Anda di halaman 1dari 33

NAMA : ERVINA HANIF ANUGRA AKBAR

NIM : 131411133021

MYASTHENIA GRAVIS

1.1 Definisi Myasthenia Gravis


Myastenia gravis adalah salah satu penyakit autoimun yang
disebabkan oleh adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada
neuromuscular junction. Hal ini ditandai oleh suatu kelemahan
abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara
terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Dimana
bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot
akan pulih kembali.
Penyakit autoimun itu sendiri adalah suatu jenis penyakit
dimana antibodi menyerang jaringan-jaringannya sendiri. Myasthenia
Gravis dapat menyerang otot apa saja, tapi yang paling umum terserang
adalah otot yang mengontrol gerakan mata, kelopak mata, mengunyah,
menelan, batuk dan ekspresi wajah. Bahu, pinggul, leher, otot yg
mengontrol gerakan badan serta otot yang membantu pernafasan juga
dapat terserang.
Penyakit Myastenia Gravis ini dapat mengganggu sistem
sambungan saraf (synaps). Pada penderita myastenia gravis, sel
antibodi tubuh atau kekebalan akan menyerang sambungan saraf yang
mengandung acetylcholine (ACh), yaitu neurotransmiter yang
mengantarkan rangsangan dari saraf satu ke saraf lainnya. Jika reseptor
mengalami gangguan maka akan menyebabkan defisiensi, sehingga
komunikasi antara sel saraf dan otot terganggu dan menyebabkan
kelemahan otot.

1
1.2 Anatomi dan Fisiologi Neuromuscular Junction
Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan
merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka motor end-
plate. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut
neuromuscular junction atau sambungan neuromuskular.
Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik
(membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk
neuromuscular junction. Bagian terminal dari saraf motorik melebar
pada bagian akhirnya yang disebut terminal bulb, yang terbentang
diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat saraf. Terminal
Bulb ini memiliki membran yang disebut juga membran pre-synaptic,
struktu ini bersama dengan membran post-synpatic (pada sel otot) dan
celah synaptic (celah antara 2 membran)membentuk Neuro Muscular
Junction.
Membran Pre-Synaptic mengandung asetilkolin (ACh) yang
disimpan dalam bentuk vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka
Ca+ Voltage Gated Channel akan teraktivasi. Terbukanya channel ini
akan mengakibatkan terjadinya influx Calcium. Influx ini akan
mengaktifkan vesikel-vesikel tersebut untuk bergerak ke tepi membran.
Vesikel ini akan mengalami docking pada tepi membran. Karena proses
docking ini, maka asetilkolin yang terkandung di dalam vesikel tersebut
akan dilepaskan ke dalam celah synaptic.
ACh yang dilepaskan tadi, akan berikatan dengan reseptor
asetilkolin (AChR) yang terdapat pada membran post-synaptic. AChR
ini terdapat pada lekukan-lekukan pada membran post-synaptic. AChR
terdiri dari 5 subunit protein, yaitu 2 alpha, dan masing-masing satu
beta, gamma, dan delta. Subunit-subunit ini tersusun membentuk
lingkaran yang siap untuk mengikat ACh.
Ikatan antara ACh dan AChR akan mengakibatkan terbukanya
gerbang Natrium pada sel otot, yang segera setelahnya akan
mengakibatkan influx Na+. Influx Na+ ini akan mengakibatkan

2
terjadinya depolarisasi pada membran post-synaptic. Jika depolarisasi
ini mencapai nilai ambang tertentu (firing level), maka akan terjadi
potensial aksi pada sel otot tersebut. Potensial aksi ini akan
dipropagasikan (dirambatkan) ke segala arah sesuai dengan
karakteristik sel eksitabel, dan akhirnya akan mengakibatkan kontraksi.
ACh yang masih tertempel pada AChR kemudian akan
dihidrolisis oleh enzim Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam
jumlah yang cukup banyak pada celah synaptic. ACh akan dipecah
menjadi Kolin dan Asam Laktat. Kolin kemudian akan kembali masuk
ke dalam membran pre-synaptic untuk membentuk ACh lagi. Proses
hidrolisis ini dilakukan untuk dapat mencegah terjadinya potensial aksi
terus menerus yang akan mengakibatkan kontraksi terus menerus.

1.3 Etiologi Myasthenia Gravis


Myasthenia Gravis dimasukkan dalam golongan penyakit
autoimun. Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana
autoantibodi pada serum penderita Myastenia Gravis secara langsung
melawan konstituen pada o t o t . Tidak diragukan lagi, bahwa
antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama
kelemahan otot pasien dengan Myastenia Gravis. Autoantibodi
terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum
90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata.

3
Antibodi adalah protein yang memainkan peranan penting
dalam sistem imun. Biasanya antibodi secara langsung menolak
protein-protein asing yang disebut antigen yang menyerang tubuh.
Protein-protein ini termasuk juga bakteri dan virus. Antibodi menolong
tubuh untuk melindungi dirinya dari protein-protein asing ini. Untuk
alasan yang tidak dimengerti, sistem imun pada orang dengan
Myasthenia Gravis membuat antibodi melawan reseptor pada
neuromuscular junction. Antibodi yang tidak normal ini dapat
ditemukan dalam darah pada orang-orang dengan Myasthenia Gravis.
Antibodi tersebut menghancurkan reseptor dengan lebih cepat
dibanding tubuh mereka sendiri dapat melakukannya (Myasthenia
Gravis Foundation of America).
Selain penjelasan mengenai penyebab Myasthenia Gravis,
terdapat juga penjelasan mengenai kemungkinan adanya peranan
kelenjar thymus dalam penyakit ini. Kelenjar thymus yang terletak di
daerah dada atas di bawah tulang dada, mempunyai peranan penting
dalam mengembangkan system imun pada awal kehidupan. Kelenjar ini
pada saat bayi ada dalam jmlah yang cukup banyak, tumbuh secara
berangsur-angsur sampai masa pubertas, dan kemudian menjadi
mengecil dan digantikan dengan pertumbuhan bersama usia.
Beberapa orang dengan Myasthenia Gravis menghasilkan
thymoma atau tumor pada kelenjar thymus. Umumnya tumor ini jinak,
tapi bisa menjadi berbahaya. Hubungan antara kelenjar thymus dan
Myasthenia Gravis masih belum sepenuhnya dimengerti. Para ilmuwan
percaya bahwa kelenjar thymus mungkin memberikan instruksi yang
salah mengenai produksi antibodi reseptor asetilkolin sehingga malah
menyerang transmisi neuromuskular.

1.4 Patofisiologi Myasthenia Gravis


Otot-otot dari seluruh tubuh dikontrol oleh impul syaraf yang
timbul dalam otak. Impul-impul syaraf ini berjalan turun melewati

4
syaraf-syaraf menuju tempat dimana syaraf-syaraf bertemu dengan
serabut otot. Serabut syaraf tidak benar-benar berhubungan dengan
serabut otot. Ada tempat atau jarak antara keduanya, tempat ini disebut
neuromuskular junction.
Ketika impul syaraf yang berasal dari otak sampai pada syaraf
bagian akhir, syaraf bagian akhir ini mengeluarkan bahan kimia yang
disebut asetilkolin. Asetilkolin berjalan menyeberangi jarak yang ada
diantara serabut syaraf dan serabut otot (neuromuscular junction)
menuju serabut otot dimana banyak diikat oleh reseptor asetilkolin.
Otot menutup atau mengkerut ketika reseptor telah digiatkan oleh
asetilkolin. Pada Myasthenia Gravis, ada sebanyak 80 % penurunan
pada angka reseptor asetilkolin. Penurunan ini disebabkan oleh antibodi
yang menghancurkan dan merintangi reseptor asetilkolin.
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah
Acetyl Choline Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl
Choline(ACh) yang tetap dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat
mengantarkan potensial aksi menuju membran post-synaptic.
Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah
normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang
diaktifkan oleh impuls tertentu. inilah yang kemudian menyebabkan
rasa sakit pada pasien.
Alasan mengapa pada penderita Myasthenia Gravis, tubuh
menjadi kehilangan toleransi terhadap AChR sampai saat ini masih
belum diketahui. Sampai saat ini, Myasthenia Gravis dianggap sebagai
penyakit yang disebabkan oleh sel B, karena sel B lah yang
memproduksi anti-AChR bodies. Namun, penemuan baru menunjukkan
bahwa sel T yang diproduksi oleh Thymus, memiliki peranan penting
pada patofisiologis penyakit Myasthenia Gravis. Hal ini ditunjukkan
dengan banyaknya penderita Myasthenic mengalami hiperplasia thymic
dan thymoma.

5
Sub-unit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin.
Sehingga pada pasien myastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan
dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara
langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Ikatan
antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan
mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui
beberapa cara, antara lain: ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap
antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor
asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan
sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi
area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor
asetilkolin yang baru disintesis.

1.5 Prevalensi dan Epidemiologi Myasthenia Gravis


Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui.
Angka kejadiannya 20 dalam 100.000 populasi. Biasanya penyakit ini
lebih sering tampak pada umur diatas 50 tahun. Wanita lebih sering
menderita penyakit ini dibandingkan pria dan dapat terjadi pada
berbagai usia. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih
muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering
terjadi pada usia 60 tahun. Pola ini sering disimpulkan dengan
menyebutkan bahwa Myasthenia Gravis adalah penyakit wanita muda
dan pria tua. Pada pasien yang mengalami Myasthenia Gravis sebagai
akibat karena memiliki thymoma, tidak ada kelaziman usia dan jenis
kelamin.
Pada Myasthenia bayi, janin mungkin memperolah protein imun
(antibodi) dari ibu yang terkena Myasthenia Gravis. Umumnya, kasus-
kasus dari Myasthenia bayi adalah sementara dan gejala-gejala anak-
anak umumnya hilang dalam beberapa minggu setelah kelahiran.
Myasthenia Gravis tidak secara langsung diwarisi ataupun menular.

6
Adakalanya, penyakit ini mungkin terjadi pada lebih dari satu orang
dalam keluarga yang sama.

1.6 Klasifikasi Myasthenia Gravis


a. Klasifikasi Klinis Myasthenia Gravis
(1) Kelompok I Myasthenia Okular : Hanya menyerang otot-otot
ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak ada
kasus kematian.
(2) Kelompok II Myasthenia Umum
(a) Myasthenia umum ringan : Progress lambat, biasanya
pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan
bulbar. Sistem pernafasan tidak terkena. Respon terhadap
terapi obat baik. Angka kematian rendah.
(b) Myasthenia umum sedang : Progress bertahap dan sering
disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat
dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar.
Disartria (gangguan bicara), disfagia (kesulitan menelan)
dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan
Myasthenia umum ringan. Otot-otot pernafasan tidak
terkena. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan
dan aktivitas pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah.
(c) Myasthenia umum berat
o Fulminan akut : progress yang cepat dengan
kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat
disertai mulai terserangnya otot-otot pernafasan.
Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu
6 bulan. Dalam kelompok ini, persentase thymoma
paling tinngi. Respon terhadap obat buruk. Insiden
krisis Myasthenik, kolinergik, maupun krisis gabungan
keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi.

7
o Lanjut : Myasthenia Gravis berat timbul paling
sedikit 2 tahun sesudah progress gejala-gejala
kelompok I atau II. Myasthenia Gravis dapat
berkembang secara perlahan-lahan atau secara tiba-tiba.
Persentase thymoma menduduki urutan kedua. Respon
terhadap obat dan prognosis buruk.

b. Klasifikasi berdasarkan The Medical Scientific Advisory Board


(MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) :

(1) Class I Kelemahan otot okular dan Gangguan menutup mata,


Otot lain masih normal
(2) Class II Kelemahan ringan pada otot selain okular, Otot okular
meningkat kelemahannya
(3) Class IIa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit mempengaruhi
otot-otot oropharyngeal
(4) Class IIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan
pernapasan, Juga mempengaruhi ekstrimitas
(5) Class III Kelemahan sedang pada otot selain okuler,
Meningkatnya kelemahan pada otot okuler
(6) Class IIIa Mempengaruhi ektrimitas , Sedikit mempengaruhi
otot-otot oropharyngeal
(7) Class IIIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan
pernapasan, Juga mempengaruhi ekstrimitas
(8) Class IV Kelemahan berat pada selain otot okuler, Kelemahan
berat pada otot okuler
(9) Class IVa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit pengaruh pada
otot-otot oropharyngeal
(10) Class IVb Terutama mempengaruhi otot-otot pernapasan dan
oropharyngeal, Juga mempengruhi otot-otot ekstrimitas
(11) Class V Pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus
post-operative)

8
1.7 Gejala Klinis Myasthenia Gravis
Myasthenia Gravis adalah penyakit kelemahan pada otot, maka
gejala-gejala yang timbul juga dapat dilihat dari terjadinya kelemahan
pada beberapa otot. Otot-otot yang paling sering diserang adalah otot
yang mengontrol gerak mata, kelopak mata, bicara, menelan
mengunyah, dan bahkan pada taraf yang lebih gawat sampai menyerang
pada otot pernafasan. Dengan ikut terserangnya otot-otot yang
mengontrol pernafasan, maka hal ini menyebabkan penderita
mengalami beberapa gangguan dalam pernafasan, mulai dari nafas yang
pendek, kesulitan untuk menarik nafas yang dalam sampai dengan gagal
nafas sehingga memerlukan bantuan ventilator.
Pada 90 % penderita, gejala awal berupa gangguan pada otot-
otot ocular yang menimbulkan ptosis (menurunnya kelopak mata) dan
diplopia (penglihatan ganda). Diagnosis dapat ditegakkan dengan
memperhatikan otot-otot levator palpebrae kelopak mata. Bila penyakit
hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya
sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian.
Myasthenia Gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring dan
faring. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika
pasien mencoba menelan (otot-otot palatum), menimbulkan suara yang
abnormal atau suara nasal (sengau) serta gangguan bicara (dysarthria),
dan pasien tidak mampu menutup mulut, yang dinamakan sebagai tanda
rahang menggantung.
Terserangnya otot-otot pernafasan terlihat dari adanya batuk
yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea (ketidak
nyamanan dalam bernafas) dan pasien tidak lagi mampu untuk
membersihkan lendir dari trakhea dan cabang-cabangnya. Pada kasus
lanjut, gelang bahu dan panggul dapat terserang pula, dapat pula terjadi
kelemahan pada semua otot-otot rangka.

9
Oto
t-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami
kelemahan dibandingkan otot –otot anggota tubuh bawah. Musculus
deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta
jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan.Otot trisep lebih
sering terpengaruh dibandingkan otot bisep.Pada ekstremitas bawah,
sering kali terjadi kelemahan melakukan dorsofleksi jari-jari kaki
dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki dan saat
melakukan fleksi panggul.
Kelemahan otot pada Myasthenia Gravis meningkat pada saat
aktivitas yang terus menerus dan membaik setelah periode istirahat.
Pasien akan mengalami penurunan tenaga sepanjang hari, dengan
kecenderungan kelelahan dalam satu hari, atau menjelang berakhirnya
aktivitas. Jika dibiarkan, keluhan umum yang dialami oleh pasien
biasanya berkembang menjadi kesulitan pengunyahan selama makan.
Gejala dari berbagai kelemahan tersebut cenderung menjadi lebih buruk
dengan adanya berbagai macam stress, kepanasan, infeksi serta pada
penderita dengan akhir masa kehamilan.
Perjalanan klinis dari Myasthenia Gravis sangat bervariasi
antara pasien satu dengan yang lainnya. Dari sekian banyak pasien
Myasthenia Gravis, 14 % hanya dengan gejala-gejala mata saja yang
mengarah pada ocular MG. Kehebatan maksimum dari Myasthenia
Gravis dicapai dalam waktu 1 tahun pada 55 % dari kasus, dan dalam 5
tahun pada 85 % dari kasus. Aspek yang paling berbahaya dari
Myasthenia Gravis disebut Myasthenia Krisis, yang memungkinkan
diperlukannya ventilator pada beberapa kasus.

1.8 Pemeriksaan Penunjang Myasthenia Gravis


a. Test Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba test
Wartenberg. Penderita diminta untuk menatap tanpa kedip kepada
suatu benda yang terletak diatas dan diantara bidang kedua mata

10
untuk beberapa waktu lamanya. Pada Myasthenia Gravis, kelopak
mata yang terkena akan menunjukkan ptosis.
b. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila
tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon
secara intravena. Segera setelah tensilon disuntikkankita harus
memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata
yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera
lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan
dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.
c. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat
secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½
mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis
maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau
kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
d. Uji Kinin
Dib
erikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Untuk
uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-
gejala miastenik tidak bertambah berat.Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis,
strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat.
e. Laboratorium (Tes darah)
Antistriat
ed muscle (anti-SM) antibody : Tes ini menunjukkan hasil
positif pada sekitar 84% pasien yang menderita timoma dalam usia
kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan salah satu tes yang
pentingpada penderita miastenia gravis. Pada pasien tanpa

11
timomaanti-SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada
pasien dengan usia lebih dari 40 tahun,.
Ant
i-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies : Hampir 50%
penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR
Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang
positif untuk anti-MuSK Ab.
Antistriation
al antibodies : Antibodi ini bereaksi dengan epitop
pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini
selalu dikaitkan dengan pasien timomadengan miastenia gravis
pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu
kecurigaaan yang kuat akan adanya timoma pada pasien muda
dengan miastenia gravis.Hal ini disebabkan dalam seru beberapa
pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi yang
berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot
jantung penderita.
Anti-asetilkolin reseptor antibodi : Hasil dari pemeriksaan ini dapat
digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana
terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien.80% dari penderita
miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan
miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin
reseptor antibodi yang positif. Pada pasien timomatanpa miastenia
gravis sering kali terjadifalse positive anti-AChR antibody
f. Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada
transmisi neuromuscular melalui 2 teknik :
Single-fiber Electromyography (SFEMG) : SFEMG mendeteksi
adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa
peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena
menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil
untuk merekam serat otot penderita. Sehingga SFEMG dapat

12
mendeteksi suatu titer(variabilitas pada interval interpotensial
diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama)
dan suatufiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot
tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).
Repetitive Nerve Stimulation (RNS) : Pada penderita miastenia
gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada
RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi.
g. Computed Tomography Scan (CT Scan) atau Magnetic Resonance
Imaging (MRI)
Digunakan untuk mengidentifikasi kelenjar thymus yang tidak
normal atau keberadaan dari thymoma.
h. Pulmory Function Test (Test Fungsi Paru-Paru)
Test mengukur kekuatan pernafasan untuk memprediksikan apakah
pernafasan akan gagal dan membawa kepada krisis Myasthenia.

1.9 Penatalaksanaan Myasthenia Gravis


Myasthenia gravis merupakan kelainan neurologik yang
paling dapat diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor)
dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada
myasthenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada
myasthenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien dengan
myasthenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi
yang rutin. Penatalaksanaan myastenia gravis dapat dilakukan dengan
obat-obatan, timomektomi ataupun dengan imunomodulasi dan
imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis yang baik pada
kesembuhan miastenia gravis.
Terapi pemberian antibiotik yang dikombainasikan dengan
imunosupresif dan imunomodulasi yang ditunjang dengan penunjang
ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan
morbiditas. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang
dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan tepat yang memiliki

13
onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama
sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan.
a. Plasma Exchange (PE)
Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara
efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi.
Dimana pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan
intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat
diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE. Terapi ini
digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang
mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien
yang akan menjalani timektomi atau pasien yang kesulitan
menjalani periode pasca operasi.
Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat
kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali
terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan
larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan
natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan
muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari
10 minggu.
Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadi retensi kalsium,
magnesium, dan natrium yang dapat menimbulkan terjadinya
hipotensi. Ini diakibatkan terjadinya pergeseran cairan selama
pertukaran berlangsung. Trombositopenia dan perubahan pada
berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE
berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang
dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian
fresh-frozen plasma tidak diperlukan.
b. Intravena Immunoglobulin (IVIG)
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi
IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari
titer antibodi tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada

14
sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer
antibodi. Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah
complement-activating aggregates yang relatif aman untuk
diberikan secara intravena.
Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah
memulai terapi. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa
data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan
IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan
IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis.
Sehingga IVIG diindikasikan pada pasien yang juga
menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset
yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari
pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG
dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level
anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari
sejak dilakukan pemasangan infus.
Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah
flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah,
sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 2 4 jam pertama.
Nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan
infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat.
c. Intravena Metilprednisolone(IVMp)
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila
tidak ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian.
Jika respon masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi
5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunj ukkan respon
terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya
menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai
dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp

15
pada keadaan krisis akan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal
atau tidak dapat digunakan.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan
paling murah untuk pengobatan miastenia gravis. Kortikosteroid
memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi
yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui.
Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan,
dengan rata-rata selama 3 bulan. Dimana respon terhadap
pengobatan kortikosteroid akan mulai tampak dalam waktu 2-3
minggu setelah inisiasi terapi.
Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami
penurunan dari titer antibodinya. Karena kortikosteroid
diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada
fase proliferasi dari sel B. Sel T serta antigen-presenting cell
yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan
dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada
miastenia gravis.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis
yang sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan
antikolinesterase. Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid
adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada
pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap
harinya, akan timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes,
dan komplikasi obesitas serta hipertensi.
e. Azathioprine
Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu
analog dari purin yang memiliki efek terhadap penghambatan
sintesis nukleotida pada DNA dan RNA. Azathioprine
merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik
oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih

16
sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya.
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis
yang secara relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid
dengan dosis tinggi.
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3
mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari
hingga dosis optimal tercapai.
Respon Azathioprine sangat lambat, dengan respon maksimal
didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi
pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga
dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.
f. Cyclosporine
Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan
azathioprine. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5
mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis. Cyclosporine
berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel
T- helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan
efek pada produksi antibodi. Cyclosporine dapat menimbulkan
efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
g. Cyclophosphamide (CPM)
Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi
antibodi dibandingkan obat lainnya. CPM adalah suatu alkilating
agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan secara tidak
langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin.
h. Timektomi (Surgical Care)
Telah banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara
kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis. Germinal center
hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin
bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Banyak ahli
saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa timektomi
memiliki peranan yang penting untuk terapi miastenia gravis,

17
walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan
masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang seksama.
Timektomi telah digunakan untuk mengobati pasien dengan
miastenia gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan timoma
denga atau tanpa miastenia gravis sejak awal tahun 1900. Tujuan
utama dari timektomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan
dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus
dikonsumsi pasien, dimana beberapa ahli percaya besarnya angka
remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari
jenis timektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa
remisi yang tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif
adalah antara 40-60% pada lima hingga sepuluh tahun setelah
pembedahan adalah kesembuhan yang permanen dari pasien.
Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan
dalam waktu satu tahun setelah timektomi dan tidak sedikit yang
menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan
serta obat-obatan).

1.10 Komplikasi Myasthenia Gravis


Ada dua komplikasi utama yang biasa menyertai penyakit
Myasthenia Gravis adalah Myasthenic Crisis dan Cholinergic Crisis.
a. Myasthenic Crisis
Pasien dengan Myasthenia Gravis sedang ataupun berat, keduanya
memiliki kelainan/kesulitan untuk menelan dan bernapas,
seringkali mengalami penurunan kondisi. Ini biasanya dipicu oleh
infeksi penyerta atau penarikan tiba-tiba obat antikolinesterasi,
tetapi mungkin terjadi secara spontan. Jika peningkatan dosis dari
obat antikolinesterase tidak dapat meningkatkan kelemahan,
intubasi endotrachial dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan.
Dalam banyak kasus, respon obat kembali dalam 24 hingga 48

18
jam, dan penyapihan dari respirator dapat dilanjutkan di kemudian
waktu.
b. Cholinergic Crisis
Krisis kolinergik terjadi sebagai hasil dari pemberian obat yang
lebih. Efek muskarinik dari tingkat racun olehkarena obat
antikolinesterase menyebabkan kram perut, diare, dan sekresi paru
berlebihan. Efek nikotinik paradoksikal memperburuk kelemahan
dan dapat menyebabkan kejang bronkial. Jika status pernapasan
terganggu, klien mungkin perlu intubasi dan ventilasi mekanik.

19
GUILLAIN BARRE SYNDROME

2.1 Definisi Guillaine Barre Syndrome


GBS adalah penyakit langka yang menyebabkan tubuh menjadi
lemah kehilangan kepekaan yang biasanya dapat sembuh sempurna
dalam hitungan minggu, bulan atau tahun. GBS mengambil nama dari
dua Ilmuwan Perancis, Guillain (baca Gilan) dan Barré (baca Barre),
yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun 1916 yang
mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima perawatan
medis.
Menurut Bosch, GBS merupakan suatu sindroma klinis yang
ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan
dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks,
dan nervus kranialil.
GBS merupakan suatu sindroma klinis dari kelemahan akut
ekstermitas tubuh yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan
oleh penyakit yang sistematis.
Jadi disimpulkan bahwa GBS adalah penyakit akibat sistem
kekebalan tubuh menyerang sistem selaput sarafyang menyebabkan
kelemahan akut ekstermitas tubuh.Pada umumnya penyakit ini
didahului oleh infeksi.Proses penyakit mencakup demielinisasi dan
degerasi selaput mielin dari saraf perifer dan kranial.

2.2 Anatomi dan Fisiologi

20
Neuron terdiri dari:
1. Axon
Axon merupkan serat saraf utama neuron, yang berfungsi
menghantarkan impuls keluar dari badan sel.
Axon adalah bagian yang menyampaikan impuls ke neuron lain,
otot dan kelenjar. Berukuran panjang dan berbentuk silinder
tipis, tempat lewatnya sinyal listrik yang dimulai dari dendrit
dan badan sel. Akson mentransmisikan sinyal awal ke neuron
lain atau ke otot atau ke kelenjar. Akson juga disebut serabut
saraf, banyak serabut saraf yang melintas bersama disebut saraf.
Pada beberapa saraf, akson akan ditutup lapisan lemak yang
terisolasi, yang disebut myelin.
2. Badan sel
Badan sel merupakan bagian utama neuron yang berisi inti dan
sel. Badan sel merupakan tempat mengolah informasi.
3. Dendrite.
Dendrit adalah bagian penerima input neuron, berukuran pendek
dan bercabang-cabang, yang merupakan perluasan dari badan
sel.

21
Dendrite berbentuk seperti antena, dan merupakan tempat
penerimaan sinyal dari sel saraf lain. Denrit mengumpulkan
impuls saraf dari neuron lain atau ujung saraf sensorik.
4. Nodus neurofibra
Nodus neurofibra disebut juga nodus ranfier yang merupakan
bagian akson yang tidak dibungkus oleh myelin.Nodus
neurofibra berfungsi untukmempercepat transmisi impuls
saraf.Adanya nodus ranvier tersebut memungkinkan saraf
meloncat dari satu nodus ke nodus yang lain, sehingga impuls
lebih cepat sampai pada tujuan.
5. Sel Schwann
Sel ini mirip lembaran yang tumbuh disekitar sebagian
akson(serat) untuk membentuk selubung myelin.
6. Selubung myelin
Selubung myelin juga disebut neurilema atau selubung
Schwann.Selubung myelin merupakan sruktur berbentuk spiral
berisi myelin berlemak yang membantu mempercepat
perjalanan dan mencegah impuls pudar atau bocor.Selubung
myelin sebagai isolator listrik, mencegah arus pendek antara
akson, dan mempasilitasi konduksi.Nodus ranvier adalah satu-
satunya titik dimana akson tidak tertutup myelin dan ion-ion
dapat berpindah diantaranya dan cairan
ekstraseluler.Depolarisasi membrane aksonal pada nodus
ranvier memperkuat potensial aksi yang dihantarkan sepanjang
akson dan ini adalah dasar konduksi saltatori (meloncat).

2.3 Etiologi Guillaine Barre Syndrome


Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan
pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa
keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya
dengan terjadinya SGB, antara lain:

22
1. Infeksi : Misal radang tenggorokan atau radang
lainnya.
2. Iinfeksi Virus : Misal Measles, Mumps, Rubela, Influenza
A, Influenza B, Varicella zoster, Infections mono nucleosis
(vaccinia, variola, hepatitis inf, coxakie)
3. Infeksi Lain : Mycoplasma Pneumonia, Salmonella
Thyposa, Brucellosis, Campylobacter Jejuni pada enteritis .
4. Vaksinasi : Rabies, Swine flu
5. Pembedahan
6. Penyakit sistematik:
a) Keganasan ; Hodgkin’s Disease,
Carcinoma,Lymphoma.
b) Systemic lupus erythematosus
c) Tiroiditis
d) Penyakit Addison
7. Kehamilan terutama pada trimester ketiga atau dalam masa nifas.

2.4 Patofisiologi Guillaine Barre Syndrome


Sindrom Guillain Barre akibat serangan autoimun pada myelin
yang membungkus saraf perifer. Dengan rusaknya myelin, akson dapat
rusak. Gejala GBS menghilang pada saat serangan autoimun berhenti
dan akson mengalami regenerasi. Apabila kerusakan badan sel terjadi
selama serangan, beberapa derajat distabilitas dapat tetap terjadi.

23
Otot ekstremitas bawah biasanya terkena pertama kali, dengan
paralisis yang berkembang ke atas tubuh. Otot pernafasan dapat terkena
dan menyebabkan kolaps pernafasan. Fungsi kardiovaskular dapat
terganggu karena gangguan fungsi saraf autonom (Corwin, 2009).
Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan sistem
imun lewat mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau
lewat antibody mediated demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya
adalah limfosit yang berubah responnya terhadap antigen.
Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf
perifer, maka semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga
selubung myelin terlepas dan menyebabkan sistem penghantaran implus
terganggu. Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer,
maka semua saraf perifer dan myelin saraf perifer, dan cabangnya
merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau
hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axon
telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi
biasannya dimulai beberapa minggu setelah proses peradangan/infeksi
terjadi.
Dimielinasi merupakan keadaan dimana lapisan myelin hancur
serta hilang pada beberapa segmen. Hal tersebut menyebabkan
hilangnya konduksi saltatori yang mengakibatkan penurunan kecepatan
konduksi serta terjadinya hambatan konduksi. Kelainan ini terjadi cepat
namun reversibel karena sel Schwann dapat berdegenerasi dan
membentuk myelin baru. Namun pada banyak kasus, demielinasi
menyebabkan hilangnya akson dan deficit permanen (Djamil, 2010).

24
2.5 Prevalensi dan Epidemiologi Guillaine Barre Syndrome
Penyakit Guillaine Barre Sindrom menjangkiti satu dari 40,000
orang tiap tahunnya. Bisa terjangkit di semua tingkatan usia mulai dari
anak-anak sampai dewasa, jarang ditemukan pada manula. Lebih sering
ditemukan pada kaum pria. Penyakit ini sering ditemukan pada usia
produktif (20 – 40 tahun). Bukan penyakit turunan, tidak dapat menular
lewat kelahiran, terinfeksi atau terjangkit dari orang lain yang mengidap
GBS. Namun, bisa timbul seminggu atau tiga minggu setelah infeksi
usus atau tenggorokan.

2.6 Manifestasi Klinis Guillaine Barre Syndrome


Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali
serangan yang berlangsung selama beberapa minggu, kemudian
berhenti spontan untuk kemudian pulih kembali.Perjalanan penyakit
GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:
1. Fase progresif.
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal
sampai gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini
akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik;
derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat
serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir
klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat.
Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase
penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang
permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.
2. Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana
tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala.
Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada

25
sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama
dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan
fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah,
irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta
status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita
umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan
khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri
hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi;
namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai.
Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien
langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi,
sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama
beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase penyembuhan .
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan
perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti
memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala
berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi.
Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk
membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan
pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk
menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati
nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase
ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan
penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien
lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama
setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari
derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.

2.7 Pemeriksaan Diagnostik Guillaine Barre Syndrome


a) Cairan serebrospinal (CSS)

26
Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni
meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai
adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus,
di hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa
hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih lanjut di saat gejala
klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat
tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset.Derajat penyakit
tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis
umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm
b) Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi
(EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat
demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal
(menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya
respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf),blok
hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS.Pada 90% kasus GBS
yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal. EMG
menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula
dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu
setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang
dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti
berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas
jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang
lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan
penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan
yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS
dan denervasi EMG.
c) Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang
dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah
selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat

27
terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah
dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah
salah satu gejala
d) Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang Tserta sinus
takikardia.Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead
lateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak
sering.
e) Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan
(impending).
f) Pemeriksaan patologi anatomi
Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni
adanya infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta
demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan
demyelinasi ini akan muncul bersama dengan demyelinasi segmental
dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat
terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf
motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada
ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf kranial.Infiltrat sel-sel
radang (limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga didapati pada
pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.

2.8 Penatalaksanaan Medis Guillaine Barre Syndrome


a. Pengaturan jalan napas
Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital
dan gas darah yang menunjukkan permulaan kegagalan
pernafasan.Setiap ada tanda kegagalan pernafasan maka penderita
harus segera dibantu dengan oksigenasi dan pernafasan buatan.
Trakheotomi harus dikerjakan atau intubasi penggunaan ventilator
jika pernafasan buatan diperlukan untuk waktu yang lama atau

28
resiko terjadinya aspirasi. Walaupun pasien masih bernafas spontan,
monitoring fungsi respirasi dengan mengukur kapasitas vital secara
regular sangat penting untuk mengetahui progresivitas penyakit.
b. Pemantauan EKG dan tekanan darah
Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat
penting karena gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan
timbulnya hipotensi atau hipertensi yang mendadak serta gangguan
irama jantung. Untuk mencegah takikardia dan hipertensi,
sebaiknya diobati dengan obat-obatan yang waktu kerjanya pendek
(short-acting), seperti : penghambat beta atau nitroprusid,
propanolol. Hipotensi yang disebabkan disotonomi biasanya
membaik dengan pemberian cairan iv dan posisi terlentang (supine).
Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode brakikardia
selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik. Kadang diperlukan
pacemaker sementara pada pasien dengan blok jantung derajat 2
atau 3.
c. Plasmaparesis
Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi
antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada
serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada
pasien demielinasi.Bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3
minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang
dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14
hari dilakukan tiga sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau
plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi
yang beredar. Albumin : dipakai pada plasmaferesis, karena Plasma
pasien harus diganti
dengan suatu substitusi plasma.
d. Pengobatan imunosupresan:
Pengobatan imunosupresan berfungsi untuk menekan pembentukan
antibody.

29
Imunoglobulin IV : Beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan
pemberian immunoglobulin atau gamaglobulin pada penderita GBS
yang parah ternyata dapat mempercepat penyembuhannya seperti
halnya plasmapharesis.Gamaglobulin (Veinoglobulin) diberikan
perintravena dosis tinggi.Pengobatan dengan gamma globulin
intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena
efek samping/komplikasi lebih ringan tetapi harganya mahal. Dosis
aintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
imunoglobulin intravena (IVIG 7s) : dipakai untuk memperbaiki
aspek klinis dan imunologis dari GBS dan Dosis dewasa adalah 0,4
g/kg/hari selama 5 hari (total 2 g selama 5 hari) dan bila perlu
diulang setelah 4 minggu. Kontraindikasi IVIg : adalah
hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi IgA, antibodi
anti IgE/ IgG. Tidak ada interaksi dng obat ini dan sebaiknya tidak
diberikan pd kehamilan.
e. Perawatan umum :
Perawatan immobilisasi : Mencegah timbulnya luka baring/bed
sores dengan perubahan posisi tidur.
f. Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada
secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru.
Segera setelah penyembuhan mulai fase rekonvalesen) maka
fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan
otot.
g. Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota
gerak yang lumpuh.
h. Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada
kaki yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis.
i. Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring
dan trakhea.
j. Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.

30
k. Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.

2.9 Klasifikasi Guillaine Barre Syndrome

a) Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang


merupakan jenis GBS yang paling banyak ditemukan, dan
sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh respon
autoimun yang menyerang membrane sel Schwann.
b) Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang
jarang terjadi dan bermanifestasi sebagai paralisis desendens,
berlawanan dengan jenis GBS yang biasa terjadi. Umumnya
mengenai otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala,
yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibodi
Anti-GQ1b dalam 90% kasus.
c) Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma
paralitik Cina; menyerang nodus motorik Ranvier dan sering
terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon
autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit
ini musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat.
Didapati antibodi Anti-GD1a, sementara antibodi Anti-GD3
lebih sering ditemukan pada AMAN.
d) Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan
AMAN, juga menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga
menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang berat.
Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna.
e) Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang
paling jarang; dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi,
akibat keterlibatan kardiovaskular dan disritmia.
f) Ensefalitis batang otak Bickerstaff’s (BBE), ditandai oleh onset
akut oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia
atau refleks Babinski (menurut Bickerstaff, 1957; Al-Din et

31
al.,1982). Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun diikuti
fase remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler terutama pada
batang otak, seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun
gejalanya berat, namun prognosis BBE cukup baik.

3.10 Komplikasi Guillaine Barre Syndrome


a) Kolaps pernafasan dan kardiovaskular yang dapat menyebabkan
kematian. Kegagalan pernapasan merupakan komplikasi utama
yang dapat berakibat fatal bila tidak di tangani dengan baik.
Kegagalan pernapasan ini di sebabkan paralisis pernapasan dan
kelumpuhan otot-otot pernapasan, yang di jumpai pada 10-33%
penderita.
b) Kelemahan beberapa otot dapat menetap (Corwin, 2009).
c) Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi
makanan atau cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan
resiko terjadinya infeksi, trombosis vena dalam, paralisis
permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi
(Israr, dkk, 2009)

32
33

Anda mungkin juga menyukai