Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

DISKUSI KELOMPOK (DK)


PERITONITIS

disusun untuk memenuhi penilaian mata kuliah


Dasar Patofisiologi Sistem Pencernaan

Dosen Pembimbing:
Ns. Mifetika Lukitasari, S.Kep., M.Sc

Disusun Oleh:
Kelompok 4 - Reguler 1
Novia Ester Kurniawati 165070201111013
Merdiana Indah Permata 165070201111015
Tri Atmi Sindy Andarini 165070201111017
Umroh Indah Lestari 165070201111019
Dian Novera Supriyadi 165070201111023
Virda Sari 165070201111025
Imeldha Monitasari 165070207111007
Suci Wulandari Sassanti 165070207111009
Putu Yustika Primayani 165070207111011

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
PERITONITIS

1. Definisi
Peritonitis merupakan inflamasi dari peritoneum atau lapisan
membrane serosa pada rongga abdomen dan mencakup organ dalamnya.
Biasanya merupakan akibat dari infeksi bacterial, organisme dari penyakit
saluran gastrointestinal, atau dari organ reproduktif pada wanita (Smeltzer &
Bare, 2004).
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum (lapisan membrane
serosa rongga abdomen) dan organ di dalamnya. (Muttaqin & Sari, 2013).
Peritonitis didefinisikan sebagai proses inflamasi pada membrane
serosa dari rongga abdomen dan organ-organ di dalamnya (Daley, 2017).

2. Etiologi
Menurut (Nurarif, 2016), peradangan pada peritneum ini umumnya
disebabkan oleh infeksi bakteri atau jamur. Berdasarkan asal infeksinya,
peritonitis dibagi menjadi dua, yaitu peritonitis primer dan peritonitis
sekunder. Peritonitis primer disebabkan oleh infeksi yang memang bermula
pada peritoneum. Kondisi ini bisa dipicu oleh gagal hati dengan asites, atau
akibat tindakan CAPD pada gagal ginjal kronis.
Sedangkan peritonitis sekunder terjadi akibat penyebaran infeksi dari
saluran pencernaan. Kedua jenis peritonitis tersebut sangat berbahaya dan
mengancam nyawa. Pada penderita sirosis, kematian akibat peritonitis bisa
mencapai 40%.

1. Infeksi bakteri
a. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
b. Appendisitis yang meradang dan perforasi
c. Tukak peptik (lambung / dudenum)
d. Tukak thypoid

1
e. Tukak disentri amuba / colitis
f. Tukak pada tumor
g. Salpingitis
h. Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri E. coli,
Streptokokus, hemolitik, stapilokokus aurens, Enterokokus dan
yang paling berbahaya adalah Clostridium wechii.

2. Secara langsung dari luar


a. Operasi yang tidak steril
b. Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida,
terjadi peritonitisyang disertai pembentukan jaringan
granulomatosa sebagai respon terhadap benda asing, disebut juga
peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal.
c. Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati
d. Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis.
terbentuk pula peritonitis granulomatosa.
3. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut
seperti radang saluran pernapasan bagian atas, otitis media,
mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama adalah
streptokokus atau pnemokokus.

3. Epidemiologi
Hasil survey pada tahun 2008 angka kejadian peritonitis di sebagian
wilayah Indonesia hingga saat ini masih tinggi. Di Indonesia, jumlah pasien
yang menderita penyakit peritonitis berjumlah sekitar 7% dari jumlah
penduduk di Indonesia atau sekitar 179.000 orang. (Depkes RI, 2008).
Angka kejadian penyakit peritonitis di Amerika pada tahun 2011
diperkirakan 750 ribu per tahun dan akan meningkat bila pasien jatuh dalam
keadaan syok. Dalam setiap jamnya di dapatkan 25 pasien mengalami syok

2
dan satu dari tiga pasien syok berakhir dengan kematian. Angka insiden ini
meningkat 91,3% dalam sepuluh tahun terakhir dan merupakan penyebab
terbanyak kematian di ICU diluar penyebab penyakit peritonitis. Angka
insidensi syok masih tetap meningkat selama beberapa dekade, rata-rata
angka mortalitas yang disebabkannya juga cenderung konstan atau hanya
sedikit mengalami penurunan. Kejadian peritonitis tersebut dapat
memberikan dampak yang sangat kompleks bagi tubuh. Adanya penyakit
peritonitis menjadikan kasus ini menjadi prognosis yang buruk.
Data mengenai tingkat insidensi peritonitis sangat terbatas, namun
yang pasti diketahui adalah diantara seluruh jenis peritonitis, peritonitis
sekunder merupakan peritonitis yang paling sering ditemukan. Terdapat
perbedaan etiologi peritonitis pada Negara berkembang dengan Negara
maju. Pada Negara berkembang etiologi peritoninis adalah karena
appendicitis perforasi, perforasi ulkus peptikum dan perforasi tifoid.
Sedangkan dinegara maju appendicitis perforasi tetap merupakanpenyebab
utama diikuti dengan perforasi kolon akibat diverticulitis. Tingkat insidensi
peritonitis pasca operatif bervariasi antara 1-20% pada pasien yang
menjalani laparotomi.

4. Faktor Risiko
Prevalensi terjadinya perforasi meningkat terutama pada usia 31-60
tahun, pada beberapa studi mengatakan bahwa perforasi gastroduodenal
merupakan penyebab mayor dari peritonitis perforasi, dimana prevalensi
pada usia tersebut meningkat disebabkan karena faktor risiko etiologi seperti
merokok, alkoholisme, dan penggunaan NSAID. Perforasi appendik lebih
sering terjadi pada usia 20-30 tahun. Perforasi ileum lebih banyak terjadi
pada usia 10-30 tahun dimana faktor etiologinya disebabkan karena typhoid
(Dani, et al., 2015).
Usia merupakan faktor prognostik yang penting pada perforasi ulkus
peptikum. Pasien yang berusia lebih dari 60 tahun mempunyai risiko

3
signifikan terjadinya mortalitas setelah pembedahan pada peritonitis perforasi
daripada pasien muda dikarenakan mempunyai banyak faktor komorbiditas.
Pada beberapa pasien yang berusia lebih dari 60 tahun mempunyai
hubungan yang signifikan terjadinya komplikasi urologi, hal ini biasanya
berhubungan dengan terjadinya benign prostat hyperplasia (BPH). Namun
pada beberapa analisis, usia bukan merupakan faktor prognostik independen
terjadinya morbiditas pasca operasi (Kim, et al., 2012).
Selain itu, terdapat sebuah study prediktor mortalitas dan morbiditas
pada peritonitis didapatkan data heart rate dan respiratory rate, haemoglobin
(Hb), kreatinin, urea, dan PaO2 signifikan terhadap mortalitas dan morbiditas.
Indikator umur, leukosit, dan hematokrit signifikan pada mortalitas tapi tidak
morbiditas, sedangkan kadar Na, K, tekanan darah, dan berat badan tidak
ada hubungan terhadap mortalitas maupun morbiditas.
Beberapa kondisi yang dapat meningkatkan risiko peritonitis primer
adalah (Nurarif, 2016)

a. Sirosis. 
Sirosis bisa menyebabkan penumpukan cairan pada rongga
perut (asites) yang dapat memicu infeksi.
b. Menjalani CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis). 
Menjalani CAPD tanpa memperhatikan kebersihan dan
sterilitasnya berisiko menimbulkan infeksi.

Sedangkan faktor risiko pada peritonitis sekunder, antara lain adalah


(Nurarif, 2016)
a. Pecahnya organ dalam, seperti usus buntu yang pecah pada penyakit
usus buntu atau lambung yang pecah akibat tukak lambung,
b. Radang panggul.
c. Penyakit saluran pencernaan, seperti penyakit Crohn (suatu kondisi
yang menyebabkan peradangan pada sistem pencernaan, yang paling

4
sering mempengaruhi ileum -bagian terkahir dari usus kecil- atau usus
besar) dan diverkulitis (peradangan pada kantung-kantung di
sepanjang saluran usus besar kolon).
d. Pankreatitis.
e. Pasca pembedahan rongga perut.
f. Luka pada perut akibat tusukan pisau atau tembakan.

5. Klasifikasi
Menurut Smeltzer, S.C & Bare, B.G. (2001), bila ditinjau dari
penyebabnya, infeksi peritonitis terbagi menjadi :
a. Penyebab primer (peritonitis spontan)
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara
hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus
infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial,
biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis primer
biasanya disebabkan oleh penyakit hati. Cairan menumpuk di perut,
menciptakan lingkungan yang utama untuk pertumbuhan bakteri.
Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
 Spesifik : misalnya Tuberculosis
 Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis an
Tonsilitis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya
malnutrisi, keganasan intraabdomen, imunosupresi dan
splenektomi. Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom
nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis
hepatis dengan asites.
b. Penyebab sekunder (berkaitan dengan proses patologis pada organ
visceral)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi
tractusi gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya

5
organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal.
Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya
infeksi ini. Bakteri anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat
memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan
infeksi.Peritonitis sekunder, bentuk peritonitis yang paling sering
terjadi, disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural)
organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal.
Spektrum patogen infeksius tergantung penyebab asalnya. Berbeda
dengan SBP, peritonitis sekunder lebih banyak disebabkan bakteri
gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas.
c. Penyebab tersier (infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi
awal yang adekuat).
Peritonitis tersier dapat terjadi karena infeksi peritoneal
berulang setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder
yang adekuat, sering bukan berasal dari kelainan organ. Pasien
dengan peritonitis tersier biasanya timbul abses atau flegmon,
dengan atau tanpa fistula. Peritonitis tersier timbul lebih sering ada
pasien dengan kondisi komorbid sebelumnya dan pada pasien yang
imunokompromais.
d. Bentuk lain dari peritonitis :
a. Aseptik/steril peritonitis
b. Granulomatous peritonitis
c. Hiperlipidemik peritonitis
d. Talkum peritonitis

6
6. Patofisiologi (Nurarif, 2016)

7
7. Manifestasi Klinis
Menurut [ CITATION Kow10 \l 1057 ], manifestasi klinis yang sering
muncul pada pasien peritonitis adalah:

a. Distensi abdomen
a. Rigiditas abdomen
b. Nyeri tekan pada abdomen
c. Bising usus menurun bahkan hilang
d. Demam
e. Mual bahkan muntah
f. Takikardia
g. Takipnea

8. Pemeriksaan Diagnosis (Nurarif, 2016)


1. Leukositosis

Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak


protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit, basil tuberkel
diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara
laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan
merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.

2. Hematokrit meningkat

3. Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien


peritonitis didapatkan PH =7.31, PCO2= 40, BE= -4 )

4. X. Ray
Dari tes X Ray didapat:
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan:
1. Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
2. Usus halus dan usus besar dilatasi.
3. Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.

8
9. Penatalaksanaan (Wittman, 2011)
Prinsip utama terapi pada infeksi intra abdomen adalah :
1. Mengontrol sumber infeksi
2. Mengeliminasi bakteri dan toksin
3. Mempertahankan fungsi sistem organ
4. Mengontrol proses inflamasi

Terapi terbagi menjadi:


a. Terapi medis: terapi antibiotik, pada Spontaneus Bacterial Peritonitis
pemberian antibiotik sesuai dengan hasil kultur, la,a pemberian terapi
biasanya 5-10 hari. Pada peritonitis sekunder dan tersier, terapi antibiotik
sistemik ada pada urutan kedua, untuk infeksi yang berkepanjangan,
antibiotik sistemik tidak efektif lagi, namun lebih berguna pada infeksi
akut.
b. Intervensi non-operatif: dapat dilakukan drainase percutaneus abses
abdominal dan ekstraperitoneal. Keefektifan teknik ini dapat menunda
pembedahan sampai proses akut dan sepsis telah teratasi, sehingga
pembedahan dapat dilakukan secara efektif. Terapi ini umumnya berhasil
pada pasien dengan abses peritoneal yang disebabkan perforasi usus
(misalnya apendisitis, divertikulitis).
c. Terapi operatif: cara yang paling efektif untuk mengatasi sumber infeksi
misalnya apendisitis, ruptur organ intra-abdomen. Pembedahan
dilakukan dengan 2 cara yaitu bedah terbuka dan laparoskopi.

10. Komplikasi
Menurut (Nurarif, 2016), komplikasi dapat terjadi pada peritonitis
bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi
komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
a.    Komplikasi dini
1. Septikemia dan syok septic

9
2. Syok hipovolemik
3. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan
kegagalan multi system
4. Abses residual intraperitoneal
5. Portal Pyemia (misal abses hepar)
b.    Komplikasi lanjut
1. Adhesi
2. Obstruksi intestinal rekuren

10
DAFTAR REFERENSI

Daley, Brian. 2017. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Medscape.


Dani, T. et al., 2015. Evaluation of prognosis in patients with perforation
peritonitis using mannheim peritonitis index. International Journal
of Scientific and research publications, Volume 5(5), pp. 1-35
Depkes RI. Profil Kesehatan Indonesia.Jakarta :Depkes RI. 2008
Kim, J. M. et al., 2012. Analysis of risk factors for postoperative morbidity in
perforated peptic ulcer. J Gastric Cancer, 12(1), pp. 26-35
Kowalak et all. 2010. Buku Saku Tanda dan Gejala Pemeriksaan Fisik dan
Anamnesis Penyebab Tip Klinis Ed 2. EGC : Jakarta
Muttaqin, Arif & Sari, Kumala. 2013. Gangguan Gastrointestinal Aplikasi
Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.
Nurarif, H. A., & Kusuma, H. (2016). Asuhan keperawatan Praktis, Jilid
1. Yogyakarta: Mediaction Jogja.
Smeltzer, S.C & Bare, B.G. 2001. Buku Saku Keperawatan Medika l Bedah :
Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC.
Smeltzer & Bare. 2004. Brunner & Suddarth’ Textbook Medical Surgical
Nursing pdf.
Wittman, D. H., 2011. Intra abdominal Infection . international Journal of
Scientific Study

11

Anda mungkin juga menyukai