Anda di halaman 1dari 50

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Otak

Otak adalah organ vital yang terdiri dari 100 - 200 milyar sel aktif yang

saling berhubungan dan bertanggung jawab atas fungsi mental dan intelektual kita.

Otak terdiri dari sel - sel otak yang disebut neuron. Otak merupakan organ yang

sangat mudah beradaptasi meskipun neuron - neuron di otak mati tidak mengalami

regenerasi kemampuan adaptif atau plastisitas. Pada otak dalam situasi tertentu

bagian - bagian otak dapat mengambil alih fungsi dari bagian-bagian yang rusak.

Otak sepertinya belajar kemampuan baru. Ini merupakan mekanisme paling penting

yang berperan dalam pemulihan stroke (Feigin, 2006).

Secara garis besar sistem saraf dibagi menjadi 2, yaitu sistem saraf pusat

dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat (SSP) terbentuk oleh otak dan medulla

spinalis. Sistem saraf disisi luar SSP disebut sistem saraf tepi (SST). Fungsi dari

SST adalah menghantarkan informasi bolak balik antara SSP dengan bagian tubuh

lainnya (Noback dkk, 2005).

Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf dengan komponen

bagiannya adalah :

1) Cerebrum

Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesar yang terdiri dari

sepasang hemisfer kanan dan kiri serta tersusun dari korteks. Korteks ditandai

dengan sulkus (celah) dan girus.


2

Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu:

a) Lobus Frontalis

Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang

lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara (area

broca di hermisfer kiri), pusat penghidit dan emosi. Bagian ini

mengandung pusat pengontrolan gerakan volunter di gyrus presentralis

(area motorik primer) dan terdapat area asosiasi motorik (area

premotor). Pada lobus ini terdapat daerah broca yang mengatur ekspresi

bicara, lobus ini juga mengatur gerakan sadar, perilaku sosial, berbicara,

motivasi dan inisiatif (Purves dkk, 2004).

b) Lobus Temporalis

Lobus temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang

berjalan ke bawah dari fisura lateral dan sebelah posterior dari fisura

parieto-oksipitalis (White, 2008). Lobus ini berfungsi untuk mengatur

daya ingat verbal, visual, pendengaran dan berperan dalam

pembentukan dan perkembangan emosi.

c) Lobus Parietalis

Lobus Parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di

gyrus post sentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan

pendengaran (White, 2008).

d) Lobus Oksipitalis

Lobus oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area

asosiasi penglihatan: menginterpretasi dan memproses rangsang

penglihatan dari nervus optikus dan mengasosiasikan rangsang ini

dengan informasi saraf lain dan memori (White, 2008).


3

e) Lobus Limbik

Lobus limbik untuk mengatur emosi manusia, memori emosi dan

bersama hipothalamus menimbulkan perubahan melalui pengendalian

atas susunan endokrin dan susunan autonom (White, 2008).

Gambar 2.1 Lobus dan cerebrum, dilihat dari atas dan samping.

(Sumber: White, 2008)


4

2) Cerebellum

Cerebellum adalah struktur kompleks yang mengandung lebih

banyak neuron dibandingkan otak secara keseluruhan. Memiliki peran

koordinasi yang penting dalam fungsi motorik yang didasarkan pada

informasi somatosensori yang diterima inputnya 40 kali lebih banyak

dibandingkan output. Cerebellum terdiri dari tiga bagian fungsional yang

berbeda yang menerima dan menyampaikan informasi ke bagian lain dari

sistem saraf pusat.

Cerebellum merupakan pusat koordinasi untuk keseimbangan dan

tonus otot. Mengendalikan kontraksi otot - otot volunter secara optimal.

Bagian - bagian dari cerebellum adalah lobus anterior, lobus medialis dan

lobus fluccolonodularis (Purves, 2004).

Gambar 2.2 Cerebellum, dilihat dari belakang atas

(Sumber: Raine, 2009)


5

3) Brainstem

Brainstem adalah batang otak, berfungsi untuk mengatur seluruh

proses kehidupan yang mendasar. Berhubungan dengan diensefalon

diatasnya dan medulla spinalis dibawahnya. Struktur - struktur fungsional

batang otak yang penting adalah jaras asenden dan desenden traktus

longitudinalis antara medulla spinalis dan bagian - bagian otak, anyaman sel

saraf dan 12 pasang saraf cranial. Secara garis besar brainstem terdiri dari

tiga segmen, yaitu mesensefalon, pons dan medulla oblongata.

Gambar 2.3 Brainstem.

(Sumber: White, 2008


6

2.1.1 Anatomi Peredaran Darah Otak

Darah mengangkut zat asam, makanan dan substansi lainnya yang

diperlukan bagi fungsi jaringan hidup yang baik. Kebutuhan otak sangat mendesak

dan vital, sehingga aliran darah yang konstan harus terus dipertahankan. Suplai

darah arteri ke otak merupakan suatu jalinan pembuluh - pembuluh darah yang

bercabang - cabang, berhubungan erat satu dengan yang lain sehingga dapat

menjamin suplai darah yang adekuat untuk sel.

1) Peredaran Darah Arteri

Suplai darah ini dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri vertebralis

dan arteri karotis interna, yang bercabang dan beranastosmosis membentuk

circulus willisi. Arteri karotis interna dan eksterna bercabang dari arteri karotis

komunis yang berakhir pada arten serebri anterior dan arteri serebri medial. Di

dekat akhir arteri karotis interna, dari pembuluh darah ini keluar arteri

communicans posterior yang bersatu kearah kaudal dengan arteri serebri

posterior. Arteri serebri anterior saling berhubungan melalui arteri

communicans anterior. Arteri vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteria

subklavia sisi yang sama. Arteria subklavia kanan merupakan cabang dari

arteria inominata, sedangkan arteri subklavia kiri merupakan cabang langsung

dari aorta. Arteri vertebralis memasuki tengkorak melalui foramen magnum,

setinggi perbatasan pons dan medula oblongata. Kedua arteri ini bersatu

membentuk arten basilaris.


7

2) Peredaran Darah Vena

Aliran darah vena dari otak terutama ke dalam sinus - sinus duramater,

suatu saluran pembuluh darah yang terdapat di dalam struktur duramater. Sinus

- sinus duramater tidak mempunyai katup dan sebagian besar berbentuk

triangular. Sebagian besar vena cortex superfisial mengalir ke dalam sinus

longitudinalis superior yang berada di medial. Dua buah vena cortex yang utama

adalah vena anastomotica magna yang mengalir ke dalam sinus longitudinalis

superior dan vena anastomotica parva yang mengalir ke dalam sinus

transversus. Vena -vena serebri profunda memperoleh aliran darah dari basal

ganglia (Wilson, el al, 2002).

Gambar. 2.4 Circulus Willisi

(Sumber : swaramuslim. Stroke, 2009)


8

2.1.2 Sistem Sensorik

Menurut Despopoulus dan Silbernagl (2003), tentang sistem kontrol

sensorik menjelaskan bahwa dengan indera yang kita miliki, kita mampu menerima

sejumlah besar informasi dari lingkungan. Rangsangan mencapai tubuh dalam

berbagai bentuk energi seperti elektromagnetik (rangsangan visual) atau energi

mekanik (rangsangan taktil). Berbagai reseptor sensorik atau sensor untuk

rangsangan ini secara klasik terdapat pada organ mata, telinga, kulit, lidah, dan

hidung sedangkan pada permukaan tubuh maupun didalam tubuh terdapat pada

propiosensor dan organ vestibular (keseirnbangan). Jalur sistem sensorik ini

memiliki empat elemen stimulasi yaitu modalitas, intensitas, durasi dan lokalisasi.

Setiap jenis sensor adalah memiliki stimulus unik yang spesifik atau mampu

membangkitkan modalitas sensorik tertentu seperti penglihatan, suara, sentuhan,

getaran, suhu, nyeri, rasa, bau, juga posisi tubuh dan gerakan lain -lain. Masing -

masing modalitas memiliki submodalitas seperti rasa yang bisa manis atau pun

pahit dan lain - lain.


