net/publication/341540066
PERTUMBUHAN TANAMAN
CITATIONS READS
0 1,212
1 author:
Sufardi Sufardi
Syiah Kuala University
41 PUBLICATIONS 23 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Sufardi Sufardi on 21 May 2020.
PERTUMBUHAN
TANAMAN
P ertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang
berasal dari dalam tanaman itu sendiri maupun yang berasal dari luar
tanaman. Faktor yang berasal dari dalam tanaman dikenal sebagai
faktor genetik, sedangkan yang berasal dari luar tanaman dikenal sebagai
faktor lingkungan atau faktor keliling (Gardner et al., 1991). Kedua faktor
tersebut sangat berbeda perannya, namun mempunyai keterkaitan yang erat.
Beberapa pakar menyatakan bahwa faktor genetik tidak dianggap sebagai
variabel tumbuh karena tidak terukur secara deterministik. Pengukuran hanya
dapat dilakukan terhadap komponen tumbuh atau hasil dari fenotip tanaman.
Oleh karena itu, sifat genetik merupakan faktor bawaan tanaman sebagai
potensi kemunculan sifat jika faktor luar yang mempengaruhinya berada
dalam kondisi optimum.
Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman
biasanya berupa variabel bebas. Antara variabel bebas ini bisa saling
mempengaruhi dan dapat bersifat sebagai variabel deterministik atau sebagai
variabel stokastik. Dalam mempelajari respons tanaman terhadap faktor luar
ini, tanaman dianggap sebagai variabel yang tidak bebas karena tergantung
pada faktor-faktor lingkungan. Untuk menjelaskan hubungan antara faktor
genetik tanaman dengan faktor lingkungannya, ada beberapa asumsi dasar
yang telah menjadi suatu kaidah dalam mempelajari sistem tanah yaitu :
1. Faktor genetik akan berperan dengan baik jika faktor lingkungan berada
dalam keadaan optimum atau jika faktor lingkungan berada dalam
keadaan optimum, pertumbuhan dan hasil tanaman akan sangat
ditentukan oleh faktor genetiknya.
1
2 | PROF. DR. IR. SUFARDI, M.S.
Temperatur
Temperatur adalah ukuran dari intensitas panas. Ahli fisika
menganggap bahwa temperatur di alam berkisar antara -273 C sampai
beberapa juta derajat di dekat matahari. Batas kehidupan dari makhluk di
Energi Matahari
Energi matahari merupakan faktor yang penting dalam pertumbuhan
tanaman. Kualitas, intensitas, dan lamanya penyinaran semuanya penting.
Studi mengenai efek kualitas cahaya terhadap pertumbuhan tanaman sangat
penting, tetapi percobaan ini sukar dilakukan karena perlu diatur secara
simultan panjang gelombang dan intensitas dari penyinaran. Walaupun
demikian hasil penelitian menyatakan bahwa spektrum matahari yang penuh
memberikan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan tanaman. Penelitian
pengaruh kualitas cahaya tidak akan dapat dilakukan untuk areal yang luas.
Intensitas cahaya sebagai suatu faktor pada pertumbuhan tanaman telah
banyak diteliti. Ternyata bahwa kebanyakan tanaman tumbuh dengan baik-
baik pada intensitas cahaya dibawah cahaya penuh satu hari. Tiap jenis
tanaman memperlihatkan respon yang berbeda terhadap intensitas cahaya
yang berbeda (Barker dan Pilbeam, 2007).
Spektrum cahaya yang paling efektif dalam fotosintesis adalah
berkisar dari 400- 700 nm, yaitu 45 – 50% total energy spektrum matahari.
Kurang dari 25 % hilang karena refleksi. Reduksi jumlah C menjadi
karbohidrat memerlukan 112 kcal. Satu mol foton menghasilkan 41 kcal.
