Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PNDAHULUAN

Obat adalah senyawa kimia unik yang dapat berinteraksi secara selektif dengan
sistem biologi. Obat dapat memicu suatu sistem dan menghasilkan efek, dapat menekan
suatu sistem, atau tidak berinteraksi secara langsung dengan suatu sistem, tetapi dapat
memodulasi efek dari obat lain. Untuk dapat menghasilkan efek, obat harus melewati
berbagai proses yang menentukan, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan
eliminasinya. Namun, yang terpenting adalah bahwa obat harus dapat mencapai tempat
aksinya (Ikawati, 2018).
Obat dapat digolongkan dengan berbagai cara, misalnya berdasarkan aksi
farmakologinya atau berdasarkan struktur kimianya. Untuk kepentingan terapi, obat
mungkin lebih mudah jika digolongkan berdasarkan aksi farmakologinya, seperti
antihipertensi. Namun, untuk memprediksi suatu reaksi alergi atau idiosinkrasi,
penggolongan obat berdasarkan struktur kimia mungkin akan membantu karena obat
dengan struktur kimia serupa mungkin menghasilkan reaksi yang hampir sama. Untuk itu,
penggolongan berdasar aksi farmakologi dan struktur kimia kadang digabung. Dengan
semakin diketahuinya interaksi obat dan reseptornya pada tingkat molekuler dan untuk
kepentingan pengembangan dan penemuan obat baru, berkembanglah penggolongan obat
berdasarkan tempat aksinya yang kemudian bisa dirinci lebih jauh. Misalnya, obat yang
beraksi pada kanal Na, obat yang beraksi pada enzim atau obat yang beraksi pada subtipe
reseptor tertentu (Ikawati, 2018).
Ada beberapa tempat yang bisa menjadi target aksi obat, yaitu kanal ion, enzim,
suatu transporter (carrier atau protein pembawa), atau pada reseptor. Reseptor merupakan
target aksi obat yang utama dan paling banyak. Reseptor didefinisikan sebagai suatu
makromolekul seluler yang secara spesifik dan langsung berikatan dengan ligan (obat,
hormon, neurotransmiter) untuk memicu proses biokimia antara dan di dalam sel yang
akhirnya menimbulkan efek. Suatu senyawa/ligan dapat beraksi sebagai agonis dan
antagonis. Jika agonis adalah suatu ligan yang jika berikatan dengan reseptor dapat
menghasilkan efek, antagonis dapat berikatan dengan reseptor, tetapi tidak menghasilkan
efek. Dalam hal ini, agonis dikatakan memiliki afinitas (kemampuan berikatan) dengan
reseptor dan efikasi (kemampuan menghasilkan efek). Sementara itu, memiliki afinitas,
tetapi tidak memiliki efikasi. Aktivasi reseptor oleh suatu agonis atau ligan akan diikuti
oleh respons biokimia atau fisiologi yang melibatkan molekul-molekul "pembawa pesan"
yang dinamakan second messengers (Ikawati, 2018).
Ikatan antara suatu ligan/obat dan reseptornya tergantung pada kesesuaian antara
dua molekul tersebut. Semakin sesuai dan semakin besar afinitasnya, akan semakin kuat
interaksi yang terbentuk. Selain itu, ikatan antara ligan-reseptor juga memiliki spesifisitas,
yaitu bahwa suatu ligan dapat mengikat satu tipe reseptor tertentu. Jika suatu ligan dapat
berikatan dengan beberapa tipe reseptor, ligan itu dinyatakan kurang spesifik. Spesifisitas
ini dapat bersifat kimiawi atau biologi. Spesifisitas kimiawi artinya adanya perubahan
struktur kimia atau stereoisomerisasi saja dapat menyebabkan perbedaan kekuatan ikatan
dengan reseptor yang pada gilirannya memengaruhi efek farmakologinya. Sementara itu,
spesifisitas biologi artinya efek yang dihasilkan oleh interaksi antara ligan dan reseptor
yang sama dapat berbeda kekuatannya jika terdapat pada jaringan yang berbeda. Aktivasi
reseptor oleh suatu agonis atau hormon akan diikuti oleh respons biokimia atau fisiologi
yang melibatkan molekul-molekul yang dinamakan Second messengers (Ikawati, 2018).
Reseptor berfungsi mengenal dan mengikat suatu ligan/obat dengan spesifisitas
yang tinggi dan meneruskan signal tersebut ke dalam sel melalui beberapa cara yaitu
(Ikawati, 2018):
1. Perubahan permeabilitas membrane
Adanya ikatan ligan dengan reseptor dapat menyebabkan membran menjadi lebih
permeabel dengan adanya pembukaan kanal tertentu sehingga ion-ion tertentu dapat
mengalir melintasi membran.

2. Pembentukan second messenger


Ikatan obat dengan ligan akan memicu rangkaian peristiwa biokimia yang
menghasilkan berbagai molekul intrasel (second messenger) yang berperan dalam
penghantaran signal. Contoh second messenger antara lain: cAMP (siklik AMP), Ca
(kalsium), DAG (diasil gliserol), IP3 (inositol tri fosfat) dan lain-lain.
3. Memengaruhi transkripsi gen
Ikatan ligan dengan reseptor dapat memengaruhi transkripsi gen, baik secara langsung
maupun tidak langsung sehingga dapat menentukan macam protein yang disintesis
yang memberi efek farmakologis tertentu.
Berdasarkan transduksi signalnya, reseptor dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu
(Ikawati, 2018):
1. Ligand-gated ion channel receptor (reseptor kanal ion)
Disebut juga reseptor ionotropik, golongan reseptor ini merupakan suatu reseptor
membran yang langsung terbubung oleh suatu kanal ion, dan memperantarai aksi
sinaptik yang cepat. Contohnya adalah reseptor asetilkolin nikotinik, reseptor GABAA,
dan reseptor glutamat.
2. G-protein coupled receptor (reseptor yang tergandeng dengan protein G)
Reseptor ini merupakan reseptor membran yang tergandeng dengan sistem efektor
yang disebut protein G. Selain disebut juga reseptor metabotropik, reseptor ini juga
sering disebut reseptor 7TM atau 7 transmembran karena rangkaian peptida reseptor
ini melintasi membran sebanyak 7 kali. Reseptor ini memperantarai aksi yang lambat
beberapa neurotransmiter dan hormon. Contohnya: reseptor asetilkolin muskarinik,
reseptor adrenergik, reseptor histamin, reseptor dopaminergik, dan reseptor serotonin.
3. Tyrosine kinase-linked receptor (reseptor yang terkait dengan aktivitas kinase)
Reseptor ini merupakan reseptor single transmembrane (sekali melintasi membran)
yang memiliki aktivitas kinase dalam transduksi signalnya. Contohnya adalah reseptor
sitokin, reseptor growth factor, dan reseptor insulin.

4. Reseptor inti (nuclear receptor)


Berbeda dengan tiga kelompok reseptor di atas yang berlokasi di membran sel,
reseptor ini (disebut juga reseptor intraseluler) berada di dalam sitoplasmik atau
nukleus. Aksinya langsung mengatur transkripsi gen yang menentukan sintesis protein
tertentu.
Selain itu, akan dipaparkan mekanisme molekuler obat-obat sistem kardiovaskular
untuk penyakit hipertensi yang terpilih sebagai gambaran mengenai kompleksitas
mekanisme penyakit. Hipertensi adalah salah satu penyebab utama mortalitas dan
morbiditas di Indonesia, seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki tekanan darah
sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan
yang berulang. Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar
penentuan diagnosis hipertensi. Adapun pembagian derajat keparahan hipertensi pada
seseorang merupakan salah satu dasar penentuan tatalaksana hipertensi (disadur dari A
Statement by the American Society of Hypertension and the International Society of
Hypertension2013).
BAB II

PEMBAHASAN

A. Jenis-jenis Hipertensi (Alldredge, et al., 2013):


1. Hipertensi Esensial
Hipertensi esensial (juga dikenal sebagai hipertensi primer), di mana tidak ada
penyebab yang dapat diidentifikasi untuk peningkatan tekanan darah kronis pasien.
2. Hipertensi Sekunder
Pasien dengan hipertensi sekunder memiliki penyebab sekunder spesifik yang
teridentifikasi untuk peningkatan tekanan darah. Beberapa penyebab sekunder
berpotensi reversibel dan dapat menormalkan tekanan darah (misalnya, koarktasio
aorta), sedangkan penyebab lainnya lebih sering terjadi dan memperburuk tekanan
darah yang sudah meningkat (misalnya, apnea tidur obstruktif). Perbedaan ini penting
karena pengobatan penyebab yang mendasari mungkin tidak selalu diharapkan untuk
sepenuhnya menormalkan BP dan memungkinkan penghentian terapi antihipertensi.
3. Hipertensi Pseudoh
Meskipun relatif jarang, kemungkinan pseudohipertensi harus dipertimbangkan
saat mengukur tekanan darah pada pasien usia lanjut. Pada pseudohipertensi,
pembuluh darah menjadi kaku dan tebal karena kalsifikasi dan menahan kompresi dari
kandung kemih manset BP tiup. Tekanan yang lebih besar kemudian diperlukan untuk
menyumbat arteri, dan ini dapat mengakibatkan perkiraan SBP yang sebenarnya terlalu
tinggi. Manuver Osler digunakan untuk mendeteksi pseudohipertensi. Manset BP
dipompa di atas SBP sambil meraba arteri brakialis atau radial untuk menentukan
apakah arteri pulseless jelas. Jika arteri teraba, pasien mungkin mengalami
pseudohipertensi.

4. Hipertensi Jas Putih


Hipertensi jas putih menggambarkan pasien yang secara konsisten meningkatkan
nilai BP yang diukur dalam lingkungan klinis di hadapan profesional perawatan
kesehatan (misalnya, kantor dokter), namun ketika diukur di tempat lain atau dengan
pemantauan rawat jalan 24 jam, BP tidak meningkat.7,8 Pemantauan BP di rumah atau
ABPM 24 jam diperlukan pada pasien yang diduga menderita hipertensi jas putih
untuk membedakannya dari hipertensi sejati. Definisi yang umum digunakan adalah
tekanan darah kantor ratarata yang terus meningkat lebih dari 140/90 mm Hg dan
pembacaan rawat jalan rata-rata terjaga kurang dari 135/85 mmHg. Label hipertensi jas
putih hanya berlaku untuk pasien tanpa penyakit organ target yang tidak dalam terapi
antihipertensi. Diperkirakan terdapat pada 15% sampai 20% orang dengan hipertensi
stadium 1.
5. Krisis Hipertensi
Krisis hipertensi adalah situasi di mana nilai tekanan darah yang terukur meningkat
secara nyata, biasanya pada kisaran atas hipertensi tahap 2 (>180/110 mm Hg). Mereka
diklasifikasikan sebagai hipertensi darurat (dengan kerusakan organ target akut atau
progresif) atau urgensi (tanpa kerusakan organ target akut atau progresif). Kedaruratan
hipertensi memerlukan rawat inap untuk menurunkan tekanan darah segera
menggunakan obat intravena (IV) dan pemantauan tekanan darah intra-arteri. Contoh
kerusakan organ target akut termasuk ensefalopati, infark miokard (MI), angina tidak
stabil, edema paru, eklampsia, stroke, trauma kepala, perdarahan arteri yang
mengancam jiwa, diseksi aorta, retinopati parah, atau gagal ginjal akut. Hipertensi
urgensi tidak memerlukan penurunan tekanan darah segera; sebagai gantinya, BP harus
diturunkan secara perlahan dalam 24 jam (tetapi tidak secara umum untuk mencapai
tujuan BP begitu cepat) setelah rekomendasi terapi obat untuk hipertensi stadium 2.

