DISUSUN OLEH :
GOLONGAN II
KELOMPOK 9
1
Natrium tiosulfat merupakan larutan standar yang sering digunakan dalam
metode iodometri. Larutan tidak boleh distandarisasi dengan penimbangan secara
langsung tetapi harus distandarisasi terhadap standar primer. Senyawa natrium
tiosulfat mengikat lima molekul air dengan rumus kimiaNa2S2O3.5H2O. Garam
(Na2S2O3.5H2O) ini digunakan sebagai pentahidrat (Samsuar, et.al., 2017).
Natrium tiosulfat merupakan zat pereduksi, digunakan sebagai larutan baku
sekunder karena mudah diperoleh dalam kemurnian yang tinggi, tetapi selalu
terdapat ketidakpastian akan kandungan airnya karena sifat efloresen dari garam
tersebut ataupun karena alasan lainnya, sehingga natrium tiosulfat tidak dapat
dijadikan larutan standar primer dan perlu distandarisasi. Natrium tiosulfat
memiliki berat molekul 248,17 (Basset, 1994).
Natrium tiosulfat memiliki pemerian yaitu berupa hablur besar tidak berwarna
atau serbuk halus kasar. Dalam udara lembab meleleh basah; dalam hampa udara
pada suhu diatas 330merapuh. Natrium tiosulfat larut dalam 0,5 bagian air; praktis
tidak larut dalam etanol (95%) P (Depkes RI, 1979).
2.3 Indikator Kanji
Indikator kanji dibuat dengan melarutkan 500 mg pati P atau pati larut P
dengan 5 mL akuades sambil terus diaduk akuades secukupnya sampai 100 mL.
Didihkan selama beberapa menit, dinginkan, lalu disaring (Depkes RI, 1979).
Kelemahan dari indikator kanji adalah dengan iod memberi suatu kompleks yang
tidak dapat larut dalam air sehingga kanji tidak boleh ditambahkan terlalu dini
dalam titrasi (karena itu, dalam titrasi iod, larutan kanji tidak boleh ditambahkan
sampai tepat sebelum titik akhir, ketika warna mulai memudar), dan kadang-
kadang terdapat titik akhir yang “hanyut” yang menyolok bila larutan encer
sedangkan keunggulan kanji yang utama adalah bahwa harganya murah (Basset,
1994). Indikator yang digunakan pada titrasi ini adalah indikator kanji, suatu
larutan (penyebaran koloidal) dari kanji lebih umum digunakan karena warna biru
gelap dari kompleks iodin-kanji bertindak sebagai suatu tes yang amat sensitif
untuk iodin (Day dan Underwood, 1981).
2
Titrasi oksidasi reduksi atau titrasi redoks merupakan titrasi yang berdasarkan
pada perpindahan elektron antara titran dan analit yang melibatkan penangkapan
dan pelepasan elektron, sehingga terjadi perubahan bilangan oksidasi. Istilah
oksidasi mengacu pada setiap perubahan kimia dimana terjadi kenaikan bilangan
oksidasi, sedangkan reduksi digunakan untuk setiap penurunan bilangan oksidasi.
Berarti proses oksidasi disertai hilangnya elektron, sedangkan reduksi
memperoleh elektron (Khopkar, 2003). Jenis titrasi redoks biasanya menggunakan
potensiometri untuk mendeteksi titik akhir, meskipun demikian penggunaan
indikator yang dapat berubah warnanya dengan adanya kelebihan titran juga
sering digunakan (Gandjar dan Rohman, 2007).
Titrasi redoks berdasarkan pada jenis oksidator maupun reduktor yang
digunakan sebagai titran atau larutan standar digolongkan menjadi lima jenis yaitu
permanganatometri (larutan standar KMNO4), Bikromamometri (larutan standar
K2Cr2O2), Bronatometri (larutan standar KbrO 3), Iodimetri (larutan standar I2),
Iodometri (larutan standar Na2S2O3) (Gandjar dan Rohman, 2007).
Titrasi yang melibatkan iodium dapat dilakukan dengan dua cara yaitu titrasi
langsung (iodimetri) dan titrasi tidak langsung (iodometri).
a) Titrasi Langsung (Iodimetri)
Titrasi iodimetri digunakan untuk menetapkan kadar asam askorbat,
natrium askorbat, metampiron (antalgin), serta natrium tiosulfat dan sediaan
injeksinya (Gandjar dan Rohman, 2007).
Iodium merupakan oksidator yang relatif kuat dengan nilai potensial
oksidator sebesar +0,535 V. Pada saat reaksi oksidasi, iodium akan direduksi
menjadi iodida sesuai dengan reaksi :
I2 + 2e 2I-
3
dilakukan dengan menggunakan indikator amilum yang dapat menunjukkan
warna biru pada saat tercapai titik akhir titrasi (Gandjar dan Rohman, 2007).
b) Titrasi Tidak Langsung (Iodimetri)
Titrasi iodimetri digunakan untuk menetapkan senyawa-senyawa yang
memiliki potensial oksidasi yang lebih besar daripada sistem iodium-iodida
atau senyawa-senyawa yang bersifat oksidator seperti CuSO4.5H2O (Gandjar
dan Rohman, 2007).
Sebagai contoh adalah penentuan kandungan klorin (Cl2) dalam agen
pemutih. Klorin akan mengoksidasi iodida untuk menghasilkan iodium.
Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :
Cl2 + 2I 2Cl- + I2
4
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, penetapan kadar asam askorbat
(vitamin C) dapat dilakukan dengan menimbang seksama ± 400 mg, larutkan
dalam campuran 100 mL air dan 25 mL asam sulfat 2N, tambahkan 3 mL
kanji LP. Titrasi segera dengan iodium 0,1N LV. 1 mL iodium 0,1N setara
dengan 8,806 mg C6H8O6 (Depkes RI, 1995).
Dalam metode iodimetri asam askorbat (C6H8O6) dioksidasi oleh iodin
menjadi asam dehidroaskorbat (C6H6O6). Selama reaksi oksidasi asam
askorbat, molekul asam askorbat akan melepas elektron yang diserahkan
kedalam molekul iodine sehingga molekul iodine mengalami reduksi. Asam
askorbat teroksidasi membentuk asam dehidro askorbat, sedangkan iodine
tereduksi menghasilkan ion iodin (Walker dan Wood, 2010). Berikut adalah
gambaran reaksi yang berlangsung :
5
3.2. Bahan
a. Tablet vitamin C
b. Larutan standar KIO3 0,02 M
c. Larutan Na2S2O3 0,1 M
d. Larutan H2SO4 0,5 M
e. Serbuk KI
f. Indikator kanji
g. Akuades
IV. PROSEDUR PRAKTIKUM
4.1. Pembuatan Larutan Standar KIO3 0,02 M
4.1.1 Perhitungan
Diketahui : M KIO3 = 0,02 M
BM KIO3 = 214 g/mol
V KIO3 = 500 mL
Ditanya : massa KIO3 =.....?
Jawab :
massa 1000
M = x
MR v (mL)
massa 1000
0,02 M = x
214 g/mol 500 mL
Massa = 2,14 gram = 2140 mg
Jadi, massa KIO3 yang ditimbang adalah 2,14 g atau 2140 mg
4.1.2 Prosedur Kerja
Ditimbang dengan seksama 2,14 g kristal KIO 3 pada kaca arloji atau gelas
piala (beaker glass) .Dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu takar 500 ml.
Ditambahkan sejumlah volume air kemudian diaduk sampai larut. Ditambahkan
air lagi sampai tanda batas, dikocok sampai homogen.
4.2 Pembuatan Indikator Kanji
4.2.1 Perhitungan
Dik : 500 mg amilum dalam 100 ml
Dit : massa amilum dalam 250 ml
6
1 x
Jawab: = , X= 2,5 gram
100 ml 250 ml
4.2.2 Prosedur Kerja
Larutkan 2,5 gram pati P atau pati larut P dengan 5 mL akuades sambil terus
diaduk akuades secukupnya sampai 250 mL. Didihkan selama beberapa menit,
dinginkan, lalu disaring.
4.3 Pembuatan Larutan H2SO4 0,5 M
4.3.1 Perhitungan
Diketahui : M H2SO4 = 0,5 M
Volume H2SO4 = 500 mL
ρ H2SO4 = 1,84 g/mL
BM H2SO4 = 98,07 g/mol
H2SO4 yang tersedia = 98 % b/b
Ditanya : Volume H2SO4 ?
Jawab :
Molaritas H2SO4 98%b/b
98 gram 1000 x 1,84 gram/mol
M= x
98 gram/mol 100 gram
M= 18,40M
M1 x V1 = M2 x V2
18,40 M x V1 = 0,5 M x 500mL
V1 =13,58 mL
Jadi, volume H2SO4 yang dipipet sebanyak 13,58 mL
4.3.2 Prosedur Kerja
Sedikit akuades dimasukkan ke dalam labu ukur 500 mL, dipipet 13,58 mL
H2SO4 dimasukkan ke dalam labu ukur, ditambahkan akuades hingga tanda batas
500 mL, digojog hingga homogen, kemudian dipindahkan ke dalam botol coklat
dilapisi dengan aluminium foil.
4.4 Pembuatan Larutan Standar Na2S2O3 0,1 M
4.4.1 Perhitungan
Diketahui : MNa2S2O3 = 0,1 M
Volume Na2S2O3 = 1000 mL
7
BM Na2S2O3 = 248,17 g/mol
Ditanya : Masaa Na2S2O3 yang ditimbang?
Jawab :
M x BM x V 248,17 x 500 x 0,1
0,1 M x 248,17 gram x 0,1
Massa = 1000 10001000 = 24,817 gram
8
V. SKEMA KERJA
5.1 Pembuatan larutan standar KIO3 0,02 M
Ditimbang dengan seksama 2,14 g kristal KIO3 pada kaca arloji atau gelas
piala (beaker glass)
Dilarutkan 2,5 g pati P atau pati larut P dengan 5 mL akuades sambil terus
diaduk
9
kemudian dipindahkan ke dalam botol coklat dilapisi dengan aluminium
foil
5.4 Pembuatan Larutan Standar Na2S2O3 0,1 M
Disiapkan tiga buah labu Erlenmeyer ( beri nomor 1,2,dan 3), lalu
masing-masing labu diisi dengan 6,25 mL larutan standar KIO3 0,02 M
Pada labu 1, ditambahkan 0,5 g KI dan 5 mL asam sulfat 0,5 M dan segera
titrasi dengan larutan standar Na2S2O3 0,1M sampai larutan berwarna
kuning pucat.
Dilanjutkan titrasi sampai warna biru hilang. Ulangi titrasi untuk dua labu
sisanya. Dihitung konsentrasi molar larutan.
10
5.6 Skema Kerja Metoda Penetapan Kadar Vitamin C
11
Indikator : Larutan Kanji 1%
Volume
Pengamatan Kesimpulan
Na2S2O3 0,1 M
I : Merah kecoklatan → Kuning pucat Tercapai titik
7,8 mL
II : Kuning → Biru kehitaman → Bening akhir titrasi
I : Merah kecoklatan → Kuning pucat Tercapai titik
7,8 mL
II :Kuning → Biru kehitaman → Bening akhir titrasi
I : Merah Kecoklatan → Kuning pucat Tercapai titik
7,5 mL
II : Kuning → Biru kehitaman → Bening akhir titrasi
12
Kadar Vitamin C rata – rata = −5,799% b/b
6.1.3 Tabel Penimbangan dan Pengukuran
No Nama Bahan Jumlah Paraf
1. Penimbangan KI
Penimbangan I 0,508 g
Penimbangan II 0,520 g
Penimbangan IV 0,512 g
0,503 g
Penimbangan V
2. Pembuatan indikator kanji
Kanji 2,5 gram
Ad akuades 250 mL
3. Pembuatan larutan H2SO4
H2SO4 13, 53 mL
Akuades Ad 500 mL
4. Pembuatan larutan Na2S2O3
Na2S2O3 24,817 gram
Akuades Ad 1000 mL
5. Pembuatan larutan KIO3
KIO3 2,14 gram
Akuades Ad 500 mL
6. Standarisasi Na2S2O3
pada masing-masing erlenmeyer
KIO3 6,25 mL
H2SO4 2,5 mL
KIO3 6,25 mL
H2SO4 10 mL
13
Indikator kanji 30 Tetes
14
- V KIO3 = 6,25 mL
- V Na2S2O3 titrasi I = 7,8 mL
- V Na2S2O3 titrasi II= 7,8 mL
- V Na2S2O3 titrasi III= 7,5 mL
Ditanya: M rata-rata Na2S2O3 = …?
Jawab:
a. Reaksi pembentukan I3- oleh KI dan KIO3
KIO3 → K+ + IO3-
KI → K+ + I-
Reaksi reduksi oksidasi yang berlangsung :
Reduksi : IO3- → I3-
Oksidasi : I- → I3-
Penyetaraan setengah reaksi :
Reduksi : 3IO3- + 18H+ + 16e → I3- + 9H2O |×1|
Oksidasi : 3I- → I3- + 2e |×8|
Reduksi : 3IO3- + 18H+ + 16e → I3- + 9H2O
Oksidasi : 24I- → 8I3- + 16e
3IO3- + 24I- + 18H+ → 9I3- + 9H2O
IO3- + 8I- + 6H+ → 3I3- + 3H2O ........... (a)
b. Reaksi Na2S2O3 dengan I3-
Na2S2O3 → 2Na+ + S2O32-
Reaksi reduksi oksidasi yang berlangsung :
Reduksi : I3- → 3I-
Oksidasi : S2O32-→ S4O62-
Penyetaraan dengan setengah reaksi
Reduksi : I3- + 2e → 3I-
Oksidasi : 2S2O32- → S4O62- + 2e
2S2O32- + I3- → S4O62- + 3I-..................... (b)
c. Gabungan keseluruhan reaksi (reaksi a dan b)
IO3- + 8I- + 6H+ → 3I3- + 3H2O ............. (a) |×3|
2S2O32- + I3- → S4O62- + 3I- .............. (b) |×8|
15
3IO3- + 24I- + 18H+→ 9I3- + 9H2O
16S2O32- + 8I3- → 8S4O62- + 24I-
3IO3- + 16S2O32- + 18H+ → 8S4O62- + I3-+ 9H2O
d. Perhitungan molaritas rata-rata Na2S2O3
Diperoleh gabungan kedua stoikiometri sebagai berikut :
3IO3- + 16S2O32- + 18H+ → 8S4O62- + I3-+ 9H2O
Berdasarkan stoikiometri tersebut diperoleh perbandingan sebagai berikut :
mol KIO 3 IO 3−¿
=Koefisien ¿
mol Na 2 S2 O 3 Koefisien S2 O 32−¿ ¿
S2 O32−¿
mol Na2 S 2 O3=Koefisien ¿
Koefisien IO3−¿ × mol KIO 3 ¿
16
¿ ×( M KIO 3 ×V KIO 3)
3
16
¿ ×(0,02 M ×6,25 ml )
3
16
¿ × 0,125mmol
3
= 0,6667 mmol
e. Perhitungan molaritas Na2S2O3 tiap titrasi
mol Na 2 S 2 O3
M Na 2 S 2 O 3=
V Na 2 S2 O 3
- Titrasi I
0,6667 mol
M Na 2 S 2 O 3 I =
7,8 mL
= 0,085 M
- Titrasi II
0,6667 mol
M Na 2 S 2 O 3 II=
7,8 mL
= 0,085 M
- Titrasi III
0,6667 mol
M Na 2 S 2 O 3 III=
7,5 mL
= 0,088 M
16
Berdasarkan perolehan molaritas Na2S2O3 pada tiap titrasi, dapat ditentukan
normalitas molaritas Na2S2O3 sebagai berikut :
M I + M II + M III
Molaritas Rata−rata NaOH=
3
0,085 M +0,085 M +0,088 M
¿
3
¿ 0,086 M
17
IO3- + 8I- + 6H+ → 3I3- + 3H2O ........... (a)
b. Reaksi C6H8O6 dengan I3-
Reaksi reduksi oksidasi yang berlangsung :
Reduksi : I3- → 3I-
Oksidasi : C6H8O6 → C6H6O6 + 2H+
Penyetaraan dengan setengah reaksi
Reduksi : I3- + 2e → 3I-
Oksidasi : C6H8O6 → C6H6O6 + 2H+ + 2e
C6H8O6 + I3- → C6H6O6 + 3I- + 2H+..................... (b)
c. Gabungan keseluruhan reaksi (reaksi a dan b)
IO3- + 8I- + 6H+ → 3I3- + 3H2O ......................... (a) |×3|
C6H8O6 + I3- → C6H6O6 + 3I- + 2H+.............. (b) |×8|
3IO3- + 24I- + 18H+→ 9I3- + 9H2O
8C6H8O6 + 8I3- → 8C6H6O6 + 24I- + 16H+
3IO3- + 8C6H8O6 + 2H+ → 8C6H6O6 + I3-+ 9H2O..................... (c)
d. Reaksi Na2S2O3 dengan I3-
Na2S2O3 → 2Na+ + S2O32-
Reaksi reduksi oksidasi yang berlangsung :
Reduksi : I3- → 3I-
Oksidasi : S2O32-→ S4O62-
Penyetaraan dengan setengah reaksi
Reduksi : I3- + 2e → 3I-
Oksidasi : 2S2O32- → S4O62- + 2e
2S2O32- + I3- → S4O62- + 3I-.................................. (d)
e. Reaksi Titrasi dalam Penetapan Kadar (gabungan reaksi c dan d)
2S2O32- + I3- → S4O62- + 3I-
3IO3- + 8C6H8O6 + 2H+ → 8C6H6O6 + I3-+ 9H2O
2S2O32-+3IO3- + 8C6H8O6 + 2H+ → S4O62- + 3I-+8C6H6O6 + 9H2O
f. Perhitungan mol I3- awal
Berdasarkan reaksi pembentukan I3- oleh KI dan KIO3 dengan persamaan
sebagai berikut (reaksi a) :
18
IO3- + 8I- + 6H+→ 3I3- + 3H2O
diperoleh perbandingan mol KIO3 dengan mol I3- sebagai berikut :
mol KIO 3
IO3−¿
mol I 3−¿=Koefisien ¿¿
Koefisien I 3−¿ ¿
−¿
I3
−¿=Koefisien −¿ ¿¿
Koefisien IO 3 ×mol KIO 3 ¿
mol I 3
3
¿ ×(M KIO 3 ×V KIO 3)
1
3
¿ ×(0,02 M ×6,25 ml)
1
3
¿ ×0,125 mmol
1
= 0,375 mmol
g. Perhitungan mol I3- yang bereaksi dengan Na2S2O3
Berdasarkan reaksi antara Na2S2O3 dengan I3-dengan persamaan sebagai berikut
(reaksi d) :
2S2O32- + I3- → S4O62- + 3I-
diperoleh perbandingan mol Na2S2O3 dengan mol I3- sebagai berikut :
mol Na 2 S 2 O 3
S2 O 32−¿
mol I 3 −¿
=Koefisien ¿¿
Koefisien I 3−¿ ¿
−¿
I3
−¿=Koefisien −¿ ¿¿
Koefisien IO 3 ×mol Na 2 S2 O3 ¿
mol I 3
1
−¿= ×(M Na2 S2 O3 × V Na 2 S2 O3)¿
2
mol I 3
19
1
−¿(3)= ×(0,0942 M ×3,5 ml)¿
2
mol I 3
= 0,1505 mmol
h. Perhitungan mol I3- yang bereaksi dengan Vitamin C tiap titrasi
- Titrasi I
mol I3- = mol I3- awal – mol I3- (1) yang bereaksi dengan Na 2 S 2 O 3
= 0,375 mmol – 1,075 mmol
= -0,7 mmol
- Titrasi II
mol I3- = mol I3- awal – mol I3- (2) yang bereaksi dengan Na 2 S 2 O 3
= 0,375 mmol – 0,1548 mmol
= 0,2202 mmol
- Titrasi III
mol I3- = mol I3- awal – mol I3- (3) yang bereaksi dengan Na 2 S 2 O 3
= 0,375 mmol – 0,1505 mmol
= 0,2245 mmol
i. Perhitungan mol vitamin C yang bereaksi dengan I3- tiap titrasi
Berdasarkan reaksi antara C6H8O6 dengan I3- dengan persamaan sebagai berikut
(reaksi b) :
C6H8O6 + I3- → C6H6O6 + 3I- + 2H+
diperoleh perbandingan mol C6H8O6 dengan mol I3- sebagai berikut :
mol C 6 H 8 O6
Koefisien C 6 H 8 O6
mol I 3−¿= ¿
Koefisien I 3−¿ ¿
I 3−¿
mol C 6 H 8 O 6=Koefisien × mol I 3−¿ ¿ ¿
Koefisien C 6 H 8 O 6
1
mol C 6 H 8 O 6= × mol I 3−¿(yang bereaksi denganvit . C tiap titrasi)¿
1
Perhitungan mol vitamin C yang bereaksi dengan I3- tiap titrasi :
- Titrasi I
1
mol C 6 H 8 O 6 ( 1 )= ×(−0,7 mmol)
1
= -0,7 mmol
- Titrasi II
20
1
mol C 6 H 8 O 6 (1)= ×0 , 2202 mmol
1
= 0,2202 mmol
- Titrasi III
1
mol C 6 H 8 O 6 (3)= × 0 ,2245 mmol
1
= 0,2245 mmol
j. Perhitungan massa vitamin C yang bereaksi dengan I3-tiap titrasi
Massa vit C tiap titrasi = mol vit C tiap titrasi × BM vit C
- Titrasi I
Massa Vit C (1) = -0,7 mmol × 176,13 mg/mmol
= -123,291 mg
massa yang terukur
Kadar vit C ( 1 )= ×100 %
massa tablet
−123,291mg
¿ × 100 %
254 mg
= -48,539 % b/b
- Titrasi II
Massa Vit C (2) = 0,2202 mmol × 176,13 mg/mmol
= 38,7838mg
massa yang terukur
Kadar vit C ( 2 )= ×100 %
massatablet
38,7838mg
¿ × 100 %
251mg
= 15,451% b/b
- Titrasi III
Massa Vit C (3) = 0,2245 mmol × 176,13 mg/mmol
= 39,5411 mg
massa yang terukur
Kadar vit C ( 3 )= ×100 %
massatablet
39,5411 mg
¿ ×100 %
252 mg
= 15,690 % b/b
Berdasarkan perolehan kadar vit c pada tiap titrasi, dapat ditentukan kadar rata-
rata vit c sebagai berikut :
K1 + K2 +K3
kadar rata−rata vit c=
3
21
−48,539 % b /b+15,451 % b /b+15,690 % b /b
¿
3
¿−5,799% b/b
22
−123,291mg
¿ × 100 %
50 mg
= -246,582%
massa yang terukur
% Recovery II= ×100 %
massa vit c etiket
38,7838mg
¿ × 100 %
50 mg
= 77,5676%
massa yang terukur
c . % Recovery III = ×100 %
massa vit c etiket
39,5411 mg
¿ ×100 %
50 mg
= 79,0822%
Karena persentase perolehan kembali diluar rentang 98-102% maka metode
penetapan kadar vitamin C dari parameter akurasi tidak valid.
VII. PEMBAHASAN
Pada praktikum analisis farmasi I dilakukan titrasi reduksi-oksidasi untuk
menetapkan kadar dari vitamin c dalam suatu tablet. Titrasi reduksi-oksidasi yang
dilakukan yaitu titrasi iodometri dimana titrasi iodometri merupakan titrasi tidak
langsung, dipilihnya titrasi metode ini karena iodium merupakan oksidator lemah
sehingga jika dilakukan metode langsung maka jumlah iodium yang dibutuhkan
cukup banyak Selain itu sifat iod yang mudah menguap dan teroksidasi dapat
memperbesar risiko terjadinya kesalahan dalam titrasi jika iodium digunakan
sebagai titran langsung (Gandjar dan Rohman, 2007). Pada iodometri, sampel
bersifat oksidator direduksi dengan kalium iodida berlebih dan akan menghasilkan
iodium yang selanjutnya dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat. Banyaknya
volume natrium tiosulfat yang digunakan sebagai titran setara dengan iodium
yang dihasilkan dan setara dengan banyaknya sampel (Gandjar dan Rohman,
2007).
Hal pertama yang dilakukan dalam praktikum kali ini adalah pembuatan
larutan standar KIO3 0,02 M sebanyak 500 mL. Tujuan dari penambahan KIO 3
23
adalah sebagai sumber iod yang dapat diketahui kadarnya dalam titrasi. Larutan
kalium iodat (KIO3) memiliki berat ekivalen yang kecil (35,67) sehingga
kesalahan penimbangan akan menyebabkan kesalahan yang cukup berarti,
sehingga saat penimbangan massa KIO3 yang ditimbang harus benar-benar tepat
(Basset, dkk., 1994). Larutan kalium iodat (KIO 3) dalam praktikum kali ini
dijadikan sebagai larutan baku primer untuk standarisasi larutan Natrium Tiosulfat
dengan penambahan KI dan penambahan H2SO4.
Larutan yang selanjutnya dibuat adalah larutan H2SO4 dan pembuatan
indikator kanji. Dalam titrasi iodometri penambahan H2SO4 digunakan untuk
menciptakan suasana asam karena pada suasana asam oksidasi ion iodida
berlangsung lebih cepat (Day dan Underwood, 2001). Dalam suasana asam,
potensial reduksi iodat menjadi meningkat dengan pesat akibat naiknya
konsentrasi H+ dalam larutan sehingga iodat ini direduksi secara lengkap oleh
iodida (Basset dkk., 1994). Indikator kanji sebagai indikator yang digunakan
dalam praktikum kali ini dibuat dengan cara melarutkan 500 mg amilum atau pati
dalam 100 mL air kemudian di didihkan (Depkes RI, 1979). Dalam praktikum
dibuat indikator kanji sebanyak 2,5 gram dan dilarutkan dengan akuades sebanyak
250 mL, dan kemudian di didihkan, dimana tujuan pendidihan ini karena pati
tidak dapat larut dalam air dingin, sehingga perlu di didihkan. Indikator kanji
digunakan karena jika bereaksi dengan larutan I3- akan menghasilkan warna biru
intensif yang mempermudah perubahan pengamatan pada titik akhir titrasi.
Selanjutnya dibuat larutan Na2S2O3 dimana larutan Na2S2O3 merupakan
larutan yang akan digunakan sebagai pentiter atau titran dalam titrasi iodometri.
Larutan Na2S2O3 nantinya akan distandarisasi terlebih dahulu karena larutan
Na2S2O3 sifatnya belum stabil dalam waktu yang lama dan larutan ini bersifat
reduktor di dalam air dengan adanya CO2 . Kestabilan larutan Na2S2O3 juga
dipengaruhi oleh pH rendah dan lamanya terkena sinar matahari oleh karena itu
dalam penyimpanannya Na2S2O3 disimpan pada rentang pH 7-10 karena, pada pH
tersebut aktivitas bakteri minimal. Untuk mencegah aktivitas bakteri dari bakteri,
pada pembuatan larutan natrium tiosulfat hendaknya menggunakan air yang sudah
dididihkan atau ditambahkan pegawet (Harijadi, 1993). Larutan Na 2S2O3 yang
24
telah dibuat disimpan dalam botol kaca gelap karena larutan Na2S2O3 tidak stabil
terhadap cahaya langsung (Basset, dkk., 1994).
Standarisasi larutan natrium tiosulfat dengan memipet masing-masing 6,25
mL larutan standar KIO3 dan menuangkan ke dalam erlenmeyer. Larutan standar
KIO3 dalam standarisasi natrium tiosulfat berlaku sebagai larutan baku primer
karena mempunyai kemurnian yang tinggi (Harjadi, 1993). Tujuan dari larutan
KIO3 dalam titrasi adalah sebagai sumber iod yang dapat diketahui kadarnya
dalam titrasi. Kemudian ditambahkan 0,5 gram KI ke dalam masing-masing labu
erlenmeyer dengan tujuan sebagai sumber iod berlebih karena iod memiliki sifat
menguap sehingga perlu adanya sumber iod berlebih agar iod yang dihasilkan
tidak menguap sepenuhnya dalam pembentukan ion triiodida (Basset dkk., 1994).
Kemudian ditambahkan 2,5 mL H2SO4 dengan tujuan untuk menciptakan suasana
asam dengan menyumbangkan ion H+. Suasana asam diperlukan karena iod yang
dihasilkan dari KIO3 dan KI tidak dapat digunakan dalam medium netral atau
medium dengan keasaman rendah. Selain itu pada suasana asam, oksidasi ion
iodida berlangsung lebih cepat (Day dan Underwood, 2002). Kemudian dititrasi
dengan larutan Na2S2O3, larutan Na2S2O3 dalam standarisasi Na2S2O3 digunakan
sebagai titran dan larutan baku sekunder karena larutan natrium tiosulfat mudah
diperoleh dalam keadaaan murni, tetapi tidak memiliki kepastian akan kandungan
sebenarnya, dan berada dalam bentuk pentahidrat (Na2S2O3.5H2O) sehingga larutan
Na2S2O3 digunakan sebagai larutan baku sekunder yang harus dibakukan terlebih
dahulu dengan larutan baku primer (Basset dkk., 1994). Digunakan sebanyak 6
mL Na2S2O3 untuk membentuk larutan kuning pucat yang menandai bahwa reaksi
sudah berlangsung secara ekuivalen dan yang tersisa hanyalah iod berlebih yang
memberikan warna kuning pucat. Setelah itu ditambahkan 30 tetes kanji dengan
tujuan membentuk komplek pati-iod memperoleh warna biru kehitaman kemudian
dititrasi kembali dengan larutan Na2S2O3 sampai memperoleh warna bening yang
menunjukkan titik akhir titrasi. Indikator kanji ditambahkan pada saat larutan
akan mencapai titik akhir titrasi karena kompleks amilum-iodium mempunyai
kelarutan kecil dalam air (Khopkar, 1990). Penambahan indikator kanji
sebenarnya tidak diperlukan pada titrasi iodometri karena warna iodin yang
25
dititrasi akan lenyap bila titik akhir titrasi tercapai. Adapun reaksi yang
berlangsung saat standari Na2S2O3 adalah sebagai berikut :
IO3- + 8I- + 6H+ → 3I3- + 3H2O |×3|
2S2O32- + I3- → S4O62- + 3I- |×8|
_____________________________________ +
3IO3- + 16S2O32- + 18H+ → 8S4O62- + I3-+ 9H2O
Standarisasi Na2S2O3 dilakukan titrasi sebanyak 3 kali untuk mendapatkan
perbandingan hasil titrasi I hingga titrasi III sehingga didapatkan data yang akurat
dan dapat mempertimbangkan presisi dari metode analisis yang digunakan. Titrasi
I digunakan sebagai kontrol, titrasi II digunakan sebagai pembanding, dan titrasi
III digunakan sebagai pengoreksi. Titrasi yang dilakukan tiga kali menggunakan
volume titrasi I, II, III yang berturut-turut adalah 7,8 mL; 7,8 mL; 7,5 mL dan
setelah dihitung diperoleh molaritas Na2S2O3 untuk titrasi I adalah 0,085 M, titrasi
II adalah 0,085 M, dan titrasi III adalah 0,086 M dengan rata-rata molaritas yang
diperoleh adalah 0,086 M.
Penetapan kadar vitamin C dilakukan dengan menimbang 20 tablet,
kemudian dihitung penyetaraan bobot yang bertujuan agar mengetahui seberapa
bobot serbuk dari tablet vitamin C yang akan digunakan untuk masing-masing
erlenmeyer dan didapatkan sebesar 0,252 gram untuk labu erlenmeyer I, 0,251
gram untuk labu erlenmeyer II, dan 0,250 gram untuk labu erlenmeyer III. Serbuk
tersebut kemudian ditambahkan air untuk melarutkan dan ditambahkan H2SO4
dengan tujuan untuk menciptakan suasana asam karena oksidasi ion iodide
berlangsung dengan lebih cepat dalam suasana asam (Day and Underwood, 2002).
Kemudian larutan diaduk menggunakan ultrasonik untuk meningkatkan kelarutan
vitamin C. Kemudian sebanyak 6,25 mL KIO3 dan 0,5 gram KI ditambahkan
dengan tujuan yang sama seperti saat standarisasi. Larutan akan berubah menjadi
warna merah kecoklatan, dan dilanjutkan dengan titrasi menggunakan Na2S2O3,
titrasi dilakukan sampai terbentuk warna kuning pucat. Jumlah Na2S2O3 yang
diperlukan untuk membentuk larutan kuning pucat yaitu sebanyak 1 mL.
Kemudian ditambahkan 30 tetes indikator kanji hingga larutan berwarna biru
kehitaman. Warna biru kehitaman tersebut terjadi karena kanji yang merupakan
26
suatu polisakarida yaitu amilum bereaksi dengan iod (yang nantinya dilepaskan
dalam reaksi oksidasi-reduksi) membentuk kompleks berwarna biru kuat yang
dapat terlihat pada konsentrasi iod yang sangat rendah. Kompleks biru gelap atau
biru kuat tersebut disebabkan oleh molekul-molekul iodine yang tertahan di
permukaan β–amilase dari amilum (Basset, J., 1994). Penambahan indikator kanji
untuk membantu penentuan pada titik akhir titrasi, walaupun sebenarnya pada
dasarnya iod sendiri dapat berfungsi sebagai indikator (Basset, J., 1994).
Kemudian titrasi segera dilanjutkan hingga diperoleh warna bening. Titrasi
dilakukan sebanyak 3 kali untuk menjamin presisi dari data yang didapatkan.
Reaksi yang terjadi pada proses titrasi yaitu IO3- akan mengoksidasi I-
membentuk ion triiodida (I3-). Kemudian I3- akan bereaksi dengan asam askorbat.
I3- akan bereaksi dengan asam askorbat. I3- yang tidak bereaksi dengan asam
askorbat (I3- yang tersisa) dititrasi dengan Na2S2O3. Adapun reaksinya sebagai
berikut :
Reaksi Pembentukan I3-
Reduksi : 3IO3- + 18H+ + 16e- → I3- + 9H2O
Oksidasi: 24I- → 8I3- + 16e-
Redoks : 3IO3- + 24I- + 18H+ → 9I3-+ 9H2O
Sedangkan reaksi keseluruhan dalam proses titrasi adalah sebagai berikut :
Reduksi : 8C6H8O6 + 3IO3- + 2H+ → 8C6H8O6+ I3- + 9H2O
Oksidasi:2S2O32- + I3- → S4O62-+3I3-
Redoks : 8C6H8O6 + 3IO3- + 2S2O32- 2H+ → 8C6H8O6 + 3I-+ S4O62-
+9H2O
Titrasi yang dilakukan tiga kali menggunakan volume titrasi I, II, III yang
berturut-turut adalah 25 mL; 3,6 mL; 3,5 mL dan setelah dihitung didapatkan
kadar vitamin C untuk titrasi I adalah -48,539 % b/b, tirasi II adalah 15,451 % b/b,
dan titrasi III adalah 15,690 % b/b dengan standar deviasi sebesar 37,01 % b/b dan
standar deviasi relatif sebesar -638,213 %. Metode analisis yang digunakan pada
praktikum kali ini tidak valid karena standar deviasi relatif lebih kecil dari syarat
yang menetapkan suatu parameter presisi dikatakan valid yaitu kurang dari
rentang 1-2 % (Gandjar dan Rohman ,2007). % recovery yang diperoleh sebesar
27
79,0822% maka metode penetapan kadar vitamin C dari parameter akurasi tidak
valid karena % recovery lebih kecil dari syarat yang menetapkan suatu parameter
akurasi dikatakan valid yaitu pada rentang 98-102%. Dapat dikatakan bahwa
metode analisis yang digunakan belum memenuhi presisi dan akurasi untuk
menetapkan kadar suatu sampel. Faktor yang menyebabkan suatu metode tidak
valid karena 1) Kesalahan praktikan yang menggunakan titran terlalu banyak pada
labu erlenmeyer pertama sehingga hasil standar deviasi relatif yang didapatkan
jauh dari syarat parameter presisi yang ditetapkan, 2) Titran yang digunakan tidak
stabil selama penyimpanan karena pengaruh cahaya dan sifat titran yang
higroskopis, 3) Proses titrasi tidak dilakukan dengan cukup cepat sehingga
terdapat kemungkinan iod yang menguap sebelum bereaksi dengan natrium
tiosulfat ataupun vitamin C dan mempengaruhi jumlah iod yang bereaksi, 4)
Tidak terdapat standar dalam menentukan bahwa larutan sudah kuning pucat
sehingga praktikan tidak dapat menentukan bahwa larutan tersebut sudah
mendekati titik akhir titrasi, 5) Pengamatan terhadap titik akhir titrasi memiliki
subyektivitas sehingga setiap orang memiliki perbedaaan dalam menilai warna
dalam menentukan titik akhir titrasi, 6) Kondisi praktikum tidak sesuai dengan
acuan pustaka sehingga hasil reaksi yang didapat tidak sesuai dengan acuan
pustaka.
VIII. KESIMPULAN
Berdasarkan tujuan dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan yaitu
sebagai berikut.
VIII.1 Prinsip titrasi redoks adalah perpindahan elektron antara titran dan analit
sehingga terjadi perubahan bilangan oksidasi.
VIII.2 Reduksi oksidasi adalah proses perpidahan elektron dari suatu oksidator ke
reduktor sehingga reaksi reduksi adalah reaksi penurunan bilangan
oksidasi atau penangkapan elektron, sedangkan reaksi oksidasi adalah
pelepasan elektron atau kenaikan bilangan oksidasi.
VIII.3 Kadar rata-rata vitamin C yang diperoleh adalah ¿−5,799% b/b
28
VIII.4 Quality control adalah satu set prosedur yang dimaksudkan untuk
memastikan bahwa produk yang diproduksi memenuhi persyaratan yang
telah ditentukan dan juga sebagai pengendalian mutu dari sediaan.
IX. SARAN
IX.1 Pada saat praktikum hendaknya proses titrasi dilakukan dengan berhati-
hati agar volume titran tidak berlebih selain itu perlu ketelitian dalam
melakukan perhitungan sehingga perhitungan kadar dapat lebih akurat.
29
DAFTAR PUSTAKA
Basset, J., R.C., H.G. Denney, J. Jeffery, Mendham. 1994. Buku Ajar Vogel:
Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Day, R.A & A.L. Underwood. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta:
Erlangga.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Hal 694, 428.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Hal 39.
Depkes RI. 2014. Farmakope Indonesia. Edisi V. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Hal: 142.
Gandjar, I.G. dan A. Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Hal: 153-154.
Harjadi , W. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Khopkar, S.M. 2003. Konsep Dasar Kimia Analisis. Jakarta : UI Press.
Safaryani, N. 2007. Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan terhadap Penurunan
Kadar Vitamin C Brokoli (Brassica oleracea L). Malang. Buletin Anatomi
dan Fisiologi. Vol.15(2) : 39-46
Samsuar., Febri M., Merinda S. 2017. Analisis Kadar Klorin (Cl2)
SebagaiPemutih Pada Rumput Laut (Eucheuma cottonii) yang Beredar di
Lampung. Jurnal Farmasi Lampung.Vol.6(2): 13-22.
Walker, P dan E. Wood. 2010. Physical Science Experiments. New York:
Infobase Publishing.
Watson, D. G. 2005. Analisis Farmasi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
30
LAMPIRAN
31