Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


PPOK merupakan penyakit yang terjadi kelainan paru sebagai respon inflamasi kronis
terhadap partikel yang berupa padat ataupun gas yang menyebabkan terjadinya hambatan jalan
nafas yang tidak sepenuhnya bisa reversibel dan bersifat progresif. Selain itu kelainan ini juga
memberi dampak gangguan di luar paru secara bermakna sehingga memperberat derajat penyakit.

Hambatan jalan nafas tersebut terjadi akibat obstruksi jalan nafas besar (obstructive
bronchitis) dan obstruksi salutran napas kecil disertai dengan destruksi parenkim (emfisema).
Proses inflamasi juga menyebabkan hilangnya alveolar attachment terhadap jalan nafas kecil dan
menurunnya elastic recoil paru sehingga kemampuan jalan nafas tetap membuka saat ekspirasi
menjadi terganggu.

Asma bronkial merupakan penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversible dimana
trakeobronkial berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Penyakit ini memiliki ciri
meningkatnya respon bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya
penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun
hasil dari pengobatan.

Oleh karena itu dibutuhkan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai penyakit Asma
Bronkial dan PPOK terutama penanganannya yang baik dan benar untuk penyakit tersebut.

1.2 Manfaat
1. Mempelajari dan memahami definisi, etiologi, patogenesa, manifestasi klinik, diagnosis,
komplikasi dan tatalaksana dari PPOK ( Penyakit Paru Obstruktsi Kronik).
2. Mempelajari dan memahami definisi, etiologi, patogenesa, manifestasi klinik, diagnosis,
komplikasi dan tatalaksana dari Asma Bronkial.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Skenario
SESAK
Pak Amat (60 th) seorang penyapu jalanan, dibawa ke UGD oleh keluarganya karena sesak
nafas yang berat. Sejak 1 minggu yang lalu Pak Amat menderita batuk kering disertai sesak nafas.
Keluhan batuk telah dideritanya sejak 3 tahun yang lalu. Kebiasaan merokok Pak Amat telah
dijalaninya sejak usia muda hingga saat ini. Dari hasil Pemeriksaan fisik didapatkan BB 45 kg, T:
140/80 mmHg, RR: 36x/menit, suara nafas menurun, wheezing +/+, ronki + dan ICS melebar. Hasil
foto thoraks: jantung tampak gambaran tear drops, paru tampak gambaran emfisema.
Riwayat batuk dan sesak sering timbul jika udara dingin dan terpapar debu.

2.2 STEP 1 | Identifikasi Istilah


1. Ronki: suara nafas tambahan, diskontinyu, singkat, meletup-letup saat inspirasi karena
obstruksi saluran napas, dan penumpukkan secret atau eksudat.
2. Wheezing: suara napas tinggi, biasanya da diakhir ekspirasi karena penyempitan suara
napas karena penymbatan pada saluran napas yang lebih kecil, disebut juga mengi.
3. Gambaran tear drop: jantung pendulum; gambaran dimana jantung terlihat menggantung
karena diafragma yang rendah
4. Gambaran emfisema: ada pelebaran duktus alveolus dan alveoli sampai terjadi dekstruksi
5. Batuk kering: batuk non produktif; tidak disertai dengan dahak

2.3 STEP 2 | Identifikasi Masalah


1. Kenapa Pak Amat mengalami batuk kering dan sesak napas?
2. Apa hubungan kebiasaan merokok, usia, pekerjaan, riwayat batuk dan sesak yang sering
timbul jika udara dingin dan paparan debu dengan keluhan yang dialami Pak Amat?
3. Apakah interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik dan penunang pada pak amat?
4. Apakah ada pemeriksaan lain untuk membantu diagnosis dari penyakit Pak Amat?
5. Apa kemungkinan diagnosis dari pak Amat?
6. Apakah penatalaksanaan yang dilakukan?
2.4 STEP 3 | Analisis Masalah
1. Batuk kering
Kebiasaan merokok pak Amat dapat menyebabkan hiperplasia epitel saluran napas dan
aktivitas mukosilia terganggu. Ditambah dengan pekerjaan pak Amat sebagai penyapu
jalanan yang sering terpapar debu dan polutan, karena kebiasaan merokoknya, sistem
pertahanan saluran napas menjadi menurun karena kerusakan epitel dan mukosilia, sehingga
sebagai respon dari paparan debu, terjadilah batuk.

Sesak napas
Karena debu dan polutan bisa terjadi inflamasi yang akhirnya menyebabkan obstruksi
saluran napas sehingga tubuh mengkompensasi dengan terjadinya sesak napas. Selain itu
bisa karena kebiasaan merokok, dimana rokok sendiri terdapat karbon monoksida yang daya
ikat dengan Hb lebih tinggi dibanding dengan oksigen, sehingga pasokan Oksigen menurun
dan terjadilah sesak napas.

2. Hubungan:
- Merokok: pada rokok terdapat zat-zat seperti Tar yang dapat mengiritasi saluran
pernapasan, mengubah epitel dari silindris menjadi pipih, mengiritasi ujung saraf
otonom sehingga menjadi lebih sensitive bahkan terhadap rangsangan ringan. merokok
juga dapat menyebabkan obstruksi saluran napas akibat inflamasi sehingga
menyebabkan sesak napas.
- Usia: sistem imun menurun, dan juga terjadi perubahan anatomi dari saluran napas
sehingga terjadi penurunan fungsi organ jadi resiko terjadinya sesak dan batuk lebih
tinggi
- Pekerjaan: pekerjaan pak Amat sebagai penyapu jalanan tentunya sering terpapar polusi
dan debu sehingga terjadi iritasi saluran napas dan iritasi ujung saraf otonom sehingga
lebih sensitive bahkan dengan rangsangan ringan
- Udara dingin: bisa karena alergi terhadap udara dingin menyebabkan hipersensitivitas
sehingga sesak napas.

3. Interpretasi:
- Tekanan darah : 140/80 mmHg (tinggi)
- Berat badan 45 kg (termasuk underweight tetapi tergantung dengan tinggi badannya)
- RR: 36 X/menit ( takipneu)
- Wheezing: ada penyempitan saluran napas
- Ronki: adanya secret pada saluran napas
- ICS melebar: daya pengembangan paru membesar akibat dari kompensasi, volume
paru membesar
- Jantung tear drop: salah satu gambaran emfisema, jantung menggantung karena
diafragma yang rendah
- Emfisema: diafragma datar dan hiperlusen

4. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan faal paru dengan spirometi, yaitu
memeriksa kapasitas total paru dan volue ekspirasi paksa jika sesak biasanya <80%

5. PPOK, Asma bronchial

6. Pemberian oksigen, antihistamin, inhalasi, antikolinergik, bronkidilator, antitusif

2.5 STEP 4 | Strukturisasi Konsep

Faktor pencetus dan


risiko

Rokok Alergen Polusi Usia

Perubahan Saluran Napas

Gejala

Pemeriksaan Fisik
& Penunjang

Diagnosis

Asma PPOK

Penatalaksanaan
2.6 STEP 5 | Learning Objectives
1. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang PPOK
a. Definisi
b. Etiologi
c. Faktor resiko
d. Patogenesis & Patofisiologi
e. Manifestasi klinik
f. Penegakkan diagnosis dan diagnosis banding
g. Penatalaksanaan
h. Komplikasi
2. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Asma Bronkial
a. Definisi
b. Etiologi
c. Faktor resiko
d. Patogenesis & Patofisiologi
e. Penegakkan diagnosis dan diagnosis banding
f. Penatalaksanaan
g. Komplikasi

2.7 STEP 7 | Sintesis


2.7.1 Learning Objective 1 | Penyakit Paru Obstruksi Akut (PPOK)
A. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah
dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat
progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
beracun / berbahaya, disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat berat
penyakit. Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara
obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema)
yang bervariasi pada setiap individu. PPOK seringkali timbul pada usia pertengahan akibat
merokok dalam waktu yang lama.
Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena:
o Emfisema merupakan diagnosis patologik
o Bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis
Selain itu keduanya tidak selalu mencerminkan hambatan aliran udara dalam saluran
napas.
B. Etiologi
 Polusi udara
penyebab utama dan tersering karena setiap hari manusia menghirup dan
mengeluarkan kembali udara melalui ekspirasi, tentunya makin kotor udara makin banyak
pula kotoran yang masuk kedalam saluran pernapasan. Polutan ini dapat berupa asap,
debu, gas, maupun uap. Mengingat penyakit ini bersifat kronis, tentunya pajanan terhadap
berbagai polutan harus berlangsung cukup lama(bertahun-tahun). Makin tinggi kadar
polutan serta makin rentan saluran pernapasan seseorang semakin mudah dan semakin
cepat orang tersebut menderita penyakit ini.
 Radang akut saluran pernapasan yang berkepanjangan
Setiap radang akut saluran pernapasan yang tidak berhasil disembuhkan dalam
jangka panjang dapat pula mengakibatkan timbulnya bronkitis kronis.
 Gangguan sistem imunitas paru
Setiap gangguan dalam bidang ini, yaitu defisiensi IgA, defisiensi C3-C4 dan
immotile cilia syndrome, masing masing akan menganggu fungsi pembersihan saluran
pernapasan bawah. Drngan demikian, kuman akan lebih mudah masuk kedalam paru
dengan segala akibatnya.
 Sekret bronkus yang berlebihan

C. Faktor Risiko
1. Asap rokok
Kebiasaan merokok merupakan penyebab nomor satu dari PPOK. Risiko PPOK
pada perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah
batang rokok pertahun dan lamanya merokok (indeks brinkman).
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan:
a. Riwayat merokok
 Perokok aktif
 Perokok pasif
 Bekas merokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata–
rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun:
 Ringan : 0 – 200
 Sedang : 200 – 600
 Berat : >600
2. Polusi udara
Polusi udara dibagi menjadi:
- Polusi udara dalam ruangan
 Asap rokok
 Asap kompor
- Polusi di luar ruangan
 Gas buang kendaraan bermotor
 Debu jalanan
- Polusi di tempat kerja (bahan kimia, zat, iritasi, gas beracun).
3. Infeksi saluran napas bawah berulang
Seringnya terjadi infeksi saluran napas menyebabkan timbulnya hiperesponsif jalan
napas yang dapat menjadi faktor risiko jalan napas.
4. BBLR
Menimbulkan kerentanan terhadap infeksi virus sehingga menyebabkan infeksi
napas yang berulang.
5. Sosial ekonomi
Peranan nutrisi diperkirakan dapat menjadi fakor risiko. Orang – orang dengan sosial
ekonomi yang rendah yang mendapat nutrisi yang tidak adekuat dapat menyebabkan
penurunan kekuatan dan ketahanan otot napas.
6. Tumbuh kembang paru
Proses yang terjadi selama masa kehamilan, kelahiran dan pajanan saat kecil.
7. Asma
Pada laporan The Epidemiological Study didapatkan bahwa orang dengan asma 12
kali lebih tinggi untuk terkena PPOK.

D. Patogenesis & Patofisiologi


PATOGENESIS
- Inflamasi saluran napas pada PPOK merupakan amplifikasi dari respon inflamasi
normal akibat iritasi kronis seperti asap rokok. Rokok diyakini berperan dalam
keseimbangan oksidan – antioksidan dalam pemeliharaan integritas paru. Oksidan
dalam asap rokok berkemampuan merusak sel parenkim paru serta jaringan ikat matriks
ekstraseluler, melalui sifatnya sebagai bahan kimia yang elektrofilik reaktif, asap rokok
dapat meningkatkan kadar oksidan melalui peningkatan sel radang antara lain makrofag
alveolar meningkat 2 – 4 kali, neutrofil meningkat 3 – 5 kali, hal ini menyebabkan
bertambahnya kadar superoksida dan hidrogen peroksida. Selain itu asap rokok juga
menekan aktivitas silia dan hipertrofi mukus.
- Ketidakseimbangan protease – antiprotease
Protease berfungsi memecah komponen jaringan ikat, sedangkan antiprotease
berfungsi melindunginya. Beberapa protease berasal dari sel inflamasi dan sel epitel yang
sangat meningkat pada PPOK. Protease mediated merusak elastin (komponen jaringan
utama penghubung dalam parenkim paru) merupakan faktor yang berperan dalam PPOK.

PATOFISIOLOGI
- Tingkat peradangan, fibrosis, dan eksudat luminal dalam saluran udara kecil berkorelasi
dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1FVC. Penurunan FEV1 merupakan gejala
khas pada PPOK. Obstruksi jalan napas perifer ini menyebabkan terjadinya hiperinflasi.
- Hipersekresi lendir, mengakibatkan batuk produktif kronis. Namun, tidak semua pasien
PPOK memiliki gejala hipersekresi lendir. Hal ini disebabkan oleh karena mukosa sel
goblet dan membesarnya kelenjar submukosa mengalami metaplasia.
- Karena jalan napas yang menyempit, menyebabkan udara terperangkap dan tak bisa
keluar (air trapping), menyebabkan peningkatan kapasitas residu fungsional yang akan
menyebabkan terjadinya hiperinflasi.

E. Penegakan Diagnosis & Diagnosis Banding


DIAGNOSIS PPOK
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga
berat.Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru.
Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
1. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
 Inspeksi
- Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher
dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
 Palpasi Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
 Perkusi Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah
 Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa - ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed - lips breathing
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang.Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi
CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang
terjadi pada gagal napas kronik.

2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1). Faal paru
• Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
 Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP
( % ). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 %
 VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
 Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE
meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
• Uji bronkodilator
 Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.
 Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau
APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
 Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2). Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3). Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)


1). Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total
(KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2). Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3). Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK
terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan
4). Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison
atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2 minggu yaitu
peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK
umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
5). Analisis gas darah Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6). Radiologi
- CT-Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula
yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi Mengetahui fungsi respirasi paru
7). Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.
8). Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan
9). Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi
diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat.
Infeksi saluran napas berulng merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada
penderita PPOK di Indonesia.
10). Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia
muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.

DIAGNOSIS BANDING PPOK


- Asma
- SOPT (Sindroma Obstruksi Pasca Tuberculososis)
- Pneumotoraks
- Gagal jantung kronik
- Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis, destroyed lung.

G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan umum PPOK
Tujuan penatalaksanaan :
1) Mengurangi gejala
2) Mencegah eksaserbasi berulang
3) Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
4) Meningkatkan kualiti hidup penderita

a. Edukasi
Ini dari edukasi ini adalah untuk menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan
mencegah kecepata perburukan faal paru. Berbeda dengan asma yng masih bersifat
reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat penyakit adalah inti dari
edukasi atau tujuan asma . Namun tujuan edukasi pada pasien PPOK :
 Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
 Melaksanakan pengobatan yang maksimal
 Mencapai aktiviti optimal
 Meningkatkan kualiti hidup
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan tepat dilaksanakan ditentukan
skala prioritas bahan edukasi :
 Berhenti merokok
 Penggunaan obat - obatan
 Maca obat dan jenis nya
 Cara penggunaan obata yang benar
 Waktu penggunaan nya ( rutin / kalau perlu )
 Dosis obat tepat dan efek sampingnya
 Penggunaaan oksigen
 Kapan oksigen harus di gunakana
 Berapa dosis dan efek samping terapi
 Mengenal dan mengatasi efek samping terapi oksigen dan obat
 Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaan tanda eksaserbasi
 Batuk atau dan sesak bertambah
 Sputum bertambah
 Sputum berubah warna
b. Obat - obatan
1). Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ). Pemilihan
bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan
jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow
release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
- Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda.
Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan
mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau
puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin
darah.
2). Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang
diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1
pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
3). Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin
makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat
Sefalosporin
Kuinolon
makrolid baru
Perawatan di Rumah Sakit :
dapat dipilih
- Amoksilin dan klavulanat
- Sefalosporin generasi II & III injeksi
- Kuinolon per oral
ditambah dengan yang anti pseudomonas
- Aminoglikose per injeksi
- Kuinolon per injeksi
- Sefalosporin generasi IV per injeksi
4). Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan
N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering,
tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
5). Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan
sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik,
tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
6). Antitusif
Diberikan dengan hati – hati
c. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di
otot maupun organ - organ lainnya. Indikasi:
o Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
o Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,
perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep
apnea, penyakit paru lain

d. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal
napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK
derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah
sakit di ruang ICU atau di rumah.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
o ventilasi mekanik dengan intubasi
o ventilasi mekanik tanpa intubasi

e. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan
derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :
- Penurunan berat badan
- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)

f. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK Penderita yang dimasukkan ke dalam
program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang
disertai :
o Simptom pernapasan berat
o Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
o Kualiti hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim
multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog.
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan
latihan pernapasan.

H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
1. Gagal napas
 Gagal napas kronik
 Gagal napas akut pada gagal napas kronik
Gagal napas kronik :
Hasil analisis gas darah Po2< 60 mmHg dan Pco2> 60 mmHg, dan pH normal,
penatalaksanaan :
 Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
 Bronkodilator adekuat
 Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
 Antioksidan
 Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :
 Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
 Sputum bertambah dan purulen
 Demam
 Kesadaran menurun

2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni
kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti
menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.
3. Kor pulmonal :
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal
jantung kanan.

2.7.2 Learning Objective 2 | Asma Bronkial


A. Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan
batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan
obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau
tanpa pengobatan.

B. Etiologi
Adapun etiologi dari penyakit asma bronchial dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa
golongan besar, yaitu :
- Rangsangan alergi. Pada penderita asma alergi timbul dapat akibat menghirup allergen
atau setelah mengkonsumsi bahan alergik tersebut.
- Rangsangan bahan toksik dan iritan. Kelompok ini meliputi asap rokok, polutan,
pembuangan pabrik, gasoline dan uap cat.
- Infeksi. Pada umunya infeksi virus, jamur dan bakteri dapat memicu timbulnya
serangan asma namun dapat pula bertindak sebagai allergen. Sinusitis bacterial dan
infeksi virus (common cold) merupakan factor terjadinya serangan asma.
- Obat. Banyak obat yang dikonsumsi menimbulkan serangan asma. Golongan terbanyak
adalah penisilin dan golongan vaksen. Penderita yang sensitive terhadap aspirin
umumnya 20 menit setelah konsumsi timbul serangan.
- Penyebab lainnya. Factor fisik dan psikologis. Misalnya kelelahan, perubahan cuaca
dan kesedihan.
Namun, sampai saat ini etiologi yang tepat dari asma bronkial belum diketahui secara
pasti. Berbagai teori sudah diajukan, akan tetapi yang paling disepakati adalah adanya
gangguan parasimpatis (hiperaktivitas saraf kolinergik), gangguan Simpatis (blok pada
reseptor beta adrenergic dan hiperaktifitas reseptor alfa adrenergik).
C. Faktor Risiko
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host factor)
dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang
mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi) ,
hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu
dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan
terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam
faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi
pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga. Interaksi faktor genetik/
pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan :
- pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan genetik
asma
- baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko penyakit asma.

FAKTOR PEJAMU
Asma adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai
penelitian.Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat/
kecenderungan untuk terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan dengan asma, dikaitkan
dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif (hipereaktiviti bronkus, kadar IgE serum) dan
atau keduanya. Karena kompleksnya gambaran klinis asma, maka dasar genetik asma
dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara yang dapat diukur secara objektif
seperti hipereaktiviti bronkus, alergik/ atopi, walau disadari kondisi tersebut tidak khusus
untuk asma. Banyak gen terlibat dalam patogenesis asma, dan beberapa kromosom telah
diidentifikasi berpotensi menimbulkan asma, antara`lain CD28, IGPB5, CCR4, CD22,
IL9R,NOS1, reseptor agonis beta2, GSTP1; dan gen-gen yang terlibat Asimptomatik atau
Asma dini Manifestasi Klinis Asma (Perubahan ireversibel pada struktur dan fungsi jalan
napas) Bakat yang diturunkan: Asma Atopi/ Alergik Hipereaktiviti bronkus Faktor yang
memodifikasi penyakit genetik Pengaruh lingkungan : Alergen Infeksi pernapasan Asap
rokok / polusi udara Diet Status sosioekonomi Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma
Di Indonesia 17 dalam menimbulkan asma dan atopi yaitu IRF2, IL-3,Il-4, IL-5, IL-13, IL-9,
CSF2 GRL1, ADRB2, CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB, TMOD dan sebagainya.

Genetik mengontrol respons imun


Gen-gen yang berlokasi pada kompleks HLA (human leucocyte antigen) mempunyai
ciri dalam memberikan respons imun terhadap aeroalergen. Kompleks gen HLA berlokasi
pada kromosom 6p dan terdiri atas gen kelas I, II dan III dan lainnya seperti gen TNF-α.
Banyak studi populasi mengamati hubungan antara respons IgE terhadap alergen spesifik dan
gen HLA kelas II dan reseptor sel T, didapatkan hubungan kuat antara HLA alel DRB1*15
dengan respons terhadap alergen Amb av.

Genetik mengontrol sitokin proinflamasi


Kromosom 11,12,13 memiliki berbagai gen yang penting dalam berkembangnya atopi
dan asma. Fenotip alergik dikaitkan dengan kromosom 11, kromosom 12 mengandung gen
yang mengkode IFN-γ, mast cell growth factor, insulin-like growth factor dan nictric oxide
synthase. Studi berkesinambungan menunjukkan ada ikatan positif antara petanda-petanda
pada lokus 12q, asma dan IgE, demikian pula kromosom 14 dan 19.

FAKTOR LINGKUNGAN
Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja dipertimbangkan adalah penyebab
utama asma, dengan pengertian faktor lingkungan tersebut pada awalnya mensensitisasi jalan
napas dan mempertahankan kondisi asma tetap aktif dengan mencetuskan serangan asma atau
menyebabkan menetapnya gejala.

D. Patogenesis & Patofisiologi


1. Patogenesis
Patogenesis dan etiologi asma bronkial sampai sekarang belum diketahui secara
pasti. Teteapi beberapa penelitian menunjukan bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi
respon saluran napas yang berlebihan.

Asma sebagai penyakit inflamasi


Inflamasi ditandai dengan adanya kalor, tumor, dolor, rubor dan functio laesa.
Akhir-akhir ini syarat terjadinya radang harus disertai satu syarat lagi yaitu infiltrasi sel
radang. Pada asma keenam syarat tersebut dijumpai pada asma tanpa membedakan
penyebabnya baik yang alergik maupun non alergik.
Asma alergik maupun yang non alergik, dijumpai adanya inflamasi dan
hipereaktivitas saluran napas. Ada 2 jalur untuk mencapai kedua hal tersebut yaitu jalur
imunologis dan jalur saraf autonom. Jalur imunulogis didominasi oleh IgE, masuknya
alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cell) untuk selanjutnya
hasil olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th (T penolong). Sel Th inilah yang
akan memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk
IgE serta sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, selepitel, eosinofil, neutrofil,
trombosit inflamasi. Mediator-mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin,
leukotrien, platelet activating factor, brdikin,trmoboksan, dan lain=lain akan
mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan penginkatan pernebali;itas dinding
vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel sel radang, sekresi mukus dan fibrisis sub
epitel sehingga menimbulkan hiperaktivitas saluran napas (HSN). Jalur non-alergik selain
merangsang sel inflamasi, juga merangsang sistem saraf autonom dengan hasil akhir
berupa inflamasi dan HSN.

Hipereaktivitas Saluran Napas


Yang membedakan asma dengan orang normal adalah sifat saluran napas pasien
asma yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan (debu), zat kimia
(histamin, metakolin) dan fisis (kegiatan jasmani). Pada asma alergik, selain peka teradap
alergen tersebut diatas juga sangat peka terhadap alergen spesifik, sebagian HSN diduga
didapat sejak lahir, tetapi sebagian lagi didapat. Berbagai keadaan dapat meningkatkan
hipereaktivtas saluran napas seseorang, yaitu :
Inflamsasi saluran napas. Sel-sel inflamasi serta mediator kimia yang dikeluarkan
terbukti berkaitan erat dengan gejala asma dan HSN, konsep ini didukung oleh fakta
bahwa intervensi pengobatan dengan anti inflamasi dapat menurunkan derajat HSN dan
gejala asma.
Kerusakan epitel. Salah satu konsekuensi inflamasi adalah kerusakan epitel. Pada asma
kerusakan bervariasi dari yang ringan sampai yang berat. Perubahan struktur ini akan
meningkatkan penetrasi alergen, mediator inflamasi serta mengakibatkan iritasi ujung-
ujung saraf autonom sering mudah terangsang. Sel-sel epitel bronkus sendiri sebenaranya
mengandung mediator yang daoat bersifat sebagai bronkodilator. Kerusakan sel-sel epitel
brinkus akan mengakibatkan bronkokontrisi lebih mudah terjadi.
Mekanisme neurologis. Pada pasien asma terdapat peningkatan respon saraf
parasimpatis.
Gangguan intrinsik. Otot polos saluran napas dan hipertrofi otot polos pada saluran
napas diduga berperan pada HSN.
Obstruksi saluran napas. Meskipun bukan faktor utama, obstruksi aluran napas diduga
ikut berperan pada HSN.
2. Patofisiologi
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan mombisasi spasme otot bronkus,
sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat
selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal
ini menyebabkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak dapat diekspirasi.
Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF) dan
pasien akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT).
Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas
berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas.
Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik saluran napas besar, sedang maupun
kecil. Gejala mengi menandakan adanya penyempitan di saluran napas besar, sedangkan
pada saluran napas kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi.
Penyempitan saluran napas ternyata tidak terjadi diseluruh bagian paru. Ada daerah-daerah
yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang melalui daerah tersebut
mengalami hipoksemia. Penurunan PaO2mungkin merupakan kelainan pada asma
subklinis. Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi, agar
kebutuhan oksigen terpenuhi. Tetapi akibatnya pengeluaran CO2menjadi berlebihan
sehingga PaCO2menurun yang kemudain menimbulkan alkalosis respiratorik.
Pada serangan asma yang lebih berat lagi banyak saluran napas dan alveolus
tertutup mukus sehingga tidak memungkinkan lagi adanya pertukaran gas. Hal ini
menyebabkan hipoksemia dan keja otot-otot pernapasan bertambah berat serta terjadi
peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2yang disertai penurunan ventilasi
alveolus menyeabkan retensi CO2dan terjadi alkalosis respiratorik atau gagal napas.
Dengan demikian penyempitan saluran napas pada asma akan menimbulkan hal-hal
sebagai berikut : 1). Gangguan ventilasi berupa hipoventilasi. 2). Ketidakseimbangan
ventilasi perfusi dimana distribusi ventilasi tidak setara dengan sirkulas darah paru. 3).
Gangguan difusi gas ditingkat alveoli.

E. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi dan sesak napas.
Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat didada, dan pada asma alergik
mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada awalnya batuk tanpa disertai sekret, tetapi
pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluhkan sekret baik yang mukoid, putih
kadang-kadang purulen.
Pada asma alergik, sering hubungan antara pajanan alergen dan gejala asma tidak jelas.
Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus non-
alergik seperti asap roko, asap yang merangsang, infeksi saluran napas ataupun perubaha
cuaca.

F. Penegakan Diagnosis & Diagnosis Banding


DIAGNOSIS ASMA
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk,
sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca.
Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan
jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih
meningkatkan nilai diagnostik.

Riwayat penyakit /gejala :


 Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
 Gejala berupa batuk, sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
 Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
 Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
 Respons terhadap pemberian bronkodilator

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :


 Riwayat keluarga (atopi)
 Riwayat alergi/ atopi
 Penyakit lain yang memberatkan
 Perkembangan penyakit dan pengobatan

Pemeriksaan fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat
normal.Kelainan pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah mengi pada
auskultasi.Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada
pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan
serangan, kontraksi otot polos saluran napas , edema dan hipersekresi dapat menyumbat
saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih
besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan
dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi, dan hiperinflasi.
Pada serangan rigan, mengi hanya terdengar saat ekspirasi paksa. Walaupun demikian
mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya
disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi, dan
penggunaan otot bantu napas.
Faal paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai asmanya
, demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan mengi; sehingga
dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk menyamakan persepsi
dokter dan penderita, dan parameter objektif menilai berat asma. Pengukuran faal paru
digunakan untuk menilai:
 obstruksi jalan napas
 reversibiliti kelainan faal paru
 variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan napas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima secara
luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus puncak
ekspirasi (APE).

SPIROMETRI
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa
(KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang
standar.Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga
dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita.Untuk mendapatkan nilai
yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable.Obstruksi
jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
 Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80%
nilai prediksi.
 Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 ≥ 15% secara spontan, atau setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari,
atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat
membantu diagnosis asma
 Menilai derajat berat asma
ARUS PUNCAK EKSPIRASI (APE)
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang lebih
sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang relatif sangat
murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan
kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah
digunakan/ dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di
rumah seharihari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan
ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas.
Manfaat APE dalam diagnosis asma
 Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE ≥ 15% setelah inhalasi bronkodilator (uji
bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi kortikosteroid
(inhalasi/ oral , 2 minggu)
 Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE harian
selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat berat penyakit
(lihat klasifikasi)

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding asma antara lain sebagai berikut :
Dewasa
 Penyakit Paru Obstruksi Kronik
 Bronkitis kronik
 Gagal Jantung Kongestif
 Batuk kronik akibat lain-lain
 Disfungsi larings
 Obstruksi mekanis (misal tumor)
 Emboli Paru
Anak
 Benda asing di saluran napas
 Laringotrakeomalasia
 Pembesaran kelenjar limfe
 Tumor
 Stenosis trakea
 Bronkiolitis
G. Penatalaksanaan
PERENCANAAN PENGOBATAN JANGKA PANJANG
Medikasi Asma: Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala
obstruksi jalan napas, terdiri atas pelega dan pengontrol. Penatalaksanaan asma bertujuan
untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai asma terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi
stabil minimal dalam waktu satu bulan.

Pelega (Reliever): Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot
polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut
seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau
menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk pelega adalah: Agonis beta2 kerja singkat,
Antikolinergik , Aminofillin, dan Adrenalin.

Pengontrol (Controllers): Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk


mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat
pengontrol :
• Kortikosteroid inhalasi
• Kortikosteroid sistemik
• Sodium kromoglikat
• Nedokromil sodium
• Metilsantin
• Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
• Agonis beta-2 kerja lama, oral
• Leukotrien modifiers
• Antihistamin generasi ke dua
PENGOBATAN BERDASAR DERAJAT SERANGAN ASMA (Pedoman PDPI):
Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Berat Asma Medikasi pengontrol harian Alternatif / Pilihan lain Alternatif lain
Asma Intermiten Tidak perlu -------- -------
Asma Persisten Glukokortikosteroid inhalasi • Teofilin lepas lambat ------
Ringan
(200-400 ug BD/hari atau • Kromolin
ekivalennya)
• Leukotriene modifiers
Asma Persisten Kombinasi inhalasi • Glukokortikosteroid • Ditambah
Sedang glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau agonis beta-2 kerja lama
ekivalennya) ditambah Teofilin oral, atau
(400-800 ug BD/hari atau lepas lambat ,atau
ekivalennya) dan • Ditambah
• Glukokortikosteroid teofilin lepas lambat
agonis beta-2 kerja lama inhalasi (400-800 ug BD atau
ekivalennya) ditambah agonis
beta-2 kerja lama oral, atau

• Glukokortikosteroid
inhalasi dosis tinggi (>800 ug BD
atau ekivalennya) atau

• Glukokortikosteroid
inhalasi (400-800 ug BD atau
ekivalennya) ditambah
leukotriene modifiers

Asma Persisten Berat Kombinasi inhalasi Prednisolon/ metilprednisolon oral


glukokortikosteroid selang sehari 10 mg

(> 800 ug BD atau ditambah agonis beta-2 kerja lama


ekivalennya) dan agonis oral, ditambah teofilin lepas lambat
beta-2 kerja lama, ditambah
≥ 1 di bawah ini:
- teofilin lepas lambat
- leukotriene modifiers
- glukokortikosteroid
oral
H. Komplikasi
1. Pneumotoraks
2. Pneumodiastinum dan emfisema subcutis
3. Atelektasis
4. Gagal nafas

27
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dapat kita simpulkan bahwa PPOK merupakan suatu penyakit yang paling besar
disebabkan oleh pola hidup yang buruk seperti merokok selain itu ada faktor lingkungan
terutama lingkungan pekerjaan yang ikut andil menjadi faktor resikonya.
Terperbedaan antara PPOK dan Asma Bronkial, dimulai dari faktor pencetusnya, dimana
PPOK disebabkan oleh bahan iritan atau polutan, sedangkan asma bronkial disebabkan oleh
allergen. Lalu dilihat dari patogenesisnya dimana bila PPOK disebabkan karena adanya obstruksi
yang bersifat permanen dan terjadi perubahan patologi anatominya sedangkan Asma Bronkial
karena adanya reaksi hipersensitivitas yang menyebabkan terjadinya perubahan anatomi namun
bersifat reversibel.

3.2 Saran
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami baik dari segi diskusi
kelompok maupun penulis, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari dosen yang
mengajar baik sebagai tutor maupun dosen yang memberikan materi kuliah.

28
DAFTAR PUSTAKA

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. ASMA PEDOMAN DIAGNOSIS &


PENATALAKSANAAN DI INDONESIA. http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.html

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Akut) PEDOMAN
DIAGNOSIS & PENATALAKSANAAN DI  INDONESIA. http://www.klikpdpi.com/modules.php?
name=Content&pa=showpage&pid=93

29

Anda mungkin juga menyukai