B. Farmakoterapi dan Farmakologi Molekuler


1. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors
a. Farmakoterapi
Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (First-Line Agents)
ACEI secara langsung menghambat Angiotensin-Converting Enzyme (ACE),
menghalangi konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. Tindakan ini mengurangi
vasokonstriksi yang diperantarai angiotensin II dan sekresi aldosteron, dan akhirnya
menurunkan tekanan darah. Karena terdapat jalur tambahan untuk pembentukan
angiotensin II, ACEI tidak sepenuhnya memblokir produksi angiotensin II. Pelepasan
aldosteron secara tidak langsung ditekan oleh ACEI; dengan demikian, hiperkalemia
mungkin terjadi dan konsentrasi kalium harus dipantau. Menghambat ACE juga
mencegah pemecahan dan inaktivasi bradikinin, yang dapat menyebabkan vasodilatasi aditif
dengan meningkatkan NO. Namun, akumulasi bradikinin juga dapat menyebabkan batuk
nonproduktif pada beberapa pasien, yang merupakan efek samping terapi ACEI yang paling
sering, namun tidak berbahaya (Alldredge, et al., 2013).
(Alldredge, et al., 2013).
b. Farmakologi Molekuler
Enzim Sebagai Target Aksi Obat Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors
1) Pengertian Enzim
Enzim adalah protein yang memiliki aktivitas katalisis, yaitu mempercepat
reaksi kimia pada sistem biologis. Suatu enzim tidak memengaruhi konstanta
ekuilibrium reaksi yang dikatalisisnya, tetapi menurunkan ambang energi yang
dibutuhkan sehingga reaksi bisa bekerja dengan lebih mudah. Ciri khas enzim
adalah aksinya yang spesifik, yaitu bahwa dia bekerja pada substrat tertentu saja
(Ikawati, 2018).
Pada mahluk hidup, keberadaan enzim sangat esensial untuk mengatur
berbagai fungsi tubuh. Metabolisme berbagai senyawa, komunikasi antarsel,
sintesis berbagai biomakromolekul merupakan reaksi biokimiawi yang
membutuhkan enzim schagai katalisator. Karena itu, tidak mengherankan jika
adanya gangguan fungsi enzim dapat menyebabkan penyakit. Sebaliknya, fungsi
enzim juga hisa diatur untuk bisa mencapai hasil yang diinginkan. Dengan sifatnya
ini, enzim merupakan salah satu target aksi obat yang atraktif dan cukup luas
aplikasinya. Sebuah survei pada tahun 2002 melaporkan bahwa 47% ohat yang
beredar di pasaran bekerja sehagai inhibitor enzim, baik enzim yang ada pada
rubuh manusia maupun pada mikmorganivme, sepeti bakteri, virus, jatnur, dan
lain-lain. Berdasatkan analisis dari EDA Orange Book poda tahun 2005, terdapat
317 obat di pasaran yang bekerja sebagai ihihitor enzim. Ohat obat ini
menghambat 71 macam cmim, meliputi 48 cnrim pada manusa, 13 bikteri, 5 vinus,
4 jamur. dan 1 protozoa (Ikawati, 2018).
2) Mekanisme Inhibisi Enzim
Sebagtian besar obar yang beraksi pada enzim bersifar sebaga inhibitor
enzim. Ikatan obat/inhibitor dengan enzim dapat menyebabkan substrat tidak bisa
berikatan dengan sisi akif enzim sehingga enzim tidak bisa mengkatalis reaksinya.
Penghambatan bisa bersifat reversibel dan ire-versibel umumnya berikatan dengan
enzim dan mengubahnya secara kimia, misalnya dengan pembentukan ikatan
kovalen sebaliknya inhibitor reversibel mengikat enzim secara nonkovalen
(Ikawati, 2018).
1) Inhibltor Reversibel
Ada beberapa klasifikasi inhibitor enzim reversibel, yaitu inhibitor
kompetitif, inhibitor nonkompetitif, inhibitor inkompetitif, dan inhibitor
campuran (Ikawati, 2018):
- Inhibitor kompetitif adalah senyawa yang mirip dengan substrat dan
memiliki tempat ikatan yang sama dengan substrat terhadap enzim,
sehingga mereka tidak mungkin berikatan dengan enzim pada saat yang
sama. Inhibisi jenis ini dapat diatasi dengan peningkatan konsentrasi
substrat.
- Inhibitor nonkompetitif. yaitu senyawa yang bis berikatan dengan enzim
sehingga bisa mengurangi aktivitas enzim. tetapi meniliki tempat ikatan
yang berbeda dengan substrat. Sehingga, kekuatan inhi bisinya tergantung
hanya pada konsentrasi inhibitor.
- Inkompetitif inhibitor adalah senyawa yang hanya mengikat kompleks
enzim-substrat.
- Inhibitor campuran, yaitu inhibitor yang dapat mengikat enzim pada saat
yang sima dengan substrit, tetapi pacla kempat ikatan yang ber beda. Ikatan
ini disebut ikatan alosterik. Inhibisi jenis ini dapat diku rangi dengan
peningkatan konsentrasi substrat.
2) Inhibitor Ireversibel
Inhibitor ireversibel biasanya mengikat enzim secara kovalen sehingga
inhibisinya tidak bisa balik kembali. Inhibitor ireversibel sering kali
mengandung gugus fungsional yang reaktif seperti mustard nitrogen, aldehid,
haloalkana, fenilsulfonat, dan fluorofosfonat. Gugus elektrofilik ini bereaksi
dengan rantai asam amino pada enzim membentuk ikatan kovalen. Inhibitor
irreversibel umumnya spesifik untuk suatu golongan enzim tertentu (Ikawati,
2018).
Gambar 1. renin-angiotensin system (RAS) bertanggung jawab untuk menjaga
keseimbangan garam dan air. Renin mengkatalisis konversi angiotensinogen menjadi
angiotensin I yang diubah oleh angiotensin-converting enzyme (ACE) menjadi
angiotensin II (ANGII). ANG II mengontrol sekresi aldosteron, yang merangsang
Retensi Na+ dan hormon antidiuretik (ADH) yang merangsang reabsorpsi H2O oleh
ginjal. Volume plasma dan osmolalitas plasma mengontrol nafsu makan garam dan
perilaku minum. Asupan Na+ yang tinggi menyebabkan perubahan volume plasma dan
osmolalitas, yang memberikan umpan balik negatif pada sekresi renin. Pada akhirnya,
Na+ tinggi konsumsi menginduksi penurunan konsentrasi aldosteron, yang mengurangi
reabsorpsi Na+ dan meningkatkan ekskresi natrium. Asupan Na+ yang tinggi tidak
menginduksi perubahan konsentrasi plasma ADH, jika asupan H 2O cukup untuk
mempertahankan keseimbangan Na+ dan H2O (Almeida and Coimbra, 2019).

Angiotensin merupakan stimulan bagi sekresi aldosteron dari adrenal korteks, dan
merupakan bagian dari sistem RAA (Renin-Angiotensin-Aldosteron). Prekursor
angiotensin adalah angiotensinogen yang disekresi oleh hati, yang akan berubah menjadi
angiotensin I dan oleh enzim "Angiotensin Convertizing Enzim" akan diubah menjadi
Angiotensi II.
1) Angiotensin I (Asp-Arg-Val-Tyr-Ile-His-Pro-Phe-His-Leu | Val-Ile-...)
Angiotensin I atau proangiotensin dibentuk oleh aksi renin terhadap
angiotensinogen. Renin membelah ikatan peptida antara residu leusina (Leu) dan
valina (Val) dalam angiotensinogen, dan membentuk dekapeptida (peptida sepanjang
sepuluh asam amino) (desp-Asp) angiotensin 1. Renin diproduksi oleh ginjal sebagai
respons terhadap aktivitas saraf simpatetik, penurunan tekanan darah intrarenal
(<90mmHg sistolik) di sel-sel juxtaglomerular, atau penurunan pengantaran Na⁺ (ion
natrium) dan Cl⁻ (ion klorida) ke makula densa. Kalau penurunan konsentrasi NaCl
dideteksi oleh makula densa, sekresi renin oleh sel-sel juxtaglomerular ditingkatkan.
Mekanisme deteksi oleh macula densa sekresi renin tampaknya tergantung spesifik
terhadap ion klorida dan bukan ion natrium. Studi yang mengunakan preparat isolasi
dari saluran asenden tebal lengkung Henle dengan glomerulus dalam perfusi NaCl
rendah tidak mampu menghambat sekresi renin ketika banyak jenis garam natrium
ditambahkan, tapi bisa menghampat sekresi renin ketika garam klorida ditambahkan.
Studi ini dan studi serupa lain dalam in vivo telah membuat beberapa orang percaya
bahwa mungkin "signal pertama untuk kontrol MD sekresi renin adalah perubahan
tingkat serapan NaCl yang terutama melalui Na, K, 2Cl ko-transporter di dalam lumen,
yang aktivitas fisiologisnya ditetapkan oleh perubahan konsentrasi klorida di dalam
lumen.” Angiotensin I tampaknya tidak mempunyai aktivitas biologikal langsung
terhadap sel badan dan organ, dan hanya digunakan sebagai prekursor untuk
angiotensin II.
2) Angiotensin II (Asp-Arg-Val-Tyr-Ile-His-Pro-Phe)
Angiotensin I dikonversi menjadi angiotensin II (AII) melalui penghilangan dua
residu ujung C (C-terminal) oleh enzim angiotensin-converting (ACE). ACE adalah
sejenis enzim yang banyak ditemukan pada pembuluh kapiler paru, tapi juga bisa
ditemukan di sel endotel, sel epitelial ginjal dan otak). ACE membelah angiotensin I
pada rantai His-Leu menjadi angiotensin II.
Angiotensin II mempengaruhi sistem saraf pusat (CNS) untuk meningkatkan
produksi vasopressin, dan juga mepengaruhi otot polos vena dan arteriol untuk
mengakibatkan vasokontriksi. Angiontensin II juga meningkatkan sekresi aldosterone,
karena itu angiotensin II berfungsi sebagai hormon endokrin, autokrin, parakrin dan
intrakrin. Angiotensin II mempengaruhi sistem saraf pusat (CNS) untuk meningkatkan
produksi vasopressin, dan juga mepengaruhi otot polos vena dan arteriol untuk
mengakibatkan vasokontriksi. Angiontensin II juga meningkatkan sekresi aldosterone,
karena itu angiotensin II berfungsi sebagai hormon endokrin, autokrin, parakrin dan
intrakrin.
ACE adalah target obat penghambat enzim ACE, yang mennurunkan kadar
produksi angiotensin II. Angiontensin II meningkatkan tekanan darah dengan
merangsang protein Gq di dalam sel otot polos vaskular, yang selanjutnya
mengaktivasi mekanisme yang tergantung IP3 dan meningkatkan kadar intraselular
kalsium dan menyebabkan kontraksi. Ketika sel kardiak terstimulasi, sebuah sistem
RA teraktivasi di dalam miosit kardiak dan menstimulasi perkembangan sel kardiak
tersebut dengan protein kinase C. Sistem yang sama juga teraktivasi pada sel otot
halus, saat terjadi hipertensi.
Pada kelenjar adrenal, hormon ini menyebabkan sekresi hormon aldosteron.
Angiotensin II mempengaruhi penukar Na⁺ /H⁺ yang berada di tubulus proksimal
dalam ginjal dan merangsang reabsorpsi ion natrium dan ekskesi ion hidrogen yang
digabungkan dengan reabsorpsi bikarbonat. Proses ini menghasilkan peningkatan
volume darah, tekanan dan pH. Sebab itu, obat penghambat ACE adalah obat anti-
hipertensi utama.
Hasil pembelahan ACE yang lain, sepanjang tujuh atau sembilan asam amino, juga
diketahui sebagal mempunyai afinitas berbeda kepada reseptor-reseptor angiotensin,
walaupun peran mereka masih tidak terlalu jelas. Tindakan AII sendiri itu ditargetkan
oleh antagonis reseptor angiotensin II, yang memblokir reseptor angiotensin II AT1
secara langsung. Angiotensin II didegradasi menjadi angiotensin III oleh enzim
angiotensinases di dalam sel darah merah dan pembuluh darah di jaringan tubuh.
Angiotensin II bisa menghasilkan peningkatan inotropi, kronotropi, sekresi
katekolamin (norepinefrin), sensitivitas terhadap katekolamin, kadar aldosteron, kadar
vasopressin dan perombakan bentuk jantung dan vasokonstriksi melalui reseptor AT1
di pembuluh darah perifer (sebaliknya, reseptor AT2 menghambat perombakan bentuk
jantung).
2. Angiotensin Receptor Blockers
a. Farmakoterapi
Angiotensin Receptor Blockers (First-Line Agents)
ARB memodulasi RAAS dengan secara langsung memblokir situs reseptor angiotensin
II tipe 1, mencegah vasokonstriksi yang dimediasi angiotensin II dan pelepasan aldosteron.
Secara keseluruhan, ARB adalah yang terbaik ditoleransi dari agen lini pertama. Mereka
tidak mempengaruhi bradikinin dan karena itu berhubungan dengan insiden batuk yang
lebih sedikit. Karena aldosteron secara tidak langsung ditekan, pemantauan kalium penting
untuk menghindari hiperkalemia. Mirip dengan ACEI, pasien dengan CKD atau deplesi
volume mungkin lebih rentan terhadap hiperkalemia atau disfungsi ginjal lebih lanjut
(Alldredge, et al., 2013).
(Alldredge, et al., 2013).

b. Farmakologi Molekuler

Gambar 2. reseptor angiotensin dan signal transduksinya (Goodfriend 1996).

Reseptor angiotensin merupakan keluarga GPCR, suatu reseptor yang terikat pada
protein Gq yang mengaktivasi sistem fosfolipase. Jika angiotensin II berikatan dengan
reseptornya, maka protein Gq yang teraktivasi akan menstimulasi PLC yang akan
memecah fosfoinositida (PIP2) menjadi inositol trifosfat (IP3) dan diasilgliserol (DAG).
IP3 akan memicu pelepasan Ca2+ dari retikulum endoplasma. Selain itu, aktivitas protein G
juga memicu terbukanya kanal Ca2+ pada membran sel, yang menyebabkan masuknya Ca2+
ekstrasel ke dalam sel. Ca2+ yang berasal dari retikulum endoplasma maupun ruang
ekstrasel bersama-sama DAG akan mengaktivasi enzim, termasuk PKC dan calcium-
calmodulin protein kinase.

Berbagai protein selanjutnya akan difosforilasi oleh protein kinase dan memicu
berbagai fungsi sel yang terkait seperti vasokonstriksi, aktivasi sistem saraf simpatik,
menyebabkan retensi garam dan air, dan melepaskan aldosteron dan kelenjar adrenal. Pada
reseptor angiotensin II terdapat dua daerah tempat angiotensin II atau antagonisnya dapat
berikatan. Antagonis reseptor ini (dalam hal ini sartan) dapat berinteraksi dengan asam
amino pada domain transmembran, yang dapat mencegah angiotensin II untuk berikatan
dengan reseptornya. Anatagonisme terhadap angitensin II ini menyebabkan signal
transduksi terhenti dan meniadakan efek-efek angiotensin seperti vasokonstriksi, aktivasi
sistem saraf simpatik, dll.

3. Calsium Channel Bloker

1. Definisi

Pembawa pesan intraseluler yang mengontrol fungsi seluler termasuk kontraksi otot
pada otot polos dan otot jantung.Pemblokan saluran Ca2+ menghambat masuknya Ca
yang diinduksi secara depolarisasi kedalam sel otot dalam sistem kardiovaskular sehingga
menyebabkan penurunan tekanan darah,kontraktilitas jantung dan efek aritmia. Calcium
Channel Bloker dignakan u tuk mengobati hipertensi, iskemia miokard dan aritmia
jantung.

