkhasiat Obat : Kunyit


(Kunir). Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Lubis SR. 2009. Keanekaragaman Dan Pola Distribusi Tumbuhan Paku Di


Hutan Wisata Alam Taman Eden Kabupaten Toba Samosir Provinsi
Sumatera Utara. Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan.

Miardini A, Boediyono A, Atmoko BD, Harjadi B, Gunawan. 2010.


Analisis Kerentanan Tumbuhan Hutan Akibat Perubahan Iklim.
Badan Penelitian dan Pengembangan Hutan. Solo.

Pavel. 2010. Carex cespitosa. Diakses melalui


https://www.biolib.cz/en/image/id122424/ pada 10 April 2020

Rahardjanto, A. 2001. Ekologi Tumbuhan. UMM Press. Malang.

Resosoedarmo, Kuswata & Apriliani. 1985. Pengantar Ekologi.


http://lib.ui.ac.id. Diakses pada tanggal 04 April 2020.

Sagar, R., Singh A., Singh J.S. 2008. Differential effect of woody plant
canopies on species composition and diversity of ground vegetation: a
case study. Tropical Ecology 49(2).

Samingan T. 1976. Pemantaran metode pendugaan hasil potensi hutan


dalam rangka kelestarian pemungutan hasil hutan. Buletin Persaki.

60
EKOLOGI TUMBUHAN
(ABKC 2604)

PRAKTIKUM IV
TEKNIK SAMPLING TANPA PLOT DENGAN POINT FREQUENCY
FRAME

61
PRAKTIKUM IV

Topik : Teknik Sampling Tanpa Plot Dengan Point Frequency Frame


Tujuan : Untuk menentukan parameter vegetasi frekuensi, dominansi
dan nilai penting tanpa menggunakan plot
Hari/ Tanggal : Minggu-Sabtu/ 16 Februari-22 Februaru 2020
Tempat : Lingkungan Desa Tabanio, Kecamatan Takisung, Kabupaten
Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan.

I. ALAT DAN BAHAN


A. Alat :
1. Point frequency frame
2. Kawat
3. Anemometer
4. Hygrometer
5. Termometer
6. Lux meter
7. Alat tulis

B. Bahan :
1. Komunitas herba di kawasan pinggir Pantai Desa Tabanio
2. Kertas Label
3. Plastik Sempel

II. CARA KERJA


1. Memilih stand/lokasi yang ditumbuhi herba yang cukup lebat atau pada
lokasi yang representatif.
2. Menarik garis transek sepanjang 100 meter dan meletakkan frame
sebanyak 50 kali.
3. Mencatat setiap spesies yang tersentuh/ terpegat oleh kawat pertama kali.

60
4. Membuat tabel pengamatan dari seluruh spesies tumbuhan yang terpegat
dan menghitung penutupan, frekuensi dan nilai pentingnya masing-
masing.

III. TEORI DASAR


Point frequency frame adalah suatu metode yang menggunakan alat yang
dapat terbuat dari kayu, dengan panjang satu meter dan diberi lobang 10 buah
dengan interval jarak yang sama. Alat-alat kayu tersebut dapat diberi tiang
penyangga 2 buah agar dapat berdiri tegak bila dipakai untuk plotting di lapangan
(lihat gambar).
Dengan bantuan kawat yang dimasukkan melalui lubang tersebut ke arah
bawah, maka akan menyentuh/memegat tumbuhan yang ada di bawahnya.
Bila dalam suatu stand/lokasi/transek diletakkan alat tersebut sebanyak 20
kali, dan tiap peletakkan dilakukan 10 kali penusukan, maka dapat diketahui nilai
penutupan suatu spesies dalam persen. Perhitungannya yaitu dengan menghitung
berapa jumlah sentuhan per spesies dibagi seluruh jumlah tusukan dikali seratus.
Misalnya suatu spesies tersentuh seratus kali, jumlah tusukan seluruhnya 200,
maka penutupan spesies tersebut = 100/200 x 100 % = 50 %.
Nilai frekuensi ditentukan dengan menghitung berapa kali suatu spesies
hadir dari seluruh peletakkan frame. Misalnya peletakkan frame ada 20 kali,
sedangkan suatu spesies hanya hadir 20 kali, maka frekuensinya = 5/20 x 100 =
25 % (Dharmono dkk, 2020).

61
IV. HASIL PENGAMATAN
A. Tabel Hasil Pengamatan dan Perhitungan
Tabel 1

Frame Spesies ∑ Sp
A B C D E F G H
1 4 5 1           10
2 1 7   1 1       10
3 2 2 5 1         10
4 3   6 1         10
5 1   9           10
6     10           10
7 2 1 4   3       10
8     5 1 4       10
9   2 4   4       10
10 1   4   3 2     10
11   2 4 1 3       10
12     10           10
13   1 1 4 2 2     10
14   1 1 3 5       10
15 1   1 4 4       10
16   5   2 3       10
17 2 1 2 1 3 1     10
18   3 1 2 4       10
19 3 2   3 2       10
20 1     1 7 1     10
21 1 2 1 2 4       10
22 1 3 1 3 2       10
23 1 4   3 2       10
24 1 2   3 3 1     10
25 1 3   3 2 1     10
26 1 4     5       10
27   3 1 3 3       10
28 1     6 3       10
29 1 7     2       10
30   2   2 4 2     10
31 2 1   4 3       10
32   2   2 1 5     10
33       9   1     10
34   4   2   4     10
35   5   4   1     10
36   3   4 2 1     10
37   3   4     3   10
38   2   6   1 1   10

62
39 4 1   1   4     10
40 1 4   3 2       10
41   1   7 2       10
42 3 1     4 2     10
43 3 2   1 4       10
44 5 2   2 1       10
45 2 3   5         10
46 1 4   5         10
47 1 4   4 1       10
48   2   5 2 1     10
49   1   2 1 6     10
50   1   3 2 4     10
51   3 3         4 10
52   5 2       3   10
53   1 3       6   10
54   7 1         2 10
55   2         7 1 10
56   3         4 3 10
57   3         7   10
58     6 1       3 10
59     6 1       3 10
60     6 1       3 10
61   1 2         7 10
62   1 5         4 10
63   1 4         5 10
64   2 3         5 10
65     5 1       4 10
66   1 1 1       7 10
67     6 1       3 10
68   1 5       1 3 10
69   2 7         1 10
70   1 4       1 4 10
71   2 5         3 10
72     8         2 10
73     4         6 10
74   2 2 2       4 10
75   1 1 5       3 10
76   1 2 4       3 10
77   3 3         4 10
78   1 7 1       1 10
79   2 2 3       3 10
80   2 2 3       3 10
81     2 8         10
82   3 1 2       4 10

63
83   1 2 2       5 10
84   1   6       3 10
85       3       7 10
86   2   6       2 10
87   1 1 5       3 10
88   1 3 1       5 10
89   2 1 2       5 10
90       7     2 1 10
91   1 5         4 10
92     3         7 10
93     7 2       1 10
94     8 2         10
95     7 3         10
96     6 4         10
97     6 4         10
98     8         2 10
99   1 8         1 10
100   1 7 1       1 10
∑ Sp 51 170 251 205 103 40 35 145 1000

Tabel 2
Spesies ∑ Sp ∑ Cu F FR K KR NP% pi(n/ Ln pi -pilnpi H'
% % N)
Eleocharis 51 28 0.0 8.31 0.5 5.1 13.41 0.051 -2.98 0.15
palustris 3 1
Cynodon 170 73 0.0 21.6 1.7 17 38.66 0.17 -1.77 0.30
dactylon 7 6
Andropogo 251 62 0.0 18.4 2.5 25.1 43.50 0.251 -1.38 0.35
n 6 0 1
aciculatus
Poa annua 205 68 0.0 20.1 2.0 20.5 40.68 0.205 -1.58 0.32
1.8
7 8 5
9
Digitaria 103 36 0.0 10.6 1.0 10.3 20.98 0.103 -2.27 0.23
sanguinalis 4 8 3
Eleusine 40 18 0.0 5.34 0.4 4 9.34 0.04 -3.22 0.13
tristachya 2
Eleusine 35 10 0.0 2.97 0.3 3.5 6.47 0.035 -3.35 0.12
indica 1 5
Luzula 145 42 0.0 12.4 1.4 14.5 26.96 0.145 -1.93 0.28
forsteri 4 6 5
∑ 1000 337 0.3 100 10 100 200.0 1 - 1.89
4 0 18.49
Contoh Perhitungan :
1. Eleocharis palustris

64
∑ Cup 28
F = = = = = 0,03 Cup/frame
∑Titik Pengambilan Sampel 1000

F Suatu spesies 0,03


FR = x 100% = x 100% = 8,31 %
∑ F seluruh spesies 0,34

∑ Ind suatu spesies 51


K = =
100 100

= 0,51 Ind/titik

K Suatu spesies 0,51

KR = ∑ K seluruh spesies x 100% = x 100% = 5,1 %


10

NP = FR + KR

= 8,31 + 5,1 = 13,41 %

B. Tabel Parameter Lingkungan


Pengukura Pengulangan
Nama alat Kisaran
n 1 2 3
Min 60.90% 69.40% 73.90% 60.9-73.9%
Hygrometer
Max 61.90% 70.10% 74.80% 61.9-74.80%
Anemomete Min 0 m/s 0 m/s 0 m/s 0 m/s
r Max 0.1 m/s 0 m/s 0 m/s 0-0.1 m/s
Min 35.7˚C 33.8˚C 31.7˚C 31.7-35.7˚C
Termometer
Max 39.9˚C 33.8˚C 31.7˚C 31.7-39.9˚C
Min 293.8 lux 328.2 lux 161.1 lux 161.1-328.2 lux
Lux meter
Max 395.2 lux 405.4 lux 179.1 lux 179.1-405.4 lux

65
C. Foto Pengamatan
No. Nama Sp Foto Pengamatan Foto Literatur
1. Digitaria
sanguinalis

Sumber: (Dok. Kelompok 13, 2020) Sumber : (Rose, 2011)


2. Luzula
forsteri

Sumber: (Dok. Kelompok 13, 2020) Sumber : (Harry, 2012)


3. Cynodon
dactylon

Sumber: (Dok. Kelompok 13, 2020) Sumber : (Carl, 2017)


4. Poa annua

Sumber: (Dok. Kelompok 13, 2020) Sumber : (Michigan,


2018)

66
5. Eleusine
indica

Sumber: (Dok. Kelompok 13, 2020) Sumber : (Azka, 2013)


6.

Eleocharis
palustris

Sumber : (Dok. Kelompok 14, 2020) Sumber : (Stephen, 2019)


7.

Andropogo
n aciculatus

Sumber : (Dok. Kelompok 14, 2020) Sumber : (Zhu, 2017)


8.

Eleusine
tristachya

Sumber : (Dok. Kelompok 14, 2020) Sumber : (Parada, 2012)

V. ANALISIS DATA

67
Pada saat pengambilan sampel dilapangan, digunakan sebuah metode yang
disebut metode point frequency frame. Metode point frequency frame adalah suatu
metode yang menggunakan alat yang dapat terbuat dari kayu, dengan panjang satu
meter dan diberi lobang 10 buah dengan interval jarak yang sama. Penggunaan
metode ini bertujuan untuk menentukan parameter vegetasi frekuensi, dominansi,
dan nilai penting tanpa menggunakan plot (Dharmono dkk, 2020).
Metode point frequency frame ini merupakan salah satu metode dalam
sampling vegetasi tanpa menggunakan plot/ kuadran, yang dimana dalam metode
ini tentunya memiliki kelebihan dan kelemahan dalam melakukan kegiatan
sampling. Adapun beberapa kelebihan dan kelemahan menggunakan metode point
frequency frame dalam mengkaji suatu vegetasi diantaranya adalah:
Kelebihan metode point frequency frame:

1. Metode point frequency frame ini sangat efektif untuk sampling pada
vegetasi yang rendah, seperti herba.
2. Metode ini cukup baik untuk menentukan penutup tanah dan sampul
spesies yang lebih dominan
3. Dalam metode ini para peniliti tidak perlu lagi membuat plot atau kuadran
dalam pengambilan sampel, sehingga akan lebih memudahkan kegiatan
sampling.

Kekurangan metode point frequency frame:

1. Tidak dapatnya melakukan pengukuran kerapatan, yang di ukur hanya


dominansi dan frekuensi suatu vegetasi herba
2. Cara ini terbatas, hanya pada vegetasi rendah.
3. Salah satu keterbatasan yang khusus untuk penggunaan point frequency
frame adalah bahwa sejumlah tertentu poin/titik dikelompokkan dalam
frame yang memberikan perkiraan yang kurang tepat dari penutup dari
jumlah yang sama poin didistribusikan secara individual.

Berdasarkan hasil pengamatan dengan peletakan point frequency frame


yang telah dilakukan sebanyak 100 kali oleh 2 kelompok yang masing-masing

68
kelompok sebanyak 50 kali, ditemukan 8 spesies tumbuhan yaitu Eleocharis
palustris, Cynodon dactylon, Andropogon aciculatus, Poa annua, Digitaria
sanguinalis, Eleusine tristachya, Eleusine indica, dan Luzula forsteri.
Berdasarkan jumlah sentuhan per spesies dapat dihitung penutupan
spesies, sehingga bisa dihitung nilai kerapatan yang paling tinggi. Pada tabel
perhitungan diketahui nilai kerapatan paling tinggi terdapat pada Andropogon
aciculatus. Berdasarkan perhitungan nilai penting, diperoleh hasil bahwa ada 1
jenis tumbuhan yang mempunyai nilai penting terbesar dari jenis tumbuhan yang
ditemukan yaitu: Andropogon aciculatus. Hal ini menunjukkan bahwa spesies-
spesies ini mendominasi atau yang paling dominan pada habitat tersebut.
Sedangkan spesies yang mempunyai nilai penting terkecil adalah Eleusine
indica karena mempunyai nilai penting terkecil yang sama dan nilai indeks
keanekaragaman rendah menunjukkan bahwa terdapat tekanan ekologi baik dari
faktor biotik (persaingan antar individu tumbuhan) atau faktor abiotik.
Keanekaragaman rendah biasanya terdapat pada komunitas yang ada di daerah
dengan lingkungan yang ekstrim seperti daerah kering, tanah miskin
(Resosoedarmo, Kuswata & Apriliani, 1985).
Untuk spesies dengan nilai yang paling besar, yakni Andropogon
aciculatus atau rumput jarum merupakan jenis tumbuhan yang cukup banyak
ditemukan di daerah tersebut, hal ini dikarenakan sifat tumbuhan tersebut yang
pada umumnya dapat bertahan hidup lama dan dalam keadaan tanah dan
lingkungan yang bermacam-macam tanpa memerlukan banyak syarat untuk
tumbuh. Rumput jarum adalah salah satu tumbuhan yang biasanya di gunakan
sebagai pakan ternak, namun tumbuhan ini juga merupakan tumbuhan yang
menganggu atau menghambat pertumbuhan tanaman budidaya (gulma).
Tumbuhan rumput jarum ini termasuk dalam suku Poaceae dengan ordo
Poales yang dapat tumbuh dengan cepat di berbagai media tanah apapun baik
kering maupun ditempat yang lembab. Rumput jarum ini sering ditemui di
kawasan yang rumputnya tidak tebal dan tanahnya tidak mengandung humus yang
banyak serta struktur tanah sedikit keras. (Barus, 2003). Rumput jarum
mempunyai sistem perakaran tunggal yang kuat serta berkembang biak dengan

69
anak bulir. Rumput jarum ini sering dianggap sebagai gulma dan termasuk
tumbuhan berumur tahunan. Batangnya berdiri tegak mencapai tinggi sekitar 0,10
sampai 0,20 meter. (Barus, 2003)
Rumput jarum mas ini ada tiga jenis yaitu yang bunganya berwarna
kuning, merah, dan putih. Dan asal mula disebut rumput jarum mas karena rumput
jarum yang berwarna kuning yang paling banyak ditemui. Rumput secara luas
dianggap sebagai spesies invasif, tetapi beberapa masyarakat menggunakannya
untuk tujuan pengobatan. Adapun kegunaan rumput ini untuk tujuan pengobatan
antara lain cepat mengembalikan stamina bagi ibu yang baru bersalin,
mengembalikan kesehatan rahim, melancarkan darah haid, keputihan, dan sakit
urat. yaitu dengan cara ambil rumput 4 - 5 batang, kemudian rebus dengan air 1.5
liter. dan minum 2 gelas sehari. Pastikan tidak terlalu banyak batang rumput yang
direbus karena bisa membuat kita mual, badan panas dan pusing. Fungsi lainnya
dari tumbuhan ini yaitu menjaga kestabilan ekologi, meningkatkan diversifikasi
habitat, meningkatkan kesuburan tanah dan konservasi tanah. (Sukman, 2001)
Andropogon aciculatus merupakan gulma darat (terristerial weed) yaitu
semua tumbuhan gulma yang hidup dan tumbuhnya di darat dan termasuk gulma
padang rumput. Faktor penentu dominansi gulma, diantaranya: 1) faktor iklim
mikro; 2) faktor edafik terkait tingkat kesuburan lahan; 3) faktor kultur teknis
yang diterapkan di perkebunan. Faktor tersebut kemudian dianalisis untuk melihat
apakah ada hubungan atau korelasi dalam menentukan gulma yang mendominasi
di suatu areal.
Indeks keanekaragaman komunitas rumput dengan metode frame point
pada keseluruhan titik pengamatan dengan nilai rata-rata adalah sedang, karena 1
<H'<3 yakni 1,89. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Shannon Winner yang
menyatakan bahwa apabila indeks keanekaragaman H' < 1, maka keanekaragaman
spesies tersebut rendah. Bila berkisar antara 1 ≤ H' ≤ 3, maka keanekaragaman
spesies tersebut sedang. Bila indeks keanekaragaman H' > 3, maka indeks
keanekaragaman spesies tersebut tinggi. Nilai ini menunjukkan bahwa jumlah
jenis diantara jumlah total individu seluruh jenis yang ada termasuk dalam

70
kategori sedang. Kategori tersebut mengartikan bahwa komunitas sedang menuju
pada kondisi yang stabil.
Nilai H’ 1 ≤ H’ ≤ 3 menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis pada suatu
kawasan adalah sedang, penyebaran jumlah individu tiap jenis sedang dan
kestabilan komunitas sedang. Tinggi rendahnya nilai indeks keanekaragaman
suatu jenis dipengaruhi oleh banyaknya jenis dan jumlah individu yang
ditemukan. (Miardini et al., 2010). Semakin banyak jenis yang ditemukan maka
akan semakin tinggi nilai indeks keanekaragamannya. Semakin tinggi nilai
keanekaragaman suatu kawasan menunjukkan semakin stabil komunitas di
kawasan tersebut. (Samingan, 1976)
Tingginya nilai INP mengartikan bahwa suatu jenis tersebut merupakan
dominan dan mempunyai daya adaptasi yang lebih baik dari jenis lainnya.
Menurut Lubis (2009), suatu jenis vegetasi dapat berpengaruh terhadap kestabilan
ekosistem karena bersifat dominan dari jenis lainnya. Indeks Nilai Penting (INP)
menunjukkan peranan jenis tersebut dalam suatu kawasan. Jenis yang mempunyai
INP paling besar berarti mempunyai peranan yang paling penting di dalam
kawasan tersebut. Jenis ini mempunyai pengaruh paling dominan terhadap
perubahan kondisi lingkungan maupun keberadaan jenis lainnya dalam kawasan
tersebut (Abdiyani, 2008).
Faktor–faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap vegetasi
diantaranya adalah ketinggian tempat, kelembaban udara, suhu udara serta
intensitas cahaya matahari. Faktor–faktor lingkungan tersebut berpengaruh
terhadap penyebaran jenis–jenis tumbuhan dan pertumbuhannya. (Kartasapoetra,
1992),
Dari intensitas cahaya di kawasan tempat penelitan berkisar antara 179.1 –
405.4 lux, dalam hal ini intensitas pada kawasan tersebut cukup cerah. Cahaya
sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan tumbuhan herba. Penempatan
protoplasma secara langsung terhadap sinar berkaitan dengan kematian, tetapi
sinar itu merupakan sumber pokok, tanpa itu tak ada kehidupan. Rumput
merupakan tumbuhan yang sangat membutuhkan cahaya matahari dan termasuk
tumbuhan golongan C-4 atau empat karbon asam organik. Golongan ini

71
mempunyai nilai pertukaran CO2 relatif tinggi dan membutuhkan intensitas
cahaya matahari yang tinggi dalam proses fotosintesis dibandingkan dengan
tumbuhan golongan C-3, sehingga rumput tidak toleran terhadap naungan.
(Odum, 1993)
Kecepatan angin yang berhembus di kawasan tempat penelitian berkisar
antara 0 - 0.1 m/s, ini berarti saat pengamatan angin yang berhembus di daerah
tersebut tidak terlalu berangin. Angin dapat membantu rumput dalam berkembang
biak. Rumput dapat berkembang biak dengan dua cara yaitu melalui biji dan akar
rimpang. Biji rumput yang tertiup angin akan terbang mengikuti arah angin dan
akan tumbuh pada tempat biji tersebut tersangkut/jatuh. Akar rimpang yang
berada di bawah permukaan tanah akan mengeluarkan tunas baru yang akan
menjadi rumput. Dengan sifat-sifat tersebut rumput berkembang biak sangat cepat
dan sulit diberantas. Biji rumput mudah tersebar pada wilayah yang sangat luas
karena ditiup angin dan mampu tumbuh pada tempat yang basah maupun kering,
pada tanah yang subur atau tandus sekalipun. (Friday, 2000)
Kelembaban tanah di wilayah ini adalah 61.9-74.80% yang berarti
kondisinya cukup lembab. Kelembaban tanah ideal untuk pertumbuhan berkisar
antara 59 - 75%. Suhu udara berkisar antara 31.7-39.9˚C. Suhu memiliki arti yang
vital karena suhu menentukan kecepatan reaksi dan kegiatan-kegiatan kimiawi
yang menyangkut kehidupan. Tanaman daerah tropik memiliki suhu maksimum
untuk fotosintesis antara 30-40°C. Suhu dan kelembaban lingkungan sangat
dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, semakin tinggi intensitas cahaya,
maka suhu meningkat dan kelembaban udara menurun, pengaruh curah hujan
tinggi, dapat menyebabkan kelembaban naik.
Adapun untuk tumbuhan Eleusine indica yang merupakan spesies yang
sedikit ditemukan di daerah penelitian, hal ini dapat disebabkan oleh
kondisi/keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan bagi tumbuhan tersebut.
Eleusine indica merupakan rumput yang dapat ditemukan di daerah tropis dan
subtropis, Tanaman ini banyak ditemukan di area persawahan, kebun, pinggir
jalan serta pada jalan setapak. Tanaman ini cepat tumbuh dan berkembang bila

72
memperoleh cahaya cukup banyak dan air berlimpah. Bila kondisi tidak
menguntungkan rumput ini akan cepat mati.

VI. KESIMPULAN
1. Jumlah spesies tumbuhan yang ditemukan ada 8 spesies tumbuhan yaitu
Eleocharis palustris, Cynodon dactylon, Andropogon aciculatus, Poa annua,
Digitaria sanguinalis, Eleusine tristachya, Eleusine indica, dan Luzula forsteri.
2. Spesies yang paling tinggi nilai pentingnya adalah Andropogon aciculatus,
yang berarti spesies ini mendominasi atau yang paling dominan pada habitat.
Sedangkan, Spesies yang paling rendah nilai pentingnya adalah Eleusine
indica.
3. Tinggi rendahnya nilai penting atau peran suatu tanaman tergantung dari
kerapatan dan frekuensi tanaman tersebut dalam mendiami suatu kawasan.
4. Perbedaan jenis yang ditemukan dapat disebabkan oleh spesifikasi yang lebih
lagi yang harus dimiliki suatu lingkungan atau habitat agar tumbuhan itu dapat
tumbuh lebih baik.
5. Kelebihan metode point frequency frame ini sangat efektif untuk sampling
pada vegetasi yang rendah, seperti herba.
6. Kekurangan metode point frequency frame yaitu cara ini terbatas, hanya pada
vegetasi rendah.

VII. DAFTAR PUSTAKA

Abdiyani S. 2008. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Bawah Berkhasiat Obat


Di Dataran Tinggi Dieng. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi
Alam.

Barus, Emanuel. 2003. Pengendalian Gulma Di Perkebunan. Yogyakarta.


Kanisus.

Dharmono, Hardiansyah, Mahruddin, dan Maulana. 2020. Penuntun praktikum


Ekologi Tumbuhan. PMIPA FKIP ULM. Banjarmasin.

Friday, K.S., M.E. Drilling dan D.P. Garrity. 2000. Rehabilitasi Padang
Alang-alang Menggunakan Agro-forestry dan Pemeliharaan Permu-
daan Alam. ICRAF dan Universitas Brawijaya.

73
Kartasapoetra G. 1992. Budidaya Tanaman Berkhasiat Obat: Kunyit (Kunir).
Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Lubis SR. 2009. Keanekaragaman Dan Pola Distribusi Tumbuhan Paku Di


Hutan Wisata Alam Taman Eden Kabupaten Toba Samosir Provinsi
Sumatera Utara. Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan.

Manan, S. 1976. Pengaruh Hutan dan Manajemen Daerah Aliran Sungai.


Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Miardini A, Boediyono A, Atmoko BD, Harjadi B, Gunawan. 2010. Analisis


Kerentanan Tumbuhan Hutan Akibat Perubahan Iklim. Badan
Penelitian dan Pengembangan Hutan. Solo.

Parada, 2012. Diakses melalui http://www.hear.org/ pada 4 Maret 2020

Resosoedarmo, Kuswata & Apriliani. 1985. Pengantar Ekologi.


http://lib.ui.ac.id. Diakses pada tanggal 04 April 2020.

Samingan T. 1976. Pemantaran Metode Pendugaan Hasil Potensi Hutan


Dalam Rangka Kelestarian Pemungutan Hasil Hutan. Buletin
PERSAKI.

Stephen, 2019. Eleocharis palustris. Diakses melalui


http://www.maltawildplants.com/ pada 4 Maret 2020

Sukman Yakub, Yernelis. 2001. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. Fakultas


pertanian Universitas Sriwijaya. Palembang.

Zhu, 2017. Chrysopogon aciculatus. Diakses melalui


http://www.stuartxchange.org/ pada 4 Maret 2020.

74
EKOLOGI TUMBUHAN
(ABKC 2604)

PRAKTIKUM V
METODE TRANSEK UNTUK PENENTUAN STRUKTUR TEGAKAN

75
PRAKTIKUM V

Topik : Metode Transek Untuk Penentuan Struktur Tegakan


Tujuan : Untuk menentukan struktur tegakan vegetasi pohon pada
suatu komunitas
Hari/ Tanggal : Minggu-Sabtu/16-22 Februari 2020
Tempat : Lingkungan Desa Tabanio, Kecamatan Takisung, Kabupaten
Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan

I. ALAT DAN BAHAN

A. Alat :
1. Roll meter 7. Kamera Hp
2. Alat Tulis 8. Kompas
3. Anemometer 9. Klinometer
4. Termometer 10. Meteran jahit
5. Hygrometer 11. Parang
6. Lux meter

B. Bahan :

1. Komunitas pohon di Hutan Pantai Daerah Tabanio


2. Kertas label
3. Kantong plastik
4. Tali rapia
5. Patok kayu
6. Plastik sampel

II. CARA KERJA


1. Menentukan area kajian yang akan dijadikan sampel.
2. Menentukan arah mata angin menggunakan kompas.
3. Membuat plot sebesar 10 x 10 m untuk vegetasi pohon,

75
4. Menghitung jumlah pohon untuk setiap jenis, mengukur r cover untuk
pohon.
5. Menghitung kerapatan, dominansi dan frekuensi masing-masing spesies,
dan melanjutkan dengan menghitung kerapatan relatif, dominansi relatif,
frekuensi relatif dan nilai penting masing-masing jenis.
6. Dari perhitungan di atas, mencari nilai penting tertinggi dan terendah.
7. Mengukur parameter lingkungan seperti pH, kecepatan angin, intensitas
cahaya, suhu, dan kelembaban tanah.

III. TEORI DASAR

Metode ini pada dasarnya adalah metode plot hitung, yang banyak
digunakan oleh orang kehutanan untuk mengadakan survei hutan dan
menyebutkannya sebagai metode survei kayu (Hardjosuwarno, S. 1994).
Metode transek berbeda dengan metode releve, terutama harus
menghitung secara cermat dan akurat jumlah individu tiap spesies yang
terdapat dalam bidang transek tersebut. Parameter yang dapat diukur dalam
sampling komunitas dan bersifat penting dalam metode ini adalah :
1. Kerapatan, yaitu jumlah individu persatuan luas (m2 atau ha) atau
persatuan area cuplikan (area sampel).
2. Dominansi (cover), dapat dihitung dengan dua cara yaitu : a) dengan
mengukur basal area batang setinggi dada (dbh) ; b) mengukur luas
penutupan tajuk (crown cover).
3. Frekuensi adalah jumlah hadirnya suatu spesies pada sejumlah plot yang
dikerjakan. Dalam perhitungan frekuensi tanpa menghitung jumlah
individu, tetapi hanya hadir atau tidaknya dalam plot.
Di samping hal di atas, dalam metode ini juga dapat diketahui parameter
kelas diameter batang, kelas tinggi pohon. Hal ini sangat penting dalam
mempelajari struktur tegakan, terutama dalam memperkirakan komposisi
umur dan proses regenerasi atau peremajaan suatu komunitas (Dharmono et
al., 2020)

76
Berdasarkan kelas diameter batang,pohon dibedakan atas tiga kelas
yaitu :
a) Kelas yang berdiameter kurang dari 3cm dan dikategorikan sebagai
seedling.
b) Kelas diameter 3-10 cm,yang dikategorikan sebagai seedling .
c) Kelas diameter lebih dari 10 cm, yang dikategorikan sebagai pohon
dewasa.
(Dharmono et al., 2020)

77
IV. HASIL PENGAMATAN
A. Tabel Perhitungan Struktur Tegakan Pohon

Tabel Indeks (Struktur Tegakan Pohon)

Indeks Keanekaragaman

No
. Indeks Keanekaragaman

1 H' < 1 Rendah

2 1 ≤ H' ≤ 3 Sedang

3 H' > 3 Tinggi

78
Sumber: Shannon
Wiener

Kesimpulan:

Jadi keanekaragaman jenis spesies pohon pada struktur tegakan tergolong sedang. Karena 1
<H'<3 yakni 2,17

B. Contoh Perhitungan:
1. Flacourtia rukam
 C = (r Cover)2.∏
= (2,93)2. 3.14
= 26,96 m2

 K = ∑ Ind
Luas area.titik

= 7

100.5

= 0,01 ind/m2

 KR (%) = Kind x 100%

79
∑K
= 0,01 x 100 = 10,45 %
0,13
 F = Cup
Titik
= 5 = 1,00 cup/titik
5
 FR (%) = Find x 100%
∑F
= 1,00 x 100 = 11,90 %
8,40
 D= C
Luar area. titik
= 26,96 =0,05
10.10.5
 DR (%) = Dind x 100%
∑D
= 0,05 x 100 = 2,49 %
2,16

80
 NP = KR + FR + DR
NP = 10,45 + 11,90+ 2,49= 24,84
n
 Pi = N
Pi = 7 = 0,10
67
 -Pi ln pi = (-0,10) ln (0,10) = 0,24

C. Tabel Parameter Lingkungan


Pengukura Pengulangan
Nama alat Kisaran
n 1 2 3
Termometer
  33˚C 32˚C 30˚C 30-33˚C

Hygrometer   72-75%
72% 73% 75%
Min 0 m/s 0 m/s 0 m/s 0 m/s
Anemometer 0.5 0.4
Max 0 m/s 0-0.5 m/s
m/s m/s
>2000 1258. >2000 1258.2-
Min
0 lux 2 lux 0 lux >20000 lux
Lux meter
>2000 1594. >2000 1594.2-
Max
0 lux 2 lux 0 lux >20000 lux

81
D. Foto Pengamatan dan Literatur
No Nama Spesies Foto Pengamatan Foto Literatur
1 Flacourtia rukam

Sumber: (Kelompok 13, Sumber : (Rusyana, 2011)


2020)
2 Syzygium jambos L.

Sumber: (Kelompok 13, Sumber : (Anges, 2017)


2020)
3 Ficus benjamina L.

Sumber: (Kelompok 13, Sumber : (Laila, 2011)


2020)

82
4 Fraxinus excelsior
L.

Sumber: (Kelompok 13, Sumber : (Framingham,


2020) 2020)
5 Tapura guianensis

Sumber: (Kelompok 13, Sumber : (Guyane, 2013)


2020)
6 Dillenia suffruticosa

Sumber: (Kelompok 13, Sumber : (Riverine, 2013)


2020)

83
7 Hoya carnosa L.

Sumber : (Jojonomic, 2019)

Sumber: (Kelompok 13,


2020)
8 Ligustrum lucidum

Sumber: (Kelompok 13, Sumber : (Aryanto, 2012)


2020)
9 Mangifera indica

Sumber: (Kelompok 13, Sumber : (Novi, 2007)


2020)

84
V. ANALISIS DATA
Berdasarkan hasil pengamatan, didapatkan vegetasi pohon dengan 9
spesies tumbuhan pada komunitas pohon yang berbeda-beda, pada NP
tertinggi adalah pada pohon Tapura guianensis yaitu 88,54 %, yang didapat
dari penjumlahan kerapatan relative (KR), frequensi relative (FR) dan
dominansi relative (DR). . Indeks nilai penting atau important value index
merupakan indeks kepentingan yang menggambarkan pentingnya peranan
suatu jenis vegetasi dalam ekosistemnya. Apabila INP suatu jenis vegetasi
bernilai tinggi, maka jenis itu mempengaruhi kestabilan ekosistem tersebut.
INP ini berguna untuk menentukan dominansi jenis tumbuhan terdapat suatu
jenis tumbuhan lainnya, karena dalam suatu komunitas yang bersifat
heterogen data parameter vegetasi sendiri-sendiri dari nilai frekuensi,
kerapatan dan dominansinya tidak dapat menggambarkan frekuensi, kerapatan
dan dominansinya tidak dapat menggambarkan secara menyeluruh, maka
untuk menentukan nilai pentingnya yang mempunyai kaitan dengan struktur
komunitasnya dapat diektahui dari indeks nilai pentingnya (Fachrul, 2006).
Dominansi menyatakan suatu jenis tumbuhan utama yang
mempengaruhi dan melaksanakan kontrol terhadap komunitas dengan cara
banyaknya jumlah jenis, besarnya ukuran maupun pertumbuhannya yang
dominan (Fachrul, 2006: 49). Suatu jenis tumbuhan yang mampu
melaksankan kontrol atas aliran energi yang terdapat dalam komunitas
dinamakan ekologi dominan. Kriteria indeks dominansi menurut Simpsons
(Odum, 1993) adalah: 0 < c < 0,5 = tidak ada jenis yang mendominansi, dan
berdasarkan data tersebut maka dapat disimpulkan Tapura guianensis
mendominasi daerah kawan tersebut. Menurut (Rahayu P.N, 2009) hal ini
menunjukkan dengan sedikitnya jumlah jenis maka penguasaan terhadap
tempat tumbuhnya semakin besar, dengan demikian terjadi pemusatan pada
jenis-jenis yang dominan, dengan sedikitnya jumlah jenis memungkinkan
individu-individu dari jenis-jenis tersebut untuk tumbuh dan berkembang
dengan baik. Menurut (Bakri, 2009) dalam (Ripin, 2014) bahwa kondisi fisik
lingkungan seperti kelembaban dan kecepatan angin juga sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan penyebaran biji.
Untuk perhitungan dominansi pada pohon ini diperoleh 0,05 dimana itu
menyatakan suatu jenis tumbuhan utama yang mempengaruhi dan
melaksanakan kontrol terhadap komunitas dengan cara banyaknya jumlah
jenis, besarnya ukuran maupun pertumbuhannya yang dominan (Fachrul,
2006). Suatu jenis tumbuhan yang mampu melaksankan kontrol atas aliran
energi yang terdapat dalam komunitas dinamakan ekologi dominan. Secara
keseluruhan tingkat keanekaragaman tumbuhan untuk struktur tegakan di
hutan pantai Daerah Tabanio untuk komunitas pohon adalah sedang karena 1
≤ H' ≤ 3.
Selain itu pada kawasan pohon luas area yang digunakan adalah sebesar
10 x 10 dengan 5 titik, sehingga didapatkan luas plot adalah 500 m 2
perkelompok sehingga vegertasi pohon yang didapatkan sebanyak 9 spesies
yang berbeda-beda yaitu 1, Flacourtia rukam, 2, Syzygium jambos L., 3, Ficus
benjamina L.4, Fraxinus excelsior L., 5. Tapura guianensis, 6. Dillenia
suffruticosa, 7. Hoya carnosa L., 8. Ligustrum lucidum, 9. Mangifera indica.
Untuk perhitungan frekuensi diperoleh yaitu 1,00 cup/titik ini pada
komunitas pohon karena memiliki nilai frekuensi yang sama, menunjukkan
sebaran jenis tumbuhan dalam ekosistem. Frekuensi dipakai sebagai parameter
vegetasi yang dapat menunjukkan distribusi atau sebaran jenis tumbuhan
dalam ekosistem atau memperlihatkan pola distribusi tumbuhan. Nilai yang
diperoleh dapat menggambarkan kapasitas reproduksi dan kemampuan
adaptasi serta menunjukkan jumlah “sampling unit” yang mengandung jenis
tumbuhan tertentu (Fachrul, 2006).
Perhitungan frekuensi digunakan menunjukkan sebaran jenis tumbuhan
dalam ekosistem. Frekuensi dipakai sebagai parameter vegetasi yang dapat
menunjukkan distribusi atau sebaran jenis tumbuhan dalam ekosistem atau
memperlihatkan pola distribusi tumbuhan. Nilai yang diperoleh dapat
menggambarkan kapasitas reproduksi dan kemampuan adaptasi serta

86
menunjukkan jumlah “sampling unit” yang mengandung jenis tumbuhan
tertentu (Fachrul, 2006).
Menurut Richard (1966) dalam Wicaksono dan Muhdin (2015) struktur
tegakan merupakan sebaran individu tumbuhan dalam lapisan tajuk,
sedangkan Meyer et al. (1961) dalam Wicaksono dan Muhdin (2015)
mengartikan struktur tegakan sebagai sebaran pohon per satuan luas dalam
berbagai kelas diameternya. Struktur tegakan berkaitan erat dengan
penguasaan tempat tumbuh yang dipengaruhi oleh besarnya energi cahaya
matahari, ketersediaan air tanah dan hara mineral bagi pertumbuhan individu
tersebut
Struktur tegakan adalah distribusi jenis dan ukuran pohon dalam tegakan
atau hutan yang menggambarkan komposisi jenis, distribusi diameter,
distribusi tinggi dan kelas tajuk (Susanti, 2014).
Struktur tegakan terdiri dari struktur vertikal (stratifikasi tajuk) dan
struktur horizontal (Susanti, 2014).
a. Stratifikasi tajuk Stratifikasi bertujuan untuk mengetahui dimensi (bentuk)
atau struktur vertikal suatu vegetasi dari hutan yang dikaji. Adapun cara
untuk mengetahui struktur vertikal hutan, setiap individu pohon yang
dijumpai di dalam petak ukur dikelompokkan berdasarkan kelas tinggi atau
lapisan stratum. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1998), lapisan stratum
terdiri dari stratum A (> 30 meter), stratum B (20 − 30 meter), stratum C (4
− 20 meter), stratum D (1 − 4 meter) dan stratum E (0 − 1 meter) dimana
stratum A, stratum B dan stratum C menunjukkan stratifikasi tingkat
pertumbuhan pohon, sedangkan stratum D dan stratum E menunjukkan
stratifikasi tumbuhan penutup tanah (ground cover), semak dan perdu.
b. Struktur horizontal Struktur horizontal untuk mengetahui penyebaran
diameter pohon di hutan (struktur horizontal), maka setiap individu yang
dijumpai di dalam petak ukur dikelompokkan berdasarkan kelas diameter
(Onrizal et al. 2005) dengan kerapatannya dan berdasarkan pola penyebaran
individu jenis yang ada dalam suatu wilayah.

87
Pada praktikum ini yaitu tentang penggunaan metode transek untuk
menentukan struktur tegakan. Dimana tegakan merupakan sebaran jumlah
pohon per satuan luas yang berdasarkan kelas diameternya. Tegakan
merupakan unit agak homogen yang dapat dibedakan dengan jelas dari
tegakan di sekitarnya oleh komposisis, struktur, tempat tumbuh atau
geografinya. Struktur jenis tegakan dalam ekosistem merupakan hasil
penataan ruang dan komponen penyusun tegakan, penutupan vegetasi dan
penyebarannya dalam ruang, keanekaragaman serta kesinambungan jenis
(Fachrul,2006). Jadi, struktur tegakan pohon merupakan suatu masyarakat
tumbuhan yang luas yang merupakan hasil penataan ruang dan komponen
penyusun tegakan. Berdasarkan kelas diameternya, maka pohon pada hasil
pengamatan dikategorikan sebagai pohon dewasa yaitu berdiameter lebih dari
10 cm.
Salah satu metode dalam analisis vegetasi tumbuhan yaitu dengan
menggunakan jalur transek. Untuk mempelajari suatu kelompok hutan yang
belum diketahui keadaan sebelumnya paling baik dilakukan dengan transek.
Campbell (2004) dalam Arista., et al (2017). Tujuan transek adalah untuk
mengetahui hubungan perubahan vegetasi dan perubahan lingkungan, atau
untuk mengetahui jenis vegetasi yang ada di suatu lahan secara cepat. Dalam
hal ini, apabila vegetasi sederhana maka garis yang digunakan semakin
pendek. Transek ialah jalur sempit melintang lahan yang akan dipelajari/
diselidiki. Untuk hutan, biasanya panjang garis yang digunakan sekitar 50 m-
100 m. sedangkan untuk vegetasi semak belukar, garis yang digunakan cukup
5 m - 10 m. Apabila metode ini digunakan pada vegetasi yang lebih
sederhana, maka garis yang digunakan cukup 1 m Heddy (1996) dalam
Arista., et al (2017).
Dengan menggunakan metode transek dapat diketahui bahwa transek
yaitu metode yang biasa digunakan untuk mengetahui vegetasi tumbuhan.
Metode ini bisa digunakan untuk mempelajari suatu kelompok hutan yang luas
dan belum diketahui sebelumnya, salah satu parameter yang diukur yaitu
diameter batangnya. Cara ini paling efektif untuk mengetahui analisa vegetasi

88
hutan berdasarkan jumlah vegetasi pohon yang ada di area Arista., et al
(2017).
Selain itu, seluruh spesies pohon yang didapat umumnya merupakan
pohon peneduh atau pelindung, dan memiliki bentuk yang sangat tinggi dan
besar serta memiliki ciri-ciri umum tinggi pohon ± 10-25 m. Fungsi pohon ini
untuk menyokong seluruh kehidupan di dalam hutan. Pohon yang didapatkan
juga merupakan pohon yang dapat tumbuh di daerah tropika basah sampai
pada ketinggian ±1500-3000 mdpl dan dapat beradaptasi denga cukup
terhadap kisaran suhu, curah hujan dan kondisi tanah. Di hutan sekunder
biasanya hadir sebagai pohon sisa-sisa pra-gangguan. Kebanyakan pada
aluvial (tanah aluvial) seperti rawa, hutan bakau, tepi sungai, tapi kadang-
kadang juga ditemukan di bukit dan pegunungan. Selain itu, keadaan tanahnya
subur dan juga gembur. Kelembapan nya rendah dengan pencahayaan
matahari yang cukup, sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung secara
sempurna.
Frekuensi, dominansi, nilai penting dan indeks keanekaragaman pada
praktikum vegetasi pohon ini dapat pula dikarenakan oleh berbagai faktor,
diantaranya adalah faktor abiotik yang terdiri atas suhu udara, kelembapan
udara, kecepatan angin, dan intensitas cahaya.
Kelembaban udara berkaitan erat dengan suhu lingkungan, semakin
rendah suhu maka kelembaban udara akan semakin naik. Kelembaban udara
berpengaruh terhadap transpirasi, semakin rendah kelembaban maka semakin
tinggi transpirasi. Hal ini selaras dengan kelembaban udara daerah hutan
pantai Daerah Tabanio saat pengamatan yaitu berkisar 72-75% yang memiliki
kelembaban cukup tinggi. Dimana hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan pada vegetasi pohon. Kadar air dalam udara dan tanah
dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Tempat
yang lembab menguntungkan bagi tumbuhan di mana tumbuhan dapat
mendapatkan air lebih mudah serta berkurangnya penguapan yang akan
berdampak pada pembentukan sel yang lebih cepat (Noorhidayati, 2010).

89
Suhu udara di hutan pantai Daerah Tabanio untuk komunitas semak dan
pohon memiliki suhu berkisar antara 30-33◦C. Berdasarkan data tersebut dapat
dilihat bahwa kondisi suhu didaerah tersebut stabil, hal ini mungkin saja
dikarenakan dengan kondisi vegetasi didaerah tersebut yang masih banyak
ditumbuhi oleh tumbuhan, akibatnya semakin banyak tumbuhan besar maka
semakin luas covered pohon yang akan mempengaruhi suhu pada bawah tajuk
menjadi lebih rendah, karena cahaya matahari terhalangi oleh dedaunan.
Menurut Nilam Sari (2014), keragaman suhu yang terjadi di hutan hujan tropis
terutama ditentukan oleh perimbangan sinar matahari yang terhalang oleh
daun dan percabangan pohon pada tingkat yang berbeda. Kondisi tajuk pohon
sangat mempengaruhi perbedaan suhu diantara lapisan atas hutan dengan
lapisan bawah. Menurut Arief (1994) untuk hutan tropis suhu udara yang baik
bagi tumbuhan berkisar antara 22-33 0C. Dari angka yang diperoleh tersebut
berarti suhu udaranya masih berada dalam kisaran tersebut. Apabila suhu
melampaui batas maksimum dan minimum, pertumbuhan dan perkembangan
tumbuhan akan terhenti. Suhu udara berperan sebagai pengendali proses-
proses fisik dan kimiawi yang selanjutnya akan mengendalikan reaksi biologi
dalam tubuh tanaman. Suhu ideal yang diperlukan untuk pertumbuhan yang
paling baik adalah suhu optimum, yang berbeda untuk tiap jenis tumbuhan.
Tinggi rendahnya suhu menjadi salah satu faktor yang menentukan tumbuh
kembang, reproduksi dan juga kelangsungan hidup dari tanaman. Suhu yang
baik bagi tumbuhan adalah antara 22◦C-37◦C. Temperatur yang lebih atau
kurang dari batas normal tersebut dapat mengakibatkan pertumbuhan yang
lambat atau berhenti (Noorhidayati, 2010)
Untuk komunitas pohon, tumbuhan Mangifera indica memiliki Ʃ
covered terbesar yaitu 4,76 m2. Semakin luas covered pohon maka
mempengaruhi suhu pada bawah tajuk menjadi semakin rendah, karena
cahaya matahari dapat terhalangi oleh dedaunan. Oleh sebab itu, suhu saat
pengamatan relatif rendah. Menurut Nilam Sari (2014), keragaman suhu yang
terjadi di hutan hujan tropis terutama ditentukan oleh perimbangan sinar
matahari yang terhalang oleh daun dan percabangan pohon pada tingkat yang

90
berbeda. Kondisi tajuk pohon sangat mempengaruhi perbedaan suhu di antara
lapisan atas hutan dengan lapisan bawah.
Kecepatan angin adalah kecepatan udara yang bergerak secara
horizontal. Kecepatan angin di hutan Pantai Daerah Tabanio untuk komunitas
semak dan komunitas pohon pada pengukuran minimalnya yaitu berkisar 0
m/s, sedangkan pengukuran maksimanyal yaitu berkisar antara 0-0.5 m/s.
Kecepatan angin ini diperlukan dalam perkembangbiakan tumbuhan ini
dengan menerbangkan benih-benihnya dan tumbuh menjadi tanaman dewasa.
Maka dari itu, vegetasi pohon banyak ditemukan di sekitaran hutan pantai
Tabanio.
Sedangkan untuk intensitas cahaya di hutan Pantai Daerah Tabanio
untuk komunitas pohon pada pengukuran minimalnya berkisar antara 1258.2-
>20000 lux, sedangkan pengukuran maksimalnya berkisar antara 1594.2-
>20000 lux. Selain itu, semakin luas covered pohon maka mempengaruhi
intensitas cahaya pada bawah tajuk menjadi semakin rendah, karena cahaya
matahari terhalangi untuk menyinari lapisan bawah. Pada pengamatan ini,
dapat diketahui bahwa vegetasi pohon yang didapatkan memiliki luas covered
yang berbeda-beda.
Cahaya matahari sebagai sumber energi primer di muka bumi, sangat
menentukan kehidupan dan produksi tanaman. Pengaruh cahaya tergantung
mutu berdasarkan panjang gelombang (antara panjang gelombang 0,4 – 0,7
milimikron). Sebagai sumber energi pengaruh cahaya ditentukan oleh
intensitas cahaya maupun lama penyinaran (Noorhidayati, 2010). Cahaya
matahari juga mempunyai peranan penting dalam penyebaran, orientasi, dan
pembungaan tumbuhan. Di dalam hutan tropika, cahaya merupakan faktor
pembatas dan jumlah cahaya yang menembus melalui sudut hutan tampak
menentukan lapisan atau tingkatan yang terbentuk oleh pepohonannya.
Keadaan ini mencerminkan kebutuhan tumbuhan akan ketenggangan terhadap
jumlah cahaya yang berbeda-beda di dalam hutan (Ewusie, 1990).
Selain faktor abiotik juga terdapat faktor biotik pada penelitian ini yaitu
berupa interaksi antar komponen biotik, interaksi tersebut dapat terjadi antar

91
organisme, populasi maupun komunitas. Di alam, pada umumnya suatu
komunitas terdiri atas beberapa populasi baik tumbuhan maupun hewan. Di
antara individu tersebut akan terjadi berbagai kemungkinan tipe interaksi
biologis antara individu yang satu dengan individu lainnya, contohnya
interaksi netralisme mutualisme, komensalisme, parasitisme, dan predasi
(Ramlawati et al., 2017).
Contoh faktor biotik yang terdapat di lapangan adalah interaksi
komensalisme yang menstimulir secara menguntungkan satu organisme tapi
tidak berpengaruh terhadap organisme lainnya. Contoh : tumbuhan epifit
seperti lumut, paku-pakuan, dan anggrek. Tumbuhan epifit ini tidak menyerap
makanan (fotositrat) dari tumbuhan inangnya. Terkadang ada tumbuhan epifit
yang berubah menjadi parasit jika tumbuhan inang mengembangkan organ
penyerap (haustoria) yang menembus floem tubuh inang. Sehingga vegetasi
pohon pada pengamatan kali ini beraneka ragam.

VI. KESIMPULAN
1. Metode yang digunakan pada praktikum ini yaitu metode transek untuk
penentuan struktur tegakan.
2. Transek adalah suatu plot sampel yang diperpanjang, dimana data-data
vegetasi dicatat agar spesies-spesies yang ada dalam plot terhitung.
3. Struktur tegakan adalah distribusi jenis dan ukuran pohon dalam tegakan
atau hutan yang menggambarkan komposisi jenis, distribusi diameter,
distribusi tinggi dan kelas tajuk
4. Vegetasi pohon pada pengamatan kali ini didapatkan sebanyak 9 spesies
pohon, yaitu Flacourtia rukam, Syzygium jambos L., Ficus benjamina L.,
Fraxinus excelsior L., Tapura guianensis, Dillenia suffruticosa, Hoya
carnosa L., Ligustrum lucidum, dan Mangifera indica.
5. Parameter lingkungan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan ,
serta banyaknya vegetasi pohon pada kawasan tersebut.

VII. DAFTAR PUSTAKA

92
Anges. (2017). Syzygium jambos L. Diakses melalui
http://vietmania.blogspot.com/2019/04/em-theo-que-huong-ho-
nguyen-cay-man-roi.html pada tanggal 05 Maret 2020.

Ariana, Gina dkk. (2011). Inventarisasi dan Kerapatan Tumbuhan Palem


Suku Palmacea yang Terdapat di Kawasan Air Terjun Hutan
Lindung Gunung Gedambaan Desa Gedambaan Kabupaten
Kotabaru. Jurnal Wahana-Bio. 5, 50-58.

Arisandy, Distein Atmi., Merti Trianty. (2018). Ramlawatii., Hamka., Siti


Saenab., dan Yunus S.R. 2017. Sumber Belajar Penunjang PLPG
2017 Mata Pelajaran IPA Bab VI Ekologi Direktorat Jenderal Guru
dan Tenaga Kependidikan. BIOEDUSAINS: Jurnal Pendidikan
Biologi dan Sains. 1(2), 95-105.

Arista, Cut D N., Ika Sri W. HT., Khairani Rahma., dan Mulyadi. (2017).
Analisis Vegetasi Tumbuhan Menggunakan Metode Transek Garis
(Line Transect) Di Kawasan Hutan Lindung Lueng Angen Desa
Iboih Kecamatan Sukakarya Kota Sabang. Prosiding Seminar
Nasional Biotik 2017.

Aryanto. (2012). Ligustrum lucidum. Diakses melalui


http://bonsaiar41.blogspot.com/2012/09/ligustrum.html pada
tanggal 05 Maret 2020.

Dharmono., Hardiansyah., Mahrudin., Riefani., Utami. (2020). Penuntun


Praktikum Ekologi Tumbuhan. Banjarmasin: Batang PMIPA FKIP
ULM.

Fachrul, M. F. (2006). Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara.

Framingham. (2020). Fraxinus excelsior L. Diakses melalui


https://gobotany.nativeplanttrust.org/species/fraxinus/excelsior/
pada tanggal 05 Maret 2020.

Guyane. (2013). Tapura guianensis. Diakses melalui


https://floredeguyane.piwigo.com/picture?/20752 pada tanggal 05
Maret 2020.

Jojonomic. (2019). Hoya carnosa L. Diakses melalui


https://jojonomic.com/Cactus-plantes-grasses-279635/plantes-
grasses-Hoya/ pada tanggal 05 Maret 2020.

93
Krisnawati, Haruni. (2003). Struktur Tegakan dan Komposisi Jenis Hutan
Alam Bekas Tebangan di Kalimantan Tengah. Buletin Penelitian
Hutan (Forest Research Bulletin), 639, 1-19.

Kuswandi, Relawan, dkk. (2015). Keanekaragaman Struktur Tegakan


Hutan Alam Bekas Tebangan Berdasarkan Biogeografi di Papua.
Yogyakarta: Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.

Leila. (2011). How To Take Care of Ficus Benjamina Plants. Diakses


melalui http://tree-species.blogspot.com/2009/03/how-to-take-care-
of-ficus-benjamina.html pada tanggal 05 Maret 2020.

Noorhidayati. (2010). Bahan Ajar Fisiologi Tumbuhan. Banjarmasin:


PMIPA FKIP UNLAM Banjarmasin.

Novi, Pranitasari. (2017). Klasifikasi Tumbuhan Berbiji Mangga (Mangifera


indica). Diakses melalui
http://novi-biologi.blogspot.com/2011/06/mangga-mangifera-
indica.html pada tanggal 05 Maret 2020.

Odum, E. P. (1993). Dasar-dasar Ekologi. Yogyakarta: Gadjah University


press.

Ramlawatii., Hamka., Siti Saenab., dan Yunus S.R. (2017). Sumber Belajar
Penunjang PLPG 2017 Mata Pelajaran IPA Bab VI Ekologi.
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.

Riverine. (2013). Dillenia suffruticosa. Diakses melalui


http://riverineparks.blogspot.com/2013/01/dillenia-
suffruticosa.html pada tanggal 05 Maret 2020.

Roemantyo., Nastiti, Adriani Sri., dan Ngurah N Wiadnyana. (2012).


Struktur Dan Komposisi Vegetasi Sekitar Sarang Penyu Hijau
(Chelonia Mydas Linnaeus) Pantai Pangumbahan, Sukabumi
Selatan, Jawa Bara. Berita Biologi. 11(3), 373-387.

