Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

FARMAKOLOGI MOLEKULER

OBAT YANG BEKERJA PADA GROWTH FAKTOR VEGF:


BEVACIZUMAB “AVASTIN”

OLEH:
WIZA LEILA PUSPITA SARI
1011012054

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN

Obat adalah senyawa kimia organic yang dapat berinteraksi secara selektif dengan system
biologi. Obat dapat digolongkan dengan berbagai cara, misalnya berdasarkan aksi
farmakologisnya atau berdasarkan struktur kimianya. Untuk kepentingan terapi, obat mungkin
lebih mudah jika digolongkan berdasarkan aksi farmakologisnya. Namun untuk memprediksi
suatu reaksi alergi atau idiosinkrasi, penggolongan obat berdasarkan struktur kimia mungkin
akan membantu, karena obat dengan struktur kimia serupa mungkin menghasilkan reaksi yang
hamper sama. Untuk itu kadang digabung antara penggolongan berdasar aksi farmakologi dan
struktur kimia, contoh obat golongan sulfa, antibiotika golongan makrolida atau antidepresan
trisiklik. (Ikawati, 2008)

Untuk dapat menghasilkan efek, obat harus melewati berbagai proses yang menentukan,
yaitu absorpsi, dstribusi, metabolisme, dan eliminasinya, namun yang terpenting adalah bahwa
obat harus dapat mencapai tempat aksinya. Dengan semakin diketahuinya interaksi obat dan
reseptornya pada tingkat molekuler, dan untuk kepentingan pengembangan penemuan obat baru,
maka berkembanglah penggolongan obat berdasarkan tempat aksinya, yang kemudian bisa
dirinci lebih jauh. (Ikawati, 2008)

Ada beberapa tempat yang bisa menjadi target aksi obat, salah satunya yaitu pada
reseptor. Reseptor merupakan target aksi obat yang utama dan paling banyak. Reseptor
didefinisikan sebagai suatu makromolekul seluler yang secara spesifik dan langsung berikatan
dengan ligan (obat, hormon, neurotransmitter) untuk memicu proses biokimia antara dan di
dalam sel yang akhirnya menimbulkan efek. (Ikawati, 2008)

Berdasarkan transduksi sinyalnya reseptor dapat digolongkan ke dalam beberapa


kelompok, salah satunya yaitu reseptor yang terkait dengan aktivitas kinase (tyrosine kinase-
linked receptor). Reseptor ini merupakan reseptor single transmembrane (sekali melintasi
membrane), yang memiliki ativitas kinase dalam transduksi signalnya. Contohnya adalaah
reseptor sitokin, reseptor insulin dan reseptor growth factor. (Ikawati, 2008)
Pada sepuluh tahun terakhir ini, reseptor growth factor mendapat perhatian cukup besar
karena merupakan salah satu target aksi bagi obat-obat anti kanker. Diketahui bahwa kanker
adalah suatu penyakit yang ditandai oleh proliferasi sel yang berlebihan dan terus menerus secara
abnormal. Salah satu faktor penentu pertumbuhan adalah adannya growth factor yang bekerja
pada reseptornya. Banyak dijumpai adanya mutasi pada reseptor growth factor, sehingga signal
pertumbuhan melalui respetor tirosin kinase terus dikirimkan walaupun tidak ada growth factor.
(Ikawati, 2008)

Oleh karena itu, kini dikembangkan obat-obat yang dapat menghambat reseptor tirosin
kinase. Salah satunya yaitu bevacizumab (avastin), yaitu antibody monoclonal yang memiliki
target aksi pada VEGF (vascular endothelial growth factor). (Ikawati, 2008)
BAB II
ISI

2.1. Reseptor

Reseptor didefinisikan sebagai suatu makromolekul seluler yang secara spesifik langsung
berikatan dengan ligan (obat, hormone, neurotransmitter) untuk memicu proses biokimia antara
dan di dalam sel yang akhirnya menimbulkan efek. Suatu senyawa / ligan dapat beraksi sebagai
agonis dan antagonis. Jika agonis adalah suatu ligan yang jika berikatan dengan reseptor dapat
menghasilkan efek, antagonis dapat berikatan dengan reseptor tetapi tidak menghasilkan efek.
Dalam hal ini agonis dikatakan memiliki afinitas (kemampuan berikatan) dengan reseptor dan
efikasi (kemampuan menghasilkan efek). Sedangkan antagonis memiliki afinitas tetapi tidak
memiliki efikasi. Aktivasi reseptor oleh suatu agonis atau ligan akan diikuti oleh respons
biokimia atau fisiologi yang melibatkan molekul-molekul pembawa pesan yang dinamakan
second messengers. (Ikawati, 2008)