2. Mekanisme

Menghambat vasokontriksi dengan mengikat kalsium L-Type di sel otot pembuluh darah.

3. L-Type Ca2+ Channel Blokers

Penghambat organik saluran Ca2+ tipe-L(disebut juga antagonis “Ca”)yang digunakan


untuk pengobatan.saluran tipe L adalah jenis saluran utama dalam sel otot yang memediasi
kontraksi.
Gambar (1) sebagian besar saluran Ca2+ ada sebagai kompleks hetero-oligomer
dan beberapa subunit. Subunit α1 membentuk pori ion selektif Ca2+, saluran Ca tipe-L
memebawa situs pengikatan untuk obat antagonis calsium. Subunit α2,β dan γ
menstabilkan fungsi saluran kalsium dan target membran plasma.

Meskipun tidak melepaskan neutransmitter yang cepat dari saraf namun saluran
tipe L menyediakan Ca2+ untuk tempat pelepasan nuetrasmitter di sensorik ( sel rambut
koklea,fotoreseptor retina, sel endokrin (sekresi insulin dalam sel β pankreas dan
berkontribusi ke otak yang berfungsi menggabungkan aktivitas sinaptik ke transkripsi gen
di neuron. Meskipun memiliki fungsi yang banyak,blok saluran Ca tipe L secara in vivo
dengan konsentrasi terapeutik hanya menyebabkan efek farmakologis pada sistem
kardiovaskular.Dengan memblokir saluran tipe-L di otot polos arteri akan mengurangi
masuknya Ca selama depolarisasi. Jadi lebih sedikit Ca tersedia untuk aktivasi kalmodium,
yang mengaktifkan miosin kinase. Otot polos berkontraksi setelah stimulasi jalur
diaktifkan oleh reseptor.

Tiga kelas kimia yang berbeda dari Ca2+ channel blocker dapat dibedakan:
Dihydropyridines (DHPs; prototipe nifedipine), phenylalkylamines (prototipe verapamil),
dan benzothiazepines (prototipe diltiazem). Meskipun strukturnya berbeda, mereka semua
mengikat dalam domain pengikatan obat tunggal yang dekat dengan saluran pori . Dalam
pengikatan radioligand, obat-obatan ini berinteraksi secara reversibel dengan domain ini
secara stereoselektif dan dengan▶konstanta disosiasi dalam kisaran (sub) nanomolar (0,1-
50 nM).

Gambar 2 farmakologis Ca2+ tipe-L penghambat saluran di otot polos arteri:


Berbeda dengan kardiomiosit, potensial aksi tidak dibawa oleh saluran natrium cepat di
otot polos dan depolarisasi lebih tahan lama. Kontraksi membutuhkan pengikatan Ca2+
menjadi calmodulin, yang kemudian mengaktifkan myosin light chain kinase (MLCK).
MLCK memfosforilasi rantai ringan miosin, yang memulai kontraksi. Ca2+ untuk
aktivasi jalur ini bisa masuk melalui L-type Ca2+ saluran sebagai respons terhadap
depolarisasi. Ca2+ penghambat saluran menghambat jalur ini melalui blok Ca . yang
bergantung pada konsentrasi2+ pintu masuk. Sebagai alternatif, Ca2+ dapat dilepaskan
dari penyimpanan intraseluler setelah aktivasi reseptor membran (misalnya, reseptor
angiotensin II AT1 atau 1-adrenergik) digabungkan ke IP3 produksi. AKU P3 membuka
IP3 saluran reseptor, Ca . terkait RyR2+ saluran rilis di SR. Proses ini tidak melibatkan
Ca2+ . tipe-Lsaluran dan tidak dihambat oleh Ca2+ pemblokir saluran. Store-depletion
juga memicu aktivasi “storeoperated channels” (SOC) di membran plasma, yang juga
tidak sensitif terhadap Ca2+ pemblokir saluran. SOC dapat mendepolarisasi membran
plasma dan dengan demikian dapat menghubungkan aktivasi reseptor dengan modulasi
Ca2+ aktivitas saluran. Aktivasi yang dimediasi reseptor dari protein kinase yang
bergantung pada cAMP (cAMP-PK) menghasilkan relaksasi otot melalui mekanisme yang
berbeda. D1-R, reseptor dopamin1; AR, reseptor adrenergik; PLC, fosfolipase C.

4. Golongan Calsium Channel Blokers

a) Golongan Dihidropiridine

Peningkatan denyut jantung daan tidak memberikan respon denyut jantung.


Dihidropiridin dapat meningkatkan refleks mediasi baroreseptor pada denyut jantung.
Efek vasodilatasinya amat kuat. Contohnya, antara lain nifedipin, nisoldipin,
amlodipin, felodipin, nicardipin dan nimodipin.

Gambar diatas adalah membran sel jantung/ sel otot polos pembuluh darah,ada
suatu kanal ion kalsiumnya. Suatu protein integral yang ada di membran bilayer dan
menjadi penghubung anatar intraseluler dan ekstraseluler tempat keluar masuknya ion
kalsium secara selektif. Ada senyawa amlodipin (bulatan merah ) yang mengeblok
kanal,sehingga ion kalsium tidak bisa masuk kedalam intraseluler sehingga mengakibatkan
ion kalsium inyraseluler menurun dan tidak terjadi kontraksi.

b) Golongan nondihiropiridine

Meningkatkan denyut jantung serta memiliki efek inotropic negative dan


kronotropik negative, mempengaruhi sistem konduksi jantung dan cenderung
melambatkan denyut jantung, efek hipertensinya melalui vasodilatasi perifer dan
penurunan resistensi perifer.

i. Verapamil

Kation organic memblokir saluran dengan mengganggu pengikatan kalsium


sehingga mengakibatkan jumlah saluran yang tersedia untuk masuknya Ca berkurang
antara depolarisasi lebih pendek. Efek verapamil: sembelit karena aksi penghambatnya
ada pada otot polos usus.

ii. Diltiazem

Mekanisme aksi molekuler: menghambat kontraksi otot polos yang diinduksi


depolarisasi secara in vitro.

