Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

Human Immunodeficiency Virus (HIV)

Disusun Oleh:

Arsya Firdaus (1813020048)

Pembimbing:
dr. Yanuar Wahyu Hidayat, Sp.A

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER PROGRAM SARJANA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
RSUD DR. SOESELO SLAWI
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat-Nya sehingga dapat menyelesaikan referat yang berjudul “ Human
Immunodeficiency Virus (HIV)” sebagai salah satu tugas dalam kepaniteraan
klinik di Departemen ilmu kesehatan anak Rumah Sakit Umum Daerah Dokter
Soeselo Slawi, Kabupaten Tegal.
Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr.Yanuar wahyu
hidayat Sp.A selaku pembimbing referat ini yang telah memberikan bimbingan
dan nasihat dalam penyusunan telaah ilmiah ini. Penulis menyadari bahwa referat
ini masih jauh dari sempurna, dan masih banyak kekurangan yang harus
diperbaiki. Oleh sebab itu penulis mengharapkan bantuan dari dokter pembimbing
untuk memberikan saran dan masukan yang berguna bagi penulis.Penulis
berharap semoga referat ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Slawi, 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ 1
KATA PENGANTAR...................................................................................... 2
DAFTAR ISI.................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 5
2.1. Definisi.................................................................................................. 5
2.2 Etiologi................................................................................................... 5
2.3 Patofisiologi .......................................................................................... 6
2.4 Manifestasi Kinis................................................................................... 7
2.5 Diagnosis ...............................................................................................13
2.6 Komplikasi ............................................................................................ 14
2.7 Pemeriksaan Penunjang......................................................................... 16
2.8 Penatalaksanaan..................................................................................... 17
2.9 Pengobatan ............................................................................................ 18
2.10 Pencegahan........................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................20

3
BAB I
PENDAHULUAN

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2006:3), pola


penularan HIV pada pasangan seksual berubah pada saat ditemukan kasus seorang
ibu yang sedang hamil diketahui telah terinfeksi HIV. Bayi yang dilahirkan
ternyata juga positif terinfeksi HIV. Ini menjadi awal dari penambahan pola
penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayiyang dikandungnya. Hal serupa
digambarkan dari hasil survey pada tahun 2000 dikalangan ibu hamil di Provinsi
Riau dan Papua yang memperoleh angka kejadian infeksi HIV 0,35% dan 0,25%.

Sedangkan hasil tes suka rela pada ibu hamil diDKI Jakarta ditemukan
infeksi HIV sebesar 2,86%. Berbagai data tersebut membuktikan bahwa epidemi
AIDS telah masuk kedalam keluarga yang selama ini dianggap tidak mungkn
tertular infeksi. Pada tahun 2015, diperkirakan akan terjadi penularan pada 38.500
anak yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HIV. Sampai tahun 2006, diprediksi
4.360 anak terkena HIV dan separuh diantaranya meninggal dunia. Saat ini
diperkirakan 2320 anak yang terinfeksi HIV. Anak yang didiagnosis HIV juga
akan menyebabkan terjadinya trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya.
Orang tua harus menghadapi masalah berat dalam perawatan anak, pemberian
kasih sayang,dan sebagainya dapat mempengaruhi pertumbuhan mental anak
(Nurs dan Kurniawan, 2013:161).

Hal tersebut menyebabkan beban negara bertambah dikarenakan orang


yangterinfeksi HIV telah masuk kedalam tahap AIDS, yang ditularkan akibat
hubungan Heteroseksual sebesar 36,23%. Permasalahan bukan hanya sekedar
pada pemberian terapi anti retroviral (ART), tetapi juga harus memperhatikan
permasalahn pencegahan penularan walaupun sudah mendapat ART (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia 2006:7).

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah kumpulan gejala
penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang
disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency virus (HIV). (Mansjoer,
2000:162)
AIDS adalah Runtuhnya benteng pertahanan tubuh yaitu system kekebalan
alamiah melawan bibit penyakit runtuh oleh virus HIV, yaitu dengan hancurnya
sel limfosit T (sel-T). (Tambayong, J:2000)
AIDS adalah penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas
seluler yang disebabkan oleh retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara
keseluruhan dimana kebanyakan pasien memerlukan perawatan medis dan
keperawatan canggih selama perjalanan penyakit. (Carolyn, M.H.1996:601)
AIDS adalah penyakit defisiensi imunitas seluler akibat kehilangan
kekebalan yang dapat mempermudah terkena berbagai infeksi seperti bakteri,
jamur, parasit dan virus tertentu yang bersifat oportunistik. ( FKUI, 1993 : 354)
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan AIDS adalah kumpulan
gejala penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap
yang disebabkan oleh retrovirus (HIV) yang dapat mempermudah terkena
berbagai infeksi seperti bakteri, jamur, parasit dan virus.