Tiga kuantum dan visible light diperlukan untuk mereduksi CO2. Perubahan
fisiologi memerlukan 8–12 kuanta dan efesiensinya jarang mencapai 1 persen
(Barber, 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman daywood
(Carmus florida) memperlihatkan respons terkecil terhadap kenaikan
intensitas cahaya. Ada perbedaan antara spesies tanaman dalam memberikan
respons terhadap lama dari intensitas penyinaran (Barber, 2004). Penelitian di
Jepang dengan menggunakan tanaman gandum menunjukkan bahwa adsorpsi
N-amonia, sulfat dan air naik dengan naik intensitas cahaya sedangkan
adsorpsi Ca dan Mg sedikit dipengaruhi. Intensitas cahaya berpengaruhi
nyata terhadap adsorpsi kalium dan fosfat. Pengambilan oksigen oleh akar
tanaman bertambah dengan naiknya intensitas cahaya. Intensitas cahaya di
lapangan dapat berubah karena tanaman saling menutup. Jumlah populasi
tanaman yang kurang menurunkan hasil tetapi terdapat juga suatu titik
dimana penambahan pupulasi tanaman tidak menaikkan hasil kerena terjadi
kompetisi antara tanaman terhadap unsur hara, air dan cahaya. Pengaruh
penutup oleh tanaman karena populasi tanaman yang naik terlihat pada hasil
beberapa jagung hibrida pengurangan hasil bisa mencapai 48% (Fitter dan
Hay, 1981).
Lamanya penyinaran juga sangat penting. Tanaman dalam hubungan
dengan panjang hari disebut fotoperidesitas. Hasil percobaan menunjukkan
bahwa respons tanaman jagung terus naik dengan kenaikan intensitas cahaya.
Hal ini menyebabkan pembuatan hibrida dengan daun yang lebih tegak agar
dapat mengintersepsi cahaya lebih banyak. Suatu varietas tembakau tidak
Cl tersedia pada pH tanah yang netral hingga sedikit alkalis. Pada reaksi
tanah masam (pH< 5,5) atau alkalis (pH > 8,5) beberapa unsur tersebut
menjadi tidak tersedia. Sebagai contoh, ketersediaan fosfat (P) pada tanah
masam dengan kandungan Fe dan Al yang tinggi dan berkurangnya
ketersediaan Mn pada tanah dengan bahan organic dan pH yang tinggi.
Pengaruh yang sama juga terjadi pada Mo tanah yang menurun pada pH
yang rendah. Tanah masam biasa mengandung Al, Mn, dan Fe yang tinggi dan
dapat meracuni tanaman (Sanchez, 2004). Bila kadar N dalam bentuk
ammonium (NH4+) misalnya melalui pemupukan urea pada permukaan tanah
dengan pH >7, maka ammonium akan hilang menguap sebagai gas NH3
sehingga respons terhadap pemupukan N tidak ada (Prassad dan Power, 1997).
Beberapa penyakit tanaman juga dipengaruhi oleh pH tanah, misalnya “potato
scab” pada kentang dan “black root” dari tembakau, perkembangannya lebih
baik pada tanah netral sampai alkalis. Kedua penyakit dapat dikendalikan
dengan menurunkan pH sampai 5,5 atau kurang (Barber, 2004).
Tabel 1.1. Nama-nama unsur hara tanaman dan bentuk yang diserapnya serta
kisaran konsentrasi di dalam tanah
Bentuk yang Kisaran Diserap
No Nama unsur
diserap konsentrasi dari
1. Karbon (C) CO2 (melalui daun) 45- 58 % udara / air
2. Hidrogen (H) H+, H2O (dari air) 25- 95 % udara / air
3. Oksigen (O) O2, CO2 (melaui daun) udara / air
4. Nitrogen (N) NH4+, NO3- 0,10 - 5,0 % tanah
5. Fosfor (P) H2PO4-, HPO4= 0,01 - 0,03 % tanah
6. Kalium (K) K+ 0,20 - 10 % tanah
7. Kalsium (Ca) Ca++ 0,02 - 5,0 % tanah
8. Magnesium (Mg) Mg++ 0,02 - 2,5 % tanah
9. Sulfur (S) SO4= 0,05 - 0,15 % tanah
10. Besi (Fe) Fe++, Fe+++ 10 - 200 ppm tanah
11. Mangan (Mn) Mn++ 10 - 900 ppm tanah
12. Zinc (Zn) Zn++ 5 - 100 ppm tanah
13. Molibdenum (Mo) MoO4= (molibdat) 0,02 - 50 ppm tanah
14. Khlor (Cl) Cl- 0,04 - 0,58 % tanah
15. Tembaga (Cu) Cu++ 1 - 20 ppm tanah
16 Boron (B) BO33-, H2BO3-, B(OH)4- 10 - 100 ppm Tanah
Sumber : Epstein (2007)
Faktor Biotik
Faktor biotik yang dimaksudkan disini adalah setiap kegiatan atau
upaya untuk mengatur suatu kondisi yang menguntungkan bagi kehidupan
tanaman, baik secara langsung dengan memanipulasi lingkungan oleh
manusia maupun secara tidak langsung dengan meningkatkan peran biologis
tanaman dan aktivitas mikrobia. Pemberian pupuk yang berat dapat
menyebabkan pertumbuhan vegetatif yang memberikan lingkungan lebih
baik terhadap hama dan penyakit tanaman. Ketidak seimbang unsur hara
tersedia bagi tanaman juga dapat menambah serangan penyakit. Ada interaksi
misalnya antara pupuk N dan pupuk K dan P pada kepekaan tanaman
terhadap penyakit (Buckman dan Brady, 2004).
