Anda di halaman 1dari 34

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Malaria merupakan penyakit infeksi ke tiga di dunia yang menyebabkan kematian.


Meskipun kasus malaria telah berkurang di Indonesia, penanganan terhadap kasus ini
masih penting untuk di beberapa titik daerah yang endemis. Oleh karena itu, kami
akan secara khusus membahas tentang penyakit yang disebabkan oleh infeksi
protozoa ini, khususnya malaria. Dari skenario kita dapat mempelajari jenis-jenis
plasmodium yang menyebabkan malaria serta vektornya, siklus hidup plasmodium,
patogenesis dari penyakit malaria, diagnosis banding serta pemeriksaan penunjang,
dan juga pengobatan serta pencegahannya. 

1.2 Manfaat

Adapun manfaat modul ini ialah diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan


tentang jenis-jenis plasmodium yang menyebabkan malaria serta vektornya, siklus
hidup plasmodium, patogenesis dari penyakit malaria, diagnosis banding serta
pemeriksaan penunjang, dan juga pengobatan serta pencegahannya.  Dengan
demikian, setelah kita mampelajari tentang penyakit infeksi protozoa, terutama
malaria, diharapkan kita mampu sebagai seorang dokter untuk bisa mendiagnosis
keluhan-keluhan pasien sesuai dengan skenario ini tentang penyakit infeksi protozoa.

1
BAB II
ISI

Skenario
Kerja Jauh, Penyakitpun dekat…

Laki-laki 25 tahun datang ke salah satu Puskesmas di Samarinda dengan


keluhan demam 5 hari. Demam bersifat turun naik. Selain demam, penderita ini juga
mengalami mual dan muntah selama 1 minggu ini dan juga disertai nyeri-nyeri otot.
Penderita adalah seorang pekerja tambang di daerah hulu Mahakam yang sering
pulang secara rutin ke keluarganya di Samarinda. Pendertia khawatir terjangkit
penyakit yang bersifat endemis di daerah tambang tersebut. Dokter Puskesmas
melakukan pemeriksaan dan pada pemeriksaan tanda vital didapati suhu 38,5 C dan
lainnya dalam batas normal. Dokter Puskesmas memberikan obat penurun panas dan
beberapa obat lainnya. Akan tetapi setelah 2 hari meminum obat, demam dan gejala
lainnya tidak kunjung sembuh dan keadaan penderita bertambah lemas karena mual
dan muntah bertambah hebat dan demamnya disertai menggigil dan berkeringat
setelah periode demam. Akhirnya penderita ini dirujuk ke UGD suatu RS. Di RS
tersebut dilakukan beberapa pemeriksaan untuk menegakkan diagnosa penderita ini
yaitu darah lengkap, Widal, antibodi dengue dan DDR.

STEP 1
1. DDR : Pemeriksaan hapusan darah tebal untuk menemukan adanya parasit
malaria ( drike drupple )

2. Widal : Tes untuk mediagnosis demam tifoid dengan cara menemukan reaksi
antigen Salmonella Typhosa

3. Pemeriksaan antibodi dengue : Pemeriksaan darah untuk mendeteksi antibodi


dengue

STEP 2
1. Penyakit apa saja kah yang memiliki ciri khas periode demam ? dan apakah
periode demam itu ?

2
2. Mengapa laki laki tersebut mengalami demam ?

3. PMengapa laki laki tersebut mual dan muntah dan disertai nyeri otot ?

4. Penyakit endemis apa saja yang berada di daerah hutan ?

5. Apakah hubungan antara lokasi pekerja dengan penyakitnya ?

6. Mengapa pemberian obat penurun panas tidak menyebabkan penyakit tidak


kurun sembuh ?

7. Apa pertimbangan dokter untuk melakukan keempat tes penunjang tersebut ?

8. Kesimpulan apa saja yang memungkinkan dari gejala gejala tersebut?

STEP 3
1. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh seperti toksin, produk-produk bakteri
dan bakteri itu sendiri mempunyai kemampuan untuk merangsang pelepasan
pirogen endogen yang disebut dengan sitokin yang diantaranya yaitu
interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF), interferon (INF),
interleukin-6 (IL-6) dan interleukin-11 (IL-11). Sebagian besar sitokin ini
dihasilkan oleh makrofag yang merupakan akibat reaksi terhadap pirogen
eksogen. Dimana sitokin-sitokin ini merangsang hipotalamus untuk
meningkatkan sekresi prostaglandin, yang kemudian dapat menyebabkan
peningkatan suhu tubuh.
2. Gejala malaria ringan dibagi menjadi 3 stadium :
1. Stadium dingin
2. Stadium demam
3. Stadium Keringat

Ada beberapa penyakit yang memiliki periode demam nya yang khas misalnya
Malaria : Suhu tubuh naik turun
DBD : saddleback
Demam tifoid : naik secara perlahan
3. Mual dan muntah dapat disebabkan oleh infeksi parasit. yang nanti makrofag
tersebut mengeluarkan mediator kimia yang akan mengaktifkan / menstimulasi
triger zone pafa otak .Infeksi parasit akan memicu imunitas. imunitas non
spesifik yaitu makrofag akan mengeluarkan sitokin. yang salah satunya adalah
TNF yang mengakibatkan mual dab muntah

3
4. bebeberapa penyakit endemis di daerah hutan

1. DBD
2. Malaria
3. Filariasis
4. Chikungunya
5. Ada Terdapat hubungan antara penyakit yang diderita penderita tersebut
dengan lingkungannya. Pada lingkungan kerjanya yang berupa hutan maka
akan sering kali kita menemukan vektor vektor penyakit misalnya nyamuk.
Nyamuk sendiri merupakan vektor yang dapat menularkan berbagai penyakit
misalnya malaria dan DBD

6. Obat antipiretik yang diberikan hanya menurunkan panas untuk sementara


waktu saja, obat tersebut tidak menghilangkan penyebab dari demam itu
sendiri. Itulah sebabnya demamnya tidak kunjung sembuh

7. karena ada beberapa penyakit yang dicurigai diderita oleh pasien tersebut.
Oleh sebab itu, dilakukan 4 pemeriksaan tersebut agar didapatkan diagnosis
utama pasien tersebut

8. Diagnosis utama : malaria

Diagnosis Banding :
a. demam berdarah

b. demam tifoid

4
STEP 4
Demam Muntah
Mual
Nyeri otot
Menggigil
Keringat
Naik turun Tinggi

Bakteri Parasit Virus

Pemeriksaa
n penunjang

Diagnosis utama Diagnosis banding

Malaria
Demam dengue
Demam tifoid

Komplikasi Pecegahan

Penatalaksanaan

5
STEP 5
LEARNING OBJECTIVE
1. Mahasiswa mampu menjelaskan mengenai penyakit infeksi malaria
- Mahasiswa mampu menjelaskan tentang etiologi malaria
- Mahasiswa mampu menjelaskan tentang siklus hidup plasmodium
- Mahasiswa mampu menjelaskan tentang patogenesis malaria
- Mahasiswa mampu menjelaskan tentang manifestasi klinis malaria
- Mahasiswa mampu menjelaskan tentang diagnosis malaria
- Mahasiswa mampu menjelaskan tentang penatalaksanaan malaria
- Mahasiswa mampu menjelaskan tentang komplikasi malaria
- Mahasiswa mampu menjelaskan tentang pencegahan terhadap malaria

STEP 6
Dalam tahap ini, mahasiswa belajar mandiri dari referensi terpercaya seperti buku
kedokteran maupun jurnal sehingga dapat dibawakan dengan lancar saat DKK2.

STEP 7

Etiologi Malaria

1. Plasmodium vivax, memiliki distribusi geografis terluas, mulai dari wilayah


beriklim dingin, subtropik hingga daerah tropik. Demam terjadi setiap 48 jam atau
setiap hari ketiga, pada siang atau sore. Masa inkubasi plasmodium vivax antara
12 sampai 17 hari dan salah satu gejala adalah pembengkakan limpa atau
splenomegali.
2. Plasmodium falciparum, plasmodium ini merupakan penyebab malaria tropika,
secara klinik berat dan dapat menimbulkan komplikasi berupa malaria celebral
dan fatal. Masa inkubasi malaria tropika ini sekitar 12 hari, dengan gejala nyeri
kepala, pegal linu, demam tidak begitu nyata, serta kadang dapat menimbulkan
gagal ginjal.
3. Plasmodim ovale, masa inkubasi malaria dengan penyebab plasmodium ovale
adalah 12 sampai 17 hari, dengan gejala demam setiap 48 jam, relatif ringan dan
sembuh sendiri.

6
4. Plasmodium malariae, merupakan penyebab malaria quartana yang memberikan
gejala demam setiap 72 jam. Malaria jenis ini umumnya terdapat pada daerah
gunung, dataran rendah pada daerah tropik, biasanya berlangsung tanpa gejala,
dan ditemukan secara tidak sengaja. Namun malaria jenis ini sering mengalami
kekambuhan.
5. Plasmodium knowlesi, merupakan penyebab malaria yang mulai dipublikasikan
sejak tahun 2004. Sebelumnya hanya menginfeksi monyet berekor panjang
namun, sekarang dapat pula menginfeksi manusia. Pertama kali dilaporkan di
Serawak sering didiagnosa sebagai P.malariae dan dapat menyebabkan malaria
berat.

Jenis Malaria

a) Malaria Tropika (Plasmodium Falcifarum)


Malaria tropika/ falciparum malaria tropika merupakan bentuk yang paling berat,
ditandai dengan panas yang ireguler, anemia, splenomegali, parasitemia yang
banyak dan sering terjadi komplikasi. Masa inkubasi 9-14 hari. Malaria tropika
menyerang semua bentuk eritrosit. Disebabkan oleh Plasmodium falciparum.
Plasmodium ini berupa Ring/ cincin kecil yang berdiameter 1/3 diameter eritrosit
normal dan merupakan satu-satunya spesies yang memiliki 2 kromatin inti
(Double Chromatin).

Plasmodium Falcifarum menyerang sel darah merah seumur hidup. Infeksi


Plasmodium Falcifarum sering kali menyebabkan sel darah merah yang
mengandung parasit menghasilkan banyak tonjolan untuk melekat pada lapisan
endotel dinding kapiler dengan akibat obstruksi trombosis dan iskemik lokal.
Infeksi ini sering kali lebih berat dari infeksi lainnya dengan angka komplikasi
tinggi (Malaria Serebral, gangguan gastrointestinal, Algid Malaria, dan Black
Water Fever).

b) Malaria Kwartana (Plasmoduim Malariae)


Plasmodium Malariae mempunyai tropozoit yang serupa dengan Plasmoduim
vivax, lebih kecil dan sitoplasmanya lebih kompak/ lebih biru. Tropozoit matur
mempunyai granula coklat tua sampai hitam dan kadang-kadang mengumpul

7
sampai membentuk pita. Skizon Plasmodium malariae mempunyai 8-10 merozoit
yang tersusun seperti kelopak bunga/ rossete. Bentuk gametosit sangat mirip
dengan Plasmodium vivax tetapi lebih kecil.

Ciri-ciri demam tiga hari sekali setelah puncak 48 jam. Gejala lain nyeri pada
kepala dan punggung, mual, pembesaran limpa, dan malaise umum. Komplikasi
yang jarang terjadi namun dapat terjadi seperti sindrom nefrotik dan komplikasi
terhadap ginjal lainnya. Pada pemeriksaan akan di temukan edema, asites,
proteinuria, hipoproteinemia, tanpa uremia dan hipertensi.

c) Malaria Ovale (Plasmodium Ovale)


Malaria Tersiana (Plasmodium Ovale) bentuknya mirip Plasmodium malariae,
skizonnya hanya mempunyai 8 merozoit dengan masa pigmen hitam di tengah.
Karakteristik yang dapat di pakai untuk identifikasi adalah bentuk eritrosit yang
terinfeksi Plasmodium Ovale biasanya oval atau ireguler dan fibriated. Malaria
ovale merupakan bentuk yang paling ringan dari semua malaria disebabkan oleh
Plasmodium ovale. Masa inkubasi 11-16 hari, walau pun periode laten sampai 4
tahun. Serangan paroksismal 3-4 hari dan jarang terjadi lebih dari 10 kali walau
pun tanpa terapi dan terjadi pada malam hari.

d) Malaria Tersiana (Plasmodium Vivax)


Malaria Tersiana (Plasmodium Vivax) biasanya menginfeksi eritrosit muda yang
diameternya lebih besar dari eritrosit normal. Bentuknya mirip dengan
plasmodium Falcifarum, namun seiring dengan maturasi, tropozoit vivax berubah
menjadi amoeboid. Terdiri dari 12-24 merozoit
ovale dan pigmen kuning tengguli. Gametosit berbentuk oval hampir memenuhi
seluruh eritrosit, kromatinin eksentris, pigmen kuning. Gejala malaria jenis ini
secara periodik 48 jam dengan gejala klasik trias malaria dan mengakibatkan
demam berkala 4 hari sekali dengan puncak demam setiap 72 jam.

Dari semua jenis malaria dan jenis plasmodium yang menyerang system tubuh,
malaria tropika merupakan malaria yang paling berat di tandai dengan panas yang
ireguler, anemia, splenomegali, parasitemis yang banyak, dan sering terjadinya
komplikasi.

8
Siklus Hidup Plasmodium

Siklus hidup Plasmodium terdiri dari 2, yaitu siklus sporogoni (siklus seksual)
yang terjadi pada nyamuk dan siklus skizogoni (siklus aseksual) yang terdapat pada
manusia. Siklus ini dimulai dari siklus sporogoni yaitu ketika nyamuk mengisap
darah manusia yang terinfeksi malaria yang mengandung plasmodium pada stadium
gametosit (8). Setelah itu gametosit akan membelah menjadi mikrogametosit (jantan)
dan makrogametosit (betina) (9). Keduanya mengadakan fertilisasi menghasilkan
ookinet (10). Ookinet masuk ke lambung nyamuk membentuk ookista (11). Ookista
ini akan 12 membentuk ribuan sprozoit yang nantinya akan pecah dan sprozoit keluar
dari ookista. Sporozoit ini akan menyebar ke seluruh tubuh nyamuk, salah satunya di
kelenjar ludah nyamuk. Dengan ini siklus sporogoni telah selesai.

Siklus skizogoni terdiri dari 2 siklus, yaitu siklus eksoeritrositik dan siklus
eritrositik. Dimulai ketika nyamuk menggigit manusia sehat. Sporozoit akan masuk
kedalam tubuh manusia melewati luka tusuk nyamuk (1). Sporozoit akan mengikuti
aliran darah menuju ke hati, sehingga menginfeksi sel hati (2) dan akan matang
menjadi skizon (3). Siklus ini disebut siklus eksoeritrositik. Pada Plasmodium
falciparum dan Plasmodium malariae hanya mempunyai satu siklus eksoeritrositik,

9
sedangkan Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale mempunyai bentuk hipnozoit
(fase dormant) sehingga siklus eksoeritrositik dapat berulang. Selanjutnya, skizon
akan pecah (4) mengeluarkan merozoit (5) yang akan masuk ke aliran darah sehingga
menginfeksi eritrosit dan di mulailah siklus eritrositik. Merozoit tersebut akan
berubah morfologi menjadi tropozoit belum matang lalu matang dan membentuk
skizon lagi yang pecah dan menjadi merozoit lagi (6). Diantara bentuk tropozoit
tersebut ada yang menjadi gametosit (7) dan gametosit inilah yang nantinya akan
dihisap lagi oleh nyamuk. Begitu seterusnya akan berulang-ulang terus. Gametosit
tidak menjadi penyebab terjadinya gangguan klinik pada penderita malaria, sehingga
penderita dapat menjadi sumber penularan malaria tanpa diketahui (karier malaria).

PATOGENESIS MALARIA

Setelah melalui jaringan hati P. falciparum melepaskan 18-24 merozoit ke dalam


sirkulasi. Merozoit yang dilepaskan akan masuk ke dalam sel RES di limpa dan
mengalami fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang lolos dari filtrasi dan fagositosis di
limpa akan menginvasi eritrosit. Selanjutnya parasit berkembang biak secara aseksual
dalam eritrosit. Bentuk aseksual parasit dalam eritrosit yang berpotensi (EP) inilah
yang bertanggung jawab dalam patogenesis terjadinya malaria pada manusia
Patogenesis malaria yang banyak diteliti adalah patogenesis malaria yang disebabkan
oleh P. falciparum.
Patogenesis malaria falsiparum dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor pejamu
(host). Termasuk dalam faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit dan
virulensi parasit. Sedangkan yang masuk dalam faktor pejamu adalah tingkat
endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, usia, status nutrisi dan status imunologi.
EP secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam I dan
stadium matur pada 24 jam ke II. Permukaan EP stadium cincin akan menampilkan
antigen RESA (Ring-erythrocyte surgace antigen) yang menghilang setelah parasit
masuk stadium matur. Permukaan membran EP stadium matur akan mengalami
penonjolan dan membentuk knob dengan Histidine Rich-protein-1 (HRP-1) sebagai
komponen utamanya. Selanjutnya bila EP tersebut berubah menjadi merozoid, akan
dilepaskan toksin malaria berupa GPI atau glikosilfosfatidilinositol yang merangsang
pelepasan TNF-α dan interleukin-1 (IL-1) dari makrofag.

10
Peranan Sitoadherens
Sitoadherens adalah ikatan antara eritrosit yang terinfeksi parasit dengan endotel
vaskular terutama kapiler postvenula, menyebabkan terjadinya sekuesterisasi parasit
pada kapiler-kapiler organ. Mekanisme terjadinya sitoadherens sebagai berikut.
Pada permukaan eritrosit yang terinfeksi parasit akan timbul tonjolan-tonjolan
yang disebut Knob. Pada knob tersebut terdapat berbagai protein seperti HRP-1,
PfEMP-1, PfEMP-2 (MESA). Protein parasit yang berperan paling penting pada
sitoadherens adalah PfEMP-1. Protein ini akan berikatan dengan berbagai molekul
adhesi pada permukaan endotel pembuluh darah sebagai reseptornya, yaitu CD 36,
CD 31, ICAM-1, ELAM-1 (E-selektin), VCAM-1, trombospondin, asam hialuronat,
kondroitin sulfat (CSA).
Ikatan antara PfEMP-1 dengan molekul adhesi ini menyebabkan eritrosit yang
terinfeksi melekat pada kapiler organ-organ tubuh, menimbulkan gangguan aliran
darah lokal, dan jika berar akan menimbulkan iskemia dan hipoksia, dengan hasil
akhir kegagalan organ. Protein PfEMP-1 sangat bervariasi, bahkan satu parasit dengan
yang lain dapat mengekspresikan protein PfEMP-1 yang berbeda. Hal ini disebabkan
PfEMP-1 dikode dari gen var yang banyak jumlahnya dan bervariasi. Hampir pada
setiap kromosom parasit terdapat beberapa (sampai lima) gen var, dan setiap parasit
mengekspresikan satu gen var tertentu.

Peranan Roseting dan Autoaglutinasi


Roseting adalah ikatan antara eritrosit yang terinfeksi parasit dengan beberapa
eritrosit yang tidak terinfeksi, membentuk suatu gumpalan yang disebut roset.
Sedangkan autoaglutinasi atau clumping adalah ikatan antara eritrosit yang terinfeksi
parasit, membentuk agregat yang tidak melibatkan eritrosit yang tak terinfeksi.
Beberapa agregat roset dapat saling berikatan dan juga berikatan dengan eritrosit
terinfeksi untuk membentuk giant roseting.
Roset terjadi karena eritrosit yang terinfeksi parasit mengekspresikan protein
tertentu seperti rosetin, HSP-1 dan yang terpenting PfEMP-1 untuk saling berikatan
dengan protein reseptor pada permukaan eritrost tak terinfeksi, yaitu complement
receptor 1 (CR1)/CD35, CD 36, atau glikoprotein golongan darah A atau B, heparan
sulfate like Glycosaminoglycans (HS-like GAG), untuk membentuk ikatan antara
eritrosit terinfeksi dengan beberapa eritrosit yang tak terinfeksi. Pada proses tersebut
diperlukan pula faktor serum dalam darah seperti Ig M, fibrinogen, albumin atau

11
protein lain, sedangkan mekanisme clumping masih belum jelas, diduga terjadi karena
ikatan antara PfEMP-1 dari eritrosit-eritrosit terinfeksi dengan molekul adhesi CD36
pada permukaan trombosit, membentuk gumpalan ikatan-ikatan diantara beberapa
eritrosit yang terinfeksi.
TOKSIN PARASIT
Eritrosit terinfeksi parasit yang pecah sewaku proses skizogoni mengeluarkan
berbagai toksin seperti glycosylphosphatidylinositols (GPI), hemozosin, atau mungkin
antigen parasit lain seperti MSP-1, MSP-2, RAP-1. Toksin tersebut akan merangsang
makrofag dan limfosit T-Helper menghasilkan sitokin proinflamasi (TNF-α, IL-1, IL-
6, IL-8, IL-12, IFN-ϒ) dalam jumlah banyak yang akan menimbulkan gangguan
metabolisme sel, sitokin tersebut juga dapat memicu enzim inducible nitric oxide
synthase (iNOS) pada sel endotel vaskular untuk menghasilkan nitrit oksid (NO).
Diduga sitokin dan NO dalam jumlah banyak dapat mengganggu fungsi sel serta
fungsi organ tertentu. Kadar sitokin proinflamasi dan NO yang tinggi juga akan
meningkatkan ekspresi molekul adhesi pada endotel sehingga akan meningkatkan
sitoadherens dan sekuesterasi parasit. Di duga pula, GPI yang berikatan dengan
reseptornya CD 14 yang selanjutnya mengaktifkan makrofag dan sistem imun lain
untuk menghasilkan sitokin proinflamasi.

PATAGONESA ANEMIA
Penyebab anemia bersifat multifaktoral dan kompleks, meliputi 2 hal utama, yaitu
penghancuran eritrosit baik yang terinfeksi atau tidak (hemolisis ) dan gangguan
produksi eritrosit dalam sumsum tulang (diseritropoesis).
Hemolisis dapat disebabkan oleh :
1. Rusaknya eritrosit sewaktu pelepasan merozoit
2. Penghancuran eritrosit terinfeksi maupun tidak terinfeksi oleh sistem
retikuloendotelial di limpa karena deformitas eritrosit yang menjadi kaku
sehingga tidak dapat melalui sinusoid limpa. Berkurangnya kemamuan
deformabilitas ni disebabkan oleh kegagalan pompa Na+ / K+ dengan akibat
akumulasi ion Na+ intraseluler. Kegagalan pompa Na+ / K+ diduga disebabkan
oleh oleh peningkatan kadar NO yang dipicu oleh sitokin.
3. Mekanisme imun (hemolitik imun). Pada mekanisme imun tersebut, baik
eritrosit yang terinfeksi maupun tidak terinfeksi akan diselubungi oleh antibodi
igG yang kemudian dihancurkan di dalam limpa. Mekanisme hemolisis juga

12
bisa disebabkan oleh produksi ROS yang berlebihan yang dapat merusak
membran sel eritrosit dan menimbulkan anemia.

Diseritropoesis mungkin diperantarai sitokin terutama, TNF dan IFN-ϒ yang dapat
mengganggu produksi eritrosit. Selain itu adanya migrating inhibitory factor (MIF)
yang menghambat produksi eritrosit melalui penghambatan pembentukan eritroid
(BFU-E, CFU-GEMM, CFU-GM). Selain itu, terdapat bukti bahwa sinusoid sumsum
tulang terisi oleh parasit yang mungkin dapat menyebabkan gangguan pembentukan
eritrosit.

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinik malaria tergantung pada imunitas penderita, tingginya


transmisi infeksi malaria. Berat/ ringannya infeksi dipengaruhi oleh jenis plasmodium
(P. Falciparum biasanya memberikan komplikasi), daerah asal infeksi (pola resistensi
terhadap pengobatan), umur (usia bayi dan usia lanjut biasanya lebih berat), ada
dugaan konstitusi genetik, keadaan kesehatan dan nutrisi, kemoprofilaksis dan
pengobatan sebelumnya. (Harijanto, P.N., 2010)
 Manifestasi Malaria Tanpa Komplikasi

Dikenal ada 4 jenis plasmodium yaitu, P. Vivax, merupakan infeksi yang


paling sering dan menyebabkan malaria tertiana/ vivax. P. Falciparum, memberikan
banyak komplikasi dan ganas, mudah resisten dengan pengobatan dan menyebabkan
malaria tropika/ falciparum. P. Malariae, cukup jarang dan menimbulkan sindroma
nefrotik dan menyebabkan malaria quartiana/ malariae dan P. Ovale memberikan
infeksi yang paling ringan dan serig sembuh spontan tanpa pengobatan, menyebabkan
malaria ovale. (Harijanto, P.N., 2010)

 Manifestasi Umum Malaria

Keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam berupa kelesuan,


malaise, sakit kepala, sakit belakang, dingin dipunggung, nyeri sendi dan tulang,
anoreksia, perut tak enak, diare ringan. Keluhan prodromal sering terjadi pada P.
Vivax dan P. Ovale, sedangkan pada P. Falciparum dan P. Malariae keluhan
prodromal tidak jelas bahkan gelaja dapat mendadak. (Harijanto, P.N., 2010)

13
Gejala klasik yaitu terjadinya “Trias Malaria” secara berurutan (Harijanto,
P.N., 2010):
1. Periode dingin (15-60 menit) : mulai menggigil, penderita sering membungkus
diri dengan selimut atau sarung dan pada saat menggigil sring seluruh badan
bergetar dan gigi-gigi saling terantuk, diikuti dengan meningkatnya temperatur.
2. Periode panas : penderita mukanya merah, nadi cepat dan panas badan tetap
tinggi beberapa jam, diikuti dengan berkeringat.
3. Periode berkeringat : penderita berkeringat banyak, temperatur turun dan
penderita merasa jauh lebih sehat.

Trias Malaria lebih sering terjadi pada infeksi P. Vivax, pada P. Falciparum
menggigil dapat lebih berat ataupun tidak ada. Periode tidak panas berlangsung 12
jam pada P. Falciparum, 36 jam pada P. Vivax dan Ovale, 60 jam pada P. Malariae.
(Harijanto, P.N., 2010)

Anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria. Beberapa
mekanisme terjadinya anemia adalah (Harijanto, P.N., 2010) :
1. pengerusakan eritrosit oleh parasit
2. hambatan eritropoesis sementara
3. hemolisis oleh karena complement mediated immune complex
4. eritrofagositosis
5. penghambatan pengeluaran retikulosit
6. dan pengaruh sitokin

Pembesaran limpa (splenomegali) sering dijumpai pada penderita malaria, limpa


akan teraba setelah 3 hari dari serangan infeksi akut, limpa menjadi bengkak, nyeri
dan hiperemis. Limpamerupakan organ yang penting dalam pertahanan tubuh
terhadap infeksi malaria, penelitian pada binatang percobaan limpa menghapuskan
eritrosit yang terinfeksi melalui perubahan metabolisme, antigenik dan relogical dari
eritrosit yang terinfeksi. (Harijanto, P.N., 2010)
Beberapa keadaan klinikdalam perjalanan infeksi malaria adalah (Harijanto, P.N.,
2010) :
1. Serangan primer : yaitu keadaan mulai dari akhir masa inkubasi dan terjadi
serangan paroksismal yang terdiri dari dingin/menggigil; panas dan berkeringat.

14
Serangan paroksismal ini dapat pendek atau panjang tergantung dari perbanyakan
parasit dan imunitas penderita
2. Periode laten : yaitu periode tanpa gejala dan tanpa parasitemia selama terjadinya
infeksi malaria. Biasanya terjadi diantara dua keadaan paroksismal.
3. Recrudescense : berulangnya gejala klinik dan parasitemia dalam masa 8 minggu
sesudah berakhirnya serangan primer. Recrudescense dapat terjadi berupa
berulangnya gejala klinik sesudah periode laten dari serangan primer.
4. Recurrence : yaitu berulangnya gejala klinik atau parasitemia setelah 24 minggu
berakhirnya gejala primer.
5. Relaps atau rechute : ialah berulangnya gejala klinik atau parasitemia yang lebih
lama dari waktu waktu diantara serangan periodik dari infeksi primer yaitu setelah
periode yang lama dari masa laten (sampai 5 tahun), biasanya terjadi karena infeksi
tidak sembuh atau oleh bentuk diluar eritrosit (hati) pada malaria vivaks/ ovale.

 Manifestasi Klinis Malaria Tertiana/ M. Vivax/ M. Benigna

Inkubasi 12-17 hari, kadang-kadang lebih panjang 12-20 hari. Pada hari-hari
pertama panas iregular, kadang-kadang remiten atau intermiten, pada saat itu perasaan
dingin dan menggigil jarang terjadi. Pada akhir minggu tipe panas menjadi intermiten
dan periodik setiap 48 jam dengan gejala klasik trias malaria. Serangan paroksismal
biasanya terjadi pada sore hari. (Harijanto, P.N., 2010)
Pada minggu kedua limpa mulai teraba. Parasitemia mulai menurun setelah 14
hari, limpa masih teraba membesar dan panas masih berlangsung, pada akhir minggu
kelima panas mulai menurun secara kritis. Malaria serebral jarang terjadi. Edema
tungkai disebabkan karena hipoalbuminemia. Mortalitas malaria vivaks lebih rendah
tetapi angka mortalitasnya tinggi karena mudah relaps atau rechute. Relaps sering
terjadi karena keluarnya bentuk hipnozoit yang tertinggal dihati saat status imune
turun. (Harijanto, P.N., 2010)
 Manifestasi Klinis Malaria Malariae / quartana

Penyebarannya tidak seluas P. Vivax dan P. Falciparum. Masa inkubasi 18-40


hari. Manifestasi klinis seperti pada P. Vivax hanya saja lebih ringan, anemia jarang
terjadi, splenomegali sering dijumpai walaupun pembesarannya ringan. Serangan
paroksismal sering terjadi selama 3-4 hari, biasanya pada waktu sore dan parasitemia
sangat rendah < 1 %. (Harijanto, P.N., 2010)

15
Komplikasi jarang terjadi, sindroma nefrotik dilaporkan pada
infeksiplasmodium malariae pada anak-anak Afrika. Komplikasi ginjal diduga karena
deposit kompleks immune pada glomerrolus ginjal. Hal ini terbukti dengan adanya
peningkatan Ig M bersama peningkatan titer antibodinya. Pada pemeriksaan dapat
dijumpai edema, asites, proteinemia yang banyak, hipoproteinaemia, tanpa uremia
dan hipertensi. Keadaan ini prognosisnya jelek, respon pengobatan terhadap malaria
tidak menolong, diet dengan kurang garam dan tinggi protein, dan diuretik boleh
dicoba, steroid tidak berguna. Pengobatan dengan azatioprin dengan dosis 2-2,5
mg/kg BB selama 12 bulan tampak memberikan hasil yang baik. Recrudescense
sering terjadi pada plasmodium malariae, parasit dapat bertahan lama dalam darah
perifer, sedangkan bentuk diluar eritrosit (dihati) tidak terjadi pada P.malariae.
(Harijanto, P.N., 2010)
 Manifestasi Klinis Malaria Ovale

Merupakan bentuk paling ringan dari semua jenis Malaria. Masa inkubasi 11-
16 hari, serangan paroksismal 3-4 hari terjadi malam hari dan jarang lebih dari 10 kali
walaupun tanpa terapi. Apabila terjadi infeksi campuran dengan plasmodium lain,
maka P,. Ovale tidak tampak pada darah tepi, tetapi plasmodium lain yang tampak .
gejala klinis hampir sama dengan malaria vivaks, lebih ringan, puncak panas lebih
rendah dan perlangsungan lebih pendek, dan dapat sembuh spontan tanpa pengobatan.
Serangan mengigil jarang terjadi dan splenomegali jarang sampai dapat diraba.
(Harijanto, P.N., 2010)
 Manifestasi Klinis Malaria Tropika/ M. Falciparum

Malaria tropika merupakan malaria yang paling berat, ditandai dengan panas
yang ireguler, anemia, splenomegali, parasitemia sering dijumpai, dans ering terjadi
komplikasi. Masa inkubasi 9-14 hari. Malaria jenis ini memiliki perlangsungan yang
cepat dan parasitemia yang tinggi menyerang seluruh eritrosit. Gejala prodromal yang
sering dijumpai yaitu sakit kepala, nyeri belakang/ tungkai, lesu, perasaan dingin,
mual, muntah, dan diare. Panas biasanya ireguler dan tidak periodik, sering terjadi
hiperpireksia dengan temperatur diatas 40 derajat celcius. Parasit sulit ditemukan pada
penderita dengan pengobatan supresif. Apabila infeksi memberat nadi cepat, nausea,
muntah, diare dengan diikuti kelainan paru-paru (batuk). Splenomegali lebih sering
dijumpai dari pada hepatomegalidan nyeri pada perabaan; hati membesar dapat
disertai dengan ikterus. Kelainan urin dapat berupa albuminemia, hialin, dan kristal

16
yang granuler. Anemia lebih menonjol dengan leukjopenia dan monositosis.
(Harijanto, P.N., 2010)

DIAGNOSIS MALARIA

Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya berdasarkan


anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Diagnosis pasti infeksi malaria
dilakukan dengan menemukan parasit dalam darah yang diperiksa dengan mikroskop.
Peranan diagnosis laboratorium terutama untuk menunjang penanganan klinis.
(Depkes RI, 2008)

1. Anamnesis

Pada anamnesis sangat penting diperhatikan:


a. Keluhan utama: demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala,
mual, muntah, diare, nyeri otot dan pegal-pegal.
b. Riwayat berkunjung dan bermalam 1-4 minggu yang lalu ke daerah endemik
malaria.
c. Riwayat tinggal di daerah endemik malaria.
d. Riwayat sakit malaria.
e. Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir.
f. Riwayat mendapat transfusi darah.
Selain hal diatas pada penderita tersangka malaria berat, dapat ditemukan
keadaan berupa gangguan kesadaran dalam berbagai derajat, keadaan umum yang
lemah, kejang-kejang, panas sangat tinggi, mata atau tubuh kuning, perdarahan
hidung, gusi, atau saluran pencernaan. Pada penderita malaria berat sering ditemukan
nafas cepat dan atau sesak nafas, muntah terus-menerus dan tidak dapat makan
minum, warna air seni seperti teh tua dan dapat sampai kehitaman, jumlah air seni
kurang (oliguria) sampai tidak ada (anuria). (Depkes RI, 2008)

2. Pemeriksaaan Fisik :

a. Demam (T ≥ 37,5°C).
b. Konjungtiva atau telapak tangan pucat.
c. Pembesaran limpa (splenomegali).

17
d. Pembesaran hati (hepatomegali).
(Depkes RI, 2008)

3. Pemeriksaan Laboratorium
1. Tetesan preparat darah tebal
Cara ini adalah cara terbaik untuk menemukan parasit malaria. Pemeriksaan
dilakukan selama 5 menit dan dinyatakan negatif bila setelah pemeriksaan 100
lapangan pandang dengan perbesaran kuat 700-1000 kali tidak ditemukan
parasit. Cara ini terutama digunakkan untuk menilai kepadatan parasit dengan
intepretasi sebagai berikut:
+ : 1-10 parasit per 100 lapangan pandang
++ : 11-100 parasit per 100 lapangan pandang
+++ : 1-10 parasit per satu lapang pandang
++++ : 11-100 parasit per satu lapang pandang
(Depkes RI, 2008)
Selain itu dapat juga dilakukan hitung parasit dengan rumus sebagai berikut:
Jumlah parasit stadium aseksual x jumlah leukosit/μl
200
(Depkes RI, 2008)

2. Tetesan darah tipis


Pemeriksaan ini digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium. Hitung
jumlah parasit dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
Jumlah parasit stadium aseksual x jumlah eritrosit/μl
total eritrosit dalam 25 lapangan pandang
Bila jumlah parasit >100.000/ul darah menandakan infeksi berat.
(Depkes RI, 2008)

3. Tes antigen : P-F test


Tes ini berguna untuk mendeteksi antigen dari plasmodium falciparum
(Histidin Rich Protein II). Selain itu juga ada deteksi untuk P. Vivax dengan
mendeteksi laktat dehidrogenase dari plasmodium dengan cara
immunochromatographi. (Harijanto, 2009)
4. Tes serologi

18
Tes ini berguna untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap malaria
atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Manfaat tes serologi
terutama untuk penelitian epidemiologi atau alat uji saring donor darah. Titer
> 1:2000 dianggap sebagai infeksi baru, dan tes > 1:20 dinyatakan positif.
(Harijanto, 2009)

5. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)


Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan teknologi amplifikasi DNA,
waktu dipakai cukup cepat dan sensitivitas maupun spesifisitasnya tinggi.
Keunggulan tes ini adalah dapat mendeteksi parasit dalam jumlah minimal,
tetapi pemeriksaan PCR belum dipakai sebagai alat pemeriksaan rutin.
(Harijanto, 2009)

PENANGANAN MALARIA
Penanganan Malaria Tanpa Komplikasi
Prinsip pengobatan malaria :
1. Penderita tergolong malaria tanpa komplikasi diobati dengan ACT
(Artemisinin base Combination Therapy)
2. Penderita malaria berat diobati dengan Artesunate intra venous
3. Pemberian pengobatan dengan ACT harus berdasarkan hasil pemeriksaan
darah mikroskopik positif atau RDT yang positif
4. Pengobatan harus radikal dengan penambahan primakuin
(Ilmu Penyakit Dalam, 2014)
Pengobatan Malaria
Secara global WHO telah menetapkan pengobatan malaria tanpa komplikasi dengan
memakai obat ACT (Artemisinin base Combination Therapy). Golongan artemisinin
(ART) telah dipilih sebagai obat utama karena efektif dalam mengatasi plasmodium
yang resisten dengan pengobatan. Selain itu artemisinin juga bekerja membunuh
plasmodium dalam semua stadium termasuk gametosit. Juga efektif terhadap semua
spesies, P. Falciparum, P. Vivax, maupun lainnya. Kegagalan dini terhadap ART
belum dilaporkan saat ini.
Golongan Artemisinin : Berasal dari tanaman Artemisia annua. L yang disebut
dalam bahasa Cina sebagai Qinghaosu. Obat ini termasuk kelompok seskuisterpen
lakton mempunyai beberapa formula seperti : artemisinin, artemeter, arte-eter,

19
artesunat, asam artelinik dan dihidroartemisinin. Obat ini bekerja sangat cepat dengan
paruh waktu kira-kira 2 jam, larut dalam air, bekerja sebagai obat sizontocidal darah.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemakaian artemisinin sebagai obat
tunggal menimbulkan terjadinya rekrudensi, maka direkomendasikan untuk dipakai
dengan kombinasi obat lain. Dengan demikian juga akan memperpendek lama
pemakaian obat. Obat ini cepat diubah dalam bentuk aktifnya (dihidroartemisinin) dan
penyediaan ada yang oral, perenteral/injeksi, dan suppositoria. (Ilmu Penyakit Dalam,
2014)

PENGOBATAN ACT (ARTEMISININ BASE COMBINATION THERAPY)


Penggunaan golongan artemisinin secara monoterapi mudah mengakibatkan
terjadinya rekrudensi. Karenanya WHO memberikan petunjuk penggunaan
artemisinin dengan mengkombinasikan dengan obat anti malaria yang lain. Hal ini
disebut Artemisinin base Combination Therapy (ACT). Kombinasi obat ini dapat
berupa kombinasi dosis tetap (fixed dose combination = FDC) atau kombinasi tidak
tetap (non-fixed dose combination). Sampai dengan tahun 2010 WHO telah
merekomendasikan 5 jenis ACT, yaitu :
1. Artemether + Lumefantrine (FDC)
2. Artesunate + Mefloquine
3. Artesunate + Amodiaqine
4. Artesunate + sulfadoksin-pirimetamine
5. Dihidroartemisinin + Piperakuine (FDC)

ACT merupakan kombinasi pengobatan yang unik, karena artemisinin memiliki


kemampuan :
 Menurunkan biomass parasite dengan cepat
 Menghilangkan simptom dengan cepat
 Efectif terhadap parasit multi-drug resisten, semua bentuk/stadium parasit dari
bentuk muda sampai tua yang berkuestrasi pada pembuluh kapiler.
 Menurunkan pembawa gamet, menghambat transmisi
 Belum ada resistensi terhadap artemisinin
 Efek samping yang minimal

20
Dari kombinasi di atas yang tersedia di Indonesia saat ini ialah kombinasi
artesunate + amodiakuin dengan nama dagang “Artesdiaquine” atau “Arsuamoon”,
tiap tablet artesunate berisi 50 mg dan tiap tablet amodiakuin berisi 200 mg. Di dalam
kemasan blister terdiri dari 4 tablet artesunate (warna putih) dan 4 tablet amodiakuin
(warna kuning). Pada dosis orang dewasa dengan BB diatas 50 kg diberikan dosis
pengobatan hari I sampai dengan hari ketiga masing-masing minum 8 tablet yang
terdiri dari 4 tablet artesunate dan 4 tablet amodiakuin. Pengobatan ACT saat ini
memakai dosis pemberian selama 3 hari.
ACT yang ke-2 ialah kombinasi dihydroartemisinin + piperakuin (DHP), dengan
nama dagang “Arterekin” atau “Darplex” atau “Artekin” atau “Artep”, merupakan
kombinasi dosis tetap (FDC) dimana tiap tablet terdiri dari dihidroartemisinin 40 mg
dan piperakuin 320 mg. Pada orang dewasa diatas 50 kg diberikan dosis 4 tablet/hari
selama 3 hari. Kedua kombinasi ACT ini tersedia di semua fasilitas kesehatan
pemerintah karena merupakan obat program pada eliminasi malaria.
ACT yang ke-3 ialah kombinasi dosis tetap (FDC) dimana tiap tablet terdiri dari
artemeter 20 mg dan lumefantrine 120 mg, nama dagangnya ialah “Coartem”. Dosis
orang dewasa diatas 50 kg ialah 4 tablet, 2x sehari selama 3 hari. Kombinasi ini
tersedia di Indonesia bukan sebagai obat program tetapi tersedia untuk fasilitas swasta
(tersedia di Apotek) dan juga termasuk obat dalam daftar ASKES. (Ilmu Penyakit
Dalam, 2014)
Pengobatan Lini Pertama Malaria Falsiparum Menurut Kelompok Umur dengan
Artesunat-Amodiaquin
Jumlah tablet per hari menurut kelompok umur
0-1 2 - 11 1-4 5-9 10 - 14 > 15
Hari Jenis obat bulan bulan tahun tahun tahun tahun
0 - 4 kg 4 - 10 kg 10 - 20 20 – 40 40 – 60 > 60 kg
kg kg kg
1 Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ 1 2 3 4
Primakuin - - ¾ 1½ 2 2–3
2 Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4
3 Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin basa = 10 mg/kgBB dan Artesunat = 4 mg/kgBB.
Primakuin = 0,75 mg/kgBB
(Ilmu Penyakit Dalam, 2014)

21
Pengobatan Lini Pertama Malaria Falsiparum Menurut Kelompok Umur
dengan Dihydro-Artemisinin + Piperaquin (Dhp)
Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
0-1 2 - 11 1-4 5-9 10 - 14 > 15
Jenis
Hari bulan bulan tahun tahun tahun tahun
obat 0 - 5 kg 6 - 10 11 - 17 18 - 30 31 - 60 > 61 kg
kg kg kg kg
1 DHP ¼ ½ 1 1,5 2 3–4
Primakuin - - ¾ 1½ 2 2–3
2-3 DHP ¼ ½ 1 1,5 2 3–4
Dosis obat : Dihydroartemisinin = 2 – 4 mg/kgBB
Piperaquin = 16 – 32 mg/kgBB
Primakuin = 0,75 mg/kgBB
(Ilmu Penyakit Dalam, 2014)
A. Dosis penggunaan artemeter-lumefantrine (A-L) untuk Malaria
Falsiparum
Jenis obat Umur < 3 tahun >3-8 > 9 - 14 > 14
tahun tahun tahun
Hari Berat
15 – 24 25 – 34
Badan Jam 5 – 14 kg > 34 kg
kg kg
(Kg)
1 A-L 0 jam 1 2 3 4
A-L 8 jam 1 2 3 4
Primakuin 12 jam ¾ 1½ 2 2–3
2 A-L 24 jam 1 2 3 4
A-L 36 jam 1 2 3 4
3 A-L 48 jam 1 2 3 4
A–L 60 jam 1 2 3 4

B. Pengobatan malaria Vivaks dengan Dihydroartemisinin + Piperaquin


(DHP)
Jumlah teblet perhari menurut kelompok umur
0-1 2 - 11 1-4 5–9 10 – 14 > 15
Jenis
Hari bulan bulan tahun tahun tahun tahun
obat 0 – 5 kg 6 – 10 11 – 17 18 – 30 31 – 60 > 60 kg
kg kg kg kg
1-3 DHP ¼ ½ 1 1,5 2 3–4
1 - 14 Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
(Ilmu Penyakit Dalam, 2014)
Klasifikasi Respons Pengobatan Menurut WHO 2001, 2003, 2009

22
Respons Keterangan
Kegagalan Pengobatan Bila penderita berkembang dengan salah satu
Dini (ETF = Early keadaan :
Treatment Failure) Ada tanda bahaya/malaria berat pada H1, H2, H3, dan
parasitemia.
Parasitemia pada H2 > H0.
Parasitemia pada H3 > = 25 % H0.
Parasitemia pada H3 dengan Temp. > 37,50C
Kegagalan Pengobatan Bila penderita berkembang dengan salah satu keadaan
Kasep sbb pada H4-H28 yang sebelumnya tidak ada
(LTF = Late Treatment persaratan ETF sbb:
Failure) Ada tanda/bahaya malaria berat setelah H3 dan
parasitemia (jenis parasit = H0).
Parasitemia pada H4-H28 (H42) disertai temperatur >
37,50C (disebut Late Clinical Failure = LCF)
Parasitemia pada H7 – H28 (H42) (jenis parasit = H0),
tanpa demam disebut Late Parasitological Failure
(LPF)
Respon Klinis Memadai Bila penderita sebelumnya tidak berkembang dengan
(ACR = Appropriate salah satu persaratan ETF dan LTF, dan tidak ada
Clinical Respon) parasitemia selama diikuti sampai H28 (H42).
(Ilmu Penyakit Dalam, 2014)

PENGOBATAN NON-ACT
Di beberapa daerah di Indonesia, kebanyakan sudah resisten terhadap pengobatan
non-ACT. Namun, masih ada obat non-ACT yang efektif digunakan di beberapa
daerah, seperti klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin, namun harus dengan
monitoring yang tepat. Obat-obat non-ACT yang digunakan meliputi (Sudoyo, Aru
W., 2010) :
1. Klorokuin difosfat/sulfat. 250 mg garam (150 mg basa), dosis 25 mg basa/kgBB
untuk 3 hari, terbagi menjadi 10 mg/kgBB untuk hari pertama dan kedua,
dilanjutkan 5 mg/kgBB untuk hari ketiga. Untuk orang dewasa dapat dipakai 4
tablet untuk hari pertama dan kedua, dan 2 tablet untuk hari ketiga. Obat ini
efektif untuk P.falciparum dan P.vivax.

23
2. Sulfadoksin-Pirimetamin. Mengandung 500 mg Sulfadoksin dan 25 mg
pirimetamin. Dosis untuk orang dewasa 3 tablet dosis tunggal (1 kali). Dosis anak
menggunakan takaran pirimetamin 1,25 mg/kgBB. Obat ini dipakai untuk
P.falciparum dan tidak efektif untuk P.vivax. Obat ini dipakai bila terjadi
kegagalan dalam penggunaan klorokuin.
3. Kina Sulfat. 1 tablet mengandung 220 mg kina. Dosis yang dianjurkan adalah 3 x
10 mg/kgBB elam 7 hari. Efektif untuk P.falciparum dan P.vivax. Kina
digunakan jika terjadi kegagalan dalam penggunaan klorokuin dan sulfadoksin-
pirimetamin.
4. Primakuin. 1 tablet mengandung 15 mg primakuin. Digunakan sebagai obat
pelengkap terhadap pengobatan P.vivax dan P.falciparum. Pada P.falciparum
dosisnya 45 mg (3 tablet) dosis tunggal untuk membunuh gametosit, sedangkan
untuk plasmodium vivax dosisnya 15 mg/hari selama 14 hari untuk membunuh
gametosit dan hipnozoit (anti-relaps).

PENGOBATAN KOMBINASI NON-ACT


Apabila resistensi masih rendah dan belum terjadi multiresistensi, belum
tersedianya golongan obat artemisinin, dapat digunakan obat non-ACT kombinasi.
Bbeberapa kombinasi yang dapat digunakan adalah sebagai berikut (Sudoyo, Aru W.,
2010) :
- Klorokuin + sulfadoksin-pirimetamin
- Sulfadoksin-pirimetamin + kina
- Klorokuin + doksisiklin
- Klorokuin + tetrasiklin
- Sulfadoksin-pirimetamin + doksisiklin
- Sulfadoksin-pirimetamin + tetrasiklin
- Kina + doksisiklin
- Kina + tetrasiklin
- Kina + klindamisin

Pemakain obat-obat di atas harus selalu dimonitoring dengan tepat agar dapat
mencegah resistensi yang luas. (Sudoyo, Aru W., 2010)
Untuk Plasmodium Falciparum :
- Lini I : Artesunat + Amodiakin (Ilmu Penyakit Dalam, 2011)

24
Artesunat 50 mg per tablet dan Amodiakin 200 mg per tablet selama 3
hari.
4 mg/ kgBB/ hari untuk srtesunat dan 10 mg/kgBB/hari untuk
amodiakin.
- Lini II : Kina + Deoxiciklin/tetrasiklin/kindalin.
Tablet kina yang beredar di Indonesia sekarang mengandung 200 mg kina
fosfat atau sulfat. Kina diberikan secara per-oral, 3 kali sehari dengan dosis 10
mb/kgbb/kali selama 7 hari. (Ilmu Penyakit Dalam, 2011)

Untuk Plasmodium Vivax dan Plasmodium Ovale :


- Lini I : Artesunat + Amodiakin
Artesunat 50 mg per tablet dan Amodiakin 200 mg per tablet selama 3
hari.
4 mg/ kgBB/ hari untuk srtesunat dan 10 mg/kgBB/hari untuk
amodiakin. (Ilmu Penyakit Dalam, 2011)
- Lini II : Kina + Primakuin
Dosis primakuin adalah 0,25 mg/kgbb/hari yang diberikan selama 14 hari.
Tablet kina yang beredar di Indonesia sekarang mengandung 200 mg kina fosfat
atau sulfat. Kina diberikan secara per-oral, 3 kali sehari dengan dosis 10
mb/kgbb/kali selama 7 hari. (Ilmu Penyakit Dalam, 2011)

Untuk Plasmodium Malariae :


- Pengobatan malaria malariae cukup diberikan ACT 1 kali per hari selama 3 hari
dengan dosis yang sama dengan pengobatan malaria lainnya. (Ilmu Penyakit
Dalam, 2011)

PENCEGAHAN MALARIA

Untuk mengatasi penyakit malaria, yang harus dilakukan adalah memutuskan


mata rantai penularan penyakit. Oleh karena itu, untuk memutuskan mata rantai
penularan penyakit harus memutuskan hubungan antara ketiga faktor penyebab
penyakit (agent, host, dan enviroment ). (Harjanto,Malaria)

25
1. Untuk melenyapkan faktor penyebab agent berkembang biak, maka harus
melenyapkan tempat hidup agent yaitu nyamuk Anopheles, dan membunuh
kuman yang ada dalam tubuh manusia dengan cara pengobatan. Upaya yang
dilakukan adalah penemuan dan pengobatan penderita malaria.
2. Untuk melenyapkan nyamuk anopheles, maka harus membunuh nyamuk
anopheles dengan penyemprotan nyamuk, dan melenyapkan tempat perindukan
nyamuk.
3. Lingkungan tempat perindukan nyamuk harus dilenyapkan dengan cara tidak
membiarkan adanya genangan-genagan air di lingkungan manusia.
4. Untuk mencegah nyamuk menggigit manusia, maka diupayakan dengan tidur
memakai kelambu, memakai lation anti nyamuk, dll. (Harjanto,Malaria)

Dapat dilakukan dengan :

A. Menghindari gigitan nyamuk Anopheles

Yang perlu dilakukan :

1. Mengaktifkan obat nyamuk : bakar, spray, elektrik;


2. Memakai kelambu
3. Memakai pakaian yang dapat menutupi badan, dari mata kaki hingga
pergelangan tangan;
4. Mengolesi badan dengan obat anti nyamuk
5. Memasang kawat kasa
6. Menjauhkan kandang ternak dari rumah
7. Menghindari berada diluar rumah pada malam hari. (Harjanto,Malaria)

B. Membersihkan tempat hinggap/peristirahatan nyamuk Anopheles

Yang perlu dilakukan :

1. Membersihkan semak-semak;
2. Melipat kain-kain yang bergantungan;
3. Membuka jendela dan memasang genteng kaca;
4. Mengecat rumah dengan warna terang. (Harjanto,Malaria)

26
C. Meniadakan tempat perkembangbiakan nyamuk Anopheles

Yang perlu dilakukan :

1. Mengalirkan air tergenang;


2. Menimbun lubang/kubangan/cekungan tanah yang dapat menampung air;
3. Membersihkan lumut di daerah lagun;
4. Membersihkan sampah (misalnya dedaunan) yang ada di air;
5. Mengatur rotasi pola tanam sawah (misalnya padi dan palawija)
6. Tidak melakukan penambangan liar yang menyebabkan adanya genangan liar
yang tidak terpelihara. (Harjanto,Malaria)
D. Kemoprofilaksis perlu diketahui sensitivitas plasmodium di tempat tujuan
Yang perlu dilakukan :
1. Bila daerah dengan klorokuin sensitive cukup profilaksis dengan 2 tablet
klorokuin (250mg klorokuin diphospat) tiap minggu sebelum berangkat dan 4
minggu setelah kembali.
2. Pada daerah resistensi dengan klorokuin dianjurkan dosisiklin 100mg/hari atau
mefloquin 250mg/minggu atau klorokuin 2 tablet/minggu ditambah proguanil
200mg/hari. Obat paru yang dipakaiuntuk pencegahan yaitu primakuin dosis
0,5mg/kg BB/hari; etaquin, atovaquone/proguanil (malarone) dan azitromycin.
(Harjanto,Malaria)

VAKSINASI MALARIA
Vaksinasi terhadap malaria masih tetap dalam pengembangan. Hal yang
menyulitkan ialah banyaknya antigen yang terdapat pada plasmodium selain pada
masing-masing bentuk stadium pada daur plasmodium. Oleh karena yang berbahaya
adalah P. falciparum sekarang baru ditujukan pada pembuatan vaksin untuk proteksi
terhadap P. falciparum. Pada dasarnya ada 3 jenis vaksin yang dikembangkan, yaitu
vaksin sporozoit (bentuk intrahepatik), vaksin terhadap bentuk aseksual dan vaksin
transmission blocking untuk melawan bentuk gametosit. Vaksin bentuk aseksual yang
pernah dicoba ialah SPF66 atau yang dikenal sebagai vaksin Patarroyo, yang pada
penelitian akhir-akhir ini tidak dapat dibuktikan manfaatnya. Vaksin sporozoit
bertujuan mencegah sporozoit menginfeksi sel hati sehingga diharapkan infeksi tidak
terjadi. Vaksin ini dikembangkan melalui ditemukannya antigen circumsporozoit. Uji

27
coba pada manusia tampaknya memberikan perlindungan yang bermanfaat, walaupun
demikian uji lapangan sedang dalam persiapan. HOFFMAN berpendapat bahwa
vaksin yang ideal ialah vaksin yang multi-stage (sporozoit, aseksual), multivalent
(terdiri dari beberapa antigen) sehingga memberikan respon multi-imun. Vaksin ini
dengan teknologi DNA akan diharapkan memberikan respons terbaik dan harga yang
kurang mahal.
(Ilmu Penyakit Dalam, 2014)

PROGNOSIS MALARIA
Prognosis malaria yang disebabkan oleh P. vivax pada umumnya baik, tidak
menyebabkan kematian, walaupun apabila tidak diobati infeksi rata-rata dapat
berlangsung sampai 3 bulan atau lebih lama oleh karena mempunyai sifat relaps,
sedangkan P. Malariae dapat berlangsung sangat lama dengan kecenderungan relaps,
pernah dilaporkan sampai 30-50 tahun. Infeksi P. falciparum tanpa penyulit
berlangsung sampai satu tahun. Infeksi P. falciparum dengan penyulit prognosis
menjadi buruk, apabila tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat bahkan dapat
meninggal terutama pada gizi buruk.(8,11) (Harjanto, Malaria)
WHO mengemukakan indikator prognosis buruk apabila :
- Indikator klinis:
a. Umur 3 tahun atau kurang
b. Koma yang berat
c. Kejang berulang
d. Refleks kornea negatif
e. Deserebrasi
f. Dijumpai disfungsi organ (gagal ginjal, edema paru)
g. Terdapat perdarahan retina
- Indikator laboratorium:
a. Hiperparasitemia (>250.000/ml atau >5%)
b. Skizontemia dalam darah perifer
c. Leukositosis
d. PCV ("packed cell volume") <20 %
e. Glukosa darah <40 mg/dl
f. Ureum >60 mg/dl
g. Glukosa likuor serebrospinalis rendah

28
h. Kreatinin > 3,0 mg/dl
i. Laktat likuor serebrospinalis meningkat
j. SGOT meningkat > 3 kali normal
k. Antitrombin rendah
l. Peningkatan kadar plasma 5’-nukleotidase (Harjanto, Malaria)

KOMPLIKASI MALARIA
1. Malaria Serebral
Terjadi kira-kira 2% kasus dan salah satu penyebab kematian pada malaria berat,
meliputi 10% dari penderita malaria falsiparum berat dirawat di RS. Malaria serebral
sering dijumpai pula didaerah endemik seperti di Jepara (Jawa Tengah), Sulawesi
Utara, Maluku, dan Irian Jaya. Secara sporadik juga ditemui pada beberapa kota besar
di Indonesia umumnya sebagai kasus impor. Penelitian di Minahasa mortalitasnya
sampai 30,5%.
Pada penelitian 235 penderita malaria serebral (1983-1998) dijumpai 41% dengan
hiperbilirubinema, 26% dengan kreatinemia dan 10,7% dengan hipoglikemia.
Mortalitas penderita malaria serebral dengan 3 kegagalan organ 88,9%, dengan 2
gagal organ 47,6% dan hanya 1 gagal organ (serebral saja) 10,5%.
Malaria serebral merupakan keadaan gawat darurat yang harus segera ditangani.
Sebagian penderita terjadi gangguan kesadaran yang lebih ringan seperti apatis,
somnolen, delirium dan perubahan tingkah laku. Kelainan neurologik pada orang
dewasa berupa kejang di Thailand dilaporkan 20-50%, di Indonesia lebih jarang.
Retraksi leher dan hilangnya fleksibilitas leher dapat terjadi, tetapi kaku kuduk dan
photophobia tidak pernah terjadi pada malaria serebral. Reaksi pupil normal.,
funduskopi normal atau dapat terjadi perdarahan retina 6-35 % kasus.
Papil edema jarang. Mata deviasi kesatu arah dilaporkan pada kasus di Afrika.4
Gejala sisa (sequele) sering dijumpai (khususnya bila terjadi hipoglikemia), yang
sering terjadi ialah hemiplegia, kebutaan kortikal, ataxia, perubahan tingkah laku dan
gejala neurologik fokal. Pada penelitian Richie dkk di Minahasa tahun 1998 yang
meliputi 52 kasus adalah malaria cerebral yang terdiri dari 25 penderita (48%) dengan
GCS 3-8 mortalitasnya 28%, 27 penderita (52%) dengan GCS 3-8 mortalitasnya
67%.4
2. Gagal ginjal akut (GGA)

29
Kelainan fungsi ginjal sering terjadi pada penderita malaria dewasa. Mortalitas dapat
mencapai 45% pada malaria berat dibanding 10% tanpa kelainan fungsi ginjal. Data
dari Minahasa, Sulawesi Utara diantara 132 kasus malaria berat, kelainan fungsi
ginjal yaitu 30 kasus (22%) dengan kreatinin >3 mg% dan 21 kasus (16%) dengan
kreatinin 2-3 mg%. ureum berkisar 93-513 mg% dan kreatinin bervariasi 3,13-19,4
mg%.Kelainan fungsi ginjal dapat terjadi pre-renal karena dehidrasi (>50%) dan
hanya 5-10% disebabkan nekrosis tubulus akut. Gangguan ginjal diduga di sebabkan
adanya anoksia karena penurunan filtrasi pada glomerulus. Beberapa faktor resiko
yang mempermudah terjadinya GGA ialah hiperparasitemia, hipotensi, ikterus,
hemoglobinuria. Apabila oliguria tidak segera ditangani, akan terjadi anuria. Akibat
gagal ginjal akut dapat terjadi metabolik asidosis, hiperurisemia. Pada tahap akhir
dijumpai tanda uremia, perdarahan kulit dan gastro-intestinal, dan septisemia.
Penanganan penderita dengan kelainan fungsi ginjal di Minahasa tanpa dialisis
memberikan mortalitas 48%.
3. Kelainan Hati (Malaria Biliosa)
Jaundice atau ikterus sering dijumpai pada infeksi malaria falsiparum. Pada Penelitian
di Minahasa pada 109 penderita malaria berat, kadar bilirubin tertinggi ialah 36,4 mg
%. dijumpai 28 penderita (25%) mortalitasnya 11%, bilirubin 1,2mg%-2 mg%
dijumpai pada 17 penderita (16%) mortalitas 17%, bilirubin >2mg%-3mg% pada 13
penderita (12%) dengan mortalitas 29% serta bilirubin >3mg% dijumpai pada 51
penderita (46%) dengan mortalitas 33%.
Terjadi penurunan aliran darah ke hepar, dan akan kembali normal pada fase
penyembuhan. Mungkin ini disebabkan karena sekuestrasi dan sitoadheren yang
menyebabkan obstruksi mikro-vaskuler.
4. Hipoglikemi
Hipoglikemi dilaporkan sebagai keadaan terminal pada binatang dengan malaria
berat. Hal ini disebabkan karena kebutuhan metabolik dari parasit telah menghabiskan
cadangan glikogen dalam hati. Pada orang dewasa sering berhubungan dengan
pengobatan kina. Hipoglikemi juga sering pada wanita hamil khususnya pada
primipara.
Hipoglikemia dapat tanpa gejala pada penderita dengan keadaan umum yang berat
ataupun penurunan kesadaran. Penyebab terjadinya hipoglikemi yang paling sering
ialah karena pemberian terapi kina (dapat terjadi 3 jam setelah infus kina).

30
Penyebab lainnya ialah kegagalan glukoneogenesis pada penderita dengan ikterik,
hiperparasitemia oleh karena parasit mengkonsumsi karbohidrat, dan karena TNF alfa
yang meningkat.
Gejala hipoglikemia dapat terjadi karena sekresi adrenalin berlebihan dan akibat
disfungsi susunan saraf pusat (SSP). Gejala akibat sekresi adrenalin berupa pusing,
nyeri kepala, pandangan mata gelap, kebingungan, kejang dan gangguan/penurunan
kesadaran.
Gejala hipoglikemia sering tidak terdeteksi dan gula darah dapat sampai dibawah 5mg
% bahkan 0 mg%.Pada penderita dengan malaria cerebral di Thailand dilaporkan
adanya hipoglikemi sebanyak 12,5%, sedangkan di Minahasa insiden hipoglikemia
berkisar 17,4%-21,8%. Hipoglikemia kadang-kadang sulit diobati dengan cara
konvensional, karena hipoglikemianya persisten karena hiperinsulinemia akibat kina.
Mortalitas hipoglikemia pada malaria berat di Minahasa ialah 45%, terdapat
perbaikan dibandingkan studi oleh Hoffman di Irian Jaya dengan mortalitas 75%.
5. Malaria Haemoglobinuri (Blackwater Fever)
Adalah suatu sindrom dengan gejala karakteristik serangan akut, menggigil, demam,
hipotensi, hemolisis intravaskuler, homoglobinemi, hemoglobinuri dan gagal ginjal.
Dahulu dilaporkan terjadi sebagai komplikasi dari infeksi P.falciparum yang
berulang-ulang pada orang non-imun dengan pengobatan kina yang tidak teratur
untuk profilak maupun pengobatan. Parasit tidak dijumpai atau hanya sedikit.
Penderita biasanya mengeluh nyeri pinggang, muntah, diare, poliuria, diikuti oliguria
dengan kencing warna hitam. Pada pemeriksaan fisik dijumpai hepatosplenomegali,
anemia dan ikterik. Studi di Thailand menunjukkan 2 kelompok malaria dengan
hemoglobinuria: satu dengan difisiensi enzim G-6-PD yang memakai obat malaria
(khususnya primakuin), biasanya parasit tidak ditemukan; atau kelompok lain dengan
enzim G-6-PD normal dijumpai parasit falsiparum positif dengan manifestasi gagal
ginjal.
Tahun 1990 terdapat 21 kasus Blackwater Fever dari orang Eropa yang tinggal di
SubSahara Afrika, semua pasien dengan makroskopis hemoglobinuria, ikterik dan
anemia, gagal ginjal akut terjadi pada 15 pasien dan 7 orang diantaranya dilakukan
hemodialisa, perkiraan yang menyebabkan Blackwater Fever adalah Halotantrine,
kina dan meflokuin.
6.Malaria Algid

31
Adalah terjadinya syok vaskuler, ditandai dengan hipotensi (tekanan sistolik kurang
dari 70 mmHg), perubahan tahanan perifer dan berkurangnya perfusi jaringan.
Gambaran klinik berupa perasaan dingin dan basah pada kulit, temperatur rektal
tinggi, pernafasan dangkal, nadi cepat, tekanan darah turun. Parasitemia biasanya
padat dan sering dijumpai bentuk skizon.
Adanya hipotensi sering dihubungkan dengan terjadinya septisemia gram negatif,
karena kultur darah merupakan hal yang penting dilakukan. Selain itu perlu
dikesampingkan pengaruh kekurangan cairan (muntah, panas), edema paru, asidosis
metabolik, perdarahan gastro-intestinal dan efek dari pemberian obat malaria.
Hipotensi biasanya berespon dengan pemberian NaCI 0,9% dan obat inotropik
disamping pemberian obat malaria.
7. Edema Paru
Sering terjadi pada malaria dewasa dan jarang pada anak. Edema paru merupakan
komplikasi yang paling berat dari malaria tropika dan sering menyebabkan kematian.
Ada dua tipe edema paru yang dapat terjadi : pertama karena kelebihan cairan,
keadaan ini bila diketahui secepatnya dapat diobati dengan pemberian diuretika,
bentuk yang kedua ialah adult respiratory distress syndrome, pada keadaan ini tekanan
vena sentral normal dan pulmonary wedhe pressure menurun. Dahulu keadaan ini
diduga disebabkan karena peningkatan permeabilitas membran kapiler, terjadinya
emboli mikrovaskuler, koagulasi intravaskuler atau disfungsi mikrosirkulasi
pulmonal. Akhir-akhir ini diduga terjadinya edema paru disebabkan karena
peningkatan TNF-alfa.
Beberapa faktor yang memudahkan timbulnya edema paru ialah kelebihan cairan,
kehamilan / postpartum, malaria cerebral, hiperparasitemia, hipoglikemia, hipotensi,
asidosis dan uremia. Adanya peningkatam respirasi merupakan gejala awal, bila
frekuensi pernapasan > 35 x / menit prognosanya jelek.Tanpa pemeriksaan radiologik
yang baik sulit dibedakan dengan bronkhopneumonia akut ataupun edema paru akut.
Pada malaria sering terjadi takipnea yang dibedakan dengan pernafasan yang
pendek/dangkal, sedangkan pada edema paru atau asidosis pernafasan dalam dan
cepat.

32
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Malaria merupakan penyakit endemis yang dapat dihindari dan dapat
disembuhkan. Beberapa jenis plasmodium dan patogenesis terjadinya malaria
hingga menimbulkan manifestasi klinis atau gejala klinis dari penyakit malaria
dan sehingga dengan adanya laporan ini kita dapat mengetahui bagaimana
pengobatan serta pencegahan yang dapat dilakukan dalam menangani penyakit
malaria.
B. Saran
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik
dari segi diskusi kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu
kami mengharapkan kritik dan saran anda agar kami dapat menyempurnakan
makalah dan ilmu kami.

33
DAFTAR PUSTAKA

FKUI. 2011. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid I. Jakarta:
InternaPublishing.

FKUI. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid I. Jakarta:
InternaPublishing.

Harijanto, P.N., Gunawan, Carta A., Nugroho Agung. 2009. Malaria dari
Molekuler ke Klinis. Jakarta: EGC.

34

Anda mungkin juga menyukai