Ikatan antara suatu ligan/obat dan reseptornya tergantung pada kesesuaian antara dua
molekul tersebut. Semakin sesuai dan semakin besar afinitasnya, akan semakin kuat interaksi
yang terbentuk. Selain itu, ikatan antara ligan-reseptor juga memiliki spesifitas, yaitu bahwa
suatu ligan dapat mengikat satu tipe reseptor tertentu. Jika suatu ligan dapat berikatan dengan
beberapa tipe reseptor, maka ligan itu dinyatakan kurang spesifik. Spesifisitas ini dapat bersifat
kimiawi atau biologi. Spesifitas kimiawi artinya adanya perubahan struktur kimia atau
stereoisomerasi saja, dapat menyebabkan perbedaan kekuatan ikatan dengan reseptor yang pada
gilirannya mempengaruhi efek farmakologinya. Sedangkan spesifisitas biologi artinya efek yang
dihasilkan oleh interaksi ligan dan reseptor yang sama dapat berbeda kekuatannya jika terdapat
pada jaringan yang berbeda. Aktivasi reseptor oleh suatu agonis atau hormone akan diikuti oleh
respon biokimia atau fisiologi yang melibatkan molekul-molekul yang dinamakan second
messenger. (Ikawati, 2008)

Reseptor berfungsi mengenal dan mengikat suatu ligan/obat dengan spesifisitas yang
tinggi, dan meneruskan signal tersebut ke dalam sel melalui beberapa cara, yaitu:
1. Perubahan permeabilitasmembran; adanya ikatan ligan dengan reseptor dapat
menyebabkan membrane menjadi lebih permeable dengan adanya permukaan kanal
tertentu sehingga ion-ion tertentu dapat mengalir melintasi membran.
2. Pembentukan second messenger, ikatan obat dengan ligan akan memicu rangkaian
peristiwa biokimia yang menghasilkan berbagai molekul intrasel (second messenger)
yang berperan dalam penghantaran signal. Contoh second messenger antara lain
adalah: cAMP (siklik AMP), Ca (kalsium), DAG (diasil gliserol), IP3 (inositol tri-
fosfat),dll.
3. Mempengaruhi transkripsi gen; ikatan ligan dengan reseptor dapat juga memengaruhi
transkripsi gen baik secara langsung maupun tidak langsung. (Ikawati, 2008)

Berdasarkan transduksi sinyalnya, maka reseptor dapat dikelompokkan menjadi 4, yaitu:

1. Ligand-ligand ion channel receptor (reseptor kanal ion)

Disebut juga reseptor ionotropik, golongan reseptor ini merupakan suatu reseptor
membrane yang langsung terhubung langsung oleh suatu kanal ion, yang memperantarai
aksi sinaptik yang cepat. Contohnya adalah reseptor asetil kolin nikotinik, reseptor
GABAA dan reseptor glutamate.

2. G-protein coupled receptor (reseptor yang tergandeng dengan protein G)

Reseptor ini merupakan reseptor membrane yang tergandeng dengan system efektor yang
disebut protein G. Selain disebut juga reseptor metabotropik , reseptor ini juga sering
disebut 7TM atau 7 transmembran, karena rangkaian peptide reseptor ini melintasi
membrane sebanyak 7 kali. Reseptor ini memperantarai aksi yang lambat beberapa
neurotransmitter dan hormone. Contohnya: reseptor asetilkolin muskarimik, reseptor
adrenergic, reseptor histamine, reseptor dopaminergik, dan reseptor serotonin.

3. Tyrosine kinase-linked receptor (reseptor yang terkait dengan aktivitas kinase)

Reseptor ini merupakan reseptor single transmembrane (sekali melintasi membrane),


yang memiliki aktivitas kinase dalam transduksi signalnya. Contohnya adalah reseptor
sitokin , reseptor growth factor, dan reseptor insulin.
4. Reseptor ini (nuclear receptor)

Berbeda dengan tiga kelompok di atas yang berlokasi membrane sel, reseptor ini disebut
juga reseptor intraseluler, berada di dalam sitoplasmik atau nucleus. Aksinya langsung
mengatur transkripsi gen yang menentukan sintesis protein tertentu. (Ikawati, 2008)

2.2. Reseptor Tirosin Kinase

Protein tirosin kinase (PTK) adalah enzim yang mengkatalisis proses fosforilasi dari
residu tirosin, yaitu proses transfer ion fosfat dari ATP ke gugus hidroksil (OH) tirosin pada
protein targetnya. Enzim tirosin kinase terlibat dalam berbagai jalur signaling dan meregulasi
fungsi fundamental sel seperti regulasi terhadap proliferasi dan diferensiasi sel, siklus sel,
migrasi sel, keberlangsungan hidup sel, dan modulasi pada metabolisme seluler. Aktivitas yang
tidak terkontrol dari enzim ini, misalnya terjadi mutasi atau overekspresi, dapat menyebabkan
gangguan serius seperti kanker, penyakit inflamasi, dan lain-lain. (Ikawati, 2008)

Reseptor tirosin kinase (Tyrosine kinase-linked receptor) merupakan reseptor membrane


sel terbanyak kedua setelah reseptor tergandeng protein G. Reseptor ini adalah protein trans-
membran yang memiliki satu segmen transmembran, atau dikatakan berbentuk monomer.
Keluarga reseptor tirosin kinase (RTK) memiliki struktur yang mirip. (Ikawati, 2008). Gambaran
skematik struktur RTK dapat digambarkan sebagai berikut:
Reseptor Tirosin Kinase (RTK) terdiri dari empat domain:

1. Domain pengikatan ligan ekstraseluler


2. Domain tirosin kinase intraseluler, dengan sekuens asam amino pada pengikatan ATP
dan daerah-daerah pengikatan substrat yang terpelihara oleh protein kinase yang
tergantung cAMP (cAPK, PKA)
3. Domain pengatur (regulatory) intraseluler
4. Domain transmembran (Syamsudin, 2013)

RTK terdapat dalam membrane plasma di domain transmembran, sementara domain


ekstraseluler mengikat faktor-faktor pertumbuhan. Biasanya, domain ekstraseluler terdiri dari
motif-motif structural, seperti daerah asam, domain mirip kaderin, daerah yang kaya sistein,
daerah mirip diskoidin, domain mirip EGF, domain mirip Faktor VIII, domain mirip fibronektin
III, daerah yang kaya akan glisin, domain mirip immunoglobulin, domain mirip kringle, dan
daerah yang kaya akan leusin. (Syamsudin, 2013). Contoh reseptor yang tergolong reseptor
tirosin kinase antara lain adalah reseptor-reseptor faktor pertumbuhan seperti:
1. EGFR (epithelial growth factor receptor)
2. VEGFR (vaskular endothelial growth factor receptor)
3. Reseptor sitokin, dan
4. Reseptor insulin
Semua reseptor ini memiliki suatu heliks yang membentangi membrane dan satu domain
pengikat ligan ekstraseluler dengan struktur yang beraneka ragam. Ketika suatu faktor
pertumbuhan mengikat diri ke reseptornya, dimerisasi reseptor dan peningkatan aktivitas kinase
akan terjadi. Wilayah intraseluler pada reseptor yang telah teraktivasi tersebut kemudian akan
diautofosforilasi secara luas; dan tirosin yang telah difosforilasi ini akan membentuk tempat dok
khusus untuk molekul-molekul intraseluler yang memiliki domain SH2. Dalam hal ini,
transduksi sinyal yang kompleks dapat terjadi secara cepat di sekitar reseptor-reseptor yang telah
teraktivasi; dari sinilah sejumlah kaskade transduksi sinyal berasal, misalnya, pada suatu reseptor
PDGF yang teraktivasi, dua residu fosfotirosin yang berdekatan dengan membrane akan
memediasi peningkatan kinase kelompok Src dan molekul STAT (transduksi sinyal dan activator
transkripsi), dua tempat di terminal C mengenali fospolipase C dan tirosin fosfotase SHP-2, dan
tempat di pertengahan domain sitoplasmik akan mengikat inositol 3-kinase fosfatidil, protein
mengaktivasi GTPase pada ras, dan adaptor-adaptor seperti Grb2, Nck, dan Shc. (Syamsudin,
2013)

Protein tersebut merupakan substrat bagi reseptor kinase dan difosforilasi. Komponen
yang beraneka ragam dan teraktivasi secara cepat inilah yang mendasari efek faktor pertumbuhan
yang beraneka ragam dan mendalam, misalnya efek PDGF terhadap sel sasarannya, karena
masing-masing jalur pensinyalan yang diaktivasi dapat memicu dan memperkuat satu respons
fungsional atau lebih. Selanjutnya, banyak ligan faktor pertumbuhan dan menimbulkan
heteridimerasi pada reseptor; dan jalur transduksi sinyal dan respons fungsional yang teraktivasi
kemudian akan berubah sesuai komposisi reseptor. Inilah mekanisme yang menghasilkan banyak
respons sel yang berbeda-beda dari reseptor yang jumlahnya terbatas. (Syamsudin, 2013)

Transduksi Sinyal Reseptor Tirosin Kinase

Reseptor tirosin kinase transmembran adalah enzim yang berperan di jalur transduksi
sinyal intraseluler dengan memancarkan sinyal dari reseptor membrane ke bagian dalam sel dan
disandarkan ke membrane sel oleh suatu domain transmembran hidrofobik. Sinyal ekstraseluler
diterima enzim ini melalui pengikatan ligan dengan wilayah luar reseptor membrane, yang
merangsang aktivasi domain sitoplasmik. Proses aktivasi ini memiliki dua tahap yang sangat
penting. Tahap pertama tergantung kepada dimerisasi reseptor yang menyebabkan perubahan
konformasi. Pada tahap kedua, TK diautofosforilasi, yang diatur oleh ligan pengatur. Proses ini
menjadi pemicu terjadinya kaskade reaksi fosforilasi yang mengaktifkan sejumlah protein hingga
sinyal mencapai nucleus dan menyebabkan perubahan ekspresi gen spesifik yang menjadi target
kerja. (Syamsudin, 2013)

Tirosin kinase sitoplasmik termasuk enzim-enzim yang diaktivasi oleh ligan yang terikat
dengan reseptor-reseptor sel, dan kinase tak terikat yang diaktivasi oleh transport ion di
sepanjang membrane sel atau di antara fase-fase siklus sel. Mekanisme aktivasi dari kinase
sitoplasmik tak terikat ini sama dengan reseptor kinase yang memiliki domain katalitik timbal-
balik. Setiap domain katalitik pada tirosin kinase memiliki suatu tempat ikatan ATP tertentu,
yang merupakan suatu residu fosfat dan juga suatu tempat ikatan substrat (yang mentransfer
residu fosfat dariATP). (Syamsudin, 2013)
Signal transduksi pada reseptor tirosin kinase ada dua jalur yaitu:
1. Jalur Ras/Raf/MAP kinase, yaitu jalur yang berperan dalam pembelahan sel,
pertumbuhan dan prliferasi sel. Contohnya adalah reseptor growth factor seperti: reseptor
EGF, reseptor VEGF, reseptor insulin, dll.
2. Jalur Jak/Stat, yang diaktivasi oleh berbagai cytokines dan mengontrol sintesis dan
pelepasan berbagai mediator inflamasi. Contohnya adalah pada reseptor sitokin. (Ikawati,
2008)

Reseptor Faktor Pertumbuhan (Growth Factor)

Reseptor growth factor merupakan reseptor yang tergolong reseptor tyrosine kinase yang
memiliki peran yang sangat penting bagi pertumbuhan sel. Dengan adanya ikatan antara suatu
growth factor dengan reseptornya, maka akan terjadi serangkaian peristiwa molekuler yang
berujung pada transkripsi gen, seperti ditunjukkan pada gambar dibawah (Ikawati, 2008)
Reseptor Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)
Reseptor VEGF merupakan salah satu target aksi bagi pengobatan kanker. Aktivasi
reseptor VEGF akan memicu proses angiogenesis, yaitu pembentukan pembuluh darah baru di
sekitar tumor untuk menyuplai kebutuhan nutrisi sel. Penghambatan angiogenesis merupakan
salah satu pendekatan terapi kanker, dengan cara menghentikan suplai darah ke tempat terjadinya
tumor. (Ikawati, 2008)
Salah satu obat yang memiliki target aksi pada growth faktor adalah bevacizumab
(Avastin), suatu antibody monoclonal terhadap VEGF, suatu faktor pro-angiogenesis. Avastin
bekerja mengikat VEGF sehingga tidak bisa berikatan dengan reseptornya. (Ikawati, 2008)
2.3. Bevacizumab

Bevacizumab adalah antibody rekombinan yang memiliki mekanisme kerja sebagai


inhibitor terhadap VEGF, yang merupakan sebagai kunci dalam angiogenesis tumor. Mekanisme
kerja bevacizumab terhadap VEGF dapat dilihat dari gambar berikut (Hanafi, 2013)

A. Pertumbuhan normal pada tumor. Pada saat pertumbuhan mencapai ukuran kritis (0.5–
2 mm), tumor tidak lagi dapat menyediakan makanan dan oksigen dari pembuluh darah kecil di
sekitarnya untuk dirinya sendiri. it can no longer supply itself with nutrients and oxygen from
nearby small blood vessels. Sebagai respon, tumor mengeluarkan protein yang disebut Vascular
Endothelial Growth Factor (VEGF) yang menempel pada pembuluh darah di dekatnya dan
merangsang pertumbuhan terhadap tumor.