Serangan insekta juga merupakan problema yang sama. Pemupukan
berat dapat menyebabkan serangan hama yang lebih kuat karena
pertumbuhan vegetatif yang banyak. Penggunaan varietas yang tahan dan
penggunaan insektisida dapat menekan serangan hama tersebut. Gulma juga
merupakan hambatan bagi pertumbuhan tanaman karena kompetisi terhadap
air, unsur hara dan cahaya. Problema gulma dapat ditekan dengan penyiangan
baik secara mekanis maupun secara kimia.
Mineral primer adalah mineral yang berada dalam magma asal dan
mempunyai susunan kimianya yang tidak berubah (tetap). Umumnya
merupakan fraksi kasar dalam tanah yang berukuran 2µ. Tentu saja terjadi
beberapa tumpang tindih dalam ukuran oksida bebas dan karbonat yang
berada dalam kedua fraksi tersebut, keduanya sebagai endapan terutama
dalam fraksi yang lebih besar dan sebagai lapisan penutup pada mineral
primer dan sekunder. Bahan organik yang dapat berada dalam semua tahap
dekomposisi dalam semua ukuran dan sebagai senyawa terpisah atau sebagai
lapisan penutup atau bahkan dalam ikatan kimia dengan fase mineral
menyebabkan sistem tanah lebih kompleks lagi. Menurut Bohn et al (1985),
komposisi unsur dalam tanah mineral dari dua zona iklim tropis dan iklim
sedang dapat dilihat pada Tabel 1.3.
Tanah yang mengandung CaCO3 bebas sebanyak 50% mungkin
terdapat di daerah arid. Analisis kimia dari fase mineral menunjukkan bahwa
unsur mineral Ca, K, Na, P dan Si lebih banyak di daerah beriklim sedang,
sedangkan Fe, Al, Mn, dan Ti banyak terdapat di daerah beriklim tropis atau
daerah beriklim basah. Iklim yang basah ini menyebabkan terjadinya
pelapukan secara intensif pada batuan sehingga menyebabkan terjadinya
pencucian dari basa-basa tanah yang pada akhirnya akan menyisakan logam-
logam yang lebih resisten (Docuchampur, 1983).
Tabel 1.3. Komposisi unsur dari tanah mineral di zona ilkim tropis dan
sedang
1. Mineral Primer
Susunan mineral primer dalam batuan beku dapat dilihat pada Tabel
1.4. Dari Tabel tersebut jelaslah bahwa unsur hara Ca, Mg, K, Fe dan sedikit
P banyak terdapat dalam mineral primer. Terlihat pula bahwa unsur hara
makro N, dan S dan unsur mikro Mn, Cu, Zn, B, Cl tidak terdapat dalam
lithosfir secara keseluruhan.
Tabel 1.5. Susunan kimia dari mineral sekunder dalam tanah (%)
Mineral SiO2 Al2O3 Fe2O3 TiO2 CaO MgO K2O Na2O
dan mengatur konsentrasi ion dalam larutan tanah lebih kurang 200-400 me
100 g-1 (cmol kg-1) kurang lebih 3x kapasitas pertukaran kation dari liat
montmorillonit dan 30-100 x kapasitas pertukaran kation kaolinit (Barber,
2004).
4. Mineral Sekunder
Mineral sekunder penting dalam tanah dan susunan kimianya dapat
dilihat dalam Tabel 5. Susunan kimia mineral sekunder sebagai sumber unsur
hara tidak begitu penting dibandingkan dengan kimia mineral primer.
Mineral sekunder berperan terutama dalam sifat-sifat fisikokimia tanah yang
mempengaruhi tersedianya unsur hara bagi tanaman. Mineral liat reaktif yang
dominan seperti kaolinit, montmorillonit, dan illit bersifat reaktif disebabkan
oleh ukurannya yang halus, muatan dari pinggiran kristal yang pecah dan
berasal dari substitusi isomorf di dalam kristal sehingga mempunyai muatan
negatif. Muatan negatif ini mengakibatkan terjadinya adsorpsi kation
(Sposito, 2008).
Mineral liat yang terdapat dalam tanah dapat dibagi atas :
1. Mineral liat berkristal (kristalin), yaitu :
a. Tipe 1:1 yang tidak dapat mengembang seperti kaolinit dan haloisit
b. Tipe 2:1 yang tidak dapat mengembang seperti illit, dan mika
c. Tipe 2:1 yang mengembang dan mengerut seperti montmorillonit
2. Kelompok oksida-hidrat Al dan Fe
a. Oksida-hidrat Al, seperti gibbsite dan lepidokrosit
b. Oksida-hidrat Fe, seperti geothit, hematit, dan magnetit atau
ferihidrit
3. Kelompok mineral liat amorf dan parakristalin, seperti alofan dan
imagolit
Mineral liat tipe 1:1 terdiri dari satuan kristal yang tersusun dari satu
lapis silikatetrahedral dan satu lapis alumina-oktahedral. Tipe 2:1 terdiri dari
satuan kristal yang tersusun atas dua lapis silica-tetrahedral dan satu lapis
alumina-oktahedral (Foth, 1997). Dalam kristal tipe 2:1 selalu terjadi
substitusi Si dengan Al dalam lapisan octahedral dan dalam lapis-lapis
alumina-oktahedral. Dalam kristal tipe 2:1 selalu terjadi substitusi Si dengan
Al dalam lapisan Si-tetrahedral dan dalam lapisan octahedral juga terjadi
substitusi Al oleh ion dengan valensi yang lebih rendah seperti Mg, Mn, Fe,
Li, Ni, dan Zn. Akibat dari substitusi ini kelebihan muatan negatif sehingga
dapat mengadsorpsi kation. Pada mineral tipe 1:1 tidak terjadi muatan
isomorf, sehingga muatan negatif hanya berasal dari patahan pinggiran
Kristal. Pada mineral tipe 2:1 air dapat masuk antara satuan Kristal yang
menyebabkan liat tersebut mengembang, seperti pada montmorillonit bisa
mengembang dari 9,6-21,4 angstrom (A) (Greenland dan Mott, 1983). Di
antara lapisan ini kation dapat tukar biasanya terdapat. Dengan adanya kation
K+ atau NH4+ dalam lapisan ini akan terperangkap jika terjadi pengerutan
sepanjang sumbu c, sehingga terbentuk tipe liat 2:1 yang tidak berkembang
seperti muskovit. Sebaliknya tipe tersebut tidak dapat menahan air diantara
lapisan suatu kristalnya.
Bermacam mineral liat berbeda dalam hal tebal lapisannya dan luas
permukaan spesifik. Liat tipe 1:1 mempunyai permukaan spesifik 50 m2 g-1
tergantung dari perbandingan tipe mengembang dan tidak mengembang.
Kerapatan muatan juga bervariasi diantara berbagai mineral liat, misalnya
untuk mineral illit adalah 3,5 x 10-7 meq cm-2 dan montmorillonit adalah
sebesar 1,0 x 10-7 meq cm-2. Muatan ini tidak tergantung pH. Sedangkan
mineral liat tipe 1:1, muatannya bergantung pH dan umumnya 2,0 x 10-7 meq
cm-2. KTK dari beberapa mineral liat dapat dilihat pada Tabel 1.6.
Tabel 1.6. Kapasitas pertukaran kation dari beberapa mineral liat tanah.
Tanah yang didominasi oleh mineral liat tipe 1:1 umumnya terdapat di
kawasan iklim tropika basah. Mineral tersebut juga sering berasosiasi dengan
oksida Al dan Fe. Tanah yang didominasi oleh mineral liat tipe 1:1 ini
mempunyai sifat antara lain :
1. Mempunyai stabilitas struktur tanah yang relatif stabil (mantap)
sehingga agak tahan terhadap erosi, namun tergantung pula pada ada
tidaknya pengaruh dari mineral kuarsa. Pada rasio kuarsa (SiO2) dan
sekuioksida (Al2O3 + Fe2O3) tanah relatif lebih mantap dan tahan
terhadap erosi.
2. Mempunyai sifat-sifat kimia yang agak jelek, seperti rendahnya
kapasitas tukar kation (sekitar 10-20 cmol kg-1), reaksi tanah yang
masam, kejenuhan basa yang rendah, fiksasi fosfat, dan ketersediaan
hara yang rendah.
Pada beberapa ordo tanah seperti Alfisol dan Ultisol, mineral kaolinit
ditemukan bersama dengan mineral tipe 2:1. Pada keadaan seperti ini, tanah
biasanya mempunyai kelarutan Al yang sangat tinggi sehingga cukup
berbahaya bagi kehidupan tanaman (Sufardi, 1999; Sufardi, 2010). Kelarutan
Al yang tinggi disebabkan karena disintegrasi mineral tipe 2:1 yang
menyebabkan kation ini mendominasi permukaan koloid bermuatan negatif.
Pada Oxisol yang telah berkembang lanjut, mineral tipe 1:1 ini terdapat
bersama oksida Al dan Fe, sehingga sifat-sifat tanah ini lebih dipengaruhi
oleh adanya fraksi Al dan Fe tersebut ketimbang pengaruh mineral 1:1.
Dengan demikian, oksida Al dan Fe di dalam tanah sangat penting, terutama
pada tanah-tanah yang telah berkembang seperti pada Oxisol, Ultisol, Alfisol,
dan Spodosol.
Pada ordo-ordo tanah tersebut kelompok oksida dan hidroksida dari Fe
dan Al biasanya akan mendominasi susunan fase padat tanah, sehingga watak
dan perilaku tanah sangat ditentukan oleh kehadiran dari fraksi-fraksi dari Al
dan Fe tersebut (Uehara dan Gillman, 1981). Tanah-tanah yang didominasi
oleh oksida-hidrat dari Fe dan Al umumnya memiliki kualitas kimia yang
jelek, namun secara fisika cukup baik. Tanah dengan liat didominasi oleh
oksida-hidrat Fe dan Al, umumnya mempunyai kandungan hara yang rendah
terutama P, K, Ca, Mg, dan N, fiksasi P yang tinggi, kapasitas tukar kation
yang sangat rendah (< 8 cmol kg-1), dan kapasitas tukar anion relatif tinggi.
Dari aspek fisika, tanah ini cukup baik karena memiliki struktrur tanah yang
baik dengan susunan agregat yang mantap. Kemantapan agregat ini terjadi
akibat adanya interaksi dan peran dari senyawa besi oksida dengan liat tanah
dalam pembentukan struktur yang mantap.
Mineral liat tipe 2:1 umumnya mendominasi tanah-tanah yang
berkembang di kawasan iklim sedang (temperate). Di daerah tropika dengan
curah hujan rendah mineral jenis ini juga mungkin ditemukan. Salah satu
ordo tanah yang paling banyak terdapat mineral tipe 2:1 adalah Fertisol.
Kehadiran mineral liat tipe 2:1 ini dari segi kimia tanah lebih baik
dibandingkan dengan mineral tipe 1:1, namun kualitas fisika tanahnya lebih
buruk. Sifat-sifat tanah yang didominasi oleh mineral liat tipe 2:1 antara lain :
1. Mempunyai kapasitas tukar kation yang tinggi sampai sangat tinggi (60-
120 cmol kg-1), sehingga cukup baik bagi penyediaan hara tanaman,
2. Ketersediaan kation tanah terutama Ca, Mg, K, dan NH4 cukup baik,
asalkan pH tanahnya tidak melebihi 8,5,
3. Mempunyai reaksi tanah yang netral hingga sedikit alkalis. Keadaan ini
cukup sesuai bagi kehidupan tanaman, namun ketersediaan beberapa
unsur hara mikro terutama V dan Cu menjadi berkurang.
4. Mempunyai daya mengembang dan mengerut, sehingga tanah ini akan
mudah mengalami keretakan pada saat kering dan cenderung
mengembang pada saat lembab atau basah. Keadaan ini menyebabkan
terbentuknya ciri spesifik di lapangan berupa cermin sesar.
5. Mempunyai liat yang sangat plastis sehingga sangat sukar dalam
pengolahan tanah.
6. Sumber muatan negatif tanah berasal dari substitusi isomorfik sehingga
mempunyai muatan koloid tanah yang bersifat permanen atau tidak
dipengaruhi oleh perubahan pH dan konsentrasi elektrolit larutan.
Mineral-mineral parakristalin dan amorf pada umumnya ditemukan
pada tanah-tanah yang berkembang dari bahan vulkanik. Bahan ini terbentuk
akibat pembekuan cepat dari magma yang keluar saat terjadinya letusan
gunung berapi sehingga struktur Kristal belum jelas atau belum sempurna
(Wada, 1986). Oleh karena struktur Kristal ini belum diketahui dengan pasti,
sehingga disebut pula mineral amorf. Alofan dan imogolit merupakan contoh
dari mineral aluminasilikat yang bersifa amorf. Mineral ini umumnya
mempunyai nisbah Al dan Si yang tinggi, yaitu berkisar dari 1 -3. Jika
dibandingkan antara alofan dan imogolit, struktur imogolit tampaknya lebih
mudah diidentifikasi dan mempunyai perbandingan Al dan Si yang rendah
(berimbang) (Mizota dan van reewijk, 1989). Kedua mineral di atas umunya
ditemukan pada tanah-tanah yang mempunyai sifat “andic” terutama dalam
ordo Andisol dan mungkin juga ditemukan pada inceptisol (Wada, 1986).
Andisol atau tanah-tanah lain yang sejenis umumnya telah dikenal
sebagai tanah yang cukup subur karena kandungan hara dari mineral primer
cukup tinggi dan secara fisika tanah ini sangat gembur. Permasalah yang
paling dominan ditemukan pada tanah tersebut adalah besarnya fiksasi P oleh
fraksi-fraksi amorf seperti alofan, imogolit, dan gibbsite. Kapasitas adsorpsi
P dalam tanah ini mencapai > 91% yaitu lebih besar dari fiksasi P pada tanah-
tanah yang didominasi oleh Fe dan Al oksida. Oleh karena tingginya adsorpsi
P tersebut, maka kriteria ini telah menjadi suatu cirri diagnostik dari Andisol
(ISRIC, 1989).
Fase Cair
Fase cair tanah merupakan bagian tanah yang terdiri dari massa cair
dan dalam kimia tanah sering juga disebut dengan larutan tanah atau M-
larutan. Komposisi larutan tanah tersusun atas unsur-unsur hara terlarut yang
kadarnya bervariasi antara ion dan jenis tanah. Sebagai contoh, konsentrasi
hara (ion) pada berbagai macam tanah dapat dilihat pada Tabel 1.7.
Tabel 1.8. Perbedaan aktivitas dan konsentrasi dari beberapa ion dari larutan
tanah dan larutan 1/5 Hoagland (µmol L-1).
1.4. Rangkuman
Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang
berasal dari dalam tanaman itu sendiri maupun yang berasal dari luar
tanaman. Faktor yang berasal dari dalam tanaman dikenal sebagai faktor
genetik, sedangkan yang berasal dari luar tanaman dikenal sebagai faktor
lingkungan atau faktor keliling.
Kedua faktor tersebut sangat berbeda perannya, namun mempunyai
keterkaitan yang erat. Beberapa pakar menyatakan bahwa faktor genetik tidak
dianggap sebagai variabel tumbuh karena tidak terukur secara deterministik.
Pengukuran hanya dapat dilakukan terhadap komponen tumbuh atau hasil
dari fenotip tanaman. Oleh karena itu, sifat genetik merupakan faktor bawaan
tanaman sebagai potensi kemunculan sifat jika faktor luar yang
mempengaruhinya berada dalam kondisi optimum.
Unsur-unsur tanah yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman
meliputi sifat-sifat fisika, kimia, mineralogis, dan biologis tanah. Bagi
tumbuhan, faktor lingkungan yang terpenting meliputi : temperatur,
suplai air, sinar matahari, susunan atmosfir, komposisi udara (gas)
dalam tanah, reaksi tanah (pH), suplai unsur hara, dan faktor biotik.
1.5. Glossarium
Adam, W.A. 1980. Effect of nitrogen fertilization and cutting height on the
shoot growth, nutrient removal and Turfgrass composition. Soil Sci.
Soc. Of America, Madison, WI.
Barber, S.A. 2004. Soil Nutrient Bioavailability. A. Mechanistic Approach. A
Willey Inter. Publ. 5nd ed. John Willey & Sons, New York. 219 p.