Rusyana. (2011). Rukam (Flacourtia rukam). Diakses melalui


http://floranegeriku.blogspot.com/2011/06/rukam-flacourtia-
rukam-zoll-mor.html pada tanggal 05 Maret 2020.

Sari, Nilam. (2014). Kondisi Tempat Tumbuh Pohon Keruing


(Dipterocarpus spp) di Kawasan Ekowisata Taman Nasional
Gunung Leuser Sumatera Utara. Samarinda: Balai Besar
Penelitian Dipterokarpa.

94
Sinery, Anton Silas, dkk. (2015). Potensi dan Strategi Pengelolaan Hutan
Lindung Wosi Rendani. Yogyakarta: Deepublish.

Susanti, Susi. (2014). Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan Regenerasi


Alami Di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. Skripsi.
Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Syafitri, Dwi. (2019). Keragaman Spesies Tumbuhan Penyusun Hutan


Pantai Di Pantai Timur Pulau Condong Darat Lampung Selatan.
Skripsi. Universitas Lampung. Lampung.

Wicaksono, Fikri bagus., Muhdin. (2015). Komposisi jenis pohon dan


struktur tegakan hutan mangrove di Desa Pasarbanggi, Kabupaten
Rembang, Jawa Tengah. Bonorowo Wetlands, 5(2), 55-62.

95
EKOLOGI TUMBUHAN
(ABKC 2604)

PRAKTIKUM VI
METODE TRANSEK UNTUK PENENTUAN STRUKTUR VEGETASI
SEMAK

96
PRAKTIKUM VI

Topik : Metode Transek Untuk Penentuan Struktur Vegetasi Semak


Tujuan : Untuk menentukan struktur vegetasi semak pada suatu
komunitas
Hari/ Tanggal : Minggu-Sabtu/16-22 Februari 2020
Tempat : Lingkungan Desa Tabanio, Kecamatan Takisung, Kabupaten
Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan

I. ALAT DAN BAHAN


A. Alat:
1. Roll meter
2. Alat Tulis
3. Anemometer
4. Termometer
5. Hygrometer
6. Lux meter
7. Kamera Hp
8. Kompas
9. Parang

B. Bahan:
1. Komunitas semak di Hutan Pantai Daerah Tabanio
2. Kertas label
3. Kantong plastik
4. Tali rapia
5. Patok kayu
6. Plastik sampel

II. CARA KERJA


1. Menentukan area kajian yang akan dijadikan sampel.
2. Menentukan arah mata angin menggunakan kompas.

95
3. Membuat plot sebesar 5 x 5 untuk vegetasi semak.
4. Menghitung jumlah semak untuk setiap jenis
5. Menghitung kerapatan, dominansi dan frekuensi masing-masing spesies,
dan melanjutkan dengan menghitung kerapatan relatif, dominansi relatif,
frekuensi relatif dan nilai penting masing-masing jenis.
6. Dari perhitungan di atas, mencari nilai penting tertinggi dan terendah.
7. Mengukur parameter lingkungan seperti pH, kecepatan angin, intensitas
cahaya, suhu, dan kelembaban tanah.

III. TEORI DASAR


Metode ini pada dasarnya adalah metode plot hitung, yang banyak
digunakan oleh orang kehutanan untuk mengadakan survei hutan dan
menyebutkannya sebagai metode survei kayu (Hardjosuwarno, S. 1994).
Metode transek berbeda dengan metode releve, terutama harus
menghitung secara cermat dan akurat jumlah individu tiap spesies yang
terdapat dalam bidang transek tersebut. Parameter yang dapat diukur dalam
sampling komunitas dan bersifat penting dalam metode ini adalah :
4. Kerapatan, yaitu jumlah individu persatuan luas (m2 atau ha) atau
persatuan area cuplikan (area sampel).
5. Dominansi (cover), dapat dihitung dengan dua cara yaitu : a) dengan
mengukur basal area batang setinggi dada (dbh) ; b) mengukur luas
penutupan tajuk (crown cover).
6. Frekuensi adalah jumlah hadirnya suatu spesies pada sejumlah plot yang
dikerjakan. Dalam perhitungan frekuensi tanpa menghitung jumlah
individu, tetapi hanya hadir atau tidaknya dalam plot.
Di samping hal di atas, dalam metode ini juga dapat diketahui
parameter kelas diameter batang, kelas tinggi pohon. Hal ini sangat penting
dalam mempelajari struktur tegakan, terutama dalam memperkirakan
komposisi umur dan proses regenerasi atau peremajaan suatu komunitas
(Dharmono et al., 2020)

96
Berdasarkan kelas diameter batang,pohon dibedakan atas tiga kelas
yaitu :
d) Kelas yang berdiameter kurang dari 3cm dan dikategorikan sebagai
seedling.
e) Kelas diameter 3-10 cm,yang dikategorikan sebagai seedling .
f) Kelas diameter lebih dari 10 cm, yang dikategorikan sebagai pohon
dewasa.
(Dharmono et al., 2020)

97
IV. HASIL PENGAMATAN
A. Tabel Perhitungan Struktur Tegakan Semak

Tabel Indeks (Struktur Tegakan Semak)


Indeks Keanekaragaman

No. Indeks Keanekaragaman

1 H' < 1 Rendah

2 1 ≤ H' ≤ 3 Sedang

98
3 H' > 3 Tinggi

Sumber: Shannon
Wiener

Kesimpulan:

Jadi keanekaragaman jenis spesies semak pada struktur tegakan tergolong sedang.
Karena 1 <H'<3 yakni 2,34

B. Contoh Perhitungan:

1. Ochthocharis bornensis

 K= ∑ Ind
Luas area.titik

= 8

5.5.5

= 0,06 ind/m2

 KR (%) = Kind x 100%


∑K

99
= 0,06 x 100 = 19,51 %
0,328
 F = Cup
Titik
= 1 = 0,20 cup/titik
5
 FR (%) = Find x 100%
∑F
= 0,20 x 100 = 7,69 %
2,60
 NP = KR + FR
NP = 19,51 + 7,69= 27,20 %
n
 Pi = N
Pi = 8 = 0,20
41
 -Pi ln pi = (-0,20) ln (0,20) = 0,32

100
C. Tabel Parameter Lingkungan

Pengukura Pengulangan
Nama alat Kisaran
n 1 2 3
Termometer   33˚C 32˚C 30˚C 30-33˚C
Hygrometer   72% 73% 75% 72-75%
Min 0 m/s 0 m/s 0 m/s 0 m/s
Anemometer 0.4
Max 0.5 m/s 0 m/s 0-0.5 m/s
m/s
>2000 1258. >2000 1258.2-
Min
0 lux 2 lux 0 lux >20000 lux
Lux meter
>2000 1594. >2000 1594.2-
Max
0 lux 2 lux 0 lux >20000 lux

101
D. Foto Pengamatan dan Literatur
No Nama Spesies Foto Pengamatan Foto Literatur
1 Ochthocharis
bornensis

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Suratno, 2017)

2 Chromolaena
odorata L.

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Lino, 2019)


3 Phyllanthus tenellus

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Rebekah, 2018)

102
4 Faramea guianensis

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Grande, 2020)


5 Rhapis gracilis

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Nisa, 2016)


6 Philodendron
hederaceum

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Riky, 2015)


7 Siparuna cuspidate

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Selva, 2020)

103
8 Laurus nobilus L.

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber: (March, 2004)

9 Prunus laurocerasus
L.

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Otto, 2005)


10 Hedera helix L.

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Heura, 2020)

104
11 Norontia emarginata

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Olive, 2019)


12 Euphorbia peplus L.

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Jardins, 2019)


13 Ardisia elliptica

Sumber: (Kelompok 13, 2020) Sumber : (Gisd, 2005)

105
V. ANALISIS DATA
Berdasarkan hasil pengamatan, didapatkan 13 spesies tumbuhan pada
komunitas semak NP tertinggi adalah Ochthocharis bornensis yaitu 27,20 %
yang didapat dari penjumlahan kerapatan relative (KR) dan frequensi relative
(FR). Indeks nilai penting atau important value index merupakan indeks
kepentingan yang menggambarkan pentingnya peranan suatu jenis vegetasi
dalam ekosistemnya. Apabila INP suatu jenis vegetasi bernilai tinggi, maka
jenis itu mempengaruhi kestabilan ekosistem tersebut. INP ini berguna untuk
menentukan dominansi jenis tumbuhan terdapat suatu jenis tumbuhan
lainnya, karena dalam suatu komunitas yang bersifat heterogen data
parameter vegetasi sendiri-sendiri dari nilai frekuensi, kerapatan dan
dominansinya tidak dapat menggambarkan frekuensi, kerapatan dan
dominansinya tidak dapat menggambarkan secara menyeluruh, maka untuk
menentukan nilai pentingnya yang mempunyai kaitan dengan struktur
komunitasnya dapat diektahui dari indeks nilai pentingnya (Fachrul, 2006).
Selain itu pada kawasan semak luas area yang digunakan adalah sebesar 5
x 5 dengan 5 titik, sehingga didapatkan luas plot adalah 125 m 2 perkelompok
sehingga didapatkan vegetasi semak sebanyak 13 spesies yang berbeda-beda
yaitu 1, Ochthocharis bornensis, 2. Chromolaena odorata L., 3, Phyllanthus
tenellus. 4, Faramea guianensis, 5. Rhapis gracilis, 6. Philodendron
hederaceum, 7. Siparuna cuspidate, 8. Laurus nobitus L., 9. Prunus
laurocerasus L., 10. Hedera helix L., 11. Norontia emarginata, 12.
Euphorbia peplus L., 13. Ardisia elliptica.
Untuk perhitungan frekuensi diperoleh yaitu 0,20 cup/titik ini pada
komunitas semak karena memiliki nilai frekuensi yang sama, menunjukkan
sebaran jenis tumbuhan dalam ekosistem. Frekuensi dipakai sebagai
parameter vegetasi yang dapat menunjukkan distribusi atau sebaran jenis
tumbuhan dalam ekosistem atau memperlihatkan pola distribusi tumbuhan.
Nilai yang diperoleh dapat menggambarkan kapasitas reproduksi dan
kemampuan adaptasi serta menunjukkan jumlah “sampling unit” yang
mengandung jenis tumbuhan tertentu (Fachrul, 2006).

106
Struktur tegakan adalah distribusi jenis dan ukuran pohon dalam tegakan
atau hutan yang menggambarkan komposisi jenis, distribusi diameter,
distribusi tinggi dan kelas tajuk (Susanti, 2014). Struktur tegakan terdiri dari
struktur vertikal (stratifikasi tajuk) dan struktur horizontal.
a. Stratifikasi tajuk Stratifikasi bertujuan untuk mengetahui dimensi (bentuk)
atau struktur vertikal suatu vegetasi dari hutan yang dikaji. Adapun cara
untuk mengetahui struktur vertikal hutan, setiap individu pohon yang
dijumpai di dalam petak ukur dikelompokkan berdasarkan kelas tinggi atau
lapisan stratum. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1998), lapisan stratum
terdiri dari stratum A (> 30 meter), stratum B (20 − 30 meter), stratum C (4
− 20 meter), stratum D (1 − 4 meter) dan stratum E (0 − 1 meter) dimana
stratum A, stratum B dan stratum C menunjukkan stratifikasi tingkat
pertumbuhan pohon, sedangkan stratum D dan stratum E menunjukkan
stratifikasi tumbuhan penutup tanah (ground cover), semak dan perdu.
b. Struktur horizontal Struktur horizontal untuk mengetahui penyebaran
diameter pohon di hutan (struktur horizontal), maka setiap individu yang
dijumpai di dalam petak ukur dikelompokkan berdasarkan kelas diameter
(Onrizal et al. 2005) dengan kerapatannya dan berdasarkan pola penyebaran
individu jenis yang ada dalam suatu wilayah.
Pada praktikum ini yaitu tentang penggunaan metode transek untuk
menentukan struktur tegakan. Dimana tegakan merupakan sebaran jumlah
pohon per satuan luas yang berdasarkan kelas diameternya. Tegakan
merupakan unit agak homogen yang dapat dibedakan dengan jelas dari
tegakan di sekitarnya oleh komposisis, struktur, tempat tumbuh atau
geografinya. Struktur jenis tegakan dalam ekosistem merupakan hasil
penataan ruang dan komponen penyusun tegakan, penutupan vegetasi dan
penyebarannya dalam ruang, keanekaragaman serta kesinambungan jenis
(Fachrul,2006). Jadi, struktur tegakan pohon merupakan suatu masyarakat
tumbuhan yang luas yang merupakan hasil penataan ruang dan komponen
penyusun tegakan. Berdasarkan kelas diameternya, maka pohon pada hasil

107
pengamatan dikategorikan sebagai pohon dewasa yaitu berdiameter lebih dari
10 cm.
Salah satu metode dalam analisis vegetasi tumbuhan yaitu dengan
menggunakan jalur transek. Untuk mempelajari suatu kelompok hutan yang
belum diketahui keadaan sebelumnya paling baik dilakukan dengan transek.
Campbell (2004) dalam Arista., et al (2017). Tujuan transek adalah untuk
mengetahui hubungan perubahan vegetasi dan perubahan lingkungan, atau
untuk mengetahui jenis vegetasi yang ada di suatu lahan secara cepat. Dalam
hal ini, apabila vegetasi sederhana maka garis yang digunakan semakin
pendek. Transek ialah jalur sempit melintang lahan yang akan dipelajari/
diselidiki. Untuk hutan, biasanya panjang garis yang digunakan sekitar 50 m-
100 m. sedangkan untuk vegetasi semak belukar, garis yang digunakan cukup
5 m - 10 m. Apabila metode ini digunakan pada vegetasi yang lebih
sederhana, maka garis yang digunakan cukup 1 m Heddy (1996) dalam
Arista., et al (2017).
Dengan menggunakan metode transek dapat diketahui bahwa transek yaitu
metode yang biasa digunakan untuk mengetahui vegetasi tumbuhan. Metode
ini bisa digunakan untuk mempelajari suatu kelompok hutan yang luas dan
belum diketahui sebelumnya, salah satu parameter yang diukur yaitu diameter
batangnya. Cara ini paling efektif untuk mengetahui analisa vegetasi hutan
berdasarkan jumlah vegetasi pohon yang ada di area Arista., et al (2017).
Selain itu, seluruh spesies semak yang didapatkan umumnya merupakan
tumbuhan yang tumbuh secara liar pada tempat yang mendapati cahaya
matahari cukup banyak dan tahan terhadap naungan seperti di semak belukar,
dan terdapat di tempat yang tidak terlalu gersang, serta rata-rata tumbuhan
semak yang didapat mememiliki daun berwarna hijau. Semak berbeda dengan
pohon, karena semak lebih pendek dan tidak memiliki batang utama tetapi
melainkan bercabang-cabang.
Tumbuhan semak umumnya memerlukan sinar matahari penuh untuk
pertumbuhannya. Karena itu pada petak pengamatan yang sedikit terbuka

108
jenis-jenis dari kelompok herba dan perdu/semak cukup banyak ditemukan
tumbuh di antara pohon-pohon yang besar (Roemantyo et al., 2012).
Pada kelompok herba dan perdu/semak menyukai kawasan di pinggir
pantai berbatasan dengan muka air laut. Jenis-jenis tersebut justru menjadi
salah satu komponen penting penyusun vegetasi hutan pantai umumnya.
Tumbuhan yang sering dijumpai di tepi hutan, semak belukar, di tepi jurang,
daerah terbuka, memiliki daun yang lebat sehingga sinar matahari yang
mengenai permukaan tanah sedikit dan menyebabkan kelembaban tanah
tinggi. Tumbuhan berdaun lebar yang cenderung tumbuh dengan habitat
ternaung (Palijama, 2012 dan Arisandy dan Trianty, 2018). Frekuensi,
dominansi, nilai penting dan indeks keanekaragaman pada praktikum vegetasi
pohon ini dapat pula dikarenakan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah
faktor abiotik yang terdiri atas suhu udara, kelembapan udara, kecepatan
angin, dan intensitas cahaya.
Kelembaban udara berkaitan erat dengan suhu lingkungan, semakin
rendah suhu maka kelembaban udara akan semakin naik. Kelembaban udara
berpengaruh terhadap transpirasi, semakin rendah kelembaban maka semakin
tinggi transpirasi. Hal ini selaras dengan kelembaban udara daerah hutan
pantai Daerah Tabanio saat pengamatan yaitu berkisar 72-75% yang memiliki
kelembaban cukup tinggi. Dimana hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan pada vegetasi semak. Kadar air dalam udara dan tanah
dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Tempat
yang lembab menguntungkan bagi tumbuhan di mana tumbuhan dapat
mendapatkan air lebih mudah serta berkurangnya penguapan yang akan
berdampak pada pembentukan sel yang lebih cepat (Noorhidayati, 2010).
Suhu udara di hutan pantai Daerah Tabanio untuk komunitas semak
memiliki suhu berkisar antara 30-33◦C. Berdasarkan data tersebut dapat
dilihat bahwa kondisi suhu didaerah tersebut stabil, hal ini mungkin saja
dikarenakan dengan kondisi vegetasi didaerah tersebut yang masih banyak
ditumbuhi oleh tumbuhan. Menurut Arief (1994) untuk hutan tropis suhu
udara yang baik bagi tumbuhan berkisar antara 22-33 0C. Dari angka yang

109
diperoleh tersebut berarti suhu udaranya masih berada dalam kisaran tersebut.
Apabila suhu melampaui batas maksimum dan minimum, pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan akan terhenti. Suhu udara berperan sebagai
pengendali proses-proses fisik dan kimiawi yang selanjutnya akan
mengendalikan reaksi biologi dalam tubuh tanaman. Suhu ideal yang
diperlukan untuk pertumbuhan yang paling baik adalah suhu optimum, yang
berbeda untuk tiap jenis tumbuhan. Tinggi rendahnya suhu menjadi salah satu
faktor yang menentukan tumbuh kembang, reproduksi dan juga kelangsungan
hidup dari tanaman. Suhu yang baik bagi tumbuhan adalah antara 22◦C-37◦C.
Temperatur yang lebih atau kurang dari batas normal tersebut dapat
mengakibatkan pertumbuhan yang lambat atau berhenti (Noorhidayati, 2010).
Kecepatan angin adalah kecepatan udara yang bergerak secara horizontal.
Kecepatan angin di hutan Pantai Daerah Tabanio untuk komunitas semak
pada pengukuran minimalnya yaitu berkisar 0 m/s, sedangkan pengukuran
maksimanyal yaitu berkisar antara 0-0.5 m/s. Kecepatan angin ini diperlukan
dalam perkembangbiakan tumbuhan ini dengan menerbangkan benih-
benihnya dan tumbuh menjadi tanaman dewasa. Maka dari itu, vegetasi
semak banyak ditemukan di sekitaran hutan pantai Tabanio.pada pengamatan
kami kali ini.
Intensitas cahaya di hutan Pantai Daerah Tabanio untuk komunitas semak
dan pohon pada pengukuran minimalnya berkisar antara 1258.2->20000 lux,
sedangkan pengukuran maksimalnya berkisar antara 1594.2->20000 lux.
Sehingga dengan keadaan intensitas cahaya seperti itu dapat mempengaruhi
pertumbuhan banyaknya vegetasi semak pada Kawasan tersebut. Cahaya
matahari sebagai sumber energi primer di muka bumi, sangat menentukan
kehidupan dan produksi tanaman. Pengaruh cahaya tergantung mutu
berdasarkan panjang gelombang (antara panjang gelombang 0,4 – 0,7
milimikron). Sebagai sumber energi pengaruh cahaya ditentukan oleh
intensitas cahaya maupun lama penyinaran (Noorhidayati, 2010).
Cahaya matahari juga mempunyai peranan penting dalam penyebaran,
orientasi, dan pembungaan tumbuhan. Di dalam hutan tropika, cahaya

110
merupakan faktor pembatas dan jumlah cahaya yang menembus melalui sudut
hutan tampak menentukan lapisan atau tingkatan yang terbentuk oleh
pepohonannya. Keadaan ini mencerminkan kebutuhan tumbuhan akan
ketenggangan terhadap jumlah cahaya yang berbeda-beda di dalam hutan
(Ewusie, 1990).
Selain faktor abiotik juga terdapat faktor biotik pada penelitian ini yaitu
berupa interaksi antar komponen biotik, interaksi tersebut dapat terjadi antar
organisme, populasi maupun komunitas. Di alam, pada umumnya suatu
komunitas terdiri atas beberapa populasi baik tumbuhan maupun hewan. Di
antara individu tersebut akan terjadi berbagai kemungkinan tipe interaksi
biologis antara individu yang satu dengan individu lainnya, contohnya
interaksi netralisme mutualisme, komensalisme, parasitisme, dan predasi
(Ramlawati et al., 2017).
Contoh faktor biotik yang terdapat di lapangan adalah interaksi
komensalisme yang menstimulir secara menguntungkan satu organisme tapi
tidak berpengaruh terhadap organisme lainnya. Contoh : tumbuhan epifit
seperti lumut dan paku-pakuan. Tumbuhan epifit ini tidak menyerap makanan
(fotositrat) dari tumbuhan inangnya. Terkadang ada tumbuhan epifit yang
berubah menjadi parasit jika tumbuhan inang mengembangkan organ
penyerap (haustoria) yang menembus floem tubuh inang.

VI. KESIMPULAN
1. Metode yang digunakan pada praktikum ini yaitu metode transek untuk
penentuan struktur tegakan.
2. Transek adalah suatu plot sampel yang diperpanjang, dimana data-data
vegetasi dicatat agar spesies-spesies yang ada dalam plot terhitung.
3. Struktur tegakan adalah distribusi jenis dan ukuran pohon dalam tegakan
atau hutan yang menggambarkan komposisi jenis, distribusi diameter,
distribusi tinggi dan kelas tajuk.
4. Vegetasi semak yang didapatkan pada praktikum kali ini sebanyak 13
spesies yang berbeda-beda yaitu 1, Ochthocharis bornensis, 2.

111
Chromolaena odorata L., 3, Phyllanthus tenellus. 4, Faramea guianensis, 5.
Rhapis gracilis, 6. Philodendron hederaceum, 7. Siparuna cuspidate, 8.
Laurus nobitus L., 9. Prunus laurocerasus L., 10. Hedera helix L., 11.
Norontia emarginata, 12. Euphorbia peplus L., 13. Ardisia elliptica.
5. Parameter lingkungan mempengaruhi keadaaan pertumbuhan dan
perkembangan untuk menentukan vegetasi semak pada kawasan tersebut.

VII. DAFTAR PUSTAKA


Ariana, Gina dkk. (2011). Inventarisasi dan Kerapatan Tumbuhan Palem
Suku Palmacea yang Terdapat di Kawasan Air Terjun Hutan
Lindung Gunung Gedambaan Desa Gedambaan Kabupaten
Kotabaru. Jurnal Wahana-Bio, 5, 50-68.

Arisandy, Distein Atmi., Merti Trianty. (2018). Ramlawatii., Hamka., Siti


Saenab., dan Yunus S.R. 2017. Sumber Belajar Penunjang PLPG
2017 Mata Pelajaran IPA Bab VI Ekologi. Direktorat Jenderal
Guru dan Tenaga Kependidikan. BIOEDUSAINS: Jurnal
Pendidikan Biologi dan Sains. 1(2), 95-105.

Arista, Cut D N., Ika Sri W. HT., Khairani Rahma., dan Mulyadi. (2017).
Analisis Vegetasi Tumbuhan Menggunakan Metode Transek Garis
(Line Transect) Di Kawasan Hutan Lindung Lueng Angen Desa
Iboih Kecamatan Sukakarya Kota Sabang. Prosiding Seminar
Nasional Biotik 2017.

Dharmono., Hardiansyah., Mahrudin., Riefani., Utami. (2020). Penuntun


Praktikum Ekologi Tumbuhan. Banjarmasin: Batang PMIPA FKIP
ULM.

Elie, Suratno, SP. (2017). Tanaman Liar Hutan Gambut Borneo Kantung
Semar (Nephentes sp.) dan Karamunting (Ochthocharis
bornensis).Diakses melalui
https://tanikatingan.blogspot.com/2017/08/tanaman-liar-hutan-
gambut-borneo.html?m=1 pada tanggal 05 Maret 2020.

Fachrul, M. F. (2006). Metode Sampling Bioekologi.Bumi Aksara: Jakarta.

Gisd. (2005). Ardisia elliptica. Diakses melalui


http://www.iucngisd.org/gisd/species.php?sc=52 pada tanggal 05
Maret 2020.

112
Grande. (2020) Piwigo. Diakses melalui https://fr.piwigo.com/ pada tanggal
05 Maret 2020.

Heura. (2020). Hedera helix L. Diakses melalui


https://www.wikiloc.com/hiking-trails/ruta-2-davant-de-la-facultat-
de-ciencies-empresarials-4652321/photo-2489599 pada tanggal 05
Maret 2020.

Jardins. (2019). Plant Biodiversity of South Western Maroco. Diakses


melalui https://www.teline.fr/en/photos/euphorbiaceae/euphorbia-
peplus pada tanggal 05 Maret 2020.

Krisnawati, Haruni. (2003). Struktur Tegakan dan Komposisi Jenis Hutan


Alam Bekas Tebangan di Kalimantan Tengah. Buletin Penelitian
Hutan (Forest Research Bulletin), 639, 1-19.

Kuswandi, Relawan, dkk. (2015). Keanekaragaman Struktur Tegakan


Hutan Alam Bekas Tebangan Berdasarkan Biogeografi di Papua.
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.

March. (2004). Philodendron hederaceum. Diakses melalui


http://nathistoc.bio.uci.edu/Plants%20of%20Upper%20Newport
%20Bay%20(Robert%20De%20Ruff)/Lauraceae/Laurus
%20nobilis.htm pada tanggal 05 Maret 2020.

Nisa. (2016). Rhapis Gracilis. Diakses melalui


https://www.palmpedia.net/wiki/Rhapis_gracilis grande, 2020.

Noorhidayati. (2010). Bahan Ajar Fisiologi Tumbuhan. Banjarmasin:


PMIPA FKIP UNLAM Banjarmasin.

Odum, E. P. (1993). Dasar-dasar Ekologi. Yogyakarta: Gadjah University


press.

Olive. (2019). Norontia emarginata. Diakses melalui


http://tropical.theferns.info/viewtropical.php?
id=Noronhia+emarginata pada tanggal 05 Maret 2020.

One Lino. (2019). Rumput Minjangan (Chromolaena odorata L.)Diakses


melalui https://www.onelino.com/2019/07/sensusrumput-
minjangan-chromolaena.html?m=1 pada tanggal 05 Maret 2020.

Otto, Luyken. (2005). Prunus laurocerasus L. Diakses melalui


https://www.123rf.com/photo_69651417_prunus-laurocerasus-
otto-luyken-cherry-laurel-common-laurel.html pada tanggal 05
Maret 2020.

113
Ramlawatii., Hamka., Siti Saenab., dan Yunus S.R. (2017). Sumber Belajar
Penunjang PLPG 2017 Mata Pelajaran IPA Bab VI Ekologi.
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.

Rebekah. (2018). IPM Images. Diakses melalui


https://www.ipmimages.org/browse/detail.cfm?imgnum=5403072
pada tanggal 05 Maret 2020.

Riky. (2015). Philodendron hederaceum. Diakses melalui


https://plantexplorer.longwoodgardens.org/weboi/oecgi2.exe/INET
_ECM_Image_Popup?NOLOGO=1&IMAGEFILE=$
$LWGBGBASE$BGBAPPS$BGBASE6$IMAGES$2016-
1409%20Philodendron%20hederaceum
%20cu.jpg&IMAGENUM=3&IMAGESIZE=700&IMAGETITLE
=Philodendron%20hederaceum&IMAGECAPTION=%3Ci
%3EPhilodendron%20hederaceum%3C/i%3E%20Leaf pada
tanggal 05 Maret 2020.

Roemantyo., Nastiti, Adriani Sri., dan Ngurah N Wiadnyana. (2012).


Struktur Dan Komposisi Vegetasi Sekitar Sarang Penyu Hijau
(Chelonia Mydas Linnaeus) Pantai Pangumbahan, Sukabumi
Selatan, Jawa Bara. Berita Biologi. 11(3), 373-387.

Sari, Nilam. (2014). Kondisi Tempat Tumbuh Pohon Keruing


(Dipterocarpus spp) di Kawasan Ekowisata Taman Nasional
Gunung Leuser Sumatera Utara. Samarinda: Balai Besar
Penelitian Dipterokarpa.

Selva. (2020). Siparuna cuspidate. Diakses melalui


https://sura.ots.ac.cr/local/florula4/find_sp4.php?
key_species_code=LS001402&key_kingdom=&key_phylum=&ke
y_class=&key_order=&key_family=&key_genus=&specie_name=
cuspidata pada tanggal 05 Maret 2020.

Sinery, Anton Silas, dkk. (2015). Potensi dan Strategi Pengelolaan Hutan
Lindung Wosi Rendani. Yogyakarta: Deepublish.

Susanti, Susi. (2014). Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan Regenerasi


Alami Di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. Skripsi.
Departemen Silvikultur. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Bogor.

Syafitri, Dwi. (2019). Keragaman Spesies Tumbuhan Penyusun Hutan


Pantai Di Pantai Timur Pulau Condong Darat Lampung Selatan.
Skripsi. Universitas Lampung. Lampung.

114
Wicaksono, Fikri bagus., Muhdin. (2015). Komposisi jenis pohon dan
struktur tegakan hutan mangrove di Desa Pasarbanggi, Kabupaten
Rembang, Jawa Tengah. Bonorowo Wetlands, 5(2), 55-62.

115
EKOLOGI TUMBUHAN
(ABKC 2604)

PRAKTIKUM VII
TEKNIK SAMPLING TANPA PLOT DENGAN POINT CENTERE
QUARTER

116
PRAKTIKUM VII

Topik : Teknik Sampling Tanpa Plot Dengan Point Centere Quarter


Tujuan : Untuk menentukan parameter vegetasi frekuensi, dominansi
dan nilai penting tanpa menggunakan plot.
Hari / Tanggal : Minggu-Sabtu/ 16 Februari-22 Februari 2020
Tempat : Lingkungan Desa Tabanio, Kecamatan Takisung, Kabupaten
Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan

I. ALAT DAN BAHAN

A. Alat:
1. Tali rafia
2. Meteran
3. Plastik Merah
4. Kertas label
5. Meteran jahit
6. Alat tulis
7. Alat dokumentasi
8. Hygrometer
9. Lux meter
10. Termometer
11. Anemometer
12. Klinometer
B. Bahan
1. Komunitas pohon di hutan pantai Desa Tabanio

II. CARA KERJA

1. Menentukan satu pohon sebagai Center, kemudian mencatat nama spesies.


2. Membuat kuadran dengan menggunakan kompas sebagai acuan.

116
3. Memilih masing-masing satu pohon yang terdekat dari pohon Center di tiap
kuadran yang telah ditentukan, kemudian mencatat nama spesies masing-
masing pohon tersebut.
4. Menghitung jarak pohon pada masing-masing quarter ke pohon Center.
5. Menghitung jari-jari coverage masing-masing pohon.
6. Mengukur sudut ketinggian masing-masing pohon menggunakan klinometer
atau aplikasi smart measure (jika pohon terlalu tinggi, menggunakan
percabangan pertama sebagai acuan).
7. Mengukur diameter masing-masing pohon setinggi dada.
8. Menghitung coverage dari masing-masing pohon dengan menggunakan
rumus лr2.
9. Mengukur tinggi masing-masing pohon dengan memasukkan sudut
ketinggian
10. Menghitung total jarak, rata-rata jarak yaitu total jarak dibagi jumlah
seluruh pohon terukur.
11. Menghitung jumlah pohon per 100 m2 (kerapatan mutlak) = 100/rata-rata
jarak.
12. Membuat tabel perhitungan kerapatan relatif dan frekuensi relatif.
13. Membuat tabel perhitungan dominansi untuk seluruh spesies.
14. Membuat tabel untuk perhitungan nilai penting setiap spesies.

III. TEORI DASAR

Dengan metode jarak dapat ditentukan tiga parameter sekaligus


yaitu frekuensi, kerapatan dan penutupan/dominansi. Jumlah individu dalam
suatu stand/area dapat ditentukan dengan mengukur jarak antara individu,
atau jarak antara titik sampling dengan individu tumbuhan. Hasil
pengukuran jarak tersebut dikonversikan ke dalam unit dua dimensi/area
dengan cara mengkuadratkan jarak tersebut (Dharmono, 2020).

117
Compas line

Gambar 1. Metode point centered quarter


(Mueller – Dombois dan Eilenberg, 1974)

Metode jarak yang paling umum digunakan adalah metode point


centered quarter. Pengukuran jarak dilakukan dari titik sapling ke pohon
terdekat dalam tiap kuarter (kuadrat). Dengan demikian setiap titik sapling
dihasilkan empat pengukuran (gambar 1). Selain itu juga dilakukan
pengukuran diameter pohon dari keempat pohon yang diamati tersebut,
digunakan untuk mengetahui basal area suatu spesies (Dharmono, 2020).

118
IV. HASIL PENGAMATAN
a. Tabel Hasil Perhitungan
1. Tabel Data Pengamatan

Titik Jari-jari Keliling Tinggi Pohon


Jarak
samplin Quarter Nama Spesies Covered Batang Cabang Ujung
(m)
g (m) (m) Pertama Pucuk Daun

Pohon 1 (center ) Prunus laurocerasus 0,0 16,7 13 48,61 56,44

Pohon 2 (Q1) Mangifera indica 3,5 8 50 24,40 28,04

1 Pohon 3 (Q2) Ficus retusa 14,7 5,4 28 13,90 19,5

Pohon 4 (Q3) Tamarindus indica 9,8 12,8 47 28,04 32,29

Pohon 5 (Q4) Cestrum nocturnum 6,4 7,8 46 40,75 42,5

Pohon 1 (center ) Flacourtia rukam 0,0 0,47 92 15,50 19,5

Pohon 2 (Q1) Premma pubescens 7,4 9,60 32 6,86 17,69

2 Pohon 3 (Q2) Ficus benjamina 15,9 3,52 93 14,00 23,71

Pohon 4 (Q3) Ficus benjamina 10,3 4,89 1,84 19,50 31,15

Pohon 5 (Q4) Cestrum nocturnum 12,1 7,53 85,3 8,00 10,4

119
Pohon 1 (center ) Hibiscus varigata 0,0 6,86 37,0 22,94 26,19

Pohon 2 (Q1) Hibiscus varigata 7,4 4,70 28,0 16,57 17,69

3 Pohon 3 (Q2) Cestrum nocturnum 5,4 3,85 34,0 12,13 13,51

Pohon 4 (Q3) Dillenia suffroticosa 15,7 9,30 49,0 17,69 20,15

Pohon 5 (Q4) Ficus benjamina 8,5 5,59 43,0 40,75 44,39

∑ 117,00 107,01 678,74 329,64 403,15

2. Tabel Mean Dominansi


Prunus Ficus Cestrum Premma Ficus Hibiscu Dillenia
Mangifer Tamarindu Flacourti
Spesies laurocerasu retus nocturnu pubescen benjamin s suffroticos
a indica s indica a rukam
s a m s a varigata a

Covere 875,71 200,96 91,56 514,46 191,04 0,70 289,38 38,91 147,77 271,58
d
0,03 75,08 69,36
individ
u (m^2) 0,03 178,04

∑ 875,71 200,96 91,56 514,46 191,10 0,70 289,38 292,03 217,13 271,58

Mean 875,71 66,99 30,52 257,23 95,55 0,35 289,38 545,16 286,49 271,58

120
3. Tabel Perhitungan

No Nama Spesies d Ktot K KR % F FR% D DR% NP%

1 Prunus laurocerasus 0,11 6,67 0,33 6,67 96,33 19,81 33,14

2 Mangifera indica 0,11 6,67 0,33 6,67 22,11 4,55 17,88

3 Ficus retusa 0,11 6,67 0,33 6,67 3,36 0,69 14,02

4 Tamarindus indica 0,11 6,67 0,33 6,67 28,30 5,82 19,15

5 Cestrum nocturnum 0,33 20,00 1,00 20,00 31,53 6,48 46,48


7,78 1,65
6 Flacourtia rukam 0,11 6,67 0,33 6,67 0,04 0,01 13,34

7 Premma pubescens 0,11 6,67 0,33 6,67 31,83 6,55 19,88

8 Ficus benjamina 0,33 20,00 1,00 20,00 179,90 36,99 76,99

9 Hibiscus varigata 0,22 13,33 0,67 13,33 63,03 12,96 39,63

10 Dillenia suffroticosa 0,11 6,67 0,33 6,67 29,87 6,14 19,48

121
∑ 7,78 16,5 1,65 100,00 5,00 100,00 486,29 100,00 300,00

122
Contoh Perhitungan untuk Mangifera indica
Σ Jarak 117,00
 Mean Jarak= = =7,8
15 15
 K total = 100 = 100 = 1,65
(Mean jarak)2 (7,8)2
Σ Ind 1
 K= x K Total= x 1,65=0,11
15 15
K suatu jenis 0,11
 KR= x 100 %= x 100 %=6,67 %
Σ K semua jenis 1,65
Σ Cuplikan 1
 F¿ = =0,33
Σ Titik 3
F suatu jenis 0,33
 FR= x 100 %= x 100 %=6,67 %
Σ F semua jenis 5
D = Σ Mean D ind x K = 200,96 x 0,11 = 22,11
D suatu jeni2 22,11
 DR= x 100 %= x 100 %=4,55 %
Σ D semua jenis 471,56
 NP = KR + FR + DR
= 6,67 % + 6,67 % + 4,55 %
= 17,88

b. Tabel Parameter
Pengulangan
Nama alat Pengukuran Kisaran
1 2 3

Min 74.90% 70.20% 65.50% 65.5-74.9%


Hygrometer
Max 77.80% 77.80% 65.70% 65.7-77.8%

Anemomete Min 0 m/s 0 m/s 0 m/s 0 m/s


r Max 0.6 m/s 0.6 m/s 0 m/s 0-0.6 m/s

Termometer   34˚C 33.5˚C 33.8˚C 33.5-34˚C

Min >20000 lux 889 lux 889 lux 889->20000 lux


Lux meter
Max >20000 lux 991.3 lux 413.8 lux 413.8->20000 lux

123
124
c. Foto Pengamatan
Nama
No. Foto Pengamatan Foto Literatur
Spesies

Prunus
1
laurocerasus

Sumber: (Dok. Kelompok 13, 2020) Sumber : (Garden, Botanic, 2018)

Mangifera
2
indica

Sumber: (Dok. Kelompok 13, 2020) Sumber : (Putri, Tiara, 2019)

3 Ficus retusa

Sumber: (Sam, 2020)


Sumber: (Dok. Kelompok 13, 2020)

125
Tamarindus
4
indica

Sumber: (Dok. Kelompok 13, 2020) Sumber : (Hafidhexza, 2012)

Cestrum
5
nocturnum

Sumber: (Dok. Kelompok 13, 2020) Sumber: (Garden, Botanic, 2018)

Flacourtia
6
rukam

Sumber: (Dok. Kelompok 13, 2020) Sumber: (Reuben, 2017)

Premna
7
pubescens

Sumber: (Dok. Kelompok 13, 2020) Sumber: (Sam, 2019)

126
Ficus
8
benjamina

Sumber: (Dok. Kelompok 13, 2020) Sumber : (Rip, Mas, 2019)

Hibiscus
9
varigata

Sumber: (Dok. Kelompok 13, 2020) Sumber : (Konjo, Ian, 2019)

Dillenia
10
suffroticosa

Sumber: (Dok. Kelompok 13, 2020) Sumber: (Khaytarova, 2014)

127
V. ANALISIS DATA

Dalam praktikum topik ini yaitu teknik sampling tanpa plot dengan
point centere quarter yang bertujuan untuk menentukan parameter vegetasi
frekuensi, dominansi dan nilai penting tanpa menggunakan plot yang
dilakukan dengan metode tanpa plot. Metode ini hanya mengandalkan arah
mata angin saja dengan satu pohon yang menjadi porosnya.
Menurut literatur, metode sampling jatuh ke dalam dua kategori
besar yaitu dengan plot-dan tanpa plot. Metode berbasis plot dimulai dengan
satu atau lebih plot (petak, lingkaran) dari daerah yang dikenal di mana
karakteristik-karakteristik yang diinginkan diukur untuk setiap tanaman.
Sebaliknya, metode tanpa plot melibatkan mengukur jarak sampel acak dari
pohon, biasanya di sepanjang transek, dan merekam karakteristik yang
diinginkan. Metode quarter center merupakan salah satu metode tanpa plot
tersebut. Keuntungan menggunakan metode tanpa plot daripada teknik
berdasarkan plot standar bahwa teknik cenderung lebih efisien. Metode
tanpa plot lebih cepat, membutuhkan lebih sedikit peralatan, dan mungkin
memerlukan lebih sedikit pekerja. Namun, keuntungan utama adalah
kecepatan (Mitchell, K. 2015).
Hardjosuwarno (1994) menyatakan, metode Analisis Vegetasi
Point Centered Quarter merupakan pengukuran jarak dilakukan dari titik
sampling ke pohon terdekat dalam tiap kuarter (kuadrat). Umumnya metode
kuadran digunakan untuk pengambilan contoh vegetasi tumbuhan apabila
hanya vegetasi fase pohon yang menjadi objek kajiannya. Pengerjaan
metode ini terbilang mudah dan lebih cepat apabila digunakan untuk
mengetahui komposisi spesies, tingkat dominansi, dan menaksir volume
pohon. Syarat penerapan metode kuadran ialah distribusi pohon yang akan
diteliti harus acak. Itu juga artinya, metode ini kurang cocok digunakan
apabila pola distribusi populasi pohon itu mengelompok ataupun seragam.
Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa tumbuhan
Ficus benjamina termasuk tumbuhan yang mempunyai nilai penting
tertinggi diantara yang lain pada kawasan yang kami amati dengan nilai

128
yaitu 76,99. Hal tersebut juga di dukung karena tumbuhan ini ditemukan
pada dua titik pengamatan sehingga memperoleh nilai penting yang tinggi.
Dapat dikatakan bahwa Ficus benjamina ini merupakan tumbuhan yang
berperan paling besar dan penting dalam vegetasi yang ditempati dalam
komunitasnya baik dalam hal penguasaan area maupun interaksi kompetisi
dengan spesies lain. Hal tesebut juga diduga karena tumbuhan ini
mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan spesies atau
tumbuhan yang lain dalam hal beradaptasi dengan lingkungan pada kawasan
tersebut.
Pembentukan komposisi vegetasi di kawasan ini disebabkan oleh
respon tumbuhan terhadap faktor lingkungan tersebut. Hal ini menunjukkan
bahwa Ficus benjamina memberikan respon paling positif terhadap
lingkungan tersebut sehingga Ficus benjamina mendominasi dalam
pembentukan komposisi vegetasi dalam komunitasnya. Sedangkan
tumbuhan Flacourtia rukam termasuk tumbuhan yang mempunyai nilai
penting terendah diantara yang lain pada kawasan yang kami amati dengan
nilai yaitu 13,34. Hal tersebut juga di dukung karena tumbuhan ini hanya di
temukan pada satu titik dan ukuran pohon yang belum terlau tinggi.
Menurut Kartasapoetra (1992), faktor–faktor lingkungan yang
sangat berpengaruh terhadap vegetasi diantaranya adalah ketinggian tempat,
kelembaban udara, suhu udara serta intensitas cahaya matahari. Faktor–
faktor lingkungan tersebut berpengaruh terhadap penyebaran jenis–jenis
tumbuhan dan pertumbuhannya. Parameter yang diukur saat pengamatan di
lapangan pada kawasan hutan pantai diantaranya:
1. Kelembaban udara
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di lapangan
kelembaban udara berkisar antara 65,7-77,8%. Tingginya kelembaban
udara ini diduga terjadi sebagai akibat dari lokasinya yang berada di tepi
pantai. Suhu dan kelembaban merupakan salah satu faktor iklim mikro
yang dapat mempengaruhi proses pertumbuhan dan regenerasi tumbuhan.
Faktor abiotik berperan penting dalam keberlangsungan kehidupan

129
tumbuhan. Kelembaban dan suhu udara merupakan komponen iklim
mikro yang mempengaruhi pertumbuhan dan mewujudkan keadaan
lingkungan optimal bagi tumbuhan. Pertumbuhan meningkat jika suhu
meningkat dan kelembaban menurun (Fitriany, 2015).
2. Suhu udara
Pengukuran suhu udara di lapangan menghasilkan data berkisar
33,5°C-34°C. Tumbuhan yang diamati saat penelitian rata-rata
merupakan tumbuhan tropis yang hidup di hutan pantai. Walau suhu
yang berada di lingkungan sekitar cukup optimum namun tumbuhan tetap
dapat bertahan hidup. Menurut Ruyadi (2009) bahwa kisaran suhu
merupakan kisaran suhu yang umum di kawasan hutan pantai. Suhu dan
kelembaban merupakan salah satu faktor iklim mikro yang dapat
mempengaruhi proses pertumbuhan dan regenerasi tumbuhan di daerah
tersebut. Pada kisaran toleransi suhu dan kelembaban yang ideal maka
proses pertumbuhan nyamplung akan berjalan dengan baik sehingga
proses regenerasi berjalan normal dan populasi akan meningkat. Oleh
sebab itu, kisaran suhu dan kelembaban perlu dipertahankan dengan tetap
melindungi habitat tumbuhan secara keseluruhan. Mengingat bahwa
setiap tekanan dan kerusakan habitat akan memiliki dampak negatif
terhadap perubahan iklim mikro (Ruyadi, 2009).
3. Intensitas cahaya
Berdasarkan hasil pengukuran dapat diketahui bahwa intensitas
cahaya yang ada di lapangan berkisar antara 413,8– >20000 lux. Hal ini
berpengaruh terhadap proses fotosintesis untuk tumbuhan dalam bertahan
hidup. Jika intensitas cahaya cukup maka akan meningkatkan kerja
metabolisme tumbuhan itu sendiri. Menurut Ardie (2006) intensitas
cahaya dapat mempengaruhi metabolisme tanaman dan intensitas cahaya
yang rendah pada umumnya disebabkan oleh kerapatan tegakan. Cahaya
digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis, semakin baik proses
fotosintesis, akan semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon &
Adman, 2007). Menurut Bunning et al 1969 bahwa intensitas cahaya

130
tidak langsung setara dengan 10.000-25.000 lux, sementara pada
intensitas cahaya penuh di bawah sinar matahari langsung setara dengan
32.000-130.000 lux.
Menurut Hardiansyah (2010), panjang gelombang maupun
intensitas cahaya sangat berperan dalam fotosintesis, sebab kualitas
cahaya merupakan faktor pembatas dalam proses fotosintesis pada
tumbuhan. Adapun intensitas cahaya dapat menetukan jumlah energi
yang sampai pada permukaan daun dan menetukan jumlah energi yang
dapat digunakan dalam proses fotosintesis. Dan jika intensitas cahaya
terlalu rendah akan menyebabkan daun menguning serta gugur,
sedangkan intensitas cahaya yang terlalu tinggi akan menyebabkan
daunnya terbakar, keriting, erta warnanya pudar.
4. Kecepatan angin
Berdasarkan pengamatan dilapangan hasil yang diperoleh senilai
0-0,6 m/s. Hal ini bisa terjadi karena pada saat pengukuran parameter
tidak terdapat angina atau justru terdapat angin walaupun kecil.
Kecepatan angin ini dapat berpengaruh terhadap proses penyerbukan,
yang mana angin ini dapat membantu proses penyerbukan yaitu
meniupkan serbuk sari agar jatuh ke kepala putik, sehingga terjadilah
proses reproduksi. Sehingga dapat memperbanyak vegetasi yanga ada
dilingkungan tersebut. Menurut Polunin (1994) menjelaskan angin
berpengaruh langsung terhadap vegetasi, terutama menumbangkan
pohon-pohon atau mematahkan dahan-dahan. Kecepatan angin adalah
kecepatan udara yang bergerak secara horizontal. Kecepatan angin
diperlukan dalam perkembangbiakan tumbuhan dengan menerbangkan
benih-benihnya dan tumbuh menjadi tanaman dewasa (Fitriany, 2015).

131
VI. KESIMPULAN
1. Metode sampling terdiri dari dua kategori besar yaitu dengan plot dan tanpa
plot. Metode quarter center merupakan salah satu metode tanpa plot
tersebut.
2. Spesies yang memiliki nilai penting tertinggi adalah Ficus benjamina.
3. Sedangkan spesies yang memiliki nilai pentingnya rendah adalah Flacourtia
rukam.
4. Faktor–faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap vegetasi
diantaranya adalah ketinggian tempat, kelembaban udara, suhu udara serta
intensitas cahaya matahari.

VII. DAFTAR PUSTAKA

Ardie, W. S. (2006). Pengaruh Intensitas Cahaya dan Pemupukan terhadap


Pertumbuhan dan Pembungaan Hoya diversifolia Blume. Tesis.
Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Bunning E, Moser I. (1969). Interference of moonlight with the


photoperiodic measurement of time by plants, and their adaptive
reaction. Proceedings of the National Academy of Sciences of the
United States of America ; USA, 20-26 Apr 1969. Washington:
Academy of Sciences of the United States of America. vol 62 (4):
1018–1022.

Dharmono., Hardiansyah., Mahrudin., Maulana K.R & Nurul H.U. (2020).


Penuntun Praktikum Ekologi Tumbuhan. Banjarmasin : CV.
Batang.

Fitriany, Mei A.R. (2015). Studi Keanekaragaman Tumbuhan Herba Pada


Area Tidak Bertajuk Blok Curah Jarak di Hutan Musim Taman
Nasional Baluran. Diakses melalui http://karya-ilmiah.um.ac.id/
pada tanggal 10 April 2020.

Garden, Botanic. (2018). Prunus laurocerasus. Diakses melalui


http://canr.udel.edu/udbg/?plant=prunus-laurocerasus pada tanggal
10 April 2020.

Hafidhexza. (2012). TUMBUHAN TEGAKAN DI TEMPAT  PEMAKAMAN.


Diakses melalui https://hafidhexza.wordpress.com/2012/06/25/
pada tanggal 10 April 2020.

132
Hardiansyah. (2010). Pengantar Ekologi Tumbuhan. Banjarmasin: CV.
Batang.

Hardjosuwarno S. (1994). Metode Ekologi Tumbuhan. Universitas Gadjah


Mada Fakultas Biologi: Yogyakarta.

Kartasapoetra G. (1992). Budidaya Tanaman Berkhasiat Obat : Kunyit


(Kunir). Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Khaytarova, (2014). Dillenia sp. Diakses melalui


https://toptropicals.com/catalog/uid/Dillenia_sp.htm pada tangggal
10 April 2020.

Konjo, Ian. (2019). Berbagai Manfaat Daun Waru, Atasi Batuk Hingga
Kanker. Diakses melalui https://klikhijau.com/read/berbagai-
manfaat-daun-waru-atasi-batuk-hingga-kanker/ pada tanggal 10
April 2020.

Mitchell, K. (2015). Quantitative Analysis by the Point-Centered Quarter


Method. Department of Mathematics and Computer Science Hobart
and William Smith Colleges: Geneva, NY 14456

Omon, R. M., & Adman, B. (2007). Pengaruh Jarak Tanam dan Teknik
Pemeliharaan Terhadap Pertumbuhan Kenuar (S. johorensis Foxw.)
di Hutan Semak Belukar Wanariset Samboja, Kalimantan Timur.
Jurnal Penelitian Dipterokarpa, 1(1), 47–54.

Polunin, Nicholas. (1994). Pengantar Geografi Tumbuhan dan Beberapa


Ilmu. Serumpun. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.

Putri, Tiara. (2019). 6 Khasiat Tak Terduga Daun Mangga untuk Kesehatan
Tubuh. Diakses melalui
https://lifestyle.okezone.com/read/2019/07/15/481/2078831/6-
khasiat-tak-terduga-daun-mangga-untuk-kesehatan-tubuh pada
tanggal 10 April 2020.

Reuben. (2017). Flacourtia rukam. Diakses melalui


https://www.flickr.com/photos/reulim/32344685012/in/photostrea
m/ pada tangggal 10 April 2020.

Rip, Mas. (2019). Pohon Beringin (Ficus benjamina). Diakses melalui


https://sobatbonsai.blogspot.com/2019/02/pohon-beringin-ficus-
benjamina.html pada tanggal 10 April 2020.

133
Ruyadi. (2009). Evaluasi Status Kawasan Konservasi Taman Hutan Raya
Bukit Soeharto di Kabupaten Kutai Kartanegara. Diakses melalui
www.bksdakaltim.go.id pada 10 April 2020.

Sam. (2020). Ciri Ciri Pohon Beringin Kimeng (Ficus microcarpa) Di Alam
Liar. Diakses melalui https://www.ciriciripohon.com/2020/01/ciri-
ciri-pohon-beringin-kimeng-di-alam-liar.html pada tanggal 10
April 2020.

Sam. (2020). Ciri Ciri Pohon Sancang / Premna Di Alam Liar. Diakses
melalui https://www.ciriciripohon.com/2019/12/ciri-ciri-pohon-
sancang-di-alam-liar.html pada tanggal 10 April 2020.

134
EKOLOGI TUMBUHAN
(ABKC 2604)

PRAKTIKUM VIII
MENENTUKAN POLA PENYEBARAN SPESIES

135
PRAKTIKUM VIII

Topik : Menentukan Pola Penyebaran Spesies


Tujuan : Untuk menentukan pola distribusi suatu spesies
Hari/ Tanggal : Minggu-Sabtu/16-22 Februari 2020
Tempat : Lingkungan Desa Tabanio, Kecamatan Takisung,
Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan

I. ALAT DAN BAHAN


A. Alat:
1. Meteran
2. Pipa paralon
3. Patok kayu
4. Kertas
5. Alat tulis
6. Hygrometer
7. Anemometer
8. Termometer
9. Lux meter

B. Bahan:
1. Plastik sampel

II. CARA KERJA


1. Menentukan area stand secara subjektif, yaitu pada vegetasi herba yang
cukup homogen.
2. Membuat area seluas 100 x 100 m dan menentukan sisi-sisi yang menjadi
sumbu X dan Y.
3. Mengambil plot sebanyak 100 buah plot ukuran 1 x 1 m 2 secara acak
(sistem undian) pada stand kajian tersebut.

133
4. Perhitungan kerapatan individu untuk tiap spesies dimulai dari 0,1,2,3,4
dan 5 individu. Bila jumlah individu suatu spesies dalam satu plot lebih
dari 5 individu maka dianggap 5 individu.
5. Menyusun data yang didapat, untuk mengetahui apakah tumbuhan
terdistribusi acak atau non acak dengan menggunakan rumus analisis
poison dengan rumus :

¿
X 2=¿ 2
Harapan
(Pengamatan −Harapan) ¿
Pada taraf signifikan tertentu apabila hitung lebih besar dari X 2 tabel
maka spesies tumbuhan tersbut pola distribusinya adalah secara tidak
acak, dan sebaliknya bila X2 hitung <X2 maka pola distribusinya adalah
secara acak.
6. Untuk mengetahui yang tersebar secara tidak acak tersebut apakah
mengelompok atau reguler, dilakukan penghitungan perbandingan varian
mean. Menurut Blackman (1942) dalam Smith (1984), bila perhitungan
rasio varian : mean hasilnya kurang dari 1, maka tumbuhan tersebut
terdistribusi secara regular dan sebaliknya bila hasilnya lebih dari 1,
maka tumbuhan tersebut terdistribusi secara mengelompok.

III. TEORI DASAR


Menurut Crawlay (1986), bahwa lingkungan akan berubah dari suatu
tempat ke tempat lain. Bersamaan dengan itu terjadi pula perubahan vegetasi,
baik komposisi spesies penyusunnya maupun frekuensinya. Perbedaan
kondisi lingkungan tersbut juga akan mempengaruhi pola distribusi suatu
spesies. Disamping itu, pola penyebaran tersebut juga di pengaruhi oleh cara
dispersal dari spesies tumbuhan.
Pola distribusi spesies di alam secara garis besar dibedakan atas 3 pola
yaitu pola acak, pola mengelompok dan teratur atau reguler
1. Pola penyebaran secara acak

134
Pola ini menggambarkan penyebaran tumbuhan secara sembarang
atau acak, artinya setiap spesies tidak mempunyai arah dan posisi terhadap
lokasi tertentu, serta spesies yang sama.

2. Pola mengelompok
Pola ini terjadi dalam satu area yang cukup sempit dipermukaan bumi
oleh beberapa spesies. Artinya dalam suatu wilayah tertentu hadirnya suatu
spesies akan di ikuti oleh spesies yang sama.
Barbour et al (1987) menyatakan bahwa ada dua alasan yang
menyebabkan timbulnya pola distribusi tumbuhan mengelompok, yaitu :
Pertama apabila suatu tumbuhan perkembangbiakannya dengan
menggunakan biji atau buah yang ada kecenderungan untuk jatuh didekat
induknya. Kedua, adalah berhubungan dengan lingkungan mikro, dimana
habitat yang homogen pada lingkungan makro terdiri atas beberapa
mikrositus yang berbeda yang memungkinkan tumbuhan tersebut dapat
tumbuh pada lingkungan yang sesuai. Pada mikrositus yang paling sesuai
kerapatan populasi spesies akan menjadi lebih tinggi.
3. Teratur atau reguler
Pola distribusi tumbuhan secara teratur jarang terjadi di alam. Pola
distribusi secara teratur artinya jarak antara satu individu dengan
individu lain pada spesies yang sama dalam satu wilayah adalah sama.
Keadaan ini hanya terjadi pada ekosistem buatan seperti persawahan
dan perkebunan (Dharmono et al., 2020)
Untuk mengetahui pola penyebaran dapat digunakan metode acak
ataupun stratified random. Pengacakan dilakukan untuk memperoleh
plot-plot pengamatan. Cara pengacakan plot dilakukan dengan
pencatatan nomor-nomor (undian) acakan yang dibuat untuk sumbu X
dan Y, kemudian ditarik garis lurus pada kedua sumbu tersebut
sehingga didapat titi tertentu. Pengamatan yang dilakukan berdasarkan

135
densitas dari tiap-tiap spesies dapat digunakan metode B-B (Dharmono
et al., 2020).

136
IV. HASIL PENGAMATAN
a. Tabel data Pengamatan
No ∑ individu per plot
Nama Spesies ∑
. 0 1 2 3 4 ≥5
Paspalum 1
1 9 10 9 9 45 100
conjugatum 8
Ischaemum
2 2 1 1 2 4 90 100
barbatum
Axonopus
3 9 4 12 12 7 56 100
compressus
1
4 Cynodon dactylon   6 4 8 66 100
6

B. Contoh perhitungan
a. Paspalum conjugatum
Tabel 1.
No
5 ∑
. X 0 1 2 3 4
1 O 18 9 10 9 9 45 100
2 X.O 0 9 20 27 36 225 317
14 112 139
3 X (X.O) 0 9 40 81 4 5 9

M = ∑ X.O = 317 = 3,17


O 100
Tabel 2.
No X^2 X^2
. X O H Hitung Tabel
1 0 18 4,202 146,97 6,25
13,32
2 1 9 0 1,40
3 2 10 21,11 5,85
1

136
22,30
4 3 9 8 7,94
17,67
5 4 9 9 4,26
11,20
6 5 45 8 101,88
10
∑ 0 89,83 268,29 6,25

Ketentuan:
∑ X2 Hitung > X2 Tabel = Non Acak
∑ X2 Hitung < X2 Tabel = Acak
Rumus: m. x
H ¿ e−m n [ ]
 x ! [3,170/0!]
H0 = 2,718-3,17 x 100
= 4,202
 H1 =2,718-3,17 x 100 [3,171/1!]
= 13,320
 H2 =2,718-3,17 x 100 [3,172/2!]
= 21,111
 H3 = 2,718-3,17 x 100 [3,173/3!]
= 22,308
 H4 =2,718-3,17 x 100 [3,174/4!]
= 17,679
 H5 = 2,718-3,17 x 100 [3,175/5!]
= 11,208

(O−H )²
x²o = H
Rumus: X2 Hitung =

 X20 = (63 - 15,41)2 = 146,97

137
15,41
 X21 = (9 - 13,320)2 = 1,40
13,320
 X22 = (10 - 21,111)2 = 5,85
21,111
 X23 = (9 - 22,308)2 = 7,94
22,308
 X24 = (9 - 17,679)2 = 4,26
17,679
 X25 = (45-11,208)2 = 101,88
11,208
Kesimpulan:
∑ X2 Hitung = 268,29
∑ X2 Tabel = 6,25
∑ X2 Hitung > ∑ X2 Tabel = Non Acak
Jadi, Paspalum conjugatum terdistribusi secara non acak ∑x² hitung > x²
tabel → distribusi non acak
Asas Blackman:
V = Σ X (O. X) – (Σ (O.X)2)
V 3,98
n
=
n-1
= 1.399– (317)2 M 3,17

100
100 - 1 = 1,26
= 1.399 – 1004,89
99
= 394,11
99
= 3,98
Jadi, pola distribusinya mengelompok karena nilai V/M > 1 yaitu 1,26

138
b. Iscaemum barbatum
Tabel 1.
No
5 ∑
. X 0 1 2 3 4
1 O 2 1 1 2 4 90 100
2 X.O 0 1 2 6 16 450 475
225
3 X (X.O) 0 1 4 18 64 0 2337
M= ∑ X.0 = 475 = 4,75
O 100

Tabel 2.
No X^2 X^2
. X O H Hitung Tabel
1 0 2 0,866
2 1 1 4,112 7,83
3 2 1 9,765
6,25
4 3 2 15,461 11,72
5 4 4 18,360 11,23
6 5 90 17,442 301,83
∑ 100 66,01 332,61 6,25

m. x (O−H )²
H ¿ e−mn [
x!
] x²o =
H
Kesimpulan:
∑ X2 Hitung = 332,61
∑ X2 Tabel = 6,25
∑ X2 Hitung > ∑ X2 Tabel = Non Acak
Jadi, Iscaemum barbatum terdistribusi secara non acak ∑x² hitung > x²
tabel → distribusi non acak
Pola distribusi:

139
0,17 < 1
Jadi, Pola distribusinya acak karena nilai V/M < 1 yaitu 0,17

c. Axonapus compressus
Tabel 1.
No
5 ∑
. X 0 1 2 3 4
1 O 9 4 12 12 7 56 100
2 X.O 0 4 24 36 28 280 372
X(X.O 10 11 140
3 ) 0 4 48 8 2 0 1672

M= ∑ X.O = 372 = 3,72


O 100
Tabel 2.
No X^2 X^2
. X O H Hitung Tabel
1 0 9 2,424
0,21
2 1 4 9,019
3 2 12 16,465 1,21
6,25
4 3 12 20,800 3,72
5 4 7 19,344 7,88
6 5 56 14,392 120,29
∑ 100 82,44 133,31 6,25

m. x (O−H )²
H ¿ e−mn [ ] X²O =
x! H
Kesimpulan:
∑ X2 Hitung = 133,31
∑ X2 Tabel = 6,25
∑ X2 Hitung > ∑ X2 Tabel = Non Acak

140
Jadi, Axonapus compressus terdistribusi secara non acak ∑x² hitung > x²
tabel → distribusi non acak
Pola distribusi:
0,78 < 1
Jadi, Pola distribusinya acak karena nilai V/M < 1 yaitu 0,78

d. Cynodon dactylon
Tabel 1
No
5 ∑
. X 0 1 2 3 4
1 O 16   6 4 8 66 100
2 X.O 0 0 12 12 32 330 386
X(X.O 165
3 ) 0 0 24 36 128 0 1838

M= ∑ X.O = 386 = 3,86


O 100
Tabel 2
No X^2
. X O H Hitung X^2 Tabel
1 0 16 2,108
3,24
2 1   8,136
3 2 6 15,702 5,99
6,25
4 3 4 20,203 12,99
5 4 8 19,496 6,78
6 5 66 15,051 172,48
∑ 100 80,69 201,48 6,25

m. x (O−H )²
H ¿ e−mn [ ] x²o =
x! H
Kesimpulan:
∑ X2 Hitung = 201,48

141
∑ X2 Tabel = 6,25
∑ X2 Hitung > ∑ X2 Tabel = Non Acak
Jadi, Cynodon dactylon terdistribusi secara non acak ∑x² hitung > x² tabel
→ distribusi non acak
Pola distribusi:
0,91 < 1
Jadi, Pola distribusinya acak karena nilai V/M < 1 yaitu 0,91

142
C. Tabel Parameter Lingkungan

D. Foto Pengamatan dan Literatur


No Nama Foto Literatur
Spesies
1 Paspalum
conjugatu
m

Sumber: (Kelas, 2020) Sumber : (Tropical plants.2018)


2 Isaemum
barbatum

Sumber: (Kelas, 2020) Sumber : (Alamy plants.2019)


3 Axonopus
compresus

Sumber: (Kelas, 2020) Sumber : (Fedipedia.2019)


4 Cynodon
dactylon

Sumber: (Kelas, 2020) Sumber : (Tropical plants.2018)

144
V. ANALISIS DATA
Distribusi jenis tumbuhan di alam dapat disusun dalam tiga pola dasar,
yaitu acak, teratur dan mengelompok. Pola distirbusi demikian erat
hubungannya dengan kondisi lingkungan. Organisme pada suatu tempat
bersifat saling bergantung, dan tidak terikat berdasarkan kesempatan semata,
dan bila terjadi gangguan pada suatu organisme atau sebagian faktor
lingkungan akan berpengaruh terhadap komunitas (Barbour et.al., 1987
dalam Sofiah et al., 2013). Pola penyebaran tumbuhan dalam komunitas
bervariasi karena adanya beberapa faktor. Faktor yang berinteraksi yaitu
angin, ketersediaan air, intensitas cahaya, kemampuan reproduksi
organisme, fenologi tumbuhan, dan faktor koaktif yang merupakan faktor
yang dihasilkan oleh interaksi intraspesifik (kompetisi) (Ludwig & Reynold,
1988; Wright, S. J., 2002 dalam Fitriany, dkk., 2013). Bila seluruh faktor
yang berpengaruh terhadap kehadiran spesies relative sedikit, maka faktor
kesempatan lebih berpengaruh, dimana spesies yang bersangkutan berhasil

145
hidup di tempat tersebut. Hal ini biasanya menghasilkan pola distribusi
(Sofiah et al., 2013).
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah kami lakukan dilapangan,
maka untuk menentukan pola distribusi spesies dapat dilakukan dengan
metode plot acak dengan membuat 100 plot atau 100 titik pada sumbu x dan
y. 100 titik dilakukan karena memang harus 100 titik, hal ini dikarenakan
juga menggunakan tabel chi square yang DN nya 100. Oleh karena itu, harus
100 titik untuk menyesuaikan presentasenya. Pengamatan ini dilakukan di
lingkungan Desa Tabanio, Kecamatan Takisung, Kabupaten Tanah Laut,
Provinsi Kalimantan Selatan dengan konsentrasi pengamatan pada 4 jenis
tumbuhan yaitu Paspallum conjugatum, Ischaemum barbatum, Axonapus
compresus dan Cynodon dactylon. Berdasarkan perhitungan Poison keempat
jenis tumbuhan ini memiliki pola penyebaran non acak, karena ∑X^2 hitung
> ∑X^2 tabel. Adapun berdasarkan perhitungan Blackman (1942) dalam
Smith (1984) tumbuhan Paspallum conjugatum memiliki pola distribusi
mengelompok, karena nilai varian/ mean yang lebih dari 1 Sedangkan
tumbuhan Ischaemum barbatum, Axonapus compresus dan Cynodon
dactylon memiliki pola distribusi acak, karena nilai varian/ mean yang
kurang dari 1. Sifat umum penyebaran secara acak adalah bahwa varians (V)
sama dengan rata-rata/ mean (m); varians lebih besar dari pada mean
menunjukkan penyebaran berkelompok, dan kurang daripada mean pola
penyebarannya adalah seragam atau teratur (Odum, 1993). Selain itu, pada
perhitungan H nya ada beberapa yang harus 10, hal ini dikarenakan memang
sudah ketetapannya adalah 10. Pada konsep chi square DN nya minimal 8,
kalo kurang dari 8 harus ditambahkan.
Menurut Odum (1993) penyebaran secara acak relatif jarang terjadi di
alam. Bila faktor yang mempengaruhi kehadiran spesies pada suatu tempat
relatif kecil, maka ini merupakan kesempatan semata sehingga
menghasilkan pola distribusi spesies secara acak (Greig-Smith, 1983).
Adapun penyebaran teratur dapat terjadi dimana persaingan diantara
individu sangat keras dimana terdapat antagonisme positif yang mendorong

146
pembagian ruang yang sama. Pada tumbuhan misalnya persaingan untuk
mendapatkan nutrisi dan ruang (Odum, 1993). Penyebaran mengelompok
terjadi karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang tergolong sebagai
faktor bioekologi pada masing-masing ketinggian. Pola penyebaran
mengelompok merupakan pola penyebaran yang sering terjadi di alam
(Indriyanto, 2008 dalam Abubakar Sidik Kastili).
Penyebaran mengelompok terjadi karena dipengaruhi oleh faktor
lingkungan yang tergolong sebagai faktor bioekologi pada masing-masing
ketinggian. Pola penyebaran mengelompok merupakan pola penyebaran
yang sering terjadi di alam (Indriyanto, 2008 dalam Abubakar Sidik Kastili).
Sedangkan Barbour et al (1987) menyatakan bahwa ada dua alasan yang
menyebabkan timbulnya pola distribusi tumbuhan mengelompok, yaitu
pertama, apabila suatu tumbuhan perkembangbiakannya dengan
menggunakan biji atau buah yang ada kecenderungan untuk jatuh didekat
induknya. Kedua, adalah berhubungan dengan lingkungan mikro, dimana
habitat yang homogen pada lingkungan makro terdiri atas beberapa
mikrositus yang berbeda yang memungkinkan tumbuhan tersebut dapat
tumbuh pada lingkungan yang sesuai. Pada mikrositus yang paling sesuai
kerapatan populasi spesies akan menjadi lebih tinggi.
Hal tersebut relevan dengan pernyataan Barbour et al (1987) yang
menyatakan bahwa ada dua alasan yang menyebabkan timbulnya pola
distribusi tumbuhan mengelompok, yaitu pertama, apabila suatu tumbuhan
perkembangbiakannya dengan menggunakan biji atau buah yang ada
kecenderungan untuk jatuh didekat induknya. Kedua, adalah berhubungan
dengan lingkungan mikro, dimana habitat yang homogen pada lingkungan
makro terdiri atas beberapa mikrositus yang berbeda yang memungkinkan
tumbuhan tersebut dapat tumbuh pada lingkungan yang sesuai. Pada
mikrositus yang paling sesuai kerapatan populasi spesies akan menjadi lebih
tinggi (Wahyuni et al., 2017).
Sedangkan untuk penyebaran secara acak, menurut Greigh-Smith
(1983) yang menyatakan bahwa penyebaran secara jarang terjadi di alam.

147
Bila faktor yang mempengaruhi kehadiran spesies pada suatu tempat relatif
kecil, maka ini merupakan kesempatan semata sehingga menghasilkan pola
distribusi spesies secara acak. Menurut Odum (1993), adapun penyebaran
teratur dapat terjadi dimana persaingan diantara individu sangat keras
dimana terdapat antagonisme positif yang mendorong pembagian ruang
yang sama. Pada tumbuhan misalnya persaingan untuk mendapatkan nutrisi
dan ruang.
Hal yang sama dikemukakan oleh Ewusie (1980) pada umumnya
pengelompokkan dalam berbagai tingkat pertumbuhan suatu jenis
merupakan pola yang paling sering ditemukan apabila mengkaji sebaran
individu di alam. Selanjutnya menurut McNaughton dan Wolf (1990)
menyebutkan bahwa faktor ketersediaan hara dan kondisi iklim merupakan
faktor lingkungan yang paling berperan dalam penyebaran suatu spesies di
alam. Adapun menurut Heddy et al. (1986) menyebutkan pola penyebaran
mengelompok terjadi akibat kondisi lingkungan jarang yang seragam
meskipun pada area yang kecil atau sempit. Pada tumbuhan dengan
penyebaran acak terjadi apabila penghamburan benih disebebkan oleh angin.
Penyebaran acak terjadi apabila kondisi lingkungan bersifat seragam dan
tidak adanya kecenderungan individu untuk bersegresi. Tingkat
pengelompokkan yang dijumpai di dalam populasi tertentu bergantung pada
sifat khas dari suatu habitat, cuaca atau faktor fisik dan tipe pola reproduktif
yang khas pada suatu jenis tumbuhan (Odum 1993 dalam Wahyuni et al.,
2017).
Paspalum conjugatum, Isacmum barbatum, dan Axonapus compresus
merupakan tumbuhan dari famili Poaceae sedangkan Cynodon dactylon
merupakan tumbuhan dari famili Cyperaceae Faisal, R (2011). Poaceae dan
Cyperaceae memiliki sifat ekologi yang hampir sama yaitu memiliki pola
hidup yang rumpun. Selain itu suku Poaceae dan Cyperaceae yang
berkembangbiak secara generatif melalui biji yang jatuh didekat induknya
dan perkembangbiakan secara vegetatif melalui akar atau rhizoma yang
mendukung pola penyebarannya menjadi berkelompok, sedangkan menurut

148
Djufri (2002) diketahui bahwa spesies kelompok rumpun mempunyai
kecenderungan pola distribusi mengelompok lebih besar dibandingkan
dengan pola distribusi teratur dan acak.
Selain itu, karena Paspalum conjugatum, Isacmum barbatum, dan
Axonapus compresus merupakan tumbuhan dari famili Poaceae sedangkan
Cynodon dactylon merupakan tumbuhan dari famili Cyperacea. Maka
mereka merupakan rumput yang tumbuh di daerah tropik umumnya hanya
dua familia, yaitu Poaceae dan Cyperaceae. Kedua familia ini memiliki
struktur, morfologi, dan penyebaran yang berbeda (Hipp, 2008 dalam
Arisandi et al., 2019). Familia Poaceae merupakan familia terbesar keempat
tanaman berbunga di dunia dan berjumlah sekitar 12.074 spesies dengan 771
genus. Ciri-ciri yang paling penting dari rumput adalah biji dimana kulit biji
menyatu dengan dinding buah yang dikenal sebagai kariopsis (Soreng et al,
2015 dalam Arisandi et al., 2019). Poaceae merupakan salah satu familia
anggota tumbuhan angiospermae. Bersifat sebagai organisme yang dapat
hidup dan berkembang di seluruh dunia (kosmopolit), tetapi banyak
ditemukan di daerah tropis dan temperate utara dengan curah hujan yang
cukup untuk membentuk padang rumput (Dasuki, 1994 dalam Arisandi et
al., 2019).
Pola distribusi ini bisa disebabkan oleh faktor lingkungan yang sesuai
dengan jenis tanaman tersebut seperti intensitas cahaya, kelembaban udara,
suhu udara, pH tanah, dan kelembaban tanah. Penyebaran dan pertumbuhan
herba dipengaruhi oleh daya tumbuh biji, topografi, keadaan tanah, serta
faktor lingkungan lainnya. Biji tumbuhan yang tersebar di daerah miskin zat
hara yang intensitas cahayanya tinggi seperti terdapat di kawasan hutan
musim, maka biji tidak dapat tumbuh (Fitriany et al., 2013).
Pola distribusi ini bisa disebabkan oleh faktor lingkungan yang sesuai
dengan jenis tanaman tersebut seperti intensitas cahaya, kelembaban udara,
suhu udara, pH tanah, dan kelembaban tanah. Penyebaran dan pertumbuhan
herba dipengaruhi oleh daya tumbuh biji, topografi, keadaan tanah, serta
faktor lingkungan lainnya. Biji tumbuhan yang tersebar di daerah miskin zat

149
hara yang intensitas cahayanya tinggi seperti terdapat di kawasan hutan
musim, maka biji tidak dapat tumbuh (Fitriany, dkk., 2013)
Berdasarkan hasil pengukuran parameter lingkungan didapatkan
kisaran suhu udara, intensitas cahaya, kelembaban tanah, kelembaban udara,
keasaman tanah, ketinggian tempat, dan kecepatan angin.
a) Suhu udara
Suhu udara pada tempat pengambilan sampel adalah berkisar antara
26.8-28.2˚C. Suhu mempengaruhi proses pertumbuhan, tumbuhan dapat
tumbuh pada suhu antara 28°C-33°C (Soerianegara & Indrawan, 2005
dalam Fitriany, dkk., 2013). Menurut IUCN (2000), suhu sangat
mempengaruhi pertumbuhan tunas dan rimpang Cynodon dactylon dengan
peningkatan pertumbuhan terjadi pada suhu 23-29 oC, dan pada suhu-4 oC
atau lebih rendah maka dapat mematikan rimpang.
b) Kelembaban tanah dan Kelembaban udara
Berdasarkan pengukuran kelembaban udara yang didapatkan pada
tempat pengambilan sampel, maka didapatkan hasil 80-84%. Menurut
Holtum (1989), pada umumnya penyebaran tumbuhan herba adalah di
hutan-hutan dan kawasan yang lembab baik di dataran rendah maupun di
dataran tinggi, tetapi ada juga yang tumbuh baik pada kondisi alam yang
terbuka dengan intensitas cahaya matahari yang tidak terlalu tinggi. Jenis-
jenis herba seperti famili Araceae, Zingiberaceae, Polypodiaceae
mempunyai penyebaran yang cukup luas dan mempunyai daya adaptasi
yang tinggi terhadap faktor lingkungan. Jenis-jenis tersebut dapat hidup
pada kondisi lingkungan yang lembab sampai pada kondisi lingkungan
yang kelembabannya rendah (Syahbudin, 1992).
c) Kecepatan angin
Berdasarkan pengukuran pada saat pengambilan sampel,
kecepataln angin berkisar antara 86.8-91.6 m/s untuk pengukuran minimal,
dan berkisar antara 86.0-91.9 m/s untuk pengukuran maksimal. Artinya
kecepatan angin pada lokasi pengambilan sampel cukup kencang, karena
hanya dalam satu detik saja biji tanaman dapat terpental sejauh 1,7 m.

150
Kecepatan angin mempengaruhi pola penyebaran tumbuhan karena angin
berpengaruh dalam penyerbukan bunga, penyebaran biji, buah, dan
mikroorganisme (Lubis (2009). Contoh tumbuhan yang pola penyebaran
bijinya dibantu oleh angin adalah Paspalum conjugatum yang merupakan
familia Poaceae. Hal ini sesuai dengan pendapat Tjitrosoepomo (2009)
yang menyatakan bahwa Spesies famili Poaceae dalam hal
penyerbukannya terjadi dengan perantaraan angin. Berdasarkan hal ini,
diduga kecepatan angin menjadi factor pendukung sekaligus faktor
pembatas terhadap penyebaran dan penyerbukan tumbuhan rumput familia
Poaceae (Arisandi et al., 2019).

d) Intensitas cahaya
Intensitas cahaya pada tempat pengambilan sampel adalah 0 lux.
Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat sumber cahaya pada
tempat itu, karena pengamatan dilakukan pada malam hari.
Selain faktor abiotik juga terdapat faktor biotik pada penelitian ini
yaitu berupa interaksi antar komponen biotik, interaksi tersebut dapat terjadi
antar organisme, populasi maupun komunitas. Di alam, pada umumnya
suatu komunitas terdiri atas beberapa populasi baik tumbuhan maupun
hewan. Di antara individu tersebut akan terjadi berbagai kemungkinan tipe
interaksi biologis antara individu yang satu dengan individu lainnya,
contohnya interaksi netralisme mutualisme, komensalisme, parasitisme, dan
predasi (Ramlawati et al., 2017).
Contoh faktor biotik yang terdapat di lapangan adalah interaksi
kompetisi intra spesifik, yaitu persaingan antar individu satu spesies. Contoh
yang terjadi di sekitar kawasan dalam praktikum ini adalah persaingan
antara populasi kambing dengan populasi sapi di padang rumput, yang mana
rumput merupakan objek pengamatan yang kami amati dalam praktikum
pola penyebaran spesies ini. Sedang kompetisi antar spesifik, yaitu
persaingan antara individu yang berbeda spesiesnya. Contoh: Persaingan
antara spesies yang di dapatkan dalam memperebutkan lahan di kawasan.

151
Menurut Lubis (2009) menyatakan bahwa pola penyebaran suatu
organisme bergantung pada faktor lingkungan dari kawasan tersebut. Pola
distribusi mengelompok yang diperoleh pada saat pengamatan dikarenakan
kondisi lingkungan pada saat pengukuran parameter lingkungan diketahui
sesuai dengan kondisi hidup pada tumbuhan. Menurut Parinding (2007) pola
distribusi mengelompok dipengaruhi oleh faktor bioekologi. Faktor
bioekologi terdiri atas faktor-faktor lingkungan yang bersifat non biologis
seperti suhu udara, kelembaban udara, intensitas cahaya, tanah dan kondisi
fisik lingkungan lainnya. Diketahui bahwa setiap mahluk hidup termasuk
vegetasi tumbuhan berada pada kondisi lingkungan abiotik yang dinamis
dalam skala ruang yang bervariasi disetiap tempat hidupnya. Oleh karena itu
setiap tumbuhan harus dapat beradaptasi menghadapi perubahan kondisi
faktor lingkungan tersebut (Parinding, 2007).

VI. KESIMPULAN
1. Distribusi semua tumbuhan di alam dapat disusun dalam tiga pola dasar
yaitu acak, teratur dan mengelompok.
2. Pola distribusi digunakan untuk menjelaskan keadaan suatu populasi
tumbuhan yang terdapat dalam suatu komunitas.
3. Untuk menentukan pola distribusi spesies dapat dilakukan dengan metode
plot acak dengan membuat 100 plot pada sumbu x dan y
4. Perhitungan Poison pada praktikum ini adalah keempat jenis tumbuhan
tersebut memiliki pola penyebaran secara non acak.
5. Berdasarkan perhitungan Blackman (1942) dalam Smith (1984), ketiga jenis
tumbuhan (Ischaemum barbatum, Axonapus compresus dan Cynodon
dactylon) diketahui pola distribusinya secara acak dan jenis tumbuhan
Paspalum conjugatum terdistribusi mengelompok
6. Pola distribusi pada tumbuhan disebabkan oleh faktor lingkungan seperti,
intensitas cahaya, kelembaban udara, suhu udara, dan kecepatan angin.

VII. DAFTAR PUSTAKA

152
Arisandi, Riza., Mochamad Arief Soendjoto., Dharmono. (2019).
Keanekaragaman Familia Poaceae Di Kawasan Rawa Desa Sungai
Lumbah, Kabupaten Barito Kuala. EnviroScienteae, 15(3), 390-
396.

Barbour, M.G.,J.H.Burk,& W.D.Pitts. (1987).Terresterial Palnt Ecology.


The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc., California.

Dharmono., Hardiansyah., Mahrudin., Riefani., Utami. (2020). Penuntun


Praktikum Ekologi Tumbuhan. Banjarmasin : Batang PMIPA FKIP
ULM.

Djufri. (2002). Penentuan Pola Distribusi, Asosiasi dan Interaksi Spesies


Tumbuhan Khususnya Padang Rumput di Taman Nasional
Baluran, Jawa Timur. Biodiversitas, 3(1):181-188.

Faisal, R., Siregar, E.B.M. dan Anna, N. (2011). Inventarisasi Gulma pada
Tegakan Tanaman Muda Eucalyptus sp. (Weed Inventory on Stand
of Young Eucalyptus sp.) Diakses melalui
https://www,google,co,id/search?
q=inventarisasi+gulma+pada+tegakntanaman+muda&ie=utf&oe=u
tfrls=org,mozilla:enUS:official&client=firefoxa&channel=fflb&gw
s_rd=cr&ei=qnCdU5SaH8miugTvjoGgDA. Pada tanggal 1 Mei
2018.

Fitriany, Rizka Ayu Mei, Suhadi, dan Sunarmi. (2013). Studi


Keanekaragaman Tumbuhan Herba Pada Area Tidak Bertajuk
Blok Curah Jarak Di Hutan Musim Taman Nasional Baluran.
Malang : Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang.

Greig-Smith, P. (1984). Quantitative Plant Ecology. Iowa: University Press.

Lubis, Siti Rahmah. (2009). Keanekaragaman dan Pola Distribusi


Tumbuhan Paku di Hutan Wisata Alam Taman Eden Kabupaten
Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara. Medan: Universitas
Sumatera Utara.

Odum, Eugene P. (1993). Dasar-dasar Ekologi. Yogyakarta : Gadjah Mada


University Press.

Parinding. (2007). Potensi dan Karakteristik Bio-Ekologis Tumbuhan


Sarang Semut Di Taman Nasional Wasur Merauke Papua. Tesis.
Bogor : Sekolah Pascasarjana IPB.

153
Ramlawatii., Hamka., Siti Saenab., dan Yunus S.R. (2017). Sumber Belajar
Penunjang PLPG 2017 Mata Pelajaran IPA Bab VI Ekologi.
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.

Sidik, Abubakar Katil. Deskripsi Pola Penyebaran Dan Faktor Bioekologis


Tumbuhan Paku (Pteridophyta) Di Kawasan Cagar Alam Gunung
Ambang Sub Kawasan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur.
Gorontalo : Biologi FMIPA Universitas Negeri Gorontalo.

Sofiah Siti, Dede Setiadi, dan Didik Widyamoko. (2013). Pola Penyebaran,
Kelimpahan Dan Asosiasi Bambu Pada Komunitas Tumbuhan Di
Taman Wisata Alam Gunung Baung Jawa Timur. Purwodadi:
Purwodadi Botanic Gardens-LIPI.

Syahbudin. (1987). Dasar-Dasar Ekologi Tumbuhan. Padang: Universitas


Andalas Pres.

Wahyuni, Sri Andi., Lilik Budi Prasetyo., dan Ervizal A. M. Zuhud. (2017).
Populasi Dan Pola Distribusi Tumbuhan Paliasa (Kleinhovia
Hospita L.) Di Kecamatan Bontobahari. Media Konservasi, 22(1),
11-18.

154
EKOLOGI TUMBUHAN
(ABKC 2604)

PRAKTIKUM IX
STRUKTUR POPULASI

155
PRAKTIKUM IX

Topik : Struktur Populasi


Tujuan : Untuk menentukan struktur umur populasi tumbuhan dalam suatu
komunitas
Hari/Tanggal : Minggu-Sabtu/ 16 Februari - 22 Februari 2020
Tempat : Lingkungan Desa Tabanio, Kecamatan Takisung, Kabupaten
Tanah Laut. Provinsi Kalimantan Selatan

I. ALAT DAN BAHAN


A. Alat:
1. Roll meter
2. Patok
3. Tali rapia
4. Plastik sampel
5. Kertas label
6. Parameter
B. Bahan
1. Rukam (Flacourtia rukam)
2. Brunei (Dillenia suffroticosa)
3. Alaban (Vitex pinnata)
4. Bungur (Lagerstroemia speciosa)

II. CARA KERJA


1. Menyiapkan alat yang akan digunakan
2. Menentukan 3 buah pohon sejenis yang terdapat bunga, buah, anakan,
pohon muda, dewasa, dan tua.
3. Membuat kuadran di bawah pohon tersebut 10 x 10 m untuk mengamati
jumlah pohon tua, dewasa, bunga dan buah. Dalam 10 x 10 m tersebut
buatlah 5 x 5 m untuk mengamati jumlah pohon muda dan anakan.
4. Memasukkan hasil pengamatan dalam tabel pengamatan.

153
III. TEORI DASAR
Populasi adalah kumpulan individu dari suatu jenis organisme.
Pengertian ini dikemukakan untuk menjelaskan bahwa individu- individu
suatu jenis organisme dapat tersebar luas di muka bumi, namun tidak
semuanya dapat saling berhubungan untuk mengadakan perkawinan atau
pertukaran informasi genetik, karena tempatnya terpisah. Individu- individu
yang hidup disuatu tempat tertentu dan antara sesamanya dapat melakukan
perkawinan sehingga dapat mengadakan pertukaran informasi genetik
dinyatakan sebagai satu kelompok yang disebut populasi.
Struktur populasi merupakan komposisi populasi yang meliputi
jenis kelamin (jantan, betina) dan umur (kategori anak, kategori muda,
kategori dewasa, dan kategori tua) yang merupakan proporsi antara tahapan
hidup suatu jenis flora. Model struktur populasi dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Struktur populasi stabil, merupakan populasi yang memiliki jumlah
individu tingkatan yang lebih muda selalu lebih banyak dibanding jumlah
individu yang lebih tua.
b. Struktur populasi konstan, merupakan populasi yang memiliki jumlah
individu tingkatan yang lebih muda sama banyak dibanding jumlah
individu yang lebih tua.
c. Struktur populasi tidak stabil, merupakan populasi yang memiliki jumlah
individu tingkatan yang lebih muda selalu lebih sedikit dibanding jumlah
individu yang lebih tua.
Ada dua ciri dasar populasi, yaitu: ciri biologis, yang merupakan
ciri-ciri yang dipunyai oleh individu-individu pembangun populasi itu, serta
ciri-ciri statistik, yang merupakan ciri uniknya sebagai himpunan atau
kelompok individu-individu yang berinteraksi satu dengan lainnya.
a. Ciri-ciri biologi
Seperti halnya suatu individu, suatu populasi pun mempunyai
ciri- ciri biologi, antara lain :

154
1. Mempunyai struktur dan organisasi tertentu, yang sifatnya ada yang
konstan dan ada pula yang berfluktuasi dengan berjalannya waktu
(umur).
2. Ontogenetik, mempunyai sejarah kehidupan (lahir, tumbuh,
berdiferensiasi, menjadi tua sama dengan senessens, dan mati).
3. Dapat dikenai dampak lingkungan dan memberikan respons terhadap
perubahan  lingkungan.
4. Mempunyai hereditas, terintegrasi oleh faktor- faktor hereditaa oleh
faktor- fektor herediter (genetik) dan ekologi (termasuk dalam hal ini
adalah kemampuan beradaptasi, ketegaran reproduktif dan persistensi.
Persistensi dalam hal ini adalah adanya kemungkinan untuk
meninggalkan keturunanuntuk waktu yang lama.
b. Ciri- ciri statistik
Ciri- ciri statistik merupakan ciri- ciri kelompok yang tidak
dapat di terapkan pada individu, melainkan merupakan hasil perjumpaan
dari ciri- ciri individu itu sendiri, antara lain:
1. Kerapatan (kepadatan) atau ukuran besar populasi berikut parameter-
parameter utama yang mempengaruhi seperti natalitas, mortalitas,
migrasi, imigrasi, emigrasi.
2. Sebaran (agihan, struktur) umur.
3. Komposisi genetik (“gene pool” sama dengan ganangan gen).
4. Dispersi(sebaran individu intra populasi).
Karakteristik populasi, yaitu;
a. Kerapatan/kepadatan populasi (densitas)
Kerapatan atau kepadatan populasi merupakan besaran atau
parameter tentang banyaknya individu atau biomassa per satuan ruang
atau tempat misalnya, kerapatan, kepadatan 300 batang pohon jati.
Kerapatan atau kepadatan populasi $arang bersi#at tetap (statis).
b. Natalitas

155
Merupakan kemampuan populasi untuk bertambah atau untuk
meningkatkan jumlahnya, melalui produsi individu baru yang
dilahirkan atau ditetaskan dari telur melalui aktifitas perkembangan.
c. Mortalitas
Menunjukkan kematian individu dalam populasi.
d. Pertumbuhan Populasi
Suatu populasi akan mengalami pertumbuhan, apabila laju
kelahiran di dalam populasi itu lebih besar dar laju kematian, dengan
mengasumsikan bahwa laju emigrasi (Faisal, 2015).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tumbuhan tersebar di
alam secara tidak merata (tidak mempunyai jarak yang sama) disebabkan
perbedaan kondisi lingkungan, sumber daya, tumbuhan tetangga, dan
gangguan yang merupakan faktor yang mempengaruhi pola dinamika
populasi tumbuhan.
Perbedaan perangkat kondisi lingkungan tersebut tidak hanya
memodifikasi distribusi dan kelimpahan individu, tetapi juga merubah
laju pertumbuhan, produksi biji, pola percabangan, area daun, area akar,
dan ukuran individu. Distribusi, survival, pola pertumbuhan serta
reproduksi mencerminkan adaptasi tumbuhan terhadap lingkungan
tertentu. Keadaan tersebut menjadi suatu bagian penting dalam ekologi
tumbuhan.
Populasi tumbuhan terdapat dalam suatu komunitas dapat
disusun dalam tiga pola dasar, yaitu; acak, mengelompok dan teratur.
Pola acak, lokasi sembarang tumbuhan tidak mempunyai arah dan posisi
terhadap lokasi lain spesies yang sama. Pada pola mengelompok,
hadirnya satu tumbuhan berarti terdapat kemungkinan besar untuk
menemukan tumbuhan lain spesies yang sama bereda di dekatnya. Pola
teratur adalah tumbuhan tersusun teratur sama jaraknya satu sama lainnya
seperti pohon dalam perkebunan.
a. Penyebaran secara acak, jarang terdapat di alam. Penyebaran ini
biasanya terjadi apabila faktor lingkungan sangat beragam untuk

156
seluruh daerah dimana populasi berada, selain itu tidak ada sifat-sifat
untuk berkelompok dari organisme tersebut. Dalam tumbuhan ada
bentuk-bentuk organ tertentu yang menunjang untuk terjadinya
pengelompkan tumbuhan.
b. Penyebaran secara merata, umumnya terdapat pada tumbuhan.
Penyebaran semacam ini terjadi apabila ada persaingan yang kuat
antara individu-individu dalam populasi tersebut. Pada tumbuhan
misalnya persaingan untuk mendapatkan nutrisi dan ruang.
c. Penyebaran secara berkelompok, adalah yang paling umum di alam,
terutama untuk hewan. Pengelompokan ini disebabkan oleh berbagai
hal:
1. Respon dari organisme terhadap perbedaan habitat secara local.
2. Respon dari organisme terhadap perubahan cuaca musiman akibat
dari  cara atau proses reproduksi atau regenerasi.
Struktur umur dari populasi dapat dikelompokan menjadi tiga
kelopok, yaitu;
a. Populasi cukup berkembang, individu yang muda lebih besar dari
individu tua.
b. Populasi stasioner, penyebaran kelompok individu atau populasi umur
yang merata.
c. Populasi menurun, individu yang muda lebih kecil dari individu muda.
Data struktur umur dari populasi biasanya disajikan dalam bentuk
piramida umur. Secara teoritis ada tiga bentuk dasar piramida yaitu;
a. Piramida dengan bentuk dasar luas dengan ciri populasi umur muda
besar.
b. Bentuk segitiga sama sisi atau lonceng  dengan jumlah kelompok
muda seimbang dengan kelompok tua.
c. Bentuk kendi, memiliki jumlah individu muda lebih kecil dari
kelompok dewasa (Campbell, 2004).

157
IV. HASIL PENGAMATAN
A. Tabel Hasil Pengamatan

Titik
No Nama Sp Fase
1 2 3 4 5
Rukam Pra Reproduksi 4 1 1 1 1
1 (Flacourtia Reproduksi 2 1 2 1 1
rukam) Post Reproduksi 1 1 1 1 1
Brunei Pra Reproduksi 1 1 1 1 1
2 (Dillenia Reproduksi 1 1 1 1 1
suffroticosa) Post Reproduksi 1 1 1 1 1
Pra Reproduksi 1 1 1 1 1
Alaban (Vitex
3 Reproduksi 1 1 1 1 1
pinnata)
Post Reproduksi 1 1 1 1 1
Bungur Pra Reproduksi 0 0 0 0 0
4 (Lagerstroemi Reproduksi 0 0 0 0 0
a speciosa) Post Reproduksi 0 0 0 0 0

1 Rukam (Flacourtia rukam)


Kerapatan
No Fase Pertumbuhan Σ individu
Ind/Ha
1 Pra Reproduktif 8 160
2 Reproduktif 7 140
3 Post Reproduktif 5 100
Σ 20 400
Luas Area 500

2 Brunei (Dillenia suffroticosa


Kerapatan
No Fase Pertumbuhan Σ individu
Ind/Ha
1 Pra Reproduktif 5 100

2 Reproduktif 5 100

3 Post Reproduktif 5 100

Σ 2 40

158
Luas Area 500

3 Alaban (Vitex pinnata)


Kerapatan
No Fase Pertumbuhan Σ individu
Ind/Ha
1 Pra Reproduktif 5 100

2 Reproduktif 5 100

3 Post Reproduktif 5 100

Σ 4 80
Luas area 500

4 Bungur (Lagerstroemia speciosa)


Kerapatan
No Fase Pertumbuhan Σ individu
Ind/Ha
1 Pra Reproduktif 0 0

2 Reproduktif 0 0

3 Post Reproduktif 0 0

Σ 0 0
Luas area 500

Contoh Perhitungan :
Kerapatan (K) :
∑ individu
K=
Luas area (ha) x Titik

1) Flacourtia rukam
a) Pra-reproduksi
∑ individu
K=
Luas area (ha) x Titik

159
K=
10.10 x 5

10.000

8 x 10.000
K=
500

K = 160 individu/ha

b) Reproduksi
∑ individu
K=
Luas area (ha) x Titik

7
K=
10.10 x 5
10.000

7 x 10.000
K=
500

K = 140 individu/ha

c) Post-reproduksi
∑ individu
K=
Luas area (ha) x Titik

5
K=
10.10 x 5
10.000

5 x 10.000
K=
500

K = 100 individu/ha
B. Piramida

160
1. Rukam (Flacourtia rukam)
Fase Kerapatan Data
Pra-Reproduktif (100 ind/Ha) -4 4 8
Reproduktif (20 ind/Ha) -3,5 3,5 7
Post-Reproduktif (240 ind/Ha) -2,5 2,5 5

Post-Reproduktif (100 ind/Ha)

Reproduktif 140 ind/Ha)

Pra-Reproduktif (160 ind/Ha)

2. Brunei (Dillenia
suffroticosa)
Fase Kerapatan Data
Pra-Reproduktif (20 ind/Ha) -2,5 2,5 5
Reproduktif (20 ind/Ha) -2,5 2,5 5
Post-Reproduktif (0 ind/Ha) -2,5 2,5 5

Post-Reproduktif (100 ind/Ha)

Reproduktif 100 ind/Ha)

Pra-Reproduktif (100 ind/Ha)

3. Alaban (Vitex pinnata)

161
Fase Kerapatan Data
Pra-Reproduktif (20 ind/Ha) -2,5 2,5 5
Reproduktif (20 ind/Ha) -2,5 2,5 5
Post-Reproduktif (0 ind/Ha) -2,5 2,5 5

Post-Reproduktif (100 ind/Ha)

Reproduktif 100 ind/Ha)

Pra-Reproduktif (100 ind/Ha)

4. Bungur (Lagerstroemia speciosa)


Fase Kerapatan Data
Pra-Reproduktif (0 ind/Ha) 0 0 0
Reproduktif (20 ind/Ha) 0 0 0
Post-Reproduktif (0 ind/Ha) 0 0 0

Post-Reproduktif (100 ind/Ha)

Reproduktif 100 ind/Ha)

Pra-Reproduktif (100 ind/Ha)

162
C. Tabel Parameter

Pengulangan
Nama alat Pengukuran Kisaran
1 2 3
Min 84,60% 82,50% 80,70% 80.7-84.6%
Hygrometer
Max 87,70% 88,50% 85,90% 85.9-88.5%
min 29.7˚C 29.8˚C 29.9˚C 29.7-29.9˚C
Termometer
max 29.7˚C 29.9˚C 29.9˚C 29.7-29.9˚C
pH 5,2 6,7 7 5.2-7
Soiltester
Kelembaban 50% 70% 60% 50-70%
Min 0.3 m/s 0.7 m/s 0 m/s 0-0.7 m/s
Anemometer
Max 1.2 m/s 2.9 m/s 0.8 m/s 0.8-2.9 m/s
2914.4 1456.3 7632 1456.3-7632
Min
lux lux lux lux
Lux meter
6542.3 >20000 6542.3-
Max 7221 lux
lux lux >20000 lux

D. Foto Pengamatan

N NAMA SP FOTO PENGAMATAN LITERATUR


O
1 Flacourtia
rukam

Sumber: (Dok. Kelas, 2020) Sumber: (Reuben, 2017)


2 Dillenia
suffroticosa

163
Sumber: (Dok. Kelas, 2020) Sumber: (Khaytarova, 2014)
3 Vitex
pinnata

Sumber: (Dok. Kelas, 2020) Sumber: (Arbainsyah dan Ferry,


2015).
4 Lagerstroe
mia
speciosa

Sumber: (Dok. Kelas, 2020) Sumber: (The Plant Attraction Seeds,


2014)

V. ANALISIS DATA
Populasi merupakan kumpulan individu sejenis yang menempati
ruang dan waktu dalam waktu tertentu. Secara ekologi, populasi dilihat dari
empat hal meliputi kuantitas, spesies penyusun, waktu dan tempat
(Dharmono, dkk, 2018). Struktur populasi dapat diamati dari struktur umum
(stadia), meliputi : a) biji yang dapat berkecambah; b) semai; c) muda
(juvenile); d) immature (masa vegetatif); e) dewasa; f) reproduksi awal; g)
kesuburan maksimal; dan h) tua atau senescent (Odum, 1993). Kajian
struktur populasi sangat penting dilakukan untuk menentukan bagaimana
status atau keadaan suatu pupulasi dalam suatu habitat. Status suatu populasi
pada habitat dapat dikategorikan menjadi 3 bagian yaitu krisis, terancam dan

164
aman. Setelah diketahui bagaimana status keadaan suatu populasi tumbuhan
di suatu daerah maka dapat dilakukan upaya tindakan terhadap populasi
tersebut agar tidak menjadi langka atau punah (Hardiansyah, 2010).
Pada praktikum struktur populasi ini, telah ditentukan 4 jenis pohon
yang diamati pada masing-masing titik pengamatan yaitu Rukam
(Flacourtia rukam), Brunei (Dillenia suffroticosa), Alaban (Vitex pinnata),
dan Bungur (Lagerstroemia speciosa). Kemudian Teknik pengambilan
sampel yaitu dengan teknik jelajah total yaitu dengan ekplorasi kawasan
penelitian yang telah ditetapkan dengan mengamati setiap sampel yang
ditemukan di kawasan dan membuat titik pada setiap sampel yang
ditemukan (Fachrul, 2000). Plot untuk prareproduktif, reproduktif, dan
postreproduktif dengan ukuran 10 m x 10 m.
Bedasarkan praktikum di lapangan, pengamatan ditentukan juga
kriteria yang akan diamati yaitu prareproduktif, reproduktif, dan
postreproduktif. Menurut Hadi (2015), populasi dapat dibagi ke dalam tiga
kelas umur yaitu :
a. Prareproduktif, yaitu populasi yang sebagian besar anggotanya adalah
individu–individu berumur muda. Populasi demikian merupakan populasi
yang sedang berkembang cepat.
b. Reproduktif, yaitu populasi yang sebagian besar anggotanya individu–
individu berumur sama dengan umur rata–rata populasi. Dengan kata
lain, populasi tersebut memiliki pembagian umur yang lebih merata,
sehingga populasi seperti itu dikatakan dalam kondisi mantap.
c. Pascareproduktif atau postreproduktif, yaitu populasi yang sebagian
besar anggotanya adalah individu-individu berumur tua. Populasi
demikian merupakan populasi yang sedang menurun.
Menurut Hardjosuwarno (1990) secara sederhana struktur umur
suatu populasi ada 3 macam, yaitu:
1. Populasi cukup berkembang, ditandai dengan jumlah individu muda yang
sangat besar proporsinya disebut juga populasi muda.

165
2. Populasi stasioner yang mempunyai penyebaran kelompok-kelompok
umur secara merata.
3. Populasi menurun yang mempunyai proporsi kelompok muda lebih kecil
dari kelompok umur tua.
Populasi tumbuhan terdapat dalam suatu komunitas dapat disusun
dalam tiga pola dasar, yaitu; acak, mengelompok dan teratur. Pola acak,
lokasi sembarang tumbuhan tidak mempunyai arah dan posisi terhadap
lokasi lain spesies yang sama. Pada pola mengelompok, hadirnya satu
tumbuhan berarti terdapat kemungkinan besar untuk menemukan tumbuhan
lain spesies yang sama bereda di dekatnya. Pola teratur adalah tumbuhan
tersusun teratur sama jaraknya satu sama lainnya seperti pohon dalam
perkebunan.
Penyebaran secara acak, jarang terdapat di alam. Penyebaran ini
biasanya terjadi apabila faktor lingkungan sangat beragam untuk seluruh
daerah dimana populasi berada, selain itu tidak ada sifat-sifat untuk
berkelompok dari organisme tersebut. Dalam tumbuhan ada bentuk-bentuk
organ tertentu yang menunjang untuk terjadinya pengelompkan tumbuhan.
Penyebaran secara merata, umumnya terdapat pada tumbuhan. Penyebaran
semacam ini terjadi apabila ada persaingan yang kuat antara individu-
individu dalam populasi tersebut. Pada tumbuhan misalnya persaingan
untuk mendapatkan nutrisi dan ruang.
Dan penyebaran secara berkelompok, adalah yang paling umum di
alam, terutama untuk hewan. Pengelompokan ini disebabkan oleh berbagai
hal yaitu respon dari organisme terhadap perbedaan habitat secara local dan
respon dari organisme terhadap perubahan cuaca musiman akibat dari  cara
atau proses reproduksi atau regenerasi (Campbell, 2004).
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap 4 jenis pohon, tenyata
keempat pohon tersebut termasuk dalam kelas magnoliopsida. Kelas
magnoliopsida (dicotilodenae) terdiri atas tumbuhan berkayu dan herba
adanya kambium membuat anggota-anggota kelas magnoliopsida
mengalami pertumbuhan sekunder pada batang dan akarnya. Pembuluh

166
yang teratur dan tersusun melingkar. Daun dengan venasi menjala berbentuk
penninervis, daun pada umumnya mempunyai tangkai dan helaian daun
yang melebar. Bunga pada umumnya kelipatan 5 atau 4, dan jarang
kelipatannya 3. Embrio biji mempunyai 2 kotiledon, jarang hanya 1, 3 dan 4
kotiledon. Magnoliopsida terdiri atas 6 sub kelas, yaitu: Magnolidae,
Hamamelidae, Caryophillidae, Rosidae, dan Asteriadae (Sudarsono, 2005).
Kemudian Syarat tumbuhan dikatakan pra-reproduksi, reproduksi, dan post-
reproduksi, yaitu : (a) pra-reproduksi: tinggi kurang dari 1,3 m, diameter
kurang dari 13 cm, (b) reproduksi: tinggi lebih dari 1,30 m, tetapi diameter
kurang dari 13 cm, dan (c) Post-reproduksi: dengan diameter 13 – 30 cm.
Untuk penjelasan masing-masing tumbuhan yang diamati adalah
sebagai berikut:
1. Rukam (Flacourtia rukam)
Berdasarkan pada hasil pengamatan di lapangan untuk bentuk
piramida umur yang diperoleh dari tumbuhan rukam yaitu piramida
dengan dasar yang melebar, di mana fase prareproduktif memiliki dasar
yang lebih besar daripada fase reproduktif, dan fase reproduktif,
selanjutnya fase reproduktif dengan ukuran sedang dan terakhir fase
postreproduktif dengan ukuran lebih kecil. Hal tersebut menandakan
bahwa pertumbuhan rukam cenderung stabil dan dalam kondisi
berkembang (Odum, 1993).
Besarnya nilai kerapatan dari fase prareproduktif menunjukkan
bahwa tumbuhan rukam masih dapat bertahan hidup di tempat tersebut,
karena tumbuhan reproduktif atau post-reproduktif dapat digantikan oleh
tumbuhan prareproduktif. Namun, rendahnya fase post-reproduktif dapat
diakibatkan oleh faktor biotik seperti aktivitas manusia terhadap
tumbuhan Flacourtia rukam. Berdasarkan literatur disebutkan bahwa
faktor biotik yang utama dalam mempengaruhi populasi tumbuhan
adalah kegiatan manusia seperti penebangan pohon yang berdampak
membuat pohon yang ada habis ditebang oleh masyarakat sehingga
mengakibatkan jumlah tumbuhan berkurang (Setiono, dkk, 2015).

167
2. Brunei (Dillenia suffruticosa) dan Alaban (Vitex pinnata)
Berdasarkan hasil pengamatan bentuk piramida umur yang
didapatkan dari tumbuhan brunei dan alaban adalah sama, yaitu piramida
yang sama baik pada bagian atas maupun bagian bawahnya, dimana
ketiga fase tersebut yaitu fase prareproduktif, fase reproduktif, dan fase
post-reproduktif mempunyai nilai kerapatan yang sama pada satu plot
yang sama pula. Hal tersebut terjadi karena struktur populasi mengalami
kestabilan atau keseimbangan antara ketiga fase tersebut. Menurut
literatur, pertumbuhan populasi suatu spesies disebabkan oleh laju
natalitas lebih tinggi dari laju mortalitas. Untuk beberapa faktor akan
mempengaruhi suatu populasi, seperti:
1) Nutrisi dan fisiologis yang baik
Nutrisi dan fisiologis yang terpenuhi tiap tingkat
pertumbuhan akan menjadikan pertumbuhan dan perkembangan suatu
jenis spesies akan optimal.
2) Kemampuan beradaptasi
Suatu spesies baik tunas, anakan, ataupun dewasa bahkan biji
dituntut untuk dapat beradaptasi terhadap kondisi lingkungan yang
tidak menguntungkan. Apabila tidak dapat beradaptasi bisa saja
nantinya tidak dapat tumbuh atau akan mati. Benih termasuk struktur
yang sedang berkembang dan bisa saja terancam keunahannya yang
akan dating apabila terdapat faktor-faktor lingkungan yang berubah-
ubah. Maka, jumlah anakan dari spesies ini mampu menyokong
kelangsungan vegetasi dati tumbuhan tersebut.
3) Tidak adanya faktor pembatas
Faktor pembatas yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
penyebaran suatu spesies adalah cahaya matahari, suhu, air, faktor
edafik dan fisika tanah, dan gas-gas atmosfer (Odum, 1993).