Konsentrasi Ca intraseluler meningkat ketika Ca memasuki sel dan dilepaskan dari


retikulum sarkoplasma. Ca2+ berikatan dengan calmodulin. Calmodulling mengaktifkan
MLCK. MLCK memfosforilasi rantai ringan di myosin dan meningkatkan aktivitas ATP
miosin terjadi kontraksi otot polos/ vasokontriksi. Diltiazem dapat disamakan khasiatnya
dengan verapamil, tetapi efek ionotropik negatifnya lebih ringan.
Gambar 3 farmakologis Ca2+ . tipe-Lchannel blocker pada miosit jantung: Pada
miosit jantung, Ca2+ . tipe Lsaluran terbuka ketika membran plasma didepolarisasi oleh
potensial aksi yang dibawa sepanjang sel otot oleh pembukaan saluran natrium berpintu
tegangan (Na-Ch). Potensial aksi dihentikan (durasinya ditentukan) oleh pembukaan
saluran kalium (K-Ch). Ca2+ masuknya memicu pelepasan besarbesaran Ca2+ dari
simpanan intraseluler dengan membuka Ca yang sensitif terhadap ryanodine2+ saluran
(reseptor ryanodine, RyR) di retikulum sarkoplasma, menghasilkan Ca intraseluler2+
sementara. Ca2+ masuk dan melepaskan Ca2+ langsung memulai kontraksi. Kontraksi
diakhiri oleh penyerapan cepat ke dalam SR oleh SR Ca2+ ATPase (SERCA).
Stimulasi reseptor adrenergik meningkatkan inotropi oleh fosforilasi (P) fosfolamban
dan saluran tipe-L melalui protein kinase yang bergantung pada cAMP (cAMP-PK).
Stimulasi yang dihasilkan dari Ca2+ masuk dan Ca2+ aktivitas pompa meningkatkan
beban Ca2+ di SR. Hal ini menyebabkan peningkatan Ca2+ transien pada depolarisasi.
Penghambatan Ca2+ masuknya melalui L-type jenis Ca2+ saluran oleh Ca2+
penghambat saluran menyebabkan penurunan Ca2+ masuk dan beban SR. Kurang
Ca2+ aliran masuk dan pelepasan menghasilkan Ca2+ yang lebih kecil transien dan
penurunan kekuatan kontraktil.

5. Diuretika
Mekanisme kerja diuretik Kebanyakan diuretik bekerja dengan mengurangi reabsorbsi
natrium, sehingga pengeluarannya lewat kemih dapat diperbanyak. Obat-obat ini
bekerja khusus terhadap tubuli, yaitu:
 Tubuli proksimal Di tubuli ini kurang lebih 70% dari ultrafiltrat diserap
kembali secara aktif glukosa, ureum, ion-ion Na+ dan Cl- . Filtrat tidak
berubah dan tetap isotonik terhadap plasma. Diuretik osmotik (mannitol,
sorbitol) bekerja ditempat ini dengan mengurangi reabsorbsi Na+ dan air (Tjay
dan Rahardja, 2002).
 Lengkung Henle (Henle’s loop) Di segmen ini lebih kurang dari 25 % Cl-
diangkut secara aktif kedalam sel-sel tubuli dengan disusul secara pasif oleh
Na+ , tetapi tanpa air, sehingga filtrat menjadi hipotonis. Diuretik lengkung
(furosemid, bumetanid dan etakrinat) bekerja di tempat ini dengan merintangi
transport Cl- dan reabsorbsi Na+ sehingga pengeluaran K+ dan air juga
diperbanyak (Tjay dan Rahardja, 2002).
 Tubuli distal bagian depan Di ujung atas Henle’s loop yang terletak dalam
korteks, Na+ diserap kembali secara aktif tanpa penarikan pula, sehingga filtrat
menjadi lebih cair dan lebih hipotonik. Senyawa tiazid, klortaridon bekerja di
tempat ini dengan merintangi reabsorpsi Na+ dan Cl- (Tjay dan Rahardja,
2002).
 Tubuli distal bagian belakang Di bagian ini, ion Na+ ditukar dengan ion K+
atau NH4+ . Antagonis aldosteron (spironolakton) dan zat-zat penghemat
kalium (amilorida, triamteren) bertitik kerja dengan cara mengekskresikan Na+
dan meretensikan K+ (Tjay dan Rahardja , 2002).
 Saluran pengumpul Hormon antidiuretik vasopresin dari hipofise bertitik kerja
disini dengan jalan mempengaruhi permeabilitas air dari sel-sel saluran ini
(Tjay dan Rahardja, 2002)
Diuretika di bagi menjadi beberapa:
 Golongan diuretik Thiazide bekerja dengan mengurangi penyerapan natrium
atau klorida pada distal tubulus ginjal, sehingga meningkatkan produksi urine.
Selain itu, thiazide dapat merelaksasi pembuluh darah, sehingga efektif dalam
menurunkan tekanan darah.
 Golongan Diuretik loop bekerja dengan menurunkan penyerapan kalium,
klorida, dan natrium pada loop (lengkung) Henle di dalam ginjal. Hal ini akan
meningkatkan jumlah air dan garam yang dikeluarkan melalui urine.
 Golongan Diuretik hemat kalium bekerja dengan meningkatkan volume cairan
dan natrium di dalam urine dengan tetap mempertahankan kadar kalium di
dalam tubuh.
 Golongan Diuretik jenis penghambat karbonat anhidrase bekerja dengan
meningkatkan pengeluaran asam bikarbonat, natrium, kalium, dan air pada
bagian tubulus renalis ginjal.
 Golongan Diuretik osmotik meningkatkan jumlah cairan tubuh yang disaring
keluar oleh ginjal, sekaligus menghambat penyerapan cairan kembali oleh
ginjal.
1) Thiazide
Digunakan untuk pengobatan sembab pada keadaan dekompesasi jantung
dan sebagai penunjang pada pengobatan hipertensi karena dapat mengurangi
volume darah dan secara langsung menyebabkan relaksasi otot polos arteriolida.
Diuretik turunan tiazida menimbulkan efek samping hipokalemi, gangguan
keseimbangan elektrolit, dan menimbulkan penyakit pirai yang akut.
Tempat Aksi golongan diuretik Thiazide pada (Tubulus Distal) saluran berliku-liku
yang berada di paling akhir dari saluran nefron.

Mekanisme aksi dari diuretik Thiazide, Diuretik thiazide mengurangi hipertensi


dengan memblokir transporter natrium-klorida – Na + -Cl– transporter. Dengan
memblokir transporter ini, diuretik tiazid menghambat reabsorpsi ion natrium dan
klorida dari tubulus berbelit-belit distal – dengan air yang diikuti oleh osmosis. Karena
lebih banyak air yang dikeluarkan dari tubuh, jantung bekerja lebih sedikit untuk
memompa darah ke seluruh tubuh – menurunkan tekanan darah yang diperlukan untuk
mencapai targetnya. Awalnya, tubuh melawan efek antihipertensi dari diuretik thiazide
dengan mengaktifkan sistem renin-angiotensin. Melalui efek vasodilatasi, tiazid dapat
mengerahkan tindakan antihipertensi jangka Panjang.

2) Golongan Diuretik loop

Tempat Aksi golongan diuretic loop pada  bagian tubulus berbentuk huruf U yang
menghantarkan cairan urine dalam nefron ginja (Lengkung Henle), bagian Thick
Ascending
Mekanisme obat yang bekerja di loop menghambat reabsorpsi NaCl dalam ansa
henle ansendes segmen tebal. Segmen ini memiliki kapasitas yang besar untuk
mengabsorpsi NaCl sehingga obat yang bekerja pada tempat ini mengakibatkan diuresis
yang lebih hebat dari pada diuresis lain. Diuretik loop bekerja pada membran lumen
dengan cara menghambat kotranpor Na+/K+/2Cl-. Contoh obat golongan diuretik loop
ialah furosemid, torsemid, bumetamid, asam etakrinat
3) Golongan Diuretik hemat

Tempat Aksi golongan diuretik hemat kalium bagian akhir tubulus distal
dan duktus pengumpul.
Diuretik hemat kalium adalah senyawa yang mempunyai aktifitas
natriuretik ringan dan dapat menurunkan sekresi ion H+ dan K+ . Senyawa tersebut
bekerja pada tubulus distalis dengan cara memblok penukaran ion Na+ dengan ion
K+ dan H+ , menyebabkan retensi ion K+ , dan meningkatkan sekresi ion Na+ dan
air. Golongan obat ini menimbulkan efek samping hiperkalemi, dapat memperberat
penyakit diabetes dan pirai, serta menyebabkan gangguan pada saluran cerna.
Diuretik hemat kalium bekerja pada saluran pengumpul, dengan mengubah
kekuatan pasif yang mengontrol pergerakan ion-ion, memblok absorbsi kembali
ion Na+ dan ekskresi ion K+ sehingga meningkatkan ekskresi ion Na+ dan Cl-
dalam urin . Efek obat-obat ini lemah dan khusus digunakan terkombinasi dengan
diuretik lainnya guna menghemat ekskresi kalium. Aldosteron menstimulasi
reabsorbsi Na+ dan ekskresi K+ , proses ini dihambat secara kompetitif oleh
antagonis aldosterone.
4) Golongan Diuretik jenis penghambat karbonat anhydrase.
Penggunaan diuretik penghambat karbonik anhidrase terbatas karena cepat
menimbulkan toleransi. Zat ini merintangi enzim karbohidrase di tubuli proksimal,
sehingga disamping karbonat juga Na+ dan K+ diekskresikan lebih banyak,
bersaman dengan air. Khasiat diuretiknya lemah.

5) Golongan Diuretik osmotic


◦ Tempat Aksi golongan diuretik osmosic bekerja pada tubulus proksimal
Obat-obat ini hanya direabsorpsi sedikit oleh tubuli, hingga reabsorpsi air juga
terbatas. Efek utama diuretik osmotik adalah untuk meningkatkan jumlah air
yang dikeluarkan dengan relatif sedikit penambahan ekskresi natrium. Penggunaan
klinis diuretik osmotik sangat terbatas misalnya pada kegagalan ginjal akut, dan
peningkatan tekanan intrakranial atau intraokuler yang kuat (pada udem otak dan
glaukoma). obat akan bersifat sebagai solute yang akan secara bebas difiltrasi oleh
glomerulus dan masuk ke tubulus lalu berikatan dengan air dan membatasi
reabsorbsi di tubulus dengan peningkatan osmolaritas lalu air tertahan di lumen
tubulus Obat diuretik osmotik diantaranya: manitol dan sorbitol

6. Penghambat Adrenoseptor Beta (β-blocker)

Antagonis B-adrenergik mampu berikatan dengan reseptor adrenergic-B, sehingga


dapat menggeser ikatan reseptor ini dengan senyawa-senyawa endogen seperti
epinefrin dan norepinefrin.

Βeta blocker awalnya menyebabkan penurunan tekanan darah melalui


penurunan curah jantung. Dengan terapi yang kontinu, curah jantung kembali
normal, tetapi tekanan darah tetap rendah karena resistensi vaskular perifer berada
pada tingkat yang lebih rendah dengan mekanisme yang tidak diketahui.
Penggunaan β-blocker sebagai obat tahap pertama pada hipertensi ringan
sampai sedang terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner,pasien
dengan aritmia superventrikel dan ventrikel tanpa kelainan konduksi, pada pasien
muda dengan sirkulasi hiperdinamik, dan pada pasien yang memerlukan
antidepresan trisiklik atau antipsikotik (karena efek antihipertensi β-blocker tidak
dihambat obat tersebut). Β-blocker lebih efektif pada usia muda dan kurang
efektif pada usia lanjut. Beberapa obat yang tergolong β-blocker, yaitu: Pindolol,
penbutol, carteolol, dan acebutol mempunyai intriksik simpatomimetik activity
(ISA) atau aktivitas antagonis partial β-reseptor. Β-blocker kardioselektif yang
memiliki aktivitas sebagai vasodilatasi adalah labetalol dan karvedilol. Β-blocker
yang lain seperti propanolol, bisoprolol, metoprolol, ndolol dan timolol.
Efek antihipertensi β-blocker berlansung lebih lama dari pada bertahannya
kadar plasma. Secara umum efek samping β-blocker bronkospasme,
memperburuk gangguan pembuluh darah perifer, rasa lelah, insomnia, eksaserbasi
gagal jantung dan menutupi gejala-gejala hipoglikemia, hipertrigliserida. Efek
samping metabolit dari β-blocker dapat dikurangi dengan pengaturan diet.
6.1 Alpha-blocker
Alpha‐blocker (penghambat adreno‐septor alfa‐1) memblok
adrenoseptor alfa‐1 perifer, mengakibatkan efek vasodilatasi karena
merelaksasi otot polos pembuluh darah. Diindikasikan untuk hipertensi yang
resisten. Efek samping Alpha‐blocker dapat menyebabkan hipotensi postural,
yang sering terjadi pada pemberian dosis pertama kali. Alpha‐blocker
bermanfaat untuk pasien laki‐laki lanjut usia karena memperbaiki gejala
pembesaran prostat (Gomer, 2007).