Barker, A.V., and D.J. Pilbeam. 2007. Handbook of Plant Nutrition. Taylor
and Francis Publ. CRS Press. 613 p.
Bohn, H.L., B.L. McNeal, and G.A. O'Connor. 1985. Soil chemistry.
John Wiley & Sons, New York.
Buckman, H.O., and N.C. Brady. 2004. The Nature and Properties of Soils.
The McMillan Company, New York.
Buol, S.W., F.D. Hole, and R.J. McCracken. 1980. Soil genesis and
classification. 2nd ed. Iowa State Univ. Press, Ames, IA.
Chapman, H.D. 1987. Diagnostic Criteria for Plants and Soil. Univiversity of
California, Reverside. 724 p.
Docuchampur, D. 1983. Pedology. Elsivier. Netherland.
Dwidjoseputro, M. 1983. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Penebar swadaya,
Jakarta.
Epstein, E. 2007. Mineral Nutrition of Plants: Principles and Perspectives.
5th Eddition. John Wiley & Sons, New York. 413 p.
Fageria, N.K., V.C. Baligar, and C.A. Jones. 1991. Growth and mineral
nutrition of filed crops. Marcel Dekker, Inc., New York.
Fageria, N.K., V.C. Baligar, and R.J. Wright. 1988. Aluminum toxicity in
crop plants. J. Plant Nutr. 11:303-319.
Fitter, A.H., and R.K.M. Hay. 1994. Environmental physiology of plants.
Academic Press, Inc., London.
Foth, H.D. 1997. Fundamental of Soil Science. Eighth Eddition. John Wiley
and sons., New York. 361 p.
Gardner, F.P. , R.B. Pearce, and R.L. Mitchell. 1991. Physiology of crops plants.
The Iowa State Univ. Press. Ames, IA.
Greenland, D.J., and C.J.B. Mott. 1983. Surface of soil particles. In D.J.
Greenland and M.H.B. Hayes (eds.). The Chemistry of Soil Constituent.
John Wiley & Sons, New York.
Hardjowigeno, S. 1995. Klasifikasi Tanah. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
ISRIC (International Soil Reference and Information Centre). 1987.
Procedure for soil analysis. 2nd. Ed. Wageningen, The Netherlands.
Jones, J.B. B. Wolf., and H.A. Mills. 1991. Handbook of Plant Analysis.
Mac.Micro Publ. Athens. 467 p.
Lindsay, W.L. 1979. Chemical equilibria in soils. John Wiley & Sons, New York.
Mengel, K., and E.A. Kirkby. 1987. Principles of plant nutrition. Inter.
Potash Inst. Worblaufen-Bern/Switzerland.
Mitchell, A.M. 1983. Irrigation and Drainage. Theory and Practices. John
Wiley and Sons. New York. 476 p.
Mizota, C., and L.P. Van Reeuwijk. 1989. Clay mineralogy and chemistry of
soils formed in volcanic material in diverse climatic regions. ISRIC,
Wageningen, Netherlands.
Prassad, R. and J.F. Power. 1997. Soil Fertility Management for Sustainable
Agriculture. CRC Lewis Publ. New York.
Salisbury, F.B., and C.W. Ross. 1995. Plant physiology. 5th ed. Wadsworth
Publ. Co., Inc. Boulder, CO.
Sposito, G. 2008. The chemistry of soils. Oxford Univ. Press., London.
Sufardi. 1999. Karakteristika muatan, adsorpsi fosfat dan fisikokimia tanah
serta hasil jagung pada tanah dengan muatan berubah akibat pemberian
amelioran dan pupuk fosfat. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana
Universitas Padjadjaran, Bandung.
Sufardi. 2010. Ciri Muatan Koloid Tanah dan Kaitannya dengan Kualitas
Lahan Pertanian. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Universitas Syiah
Kuala. Tanggal 3 Juli 2010.
Tan, K.H. 2005. Dasar-dasar kimia tanah (terjemahan: Principles of Soil
Chemistry). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Tisdale, S.S., W.L. Nelson, and J.D. Beaton. 1999. Soil fertility and
fertilizers. 5th ed. McMillan Publ. Co., Inc., New York.
Uehara, G., and G.P. Gillman. 1981. The mineralogy, chemistry, and physics of
tropical soils with variable charge clays. Westview Press, Boulder, CO.
Wada, K. 1986. Ando soils in Japan. Kyushu Univ. Press. (Publ.), Tokyo,
Japan.