2.2  Etiologi
HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus yang melekat dan
memasuki limfosit T helper CD4+. Virus tersebut menginfeksi limfosit CD4+
dan sel-sel imunologik lain dan orang itu mengalami destruksi sel CD4+ secara
bertahap (Betz dan Sowden, 2002). Infeksi HIV disebabkan oleh masuknya virus
yang bernama HIV (Human Immunodeficiency Virus) ke dalam tubuh manusia
(Pustekkom, 2005).

5
2.3  Patofisiologi
HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4,
yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup limfosit
penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga
meperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan
penyakit. Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4.
HIV secara istimewa menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan
CD4, yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup
linfosit penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas
imun, juga memperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan
perkembangan penyakit. Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan
sel CD4 ini tidak pasti, meskipun kemungkinan mencakup infeksi litik sel CD4
itu sendiri; induksi apoptosis melalui antigen viral, yang dapat bekerja sebagai
superantigen; penghancuran sel yang terinfeksi melalui mekanisme imun
antiviral penjamu dan kematian atau disfungsi precursor limfosit atau sel
asesorius pada timus dan kelenjar getah bening. HIV dapat menginfeksi jenis sel
selain limfosit. Infeksi HIV pada monosit, tidak seperti infeksi pada limfosit
CD4, tidak menyebabkan kematian sel. Monosit yang terinfeksi dapat berperang
sebagai reservoir virus laten tetapi tidak dapat diinduksi, dan dapat membawa
virus ke organ, terutama otak, dan menetap di otak. Percobaan hibridisasi
memperlihatkan asam nukleat viral pada sel-sel kromafin mukosa usus, epitel
glomerular dan tubular dan astroglia. Pada jaringan janin, pemulihan virus yang
paling konsisten adalah dari otak, hati, dan paru. Patologi terkait HIV
melibatkan banyak organ, meskipun sering sulit untuk mengetahui apakah
kerusakan terutama disebabkan oleh infeksi virus local atau komplikasi infeksi
lain atau autoimun.
Stadium tanda infeksi HIV pada orang dewasa adalah fase infeksi akut,
sering simtomatik, disertai viremia derajat tinggi, diikuti periode penahanan
imun pada replikasi viral, selama individu biasanya bebas gejala, dan priode

6
akhir gangguan imun sitomatik progresif, dengan peningkatan replikasi viral.
Selama fase asitomatik kedua-bertahap dan dan progresif, kelainan fungsi imun
tampak pada saat tes, dan beban viral lambat dan biasanya stabil. Fase akhir,
dengan gangguan imun simtomatik, gangguan fungsi dan organ, dan keganasan
terkait HIV, dihubungkan dengan peningkatan replikasi viral dan sering dengan
perubahan pada jenis vital, pengurangan limfosit CD4 yang berlebihan dan
infeksi aportunistik.
Infeksi HIV biasanya secara klinis tidak bergejala saat terakhir, meskipun
“ priode inkubasi “  atau interval sebelum muncul gejala infeksi HIV, secara
umum lebih singkat pada infeksi perinatal dibandingkan pada infeksi HIV
dewasa. Selama fase ini, gangguan regulasi imun sering tampak pada saat tes,
terutama berkenaan dengan fungsi sel B; hipergameglobulinemia dengan
produksi antibody nonfungsional lebih universal diantara anak-anak yang
terinfeksi HIV dari pada dewasa, sering meningkat pada usia 3 sampai 6 bulan.
Ketidak mampuan untuk berespon terhadap antigen baru ini dengan produksi
imunoglobulin secara klinis mempengaruhi bayi tanpa pajanan antigen
sebelumnya, berperang pada infeksi dan keparahan infeksi bakteri yang lebih
berat pada infeksi HIV pediatrik. Deplesi limfosit CD4 sering merupakan
temuan lanjutan, dan mungkin tidak berkorelasi dengan status simtomatik. Bayi
dan anak-anak dengan infeksi HIV sering memiliki jumlah limfosit yang normal,
dan 15% pasien dengan AIDS periatrik mungkin memiliki resiko limfosit CD4
terhadap CD8 yang normal. Panjamu yang berkembang untuk beberapa alasan
menderita imunopatologi yang berbeda dengan dewasa, dan kerentanan
perkembangan system saraf pusat menerangkan frekuensi relatif ensefalopati
yang terjadi pada infeksi HIV anak.

2.4  Manifestasi Klinik


Dengan sedikit pengecualian, bayi dengan infeksi HIV perinatal secara
klinis dan imunologis normal saat lahir. Kelainan fungsi imun yang secara klinis
tidak tampak sering mendahului gejala-gejala terkait HIV, meskipun penilaian
imunologik bayi beresiko dipersulit oleh beberapa factor unik. Pertama,

7
parameter spesifik usia untuk hitung limfosit CD4 dan resiko CD4/CD8
memperlihatkan jumlah CD4 absolut yang lebih tinggi dan kisaran yang lebih
lebar pada awal  masa bayi, diikuti penurunan terhadap pada beberapa tahun
pertama. Selain itu, pajanan obat ini beresiko dan bahkan pajanan terhadap
antigen HIV tanpa infeksi dapat membingungkan fungsi dan jumlah limfosit.
Oleh karena itu, hal ini peting untuk merujuk pada standar yang ditentukan usia
untuk hitung CD4, dan bila mungkin menggunakan parameter yang ditegakkan
dari observasi bayi tak terinfeksi yang lahir dari ibu yang terinfeksi.
Gejala terkait HIV yang paling dini dan paling sering pada masa bayi
jarang diagnostic. Gejala HIV tidak spesifik didaftar oleh The Centers For
Diseasen Control sebagai bagian definisi mencakup demam, kegagalan
berkembang, hepatomegali dan splenomegali, limfadenopati generalisata
(didefinisikan sebagai nodul yang >0,5 cm terdapat pada 2 atau lebih area tidak
bilateral selama >2 bulan), parotitis, dan diare. Diantara semua anak yang
terdiagnosis dengan infeksi HIV, sekitar 90% akan memunculkan gejala ini,
kebergunaannya sebagai tanda awal infeksi dicoba oleh studi the European
Collaborativ pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi. Mereka menemukan
bahwa dua pertiga bayi yang terinfeksi memperlihatkan tanda dan gejala yang
tidak spesifik pada usia 3 bulan, dengan angka yang lebih rendah diantara bayi
yang tidak terinfeksi. Pada penelitian ini, kondisi yang didiskriminasi paling
baik antara bayi terinfeksi dan tidak terinfeksi adalah kandidiasis kronik,
parotitis, limfadenopati persistem, hepatosplenomegali. Otitis media, tinitis,
deman yang tidak jelas, dan diare kronik secara tidak nyata paling sering pada
bayi yang terinfeksi daripada bayi yang tidak terinfeksi.

8
PUSAT UNTUK KLASIFIKASI CONTROL PENYAKIT INFEKSI HIV
PADA ANAK
Kelas P-O: infeksi intermediate
Bayi <15 bulan yang lahir dari ibu yang terinfeksi tetapi tanpa tanda infeksi
HIV
Kelas P-1: infeksi asimtomatik
Anak yang terbukti terinfeksi, tetapi tampa gejala P-2; mungkin memiliki
fungsi imun normal (P-1A) atau abnormal (P-1B)
Kelas P-2: infeksi sitomatik
P-2A: gambaran demam nonspesifik (>2 lebih dari 2 bulan) gagal
berkembang,   limfadenopati, hepatomegali, splenomegali, parotitis, atau diare
rekuren atau persistem yang tidak spesifik.
P-2B: penyakit neurologi yang progresif
P-2C: Pneumonitis interstisial limfoid
P-2D: infeksi oportunistik menjelaskan AIDS, infeksi bakteri rekuren,
kandidiasis oral persisten, stomatitis herpes rekuren, atau zoster
multidermatomal.
P-2E: kanker sekunder, termasuk limfoma non-Hodgkin sel-B atau limforma
otak
P-2F: penyakit end-organ HIV lain (hepatitis, karditis, nefropati, gangguan
hematologi)

Tanda pertama infeksi tidak nyata. Pengalaman dari beberapa pusat


penelitian menunjukkan bahwa sekitar 20% bayi yang terinfeksi secara cepat
akan berkembang menjadi gangguan imun dan AIDS. Banyak dari bayi ini akan
menampakkan gejala aneumonia Pneumocystis carinii (PCP) pada usia 3 sampai
6 bulan, atau menderita infeksi bakteri serius lain. Pada beberapa bayi, jumlah
CD4 mungkin normal saat terjadinya PCP.
Dalam 2 tahun setelah lahir, kebanyakan bayi akan mengalami beberapa
derajat kegagalan berkembang, demam rekuren atau kronik, keterlambatan

9
perkembangan, adenopati persisten, atau hepatosplemegali. Semua ini bukan
keadaan kecacatan, dan konsisten dengan kelangsungan hidup yang lama.
Melebihi ulang tahun pertama, sekitar 8% bayi ini akan berkembang menjadi
AIDS terbatas CDC per tahun. Penunjukan “AIDS” merupakan kebergunaan
yang sangat terbatas pada prognosis atau pada nosologi deskriptif infeksi HIV,
tetapi penyakit indicator AIDS berperang sebagai tanda tingginya perkembangan
penyakit dan sebagai catalog kondisi yang sering terlihat dengan perkembangan
penyakit. Masing-masing dibahas secara singkat dibawah:
Pneumonia Pneumocystis carinii (PCP). PCP merupakan penyakit
indicator AIDS paling sering, yang terjadi pada sekitar sepertiga anak dan bayi
yang terinfeksi. Usia rata untuk munculnya penyakit adalah sekitar usia 9 bulan,
meskipun puncaknya sampai usia 3 sampai 6 bulan diantara bayi-bayi yang
berkembang sangat cepat. Tidak seperti reaksi PCP pada orang dewasa, infeksi
ini biasanya merupakan infeksi primer pada anak yang terinfeksi HIV, bergejala
subkutan atau mendadak dengan demam, batuk, takipnea, dan ronki. PCP sulit
dibedakan dengan infeksi paru lain atau usia ini, dan karena trimetoprim-
sulfametoksasol dan kortikosteroid intravena diberikan pada awal perjalanan
penyakit menyebabkan perbaikan yang signifikan, lavese bronkoalveolar
diagnostic harus dipikirkan secara serius pada bayi beresiko dengan gambaran
klinis konsisten. PCP memberikan prognosis yang tidak baik pada awal
penelitian dengan kelangsungan hidup media 1 bulan setelah diagnosis. Saat ini
dikenali bahwa penyakit yang lebih ringan dapat terjadi dan konsisten dengan
kelangsungan hidup yang lama. Profilaksin PCP dengan trimetoprim-
sulfametoksasol oral efektif, dan merupakan indikasi untuk bayi dengan
kehilangan limfosit CD4 yang signifikan, sebelum PCP, dan pada beberapa bayi
muda dengan perkembangan gejala terkait HIV yang cepat.
Pneumolitis Interstisial Limfoid (LIP). Infiltrasi paru intersisial kronik
telah ditentukan pada orang dewasa yang terinfeksi HIV dalam jumlah kecil,
tetapi terjadi pada sekitar 20% anak yang terinfeksi HIV. Dianggap berhubungan
dengan infeksi virus Epstein-Barr. Kondisi ini ditandai dengan perjalanan kronik
eksa-serbasi intermiten (sering selama infeks respirasi yang terjadi di antara

10
infeksi atau selama infeksi. Infiltra dada kronik yang terlihat pada sinar-X sering
menunjukkan diagnosis, tetapi hanya biopsy paru terbuka yang dapat dipercaya
untuk diagnosis definitive. Hipoksia jaran parah sampai terbawa selama
beberapa tahun, dan beberapa perbaikan pada kostikosteroid. LIP sebagai gejala
yang timbul pada infeksi HIV dapat disertai prognosis yang lebih baik, dan
sering terlihat pada kelompok gejala dengan hipergamaglobulinemia yang nyata
dan parotitis.
Infeksi Bakteri Rekuren. Untuk criteria AIDS pediatric CDC, infeksi
bakteri rekuren adalah dua atau lebih episode sepsis, meningitis, pneumonia,
abses internal, atau infeksi tulang dan sendi; ini semua terlihat pada 15% anak-
anak dengan AIDS pediatric. Infeksi bakteri yang lebih sedikit, seperti infeksi
sinus rekuren atau kronik, otitis media, dan pioderma masih sering terjadi.
Streptococcus pneumonia merupakan isolate darah yang paling sering pada anak
yang terinfeksi HIV, meskipun stafilokokal gram-negatif, dan bahkan
bakteremia pseudomonal terjadi berlebihan. Penanganan episode demam pada
anak yang terinfeksi HIV sama dengan penanganan anak dengan kondisi yang
menganggu imunitas lain. Gangguan kemampuan untuk menjaga respons
antibody yang efektif dan kurangnya pajanan membuat anak yang terinfeksi HIV
rentang terhadap penyakit bakteri yang lebih setius. Profilaksis dengan
immunoglobulin intravena dapat mengurangi frekuensi dan keparahan infeksi
bakteri yang serius.
Penyakit Neurologi Progresif. Sampai 60% anak yang terinfeksi HIV
dapat munculkan tanda infeksi system saraf pusat. Pada sekitar seperempatnya,
infeksi ini dalam bentuk ensefalopati static yang biasanya bermanifestasi pada
tahun pertaman dengan keterlambatan perkembangan. Pada sekitar
sepertiganyan, terjadi ensefalopati progresif, dengan kehilangan kejadian yang
penting sebelumnya dan deficit motorik dan kognitif yang berat. Pencitraan saraf
dapat memperlihatkan atrofi serebral, kelainan subtansi alba, atau klasifikasi
ganglion basal, atau kesemuanya, meskipun keparahan abnormalitas pencitraan
sering tidak berkorelasi dengan gambaran klinis. Zidovudin IV kontinu
ditemukan menyebabkan perbaikan yang dramatic pada beberapa anak dengan

11
deficit perkembangan saraf; kostikosteroid juga menguntungkan pada laporan
terisolasi.
Wasting Syndrome. Kegagalan kronik untuk tumbuh pada infeksi HIV
lanjut terjadi pada sekitar 10% bayi dan anak dengan AIDS dan hamper selalu
multifaktorial. Deficit system saraf pusat dari latergi sampai kelemahan dalam
mengunyah; abnormalitas neuroendokrin; malabsorpsi dan diare akibat infeksi
HIV primer, infeksi usus sekunder, atau terapi; dan katabolisme yang diinduksi
infeksi sering berperang pada masalah yang menjengkelkan ini.
Infeksi Oportunistik. Lebih dari satu lusin infeksi oportunistik spesifik
memenuhi AIDS, meskipun setelah PCP, paling sering pada AIDS pediatric
adalah esofagistis kandida, terjadi pada sekitar 10%, dan infeksi kompleks,
Mycobakterium avium. Diantara virus-virus, infeksi CMV diseminata dan lama
pada saluran cerna, dan infeksi virus varisela zoster apitikal, rekuren dan
ekstensif sering terjadi. Walaupun daftar panjang pathogen yang menyebabkan
penyakit berat dan lama tidak lazim pada penjamu ini, virus respirasi yang
lazim, mencakup virus sinsitial respiratorius, jarang menyebabkan penyakit yang
berkomplikasi.
Terkenanya organic lain. Terkenanya hepar padi infeksi HIV pediatric
sering mengambil bentuk organ yang membesar sedang sampai berat,
transaminitis berfluktuasi. Yang jarang adalah hepatitis kolestatik berat yang
terjadi pada bayi yang terinfeksi pada tahun pertama, dengan prognosis buruk.
Kelainan hati dapat disebabkan oleh infeksi yang bersama dengan CMV, HCV,
atau HBV, oleh infeksi HIV itu sendiri, atau banyak agen infeksius lain.
Penyakit ginjal yang sering terjadi, paling sering bermanifestasi protenuria.
Perubahan mesangial dan glomerulokslerosis fokal telah diindentifikasi sebagai
patologi yang paling sering terjadi pada anak dengan AIDS. Kelainan jantung
dapat diperhatikan pada separuh anak semua usia penyakit HIV, meskipun
insiden kardiomiopati simtomatik hanya 12 sampai 20%; efusi pericardial dan
gangguan fungsi ventrikel merupakan kelainan ekokardiografi yang paling
sering ditemukan. Meskipun frekuensi penyakit paru kronik pada pasien ini,
terkenanya vertikel kiri beberapa kali lebih sering daripada yang kanan. Tekanan

12
HIV langsung, autoimunitas, malnutrisi dan infeksi bersama dengan virus
miotropik semuanya telah dihipotesis sebagai etiologi. Fenomena autoimun
mencakup anemia hemolitik positif-coombs dan trombositopenia. Sarcoma
Kaposi dan kanker sekunder lain jarang pada anak yang terinfeksi HIV.

2.5  Diagnosis
Diagnosis awal bayi yang terinfeksi sangat diinginkan, tetapi pengenalan
awal bayi yang beresiko HIV lebih penting. Hanya jika infeksi HIV pada
perempuan hamil teridentifikasi, terhadap kesempatan untuk mengubah ibu dan
bayi secara cepat dengan terapi antiviral atau preventif. Oleh karena itu uji dan
konseling HIV harus menjadi bagian rutin pada perawatan kehamilan.
Menetapnya antibody terhadap HIV yang didapat secara transplasenta
pada bayi merupakan komplikasi pemakaian uji antibody konversional dalam
mendignosis infeksi HIV pada masa bayi. Karena antibodi seperti ini dapat
menetap dalam sirkulasi bayi yang tidak terinfeksi selama 18 bulan, diagnosis
infeksi pada bayi beresiko memerlukan biakan virus dari bayi (biakan HIV), atau
adanya antigen HIV (antigen p24) atau asam nuclear viral-[reaksi rantai
polymerase HIV (PCR)]. Uji virolegi dengan PCR atau biakan HIV darah perifer
dapat diharapkan menegakkan atau menyingkirkan (95% dapat dipercaya)
diagnosis infeksi HIV pada usia 3 sampai 6 bulan. Uji-uji ini jika dilakukan
dengan tepat mempunyai angka positivitas palsu rendah yang dapat diterima dan
dapt diandalkan untuk menegaskan infeksi pada semua usia. Sensitivitas pada
tiap-tiap tes lebih rendah pada priode parinatal, membuat diperlukannya tes
serial. Untuk memonitor secara prospektif bayi yang beresiko, uji firologi
diagnostic dianjurkan sekurang-kurangnya 2 kali dalam 6 bulan pertama.
Sebagai orang tua diberitahukan bahwa anaknya terinfeksi, konfirmasi dan
tinjauan semua uji laboratorium dianjurkan.
Bila bayi atau anak tanpa factor resiko yang dikenali untuk infeksi HIV
tampak dengan gambaran atau tanda yang cocok dengan defisiensi imun,
diagnosis HIV harus dijalankan bersama defisiensi imun lain. Kenyataan bahwa
infeksi HIV akhir-akhir ini merupakan penyebab utama defisiensi imun pada

13
anak yang lebih mudah membantu saat membersihkan konseling orang tua
berkenang dengan uji serologi.
Pada anak berusia 18 bulan sampai masa remaja, tes serologi yang positif
yang dikonfirmasi untuk antibody terhadap HIV (ELISA dan bekuan Western
atau tes konfirmasi lain) biasanya cukup untuk menegakkan diagnosis infeksi
HIV. Beberapa persen bayi tidak terinfeksi dari ibu yang terinfeksi HIV akan
memiliki antibody yang berasal dari ibu yang dideteksi, sehingga konfirmasi
virologi diharapkan. Kesukaran lain yang jarang dalam diagnosi yang didasarkan
pada serologi saja adalah bayi yang terinfeksi HIV yang tidak menghasilkan
antibody spesifik HIV dan keadaan yang tidak lazim pada bayi terinfeksi yang
menjadi seronegatif setelah pencucian antibody meternal sebelum menghasilkan
antibody itu sendiri.

2.6  Komplikasi
1.      Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi,
dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat. Kandidiasis oral ditandai
oleh bercak-bercak putih seperti krim dalam rongga mulut. Jika tidak diobati,
kandidiasis oral akan berlanjut mengeni esophagus dan lambung. Tanda dan
gejala yang menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit dan rasa sakit di
balik sternum (nyeri retrosternal).
2.      Neurologik
•   Ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks dimensia AIDS (ADC;
AIDS dementia complex). Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat,
sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif, perlambatan
psikomotorik, apatis dan ataksia. stadium lanjut mencakup gangguan kognitif
global, kelambatan dalam respon verbal, gangguan efektif seperti pandangan
yang kosong, hiperefleksi paraparesis spastic, psikosis, halusinasi, tremor,
inkontinensia, dan kematian.

14
•   Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam, sakit kepala,
malaise, kaku kuduk, mual, muntah, perubahan status mental dan kejang-kejang.
diagnosis ditegakkan dengan analisis cairan serebospinal.
3.      Gastrointestinal
Wasting syndrome kini diikutsertakan dalam definisi kasus yang
diperbarui untuk penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup penurunan
BB > 10% dari BB awal, diare yang kronis selama lebih dari 30 hari atau
kelemahan yang kronis, dan demam yang kambuhan atau menetap tanpa adanya
penyakit lain yang dapat menjelaskan gejala ini.
  Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam,
malabsorbsi, dan dehidrasi.
  Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal,
alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam
atritis.
  Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang
sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rektal, gatal-
gatal dan diare.
4.      Respirasi
Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas (dispnea),
batuk-batuk, nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam akan menyertai pelbagi
infeksi oportunis, seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium Intracellulare
(MAI), cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides.
5.      Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis
karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,
gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis. Infeksi oportunis seperti herpes
zoster dan herpes simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri
dan merusak integritas kulit. moluskum kontangiosum merupakan infeksi virus
yang ditandai oleh pembentukan plak yang disertai deformitas. dermatitis
sosoreika akan disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai

15
kulit kepala serta wajah.penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folikulitis
menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering dan mengelupas atau dengan
dermatitis atopik seperti ekzema dan psoriasis.
6.      Sensorik
  Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata : retinitis
sitomegalovirus berefek kebutaan
  Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran
dengan efek nyeri yang berhubungan dengan mielopati, meningitis,
sitomegalovirus dan reaksi-reaksi obat.

2.7  Pemeriksaan Penunjang


Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan menguji
HIV. Tes ini meliputi tes Elisa, latex agglutination dan western blot. Penilaian
Elisa dan latex agglutination dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi
HIV atau tidak, bila dikatakan positif HIV harus dipastikan dengan tes western
blot. Tes lain adalah dengan cara menguji antigen HIV, yaitu tes antigen P 24
(polymerase chain reaction) atau PCR. Bila pemeriksaan pada kulit, maka
dideteksi dengan tes antibodi (biasanya digunakan pada bayi lahir dengan ibu
HIV.
1.      Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
  ELISA (positif; hasil tes yang positif dipastikan dengan western blot)
  Western blot (positif)
  P24 antigen test (positif untuk protein virus yang bebas)
  Kultur HIV(positif; kalau dua kali uji-kadar secara berturut-turut mendeteksi
enzim reverse transcriptase atau antigen p24 dengan kadar yang meningkat)
2.      Tes untuk deteksi gangguan system imun.
  LED (normal namun perlahan-lahan akan mengalami penurunan)
  CD4 limfosit (menurun; mengalami penurunan kemampuan untuk bereaksi
terhadap antigen)
  Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun)

16
  Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan berlanjutnya
penyakit).
  Kadar immunoglobulin (meningkat)

2.8  Penatalaksanaan
1)      Perawatan
Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara lain:
  Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan
mencegah kemungkinan terjadi infeksi
  Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta keganasan yang
ada
  Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan
dideosinukleotid, yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat menghambat enzim RT
dengan berintegrasi ke DNA virus, sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV
  Mengatasi dampak psikososial
  Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan penyakit, dan
prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis
  Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalu
memperhatikan perlindungan universal (universal precaution)

2.9 Pengobatan
Hingga kini belum ada penyembuhan untuk infeksi HIV dan AIDS.
Penatalaksanaan AIDS dimulai dengan evaluasi staging untuk menentukan
perkembangan penyakit dan pengobatan yang sesuai. Anak dikategorikan
dengan menmggunakan tiga parameter : status kekebalan, status infeksi dan
status klinik dalam kategori imun : 1) tanpa tanda supresi, 2) tanda supresi
sedang dan 3) tanda supresi berat. Seorang anak dikatakan dengan tanda dan
gejala ringan tetapi tanpa bukti adanya supresi imun dikategorikan sebagai A2.
Status imun didasarkan pada jumlah CD$ atau persentase CD4 yang tergantung
usia anak (Betz dan Sowden, 2002).

17
Selain mengendalikan perkembangan penyakit, pengobatan ditujuan
terhadap mencegah dan menangani infeksi oportunistik seperti Kandidiasis dan
pneumonia interstisiel. Azidomitidin ( Zidovudin), videks dan Zalcitacin (DDC)
adalah obat-obatan untuk infeksi HIV dengan jumlah CD4 rendah, Videks dan
DDC kurang bermanfaat untuk oenyakit sistem saraf pusat. Trimetoprin
sulfametojsazol (Septra, Bactrim) dan Pentamadin digunakan untuk pengobatan
dan profilaksi pneumonia cariini setiap bulan sekali berguna untuk mencegah
infeksi bakteri berat pada anak, selain untuk hipogamaglobulinemia. Imunisasi
disarankan untuk anak-anak dengan infeksi HIV, sebagai pengganti vaksin
poliovirus (OPV), anak-anak diberi vaksin vorus polio yang tidak aktif (IPV)
(Betz dan Sowden, 2002).

2.10 Pencegahan
Pencegahan infeksi HIV primer pada semua golongan usia kemungkinan
akan memengaruhi epidemil global lebih dari terapi apa pun dimasa depan yang
dapat diketahui. Kesalahan konsepsi mengenai factor resiko untuk infeksi HIV
adalah target esensial untuk usaha mengurangi perilaku resiko, terutama diantara
remaja. Untuk dokter spesialis anak, kemampuan member konsultasi pada pasien
dan keluarga secara efektif mengenai praktik seksual dan penggunaan obat
adalah aliran utama usaha pencegahan ini. Bahkan pendidikan dan latihan
tersedia dari The American Medical Assosiation dan The American Academy of
Pediatrics yang dapat membantu dokter pediatric memperoleh kenyamanan dan
kompetensi yang lebih besar pada peran ini.
Pencegahan infeksi HIV pada bayi dan anak harus dimulai dengan tepat
dengan pencegahan infeksi pada perempuang hamil. Langkah kedua harus
menekan pada uji serologi HIV bagi semua perempuan hamil. Rekomendasi ini
penting karena uji coba pengobatan mutakhir menunjukkan bahwa protocol
pengobatan bayi menggunakan obat yang sama selama beberapa minggu secara
signifikan mengurangi angka transmisi dari ibu ke bayi.

18
Pemberian zidovudin terhadap wanita hamil yang terinfeksi HIV-1
mengurangi penularan HIV-1 terhadap bayi secara dermatis. Penggunaan
zidovudin (100 mg lima kali/24 jam) pada wanita HIV-1 dalam 14 minggu
kehamilan sampai kelahiran dan persalinan dan selama 6 minggu pada neonatus
(180 mg/m2 secara oral setiap jam) mengurangi penularan pada 26% resipien
palasebo sampai 8% pada resipien zidovudin, suatu perbedaan yang sangat
bermakna. Pelayanan kesehatan A.S. telah menghasilkan pedoman untuk
penggunaan zidovudin pada wanita hamil HIV-1 positif untuk mencegah
penularan HIV-1 perinatal. Wanita yang HIV-1 positif, hamil dengan masa
kehamilan 14-34 minggu, mempunyai anak limfosid CD4 +  200/mm atau lebih
besar, dan sekarang tidak berada pada terapi atteretrovirus dianjurkan
menggunakan zidovudin. Zidovudin intravena (dosis beban 1 jam 2 mg/kg/jam
diikuti dengan infus terus menerus 1 mg/kg/jam sampai persalinan) dianjurkan
selama proses kelahiran.
Pada semua keadaan dimana ibu mendapat zidovudin untuk mencegah
penularan HIV-1, bayi harus mendapat sirup zidovudin (2 mg/kg setiap 6 jam
selama usia 6 minggu pertama yang mulai dan8 jam sesudah lahir). Jika ibu
HIV-1 positif dan tidak mendapatkan zidovudin, zidovudin harus dimulai pada
bayi baru lahir sesegera mungkin sesudah lahir, tidak ada bukti yang mendukung
kemajuan obat dalam mencegah infeksi HIV-1 bayi baru lahir sesudah 24 jam.
Ibu dan anak diobati dengan zidovudin harus diamati dengan ketak untuk
kejadian-kejadian yang merugikan dan didaftar pada PPP untuk menilai
kemungkinan kejadian yang merugikan jangka lama. Saat ini, hanya anemia
ringan reversible yang telah ditemukan pada bayi. Untuk melaksanakan
pendekatan ini secara penuh, semua wanita harus mendapatkan prenatal yang
tepat, dan wanita hamil harus diuji untuk positivitas HIV-1.
Penularan seksual. Pencegahan penularan seksual mencakup penghindaran
pertukaran cairan-cairan tubuh. Kondom merupakan bagian integral program
yang mengurangi penyakit yang ditularkan secara seksual. Seks tanpa
perlindungan dengan mitra yang lebih tua atau dengan banyak mitra adalah biasa
pada remaja yang terinfeksi HIV-1.

19
DAFTAR PUSTAKA

Christine L. Mudge-Grout, 1992, Immunologic Disorders, Mosby Year Book, St.


Louis.

Departemen Kesehatan Indonesia: Direktotat Jendran Pengendalian Penyakit dan


Penyehatan Lingkungan, Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral pada anak di indonesia. Jakarta:DepkeS RI, 2008.

Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I
Made Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta

Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr.
Soetomo Surabaya.

Lyke, Merchant Evelyn, 1992, Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs
Approach,J.B. Lippincott Company, London.

Nurs, Nursalam, M. Dan Ninuk Dian Kurniawati. Asuhan Keperawatan pada


Pasien terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika, 2007.

Phipps, Wilma. et al, 1991, Medical Surgical Nursing : Concepts and Clinical
Practice, 4th edition, Mosby Year Book, Toronto

Rampengan dan Laurentz, 1995, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, cetakan
kedua, EGC, Jakarta.

20

Anda mungkin juga menyukai