Anda di halaman 1dari 37

BAB I

LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien

Nama Pasien : An. Abid

Umur : 2 tahun 6 bulan

Jenis Kelamin : Laki-laki

Anak ke : Anak ke 2 dari 2 bersaudara

Tanggal Masusk RS : 13 Juli 2019

2. Identitas Keluarga

Ayah

Nama : Tn. Jumrin

Usia : 34 tahun

Pekerjaan : Karyawan Swasta

Ibu

Nama : Ny. Jumastra

Usia : 30 tahun

Pekerjaan : IRT

3. Anamnesis

Keluhan Utama : Bengkak seluruh tubuh

Anamnesis Terpimpin :

Pasien datang dengan keluhan bengkak pada seluruh tubuh yang

dialami sejak 5 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit, awalnya

1
bengkak pada kelopak mata sekitar 7 hari yang lalu, yang timbul pada

pagi hari namun kembali membaik pada siang atau sore hari. Demam

(-), nyeri kepala (-), batuk (-), sesak (-), nyeri perut (-), mual (-),

muntah tidak ada. BAB biasa, BAK (+) namun sedikit dan berwarna

kuning. Riwayat penyakit yang sama sebelumnya tidak ada.

Riwayat :

A. Riwayat Penyakit Dahulu

Kejang demam (-)

Trauma (-)

Flu dan batuk (-)

Tonsilofaringitis (-)

B. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga

C. Riwayat Pengobatan

Tidak ada riwayat pengobatan

D. Riwayat Kehamilan

Pasien merupakan anak ke 2 dari 2 bersaudara, ibu pasien

rutin mengontrol perkembangan kehamilan di puskesmas, ibu tidak

pernah sakit selama masa kehamilan, tidak mengkonsumsi obat-

obatan atau jamu, dan ibu merasa sehat dan tidak ada mual atau

muntah berlebihan selama kehamilan

2
E. Riwayat Persalinan

Pasien lahir normal, dengan usia kehamilan 9 bulan, pasien

lahir di rumah sakit dengan pertolongan dokter. Ibu menyatakan

bayinya menangis saat lahir dan tidak biru.

F. Riwayat Pasca Lahir

Pasien keadaan pasien lahir baik. Tidak ada riwayat kuning,

kejang maupun menderita penyakit lain setelah lahir.

G. Riwayat Imunisasi

Pasien mengikuti jadwal imunisasi secara teratur dan lengkap.

4. Pemeriksaan Fisis

Keadaan Umum : Sakit berat/Gizi kurang/Compos mentis

Tanda Vital

 Tekanan darah : 70/50 mmHg

 Nadi : 112 kali/menit

 Pernapasan : 34 kali/menit

 Suhu : 37.2 oC

Status Gizi

 BB : 12 kg

BB koreksi : BB ukur x 20 %

: 12 x 20 %

: 9 kg

 TB : 91 cm

 LK : 51 cm

3
 LD : 48 cm

 LP : 53 cm

BB/U : Terletak diantara garis -3 SD sampai -2 SD (Gizi Kurang)

TB/U : Terletak di antara garis media dan 1 SD (Normal)

BB/TB : Terletak di antara garis -3 SD (Sangat Kurus)

Kepala : Simetris kiri-kanan, deformitas (-), rambut hitam tidak

mudah dicabut

Mata : cekung (-), icterus (-), anemis (-), edema palpebral (+)

Telinga : otore (-), otalgia (-)

Hidung : epistaksis (-), sekret (-)

Mulut : sianosis (-), perdarahan gusi (-), stomatitis (-)

Tonsil : T1-T1 hiperemis (-)

Faring : hiperemis (-)

Leher : Limpadenophaty (-)

Thorax

Inspeksi : Simetris bilateral

Palpasi : massa tumor (-), nyeri tekan (-)

Perkusi : Sonor

Auskultasi : Bunyi napas vesikuler, Rhonki -/- wheezing -/-

Abdomen

Inspeksi : Cembung, ikut gerak napas

Auskultasi : peristaltik (+), kesan normal

Palpasi : nyeri tekan (-) massa (-)

Hepar tidak teraba

4
Lien tidak teraba

Perkusi : Asites, Shifting dullness (+)

Genitalia : Edema Skrotum (+)

Ekstremitas : Akral teraba hangat, sianosis (-), edema pretibial (+),

edema dorsum pedis (+)

5. Pemeriksaan Penunjang

a) Urinalisa

b) Darah rutin

c) Kimia Darah

d) ASTO

6. Diagnosa Kerja

Sindrom Nefritik akut (SNA)

7. Diagnosa Banding

Sindrom Nefrotik (SN)

Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS)

8. Terapi Awal

a. Non-Farmakologi

Diet Protein 1,5-2 gram/KgBB/Hari

Diet rendah garam 1-2 gram/hari (Saat edem)

b. Farmakologi

IVFD Ringer Laktat 8 TPM

Diuretik  Furosemide ½ amp/8 jam/iv

5
9. Hasil Pemeriksaan Penunjang

Darah Rutin

Darah Rutin Hasil Ket.

Eritrosit 534.000/mm3 Normal


Hemoglobin 13.4 g/dL Normal
Leukosit 12.400/mm3 Normal
MCV 77 µm3 Normal
MCH 25.1 pg Normal
MCHC 32.6 g/dL Normal
Platelet 484.000/mm3 Meningkat

Urinalisa

Urinalisa Hasil Nilai Rujukan

Warna Kuning Kuning muda


Kejernihan Jernih Jernih
Eritrosit Negatif Negative
Protein +++ Negative
Ph 6.5 4.5-8.0

Kimia Darah

Kimia Darah Hasil Ket.

Kolesterol total 510 mg/dL Meningkat


SGOT 36 µ/l Normal
SGPT 22 µ/l Normal
Protein total 3.8 gr/dL Menurun
Albumin 2 gR/dL Menurun
Ureum 17 mg/Dl Normal

6
Kreatinin 0,2 mg/Dl Normal

Imunologi Infeksi

Anti Steptolisin O (ASTO) : Negatif

10. Resume

Pasien datang dengan keluhan bengkak seluruh tubuh yang dialami

sejak 5 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit, awalnya bengkak pada

kelopak mata sekitar 7 hari yang lalu, yang timbul pada pagi hari namun

kembali membaik pada siang atau sore hari. BAB biasa, BAK (+) namun

sedikit dan berwarna kuning. Riwayat penyakit yang sama sebelumnya

tidak ada.

Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan ditemuakan :

Mata : Edema palpebral (+)

Abdomen :

Inspeksi : Cembung, Ikut gerak napas

Perkusi : Timphany redup

Asites (+), Shifting dullness (+)

Genitalia : Edema Skrotum (+)

Ekstremitas : Edema pretibial (+), edema dorsum pedis (+)

Hasil pemeriksaan penunjang yang dilakukan ditemuakan :

 Darah Rutin : Platelet = 484.000/mm3

 Urinalisa : Proteinuria = +++

7
 Kimia Darah : Protein Total = 3.8 gr/dL

Albumin = 2 gr/dL

Kolesterol = 510 mg/dL

 ASTO : Negatif

Berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

penunjang yang dilakukan, sehingga pasien di diagnosa Sindrom

Nefrotik. Terapi yang diberikan :

 Prednison (18 mg/24 jam) 2-1-1

 Furosemide 40 mg 2 x ¼

 Elkana ( Calsium, Vit D) 1 x 1

Protokol Terapi : SN Serangan 1

Minggu
1 2 3 4 5 6 7 8
Terapi
Tanggal 15 Juli 22 Juli 29 Juli 05 Agt 12 Agt 19 Agt 26 Agt 02 Sep
Kontrol 2019 2019 2019 2019 2019 2019 2019 2019

Keterangan :

FD = 2 mg/KgBB/har

Prednison (18 mg/24 jam) 2-1-1

Elkana (Calcium + Vit D) 1 x 1

Lakukan pemeriksaan urinalisa setiap Kontrol pengobatan

Remis (+)

8
Proteinuria (-), Edema (-)

AD = 1.5 mg/KgBB/hari (selang sehari)

Prednison 13 mg/24jam

11. Prognosis

Dubia et Bonam

12. Follow Up selama Perawata

Tangga
SOA P
l
13 Juli S: IVFD Dextrosa 5% 8 tpm

2019 Pasien mengeluh bengkak pada Furosemide ½ amp /8jam/iv

kelamin, perut dan kaki, demam (-),

nyeri kepala (-), batuk (-), sesak (-),

mual (-), muntah (-) BAB biasa,

BAK sedikit warna kuning.

O: Pemeriksaan Penunjang :

BB : 12 kg  Urinalisa

TD : 70/50 mmHg  Darah rutin

Nadi : 112 kali/menit  Kimia darah

Suhu : 37.2 C  ASTO

Pernapasan : 34 kali/menit

Asites : Shifting Dulnes (+)

Edem Palpebra : (+)

Edem pretibial : (+)

9
Edem skrotum : (+)

Diagnosa Kerja :

Sindrom Nefritik Akut (SNA)

Diagnosa Bnading :

Sindrom Nefrotik (SN)

GNAPS
14 Juli S: IVFD Dextrosa 5% 8 tpm

2019 Pasien mengeluh bengkak pada Furosemide ½ amp /8jam/iv

perut dan kaki, demam (-), nyeri

kepala (-), batuk (-), sesak (-), mual

(-), muntah (-) BAB biasa, BAK

banyak warna kuning.

O:

BB : 10 kg

TD : 90/60 mmHg

Nadi : 100 kali/menit

Suhu : 36.5 C

Pernapasan : 30 kali/menit

Asites : (+)

Edem Palpebra : (+) minimal

Edem pretibial : (+)

Edem skrotum : (+) minimal

Diagnosa Kerja :

Sindrom Nefritik Akut (SNA)

10
Diagnosa Bnading :

Sindrom Nefrotik (SN)

GNAPS
15 Juli S: Aff Infus

2019 Kondisi pasien baik, demam (-), Obat Oral

nyeri kepala (-), batuk (-), sesak (-), Prednison (18 mg/24 jam)

mual (-), muntah (-), anak mau 2-1-1

makan dan minum. BAB biasa, Furosemide 40 mg 2 x ¼

BAK banyak warna kuning. Elkana ( Calsium, Vit D) 1 x

O: 1

BB : 10 kg

TD : 90/60 mmHg  Kontrol Poli anak

Nadi : 96 kali/menit tanggal 22 Juli 2019

Suhu : 36.8 C

Pernapasan : 30 kali/menit

Asites : (+)

Edem Palpebra : (-)

Edem pretibial : (+) minimal

Edem skrotum : (-)

A : Sindrom Nefrtotik

13. Lampiran Foto Pasien

Edem Palpebra Edem Pretibial

11
Edem Skrotum Asites

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Pendahuluan

Ginjal memiliki banyak fungsi yaitu untuk mengatur hemeostasis,

mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, mengeluarkan produk

sisa metabolisme melalui filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus, membentuk

energi (glukoneogenesis), dan memproduksi hormone endokrin (renin,

metabolit vitamin D, eritropoetin). 1.2

Fungsi ginjal normal tergantung dari filtrasi glomerulus dan fungsi

tubulus yang normal (tubulus proksimal, ansa Henle, dan tubulus distal) untuk

pembentukan urin. Perbedaan tekanan glomerulus mendorong caitan keluar

12
dari kapiler masuk ke ruang Bowman. Tekanan intraglomerular diatur oleh

tunus arteriol aferen dan eferen, terutama tonus arteriol eferen. Renin

dihasilkan oleh sel di apparatus jukstaglomerular, yang terletak di dasar

glomerulus yang dekat dengan arteriol aferen serta tubulus distal, sebagai

respons terhadap aliran dan perfusi glomerulus. 1.2

Di tubulus proksimal terjadi reabsorpsi iso-osmotik yang memfiltrasi

sekitar dua pertiga volume cairan, natrium, dan klorida. Glukosa, asam amino,

kalium dan fosfat diabsorpsi hamper seluruhnya. Sekital 75% bikarbonat yang

difiltrasi, direabsorpsi di tubulus proksimal. Jika jumlah bikarbonat yang

difiltrasi melebihi ambang batas tubulus proksimal, bikarbonat dikeluarkan

melalui urin. Tubulus proksimal juga menyekresi senyawa, seperti asam

organic, penisilin, dan obat lain. 1

Analog vitamin D yang paling poten 1,25 (OH)2-cholecalcifererol

(kalsitrol) diproduksi oleh sel-sel tubulus proksimal sebagai respon terhadap

hormone paratiroid dan konsentrasi kalsium/fosfat. 1

Sekitar 25% natrium klorida yang difiltrasi di glomerulus akan

direabsorpsi di Ansa Henle. Transpor aktif memfasilitasi countercurrent

multiplier dan membentuk perbedaan tekanan di jaringan intertisial medula

dalam keadaan hipertonik yang diperlukan untuk pemekatan urin. 1

Tubulus distal terdiri atas distal convoluted tubule dan ductus

kolektivus. Distal convoluted tubule bersifat tidak permeable dan berperan

dalam pengenceran urin melalui absorpsi natrium klorida secara aktif.

Pertukaran natrium dan kalium diatur oleh aldosterone. Duktus kolektivus

13
merupakan target utama hormon antideuretik (vasopresin), yang berperan

dalam pemekatan urin dan sekresi aktif ion hidrogen, yang bertanggung jawab

terhadap proses asidifikasi. 1

Produksi ammonia ginjal dan pembetukan ammonium intraluminal

memfasilitasi ekskresi ion hidrogen ke dalam urin. Kadar

ammonia/ammonium urin sulit diukur, namun dapat diperkirakan dengan

menghitung senjang anion urin. Adanya kesenjangan antara anion dan kation

terukur, utamanya disebabkan oleh ammonium. Senjang anion menurun pada

keadaan gangguan ekskresi asam ginjal dan produksi ammonium. Senjang

anion urin sebesar 1 mEq/kgBB masih tergolong normal. 1

Kemampuan pemekatan maksimal urin pada bayi kurang bulan lebih

rendah dibandingkan dengan bayi cukup bulan dan anak, serta dewasa.

Neonates dapat mengencerkan urin seperti dewasa, namun karena laju filtrasi

glomerulus rendah, kapasitas untuk mengsekresi air pun rendah. Nilai laju

filtrasi glomerulus yang sama seperti dewasa pada saat usia 1-2 tahun.

Reabsorpsi natrium, kalium, bikarbonat dan fosfat serta ekskresi hidrogen di

tubulus, semuanya masih terbatas pada bayi. Fungsi tersebut akan meningkat

seiring dengan pertambahan usia. Eritropoetin disekresi oleh sel intertisial

medulla renalis sebagai respon terhadap hantaran oksigen yang rendah dan

berfungsi mendorong pembentukan sel darah merah oleh sumsung tulang. 1.2

14
Gambar 1 : Bagian-bagian Ginjal

Gambar 2 : Segmental Fungsi Nefron

II. Definisi Sindrom Nefrotik

Sindrom nefrotik (SN) adalah kerusakan klinis yang ditandai dengan

proteinuria massif (terutama albumin) > 40 mg/m 2/jam, hipoproteinemia

(albumin serum <3,0 g/dL), hiperkolesteronemia (>250 mg/dL), dan edema. 2

15
Adanya proteinuria dalam sedimen urin tunggal dari anak dan remaja

relative sering terjadi. Sekitar 5-15% anak memperlihatkan spesimen urin

sewaktu dengan proteinuria berdasarkan pemeriksaan dipstick. 1

Namun, proteinuria dapat menunjukkan adanya cedera ginjal,

perkembangan penyakit ginjal, dan merupkan faktor resiko independen untuk

penyakit kardiovaskular. 1

Kelainan primer ginjal adalah meningkatnya permeabilitas glomerulus

akibat perubahan pada sawar filtrasi glomerulus, yaitu endotel berpori

(fenestrared endothelium), membran basal glomerulus, podosit, dan slit

diaphragm. Mutasi slit diaphragm telah ditemukan pada beberapa sindrom

nefrotik kongenital. Penurunan muatan pada sawar filtrasi glomerulus akibat

proses imunologik juga dapat menyebabkan proteinuria. 2

III. Epidemiologi dan Etiologi Sindrom Nefrotik

Pada anak sehat protein dalam urin ditemukan dalam jumlah sedikit

(<4 mg/m2/jam). Proteinurina dalam jumlah nefrosis pada anak didefinisikan

sebagai jumlah protein lebih dari 40 mg/m2/jam. Proteinuria dapat terjadu

transien atau persisten, asimtomatik atau simtomatik, dan ortostatik.

Proteinuria dapat bersifat glomerular (gangguang sawar glomerulus terhadap

filtrasi protien) atau tubular (filtrasi meningkat, gangguan reabsorpsi atau

sekresi protein). 2.3

Sindrom nefrotik (SN) adalah kerusakan klinis yang ditandai dengan

proteinuria massif (terutama albumin) > 40 mg/m 2/jam, hipoproteinemia

(albumin serum <3,0 g/dL), hiperkolesteronemia (>250 mg/dL), dan edema.

16
Insiden SN dipengaruhi oleh ras, dan geografis. Tipe HLA tertentu (HLA-

DR7, HLA-B8, dan HLA-B12) berhubungan dengan insiden SN yang

meningkat. Peningkatan premeabilitas kapiler glomerulus terhadap protein

disebabkan perubahan muatan negatif di membran basalis glomerulus yang

pada keadaan normal membatasi filtrasi protein serum. Proteinuria masif

menyebabkan penurunan kadar protein serum terutam albumin. Selanjutnya

tekanan onkotik plasma turun dan menyebabkan perpindahan cairan dari

transvaskuler ke intertisial sehingga volume plasma berkurang. Pada keadaan

ini, aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus tidak serta merta terganggu.

Edema diperberat dengan berkurangnya volume darah efektif yang

bersirkulasi serta peningkatan reabsorpsi natrium klorida di tubulus yang

terjadi sekunder akibat aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron.

Sementara itu hipoproteinemia akan merangsang sintesis lipoprotein dan

mengurangi metabolisme lipoprotein oleh hepar yang pada akhirnya akan

menyebabkan peningkatan kadar lipid serum (kolesterol, trigliserida) dan

lipoprotein. 1.3.5

Sindrom nefrotik dapat terjadi primer atau sekunder, anak yang

memperlihatkan gambaran SN primer, sebelum dilakukan biobsi ginjal,

dianggap menderita SN idiopatik. Pada anak, kelainan patologi paling sering

ditemukan adalah Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM). Lebih dari

80% penderita SN berusia kurang dari 7 tahun menunjukkan kelainan SNKM.

Pada anak berusia 7-16 tahun yang menderita SN, memiliki peluang 50%

17
untuk menderita SNKM, dan anak lekali terkena lebih sering daripada

perempuan (2:1). 2

Gambaran Glomerulosklerosis Fokal Segmental (GSFS) ditemukan

pada 10-20% anak yang menderita SN primer. Manifestasi klinisnya dapat

menyerupai SNKM namun dengan proteinuria yang lebih ringan. Pada pasien

dengan gambaran patologi GSFS, ditemukan faktor yang berperan dalam

permeabilitas glomerulus. Lebih dari 1/3 penderita GSFS akan berakhir

dengan gagal ginjal. 2

Glomerulonephritis Membranoproliferatif (GNMP) ditandai dengan

hipokomplemenemia disertai dengan penyakit ginjal tipe glomerular. Tipe ini

terdapat pada 5-15% anak dengan SN primer, umumnya persisten, dan

memiliki resiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal ginjal. 1

Kurang dari 5% anak SN primer memiliki gambaran patologi anatomi

nefropati membranosa. Tipe ini lebih sering ditemukan remaja dan anak

dengan infeksi sistemik, seperti hepatitis B, sifilis, malaria dan

toksoplasmosis, mereka mendapat terapi preparat gold salts, dan penisilamin.


1.2

Sindrom nefrotik kongenital muncul 2 bulan pertama kehidupan.

Terdapat dua tipe, yaitu Tipe Finnish yang merupakan suatu kelainan

autosomal resesif yang sering ditemukan pada keturunan Scandinavia dan

disebabkan oleh mutasi komponen protein nephrin di glomerulus. Tipe kedua

adalah tipe heterogen yang merupakan kumpulan kelainan sklerosis

18
mesangial, dan kondisi yang terkait dengan obat atau infeksi. Awitan prenatal

ditandai dengan peningkatan kadar alfa-fetoprotein ibu. 2

Sindrom nefrotik sekunder dapat ditemukan pada penderita lupus

eritomatosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein, infeksi (hepatitis B,

hepatitis C dan malaria), penyakit Wegener, dan vasculitis sebab lainnya,

reaksi alergi, diabetes, amyloidosis, keganasan, gagal jantung kongestif,

perikarditis konstriktif, dan thrombosis vena renalis. 1.2.3

IV. Patomekanisme Sindrom Nefrotik

Laju normal ekskresi protein di urin adalah <4 mg/m2/jam sepanjang

masa anak.sekitar 50% dari sejumlah kecil protein ini adalah protein Tamm-

Horsfall, suatu glikoprotein yang disekresikan oleh tubulus ginjal, 50%

lainnya adalah protein plasma yang di filtrasi oleh glomerulus, termasuk

albumin, B2-mikroglobulin, dan trasferin. Pada orang normal, albumin

membentuk kurang dari 30% ekskresi protein urin total. Proteinuria ringan

biasanya tidak terdeteksi pada pemeriksaan dipstick rutin. Laju filtrasi protein

yang rendah disebabkan karena molekul protein serum yang besar (albumin,

imunoglobulin) tidak di filtrasi oleh glomerulus dan area tubulus proksimal

mereabsorpsi sebagian besar protein yang berberat molekul rendah yang

tersaring (insulin, B2-mikroglobulin). 2.5.7

Peningkatan premeabilitas kapiler glomerulus terhadap protein

disebabkan perubahan muatan negatif di membran basalis glomerulus yang

pada keadaan normal membatasi filtrasi protein serum. Proteinuria masif

menyebabkan penurunan kadar protein serum terutam albumin. Selanjutnya

19
tekanan onkotik plasma turun dan menyebabkan perpindahan cairan dari

transvaskuler ke intertisial sehingga volume plasma berkurang. Pada keadaan

ini, aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus tidak serta merta terganggu.

Edema diperberat dengan berkurangnya volume darah efektif yang

bersirkulasi serta peningkatan reabsorpsi natrium klorida di tubulus yang

terjadi sekunder akibat aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron.

Sementara itu hipoproteinemia akan merangsang sintesis lipoprotein dan

mengurangi metabolisme lipoprotein oleh hepar yang pada akhirnya akan

menyebabkan peningkatan kadar lipid serum (kolesterol, trigliserida) dan

lipoprotein. 6.7

20
Sindrom
Nefrotik

Hiperlipedmi
Hiperurisemia Edema
a

Idiopatik Peningkatan Penurunan Overfill Underfill


Kerusakan
tekanan onkotik Enzim L-
sel podosit
plasma Cat
siskulasi Kerusakan Penurunan
faktor primer pada tekanan
penurunan kadar permeabilit F(x) Membawah nefron
Heparin sulfat onkotik
as merangsang kolesterol dari (distalis)
proteoglikan plasma
sintesis lipid & intravaskuler ke
(memberi muatan lipoprotein di hati hati
negatif) peningkatan cairan dari
Penurunan
permeabilitas sekresi Na intrasel
glomerulus Katabolisme keluar ke
muatan Peningkatan kolesterol di intertisial
negatif Kolesterol & hati menurun
menghilang LDL Hipertensi
molekul Edema Hipovolemi
besar lolos
dari filtrasi Peningkataran
Albumin yang kadar kolesterol
dalam darah. Edema :
bermuatan merangsang
negatif Lolos Proteinuria mata : preorbita
RRA
Non-Selktif paru-paru : efusi pleura
(Protein dan genitalia : skrotum /
Albumin) labia mayora
Proteinuria
Selekttif abdomen : asites Retensi Na
(Albumin) ekstremitas : pretibial

Hipertensi

V. Diagnosis Sindrom Nefrotik

Pada pasien dengan proteinuria terdapat beberapa tanda dan gejala

yang dapat muncul seperti, Edema yang mungkin terlihat pada ektremitas,

abdomen, ruang pleura, skrotum atau labia mayora, atau area sekitar mata.

Auskultasi paru penting untuk mengevaluasi efusi pleura atau tanda-tanda

konsolidasi. Palpasi pada abdomen diperlukan untuk evaluasi asites serta

menyingkirkan peritonitis pada pasien dengan demam atau nyeri abdomen. 1.2

21
VI. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan, antara lain : 2.5

 Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang

mengarah kepada infeksi saluran kemih.

 Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio

protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari

 Pemeriksaan darah

o Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit,

trombosit, hematokrit, LED)

o Albumin dan kolesterol serum

o Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau

dengan rumus Schwartz

o Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik

pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear

antibody), dan anti ds-DNA

Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:

o Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau

rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥

2+)

o Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL

o Edema

o Dapat disertai hiperkolesterolemia > 250 mg/dL

22
VII. Terapi

Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di

rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi

pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan

edukasi orangtua. 4.

Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-

pemeriksaan berikut : 6

 Pengukuran berat badan dan tinggi badan

 Pengukuran tekanan darah

 Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit

sistemik, seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-

Schonlein.

 Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun

kecacingan. Setiap infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu

sebelum terapi steroid dimulai.

 Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan

profilaksis, INH selama 6 bulan bersama steroid, dan bila

ditemukan tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT).

Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat

edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat,

gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas

fisik disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak

boleh sekolah.

23
a) Non-Farmakologi 3.5

Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan

kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk

mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan

menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diet rendah protein

akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan

hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diet protein

normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu

1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan

selama anak menderita edema.

b) Farmakologi 4.5.6

 Diuretik

Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat.

Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3

mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton

(antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4

mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan

kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari

1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan

natrium darah.

Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter),

biasanya terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia

berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan

24
dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari

jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid

intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi

biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-

pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi

dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat

diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran

cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian

berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi

asites berulang.

Furosemid 1-3 mg/KgBB/Hari +


Edema
Spironolakton 2-4 mg/KgBB/Hari

BB badan tidak menurun Dosis furosemid dianaikkan 2


atau tidak ada diuresis kali lipat (maksimum 4-6
dalam 48 jam mg/KgBB/Hari)

Bolus furosemid IV 1-3


Tambakan Hidroklorothiazid mg/KgBB/Hari atau per infus
1-2 mg/KgBB/Hari dengan kecepatan 0,1-1
mg/KgBB/jam

Albumin 20 % 1 gram/KgBB
IV diikuti dengan furosemid IV

25
Gambar 3 : Algoritma pemberian deuretik

 Imunisasi

Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan

kortikosteroid >2 mg/kgbb/ hari atau total >20 mg/hari, selama

lebih dari 14 hari, merupakan pasien imunokompromais.11

Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat

dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV

(inactivated polio vaccine). Setelah penghentian prednison

selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti

polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN

sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi

pneumokokus dan varisela.

 Kortikosteroid

Terapi Insial

Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik

idiopatik tanpa kontraindikasi steroid sesuai dengan

anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60 mg/m2

LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari)

dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis

prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal

(berat badan terhadap tinggi badan).

Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan

selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu

26
pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan

dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5

mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x

sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu

pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi,

pasien dinyatakan sebagai resisten steroid

Gambar 4 : Pengobatan Inisial

Sindrom Nefrotik Relaps

Gambar 5 : Pengobatan Relaps

Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada gambar

diatas, yaitu diberikan prednison dosis penuh sampai

remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis

alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi

yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa

edema, sebelum pemberian prednison, dicari lebih

dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas.

27
Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan

bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu

diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan

proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps

dapat ditegakkan, dan prednison mulai diberikan.

Sindrom Nefrotik Sering atau Dependen Steroid

Gambar 6 : Algoritma Terapi Sindrom Neprotik Relaps sering/dependen

steroid

Sindrom Nefrotik dengan Kontraindikasi Steroid

Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan

kontraindikasi steroid, seperti tekanan darah tinggi,

28
peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat,

maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA

puls. Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan

dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara

intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8

minggu. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750

mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan

NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls

diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan

(total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).

Sindrom Nefrotik Resisten Steroid

Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai

sekarang belum memuaskan. Pada pasien SNRS

sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan

biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi,

karena gambaran patologi anatomi mempengaruhi

prognosis.

29
Gambar 7 : Protokol Methilprenison dosis tinggi

Terapi Non-Imunosupresan

Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah

digunakan pada SNRS adalah vinkristin,20

takrolimus,21 dan mikofenolat mofetil.22 Karena

laporan dalam literatur yang masih sporadik dan tidak

dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum

direkomendasi di Indonesia.

30
Gambar 8 : Tatalaksana Sindrom Nefrotik

VIII. Diagnosis Banding

Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS)

GNAPS adalah suatu bentuk peradangan glomerulus yang secara

histopatologi menunjukkan proliferasi & Inflamasi glomeruli yang didahului

oleh infeksi group A β-hemolytic streptococci (GABHS) dan ditandai dengan

gejala nefritik seperti hematuria, edema, hipertensi, oliguria yang terjadi

secara akut. Sindrom nefritik akut (SNA) adalah suatu kumpulan gejala klinik

31
berupa proteinuria, hematuria, azotemia, red blood cast, oliguria & hipertensi

(PHAROH) yang terjadi secara akut. 8

Glomerulonefritis akut (GNA) : suatu istilah yang lebih bersifat umum

dan lebih menggambarkan suatu proses histopatologi berupa proliferasi &

inflamasi sel glomeruli akibat proses imunologik. Dalam kepustakaan istilah

GNA dan SNA sering digunakan secara bergantian.2 GNA merupakan istilah

yang lebih bersifat histologik, sedangkan SNA lebih bersifat klinik. 7.8

Dalam kepustakaan disebutkan bahwa selain GNAPS, banyak penyakit

yang juga memberikan gejala nefritik seperti hematuria, edema, proteinuria

sampai azotemia, sehingga digolongkan ke dalam SNA. 7

Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas

Hassanudin (FK UNHAS) menerapkan diagnosis sementara (working

diagnosis) SNA bagi pasien yang memperlihatkan gejala nefritik saja,

misalnya proteinuria dan hematuria atau edema dan hematuria, mengingat

gejala nefritik bukan hanya disebabkan oleh GNAPS, tetapi dapat pula

disebabkan oleh penyakit lain. Bila pada pemantauan selanjutnya ditemukan

gejala dan tanda yang menyokong diagnosis GNAPS (C3↓, ASO↑, dll), maka

diagnosis menjadi GNAPS. Hal ini penting diperhatikan, oleh karena ada

pasien yang didiagnosis sebagai GNAPS hanya berdasarkan gejala nefritik,

ternyata merupakan penyakit sistemik yang juga memperlihatkan gejala

nefritik. 6.9

Bila dijumpai full blown cases yaitu kasus dengan gejala nefritik yang

lengkap yaitu proteinuria, hematuria, edema, oliguria, dan hipertensi, maka

32
diagnosis GNAPS dapat ditegakkan, karena gejala tersebut merupakan gejala

khas (tipikal) untuk suatu GNAPS. 9

GNAPS lebih sering terjadi pada anak usia 6 sampai 15 tahun dan

jarang pada usia di bawah 2 tahun. GNAPS didahului oleh infeksi GABHS

melalui infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) atau infeksi kulit (piodermi)

dengan periode laten 1-2 minggu pada ISPA atau 3 minggu pada pioderma. 7

Penelitian multisenter di Indonesia menunjukkan bahwa infeksi

melalui ISPA terdapat pada 45,8% kasus sedangkan melalui kulit sebesar

31,6%. 6

Gejala klinik GNAPS sangat bervariasi dari bentuk asimtomatik

sampai gejala yang khas. Bentuk asimtomatik lebih banyak daripada bentuk

simtomatik baik sporadik maupun epidemik. Bentuk asimtomatik diketahui

bila terdapat kelainan sedimen urin terutama hematuria mikroskopik yang

disertai riwayat kontak dengan penderita GNAPS simtomatik. 6

GNAPS simtomatik yaitu : 8.10

 Infeksi Streptokokus, periode ini berkisar 1-3 minggu;

periode 1-2 minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang

didahului oleh ISPA, sedangkan periode 3 minggu didahului

oleh infeksi kulit/piodermi. Periode ini jarang terjadi di bawah

1 minggu.

 Edema, gejala yang paling sering muncul dan menghilang

pada akhir minggu pertama.

33
 Hematuri, Urin tampak coklat kemerah-merahan atau seperti

teh pekat, air cucian daging atau berwarna seperti cola.

Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam minggu

pertama dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula

berlangsung sampai beberapa minggu.

 Hipertensi

 Oligouria

 Gejala Kardiovaskuler

Tabel perbadingan Sindrom Nefrotik dan Glomerulonefritis Akut

Pasca Streptokokus (GNAPS)

TANDA DAN GEJALA SN GNAPS


Proteinuria
Masif √
Minimal √
Hiperurisemia
Masif √
Minimal (-)/√
Hypoalbuminemia √ √
Hiperlipidemia √ √
Hipertensi (-)/√ √
Oligouri /Anuri √ √

Edema
√ √
Palpebra
√ √
Wajah
√ √
Pretrial
√ √
Asites
√ (-)/Jarang
Skorotum/Labia mayora
(Udem Anasarka)
Demam √
Infeksi saluran napas/Infeksi √
kulit
ASTO 34 √
IX. Komplikasi Sindrom Nefrotik

a. Hiperkoagulasi

b. Gagal ginjal

c. Anemia akibat penurunan kadar Eritropoitin

d. Hipokalsemi akibat Kalsium yang diikat oleh albumin ikut keluar

melaluin urin.

e. Infeksi

f. Dislipemia

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Marcdante KJ. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi Update VI.

2017 : 657-667.

2. Bernstain D.Ilmu Kesehatan Anak untuk mahasiswa Kedokteran. Edisi III.

2017 : 458-469.

3. Arbeitgeme. Pediatrische Nephrologie. Minimal change nephrotic

syndrome: Long prednisone versus standard prednisone therapy. Lancet

2018 : 380-3.

4. Hiraoka M, Tsukahara H, Matsubara K, Tsurusawa M. A randomized

study of two long-course prednisolone regimens for nephrotic syndrome in

children. Am J Kidney. 2016;41:6

5. Clark AG, Barrat TM. Steroid responsive nephrotic syndrome. Dalam:

Barrat TM, Avner ED, Harmon WE, penyunting. Pediatric Nephrology,

Edisi VI. Baltimore: LippincottWilliams &Wilkins 2009 : 731-47.

6. Carapetis JR, Steer AC, Mullolans EK. The Global Burden Of Group A

Streptococcal Diseases. The Lancet Infectious Diseases. Edisi V. 2015 :

685–94.

7. Bhimma R, Langman CB : Acute Poststreptococcal Glomerulonephritis

(diunduh 20 Juli 2019). Tersedia dari:

http//medicine.medscape.com/article/980685.overview.

8. Hodson EM. Pathophisiology and management of idiopathic nephrotic

syndrome in children. Naskah lengkap KONIKA 12. Dempasar. 2012.

36
9. Papanagnou D, Kwon NS. Acute Glomerulonephritis in Emergency

Medicine. Updated e Medicine Emergency.2018: 1–18.

10. Bagga A, Hari P, Moudgil A, Jordan SC. Mycophenolate mofetil and

prednisolone therapy in children with steroid-dependent nephrotic

syndrome. Am J Kidney. 2015 : 14-20.

37

Anda mungkin juga menyukai