Anda di halaman 1dari 48

Patofisiologi

14. PATOFISIOLOGI
PENYAKIT PADA
TELINGA & MATA

ABDUR RIVAI, dr., M.Kes.


Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 1
1. Anatomi TELINGA

 Telinga Luar
 Membran
timpani
 Telinga
tengah
 Osikel
auditori
 Telinga dalam

Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 2


Telinga sbg Indera Pendengaran
dan Keseimbangan
 Telinga tengah terdiri dari labirin tulang & labirin
membranosa
 LABIRIN TULANG : ruang berliku berisi perilimfe
(separti cairan serebrospinalis) yang terdiri dari
Vestibula, Saluran semisirkular, Koklea
(mengandung reseptor pendengaran).
 LABIRIN MEMBRANOSA : tuba berongga &
kantong, berisi endolimfe (seperti Cairan Intra
Selluler) yang terdiri dari duktus semisirkular,
utrikulus, sarkulus (mengandung reseptor
keseimbangan). Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG
3
Gangguan pada Telinga
• Kehilangan Pendengaran.
• Penyakit Meniere
• Otosklerosis
• Ototis Eksterna (Infeksi Telinga Luar)
• Otitis Media Pururenta (Infeksi Telinga
Tengah)

Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 4


1.1. KEHILANGAN
PENDENGARAN
• Kehilangan pendengaran/hering loss/tuli:
terjadi karena gangguan mekanis atau
saraf pada transmisi gelombang bunyi.
• Kehilangan pendengaran dibagi beberapa
tipe:
1) Kehilangan pendengaran kongenital.

2) Tuli mendadak.

3) Kehilangan pendengaran karena bunyi.

4) Presbiskus.
Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 5
PENYEBAB TULI
• Kehilangan pendengaran Kongenital.
Dapat diturunkan sebagai sifat dominan,
autosom dominan/resesif atau resesi sex linked.
• Kehilangan pendengaran Neonatal, karena
 Trauma/anoksia saat bayi dilahirkan.
 Penggunaan obat ototoksik selama hamil.
 Infeksi rubela/sifilis pada ibu hamil.
 Kelainan kongenital.
 Prematuritas atau BBLR.
 Kadar bilirubin serum > 20 mg/dl.
Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 6
Penyebab Tuli
• Tuli Mendadak
 Infeksi akut : parotitis, rubela, rubeola, herpes
zoster.
 Gangguan metabolik : diabetes melitus,
hipotiroidisme, hiperlipoproteinemia.
 Gangguan vaskuler: hipertensi, arteriosklerosis
 Trauma kepala atau tumor otak
 Obat ototoksik: tobramisin, streptomisin, kina,
gentamisin, furosemid, asam etakrinat
 Gangguan neurologis: multiple sklerosis,
neurosifilis.
 Kelainan darah: leukemia, hiperkoagulasi.
Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 7
Penyebab Tuli
• Tuli Bunyi Mendadak
Dapat berlangsung sepintas atau permanen sesudah:
 Pajanan bunyi berisik yang keras (85 sd 90 db)
dalam waktu lama.
 Pajanan bunyi berisik yang sangat keras (> 90 db)
dalam waktu singkat.
Hal ini sering terjadi pada pekerja pabrik, personel
militer, pemburu, dan pemurik rok.
• Prebiskus
Terjadi karena proses penuaan, akibat sel-sel rambut
dalam organ corti hilang.
Ciri: progresif, simetris, bilateral, khususnya thd bunyi
yang bernada tinggi.
Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 8
PATOFISIOLOGI TULI
• Tuli Konduktif : gangguan bunyi dari
telingah tengah ke tempat pertemuan antara
stapes dan foramen ovale akibat serumen
atau otitis media atau otitis eksterna.
• Tili Sensorineural (Perseptif):
gangguan pada kohlea atau disfungsi
nervus akustikus (n VIII) yang
menyebabkan kegagalan transmisi impuls
bunyi ke dalam telinga dalam atau otak.
• Tuli campuran: kombinasi disfungsi
transmisi hantatan dan sensorineural. 9

Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG


TANDA DAN GEJALA
• Respon yang kurang terhadap rangsangan
auditorius umumnya terlihat dalam 2-3 hari
sejak lahir pada Tuli kongenital.
• Kerusakan perkembangan bicara.
• Kelihangan persepsi terhadap nada tertentu
(sekitar 4.000 hz).
• Tinitus.
• Ketidakmampuan memahami kata yang
diucapkan.
Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 10
Diagnosis
• Riwayat pasien, riwayat pekerjaan.
• Pemeriksaan Tes Weber, Tes Rinne
dan Pemeriksaan Audometri untuk
membedakan antata tuli konduktif
dan tuli hantaran.

Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 11


1. TEST WEBER
 Garputala C128 digetarkan kemudian
diletakkan pada vertex dahi/ puncak dahi
 Pada penderita tuli konduksi (ok serumen/
ototis media) akan terdengar terang/baik
pada telinga yang sakit
 Pada penderita tuli saraf, terdengar terang
pada telinga normal
 Misal : telinga kanan terdengar baik/ terang
disebut weber lateralisasi ke kanan
Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 12
Test Weber

Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 13


2. TEST RINNE
 Test ini membandingkan antara konduksi
melalui tulang dan udara
 Garputala yang digunakan C128.
 Setelah garputala digetarkan diletakkan
pada prosesus mastoideus (dibelakang
telinga), setelah tidak terdengar lagi
getarannya, garputala dipindahkan di depan
liang telinga, tanyakan pada penderita apa
masih terdengar ?
Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 14
Test Rinne
 Normal konduksi udara 85-
90 detik, konduksi tulang
45 detik
 Hasil test Rinne
(+) / terdengar :
pendengaran penderita
baik juga pada tuli saraf
(-) / tdk terdengar : Pada
penderita tuli konduksi,
jarak waktu konduksi
tulang mungkin sama/lebih
panjang

Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 15


3. TEST SCHWABACH
 Untuk membandingkan konduksi
tulang melalui verteks/prosesus
mastoideus penderita dengan konduksi
tulang si pemeriksa
 Pada tuli konduksi : konduksi tulang
penderita lebih panjang dari pada
pemeriksa
 Pada tuli saraf : konduksi tulang
penderita sangat pendek.
Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 16
Test Schwabach

Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 17


AUDIOMETER
 Merupakan alat elektronik pembangkit
bunyi pada berbagai frekwensi dan
dihubungkan dengan earphon
 Digunakan untuk mengukur derajat
ketulian
 Pemeriksa menekan knop frekwensi
tertentu, penderita mengacungkan
tangan jika mendengar.
Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 18
1.2. PENYAKIT MENIERE
(Endolimfatik Hidrops)
• Merupakan penyakit telinga dalam dan terjadi
karena disfungsi labirin, akan menyebabkan
vertigo berat, kehilangan pendengaran
sensorineural dan tinitus.
• Penyakit menyerang orang dewasa usia 30-60
tahun.
• Lebih sering pada pria, jarang pada anak.
• Biasanya hanya terkena satu telinga.
• Serangan multiple beberapa tahun, tinitus dan
kehilangan pendengaran dapat menimbulkan
disablilitas. Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 19
Penyebab
• Tidak diketahui.
• Dapat berkaitan dengan:
 Riwayat keluarga..

 Gangguan Imun.

 Sakit Kepala Migrain.

 Infeksi telinga tengah.

 Trauma kepala.

 Disfungsi sistem saraf otonom.

 Edema pramestruasi.

Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 20


Patofisiologi
• Penyakit Meniere karena produksi berlebihan
atau penurunan absopsi endolif, yaitu cairan
yang terdapat pada labirin tengah.
• Cairan menyebabkan dilatasi kanalis
semisirkularis, utrikulus dan sarkulus dan
degenerasi sel-sel rambut vertibuler dan
kohlear.
• Stimulasi n. VII akan merusak reflek postural
dan menstimulasi reflek muntah, persepsi
bunyi mengalami kerusakan dan
mempengaruhi pendengaran.
Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 21
Tanda dan Gejala
• Rasa berputar (vertigo) terjadi mendadak,
berlangsung 10 menit hingga beberapa jam.
• Tinitus (bunyi berdering di dalam telinga).
• Kerusakan pendengaran akibat kehilangan
pendengaran sensorineural.
• Perasaan penuh atau tersumbat dalam
telinga.
• Nausea berat, vomitus, perspirasi (nafas
berlebihan), pucat.
• Nigtagmus (gerakan mata cepat)
• Kehilangan keseimbangan dan terjatuh akibat
vertigo. Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 22
2. ATOMOMI MATA

Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 23


INDERA PENGLIHATAN &
IMPULS PENGLIHATAN
 Mata adalah sistem optik yang memfokuskan
berkas cahaya pada fotoreseptor, yang
mengubah energi cahaya menjadi impuls
syaraf
 Struktur aksesori mata terdiri dari Orbita,
otot mata, alis mata, fisura palpebra, kantus
media dan kantus lateral, karunkel,
konjungtiva, lempeng tarsal, aparatur lakrimal
 Struktur mata terdiri dari tunika fibrosa,
tunika vaskular, lensa, rongga mata dan retina
Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG
24
Penyakit pada mata:
• Ketajamam Visus
• Gangguan Refraksi
• Keratitis (kornea)
• Katarak (lensa)
• Glaukoma (Cairan Humor Aquous &
Vitreus).
• Ablatioma (retina)
• Strabismus (otot mata)
• Dll
Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 25
2.1. KETAJAMAN VISUS

• Ketajaman visus mengacu kepada


kemampuan untuk melihat dengan jelas.

• Penyebab penurunan ketajaman visus :


penuaan, kelainan bola mata (miopia,
hipermetropia), ambliopia, katarak,
glaukoma, papiledema, adaptasi gelap,
skotoma.
Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 26
AKOMODASI
• Adalah proses penyesuaian otomatis pada
lensa untuk memfokuskan objek secara jelas
pada jarak yang beragam.
• Pada akomodasi terjadi perubahan ketebalan
lensa mata, untuk melihat dekat lensa
menjadi lebih sferis, dan untuk melihat jauh
lensa menjadi lebih mendatar.
• Perubahan akomodasi disebabkan oleh
penekanan, imflamasi, penuaan, gangguan
nervus okulomotorius.
• Akibat gangguan akomodasi : Diplopia
(double), penglihatan kabus, sakit kepala. 27
Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG
REFRAKSI
 Adalah defleksi atau pembelokan berkas
sinar saat melewati satu medium menuju
medium lain yang memiliki densitas optik
berbeda
 Semakin konveks suatu permukaan semakin
refraktif dayanya.
 KORNEA bertanggung jawab 70% refraktif &
merupakan alat penyesuaian kasar pada mata
 LENSA berperan sebagian besar aktivitas yang
tersisa & merupakan alat penyesuaian halus
pada mata
 CAIRAN AQUOSUS & VITREUS bertanggung
jawab untuk refraksi minimal
Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 28
EMETROP
 Pada emetrop pancaran cahaya akan jatuh
tepat pada retina.
 Pada EMETROPIA (akomodasi normal):
- kontraksi otot silindris mengakibatkan tarikan
ligamen suspensorik berkurang sehingga lensa
menjadi konveks (tebal di tengah & tipis di
perifer : lebih bundar) mengumpukan berkas
sinar  fokus untuk penglihatan dekat
- relaksasi otot silindris mengakibatkan tarikan
ligamen suspensorik bertambah, shg lensa
menjadi konkaf (tipis di tengah & tebal di perifer
: mendatar)  membiaskan berkas sinar 
fokus untuk penglihatan jauh
Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 29
MIOP
• Miop/Miopia/Rabun Jauh, terjadi ketika
pancaran cahaya difokuskan di depan retina.
• Benda yang dekat akan terlihat jelas, benda
yang jauh akan tampak kabur.
• Terjadi bila bola mata berukuran terlalu
panjang atau bila kekuatan refraksi pada
kornea atau lensa mata terlalu besar.
• Miopi terjadi juga pada Hiperglikemia DM yang
tdk terkontrol, sehingga lensa membengkak.
• Miopi dikoreksi dengan lensa cekung (Konkaf)
yang membelokkan pancaran cahaya ke arah
luar. Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 30
HIPERMETROP
• Hipermetrop/Hiperopia/rabun dekat, terjadi
ketika pancaran cahaya difokuskan di belakang
retina.
• Benda yang jauh akan terlihat jelas, benda
yang dekat akan tampak kabur.
• Terjadi bila bola mata berukuran terlalu
pendek atau bila kekuatan refraksi pada
kornea atau lensa mata terlalu rendah.
• Hipermetrop dikoreksi dengan lensa cembung
(Konveks) yang membelokkan pancaran
cahaya ke arah dalam.
Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 31
PRESBIOP
• Merupakan bentuk hipermetrop yang mulai
terjadi pada usia pertengahan, ketika lensa
mata menjadi kaku dan hilang elastisitasnya.
• Kekuatan refraksi lensa menurun dan mata
kehilangan kemampuan untuk
berakomodasi, sehingga benda yang dekat
akan terlihat kabur.
• Presbiop dikoreksi dengan lensa cembung
(Konveks) yang membelokkan pancaran
cahaya ke arah dalam.
Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 32

ASTIGMAT

• Astigmatisme terjadi ketika kurvatura


kornea ata lensa tidak sama, sehingga
pancaran cahaya difokuskan di berbagai
titik yang berbeda pada retina, sehingga
terbentuk bayangan yang berubah
(distorsi).
• Astigmatisme terjadi bersama dengan
gangguan refraksi lain.

Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 33


Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 34
PENGLIHATAN WARNA
• Sel kerucut pada retina bertanggung jawab
atas penglihatan warna. Sel ini memiliki satu
dari 3 pigmen visual yang berbeda yaitu merah,
hijau dan biru dan menyerap gelombang
cahaya dengan panjang gelombang yang
berbeda.
• Buta warna diturunkan pada kromosom X,
dominan, sehingga hanya terdapat pada pria.
• Buta warna yang di dapat (akuisita) disebabkan
oleh DM, stroke bilateral, atau oleh penyakit
pada makula atau nervus optikus.
Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 35
Buta Warna
 Buta warna
merah disebut
Protanopia
 Buta warna hijau
disebut
Deuteranopia
 Buta warna biru
disebut
Tritanopia Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 36
RABUN SENJA
• RABUN SENJA :
sensitivitas terhadap
cahaya berkurang,
merupakan awal
defisiensi vit A, pada
tahap lanjut sel
kerucut juga rusak.

• Disebabkan oleh kekurangan vitamin A, sehingga


mengakibatkan degenerasi sel batang & sel
kerucut.

Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 37


KATARAK
• Katarak merupakan keadaan terjadi kekeruhan
(opasitas) yang berangsur-angsur pada lensa
mata atau kapsula lentis.
• Cahaya yang dipancarkan melalui kornea akan
dihalangi oleh kekeruhan ini, sehingga bayangan
yang jatuh pada retina menjadi kabur.
• Umumnya terjadi bilateral, masing-masing berjalan
sendiri tanpa bergantung yang lain.
• Katarak traumatika biasanya unilateral.
• Katarak kongetinal mungkin bersifat stasioner.
• Prevalensi tertinggi terjadi pada usia > 70 th.
• Tindakan : Operasi.
Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 38
Penyebab Katarak
• Penuaan (katarak senilis)
• Gangguan kongenital.
• Abnormalitas genetik.
• Rebela maternal selama trimester I kehamilan.
• Trama, Cedera benda asing.
• Uveitis.
• Glaukoma.
• Ablasio retina, retinitis pigmentosa.
• DM, hipoparatiroidime.
• Distrofi miotonik.
• Radiasi, ultraviolet.
• Obat-obatan: prednison (deltasone), alkaloid ergot,
dinitrofenol, naftalena, fenotiazin, pilokarpin,
Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 39
Perkembangan Katarak
• Tumesen: lensa terisi air, keadaan ini dapat
menimbulkan glaukoma.
• Imatur : lensa mata belum keruh seluruhnya.
• Matur: lensa mata sudah keruh seluruhnya
dan sudah kehilangan penglihatan yg
signifikans.
• Hipermatur: protein lensa terurai, sehingga
peptida merembes keluar lewat kapsula
lentis, Glauka dapat terjadi jika saluran
keluarnya cairan intraokuler terhalang.

Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 40
Tanda dan Gejala Katarak
• Penglihatan kabur, penurunan penglihatan
terjadi berangsur-angsur tanpa rasa nyeri.
• Pupil berwarna putih seperti susu, akibat
kekeruhan lensa.
• Cahaya lampu sorot mobil, membutakan
penglihatan malam hari, akibat pantulan
cahaya pancaran yang tidak efisien karena
lensa keruh.
• Penurunan penglihatan pada saat membaca,
akibat bayangan pada retina kurang jelas.
• Penglihatan yang lebih baik jika cahaya redup
Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 41
GLAUKOMA
• Adanya gangguan kenaikan tekanan
intraokuler yg dapat merusakkan nervus
optikus dan struktur intraokuler lain.
• Penglihatan dapat berkurang dan dapat terjadi
kebutaan.

42
Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG
Penyebab Glukoma
 GLAUKOMA PRIMER :
1) Glaukoma Sudut terbuka Kronis

Genetika, hipertensi, DM, penuaan, etnis


kulit hitam, miopia berat.
2) Glaukoma Sudut Tertutup Akut

Midriasis (pelebaran/dilatasi pupil ekstrim ok


obat), Lonjakan emosi.
 Glaukoma Sekunder
 Uveitis, trauma, obat golongan steroid,
DM, infeksi, pembedahan.
Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 43
Glukoma

Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 44


Patofisiologi Gaukoma
• Glaukoma sudut terbuka kronis, ok produksi
humor akueus atau obstryuksi saluran keluar
humor aqueus, sehingga terjadi peningkatan
intraokuler.
• Glaukoma sudut tertutup ok obstruksi pada
aliran humor aqueus, sehingga terjadi
peningkatan tekanan intraokuler secara tiba-
tiba.
• Glukoma sekunder ok trauma, pembedahan,
akan terjadi edema atau proses abnormal lain,
sehingga terjadi obstruksi aliran cairan
intraokuler.
Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 45
TONOMETER dari Schiotz
 Untuk mengukur tekanan intraokuler
 Cara: penderita ditelentangkan, mata
menatap ke atas, kornea dibius, di atas
kornea diletakkan alat (Plug tonometer),
plug dihubungkan dengan skala.
Tonometer dilengkapi alat pemberat 5,5; 7,5;
10; 15.
Jika menggunakan pemberat 5,5 gr berat
tonometer 11 gr +5,5 gr = 16,5 gr  tekanan
intraokuler 17 mmHg
TONOMETER dari Schiotz
 Normal tekanan intra okuler 20-25 mmHg,
rata² produksi & pengeluaran humor
aqueous 5 ml/hari
 Pada penderita glucoma mencapai 80
mmHg
 Pada 1950 dimodifikasi dengan pembacaan
secara elektronik & direkam Tonograf
 Tonometer Goldmann : penderita dalam
posisi duduk
Patofisiologi - D3 Farmasi STDPG 48

Anda mungkin juga menyukai