168
3. Bungur (Lagerstroemia speciosa)
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan untuk bungur adalah
0 atau tidak ada sama sekali ditemukan. Hal ini bisa saja disebabkan
karena faktor lingkungan yang kurang mendukung. Menurut literatur,
Struktur populasi pada suatu tumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu :
1. Natalitas, menurut Resosoedarmo, dkk (1992) populasi tumbuh
apabila natalitas melibihi mortalitas. Laju natalitas suatu tumbuhan
dipengaruhi kemampuan tumbuhan untuk melakukan pembuahan
karena dengan tumbuhnya suatu buah maka regenerasi individu akan
berlangsung dan mengaibatkan suatu tumbuhan mampu
mempertahankan populasinya dari waktu ke waktu.
2. Mortalitas, fase semai, sapihan, tiang dan pohon akan turun drastis
jika suatu tempat terjadi kebakaran hutan dan pada saat pengambila
sampel banyak terdapat bekas kebakaran hutan yang sudah dipastikan
akan menganggu jumlah kerapatan tumbuhan.
3. Faktor Lingkungan, pengukuran parameter lingkungan diketahui ada 3
kondisi lingkungan yang menjadi faktor penentu yaitu suhu udara,
kelembaban udara dan pH tanah.
Menurut Odum (1993) bentuk piramida umur atau diagram
populasi adalah sebagai berikut:
a. Piramida dengan dasar yang lebar merupakan populasi yang sedang
berkembang.
b. Poligon bentuk genta merupakan populasi yang stasioner.
c. Bentuk pasu atau kendi merupakan populasi yang menurun.
Kondisi lingkungan yang mendukung dapat memenuhi syarat untuk
suatu tumbuhan berkembang biak. Kondisi lingkungan yang kami ukur
yaitu suhu, kelembaban udara, dan pH. Untuk suhu udara pada saat
pengamatan di lapangan memiliki kisaran 29,7ºC-29,9ºC, kisaran tersebut
termasuk tinggi sehingga hasil yang ditemukan tidak terlalu banyak. Hal

169
tersebut di dukung oleh literatur yaitu budidaya tumbuhan harus suhu udara
yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan serta reproduksinya
berkisar 20-25°C (Permentan, 2013). Sehingga suhu udara pada saat
pengamatan memang kurang sesuai dengan kondisi tumbuhan tersebut
untuk melakukan pertumbuhan dan perkembangan.
Kelembaban udara pada saat pengamatan di lapangan memiliki
kisaran 85,9-88,5 %. Budidaya tumbuhan akan baik tumbuh dan
perkembangannya pada keadaaan kelembaban udara yang lembab, karena
akan menjaga keadaan air pada suatu tumbuhan dan jika kelembaban udara
terlalu tinggi maka akan menyebabkan suatu tumbuhan cepat kehilangan
kandungan udara atau cepat terjadi penguapan (Permentan, 2013). pH tanah
pada saat pengamatan memiliki kisaran 5,2-7 hal ini menandakan bahwa
kondisi tanah pada saat pengamatan dalam kondisi yang asam dan juga
netral saat pengulangan ketiga. Tanah yang subur memiliki kadar pH yang
netral atau berkisar antara 6,5-7,5. Hal ini berpengaruh pada
ketersediaannya berbagai unsur di dalam tanah. Pada kondisi tanah dengan
pH netral maka tumbuhan akan lebih mudah menyerap unsur hara dan
menjaga keseimbangan mikroorganisme yang terdapat dalam tanah. Apabila
tanah terlalu asam maka perlu dilakukannya proses pengapuran agar pH-nya
mendekati kondisi normal. Apabila tanah memiliki kadar pH terlalu basa
maka perlu pemberian sulfur atau belerang yang biasanya terdapat pada
pupuk ZA untuk menetralkan pH-nya (Arinda, 2019).
Selain ketiga parameter tersebut, ada juga literatur yang
menyebutkan mengenai pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan
tanaman dapat dibagi atas dua faktor yaitu lingkungan dan genetik.
Lingkungan tumbuh tanaman sendiri dapat dikelompokkan atas lingkungan
biotik (tumbuhan lain, hama, penyakit, dan manusia), dan abiotik (tanah dan
iklim). Faktor-faktor tersebut sebagai berikut :
i. Faktor internal (dalam), faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan pada tumbuhan adalah faktor genetik (hereditas), enzim
dan zat pengatur tumbuh (hormon).

170
ii. Faktor Eksternal (luar), selain faktor internal, pertumbuhan dan
perkembangan tanaman dipengaruhi oleh faktor eksternal. Faktor
eksternal adalah faktor dari luar tumbuhan yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Beberapa faktor eksternal,
yaitu: suhu, cahaya matahari, hara dan air, curah hujan, tinggi tempat dan
tanah (Arimbawa, 2016).

VI. KESIMPULAN
1. Dalam pengelompokkan umur pada suatu populasi memiliki 3 kriteria yang
diamati yaitu prareproduksi, reproduksi, dan postreproduksi.
2. Pada praktikum struktur populasi tumbuhan yang diamati terdapat 4
tumbuhan yaitu rukam (Flacourtia rukam), brunei (Dillenia suffroticosa),
alaban (Vitex pinnata), dan bungur (Lagerstroemia speciosa).
3. Dari data ini dapat diketahui bahwa struktur populasi yang ada pada
kawasan tersebut dalam keadaan yang sebagian besar sedang berkembang
(bereproduksi).
4. Struktur populasi dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu natalitas, mortalitas dan
faktor lingkungan.
5. Faktor yang mempengaruhi lingkungan terhadap tumbuhan, yaitu: faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi: faktor genetik
(hereditas), enzim dan zat pengatur tumbuh (hormon). Faktor eksternal
meliputi: suhu, cahaya matahari, hara dan air, curah hujan, tinggi tempat dan
tanah.

VII. DAFTAR PUSTAKA


Achmad Faqih Sha’ab, dkk. (2013). Laporan Praktikum Ekologi Tumbuhan
Topic: Populasi Enceng Gongok (Eichhornia crassipes). Palangka
Raya: UNPAR.

Arbainsyah dan Ferry, (2015). Vitex pinnata L., Sp. Pl. Diakses melalui


http://www.asianplant.net/Lamiaceae/Vitex_pinnata.htm pada
tangggal 10 April 2020.

171
Arimbawa, I Wayan Pasek. (2016). Bahan Ajar Mata Kuliah: Dasar-Dasar
Agronomi. Denpasar: Fakultas Pertanian.

Arinda. (2019). Ciri-Ciri Tanah Subur yang Baik Digunakan untuk


Pertanian. Diakses melalui http://farming.id. pada tanggal 10 April
2020

Campbell, Neil A. (2004). Biologi Jilid 3. Jakarta: Erlangga.

Dharmono., Hardiansyah., Mahrudin., Maulana K.R & Nurul H.U. (2020).


Penuntun Praktikum Ekologi Tumbuhan. Banjarmasin: CV.
Batang.

Dharmono., Hardiansyah., Mahrudin., & Maulana K.R. (2018). Penuntun


Praktikum Ekologi Tumbuhan. Banjarmasin: CV. Batang.

Fachrul. M.F. (2012). Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara.

Faisal. (2015). Penuntun Praktikum Ekologi Tumbuhan. Palangka Raya:


IAIN Palangka Raya.

Hadi, Nasir. (2015). Buku Ajar Ekologi Tumbuhan. Diakses melalui


http://www.academia.edu/25630668/Buku_Ajar_Ekologi_Tumbuh
an pada tanggal 10 April 2020.

Hardiansyah. (2010). Pengantar Ekologi Tumbuhan. (Tidak


dipublikasikan). Banjarmasin: Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan UNLAM.

Hardjosuwarno. (1990). Dasar-Dasar Ekologi Tumbuhan. Yogyakarta:


Fakultas Biologi UGM.

Khaytarova. (2014). Dillenia sp. Diakses melalui


https://toptropicals.com/catalog/uid/Dillenia_sp.htm pada tangggal
10 April 2020.

Odum, Eugene P. (1993). Dasar-Dasar Ekologi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Permentan No 13 Tahun 2013. Pedoman Budidaya Aren (Arenga pinnata


Merr.) Yang Baik.

Resosoedarmo, S.R., Kartawinata, K. & Soegiarto, A. (1992). Pengantar


Ekologi. Bandung: Remaja Rosdakarya Dffset.

172
Reuben. (2017). Flacourtia rukam. Diakses melalui
https://www.flickr.com/photos/reulim/32344685012/in/photostrea
m/ pada tangggal 10 April 2020.

Setiono, Heri., Dharmono., & Muchyar. (2015). Struktur Populasi Alstonia


scholaris (L) R.Br di Kawasan Air Terjun Bajuin Tanah Laut.
Banjarmasin: Master Program of Biology Education, Postgraduate
Program Lambung Mangkurat University.

Sudarsono. (2005). Taksonomi Tumbuhan Tinggi. Malang: UM Press.

The Plant Attraction Seed. (2014). Lagerstroemia speciosa flos reginae.


Diakses melalui
https://www.theplantattraction.com/products/lagerstroemia-
speciosa-flos-reginae-tree-20-500-seeds-queens-crape-myrtle-herb
pada tangggal 10 April 2020.

173
EKOLOGI TUMBUHAN
(ABKC 2604)

PRAKTIKUM X
ASOSIASI DAN INTERAKSI ANTAR SPESIES

174
PRAKTIKUM X

Topik : Asosiasi dan Interaksi Antar Spesies


Tujuan : Untuk menentukan asosiasi dan interaksi antar spesies
tumbuhan dalam suatu komunitas
Hari / Tanggal : Minggu-Sabtu/16-22 Februari 2020
Tempat : Lingkungan Desa Tabanio, Kecamatan Takisung, Kabupaten
Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan

I. ALAT DAN BAHAN


A. Alat:
1. Pipa L kuadran 1 x 1 m2
2. Roll meter
3. Tali rafia
4. Head lamp
5. Plastik sampel
6. Alat tulis
7. Kertas label

B. Bahan:
1. Paspalum conjugatum
2. Ischaemumbarbatum
3. Axonopus compressus
4. Cynodon dactylon

II. CARA KERJA


1. Menentukan area stand secara subyektif, yaitu pada vegetasi herba yang
cukup homogen.
2. Membuat area kajian seluas 100 x 100 m, dan menentukan sisi-sisi yang
menjadi sumbu X dan Y.

174
3. Menentukan 4 spesies tumbuhan untuk dikaji asosiasi dan interaksinya
berdasarkan kajian pola distribusi pada praktikum terdahulu.
4. Mengambil plot sebanyak 100 buah plot ukuran 1 x 1 m2 secara acak
(sistem undian) pada stand kajian tersebut.
5. Mencatat spesies apa saja yang terdapat pada setiap plot (diantara spesies
yang telah ditentukan) tanpa menghitung kerapatan maupun
penutupannya.
A hadir, A tidak,
Kombinasi A dan B A dan B Jlh
No B tidak B hadir
spesies hadir (a) absen (d) (e)
(b) (c)
1
2
3
4
5
6
7
8
dst
6. Menyusun data yang didapat ke dalam tabel seperti di bawah ini :

7. Untuk menentukan apakah dua spesies yang berbeda ada asosiasi atau
tidak menggunakan perhitungan X2 dengan menggunakan tabel
contingency seperti di bawah ini :
Simbol dan Jlh kuadrat Jlh kuadrat harapan X2 = (O – H)2
deskripsi observasi (O) (H) H
a = A dan B a (a + b) x (a + c)
hadir =k
100
b = A hadir, B b (a + b) – k = l
absen
c = A absen, c (a + c) – k = m
B hadir
d = A dan B d 100 – (k + l + m)
absen
Jumlah

175
8. Dari perhitungan X2 dalam tabel contingency di atas, maka dapat
ditentukan apakah dua spesies ada asosiasi atau tidak dengan cara :
a. Bila X2 hitung < X2 tabel, maka dikatakan bahwa kedua spesies itu
terdistribusi secara acak, atau tidak ada asosiasi.
b. Bila X2 hitung > X2 tabel, maka bahwa kedua spesies ada asosiasi.
c. Penentuan asosiasi positif dan negatif berdasarkan perbandingan
jumlah kuadrat teramati dan yang diharapkan menurut kesempatan.
Bila jumlah kuadrat teramati yang berisi spesies A dan B saja lebih
besar dari yang diharapkan menurut kesempatan, dan jumlah kuadrat
teramati yang terisi kedua spesies lebih kecil dari yang diharapkan
menurut kesempatan, maka asosiasinya adalah negatif. Sebaliknya
jika jumlah kuadrat teramati yang berisi spesies A atau B saja lebih
kecil dari yang diharapkan menurut kesempatan dan jumlah kuadrat
teramati yang berisi kedua spesies lebih besar dari yang diharapkan
menurut kesempatan, maka asosiasinya adalah positif.

III. TEORI DASAR


Kebanyakan komunitas tumbuhan yang berada di alam ini terdiri atas
lebih dari satu populasi. Mereka memperlihatkan adanya pengaruh populasi
non-tumbuhan, seperti dari golongan dekomposer (bakteri dan fungi) yang
ada dalam tanah, potongan parasitik, dan hewan herbivor. Interaksi antara
berbagai populasi dapat memodifikasi potensi genetis tiap spesies untuk
menghasilkan suatu komunitas, berdasarkan pada optimal ekologis dan
kisaran ekologis (Barbour et al, 1987).
Suatu asosiasi adalah unit vegetasi yang hanya menempati suatu
bagian di permukaan bumi yang relatif sempit, yaitu suatu tempat atau
daerah dengan kondisi edafik tertentu. Menurut Kongres Botani
Internasional tahun 1910, suatu asosiasi harus mempunyai sifat-sifat sebagai
berikut : a) Mempunyai komposisi florostik relatif tetap, b) Memperlihatkan

176
fisionomi relatif seragam, c) Terdapat pada tipe habitat yang relatif
konsisten (Barbour et al, 1987).
Asosiasi jenis tumbuhan tidak berarti merupakan bentuk yang
harmonis dari berbagai kegiatan yang bertujuan sama. Namun adanya
individualitas tumbuhan tidak berarti menghambat adanya hubungan
tertentu di antara tumbuhan dalam suatu komunitas, hubungan tersebut
dapat berupa: a) Pesaing langsung, yang bersaing untuk sumber lingkungan
yang sama dengan menempati strata sama, b) Jenis dependen, yang hanya
dapat hidup pada niche tertentu karena hadirnya tumbuhan lain, seperti
lumut yang hanya tumbuh pada kondisi mikroklimat tertentu yang
dihasilkan oleh pohon, c) Jenis pelengkap, tidak bersaing satu sama lain,
karena persaratan untuk hidup mencukupi dengan menempati strata yang
berbeda, atau irama musiman yang berbeda (Muller-Dombois & Ellenberg,
1974).
Menurut Kershaw (1973), Keliman (1978), kajian level asosiasi itu
dapat ditempuh dengan memasangkan jenis yang diteliti dengan parameter
kekerapan. Pengambilan sampel di lapangan berdasarjkan premis (dasar
pikiran) bahwa interaksi positif akan menghasilkan hubungan ruang
(spatial) positif antara partnernya. Kalau satu partnernya didapatkan di
dalam sapling, maka kemungkinan besar akan diketemukan partner lainnya
yang tumbuh berdekatan. Dua populasi saling menarik satu sama lain, dan
hadir dalam pola nonrandum, atau mengelompok. Hal yang sama juga
terjadi pada interaksi negatif yang akan menghasilkan hubungan spatial
negatif yakni, dua populasi saling mengusir satu sama lain dan hadir dalam
pola non randum atau regular. Jika tidak ada interaksi antara populasi yang
mana lokasi individu suatu spesies tidak berpengaruh terhadap lokasi
individu spesies lainnya, maka dua individu tersebut dalam populasi
dikatakan tersebar secara acak (Hardjosuwarno, 1994).

177
IV. HASIL PENGAMATAN
A. Tabel Hasil Pengamatan
1. Tabel titik koordinat
Paspalum Ischaemum Axonopus Cynodon
No. Titik
conjugatum barbatum compresus dactylon
1 (17 , 62) 0 25 14 10
2 (74 , 36) 9 20 17 8
3 (98 , 26) 6 17 20 4
4 (5 , 23) 3 28 15 5
5 (35 , 43) 0 15 16 12
6 (8 , 53) 4 26 8 5
7 (42 , 58) 0 32 4 9
8 (94 , 93) 0 21 2 19
9 (23 , 9) 3 16 18 4
10 (63 , 40) 2 10 9 10
11 (12 , 13) 1 15 19 7
12 (25 , 11) 4 9 20 11
13 (93 , 25) 8 8 20 9
14 (21 , 42) 10 6 19 8
15 (87 , 15) 7 15 4 3
16 (6 , 59) 8 19 17 6
17 (59 , 41) 4 25 5 11
18 (33 , 72) 2 13 20 1
19 (50 , 1) 0 19 20 9
20 (49 , 39) 1 27 10 5
21 (62 , 4) 15 20 8 26
22 (29 , 50) 5 18 10 7
23 (43 , 96) 3 25 10 9
24 (44 , 45) 16 14 20 0
25 (51 , 81) 10 19 7 25
26 (73 , 86) 9 15 18 9
27 (75 , 82) 5 10 0 7
28 (61 , 73) 12 8 23 5
29 (71 , 94) 16 22 15 7
30 (52 , 54) 8 13 20 3
31 (97 , 70) 5 16 12 19
32 (57 , 80) 18 22 18 12
33 (31 , 89) 4 17 22 8
34 (46 , 61) 3 16 17 6
35 (28 , 30) 10 20 10 6
36 (55 , 26) 13 19 17 9
37 (92 , 46) 5 5 18 10
38 (69 , 49) 17 7 20 17

178
39 (84 , 35) 8 13 22 9
40 (65 , 98) 12 19 18 12
41 (91 , 97) 9 10 13 12
42 (86 , 33) 0 10 5 20
43 (64 , 44) 4 8 17 9
44 (18 , 55) 12 7 18 6
45 (38 , 87) 15 4 20 12
46 (89 , 71) 20 7 23 11
47 (76 , 51) 0 18 10 9
48 (36 , 85) 12 17 15 4
49 (99 , 52) 15 17 17 2
50 (20, 34) 7 22 10 3
51 (2, 28) 22 35 2 0
52 (28, 51) 24 38 5 4
53 (44, 30) 5 31 7 4
54 (67, 50) 3 5 2 7
55 (1, 36) 1 16 2 2
56 (12, 15) 2 23 3 3
57 (56, 65) 0 13 1 1
58 (40, 37) 8 18 1 0
59 (53, 81) 2 7 3 5
60 (4, 23) 2 25 3 4
61 (41, 69) 3 17 2 3
62 (23, 57) 6 27 5 35
63 (55, 35) 2 27 4 4
64 (15, 8) 1 12 2 8
65 (30, 59) 11 34 1 3
66 (81, 71) 6 9 3 4
67 (58, 34) 2 7 0 2
68 (49, 19) 2 23 2 4
69 (84, 41) 2 12 4 5
70 (6, 3) 1 17 5 4
71 (36, 5) 29 25 1 3
72 (77, 74) 2 8 2 18
73 (48, 2) 2 19 1 3
74 (32, 48) 2 23 0 11
75 (60, 86) 1 8 2 4
76 (50, 39) 10 21 17 4
77 (88, 88) 4 19 11 1
78 (100, 14) 11 17 4 6
79 (21, 20) 2 31 14 2
80 (33, 25) 19 9 4 3
81 (47, 53) 7 37 5 0
82 (86, 80) 3 29 7 3

179
83 (25, 54) 5 27 3 2
84 (35, 47) 13 14 9 3
85 (16, 21) 0 24 14 2
86 (45, 52) 4 15 25 0
87 (5, 10) 3 21 13 16
88 (19, 13) 1 24 30 13
89 (34, 43) 2 23 7 5
90 (3, 90) 21 14 10 10
91 (51, 49) 5 16 5 12
92 (20, 67) 4 33 12 1
93 (62, 31) 5 29 15 3
94 (57, 45) 5 15 28 4
95 (37, 18) 18 26 4 24
96 (8, 7) 2 32 12 2
97 (22, 17) 2 28 14 2
98 (13, 29) 2 33 12 4
99 (43, 11) 2 12 9 4
100 (38, 52) 15 38 7 17

2. Tabel Kotingensi

A
A dan A tidak, A dan
hadir, B Jlh
No Kombinasi spesies B hadir B hadir B absen
tidak (e)
(a) (c) (d)
(b)
Paspalum conjugatum dan
1 92 0 8 0 100
Ischaemum barbatum
Paspalum conjugatum dan
2 89 3 8 0 100
Axonopus compresus
Paspalum conjugatum dan Cynodon
3 87 5 8 0 100
dactylon
Ischaemum barbatum dan Axonopus
4 97 3 0 0 100
compresus
Ischaemum barbatum dan Cynodon
5 95 5 0 0 100
dactylon
Axonopus compresus dan Cynodon
6 92 5 3 0 100
dactylon

180
3. Tabel 3.1 kontingensi antara Paspalum conjugatum dan
Ischaemum barbatum
Paspalum conjugatum dan Observasi Harapan
No O-H (O-H)² X²O=(O-H)²/H
Ischaemum barbatum (O) (H)
1 A dan B hadir (a) 92 92 0 0 0
2 A hadir, B tidak (b) 0 0 0 0 0
3 A tidak, B hadir (c) 8 100 -92 8464 84,64
4 A dan B absen (d) 0 -92 92 8464 -92,00
Jumlah (e) 100 100 0 16928 -7,36
Perhitungan:
Harapan (H)
( 3+30 ) ( 3+1 )
1) A dan B hadir = K = (a+b)(a+c)/100
50
= (92+0)(92+8)/100
= (92)(100)/100
= 92

2) A hadir, B tidak hadir = L = (a+b) – K


= (92+0) – 92
= 92-92
=0

3) A tidak, B hadir = M = (a+c) – L


= (92+8) – 0
= 100 – 0
= 100

4) A dan B absen = N = 100 – (K+L+M)


= 100 – (92+0+100)
= 100 – 192
= -92
ƩH = K+L+M+N
= 92 + 0 + 100 + (-92)

181
= 100
X2 hitung : ¿ ¿
A dan B hadir = ¿¿ = 0
A hadir, B tidak = ¿¿ = 0
A tidak, B hadir = ¿ ¿ = 84,64
A dan B tidak = ¿ ¿ = -92,00
Ʃ X2 hitung = 0 + 0 + 84,64 + (-92,00) = -7,36
Jadi, tidak ada asosiasi antara Paspalum conjugatum dan Ischaemum barbatum
karena X2 hitung < X2 tabel = -7,36 < 6,25

4. Tabel 3.2 Kontingensi antara Paspalum conjugatum dan Axonopus


compressus
Paspalum conjugatum dan Observasi Harapan
No O-H (O-H)² X²O=(O-H)²/H
Axonopus compressus (O) (H)
1 A dan B hadir (a) 89 89,24 -0,24 0,06 0
2 A hadir, B tidak (b) 3 2,76 0,24 0,06 0,02
3 A tidak, B hadir (c) 8 94,24 -86,24 7437,34 78,92
4 A dan B absen (d) 0 -86,24 86,24 7437,34 -86,24
Jumlah (e) 100 100 0 14874,79 -7,30
Perhitungan:
Harapan (H)
( 3+30 ) ( 3+1 )
1) A dan B hadir = K = (a+b)(a+c)/100
50
= (89+3)(89+8)/100
= (92)(97)/100
= 89,24

2) A hadir, B tidak hadir = L = (a+b) – K


= (89+3) – 89,24
= 92-89,24
= 2,76

182
3) A tidak, B hadir = M = (a+c) – L
= (89+8) – 2,76
= 97 – 2,76
= 94,24

4) A dan B absen = N = 100 – (K+L+M)


= 100 – (89,24+2,76+94,24)
= 100 – 186,24
= -86,24
ƩH = K+L+M+N
= 89,24 + 2,76 + 94,24 + (-86,24)
= 100
X2 hitung : ¿ ¿
A dan B hadir = ¿¿ = 0
A hadir, B tidak = ¿ ¿ = 0,02
A tidak, B hadir = ¿ ¿ = 78,92
A dan B tidak = ¿ ¿ = -86,24
Ʃ X2 hitung = 0 + 0,02 + 78,92 + (-86,24) = -7,36
Jadi, ada asosiasi antara Paspalum conjugatum dan Axonopus compressus karena
∑X^2 hitung < ∑X^2 tabel = -7,30 < 6,25

5. Tabel 3.3 Kontingensi antara Paspalum conjugatum dan Cynodon


dactylon

N Paspalum conjugatum dan Observas Harapa


O-H (O-H)² X²O=(O-H)²/H
o Cynodon dactylon i (O) n (H)
1 A dan B hadir (a) 87 87,4 -0,4 0,16 0,00
2 A hadir, B tidak (b) 5 4,6 0,4 0,16 0,03
3 A tidak, B hadir (c) 8 90,4 -82,4 6789,76 75,11
4 A dan B absen (d) 0 -82,4 82,4 6789,76 -82,40
13579,8
Jumlah ( e ) 100 100 0 4 -7,26

Perhitungan:
Harapan (H)

183
( 3+30 ) ( 3+1 )
1) A dan B hadir = K = (a+b)(a+c)/100
50
= (87+5)(87+8)/100
= (92)(95)/100
= 87,4

2) A hadir, B tidak hadir = L = (a+b) – K


= (87+5) – 87,4
= 92-87,4
= 4,6

3) A tidak, B hadir = M = (a+c) – L


= (87+8) – 4,6
= 95 – 4,6
= 90,4

4) A dan B absen = N = 100 – (K+L+M)


= 100 – (87,4+4,6+90,4)
= 100 – 182,4
= -82,4
ƩH = K+L+M+N
= 87,4 + 4,6 + 90,4 + (-82,4)
= 100
X2 hitung : ¿ ¿
A dan B hadir = ¿¿ = 0
A hadir, B tidak = ¿ ¿ = 0,03
A tidak, B hadir = ¿ ¿ = 75,11
A dan B tidak = ¿ ¿ = -82,4
Ʃ X2 hitung = 0 + 0,03 + 75,11 + (-82,4) = -7,26
Jadi, tidak ada asosiasi antara Paspalum conjugatum dan Cynodon dactylon
karena
∑X^2 hitung < ∑X^2 tabel = -7,26 < 6,25

184
6. Tabel 3.4 Kontingensi antara Ischaemum barbatum dan Axonopus
compressus

Ischaemum barbatum dan Observasi Harapan


No O-H (O-H)² X²O=(O-H)²/H
Axonopus compressus (O) (H)
1 A dan B hadir (a) 97 97 0 0 0
2 A hadir, B tidak (b) 3 3 0 0 0
3 A tidak, B hadir (c) 0 94 -94 8836 94
4 A dan B absen (d) 0 -94 94 8836 -94
Jumlah ( e ) 100 100 0 17672 0
Perhitungan:
Harapan (H)
( 3+30 ) ( 3+1 )
1) A dan B hadir = K = (a+b)(a+c)/100
50
= (97+3)(97+0)/100
= (100)(97)/100
= 97

2) A hadir, B tidak hadir = L = (a+b) – K


= (97+3) – 97
= 100 – 97
=3

3) A tidak, B hadir = M = (a+c) – L


= (97+0) – 3
= 97 – 3
= 94

4) A dan B absen = N = 100 – (K+L+M)


= 100 – (97+3+94)

185
= 100 – 194
= -94
ƩH = K+L+M+N
= 97 + 3 + 94 + (-94)
= 100
X2 hitung : ¿ ¿
A dan B hadir = ¿¿ = 0
A hadir, B tidak = ¿¿ = 0
A tidak, B hadir = ¿ ¿ = 94
A dan B tidak = ¿ ¿ = -94
Ʃ X2 hitung = 0 + 0+ 94 + (-94) = 0
Jadi, tidak ada asosiasi antara Ischaemum barbatum dan Axonopus compressus
karena ∑X^2 hitung < ∑X^2 tabel = 0 < 6,25

7. Tabel 3.5 Kontingensi antara Ischaemum barbatum dan Cynodon


dactylon

Isachemum barbatum dan Observasi Harapan


No O-H (O-H)² X²O=(O-H)²/H
Cynodon dactylon (O) (H)
1 A dan B hadir (a) 95 95 0 0 0
2 A hadir, B tidak (b) 5 5 0 0 0
3 A tidak, B hadir (c) 0 90 -90 8100 90
4 A dan B absen (d) 0 -90 90 8100 -90
Jumlah (e) 100 100 0 16200 0
Perhitungan:
Harapan (H)
( 3+30 ) ( 3+1 )
1) A dan B hadir = K = (a+b)(a+c)/100
50
= (95+5)(95+0)/100
= (100)(95)/100
= 95

2) A hadir, B tidak hadir = L = (a+b) – K


= (95+5) – 95
= 100 – 95

186
=5

3) A tidak, B hadir = M = (a+c) – L


= (95+0) – 5
= 95 – 5
= 90

4) A dan B absen = N = 100 – (K+L+M)


= 100 – (95+5+90)
= 100 – 190
= -90
ƩH = K+L+M+N
= 95 + 5 + 90 + (-90)
= 100
X2 hitung : ¿ ¿
A dan B hadir = ¿¿ = 0
A hadir, B tidak = ¿¿ = 0
A tidak, B hadir = ¿ ¿ = 90
A dan B tidak = ¿ ¿ = -90
Ʃ X2 hitung = 0 + 0+ 90 + (-90) = 0

Jadi, tidak ada asosiasi antara Ischaemum barbatum dan Cynodon dactylon karena
∑X^2 hitung < ∑X^2 tabel = 0 < 6,25

8. Tabel 3.6 Kontigenansi antara Axonopus compressus dan Cynodon


dactylon
Axonopus compressus dan Observas Harapan
No O-H (O-H)² X²O=(O-H)²/H
Cynodon dactylon i (O) (H)
1 A dan B hadir (a) 92 92,15 -0,15 0,02 0,000
2 A hadir, B tidak (b) 5 4,85 0,15 0,02 0,005
3 A tidak, B hadir (c) 3 90,15 -87,15 7595,12 84,250
4 A dan B absen (d) 0 -87,15 87,15 7595,12 -87,150

187
Jumlah (e) 100 100 0 15190,29 -2,895
Perhitungan:
Harapan (H)
( 3+30 ) ( 3+1 )
1) A dan B hadir = K = (a+b)(a+c)/100
50
= (92+5)(95+3)/100
= (97)(98)/100
= 92,15