Sistem adrenergik adalah regulator penting yang meningkatkan


kapasitas kardiovaskular dan metabolisme selama situasi stres, olahraga, dan
penyakit. Sel saraf di sistem saraf pusat dan perifer mensintesis dan
mengeluarkan neurotransmitter noradrenalin dan adrenalin. Di sistem saraf
tepi, noradrenalin dan adrenalin dilepaskan dari dua tempat berbeda:
noradrenalin adalah neurotransmiter utama neuron simpatik yang
mempersarafi banyak organ dan jaringan. Di dalam kontras, adrenalin, dan
pada tingkat yang lebih rendah noradrenalin, diproduksi dan disekresikan dari
kelenjar adrenal ke dalam sirkulasi (Gbr. 1). Dengan demikian, tindakan
noradrenalin adalah sebagian besar terbatas pada situs pelepasan dari simpatis
saraf, sedangkan adrenalin bertindak sebagai hormon untuk merangsang
banyak sel yang berbeda melalui aliran darah. Bersama dengan dopamin,
adrenalin dan noradrenalin termasuk dalam katekolamin endogen yang
disintesis dari prekursor asam amino tirosin (Gbr. 1). Pada langkah biosintesis
pertama, tirosin hidroksilase menghasilkan L-DOPA yang selanjutnya diubah
menjadi dopamin oleh asam L-amino aromatik dekarboksilase (▶Dopa
dekarboksilase). Dopamin adalah diangkut dari sitosol ke vesikel sinaptik oleh
pengangkut monoamina vesikular. Simpatik nsaraf, vesikular dopamin
-hidroksilase menghasilkan neurotransmitter noradrenalin. Dalam sel kromafin
dari medula adrenal, sekitar 80% dari noradrenalin selanjutnya diubah menjadi
adrenalin oleh enzim phenylethanolamine-N-methyltransferase. Beberapa
mekanisme berfungsi untuk menghentikan mekanisme biologis aksi
noradrenalin dan adrenalin. Dari celah sinaptik, sebagian besar noradrenalin
yang dilepaskan adalah didaur ulang oleh reuptake ke terminal saraf melalui a
transporter noradrenalin spesifik. Pengangkut ini adalah selektif diblokir oleh
kokain, antidepresan trisiklik atau inhibitor reuptake noradrenalin selektif
(SNRI). Setelah reuptake ke saraf, sebagian besar noradrenalin dipindahkan ke
vesikel sinaptik. Pecahan yang lebih kecil ditakdirkan untuk degradasi oleh
enzim monoamine oxidase (MAO, di saraf simpatik) atau catechol-O-
methyltransferase (COMT, di sel tetangga). COMT memainkan peran utama
dalam metabolisme katekolamin yang bersirkulasi. MAO dan COMT adalah
didistribusikan secara luas, dan inhibitor enzim ini digunakan untuk
pengobatan depresi mental (MAO-A inhibitor, moclobemide) atau penyakit
Parkinson (MAOB inhibitor, selegiline). Tindakan biologis adrenalin dan
noradrenalin dimediasi melalui sembilan G-protein-coupled yang berbeda
reseptor, yang terletak di membran plasma dari sel target neuronal dan
nonneuronal. Reseptor ini adalah dibagi menjadi dua kelompok yang berbeda,
reseptor –adrenergik dan reseptor -adrenergik (lihat sistem -adrenergik).
Perbedaan antara reseptor - dan -adrenergik adalah pertama kali diusulkan oleh
Ahlquist pada tahun 1948 berdasarkan percobaan dengan berbagai turunan
katekolamin untuk menghasilkan tanggapan rangsang (α) atau penghambatan
(β) dalam isolasi sistem otot polos. Awalnya, subdivisi lebih lanjut menjadi
reseptor 2- presinaptik dan reseptor 1 pascasinaptik adalah diajukan. Namun,
klasifikasi anatomis ini Subtipe reseptor -adrenergik kemudian ditinggalkan.
Saat ini, enam reseptor -adrenergik telah diidentifikasi oleh kloning molekuler:
tiga 1-adrenergik reseptor (α1A, 1B, 1D) dan tiga subtipe 2 (α2A, 2B, 2C)
(Gbr. 2). Karena kurangnya ligan subtipe selektif yang cukup, sifat fisiologis
yang unik dari subtipe reseptor ini, sebagian besar, belum telah dijelaskan
sepenuhnya. Namun, penelitian terbaru pada tikus yang membawa
penghapusan dalam pengkodean gen untuk individu Subtipe reseptor telah
sangat meningkatkan pengetahuan tentang fungsi spesifik reseptor ini.
Reseptor 1-adrenergik memediasi kontraksi dan pertumbuhan hipertrofik sel
otot polos pembuluh darah dan miosit jantung. Tiga subtipe reseptor 1 berbagi
75% identitas dalam domain transmembran mereka.
a. Agonis alfa-2 sentral
Klonidin dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan
merangsang reseptor alfa-2 adrenergik di otak. Perangsangan ini menurunkan
aliran simpatik dari pusat vasomotor di otak, curah jantung, dan tahanan
perifer (Barranger dkk., 2006). Penggunaan agonis alfa-2 sentral secara
kronis menyebabkan retensi natrium dan air, terutama pada penggunaan
metildopa. Klonidin dosis rendah dapat digunakan untuk mengobati
hipertensi tanpa penambahan diuretik. Metildopa harus diberikan bersama
diuretik untuk mencegah timbulnya efek antihipertensi yang terjadi dengan
penggunaan jangka panjang, kecuali pada kehamilan (Depkes RI, 2006).
Metildopa menyebabkan rasa kantuk dan pada 20% pasien menyebabkan tes
antiglobulin (Coombs) positif dan anemia hemolitik yang jarang terjadi.
Klonidin menyebabkan rebound hypertension bila obat dihentikan mendadak
(Neal, 2006).

Sintesis dan pelepasan noradrenalin dan adrenalin dari saraf simpatis


ujung (kiri) dan dari kelenjar adrenal (kanan). Noradrenalin dan adrenalin
disintesis dari precursor asam amino tirosin dan disimpan pada konsentrasi
tinggi dalam vesikel sinaptik. Setelah aktivasi saraf simpatis atau sel
chromaffin adrenal, noradrenalin dan adrenalin disekresikan dan dapat
mengaktifkan reseptor adrenergik pada sel-sel sekitarnya (saraf simpatis), atau
mereka memasuki sirkulasi darah (adrenalin dilepaskan dari kelenjar adrenal).
kelenjar). Pelepasan noradrenalin dari terminal saraf dikendalikan oleh
penghambatan presinaptik 2- dan pengaktifan reseptor 2-adrenergik. Tindakan
noradrenalin diakhiri dengan penyerapan ke terminal saraf dan sinaptik vesikel
oleh transporter aktif (NET, EMT, VMAT) dan oleh penyerapan ke sel
tetangga (tidak ditampilkan). Singkatan:
AADC, dekarboksilase asam L-amino aromatik; COMT, katekol O-
metiltransferase; DβH, dopamin -hidroksilase; EMT, pengangkut noradrenalin
ekstraneuronal; MAO, monoamina oksidase; NET, pengangkut noradrenalin;
PNMT, feniletanolamin-N-metiltransferase; TH, tirosin hidroksilase; VMAT,
pengangkut monoamina vesikular.
DAFTAR PUSTAKA
Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson, P.A.,Kradjan,
W.A. 2013. Koda-Kimble & Young’s Applied Therapeutics The Clinical Use
of Drugs, 10th ed. Lippincott Williams & Wilkins, Pennsylvania, United
States of America.
Goodfriend, T.L., Elliott, M.E., Catt, K.J. 1996. Angiotensin Receptors and Their
Antagonists. N Engl J Med, 334: 1649-55.
Ikawati, Z. 2018. Farmakologi Molekuler: Target aksi Obat dan Mekanisme
Molekulernya. Gadjah Mada University Press.
Tjay, T. H., dan Rahardja, K., 2002, Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan
Efek Sampingnya, Edisi Kelima, 270-279, Efek Media Komputindo, Jakarta.
Siswandono dan Soekardjo, B., 2000, Kimia Medisinal, Edisi 2, 228-232, 234, 239,
Airlangga University Press, Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai