Anda di halaman 1dari 11

Asma Bronkial dan Bronkokonstriksi yang Dipicu oleh Latihan

Harshani Jayasinghe, Zoe Kopsaftis, Kristin Carson

Unit Praktek Klinis, Kedokteran Pernafasan, Rumah Sakit Queen Elizabeth, Institut Basil
Hetzel untuk Penelitian Kesehatan Translasional, Woodville South, S.A., Australia

Kata-kata kunci
Asma Bronkokonstriksi • Penyakit pernapasan • Peradangan
Abstrak
Berolahraga secara teratur memiliki berbagai efek kesehatan yang bermanfaat;
khususnya, telah didokumentasikan dengan baik untuk membantu dalam manajemen penyakit
kronis termasuk asma. Namun, pada beberapa individu, aktivitas juga dapat memicu
eksaserbasi episode asma dan serangan akut berikutnya berupa sesak napas, batuk, sesak dada
dan mengi. Proses fisiologis ini disebut exercise induced bronchoconstriction (EIB) di mana
volume ekspirasi paksa pasca latihan dalam 1 detik berkurang 10–15% dari baseline.
Sementara EIB sangat lazim pada penderita asma dan memiliki gejala pernapasan yang
serupa, asma dan EIB tidak terpisah satu sama lain . Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk
menghadirkan tinjauan luas dari kedua kondisi untuk meningkatkan pemahaman tentang
persamaan dan perbedaan yang membedakan mereka sebagai dua entitas yang terpisah.
Patofisiologi dan mekanisme yang mendasari asma dideskripsikan dengan baik dengan
penelitian yang sekarang berfokus pada mendefinisikan fenotipe untuk strategi manajemen
yang ditargetkan. Sebaliknya, pemahaman mekanistik tentang EIB sebagian besar masih
kurang diuraikan. Jalur diagnostik untuk keduanya dibuat dan serupa, seperti juga perawatan
farmakologis dan non farmakologis serta manajemen pendekatan, yang telah meningkatkan
keberhasilan dengan deteksi dini. Mengingat adanya potensi untuk memperburuk asma,
menghindari olahraga adalah hal umum tetapi kontraproduktif dengan bukti saat ini yang
menunjukkan bahwa hal itu dapat ditoleransi dengan baik dan meningkatkan kualitas hidup.
Literatur yang mendukung manfaat olahraga untuk penderita EIB saat ini menguntungkan,
namun sangat terbatas; Oleh karena itu, penelitian masa depan harus diarahkan langsung di
bidang ini serta menuju pengembangan lebih lanjut mengenai pemahaman patofisiologi dan
mekanisme yang mendasari EIB dan asma.
Pengantar
Latihan fisik secara teratur memiliki banyak efek kesehatan yang bermanfaat.
Berpartisipasi secara teratur dalam olahraga dapat mengurangi timbulnya penyakit jantung,
diabetes dan banyak masalah kesehatan lainnya. Olahraga juga membantu memperkuat
sistem kekebalan tubuh, melepaskan endorfin yang 'perasaan nyaman' ke dalam aliran darah
dan dapat membantu dalam pemeliharaan berat badan yang sehat. Banyak penelitian juga
menunjukkan bahwa latihan fisik dapat membantu mengelola dan meningkatkan gejala yang
terlihat pada penyakit kronis, salah satunya adalah asma. Asma adalah penyakit pernapasan
kronis umum yang dapat didefinisikan sebagai peradangan saluran napas kronis tetapi
reversibel. Biasanya, ditandai dengan serangan akut sesak napas, batuk, ketegangan otot di
dada dan mengi. Serangan akut ini sering disebabkan oleh pemicu asma seperti serbuk sari,
common cold atau berolahraga tanpa pemanasan.
Exercise-induced bronchoconstriction (EIB) umumnya terlihat pada pasien yang
menderita asma. Ini ditandai dengan mengi, batuk dan sesak di dada dan dipicu oleh latihan
yang keras [5-8]. Dalam kebanyakan kasus, penurunan volume ekspirasi paksa pasca latihan
dalam 1 s (FEV1) 10-15% dari pengukuran sebelum latihan terlihat. Obstruksi aliran udara
biasanya paling parah terjadi antara 3 dan 15 menit setelah latihan. dengan periode refrakter
yang berlangsung hingga 3 jam setelah eksaserbasi EIB.
Karena berolahraga sering menjadi pemicu asma, beberapa penderita asma mulai
menghindari olahraga. Namun, pada kenyataannya hal ini semakin memperburuk kesehatan
pasien yang telah buruk, sehingga mengakibatkan perburukan siklus latihan dan dekondisi
otot skeletal lebih lanjut. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa olahraga teratur dapat
meningkatkan gejala asma dengan meningkatkan kapasitas daya tahan, fungsi paru-paru dan
kualitas hidup; Namun, sedikit yang diketahui tentang efek latihan pada EIB. Meskipun asma
dan EIB terkait, keduanya tetap harus dianggap sebagai entitas yang terpisah. Ulasan ini
menyajikan tinjauan luas mengenai asma bronkiale (lebih sering disebut hanya asma) dan
EIB, untuk membedakan satu dari yang lain tetapi juga untuk memahami hubungan yang
saling terkait antara keduanya. Tujuan lain juga untuk memberikan ringkasan diagnosis,
pengobatan dan manajemen.
Prevalensi
Asma merupakan suatu beban yang signifikan bagi komunitas global, berdampak
pada kualitas hidup dan ekonomi kesehatan. Mengingat sifatnya yang universal, ada beberapa
upaya untuk memproyeksikan nilai prevalensi di seluruh dunia selama dekade terakhir.
Perkiraan yang diterbitkan pada tahun 2004 melaporkan bahwa 300 juta orang didiagnosis
menderita asma, suatu angka yang diperkirakan akan meningkat sebesar 100 juta dalam 20
tahun berikutnya. Perkiraan ini dihitung dengan menggunakan data yang dikumpulkan antara
1988 dan 1996 dari the International Study of Asthma and Allergies in Childhood dan
European Community Respiratory Health Survey, yang menggunakan metode pengambilan
sampel dan perekrutan yang tidak konsisten dan definisi non standar untuk asma. Selain itu,
temuan yang dilaporkan berdasarkan pada laporan diri responden tentang mengi, yang,
mengingat sifat asma yang heterogen, tidak dapat dianggap sebagai indikasi untuk diagnosis
asma secara klinis yang sebenarnya. Masalah prevalensi global disesuaikan dengan
penekanan pada metode yang lebih kuat. Data yang dikumpulkan dari tahun 2002 hingga
2003 melalui World Health Survey menunjukkan bahwa 4,5% dari populasi orang dewasa
dunia (usia 18-45 tahun) telah didiagnosis dengan asma oleh dokter atau sebelumnya telah
menerima pengobatan untuk asma (klinis asma).
Meskipun tidak ada survei global skala besar yang telah dilakukan untuk
mengidentifikasi prevalensi EIB, ada banyak penelitian kecil yang menawarkan beberapa
wawasan. Kira-kira, 40-90% orang yang menderita asma kronis memiliki EIB. EIB juga
terlihat pada populasi umum non asma, di mana prevalensinya diperkirakan antara 8 dan
20%, dan juga sering terlihat pada atlet elit yang mungkin atau mungkin tidak menderita
asma.

Patofisiologi dan Mekanisme


Asma memiliki patofisiologi yang kompleks dan sejumlah mekanisme yang
mendasarinya. Para peneliti telah mengidentifikasi kebutuhan untuk memperbarui definisi
asma, yang saat ini merupakan deskripsi dari kumpulan gejala pernapasan non spesifik yang
mungkin juga dikaitkan dengan patologi lain. Selama serangan asma, otot-otot di dada
mengencang dan saluran udara membengkak dan menjadi meradang. Peradangan ini
menyebabkan penumpukan lendir lengket di paru-paru dan menyebabkan penyempitan
saluran udara yang menyebabkan sesak napas dan timbulnya gejala asma lainnya. Termasuk
dalam bagian ini adalah tinjauan singkat fenotip asma, mekanisme seluler yang terlibat dan
peradangan kronis mukosa bronkial yang terjadi pada asma.
Menggunakan asma sebagai istilah umum, karakteristik patofisiologis, klinis dan demografis
telah dikelompokkan bersama untuk membuat fenotipe. Sejumlah penelitian telah menyoroti
perlunya subfenotipe asma berdasarkan pemicu lingkungan dan atribut klinis untuk
menerapkan tindakan pengcegahan yang efektif dan mengambil alur pengobatan yang benar.
Klasifikasi dari fenotipe ini membagi asma menjadi tiga kategori utama: berdasarkan gejala,
induksi pencetus dan berdasarkan biomarker (gbr. 1).
Gambar 1. Subfenotip asma dibagi berdasarkan gejala, induksi pencetus, berdasarkan
biomarker.

Ada kemungkinan bahwa dengan penelitian lebih lanjut, manajemen dan pengobatan
dapat menjadi spesifik terhadap fenotip daripada pendekatan secara umum. Memang,
penelitian sudah menggunakan fenotip sebagai sarana untuk menentukan pengobatan bagi
pasien, misalnya studi DREAM, yang mengevaluasi 621 subjek dengan asma berat
eosinofilik dari 13 negara. Penelitian multisenter double-blind dengan kontrol placebo ini
mengacak pasien menjadi kelompok plasebo atau kelompok yang mendapat tiga dosis
mepolizumab (dari 75 hingga 750 mg), dimana menemukan bahwa mepolizumab sebagai
pengobatan yang efektif dan ditoleransi dengan baik di antara kelompok inflamasi tinggi.
Namun, meskipun perawatan ini telah ditargetkan, mekanisme penyakit eosinofilik dapat
memodulasi eksaserbasi tetap tidak diketahui. Ulasan terbaru menunjukkan bahwa otot epitel
saluran napas berperan dalam memodulasi inflamasi dan membentuk kembali respons pada
saluran nafas, namun pemahaman tentang mekanisme regulator plastisitas epitel masih sulit
dipahami.

Memeriksa masing-masing fenotipe tidak hanya untuk memperhitungkan


heterogenitas asma tetapi juga mulai memahami fisiologi dan mekanisme yang
mendukungnya. Misalnya, pada asma alergi, suatu episode yang diperburuk oleh alergen.
Sensitisasi terjadi setelah subversi sistem kekebalan tubuh bawaan melalui alergen dan
konstituen kimia terkait. Namun, sifat respon imun masih tergantung pada berbagai faktor
eksternal termasuk berat badan (khususnya obesitas), usia individu, susunan genetik dan lama
paparan, faktor lainnya. Agar proses inflamasi dapat diaktifkan, kehadiran alergen
mendorong pelepasan antibodi IgE (yaitu eosinofil, sel mast dan makrofag). Reaksi terhadap
paparan alergen dapat dibagi menjadi fase awal, ditandai dengan bronkokonstriksi yang
terjadi dalam beberapa menit setelah paparan alergen, dan fase akhir, ditandai dengan
bronkokonstriksi berulang beberapa jam kemudian. Pada reaksi fase awal, antibodi IgE yang
disekresikan oleh sel plasma mengikat sel mast, menghasilkan pelepasan mediator, yaitu
histamin dan cysteinyl leukotrienes, yang bertindak dalam kontraksi otot polos pada saluran
nafas. Fase akhir dirangsang oleh sel-sel inflamasi termasuk monosit, neutrofil dan eosinofil
yang sekali lagi mengikat mediator yang memediasi kontraksi otot polos. Kemajuan telah
dibuat dalam identifikasi mekanisme dasar penyakit alergi terjadi dan interpretasi dari
mekanisme ini ke dalam sistem sel manusia. Beberapa mekanisme anti-inflamasi endogen
seperti lipid dan sitokin juga diyakini cacat pada penyakit alergi di antara beberapa individu,
sehingga mengintensifkan inflamasi. Hal yang penting, dengan mengidentifikasi prediktor
seluler, genetik dan lingkungan dari atopi dan sifat-sifat molekul alergen yang memfasilitasi
sensitisasi, maka sifat-sifat ini dapat dimanipulasi untuk tujuan terapeutik, meskipun sampai
saat ini mengembangkan terapi baru masih menjadi tantangan.

Telah dipastikan bahwa Exercise Induced Bronchoconstriction (EIB) dipicu oleh


latihan yang ekstensif, namun mekanisme yang mendasari mengapa EIB terjadi belum
diselidiki secara menyeluruh. Namun, ada beberapa teori mengapa itu muncul. Teoti pertama,
menunjukkan bahwa latihan yang keras memberikan tekanan berlebih pada sistem
kardiovaskular dan pernapasan yang menyebabkan peningkatan curah jantung dan ventilasi.
Latihan yang intens ini menyebabkan pernapasan hidung digantikan oleh pernapasan mulut
untuk mengimbangi kebutuhan oksigen tambahan. Kurangnya pemanasan udara ini oleh
proses pemanasan dan pelembaban di saluran hidung menghasilkan peningkatan darah di
paru dan lapisan percabangan bronkial, yang menyebabkan pembengkakan, sehingga
menyebabkan penyumbatan dan kesulitan bernapas. Teori kedua menunjukkan bahwa EIB
disebabkan oleh dehidrasi saluran udara sebagai akibat dari peningkatan ventilasi. Dehidrasi
diperkirakan memicu peningkatan osmolaritas dalam cairan pada lapisan saluran napas, yang
akhirnya menyebabkan pelepasan mediator inflamasi seperti histamin, leukotrien sisteinil dan
prostaglandin. Mediator ini kemudian menyebabkan otot polos di saluran nafas menyempit
dan menyebabkan edema saluran napas.

Atlet dan EIB

Diperkirakan 30-70% atlet elit diperkirakan memiliki EIB, yang dapat ditunjukkan dengan
ada atau tidak adanya karakteristik asma lainnya. Sebuah studi yang dilakukan di antara atlet
olahraga musim dingin Olimpiade Amerika Serikat dari tahun 1998 menemukan bahwa EIB
mempengaruhi hampir satu dari empat atlet olahraga musim dingin, dan EIB ditemukan lebih
umum pada kalangan wanita. Studi terbaru menilai 22 universitas olahraga telah menemukan
perkiraan prevalensi untuk EIB 39%, dengan 86% dari subyek yang didiagnosis EIB (36 dari
42 subyek EIB-positif) tidak memiliki pengetahuan sebelumnya tentang status EIB positif
mereka. Studi pada tahun 2014 lainnya di Slovenia menemukan hasil yang sama di antara
atlet remaja dengan 37,5% yang secara resmi didiagnosis selama belajar.

Olahraga kompetitif bergantung pada kemampuan atlet untuk tampil di puncaknya, karena
mungkin hanya ada beberapa detik untuk berpindah dari tempat pertama ke tempat kedua.
Disarankan bahwa atlet yang memiliki EIB mungkin berada pada posisi yang kurang
menguntungkan dibandingkan dengan atlet yang tidak memiliki kondisi tersebut. Namun,
efek negatifnya pada kinerja atletik belum terbukti. Selama latihan tingkat tinggi, atlet harus
mendorong tubuh mereka hingga batas mereka. Dengan melakukan itu, mereka menyebabkan
semua sistem di dalam tubuh bekerja lebih cepat dan lebih keras. Latihan telah dilaporkan
meningkatkan ventilasi hingga 200 liter / mnt untuk periode waktu yang singkat pada atlet
yang mengandalkan kecepatan atau kekuatan dan untuk periode yang lebih lama pada atlet
yang memiliki daya tahan. Pengerahan tenaga ekstra yang dibutuhkan, maka lebih banyak
oksigen diperlukan untuk mempertahankan tingkat intensitas ini. Menghirup melalui hidung
tidak cukup efisien untuk oksigen yang dibutuhkan; karenanya, pernapasan hidung diganti
dengan pernapasan mulut. Salah satu hasil dari pertukaran ini adalah bahwa atlet bernapas
dalam jumlah yang lebih besar tidak hanya oksigen tetapi juga polutan di sekitarnya seperti
kloramin dan ozon dan alergen lainnya. Atlet seperti perenang dan pemain ski sering berlatih
di lingkungan yang keras. Para perenang menghirup klorin secara teratur dan pemain ski
berlatih secara teratur di lingkungan yang kering dan berangin. Oleh karena itu, tidak
mengherankan bahwa atlet tingkat tinggi menunjukkan jumlah penyakit pernapasan yang
lebih besar daripada populasi umum, tidak hanya terbatas pada asma. Memang, sebuah studi
atlet Olimpiade musim dingin menemukan pemain ski memiliki prevalensi EIB terbesar di
antara semua olahraga dengan 57% perempuan dan 43% laki-laki telah didiagnosis. Studi lain
pada olahraga musim panas elit mengidentifikasi risiko asma yang lebih besar di antara
perenang dengan 36-79% menunjukkan hiper-responsif bronkial terhadap metakolin atau
histamin; Namun, lebih sedikit penelitian yang meneliti terjadinya EIB. Paparan kondisi
semacam ini dalam jangka panjang dapat memiliki efek signifikan pada saluran nafas dan
dapat menyebabkan kerusakan epitel, inflamasi dan remodeling yang sering berakhir
menyerupai pola yang terlihat pada saluran nafas penderita asma. Namun, ketika ketegangan
latihan intensif dihilangkan, setelah periode refrainment dari latihan ini, terlihat bahwa hiper-
responsif jalan napas dapat membaik dan berfungsi normal kembali, tetapi ini bisa memakan
waktu berminggu-minggu hingga bertahun-tahun tergantung pada tingkat keparahan
kerusakannya. Oleh karena itu, telah disarankan agar atlet elit untuk mengambil tindakan
pencegahan jika memungkinkan ketika latihan, termasuk tidak berlatih di dekat ladang yang
terdapat banyak serbuk sari, mengenakan alat pelindung seperti masker dan menghindari
lingkungan yang beresiko untuk latihan.

Diagnosis

Diagnosis asma biasanya dilakukan melalui tes fungsi paru, tinjauan riwayat pasien dan juga
pemeriksaan fisik. EIB didiagnosis dengan mengukur perubahan fungsi paru setelah latihan
atau olahraga. Sejumlah tes dapat digunakan untuk mengukur fungsi paru termasuk pengujian
reversibilitas bronkodilator, yang melibatkan penggunaan spirometer dan bronkodilator serta
mengukur kecepatan dan kuantitas udara yang dihembuskan setelah terpapar bronkodilator.
Tes bronkoprovokasi juga dapat digunakan dan dilakukan setelah paparan pemicu asma
seperti olahraga, kabut dan udara dingin. Perubahan FEV1 paling sering dilihat setelah
pengujian; ini terutama karena pengulangan yang kuat dibandingkan dengan tingkat ekspirasi
puncak. Setelah 30 menit latihan, persentase FEV1 dihasilkan, yang merepresentasikan
perubahan pada nilai dasar FEV1 dikurangi nilai FEV1 terendah yang dihasilkan setelah
latihan. Penurunan FEV% harus >10% untuk mengklasifikasikan seseorang sebagai penderita
EIB menurut pedoman American Thoracic Society (ATS). Tingkat keparahan kondisi
diklasifikasikan menjadi ringan (> 10 hingga <25%), sedang (> 25 hingga <50%) dan berat
(>50%). Riwayat pasien dapat mengungkapkan riwayat mengi di masa lampau atau saat ini,
batuk dan sesak dada akibat olahraga. Namun, sejumlah penelitian telah menentukan bahwa
konfirmasi objektif EIB dapat terjadi karena ada atau tidak adanya gejala yang disebutkan
sebelumnya (lihat gambar 2 untuk diagram representasi dari jalur diagnosis).
Presentasi dan / atau riwayat gejala sebelumnya
perwakilan dari EIB

Apa perubahan dari baseline di FEV1setelah latihan?

Tidak ada Penurunan >10%


Diagnosis banding yang mungkin EIB dikonfirmasi

Tentukan keparahan:
Ringan >10 sampai <25%
Sedang >25 sampai <50%
Berat >50%

Resepkan obat kombinasi yang sesuai dengan


strategi tatalaksana dan manajemen

Tatalaksana farmakologis: Tatalaksana simtomatik non-farmakologis:


Pra-latihan: Pemanasan pra-latihan ringan/ sedang
β2-agonis kerja singkat DAN Ubah diet
Antagonis reseptor leukotrien ATAU mast-cell Hindari inhalasi udara dingin (mis. Masker
stabilizer wajah, syal)
Pra-latihan dan penggunaan sehari-hari:
Glukokortikoid inhalasi
β2-agonis kerja lama
Glukokortikoid inhalasi + β2-agonis kerja lama

Gambar 2. Representasi diagram diagnosis dan opsi tatalaksana untuk EIB

Perawatan dan Tatalaksana

Deteksi dini asma dan EIB dapat mengarah pada pengembangan dan implementasi sejumlah
strategi yang dapat digunakan untuk mengurangi dampak pada seorang individu dan kualitas
hidup mereka. Kombinasi pilihan non-farmakologis dan farmakologis dapat digunakan untuk
pengobatan dan pengelolaan asma dan EIB (gbr. 2). Orang yang menderita asma didorong
untuk mengunjungi dokter secara teratur dan membuat rencana tindakan asma untuk
mempersiapkan eksaserbasi. Mereka juga harus mendidik diri mereka sendiri dan menjadi
familiar dengan jenis kegiatan dan stimulus lingkungan yang dapat memicu serangan asma.
Latihan pemanasan intensitas rendah sampai sedang direkomendasikan sebelum dimulainya
latihan intensif untuk pasien yang memiliki EIB. Hal ini telah terbukti mengurangi EIB pada
lebih dari 50% pasien yang menderita EIB. Mengingat bahwa menghirup udara dingin
berhubungan dengan eksaserbasi EIB, mungkin bijaksana untuk menyarankan mengenakan
syal atau sesuatu yang serupa segera sebelum dan selama latihan di luar ruangan, untuk
menambah kelembaban dan menghangatkan udara yang dihirup. Strategi manajemen non-
farmakologis lebih lanjut termasuk mengendalikan berat badan, meningkatkan kebugaran dan
mengoptimalkan asupan makanan.

Dari perspektif farmakologis, pedoman ATS sangat merekomendasikan penggunaan


agonis β2 kerja pendek untuk semua pasien dengan EIB. Agonis β2 kerja pendek paling baik
digunakan sesaat sebelum berolahraga (5-10 menit sebelumnya) dan dikenal sebagai obat
yang paling efektif melawan EIB. Namun, penggunaan agonis β2 yang berkepanjangan dan
sering dapat menyebabkan toleransi obat dalam tubuh dan penurunan efek perlindungan yang
diduga disebabkan oleh down-regulasi reseptor β2. Untuk pasien dengan agonis β2 tidak lagi
efektif, ATS merekomendasikan penggunaan inhalasi glukokortikoid harian seperti
kortikosteroid. Glukokortikoid tidak hanya bermanfaat untuk mengendalikan gejala asma
tetapi juga dapat meningkatkan fungsi paru. Selain itu, dengan penggunaan rutin, mereka
juga dapat mendorong pengurangan progresif pada jalan nafas yang hiperresponsif terhadap
rangsangan seperti olahraga. Inhalasi β2 agonis long acting juga dapat digunakan untuk
pengobatan dan biasanya digunakan bersamaan dengan glukokortikoid ketika dosis rendah
glukokortikoid tidak efektif untuk mengendalikan asma. Namun, ATS tidak
merekomendasikan penggunaan β2 agonis long acting setiap hari sebagai terapi tunggal. ATS
juga merekomendasikan penggunaan antagonis reseptor leu-kotriene atau agen penstabil sel
mast sebelum berolahraga. Perlu dicatat bahwa ada larangan anti-doping yang kuat dalam
banyak olahraga kompetitif, dan obat-obatan ini dibatasi penggunaannya di banyak olahraga.
Penting bagi dokter dan atlet untuk mengetahui peraturan ini jika seorang atlet bersaing di
tingkat elit.

Latihan Fisik, Asma dan EIB

Banyak orang yang hidup dengan asma dan EIB menghindari olahraga karena takut
timbulnya gejala seperti mengi dan kesulitan bernafas. Namun, telah ditemukan bahwa
olahraga teratur dapat meningkatkan kondisi asma dengan meningkatkan kapasitas
endurance, fungsi paru-paru dan kualitas hidup. Tidak melakukan olahraga memperburuk
gejala asma, menyebabkan pengkondisian lebih lanjut dari jalan napas dan menghasilkan
hasil kesehatan yang lebih buruk pada orang-orang tersebut. Tidak berpartisipasi dalam
olahraga juga berdampak pada kualitas hidup secara keseluruhan, dengan banyak penelitian
menunjukkan bahwa kurangnya keterlibatan dalam latihan fisik, terutama pada tahun-tahun
awal remaja, dapat memiliki dampak isolasi sosial pada individu. Ulasan yang diterbitkan
oleh Carson et al. pada tahun 2013 menemukan bahwa olahraga secara keseluruhan
ditoleransi dengan baik pada pasien asma dan merekomendasikan bahwa itu harus
dipromosikan karena tidak ada efek samping yang ditemukan dalam kaitannya dengan gejala
asma akibat olahraga. Meskipun hubungan telah ditemukan antara olahraga dan peningkatan
gejala asma, peran olahraga dalam meningkatkan gejala EIB tetap lebih kontroversial saat ini.
Dalam penelitian terkontrol acak terhadap anak-anak, memaparkan setengah dari mereka
untuk olahraga dan meninggalkan setengah lainnya tanpa perawatan, Fanelli et al.
menemukan bahwa anak-anak yang terpapar olahraga menunjukkan penurunan yang
signifikan dalam keparahan EIB yang diukur dengan hasil kekuatan dan perbandingan
sebelum dan sesudah nilai olahraga. Namun, penelitian kami hanya berhasil menemukan satu
penelitian yang mendukung hal ini, dan dipenelitian lain ditemukan hasil yang tidak
meyakinkan.

Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang mekanisme yang tepat tentang bagaimana
asma dan EIB terjadi, yang dapat mengarah pada pilihan pengobatan dan manajemen yang
lebih baik. Diperlukan lebih banyak uji coba terkontrol secara acak untuk mengevaluasi efek
olahraga dalam meningkatkan EIB, terutama untuk indikator biologis yang menyarankan
bahwa olahraga secara nyata dapat mengurangi peradangan jalan napas (misalnya IgG,
responsivitas histamin, dahak dan jumlah sel eosinofil serum, protein reaktif-C, dll.). Evaluasi
ketat yang meneliti efek yang dimiliki EIB pada atlet elit juga akan berguna dalam
menentukan apakah memang EIB memiliki dampak yang dapat diukur terhadap kinerja.

Kesimpulan

Prevalensi asma dan EIB terus meningkat di negara maju meskipun ada perbaikan dalam
diagnosis dan manajemen penyakit. Ada tiga fenotip asma primer, dibagi berdasarkan gejala,
pencetus dan biomarker. EIB diketahui disebabkan oleh olahraga berat, namun mekanisme
yang mendasari episode-episode ini masih belum diketahui. Selanjutnya, banyak orang
menghindari olahraga karena takut akan eksaserbasi atau serangan asma, meskipun bukti saat
ini menunjukkan bahwa olahraga tidak hanya aman dan ditoleransi dengan baik, tetapi juga
dapat memberikan efek perlindungan melalui peningkatan endurance, sehingga
meningkatkan kemampuan tubuh untuk mengatasi ketegangan. Penelitian diperlukan untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang mekanisme asma dan EIB, yang dapat
memfasilitasi perbaikan dalam diagnosis, pengobatan dan bahkan pencegahan.

Anda mungkin juga menyukai