2) A hadir, B tidak hadir = L = (a+b) – K


= (92+5) – 92,15
= 97 – 92,15
= 4,85

3) A tidak, B hadir = M = (a+c) – L


= (92+3) – 4,85
= 95 – 4,85
= 90,15

4) A dan B absen = N = 100 – (K+L+M)


= 100 – (92,15+4,85+90,15)
= 100 – 187,15
= -87,15

ƩH = K+L+M+N
= 92,15 + 4,85 + 90,15 + (-87,15)
= 100
X2 hitung : ¿ ¿
A dan B hadir = ¿¿ = 0

188
A hadir, B tidak = ¿ ¿ = 0,005
A tidak, B hadir = ¿ ¿ = 84,250
A dan B tidak = ¿ ¿ = -87,150
Ʃ X2 hitung = 0 +0,005+ 84,250 + (-87,150) = 0

Jadi, tidak ada asosiasi antara Axonopus compressus dan Cynodon dactylon
karena ∑X^2 hitung < ∑X^2 tabel = -2,895 < 6,25

b. Tabel 3 Parameter Lingkungan


Satua Pengulangan Kisaran
Nama Alat Pengukuran
n I II III
108,0
Hygrometer % 100,00 105,00 100-108
0
Min 88,7 86,8 91,6 86,8-91,6
Anemometer m/s
Max 88,8 86,0 91,9 86,0-91,9
Termometer ˚C 27 26 27 26-27
Min 0 0 0 0
Lux meter Lux
Max 0 0 0 0

V. ANALISIS DATA
Assosiasi merupakan salah satu bentuk dari interaksi dalam suatu
populasi. Assosiasi adalah suatu tipe komunitas yang khas, ditemukan
dengan kondisi yang sama dan berulang di beberapa lokasi. Assosiasi
dicirikan dengan adanya komposisi floristik yang mirip, memiliki
fisiognomi yang seragam dan sebarannya memiliki habitat yang khas

189
(Daubenmire, 1968; Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974; Barbour et
al.,1999).
Assosiasi terbagi menjadi assosiasi positif dan assosiasi negatif.
Asosiasi positif terjadi apabila suatu jenis tumbuhan hadir secara
bersamaan dengan jenis tumbuhan lainnya dan tidak akan terbentuk tanpa
adanya jenis tumbuhan lainnya tersebut. Assosiasi negatif terjadi apabila
suatu jenis tumbuhan tidak hadir secara bersamaan (McNaughton dan
Wolf, 1992). Asosiasi merupakan salah satu bentuk dari interaksi dalam
suatu populasi. Assosiasi adalah suatu tipe komunitas yang khas,
ditemukan dengan kondisi yang sama dan berulang di beberapa lokasi.
Kershaw (1964) menyatakan bahwa ada dua macam assosiasi,
yaitu assosiasi positif dan assosiasi negatif. Apabila kejadian bersama
antara jenis tersebut positif berarti kejadian bersama antara jenis yang
berassosiasi lebih besar dari yang diharapkan, sebaliknya berassosiasi
negatif bila kejadian bersama antara jenis yang berassoasi lebih kecil dari
yang daharapkan.
Cole (1949) menyatakan bahwa dalam suatu masyarakat
tumbuhan beberapa spesies sering menunjukkan adanya assosiasi positif
dan negatif. Apabila terjadi assosiasi positif, spesies yang berassosiasi
mempunyai respon yang sama terhadap perbedaan lingkungan dalam
komunitas dan apabila terjadi assosiasi negatif berarti species yang
berassosiasi mempunyai respon yang tidak sama terhadap adanya
perubahan lingkungan dalam komunitas.
Faktor-faktor yang menentukan kuat lemahnya suatu assosiasi
adalah jumlah jenis yang ada, keadaan tempat dimana tumbuh-tumbuhan
itu berada, dan banyaknya kejadian bersama antara jenis-jenis yang
berassosiasi, sedang ukuran yang digunakan untuk menentukan kuat
lemahnya suatu assosiasi adalah Koeffisien assosiasi (Cole, 1949) yang
mempuyai nilai antara – 1 sampai + 1. Apabila nilai koeffisien sama
denagn + 1 berarti terjadi assosiasi maksimum dan sebaliknya apabila nilai
koeffisien assosiasi sama dengan – 1 maka terjadi assosiasi minimum.

190
Berdasarkan data tersebut terdapat 6 kombinasi spesies yaitu
kombinasi (1) Paspalum conjugatum dan Ischaemum barbatum, (2)
Paspalum conjugatum dan Axonopus compresus, (3) Paspalum
conjugatum dan Cynodon dactylon, (4) Ischaemum barbatum dan
Axonopus compresus, (5) Ischaemum barbatum dan Cynodon dactylon dan
(6) Axonopus compresus dan Cynodon dactylon, dapat diketahui pada
pengamatan keenam kombinasi ini terdapat satu yang berasosiasi antar
spesies yaitu kombinasi antara Paspalum conjugatum dan Axonopus
compresus , sedang yang lainnya tidak berasosiasi hal ini dikarenakan
hasil nilai dari X2hitung tidak lebih dari dengan X2 tabel, yang mana untuk
menentukan X2 tabel dilihat dari tabel chi square.
Adanya asosiasi kemungkinan disebabkan karena antara kedua
tumbuhan yang berkombinasi memerlukan sumber daya yang sama dan
faktor lingkungan didaerah ini yang cukup mendukung terhadap
pertumbuhan dan hubungan di antara tumbuhan tersebut, sehingga asosiasi
dapat terbentuk. Menurut Gause (1934) mengatakan bahwa apabila dua
organisme tumbuh bersama, akhirnya ada yang menang dan ada yang
kalah. Yang menang akan mendominasi, sedangkan yang kalah akan
bergeser atau bahkan punah. Hal ini dinamakan kompetisi yang mana
asosiasi antar tumbuhan tersebut dapat berupa kompetisi (Begon, 1986).
Tidak adanya asosiasi antara kedua spesies menunjukkan bahwa
kedua spesies ini bebas satu sama lain (independent). Tidak seperti teori
yang menjelaskan bahwa organisme dalam suatu komunitas adalah bersifat
saling bergantungan/interdependent, sehingga mereka tidak terikat sekedar
berdasarkan kesempatan saja, dan gangguan satu organisme akan
mempunyai konsekuensi terhadap keseluruhan organisme
(Hardjosuwarno, 1990), namun hasil yang didapatkan menunjukkan
bahwa tidak adanya saling ketergantungan.
Tidak adanya asosiasi mungkin disebabkan kedua spesies tersebut
memiliki perbedaan daur hidup dan peranan ekologis yang berbeda, sebab
organisme yang terdapat hubungan kompetisi memiliki peranan ekologis

191
yang tumpang tindih. Sebab lain tidak adanya asosiasi, mungkin juga
disebabkan karena faktor lingkungan seperti pH tanah, kandungan hara
pada tanah dan suhu maksimum-minimum pada lingkungan tersebut yang
akan menyeleleksi spesies-spesies apa saja yang dapat tumbuh dengan
subur ditempat tersebut. Tidak adanya asosiasi juga bisa disebabkan
lingkungan yang mendukung untuk pertumbuhan dan reproduksi kedua
spesies sehingga kedua spesies dapat tumbuh dan berkembang bersama-
sama tanpa adanya kompetisi sehingga apabila satu spesies tidak ada, tidak
mempengaruhi spesies yang lainnya Hardjosuwarno (1990).
Menurut Hardjosuwarno (1990) alasan lebih lanjut tentang
adanya bentuk asosiasi harus ditentukan dengan pengamatan ekologis
dengan eksperimentasi; dan perlakuan statistik tersebut hanya sekedar
merupakan langkah pertama dan tidak atau belum memberi bukti tentang
adanya interaksi biologi.
Berdasarkan hasil pengukuran parameter lingkungan didapatkan
suhu udara berkisar antara 26-27 0C. Suhu mempengaruhi kestabilan
pertumbuhan suhu normal akan mendukung pertumbuhan agar tumbuh
subur sebaliknya apabila suhu terlalu tinggi metabolisme dalam tumbuhan
akan meningkat dan memacu terjadinya penguapan sehingga daun
tumbuhan akan terlihat kering. Pada lokasi tersebut didapatkan hasil
pengukuran kecepatan angin sebesar 86,8 – 91,6 m/s, tinggi nya kecepatan
angin mungkin disebab kan karena lokasi pada saat pengukuran di pinggir
pantai dan malam hari sehingga menyebabkan angin kencang.
Kelembaban udaranya 100 - 108 %, kelembaban udara relative tinggi.
Berdasarkan hasi pengukuran parameter dan hasil perhitungan dapat
disimpulkan bahwa keadaan pada lokasi praktikum agak lembab dengan
angin yang kencang, suhu udara dan kelembaban udara yang cukup tinggi,
jika kelembaban dan suhu normal maka tumbuhan yang tumbuh di daerah
tersebut dapat tumbuh normal juga namun dikarenakan tumbuhan tersebut
memiliki daya tahan yang sama-sama tinggi walaupun memerlukan

192
sumber daya yang sama tumbuhan tetap dapat tumbuh dengan baik
(Kershaw, 1964).

VI. KESIMPULAN
1. Asosiasi merupakan salah satu bentuk dari interaksi dalam suatu populasi.
Assosiasi adalah suatu tipe komunitas yang khas, ditemukan dengan kondisi
yang sama dan berulang di beberapa lokasi.
2. Metode yang dilakukan dalam praktikum ini ialah metode kuadran.
3. Berdasarkan data pengamatan, terdapat satu kombinasi yang berasosiasi yaitu
kombinasi antara Paspalum conjugatum dan Axonopus compresus , sedangkan
pada kombinasi lainnya tidak ada terjadi asosiasi pada kombinasi spesies yang
diamati
4. Faktor-faktor yang menentukan kuat lemahnya suatu assosiasi adalah jumlah
jenis yang ada, keadaan tempat dimana tumbuh-tumbuhan itu berada, dan
banyaknya kejadian bersama antara jenis-jenis yang berassosiasi.
5. Adanya asosiasi kemungkinan disebabkan karena antara kedua tumbuhan yang
berkombinasi memerlukan sumber daya yang sama dan faktor lingkungan
didaerah ini yang cukup mendukung terhadap pertumbuhan dan hubungan di
antara tumbuhan tersebut.

VII. DAFTAR PUSTAKA


Barbour, M. G., J. H. Burk and W. D. Pits. 1987. Terrestrial Plant Ecology.
The Benjamin/Cumings Publishing Company Inc : California

Begon, B.,J.L. Harper and C.R. Townsend. 1986. Ecology: Individual,


Population, and communities. Sinauer Associates, Inc. Publisher :
Sunderland, Massachusetts

Cole, L.C. 1949. The Measurement of Interspecific Association. Jurnal


Ecology Vol.30, 411-424p

193
Daubenmire, R. 1968. Plant Communities: A Text Book of Plant Synecology
. Harper & Row Publishers : New York

Indriyanto, 2008. Ekologi Hutan. Bumi Aksara : Jakarta

Djufri. 2002. Penentuan pola distribusi, asosiasi dan interaksi spesies


tumbuhan khususnya Padang Rumput di Taman Nasional
Baluran Jawa Timur. Biodiversitas 3 (1):181-188

Elsevier P., McNaughton, S.J. and W.L. Wolf. 1992. Ekologi Umum. Edisi
Kedua. Penerjemah: Sunaryono P. dan Srigandono. Penyunting:
Soedarsono. Gadjah Mada Univ. Press : Yogyakarta

Hardiansyah, dkk. 2020. Penuntun Praktikum Ekologi Tumbuhan. PMIPA


FKIP ULM : Banjarmasin

Hardjosuwarno, Sunarto. 1990. Dasar-Dasar Ekologi Tumbuhan. Fakultas


Biologi Universitas Gajah Mada : Yogyakarta

Kershaw, K.A.1964. Quantitative and Dynamic Plant Ecology :


American

McNaughton, S.J dan Wolf, Larry. L. 1992. Ekologi Umum. Edisi -2.
Diterjemahkan oleh Pringgoseputro, Sunaryo dan Srigundono, B.
UGM Press : Yogyakarta

Mueller-Dombois, D.; H. Ellenberg. 1974. Aimand Methods of Vegetation


Ecology. John Willey and Sons : Canada

Odum, E. HLM. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan oleh Tjahyono


Samingan dari buku Fundamentalis of Ecology. Gadjah Mada
University Press : Yogyakarta

194
EKOLOGI TUMBUHAN
(ABKC 2604)

PRAKTIKUM XI
EPIFIT DAN PARASIT

195
PRAKTIKUM XI

Topik : Epifit dan Parasit


Tujuan : Mendeskripsikan ciri-ciri tumbuhan epifit dan parasit.
Hari / Tanggal : Minggu-Sabtu/16-22 Februari 2020
Tempat : Lingkungan Desa Tabanio, Kecamatan Takisung, Kabupaten
Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan

I. ALAT DAN BAHAN


A. Alat
1. Hygrometer
2. Termometer
3. Anemometer
4. Lux meter
5. Plastik sampel
6. Alat dokumentasi
B. Bahan
1. Berbagai spesies parasit dan epifit pada pohon pengamatan quarter centered.

II. CARA KERJA


1. Menyiapkan alat yang akan digunakan.
2. Mencari tumbuhan epifit dan parasit yang terdapat pada pohon-pohon
pengamatan quarter centered.
3. Mengambil tumbuhan epifit dan parasit yang didapat dan memasukkan ke
dalam plastic sampel.
4. Mengukur parameter lingkungan.
5. Mendokumentasikan sampel tumbuhan parasit dan epifit.

III. TEORI DASAR

195
Tumbuhan mampu mengatur hidupnya dalam berhubungan dengan
tumbuhan lain, sehingga terbentuklah kehidupan yang berdampigan secara
alami sesuai dengan tempatnya masing-masing, sehingga terbentuk
kehidupan tumbuhan seperti pencekik, epifit, parasit dan liana.
Tumbuhan epifit merupakan tumbuhan yang menempel pada
batang dan cabang pohon. Epifit tumbuh menempel untuk mendapatkan sinar
matahari, air, serta mengambil unsure hara dari kulit batang yang sudah
membusuk. Tumbuhan parasit adalah tumbuhan yang untuk kelangsungan
hidupnya menggantungkan sebagian atau seluruh sumber energinya pada
tumbuhan lain dan mengakibatkan inangnya mengalami kekurangan energy.
(Polunin, 1994).

196
IV. HASIL PENGAMATAN
1. Tabel Hasil Pengamatan
a. Tumbuhan Parasit

NO NAMA SP FOTO LITERATUR DESKRIPSI


PENGAMATAN
1 Loranthus Memiliki akar
ferrugineus penghisap yang
menempel pada
batang inangnya
yang berfungsi
untuk mengambil
sari makanan dari
inangnya
Sumber: (David,
Sumber: (Dok. 2017)
Kelas, 2020)

b. Tumbuhan Epifit

NO NAMA SP FOTO LITERATUR DESKRIPSI


PENGAMATAN
1 Drynaria Tanaman ini memiliki
quercifolia bentuk daun majemuk
menjari, bentuk
helaian daunnya
memanjang, memiliki
rimpang yang tebal
Sumber: (Dok.
yang tertutupi rambut-
Kelas, 2020)
rambut berwarna
coklat
Sumber:
(Obsidian, 2011)
2 Drymoglossu Tanaman ini menjalar
m pada pohon, tanaman
piloselloides ini daunnya tunggal
dan berbentuk
Sumber: (Ria, memanjang dan
2011) permukaan daunnya
licin, memiliki dua
Sumber: (Dok. jenis daun, yaitu daun
Kelas, 2020) steril dan daun fertil,
daun steril berbentuk
bulat, sedangkan daun
fertil berbentuk
memanjang dengan
sporangium yang

197
menempel pada bagian
belakang daun fertil.
3 Lygodium Tanaman ini menjalar,
macrophyllum daunnya majemuk
dan bentuk daun
memanjang dengan
ujung daun meruncing,
memiliki daun steril
dan daun fertil,
Sumber: (Dok. Sumber: (Noosa’s dimana daun steril
Kelas, 2020) Native Plants, berbentuk gerigi
2007)
4 Stenochlaena Memiliki dua jenis
palustris daun yaitu daun steril
dan daun fertile.
Sorusnya terletak pada
permukaan daun
fertile yang berbentuk
memanjang. Sorus ini
Sumber: (Dok. Sumber: menutupi seluruh
Kelas, 2020) (Alchetron, 2018) permukaan daun
fertile
5 Myrmecodia Helaian daun tebal
pendans berdaging
(Sarang umbinya merupakan
Semut) tempat bagi koloni
semut

Sumber: (Dok.
Kelas, 2020) Sumber:
(Sriwedari, 2019)
6 Chiloschista Tanaman ini
javanica tumbuhnnya menjalar
dan daunnya
berbentuk lanset
Daunnya menyerupai
akar yang menempel
pada inang

Sumber: (Dok. Sumber: (Keller,


Kelas, 2020) 2016)

198
7 Nephrolepis Tanaman ini memiliki
cordifolia daun majemuk dengan
ujung daun membulat,
daun muda akan
menggulung
Sumber: (Dok.
Kelas, 2020) Sumber:
(Davenport
Garden Centre,
2015)

2. Tabel Parameter

Pengulangan
Nama Alat Pengukuran Kisaran
1 2 3
Min 74.90% 70.20% 65.50% 65.5-74.9%
Hygrometer
Max 77.80% 77.80% 65.70% 65.7-77.8%
Anemomete Min 0 m/s 0 m/s 0 m/s 0 m/s
r Max 0.6 m/s 0.6 m/s 0 m/s 0-0.6 m/s

Termometer 34˚C 33.5˚C 33.8˚C 33.5-34˚C

Min >20000 lux 889 lux 889 lux 889->20000 lux


Lux meter
Max >20000 lux 991.3 lux 413.8 lux 413.8->20000 lux

199
V. ANALISIS DATA

Epifit merupakan salah satu habitus tumbuhan yang menempel dan


tumbuh pada tumbuhan lain untuk mendapat sinar matahari, air, udara, dan
mineral sesuai kebutuhan hidupnya. Keberadaan epifit sangat penting dalam
ekosistem hutan karena epifit mampu menyediakan tempat tumbuh bagi
semut-semut pohon dan organisme lain. Tumbuhan epifit merupakan
tumbuhan yang menempel pada batang dan cabang pohon (Polunin, 1990).
Epifit tumbuh menempel untuk mendapatkan sinar matahari, air, serta
mengambil unsur hara dari kulit batang yang sudah membusuk. Epifit banyak
dijumpai di daerah yang lembab, sekitar mata air, sungai dan air terjun
(Steenis, 1972).
Tumbuhan epifit adalah tumbuhan hidup yang menempel pada tanaman
lain sebagai penopang hidupnya, tidak berakar pada tanah, ukurannya lebih
kecil daripada tumbuhan penopang (inangnya) namun tidak merugikan
penopangnya. Hal ini dikarenakan kebutuhan berbagai zat hara pada
tumbuhan epipit tidak mengandalkan pada pohon inangnya (Dahir, 2012).
Pada umumnya tumbuhan epifit yang hidup dalam bentuk tunggal
maupun dalam bentuk koloni tumbuh dan berkembang di cabang dan batang
bebas cabang bagian-bagian pohon yang menjadi inang. Keanekaragaman
epifit pada tumbuhan penopang terjadi karena ketergantungannya terhadap
iklim mikro tegakan hutan. Faktor lainnya ialah asosiasi antara tumbuhan
penopang dengan epifit. Sesuai dengan pendapat Ewusie (1990) bahwa kulit
tumbuhan penopang yang mempunyai alur dan celah akan menyebabkan
epifit tumbuh dengan subur, sedangkan kulit tumbuhan penopang yang agak
licin akan menyebabkan epifit sulit untuk melekat dan tumbuh pada penopang
tersebut.
Epifit mempunyai fungsi ekologi sebagai habitat utama pada hewan
tertentu (Anwar dkk, 1984). Selain itu epifit juga mempunyai fungsi ekonomi
karena bentuk yang beraneka ragam sehingga bisa dimanfaatkan sebagai
tanaman hias.

200
Tumbuhan parasit / benalu (Loranthus) merupakan jenis tumbuhan yang
hidupnya tidak memerlukan media tanah. Ia hidup sebagai parasit, melekat
pada sel inang, dan menghisap nutrisi yang dimilikinya sehingga
menyebabkan kematian pada sel inang tersebut. Adanya klorofil
menyebabkan tanaman benalu memiliki kemampuan melakukan proses
fotosintesis. Akan tetapi, tanaman ini tidak mampu mengambil air dan unsur
hara secara langsung dari tanah yang menjadikannya sebagai tanaman parasit.
(Ritcher, 1992).
Berdasarkan hasil pengamatan pada pohon inangnya terdapat satu
tanaman parasite berjenis Loranthus ferrugineus yang memiliki ciri-ciri
Memiliki akar penghisap yang menempel pada batang inangnya yang
berfungsi untuk mengambil sari makanan dari inangnya. Sedangkan tanaman
epifit ditemukan ada 7 tanaman yaitu : Drynaria quercifolia , Tanaman ini
memiliki bentuk daun majemuk menjari, bentuk helaian daunnya memanjang,
memiliki rimpang yang tebal yang tertutupi rambut-rambut berwarna coklat ;
Drymoglossum piloselloides , Tanaman ini menjalar pada pohon, tanaman ini
daunnya tunggal dan berbentuk memanjang dan permukaan daunnya licin,
memiliki dua jenis daun, yaitu daun steril dan daun fertil, daun steril
berbentuk bulat, sedangkan daun fertil berbentuk memanjang dengan
sporangium yang menempel pada bagian belakang daun fertil ; Lygodium
macrophyllum , Tanaman ini menjalar, daunnya majemuk dan bentuk daun
memanjang dengan ujung daun meruncing, memiliki daun steril dan daun
fertil, dimana daun steril berbentuk gerigi ; Stenochlaena palustris, Tanaman
ini memiliki dua jenis daun yaitu daun steril dan daun fertile. Sorusnya
terletak pada permukaan daun fertile yang berbentuk memanjang. Sorus ini
menutupi seluruh permukaan daun fertile ; Myrmecodia pendans , Tanaman
ini memiliki helaian daun tebal berdaging umbinya merupakan tempat bagi
koloni semut ; Chiloschista javanica , Tanaman ini tumbuhnnya menjalar dan
daunnya berbentuk lanset Daunnya menyerupai akar yang menempel pada
inang ; Nephrolepis cordifolia, Tanaman ini memiliki daun majemuk dengan
ujung daun membulat, daun muda akan menggulung.

201
Jenis tumbuhan epifit dan parasit ini juga melakukan adaptasi terhadap
lingkungan seperti suhu, kelembaban, dan penerimaan sinar matahari. Faktor
lain yang dapat mempengaruhi keanekaragaman jenis epifit dan parasit adalah
faktor abiotik di lingkungan tersebut. Diantaranya adalah :
1. Intensitas Cahaya
Pada pengukuran intensitas cahaya diperoleh data yaitu berkisar antara
413,8 - >20000 Lux pada suhu max, dan kisaran antara 889 - >20000 Lux
pada suhu min, karena pengamatan ini dilakukan pada siang hari. Menurut
Nirmalida (2012), cahaya merupakan faktor yang sangat penting sebagai
faktor energi utama bagi ekosistem tetapi bukan merupakan suatu faktor
pembatas bagi tumbuhan yang masih mendapatkan sinar matahari.
2. Suhu Udara
Suhu udara pada daerah pengamatan yaitu berkisar antara 33,5 - 340C.
Suhu ini termasuk dalam suhu optimal sehingga epifit dapat tumbuh dengan
baik (Tul’aini, 2014).
3. Kecepatan Angin
Kecepatan angin pada saat pengamatan dilakukan 0 - 0,6 m/s hal ini
disebabkan karena adanya angin yang berhembus ketika dilakukan
pengukuran (Tul’aini, 2014).
4. Kelembaban Udara
Pada hasil pengamatan kelembaban udaranya adalah berkisar antara 65,5
– 77,8 % , kelembaban udara cukup tinggi, hal ini disebabkan karena pada
saat pengamatan dilakukan pada siang hari tetapi cuaca tidak panas.
Jadi faktor lingkungan pada pengukuran yang ada berpengaruh
terhadap pertumbuhan tanaman epifit dan parasit contohnya pada intensitas
cahaya, suhu udara, kecepatan angina, dan kelembaban udara.

VI. KESIMPULAN
1. Berdasarkan hasil pengamatan terdapat 1 spesies parasite dan 7 spesies epifit
yang dapat ditemukan pada 3 buah pohon.

202
2. Tumbuhan epipit adalah tumbuhan hidup yang menempel pada tanaman lain
sebagai penopang hidupnya, tidak berakar pada tanah, ukurannya lebih kecil
daripada tumbuhan penopang (inangnya) namun tidak merugikan
penopangnya.
3. Tumbuhan parasit adalah tumbuhan hidup yang menempel pada tanaman lain
sebagai penopang hidupnya, tidak berakar pada tanah, ukurannya lebih kecil
daripada tumbuhan penopang (inangnya) akan tetapi merugikan
penopangnya.
4. Keanekaragaman jenis epifit pada daerah pengamatan dipengaruhi oleh
sumber daya makanan, dan gangguan yang ada pada tumbuhan serta faktor
abiotik seperti, kelembapan udara, kecepatan angin, intensitas cahaya dan
suhu udara.
5. Faktor lainnya ialah iklim mikro tegakan hutan dan asosiasi tumbuhan epifit
dan inangnya (faktor biotik).

VII. DAFTAR PUSTAKA


Alchetron. 2018. Diakses melalui https://alchetron.com/Stenochlaena#. Pada
tanggal 15 Maret 2020.

Anwar,J., J.Damanik.Nbisyam dan A.J.Whitten. 1984. Ekologi Ekosistem


Sumatra. UGM Press : Yogyakarta

Dahir. 2012. Struktur dan Komposisi Vegetasi Tumbuhan Bawah (Semak,


Herba dan Rumput) dengan Variasi Ketinggian pada Naungan
Tectona grandis L.F, di Desa Selopamioro, Imogiri, Bantul,
Yogyakarta. Skripsi : Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan
Kalijaga

Davenport Garden Centre. 2015. Diakses melalui


https://davenportgarden.com. Pada tanggal 15 Maret 2020.

David, SR. 2017. Diakses melalui https://europepmc.org. Pada tanggal 15


Maret 2020.

Ewusie, J. Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Buku. Institut Teknologi


Bandung : Bandung. 398 p.

203
Keller, Kurt. 2016. Diakses melalui http://www.orchidspecies.com. Pada
tanggal 15 Maret 2020.

Nirmalida, Sophia. 2012. Komposisi dan Struktur Semak di Tepi Kawasan


Perairan Tergenang Desa Takisung Kecamatan Takisung
Kabupaten Tanah Laut. Skripsi, Program Studi Pendidikan Biologi
PMIPA FKIP Unlam Banjarmasin

Noosa’s Native Plants. 2007. Diakses melalui


http://noosasnativeplants.com.au. Pada tanggal 15 Maret 2020.

Obsidian, S. 2011. Diakses melalui https://www.flickr.com. Pada tanggal 15


Maret 2020.

Polunin, N. dan Gembong, T. 1994. Pengantar Geografi Tumbuhan dan


Beberapa Ilmu Serumpun. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

Ria, Tan. 2011. Diakses melalui https://www.flickr.com. Pada tanggal 15


Maret 2020.

Ritcher. 1992. Benalu Teh Parasit Yang Bermanfaat.


http://www.MT’s_ayeen.com diakses pada tanggal 11 April 2020.

Sriwedari, Ovi. 2019. Diakses melalui https://adventurecarstensz.com. Pada


tanggal 15 Maret 2020.

Steenis, V. 1975. Flora Untuk Sekolah Di Indonesia. Pradnya Paramita :


Jakarta

Tul’aini, Cahya. 2014. Respon Tanaman Katuk (Sauropus androgynus L.)


pada Berbagai Tingkat Intensitas Naungan dan Jumlah Buku Bibit.
Skripsi, Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian
Universitas Bengkulu.

204
205

Anda mungkin juga menyukai