B. Mekanisme aksi anti-VEGF. Antibodi monoklonal spesifik untuk VEGF, menghambat


sinyal dari tumor yang mempercepat tumbuhnya pembuluh darah. Tanpa adanya nutrisi dan
oksigen menyebabkan pertumbuhan tumor berhenti.

Bevacizumab mempunyai efek samping berupa hipertensi sedang dan efek yang jarang
terjadi adalah perforasi intestinal.26 Beberapa inhibitor angiogenesis telah diteliti pada KPKBSK
termasuk VEGF, VEGFR antibodi dan inhibitor VEGFR TK.37 Penelitian terbaik inhibitor
angiogenesis adalah ″bevacizumab″ suatu antiVEGF antibodi yang dikombinasikan dengan
kemoterapi dan ″erlotinib″ pada KPKBSK stage lanjut atau rekuren. Uji klinis randomisasi
terkontrol 99 pasien KPKBSK stage IIIB/IV atau rekuren, ″bevacizumab″ ditambahkan pada
paclitaxel + carboplatin memberikan respons dan time to progression (TTP) yang baik
dibandingkan dengan paclitaxel + carboplatin saja. Median TTP jauh lebih bermakna pada
pasien yang mendapatkan regimen ″bevacizumab″ dosis tinggi (15mg/kg) daripada yang
mendapatkan dosis kecil (7,5mg/kg) (7,4 vs 4,2 bulan p=0,023). Tidak ada perbedaan yang
bermakna pada TTP pada grup ″bevacizumab″ dosis rendah dibandingkan paclitaxel +
carboplatin saja. (Herbst, 2005)

Hasil awal uji klinis fase I/II ″bevacizumab″ dan ″erlotinib″ pada KPKBSK stage IIB/IV
atau rekuren didapatkan PR 8 dari 40 pasien (20%) dan penyakit stabil 26 dari 40 pasien (65%),
median survival time 12,6 bulan dan progression free survival 6,2 bulan. Eastern Cooperative
Oncology Group (ECOG) E4599 trial membandingkan regimen paclitaxel + carboplatin dengan
″bevacizumab″ (PCB) dan tanpa ″bevacizumab″ (PC) pada KPKBSK stage lanjut. Hal ini
merupakan uji klinis fase III pertama yang menunjukkan keuntungan survival terapi lini pertama
kombinasi target biologi dengan kemoterapi, dilaporkan RR 27% pada PCB dibandingkan 10%
pada PC, progression free survival (PFS) (6,4 vs 4,5 bulan) dan median survival rates (12,5 vs
10,3 bulan) dengan ″bevacizumab″.39 ″Bevacizumab″ memberikan toleransi yang baik bila
dikombinasi dengan regimen paclitaxel + carboplatin yang akan mengubah toksisiti regimen
kemoterapi. ″Bevacizumab″ mempunyai efek samping hipertensi, proteinuria dan hemoragik.
Kasus hemoragik sangat kecil tetapi dilaporkan terjadi hemoragik pulmoner yang merupakan
sebab hambatan angiogenesis. Hilangnya neovessel dalam jumlah besar pada sentral tumor
menyebabkan perdarahan ke dalam kaviti tumor yang nekrosis. (Herbst, 2005)
DAFTAR PUSTAKA

Herbst RS, Johnson DH, Mininberg E, Carbone DP, Henderson T, Kim ES, et al. Phase
I/II trial evaluating the anti vascular endothelial growth factor monoclonal
antibody bevacizumab in combination with HER1/epidermal growth factor
receptor tyrosine kinase inhibitor erlotinib for patient with recurrent non small cell
lung cancer. J Clin Oncol 2005; 23: 2544-55.

Ikawati, Zullies. 2008. Pengantar Farmakologi Molekuler. Yogyakarta: Gajah Mada


University Press.

Syamsudin,Dr. 2013. Farmakologi Molekuler: Mekanisme Kerja Obat pada Tingkat


Molekuler. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Hanafi, A. Riswandi.,Elisna Syahruddin. 2013. Antibody Monoklonal dan Aplikasinya


pada Terapi Target (Targeted Therapy) Kanker Paru. Departemen Pulmonologi
dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-RS Departemen Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai