Anda di halaman 1dari 44

CASE REPORT

PENYAKIT JANTUNG KORONER (Old Miokard Infark) DENGAN


KOMPLIKASI CONGESTIVE HEART FAILURE
Diajukan untuk memenuhi sebagian tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi
salah satu syarat menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya

Oleh :

Ferren Oktavena Faisal ( 6120019047 )

Pembimbing

dr. Abraham Ahmad Ali Firdaus, Sp. JP

DEPARTEMEN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM JANTUNG PARU


RSI JEMURSARI SURABAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2020
DAFTAR ISI

Cover .............................................................................................................. i
Daftar Isi ........................................................................................................ ii
Pendahuluan .................................................................................................. 1
Kasus ............................................................................................................. 2
Tinjauan Pustaka dan Diskusi ...................................................................... 8
1. Gagal Jantung .................................................................................... 8
2. Penyakit Jantung koroner ................................................................ 23
Kesimpulan ................................................................................................. 40
Daftar Pustaka ............................................................................................. 41
PENDAHULUAN
Penyakit jantung dan pembuluh darah sampai saat ini dikenal sebagai
penyebab kematian nomor satu di dunia. Pada tahun 2013, terdapat >54 juta
kematian secara global dan 32% dari kematian ini atau 17 juta kematian, berkaitan
dengan penyakit jantung dan pembuluh darah. Penyakit Jantung Koroner (PJK)
menyumbang lebih dari 8 juta kematian di seluruh dunia (Yuniadi, 2017).
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah gangguan fungsi jantung akibat otot
jantung kekurangan darah karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner
akibat proses aterosklerosis atau spasme atau kombinasi keduanya. Pada PJK terjadi
gangguan aliran darah ke jantung yang menyebabkan sel otot jantung mengalami
hipoksia. Pembuluh darah koronaria mengalami penyumbatan sehingga aliran darah
yang menuju otot jantung terhenti, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh
darah di sekitarnya. Daerah otot yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau
alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung
dan mengalami infark. Pada waktu jantung harus bekerja lebih keras terjadi
ketidakseimbangan antara kebutuhan dan asupan oksigen, hal inilah yang
menyebabkan nyeri dada. Jika pembuluh darah tersumbat sama sekali, pemasokan
darah ke jantung akan terhenti dan kejadian inilah yang disebut dengan serangan
jantung. Adanya ketidakseimbangan antara ketersedian oksigen dan kebutuhan
jantung memicu timbulnya PJK (Setiati, 2014; Haslindah, 2015).
Dekompensasi Cordis atau gagal jantung adalah suatu sindroma klinis yang
disebabkan oleh gagalnya mekanisme kompensasi otot miokard dalam
mengantisipasi peningkatan beban volume berlebihan ataupun beban tekanan
berlebih yang tengah dihadapinya, sehingga tidak mampu memompakan darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan tubuh. Kemampuan jantung
sebagai pompa sesungguhnya sangat bergantung pada kontraktilitas otot jantung.
Dan kemampuan kontraksi ini, ternyata tidak hanya ditentukan oleh kontraktilitas
sarkomer miokard itu sendiri, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh besarnya preload
(beban volume), afterload (beban tekanan), dan heart rate (frekuensi denyut
jantung) (Localzo, 2015).
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
No. RM : 20072020
Nama : Tn. PA
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 55 Tahun
BB : 65kg
Alamat : RSI Jemursari, Surabaya
Status : Menikah
Pekerjaan : Pensiun
Agama : Islam
Mrs : 10-07-2020
Ruangan : Teratai

SUBJECTIVE
Keluhan Utama Sesak
Pasien datang dengan mengeluhkan keluhan sesak,
sesak dirasakan sejak 4 hari SMRS, sesak memberat 3 jam
sebelum ke IGD. Sesak dirasakan pasien saat aktivitas
ringan dan tidak membaik saat istirahat atau duduk. Setiap
hari pasien menggunakan 2-3 bantal untuk tidur untuk
mengurangi rasa sesaknya. Pasien juga sering terbangun
karena sesaknya. Keluhan ini awalnya dirasakan sejak 3
bulan ini, namun makin lama makin memberat. Dan sejak 1
bulan ini juga kadang disertai dengan kedua kaki yang
bengkak. Kadang menghilang saat pagi hari saat bangun
tidur. Selain itu pasien mengeluhkan batuk dan akhir-akhir
ini banyak minum karena cuaca panas. BAK pasien sedikit,
bening, dan berwarna kuning. Pasien tidak mengeluhkan
mual-muntah -, BAB dalam batas normal.
RPD - PJK dan MRS dengan keluhan yang serupa 2 tahun
yang lalu.
- Kolesterol (+)
- Asam urat (+)

RPK - PJK, DM, HT dan Astma disangkal

RPS(sosial) - Merokok (-), tetapi teman sekantor di ruangannya


banyak yang merokok

RPO(obat-obatan) o Atorvastatin, isosorbid Dinitrat, Bisoprolol,


Clopidogrel, Candesartan, Spironolakton.

OBJECTIVE
PEMERIKSAAN o KU : Lemah
FISIK UMUM o Kesadaran : Compos mentis (GCS: 456)
o Keadaan sakit : sedang
o Suara bicara : pelan

TTV o TD : 120/68 mmHg


o Nadi : 105 x/mnt
o Pernafasan : 32 x/ mnt
o Suhu : 36,6 oC

STATUS o Kepala : Normocephali, tidak terdapat


GENERALIS: deformitas, rambut hitam, distribusi merata,
KEPALA- dan tidak mudah dicabut
LEHER o Mata : Pupil bulat isokor, konjungtiva
palpebra pucat -/- , sclera ikterik -/-, Refleks
cahaya +/+.
o Hidung : Simetris, deviasi septum (-),
deformitas (-), sekret (-), cuping hidung (+)
o Telinga : Normotia, nyeri tekan tragus (-),
nyeri tarik (-), serumen (-)
o Mulut : Bibir simetris, sianosis (-), mukosa
bibir tampak kering, mukosa lidah merah
muda, tonsil T1-T1, kripta tidak melebar,
detritus (-), faring tidak hiperemis
o Leher : KGB tidak teraba membesar, JVP
meningkat, deviasi trakea (-)

THORAX ▪ Paru
• Insepksi
o Bentuk : simetris
o Pergerakan : simetris
• Palpasi
o Pergerakan : simetris
o Fremitus raba :
hemithoraks simetris
• Perkusi
o Suara ketok : sonor di
kedua lapang paru
• Auskultasi
o Suara napas :
vesikuler
o Suara tambahan :
▪ Ronki : +/+
pada basal
paru
▪ Wheezing : -/-
▪ Jantung
• Inspeksi : Pulsasi ictus cordis
tidak terlihat jelas
• Palpasi : Ictus cordis teraba di
ICS V dari anterior axilla line
sinistra
• Perkusi:
o Batas kanan jantung:
ICS IV parasternal
line kanan
o Batas kiri jantung:
setinggi ICS V
anterior axila line
sinistra
• Auskultasi : S1-S2 reguler,
murmur (-), gallop (-)

ABDOMEN ▪ Inspeksi : Datar


▪ Auskultasi: Bising usus (+) normal
▪ Perkusi: timpani
▪ Palpasi: Supel di seluruh kuadran
abdomen, turgor kulit baik, nyeri
tekan (-) di epigastrium, hepar, lien,
ginjal tidak teraba, tes undulasi (-)

EKSTREMITAS ▪ Akral dingin kulit pucat, CRT > 2


detik, edema tungkai +/+ (pitting
edema), Turgor >2detik. clubbing
finger (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
o Darah Rutin

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Darah lengkap
Leukosit 6,20 Ribu/uL 3,80 – 10,6
Basophil 1,304 % 0–1
Neutrophil 60,93 % 39,3 – 73,7
Limfosit 24,36 % 25 – 40
Eosinophil 0,330 % 2–4
Monosit 13,080 % 2–8
Eritrosit 6,08 Juta/ uL 4,40 – 5,90
Haemoglobin 17,13 g/dL 13,2 – 17,3
Hematokrit 54 % 40 – 52
Indeks eritrosit
MCV 88,9 fL 80 – 100
MCH 28,2 Pg 26,0 – 34,0
MCHC 37,7 % 32 – 36
RDW-CV 15,4 % 11,5 – 14,5
Trombosit 196 Ribu/uL 150 – 440
MPV 6,181 fL 7,2 – 11,1
Serum elektrolit
Natrium 130.20 mEq/L 135 – 147
Kalium 4,54 mEq/L 3,5 – 5,0
Klorida 96,60 mEq/L 95-105
Fungsi ginjal
BUN 22,7 mg/dL 10 – 20
Kreatinin 1,29 mg/dL 0,62 – 1,10
Profil Lipid
LDL-Cholesterol 91 mg/dl <100
Trigliserida 100 mg/dl <200
GDP 76 mg/dl <110
Urid Acid 10,7 mg/dl <8
o Elektrokardiografi

Keterangan :
Irama sinus 100x/mnt.
Axis frontal RAD,
Axis horizontal clockwise rotation
Q patologis di V1 V2
Kesimpulan : OMI anteroseptal
o Fotothoraks
keterangan :
• Jantung : tampak
membesar CTR : 63%
• Paru : Tidak tampak
Infiltrat di kedua lapangan
paru
• Kedua sudut sinus
costophrenicus tajam
• Tulang dan soft tissue
normal

Kesimpulan : kesan
Cardiomegaly CTR 63%
TINJAUAN PUSTAKA DISKUSI

1. GAGAL JANTUNG
A. Definisi

Gagal jantung adalah suatu sindroma klinis yang disebabkan oleh gagalnya
mekanisme kompensasi otot miokard dalam mengantisipasi peningkatan beban
volume ataupun beban tekanan yang berlebih pada jantung, sehingga tidak mampu
memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan tubuh.
Keadaan ini dapat disebabkan oleh karena gangguan primer otot jantung, atau
beban jantung yang berlebihan, atau kombinasi keduanya.
Beban jantung yang berlebihan pada preload atau beban volume terjadi pada
defek dengan pirau kiri ke kanan, regurgitasi katup, atau fistula arteriovena.
Sedangkan beban yang berlebihan pada afterload atau beban tekanan terjadi pada
obstruksi jalan keluar jantung, misalnya stenosis aorta, stenosis pulmonal, atau
koarktasio aorta (Bhalli et al, 2011).
Berdasar definisi patofisiologik gagal jantung (decompensatio cordis) atau
dalam bahasa inggris Heart Failure adalah ketidakmampuan jantung untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan pada saat istirahat atau kerja ringan.
Hal tersebut akan menyebabkan respon sistemik khusus yang bersifat patologik
(sistem saraf, hormonal, ginjal, dan lainnya) serta adanya tanda dan gejala yang
khas (Brunner & Suddart, 2014).

B. Etiologi

Mekanisme fisiologis yang menyebabkan timbulnya kegagalan jantung adalah


keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau yang
menurunkan kontraktilitas miokardium. Beban awal meningkat pada kondisi
regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel. Beban akhir meningkat pada keadaan
ketika terjadi stenosis aorta atau hipertensi sistemik. Kontrkatilitas miokardium
dapat menurun pada infark miokard atau kardiomiopati.

Faktor lain yang dapat menyebabkan jantung gagal sebagai pompa adalah
gangguan pengisian ventrikel (Stenosis katup atrioventrikuler) gangguan pada
pengisian dan ejeksi ventrikel (perikarditis konstriktif dan tamponade jantung).
Dari seluruh penyebab tersebut diduga yang paling mungkin terjadi adalah pada
setiap kondisi tersebut mengakibatkan gangguan penghantaran kalsium di dalam
sarkomer atau di dalam sintesis atau fungsi protein kontraktil(Sylvia Anderson
2014).

Penyebab gagal jantung digolongkan berdasarkan sisi dominan jantung yang


mengalami gagal jantung. Dominan sisi kiri, seperti penyakit jantung iskemik,
penyakit jantung hipertensif, penyakit katup aorta, penyakit katup mitral,
miokarditis, kardiomiopati, amiloidosis jantung, keadaan curah tinggi
(tirotoksikosis, anemia, fistula arteriovenosa). Dominan sisi kanan seperti, seperti
gagal jantung kiri, penyakit paru kronis, stenosis katup pulmonal, penyakit katup
trikuspid, penyakit jantung kongenital (VSD, PDA), hipertensi pulmonal, emboli
pulmonal massif (Sylvia Anderson 2014).

Secara umum penyebab gagal jantung di kelompokkan sebagai berikut :

a. Disfungsi miokard.
b. Beban tekanan berlebihan- pembebanan sistolik (sistolic overload).
• Volume : Defek septum atrial, defek septum ventrikel, duktus
anteriosus paten.
• Tekanan : Stenosis aorta, stenosis pulmonal, koarktasi aorta.
• Disritmia.
c. Beban volume berlebihan- pembebanan diastolik (diastolic overload).
d. Peningkatan kebutuhan metabolik (demand overload).

C. Klasifikasi
Pada gagal jantung kongestif terjadi manifestasi gabungan gagal jantung kiri
dan kanan. New York Association (NYHA) membuat klasifikai fungsional dalam
4 kelas :

a. Kelas I
Tidak ada batasan : Aktivitas fisik yang biasa tidak menyebabkan
dispnea napas, Palpitasi atau keletihan berlebihan.
b. Kelas II
Gangguan aktivitas ringan: merasa nyaman ketika beristirahat, tetapi
aktivitas biasa menimbulkan keletihan dan palpitasi.
c. Kelas III
Keterbatasan aktivitas fisik yang nyata: merasa nyaman ketika
beristirahat, tetapi aktivitas yang kurang dari biasa dapat menimbulkan
gejala.
d. Kelas IV
Tidak dapat melakukan aktivita fisik apapun tanpa merasa tidak
nyaman: gejala gagal jantung kongestif di temukan bahkan pada saat
istirahat dan ketidaknyamanan semakin bertambah ketika melakukan
aktivita fisik apapun.
D. Patofisiologi

Mekanisme Dasar: Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium


yang khas pada gagal jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu
kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang
menurun mengurangi volume sekuncup, dan meningkatkan volume residu
ventrikel. Dengan meningkatnya volume akhir diastolik ventrikel, terjadi
peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri sehingga terjadi peningkatan
tekanan atrium kiri karena atrium dan ventrikel berhubungan langsung selama
diastol. Peningkatan tekanan atrium kiri diteruskan ke belakang ke dalam pembuluh
darah paru - paru, meningkatkan tekanan kapiler dan vena paru - paru. Apabila
tekanan hidrostatik anyaman kapiler paru - paru melebihi tekanan onkotik
pembuluh darah, akan terjadi transudasi cairan ke dalam interstisial. Jika kecepatan
transudasi cairan melebihi kecepatan drainase limfatik, akan terjadi edema
interstisial. Peningkatan tekanan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan
merembes ke dalam alveoli dan terjadilah edema paru. Tekanan arteri paru - paru
dapat meningkat akibat peningkatan kronis tekanan vena paru (Butt et al, 2010).
Gambar 2.2. Mekanisme Edema Paru pada CHF (Erne et al, 2012)
Mekanisme Kompensasi Pada Gagal Jantung. Bila curah jantung karena
suatu keadaan menjadi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh,
maka jantung akan memakai mekanisme kompensasi. Mekanisme kompensasi ini
sebenarnya sudah dan selalu dipakai untuk mengatasi beban kerja ataupun pada
saat menderita sakit. Bila mekanisme ini telah secara maksimal digunakan dan
curah jantung tetap tidak cukup maka barulah timbul gejala gagal jantung.
Mekanisme kompensasi ini terdiri dari beberapa macam dan bekerja secara
bersamaan serta saling mempengaruhi, sehingga secara klinis tidak dapat dipisah -
pisahkan secara jelas. Dengan demikian diupayakan memelihara tekanan darah
yang masih memadai untuk perfusi alat - alat vital. Mekanisme ini mencakup:
- Mekanisme Frank Starling. Gagal jantung akibat penurunan kontrak
tilitas ventrikel kiri menyebabkan pergeseran kurva penampilan
ventrikel ke bawah. Karena itu, pada setiap beban awal, isi sekuncup
menurun dibandingkan dengan normal dan setiap kenaikan isi sekuncup
pada gagal jantung menuntut kenaikan volume akhir diastolik lebih
tinggi dibandingkan normal. Penurunan isi sekuncup mengakibatkan
pengosongan ruang yang tidak sempurna sewaktu jantung berkontraksi;
sehingga volume darah yang menumpuk dalam ventrikel semata diastol
lebih tinggi dibandingkan normal. Hal ini bekerja sebagai mekanisme
kompensasi karena kenaikan beban awal (atau volume akhir diastolik)
merangsang isi sekuncup yang lebih besar pada kontraksi berikutnya,
yang membantu mengosongkan ventrikel kiri yang membesar (Butt et
al, 2010; Furqan, 2013).
- Hipertrofi Ventrikel. Pada gagal jantung, stres pada dinding
ventrikel bisa meningkat baik akibat dilatasi (peningkatan radius
ruang) atau beban akhir yang tinggi (misalnya pada stenosis aortik
atau hipertensi yang tidak terkendali). Peningkatan stres terhadap
dinding ventrikel yang terus menerus merangsang pertumbuhan
hipertrofi ventrikel dan kenaikan massa ventrikel. Peningkatan
ketebalan dinding ventrikel adalah suatu mekanisme kompensasi yang
berfungsi untuk mengurangi stres dinding (ingat bahwa ketebalan
dinding adalah faktor pembagi pada rumus stres dinding), dan
peningkatan massa serabut otot membantu memelihara kekuatan
kontraksi ventrikel. Meskipun demikian, mekanisme kompensasi ini
harus diikuti oleh tekanan diastolik ventrikel yang lebih tinggi dari
normal dengan demikian tekanan atrium kiri juga meningkat, akibat
peninggian kekakuan dinding yang mengalami hipertrofi. Pola
hipertrofi yang berkembang bergantung pada apakah beban yang di
hadapi bersifat kelebihan beban volume atau, tekanan yang kronis.
Dilatasi ruang yang kronis akibat kelebihan volume, misalnya pada
regurgitasi mitral atau aorta yang menahun, mengakibatkan ruang
jantung semakin melebar. Akibatnya radius ruang ventrikel membesar
dan ini berkembang sebanding dengan berkurangnya ketebalan
dinding. Hal ini disebut hipertrofi eksentrik. Dengan demikian stres
dinding bisa dikurangi secara bermakna (Butt et al, 2010; Furqan,
2013).
- Aktifasi neurohormonal. Perangsangan neurohormonal merupakan
mekanisme kompensasi yang mencakup sistim syaraf adrenergik,
sistim renin-angiotensin, peningkatan produksi hormon antidiuretik,
semua sebagai jawaban terhadap penurunan curah jantung. Semua
mekanisme ini berguna untuk meningkatkan tahanan pembuluh
sistemik, sehingga mengurangi setiap penurunan tekanan darah (ingat
rumus tekanan darah - curah jantung x tahanan perifer total).
Selanjutnya semua ini menyebabkan retensi garam dan air, yang pada
awalnya bermanfaat meningkatkan volume intravaskuler dan beban
awal ventrikel kiri, sehingga memaksimalkan isi sekuncup melalui
mekanisme Frank Starling. Segi negatif aktifasi neurohormonal yang
berlebih adalah seringnya terjadi akibat yang jelek pada jantung yang
sudah payah (Butt et al, 2010; Furqan, 2013).
- Sistem syaraf adrenergik. Penurunan curah jantung pada gagal
jantung dirasakan oleh reseptor - reseptor di sinus karotis dan arkus
aorta sebagai suatu penurunan porfusi. Reseptor - reseptor ini lalu
mengurangi laju pelepasan rangsang sebanding dengan penurunan
tekanan darah. Sinyalnya dihantarkan melalui syaraf kranial ke IX dan
X ke pusat pengendalian kardiovaskuler di medula. Sebagai akibatnya
arus simpatis ke jantung dan sirkulasi perifer meningkat, dan tonus
parasimpatis berkurang. Ada tiga hal yang segeraterjadi: 1)
Peningkatan detak jantung. 2) peningkatan kontraktilitas ventrikel, dan
3) vasokonstriksi akibat stimulasi reseptor - reseptor alfa pada vena -
vena dan arteri sistemik. Peninggian laju debar jantung dan
kontraktilitas ventrikel secara langsung meningkatkan curah jantung.
Vasokonstriksi pada sirkulasi vena dan arteri juga bermanfaat pada
awalnya. Konstriksi vena mengakibatkan peningkatan aliran balik
darah ke jantung, sehingga meningkatkan beban awal dan
meningkatkan isi sekuncup melalui mekanisme Frank Starling, bila
jantung bekerja pada bagian yang menaik pada kurva penampilan
ventrikel. Konstriksi arteriolar pada gagal jantung meningkatkan
tahanan pembuluh perifer, sehingga membantu memelihara tekanan
darah. Adanya distribusi regional reseptor - reseptor alfa sedemikian
rupa menyebabkan aliran darah di redistribusi ke alat - alat vital
(jantung dan otak) dan dikurangi ke kulit, organ - organ splanknik dan
ginjal. (Butt et al, 2010; Furqan, 2013).
- Sistem Renin Angiotensin. Sistem ini diaktifasi pada gagal jantung.
Rangsang untuk mensekresi renin dan sel - sel jukstaglomerular
mencakup : 1) penurunan perfusi arteri renalis sehubungan dengan
curah jantung yang rendah, dan 2) rangsang langsung terhadap reseptor
- reseptor B2 jukstaglomerular oleh sistem syaraf adrenergik yang
teraktifasi. Renin bekerja pada angiotensiogen dalam sirkulasi, menjadi
angiotensin I, yang kemudian diubah dengan cepat oleh ensim
pengubah angiotensin (ACE) menjadi angiotensin II (All), suatu
vasokonstriktor yang kuat. Peningkatan kadar All berperan
meningkatkan tahanan perifer total dan memelihara tekanan darah
sistemik. Angiotensin II juga bekerja meningkatkan volume
intravaskuler melalul dua mekanisme yaitu di hipotalamus merangsang
rasa haus dan akibatnya meningkatkan pemasukan cairan, dan bekerja
pada korteks adrenal untuk meningkatkan sekresialdosteron.
Aldosteron meningkatkan resorpsi natrium dan tubuh distal ke dalam
sirkulasi. Kenaikan volume intravaskuler lalu meningkatkan beban
awal dan karenanya meningkatkan curah jantung melalui mekanisme
Frank Starling (Butt et al, 2010).
- Hormon antidiuretik. Pada gagal jantung, sekresi hormon ini oleh
kelenjar hipofisis posterior - meningkat, mungkin diantarai oleh
rangsang terhadap baroreseptor di arteri dan atrium kiri, serta oleh kadar
All yang meningkat dalam sirkulasi. Hormon antidiuretik berperan
meningkatkan volume intravaskuler karena ia meningkatkan retensi
cairan melalui nefron distal. Kenaikan cairan intravaskuler inilah yang
meningkatkan beban awal ventrikel kiri dan curah jantung.Meskipun
ketiga mekanisme kompensasi neurohormonaI yang sudah diuraikan
diatas pada awalnya bisa bermanfaat, pada akhirnya membuat keadaan
menjadi buruk. Peningkatan volume sirkulasi dan aliran balik vena ke
Jantung bisa memperburuk bendungan pada vaskuler paru sehingga
memperberat keluhan-keluhan akibat kongesti paru. Peninggian
tahanan arteriol meningkatkan beban akhir dinama jantung yang sudah
payah harus berinteraksi, sehingga pada akhirnya isi sekuncup dan
curah jantung menjadi lebih berkurang. Oleh karena itu terapi dengan
obat - obatan sering disesuaikan untuk memperlunak mekanisme
kompensasi neurohormonal ini (Butt et al, 2010).
- Peptida natrluretik atrium (atrial natriuretic peptide). Ini adalah
suatu hormon kontraregutasi yang disekresi oleh atrium sebagai respon
terhadap peninggian tekanan intrakardiak. Kerjanya terutama
berlawanan dengan hormon - hormon lain yang diaktifasi dalam
keadaan gagal jantung, sehingga mensekresi natrium dan air,
menimbulkan vasodilatasi, inhibisi sekresi renin, dan mempunyai sifat
antagonis terhadap efek All pada vasopresin dan sekresi aldosteron.
Meskipun kadar peptida ini dalam plasma meninggi, efeknya dapat
ditumpulkan oleh berkurangnya respon organ akhir (misalnya ginjal).
(Butt et al, 2010).

E. Manifestasi Klinis
• Tanda dan gejala yang dapat timbul pada decomp cirdis atau gagal
jantung adalah : (Doenges M, 2016)
GAGAL JANTUNG KIRI GAGAL JANTUNG KANAN
Kongesti paru menonjol pada • Kongestif jaringan
gagal ventrikel kiri karena perifer dan viseral.
ventrikel kiri tak • Edema ekstrimitas
mampu memompa darah yang bawah (edema
datang dari paru. dependen), biasanya
• Dispneu edema pitting,
Terjadi akibat penambahan berat
penimbunan cairan dalam badan
alveoli dan mengganggu • Hepatomegali. Dan
pertukaran gas. Dapat nyeri tekan pada
terjadi ortopnu. Beberapa kuadran kanan atas
pasien dapat mengalami abdomen terjadi
ortopnu pada malam hari akibat pembesaran ve
yang dinamakan na di hepar.
Paroksimal Nokturnal • Anorexia dan mual.
Dispnea ( PND) Terjadi
• Batuk akibat pembesaran ve
• Mudah Lelah na dan statis vena
Terjadi karena curah dalam rongga
jantung yang kurang yang abdomen.
menghambat jaringan dari • Nokturia
sirkulasi normal dan • Kelemahan (Doenges
oksigen serta M, 2016).
menurunnya pembuangan
sisa hasil katabolisme.
Juga terjadi
karena meningkatnya ener
gi yang digunakan untuk
bernafas dan insomnia yang
terjadi karena distress
pernafasan dan batuk.
• Kegelisahan dan kecemasan
Terjadi akibat gangguan
oksigenasi jaringan, stress
akibat kesakitan bernafas
dan pengetahuan bahwa
jantung tidak berfungsi
dengan baik (Doenges M,
2016).

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat d ilakukan untuk menegakkan diagnosa
Decomp Cordis atau gagal jantung yaitu:

1. Elektro kardiogram (EKG)


Dalam kasus kardiogenik, EKG dapat menunjukkan bukti Miocardium
Infark atau iskemia. Dalam kasus noncardiogenic, EKG biasanya normal (PERKI,
2015)
Abnormalitas Penyebab Implikasi klinis
Sinus takikardia Gagal jantung Penilaian klinis
dekompensasi, anemia, Pemeriksaan laboratorium
demam, hipertroidisme
Sinus Obat penyekat β, anti Evaluasi terapi obat
Bradikardia aritmia, hipotiroidisme, Pemeriksaan laboratorium
sindroma sinus sakit
Atrial takikardia Hipertiroidisme, Perlambat konduksi AV,
/ futer / fbrilasi infeksi, gagal jantung konversi medik,
dekompensasi, infark elektroversi, ablasi kateter,
miokard antikoagulasi
Aritmia Iskemia, infark, Pemeriksaan laboratorium,
ventrikel kardiomiopati, tes latihan beban,
miokardits, pemeriksaan perfusi,
hipokalemia, angiografi koroner, ICD
hipomagnesemia,
overdosis digitalis
Iskemia / Infark Penyakit jantung Ekokardiografi, troponin,
koroner Angiografiikoroner,
revaskularisasi

Gelombang Q Infark, kardiomiopati Ekokardiografi,


hipertrofi, LBBB, angiografii koroner
preexitasi
Hipertrofi Hipertensi, penyakit Ekokardiografi, doppler
ventrikel kiri katup aorta,
kardiomiopati hipertrofi
Blok Infark miokard, Evaluasi penggunaan obat,
Atrioventrikular Intoksikasi obat, pacu jantung, penyakit
miokarditis, sistemik
sarkoidosis, Penyakit
Lyme
Mikrovoltase Obesitas, emfisema, Ekokardiograf, rontgen
efusi perikard, toraks
amyloidosis
Durasi QRS > Disinkroni elektrik dan Ekokardiograf, CRT-P,
0,12 detik mekanik CRT-D
dengan
morfologi
LBBB

LBBB = Lef Bundle Branch Block;


ICD = Implantable Cardioverter Defbrillator
CRT-P = Cardiac Resynchronizaton Therapy-PACEImaker;
CRT-D = Cardiac Resynchronizaton Therapy-Defbrillator

2. Skan jantung
Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan gerakan dinding.
3. Sonogram (ekocardiogram, ekokardiogram dopple)
Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam
fungsi/struktur katup, atau area penurunan kontraktili tas ventrikular.
4. Kateterisasi jantung
Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan
gagal jantung kanan dan gagal jantung kiri dan stenosis katup atau
insufisiensi.
5. Rongent dada
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan
dilatasi atau hipertropi bilik, atau perubahan dalam pembuluh darah
abnormal.
6. Enzim hepar
Meningkat dalam gagal / kongesti hepar.
7. Elektrolit
Mungkin berubah karena perpindahan cairan / penurunan fungsi ginjal,
terapi diuretik.
8. Oksimetri nadi
Saturasi Oksigen mungkin rendah terutama jika gagal jantung kongestif
akut menjadi kronis.
9. Analisa gas darah (AGD)
Gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkaliosis respiratori ringan (dini)
atau hipoksemia dengan peningkatan PCO2 (akhir).
10. Blood ureum nitrogen (BUN) dan kreatinin
Peningkatan BUN menunjukkan penurunan fungsi ginjal. Kenaikan
baik BUN dan kreatinin merupakan indikasi gagal ginjal.
11. Pemeriksaan tiroid
Peningkatan aktifitas tiroid menunjukkan hiperaktifitas tiroid sebagai
pre pencetus gagal jantung (Herdman, T. Heather. 2015).

G. Tatalaksana
Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas. Tindakan preventif dan pencegahan perburukan
penyakit jantung tetap merupakan bagian penting dalam tatalaksana
penyakit jantung. Berikut tujuan terapi gagal jantung:
1. Prognosis Menurunkan mortalitas
2. Morbiditas Meringankan gejala dan tanda
Memperbaiki kualitas hidup
Menghilangkan edema dan retensi
cairan
Meningkatkan kapasitas aktifitas fisik
Mengurangi kelelahan dan sesak nafas
Mengurangi kebutuhan rawat inao
Menyediakan perawatan akhir hayat
3. Pencegahan Timbulnya kerusakan miokard
Perburukan kerusaka miokard
Remodeling miokard
Timbul kembali gejala dan akumulasi
cairan
Rawat inap
Untuk mencapai tujuan ini terapi harus mencakup penanggulangan
etiologi dan faktor pencetus, terapi nonfarmakologi (nonmedikamentosa)
dan farmakologi (medikamentosa) (Loscalzo, 2015; PERKI, 2015)
Terapi nonfarmakologi (nonmedikamentosa) antara lain dapat berupa:
NONFARMAKOLOGIS :
o Edukasi gejala, tanda, dan pengobatan gagal jantung
o Manajemen diet, yaitu mengurangi jumlah garam, menurunkan berat
badan bila dibutuhkan, rendah kolesterol, rendah lemak, asupan kalori
adekuat
o Latihan fisik. Penelitian menunjukkan bahwa pembatasan aktivitas fisik
yang berlebihan akan menurunkan fungsi kardiovaskular dan
muskuloskeletal. Latihan fisik yang sesuai akan memperbaiki kapasitas
fungsional dan kualitas hidup pasien gagal jantung
o Dukungan keluarga untuk selalu memperhatikan dan merawat pasien
gagal jantung di usia tua sangat penting dan berpengaruh terhadap
kualitas hidup pasien.
Prinsip dasar terapi farmakologi medikamentosa gagal jantung
adalah mencegah remodelling progresif miokardium serta mengurangi
gejala. Gejala dikurangi dengan cara menurunkan preload (aliran darah
balik ke jantung), afterload (tahanan yang dilawan oleh kontraksi jantung),
dan memperbaiki kontraktilitas miokardium. Prinsip terapi di atas dicapai
dengan pemberian golongan obat diuretik, ACE-inhibitor / Angiotensin
Receptor Blockers, penyekat beta, digitalis, vasodilator, agen inotropik
positif, penghambat kanal kalsium, antikoagulan, dan obat antiaritmia
(Oktarina et al, 2013).
FARMAKOLOGIS :
1. ACE inhibitor. Obat ini menghambat konversi angiotensin I
menjadi angiotensin II. Efek terhadap gagal jantung mungkin
multifaktorial, tetapi mekanisme penting ialah inhibisi parsial jalur renin-
angiotensin-aldosteron dan mengurangi aktivitas simpatetik menghasilkan
vasodilatasi, natriuresis dan penurunan tekanan darah. ACE inhibitor
berguna mengurangi sesak nafas dan mengurangi frekuensi eksaserbasi
akut gagal jantung. Obat ini sebaiknya dimulai dengan dosis kecil pada
orang tua dan dinaikkan bertahap sesuai dengan fungsi ginjal. Pada
umumnya pemberian dosis pada orang tua ialah setengah dosis pasien
muda. Efek samping obat ini ialah batuk kering yang dimediasi bradikinin;
terkait dosis dan dapat responsif dengan penurunan dosis. Dapat juga terjadi
hipotensi berat pada pasien yang mengalami penurunan volume cairan
akibat diuretik terutama pada geriatri yang kontrol baroreseptornya sudah
mengalami kerusakan. Kadar natrium darah harus dipantau teratur saat
memulai atau menaikkan dosis ACE inhibitor dan juga jika memakai
kombinasi dengan diuretik hemat kalium seperti spironolakton karena
dapat terjadi hiperkalemia. Obat golongan ini menjadi lini pertama
pengobatan gagal jantung dan menentukan prognosis Hanya sedikit data
penggunaan ACE inhibitor pada pasien di atas 75 tahun akan tetapi
berbagai studi telah membuktikan ACE inhibitor mengurangi morbiditas
dan mortalitas pasien gagal jantung (PERKI, 2015).
Angiotensin Receptor Blockers (ARB). Kecuali kontraindikasi,
ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan
ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis
aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas
hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran
ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena penyebab
kardiovaskular. Indikasi pemberian ARB seperti; Fraksi ejeksi ventrikel
kiri ≤ 40 %, Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan
sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI, ARB
dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi
simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan batuk
(PERKI, 2015).
Diuretik merupakan obat utama mengatasi gagal jantung akut yang
selalu disertai kelebihan cairan yang bermanifestasi sebagai edema perifer.
Diuretik dengan cepat menghilangkan sesak napas dan meningkatkan
kemampuan melakukan aktivitas fisik. Diuretik mengurangi retensi air dan
garam sehingga mengurangi volume cairan ekstraseluler, arus balik vena
dan preload. Untuk tujuan ini biasanya diberikan diuretik kuat yaitu
furosemid dengan dosis awal 40 mg, ditingkatkan sampai diperoleh diuresis
yang cukup. Elektrolit serum dan fungsi ginjal harus sering dipantau.
Setelah euvolemia tercapai dosis harus segera diturunkan sampai dosis
minimal yang diperlukan untuk mempertahankan euvolemia. Pada pasien
geriatri, deplesi volume dan hipotensi harus diperhatikan karena fungsi
baroreseptor yang tidak baik lagi; oleh karena itu diuretik tidak boleh
diberikan pada gagal jantung asimptomatik maupun tidak ada overload
cairan. Diuretik kuat tidak mengurangi mortalitas gagal jantung,
penggunaan diuretik harus dikombinasi dengan ACE inhibitor. (PERKI,
2015).
Digoksin memiliki efek inotropik positif dengan menahan Ca2+
intrasel sehingga kontraktilitas sel otot jantung meningkat. Obat ini juga
memiliki efek mengurangi aktivasi saraf simpatis sehingga dapat
mengurangi denyut jantung pada pasien fi brilasi atrium. Efek toksik
digoksin jarang, tetapi dapat terjadi pada pasien geriatri dengan penurunan
fungsi ginjal dan status gizi kurang. Digoksin tidak menurunkan mortalitas
sehingga tidak lagi dipakai sebagai obat lini pertama, tetapi dapat
memperbaiki gejala dan mengurangi rawat inap akibat memburuknya gagal
jantung. Pada pasien geriatri, dosis digoksin harus diturunkan dan harus
dipantau kadarnya dalam darah (PERKI, 2015).
Penyekat beta. Pemberian penyekat beta pada gagal jantung sistolik
akan mengurangi kejadian iskemi miokard, mengurangi stimulasi sel-sel
jantung dan efek antiaritmi lain, sehingga mengurangi risiko aritmia
jantung dan dengan demikian mengurangi risiko kematian mendadak. Obat
ini juga menghambat pelepasan renin sehingga menghambat aktivasi sistem
RAA (renin-angiotensin-aldosteron) akibatnya terjadi penurunan hipertrofi
miokard, apoptosis dan fi brosis miokard dan remodeling miokard,
sehingga progresi gagal jantung akan terhambat dan dengan demikian
menghambat perburukan kondisi klinis. Metoprolol, bisoprolol dan
carvedilol bermanfaat menurunkan progresi klinis, hospitalisasi dan
mortalitas pasien gagal jantung ringan dan sedang (NYHA kelas II-III)
stabil dengan fraksi ejeksi <35%-45%. Obat ini juga diindikasikan untuk
gagal jantung dengan etiologi iskemik maupun noniskemik. Pemberiannya
dapat dikombinasi dengan ACE inhibitor dan diuretic (PERKI, 2015).
Hydralazine Dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN). Pada pasien
gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, kombinasi H-
ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap ACEI dan
ARB. Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN seperti Hipotensi
simtomatik, sindroma lupus, gagal ginjal berat. Inisiasi pemberian
kombinasi H-ISDN yaitu dimulai dari dosis awal hydralazine 12,5 mg dan
ISDN 10 mg, 2 - 3 x/hari. Naikan dosis secara titrasi , pertimbangkan
menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu. Jangan naikan dosis jika
terjadi hipotensi simtomatik. Jika toleransi baik, dosis dititrasi naik sampai
dosis target (hydralazine 50 mg dan ISDN 20 mg, 3-4 x/hari). Efek tidak
mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian kombinasi H-ISDN
adalah hipotensi simtomatik, nyeri sendi atau nyeri otot (PERKI, 2015).

2. PENYAKIT JANTUNG KORONER


A. Definisi

Definisi Penyakit Jantung Koroner merupakan kelainan pada satu atau


lebih pembuluh darah arteri koroner dimana terdapat penebalan dalam dinding
pembuluh darah disertai adanya plak yang mengganggu aliran darah ke otot
jantung yang akibatnya dapat mengganggu fungsi jantung (AHA, 2015).

Penyakit jantung koroner (PJK) adalah gangguan fungsi jantung akibat otot
jantung kekurangan darah karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner
akibat proses aterosklerosis atau spasme atau kombinasi keduanya. Pada PJK
terjadi gangguan aliran darah ke jantung yang menyebabkan sel otot jantung
mengalami hipoksia. Pembuluh darah koronaria mengalami penyumbatan sehingga
aliran darah yang menuju otot jantung terhenti, kecuali sejumlah kecil aliran
kolateral dari pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot yang sama sekali tidak
mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat
mempertahankan fungsi otot jantung dan mengalami infark. Pada waktu jantung
harus bekerja lebih keras terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan dan
asupan oksigen, hal inilah yang menyebabkan nyeri dada. Jika pembuluh darah
tersumbat sama sekali, pemasokan darah ke jantung akan terhenti dan kejadian
inilah yang disebut dengan serangan jantung. Adanya ketidakseimbangan
antara ketersedian oksigen dan kebutuhan jantung memicu timbulnya PJK
(Setiati, 2014; Haslindah, 2015).
B. Klasifikasi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung, PJK
diklasifikasikan menjadi:
1) Angina Pektoris Stabil/Stable Angina Pectoris
Disebut juga angina klasik, terjadi jika arteri koronaria yang
arterosklerotik tidak dapat berdilatasi untuk meningkatkan alirannya sewaktu
kebutuhan oksigen meningkat. Peningkatan kerja jantung dapat menyertai
aktivitas misalnya berolah raga atau naik tangga (Fukumoto, 2017).
Apabila plak ateroma yang berada di arteri koronaria stabil, maka
serangan angina pektoris selalu timbul pada kondisi yang sama yaitu pada
waktu terjadi peningkatan beban jantung. Dengan demikian diagnosis
angina pektoris stabil dapat ditegakkan pada anamnesis apabila didapati
bahwa serangan timbul setiap kali melakukan aktivitas fisik dan hilang
dengan istirahat atau dengan pemberian nitrat, lamanya serangan tidal lebik
dari 5 menit, tidak disertai keluhan sistemik, gejala angina pektoris sudah
dialami lebih dari 1 bulan, dan beratnya tidak berubah dalam masa
beberapa tahun terakhir (Fukumoto, 2017).
2) Sindrom Koroner Akut
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan bagian manifestasi klinis dari
Penyakit Jantung Koroner (PJK) dan merupakan kegawatan jantung
dengan manifestasi klinis berupa perasaan tidak enak di dada atau gejala-
gejala lain sebagai akibat iskemia miokard. Sindrom ini menggambarkan
suatu penyakit yang berat, dengan mortalitas tinggi. Mortalitas tidak
tergantung pada besarnya prosentase stenosis (plak) koroner, namun
lebih sering ditemukan pada penderita dengan plak kurang dari 50-70%
yang tidak stabil, yaitu fibrous cap ‘dinding (punggung) plak’ yang tipis
dan mudah erosi atau ruptur (Setiati, 2014).
Terjadinya SKA, khususnya IMA, dipengaruhi oleh beberapa
keadaan, yaitu aktivitas/latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan),
stress emosi, terkejut, udara dingin, waktu dari suatu siklus harian (pagi
hari), dan hari dari suatu mingguan (Senin). Keadaan-keadaan tersebut
ada hubungannya dengan peningkatan aktivitas simpatis sehingga
tekanan darah meningkat, frekuensi debar jantung meningkat,
kontraktilitas jantung meningkat, dan aliran koroner juga meningkat
(Setiati, 2014).
Sindroma koroner akut mencakup:
1. Angina pektoris tak stabil (APTS)
Angina pektoris ialah suatu sindrom klinis berupa serangan nyeri
dada yang khas, yaitu seperti ditekan atau terasa berat di dada yang
sering menjalar ke lengan kiri. Nyeri dada tersebut biasanya timbul
pada saat melakukan aktivitas dan segera hilang bila aktivitas dihentikan.
Merupakan kompleks gejala tanpa kelainan morfologik permanen
miokardium yang disebabkan oleh insufisiensi relatif yang sementara
di pembuluh darah coroner (Setiati, 2014).
Angina pektoris tidak stabil adalah kombinasi angina stabil
dengan angina prinzmetal. Dijumpai pada individu dengan
perburukan penyakit arteri koronaria. Angina ini biasanya menyertai
peningkatan beban kerja jantung. Hal ini tampaknya terjadi akibat
arterosklerosis koronaria, yang ditandai oleh trombus yang tumbuh dan
mudah mengalami spasme. Apabila keadaan plak pada arteria koronaria
menjadi tidak stabil, misalnya mengalami pendarahan, ruptur atau
terjadi fissura, sehingga terbentuk trombus di daerah plak yang
menghambat aliran darah koronaria dan terjadi serangan angina
pektoris. Serangan angina pektoris jenis ini datangnya tidak tentu waktu,
dapat terjadi pada waktu penderita sedang melakukan aktivitas fisik atau
dalam keadaan istirahat, dan gejalanya bervariasi tergantung bentuk
ukuran dan keadaan thrombus (Setiati, 2014).
Beberapa kriteria dapat dipakai untuk mendiagnosis angina
pektoris tidak stabil yaitu:
a. Angina pektoris kresendo yaitu angina yang terjadi peningkatan
dalam intensitas, frekuensi, dan lamanya episode angina pektoris
yang dialami selama ini.
b. Angina at rest/nocturnal.
c. ”New-onset exertional Angina” yaitu yang baru timbul dalam
kurang 2 bulan.
d. Nyeri dada yang timbul 2 minggu sebelum kejadian infark
miokard akut (IMA) (Setiati, 2014).
2. Non ST elevation myocard infark (NSTEMI)
Angina tidak stabil dikelompokkan bersama-sama
NSTEMI dimana NSTEMI ditemukan bukti kimiawi yang
menunjukkan adanya nekrosis miokard. Diagnosis NSTEMI tidak
stabil ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa
elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan.
Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST,
inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-
normalization, atau bahkan tanpa perubahan (Setiati, 2014).
Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI
dibedakan berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan
peningkatan marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah
Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka
jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark
Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non ST- Elevation
Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil
marka jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada sindroma
koroner akut, nilai ambang untuk peningkatan CKMB yang abnormal
adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas (upper limits of normal,
ULN) (Setiati, 2014).
3. ST elevation myocard infark (STEMI)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI)
merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri
koroner. Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina
pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan
yang bersebelahan (Setiati, 2014).
C. Faktor Resiko
Berbagai faktor Risiko ditengarai mendorong terjadinya Penyakit
Jantung Koroner, sebagian dapat dimodifikasi dan sebagiaannya lagi tidak
dapat dimodifikasi.
1. Faktor Risiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Usia
Banyak yang telah membuktikan adanya hubungan antara usia dan
kematian akibat Penyakit jantung koroner. Sebab seiring peningkatan
usia,kejadian aterosklerotik semakin mudah terjadi. Sekitar 82%
kejadian PJK pada usia lebih dari 65 tahun akan menyebabkan nagka
mortalitas pada individu tersebut meningkat karena jantung mengalami
perubahan fisiologis bahkan tanpa ada penyakit sebelumnya
(AHA,2014).
b. Jenis Kelamin
Wanita usia paruh bayah mungkin lebih sering mengalami PJK
dibandingkan pria. Perbedaan ini berkurang secara progresife setelah
menopouse dan ini tejadi terutama dalam peran estrogen. Kerja estrogen
yang berpotensi menguntungkan adalah sebagai
antioksidan,menururnkan LDL dan meningkatkan HDL, menstimulasi
ekspresi dan aktivitas oksida nitrat sintase, serta menyebabkan
vasodilatasi dan meningktakan produksi plasminogen (Philip l dkk,
2008).
c. Riwayat Keluarga
Menderita penyakit Jantung Koroner Berbagai survei epidemiologi
telah menunjukkan adanya predisposisi familial terhadap penyakit
jantung koroner .hal ini disebabkan karena banyak faktor risiko Penyakit
Jantung koroner misalnya hipertensi memiliki dasar genetik
multifaktorial (akibat gen abnormal multipel yang berinteraksi dengan
pengaruh lingkungan). Pengaruh genetik tambahan yang
membahayakan mungkin juga terlibat karena predisposisi familial tetap
ada bila data epidemiologis dikoreksi terhadap faktor risiko yang telah
diketahui. Angka kejadian meningkat pada pasien dengan riwayat infark
miokard pada ayah atau saudara laki laki sebelum usia 55 tahun dan ibu
atau saudara perempuan sebelum usia 65 tahun (Philip l dkk, 2008).
Menurut data dari AHA, angka kejadian mortalitas juga meningkat
pada pasien yang memiliki African American. Selain itu, risiko PJK
juga lebih tinggi pada beberapa orang America Meksiko, Indian
American, Hawaii dan beberapa orang America Asia (AHA,2014).
d. Ras
Pada kelompok masyarakat kulit putih maupun kulit berwarna, laki
laki mendominasi kematian akibat PJK, tetapi lebih nyata pada kulit
putih dan lebih sering pada usia mudah daripada usia lebih tua. Omset
PJK pada kulit putih umumnya 10 tahun lebih lambat dibanding pria
kulit berwarna dan pada wanita kulit berwarna lebih lambat sekitar 7
tahun. Insidensi kematian dini akibat PJK pada orang Asia yang tinggal
di inggris lebih tinggi dibandingkan denan populasi lokal dan juga angka
rendah pada Ras Afri-Karibia (AHA, 2014).
2. Faktor Risiko yang dapat dimodifikasi
a. Pendidikan
Menurut Apriadji 1986 seorang tamatan Sekolah dasar belum
tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi syarat gizi di
bandingkan dengan orang lain yang pendidikannya lebih tinggi.
Namun, factor Pendidikan dapat menentukan mudah tidaknya
seseorang dalam memahami dan memenuhi kebutuhan diri untuk hidup
sehat (Philip l dkk, 2008).
b. Pekerjaan
Pekerjaan seseorang mempengaruhi tingkat aktivitas fisik
seseorang. Pekerjaan atau profesi yang lebih menuntut penggunaan
aktivitas fisik, misalnya tukang bangunan, tukang becak dan
sebagainya, selalu memacu denyut jantung lebih dan tidak memacu
seseorang untuk berpeluang kegemukan. Sebaliknya pada pekerjaan
atau profesi yang banyak menuntut optimalisasi mental atau bekerja
dibelakang meja akan memacu peluang kegemukan serta aktivitas
jantung lebih kurang. Aktivitas kerja dikantor yang hanya berputar
putar dari satu rapat ke rapat lain sepanjang hari mengakibatkan
minimnya keluaran energi sehingga dapat meningkatkan kejadian
kegemukan yang menjadi pemicu kejadian jantung coroner (Philip l
dkk, 2008).
c. Pola Makan
Faktor makanan memegang peranan penting terhadap gaya
hidup di Indonesia, terutama diperkotaan. Pengetahuan akan kesehatan
yang minimberakibat pada perilaku konsumsi yang tidak sehat. Salah
satunya makan makanan berlemak baik dari jenis fastfood ataupun
junkfood. Makanan berlemak mengandung lebih banyak kalori
dibandingkan dengan protein dan akan memberikan sumbangan energi
yang lebih besar, hal ini tentu menjadi pemicu untuk mengalami
obesitas dan hiperlipidemia sehingga menjadi pemicu terjadinya
penyakit jantung coroner (Philip l dkk, 2008).
d. Diabetes Mellitus
Merupakan penyakit metabolik yang terdapat pada kira-kira 5%
populasi. Orang dengan diabetes kekurangan insulin secara keseluruhan
atau menjadi resisten terhadap kerjanya. Kondisi resistensi insulin yang
terjadi biasanya pada usia dewasa di sebut diabetes meliitus tipe 2.
Diabetes menyebabkan kerusakan progresif terhadap susunan
mikrovaskuler yang lebih besar selama bertahun tahun. Kira kira 75%
pasien diabetik akhirnya meninggal dengan penyakit jantung koroner.
Terdapat bukti bahwa pasien DM tipe 2 mengalami kerusakan endotel
maupun peningkatan kadar LDL teroksidasi. Kedua efek tersebut
mungkin 20 merupakan akibat dari mekanisme yang terkait dengan
hiperglikemia yang khas pada kondisi ini.selain itu koagulabilitas darah
meningkat pada DM2 karena peningkatan plasminogenactivator
inhibitor dan peningkatan kemampuan agregasi trombosit (Philip l dkk,
2008).
e. Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah di atas 140/90
mmHg, terjadi pada 25% populasi. Hipertensi memacu adanya
aterogenesis. Kemungkinan dengan merusak endotel dan menyebabkan
efek berbahaya lain pada dinding arteri besar. Hipertensi merusak
pembuluh darah otak dan ginjal. Semakin tinggi beban kerja jantung
yang ditambah dengan tekanan arteri yang meningkat juga
menyebabkan penebalan dinding ventrikel kiri, hal ini disebut hipertrofi
ventikel kiri merupakan penyebab sekaligus penanda kerusakan
kardiovaskuler yang lebih serius. Hipertrofi ventikel kiri menjadi
predisposisi bagi biokardium untuk mengalami aritmia dan iskemia dan
merupakan kontributor utama terjadinya gagal jantung,infark miokard
dan kematian mendadak (Philip l dkk, 2008).
f. Merokok
Merokok tembakau menyebabkan penyakit jantung koroner
dengan menurunkan kadar HDL, meningkatkan koagubilitas darah dan
merusak endotel sehingga memacu terjadinya aterosklerosis. Selain itu,
terjadi pula stimulasi jantung yang diinduksi nikotin serta penurunan
kapasitas darah pengangkut oksigen yang dimediasi oleh karbon
monoksida. Efek ini bersamaan dengan peningkatan kejadian spasme
koroner, menentukan tingkatan iskemia jantung dan infark miokard.
Bukti epidemiologis menyebutkan bahwa risiko kardiovaskuler tidak
menurun dengan rokok yang memiliki kadar tak rendah (Philip l ddk,
2008).
Orang yang merokok lebih dari 20 batang perhari dapat
mempengaruhi atau memperkuat efek faktor utama risiko lainnya.
Penelitian framingham mendapatkan kematian mendadak akibat PJK
pada laki laki perokok 10 kali lebih berisiko dari pada laki laki bukan
perokok. Efek rokok terhadap peningkatan risiko PJK sering dijumpai
apabila telah mengkomsumsi rokok lebih dari 25 batang perhari dan
risiko tersebut akan semakin meningkat apabila konsumsi dari rokok
tersebut juga meningkat. Zat zat kimia dari rokok yang paling kuat
efeknya untuk menyebabkan penyakit jantung adalah nikotin, karbon
monoksida (CO) dan gas oxidant (Dept. Health human, 2010).
g. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan lipid
serum di atas batas normal. Lipid plasma yaitu kolesterol, trigliserida,
fosfolipiddan asam lemak bebas berasal dari makanan (eksogen) dan
dari sintesis lemak (endogen). Dalam aterogenesis, kolesterol dan
trigliderida adalah lipid yang paling berperan. Lipid plasma tidak dapat
beredar bebas dalam darah sehingga dibutuhkan protein yang disebut
lipoprotein. Lipoprotein terbagi menjadi empat kelas didalam darah
,yaitu:
i. Kilomikron yang mengandung banyak trigliserida
ii. Lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL) yang kandungannya
sama seperti kilomikron
iii. Lipoprotein densitas Rendah yang kandungan kolesterolnya sangat
rendah.
iv. Lipoprotein densitas tinggi (HDL) yang kandungan proteinnya
lebih tinggi dari kolesterol.
Tabel 2.1 Kadar Lipid Serum
Lipid Optimal Borderline Tinggi/sangat
(mg/dl) (mg/dl) tinggi (mg/dl)
Kolesterol <200 200-239 >240
total
Kolesterol Laki-
HDL laki:>40
Perempuan
>50
Kolesterol <100 100-129 >130
LDL
Trigliserida <150 150-199 >200

Peningkatan kolesterol memiliki hubungan dengan kejadian PJK.


Satu pertiga dari penyakit jantung iskemik dikarenakan oleh tingginya
kolesterol. secara umum, 2.6 juta kematian didunia disebabkan oleh
tingginya kolesterol (Philipl dkk, 2008).
h. Obesitas
Obesitas adalah keadaan dimana kelebihan kandungan lemak di
jaringan adipose sehingga dampaknya adalah peningkatan indeks
massa tubuh dan lingkar pinggang, obesitas dipicu oleh asupan kalori
yang keluar sehingga terjadi penumpukan karbohidrat, lemak dan
protein pada sel sel adiposit sebagai trigliserida. Untuk obesitas sentral
diukur dari lingkar pinggang yang diinterpretasikan jika lingkar
pinggang > 90 cm untuk laki laki dan 80 cm untuk perempuan. Obesitas
sering menjadi faktor pemicu dari diabetes mellitus, hipertensi,
hiperlipidemia sehingga menjadi faktor risiko PJK. Menurut WHO
58% dari diabetes mellitus dan 21% dari penyakit jantung (AHA,2014).
Tabel 2.2 Klasifikasi Kategori IMT untuk Asia (AHA,2014)
IMT (kg/m2) Klasifikasi
<18,5 Berat badan kurang
18,5-2,9 Berat badan normal
23,0-24,9 Berat badan lebih dengan risiko
25,0 -29,9 Obesitas I
>30,0 Obesitas II

i. Aktivitas Fisik
Olahraga mempunyai banyak efek terhadap beberapa faktor
risiko PJK yang dapat diubah. Beberapa contohnya yaitu olahraga dapat
menurunkan angka kejadian obesitas, hipertensi, kolesterol total dan
LDL, serta meningkatkan kolesterol HDL dan sensitivitas insulin pada
orang dengan diabetes (Jonathan Myers, 2003).
Manfaat fisiologis dari olahraga adalah perbaikan fungsi dan
kemampuan tubuh untuk menggunakan oksigen sehingga ketika
kemampuan ini sudah membaik maka ketika melakukan pekerjaan
sehari hari hanya akan sedikit merasa kelelahan (Jonathan Myers,
2003).
Terdapat beberapa bukti bahwa olahraga dapat meningkatkan
kapasitas pembuluh darah untuk dilatasi sehingga dinding pembuluh
darah lebih konsisten dan kemampuan untuk memberikan oksigen ke
otot lebih baik.menurut penelitian,pasien serangan jantung yang
berpartisipasi dalam program olahraga, angka mortalitasnya berkurang
dari 20% menjadi 25% (Jonathan Myers, 2003).
j. Stress
Stress adalah suatu hal yang membuat anda tegang, marah,
frustasi atau tidak bahagia. Terlalu banyak stress akan mempengaruhi
kesehatan dan kesejateraan kita banyak anggota tubuh bisa berpengaruh
akibat stress, sehingga rentan menderita fisik ataupun mental.
Meningkatnya produksi hormon adrenalin dan kortisol yang merupakan
efek stress sehingga hormon itupula yang menyebabkan perubahan
dalam jantung, tekanan darah dan metabolisme tubuh (Jonathan Myers,
2003).
D. Patofisiologi
Pada umumnya PJK merupakan ketidakseimbangan antara penyedian
dan kebutuhan oksigen miokardium. Penyedian oksigen miokardium bisa
menurun atau kebutuhan oksigen miokardium bisa meningkat melebihi
batas cadangan perfusi koroner peningkatan kebutuhan oksigen
miokardium harus dipenuhi dengan peningkatan aliran darah. gangguan
suplai darah arteri koroner dianggap berbahaya bila terjadi penyumbatan
sebesar 70% atau lebih pada pangkal atau cabang utama arteri koroner.
Penyempitan <50% kemungkinan belum menampakkan gangguan yang
berarti. Keadaan ini tergantung kepada beratnya arteriosklerosis dan luasnya
gangguan jantung (Saparina, 2010).
Gambaran klinik adanya penyakit jantung koroner dapat berupa :
a. Angina pectoris
Angina Pectoris merupakan gejala yang disertai kelainan
morfologik yang permanen pada miokardium. Gejala yang khas pada
angina pectoris adalah nyeri dada seperti tertekan benda berat atau terasa
panas ataupun seperti diremas. Rasa nyeri sering menjalar kelengan kiri
atas atau bawah bagian medial, keleher, daerah maksila hingga kedagu
atau ke punggung, tetapi jarang menjalar ketangan kanan. Nyeri
biasanya berlangsung 1-5 menit dan rasa nyeri hilang bila penderita
istirahat. Angina pectoris juga dapat muncul akibat stres dan udara
dingin. Angina pectoris terjadi berulang-ulang. Setiap kali
keseimbangan antara ketersedia oksigen dengan kebutuhan oksigen
terganggu (Saparina, 2010).
b. Infark Miokardium Akut
Merupakan PJK yang sudah masuk dalam kondisi gawat. Pada kasus
ini disertai dengan nekrosis miokardium (kematian otot jantung) akibat
gangguan suplai darah yang kurang. Penderita infark miokardium akut
sering didahului oleh keluhan dada terasa tidak enak (chest discomfort)
selain itu penderita sering mengeluh rasa lemah dan kelelahan
(Saparina, 2010)
c. Payah jantung
Payah jantung disebakan oleh adanya beban volume atau tekanan
darah yang berlebihan atau adanya abnormalitas dari sebagian struktur
jantung. Payah jantung kebanyakan didahului oleh kondisi penyakit lain
dan akibat yang ditimbulkan termasuk PJK. Pada kondisi payah jantung
fungsi ventrikel kiri mundur secara drastis sehingga mengakibatkan
gagalnya sistem sirkulasi darah (Saparina, 2010)
d. Kematian Mendadak penderita
Kematian mendadak terjadi pada 50% PJK yang sebelumnya tanpa
diawali dengan keluhan. Tetapi 20% diantaranya adalah berdasarkan
iskemia miokardium akut yang biasanya didahului dengan keluhan
beberapa minggu atau beberapa hari sebelumnya (Saparina, 2010)
e. Aritmia atau Gangguan irama Jantung
Jantung adalah organ yang memiliki pemicu untuk berkontraksi
yang di sebut pacemaker (baterai) jika aliran darah dan oksigen di arteri
koroner terganggu maka pacemaker dan gangguan konduksi jantung
terganggu, sehingga terjadi gangguan irama jantung (Kabo, 2014).
E. Pemeriksaan dan Penentuan Diagnosis PJK
Mendiagnosis PJK dapat dilakukan dengan memperhatikan hasil
pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG) dan Angiografi untuk mengetahui
adanya penyumbatan pada pembuluh darah koroner (National Heart, Lung
and Bood Institute, 2014).
1. Elektro Kardiografi
Pada iskemia miokardium, dapat ditemukan depresi segmen ST
(≥ 1mV) atau inverse gelombang T simetris (> 2mV) pada dua lead yang
bersebelahan.

Depresi ST pada iskemia miokard:


A. Depresi ST horizontal, spesifik untuk iskemia
B. Depresi ST landai ke bawah, spesifik untuk iskemia
C. Depresi ST landai ke atas, tidak spesifik untuk iskemia (Thaler,
2006).

Inverse T pada iskemia miokard:


A. Inverse T yang kurang spesifik untuk iskemia
B. Inverse T berujung lancip dan simetris, spesifik untuk iskemia
(Thaler, 2006).
Perubahan EKG yang khas menyertai infark miokardium, dan
perubahan paling awal terjadi hampir seketika pada saat mulainya
gangguan miokardium. Pemeriksaan EKG harus dilakukan segera pada
setiap orang yang dicurigai menderita infark sekalipun kecurigaannya
kecil (Thaler, 2006).
Selama infark miokard akut, EKG berkembang melalui tiga stadium:
1) Gelombang T runcing diikuti dengan inverse gelombang T
− Secara akut, gelombang T meruncing (peaking), kemudian
inverse (simetris). Perubahan gelombang T menggambarkan
iskemia miokardium. Jika terjadi infark sejati, gelombang T
tetap inverse selama beberapa bulan sampai beberapa tahun
(Thaler, 2006).
2) Elevasi segmen ST
− Secara akut, segmen ST mengalami elevasi dan menyatu
dengan gelombang T. elevasi segmen ST menggambarkan jejas
miokardium. Jika terjadi infark, segmen ST biasanya kembali
ke garis iso elektrik dalam beberapa jam (Thaler, 2006).
3) Muncul gelombang Q baru
− Gelombang-gelombang Q baru bermunculan dalam beberapa
jam sampai beberapa hari. Gelombang ini menandakan infark
miokard, syarat: lebar ≥ 0,04 detik, dalam ≥ 4mm atau ≥ 25%
tinggi R. Pada kebanyakan kasus, gelombang ini menetap
seumur hidup pasien (Thaler, 2006).

Evolusi EKG pada OMI:


A. Fase hiperakut: Elevasi segmen ST yang nonspesifik, T yang
tinggi dan meruncing.
B. Fase evolusi lengkap: Elevasi ST yang spesifik dan konveks ke
atas, T inverse simetris, Q patologis.
C. Fase infark lama: Q patologis (QS atau Qr), ST kembali
isoelektrik, T normal atau negative (Thaler, 2006).
Lokalisasi infark berdasarkan lokasi letak perubahan EKG (Thaler, 2006):
Lokasi Lead Perubahan EKG
Anterios ekstensif V1-V6 ST elevasi, gelombang Q
Anteroseptal V1-V4 ST elevasi, gelombang Q
Anterolateral V4-V6 ST elevasi, gelombang Q
Posterior V1-V2 ST depresi, Gelombang R tinggi
Lateral I, aVL, V5, V6 ST elevasi, gelombang Q
Inferior II, III, aVF ST elevasi, gelombang Q
Ventrikel kanan V4R, V5R ST elevasi, gelombang Q

2. Pemeriksaan Biomarka Jantung


Kerusakan miokardium dikenali keberadaanya antara lain
dengan menggunakan test enzim jantung, seperti: kreatin-kinase (CK),
kreatin-kinase MB (CK-MB), cardiac specific troponin (cTn) I/T, laktat
dehidrogenase (LDH), dan myoglobin. Peningkatan nilai enzim CKMB
atau cTn T/I >2x nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis
jantung (infark miokard). Pemeriksaan enzim jantung sebaiknya dilakukan
secara serial .(Setiati, 2014).
a. Cardiac specific troponin (cTn)
− Paling spesifik untuk infark miokard
− Troponin C → Pada semua jenis otot
− Troponin I & T → Pada otot jantung
− Troponin I memiliki ukuran yang lebih kecil, sehingga mudah
dideteksi
b. Myoglobin
− Marker paling cepat terdeteksi (hal ini karena ukuran
molekulnya sangat kecil), 1-2 jam sejak onset nyeri
− Ditemukan pada sitoplasma semua jenis otot
c. Creatine Kinase (CK)
− Ditemukan pada otot, otak, jantung
− Murah, mudah, tapi tidak spesifik
d. Lactat Dehidrogenase (LDH)
− Ditemukan di seluruh jaringan
− LD1 & LD2 memiliki konsentrasi tinggi pada otot jantung,
normalnya LD2 > LD1
− Pada pasien infark jantung: LD1 > LD2
e. Creatine Kinase-Myocardial Band (CKMB)
− Spesifik untuk infark miokard
Berikut tabel biomarker enzim jantung menurut (Sudoyo, 2012)

Grafik Biomarker Jantung Awitan menurut (PERKI, 2015)


F. Tatalaksana
1. Penatalaksanaan farmakologis
Obat obat yang digunakan pada pasien antara lain adalah diuretik (
loop dan thiazide), ACE-inhibitor, β-Blocker (carvedirol, bisoprolol, 16
Metaprolol,), digoksin,spironolakton, vasodilator, (hydralazine, Nitrat),
Antikoagulan, Antiaritmia, serta obat inropik positif (Majid, 2010).
2. Intervensi keperawatan
Tujuan intervensi keperawatan pada pasien meningkatkan Istirahat
paien, menghilangkan istirahat pasien, menghilangkan kecemasan,
memperbaiki perfusi jaringan, dan pemahaman perawatan diri serta tidak
terjadi komplikasi. (Smellzer dan Bare, 2002)
a. manajemen aktifitas fisik
b. manajemen stress
c. manajemen perfusi jaringan
d. manajemen cairan
e. manajemen nutrisi
f. penyuluhan pasien
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Association, American Hearth. 2014. Obesity information. Retrieved january


2017,fromhttp:www.heart.org/HEARTORG/GettingHealthy/weightmanage
ment/Obesity/Obesity-information_UCM_307908_Article.jsp.
Association, American Hearth. 2015. Coronary artery diseases. Retrieved
januari,2017,from:http://www.heart.org/HEARTORG/Conditionon/More/m
yheartandstrokerNews/Coronary-artery-disease.
Bhalli, M. A., Kayani, A. M., Samore, N. A. 2011. Frequency of Risk Factor In Male And Female
Patients with Acute Coronary Syndrome. Journal of The College of Physicians and Surgeons
Pakistan. 21 (5): 271-275.
Butt, Z., Shahbaz, U., Hashmi, A.T., Naseem, T., Khan, M.Z., Bukhari, M.H. 2010. Frequency of
Conventional Risk Factor in Patients with Acute Coronary Syndrome in Males and
Females”, Pathology Department, King Edward Medical University, Lahore: 55- 57.
Dept of Health Human Service, p. h, 2010. How to tobacco smoke causs disease the biolgy and
behavioral basis for smoking.
Doenges M, 2016,Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien, Edisi 3 ,Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran AGC
Fukumoto. et al . 2017. Conflicting relationship between agedependent disorders, valvular heart
disease and coronary artery disease by covariance structure analysis: Possible contribution
of natriuretic peptide. Research Article. Division of Cardiology, Department of Internal
Medicine, The Jikei University School of Medicine, Tokyo, Japan, Volume 2, Number 4
October 2017.
Furqan, A. 2013. Faktor Yang Dapat Dimodifikasi Dan Tidak Dapat Dimodifikasi Pada Penderita
Sindroma Koroner Akut Di RSUP. H. Adam Malik Medan, e-USU Repository: 10-15.
Haslindah. 2015. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Jantung Koroner Pada Wanita di Wilayah
Pesisir Kabubaten Pangkep. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.
Skripsi dipublikasikan
Herdman, T. Heather. 2015. NANDA International 2015-2017. Jakarta: EGC.

Jonathan myers. 2003. Exercise and cardiovascular. American Heart Association. 1007:1-2
Kabo, P dan Karim, S. 2008. EKG dan penanggulangan beberapa penyakit jantung untuk dokter
umum. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas IndonesiaAL
Loscalzo, Joseph. Harrison Kardiologi Dan Pembuluh Darah. 2015. Edisi 2. Jakarta : EGC
Majid, Abdul. 2010. Analisis faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Rawat Inap Ulang
Pasien Gagal Jantung Kongestif di Rumah Sakit Yogyakarta Tahun 2010. Tesis. Jakarta:
Fakultas Ilmu Keperawatan UI.
National Heart lung and Blood Institute. 2014. Penyakit Jantung Koroner.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2015. Pedoman Tatalaksana
Gagal Jantung (edisi pertama). Jakarta: PERKI.
Philip l, dkk, 2008. At A Glance Edisi Ketiga Sistem Kardivaskuler. Jakarta: Erlangga.
Saparina, L, Titi. 2010. Analisis Faktor Risiko Penyakit Jantung KoronerDi RSUP Dr. Wahiddin
Sudirohusodo Makassar. Program PascasarjanaUniversitas Hasanuddin Makassar. Tesis
dipublikasikan
Setiati S, Awi I, Sudoyo AW, Setiyohadi B, Syam AF, Simadibrata M. 2014. IPD PAPDI, 6th ed.
Jakarta Pusat: Interna Publishing.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2012. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
Sylvia Anderson 2014, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Alih Bahasa, Adi
Dharma, Edisi III

Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2, Alih Bahasa
Kuncara, H.Y, dkk, EGC, Jakarta.
Thaler, Malcolm S. 2006. Satu-satunya buku EKG yang Anda Perlukan. Hipokrates: Jakarta.
Yuniadi Yoga dkk. 2017.Buku Ajar Kardiovaskuler Jilid Ii.Departemen Kardiologi Dan
Kedokteran Vaskuler. : Jakarta : FKUI

Anda mungkin juga menyukai