9

Consciousness
101-102bits/s

Environment
Transmission Reception 109
107/bits/S bits/5

Environment

Gambar 2.5 Resepsi, persepsi dan transmisi informasi

(Sumber: Despopoulus dan Silbemagl, 2003)

Despopoulus dan Silbernagl (2003), juga menjelaskan bahwa pada stimulasi

yang konstan, kebanyakan sensor beradaptasi yaitu proses penurunan potensi

meraka. Dimana potensi sensor itu perlahan - lahan beradaptasi menjadi sebanding

dengan intensitas stimulus (P sensor atau tonik sensor). Sensor merespon dengan

beradaptasi secara cepat hanya pada awal dan akhir dari stimulus. Pada proses

sentral pada fase pertama impuls inhibisi dan stimulasi berkonduksi ke saraf pusat

yang terintegrasi untuk meningkatkan kontras rangsangan. Dalam hal ini impuls

stimulasi yang berasal dari sensor yang berdekatan dilemahkan pada prosesnya

(lateral inhibition). Pada fase kedua sebuah kesan rangsangan sensorik mengambil

bentuk dalam tingkat yang rendah dari korteks sensoris dan hal ini merupakan

langkah pertama fisiologi sensorik secara subjektif. Kesadaran adalah sarat utama
10

dalam proses ini. Kesan sensorik akan diikuti dengan interpretasi dan hasil tersebut

disebut sebagai sebuah persepsi. Yang didasarkan pada pengalaman dan alasan dan

tunduk pada interpretasi individu.

Menurut Lambantobing (2015) System sensorik somatik menerima

informasi primer dari reseptor eksteroseptif dan proprioseptif. Didapatkan 4

subkelas mayor dari sensasi somatik, yaitu :

a. Sensasi nyeri, yang dicetuskan oleh rangsang yang dapat menciderai (noxious)

b. Sensasi suhu (termal), terdiri dari rasa panas dan rasa dingin

c. Rasa (sensasi) sikap, dicetuskan oeh perubahan mekanis di otot dan persendian

serta mencakup rasa sikap anggota gerak serta gerakan anggota gerak

(kinesthesia)

d. Sensasi (rasa) tekan, dicetuskan oleh stimulasi mekanis yang diberikan pada

permukaan tubuh.

2.1.3 Sistem Motorik

Menurut Guyton dan Hall (2006), tentang bagian motorik dari sistem saraf

(efektor) menjelaskan bahwa peran terakhir yang paling penting dari sistem saraf

adalah untuk mengontrol berbagai kegiatan tubuh. Hal ini dicapai dengan

mengendalikan kontraksi yang tepat dari kerangka otot - otot pada seluruh tubuh,

kontraksi dari otot polos dalam organ internal, dan sekresi zat kimia aktif oleh kedua

kelenjar eksokrin dan endokrin di banyak bagian tubuh. Kegiatan ini secara kolektif

disebut fungsi motorik dari sistem saraf, otot dan kelenjar yang disebut sebagai

efektor karena mereka merupakan struktur anatomi yang sebenarnya melakukan

fungsi yang didikte oleh sinyal saraf.


11

Gambar 2.6 Axis saraf motorik skeletal dari sistem saraf

(Sumber: Guyton dan Hall, 2006)

Gambar 2.6 menunjukkan bahwa axis saraf motorik kerangka dari sistem

saraf untuk mengontrol kontraksi otot rangka. Operasi sejajar dengan surnbu ini

merupakan sistem lain yang berbeda, yang disebut sistem saraf otonom untuk

mengendalikan otot halus, kelenjar, dan sistem internal tubuh lainnya. Pada gambar

tersebut pula dijelaskan bahwa otot rangka dapat dikendalikan dari banyak

tingkatan pada sistem saraf pusat termasuk sumsung tulang belakang, subtansi

reticular pada medula, batang otak, dan mesenchepalon, basal ganglia, serebellum,

dan korteks motorik. Masing - masing area tersebut memainkan peran sendiri secara

spesifik, area yang lebih rendah terutama berkaitan dengan sistem otonom, respon

otot seketika untuk rangsangan sensorik, dan pada area yang lebih tinggi untuk
12

gerakan otot kompleks yang sengaja dikendalikan oleh proses berpikir otak

(Guyton dan Hall, 2006).

Gerak volunter sederhana atau kompleks dapat dilaksanakan hanya oleh

struktur motor di otak besar, terutama korteks. Area korteks tepat di depan sulcus

sentralis adalah korteks motorik primer. Korteks motorik merupakan asal dari

neuron motorik atas (upper motor neuron) milik jaras kortikobulbar dan

kortikospinal yang turun melalui kapsula interna dan jaras (traktus) motorik, untuk

meneruskan ke neuron motor bawah di batang otak dan korda spinalis. Serabut

kortikobulbar mengatur gerakan otot dalam kepala (mata, wajah, lidah), serabut

kortikospinal mengatur gerakan dibadan dan tungkai.

Neuron motorik merupakan sel saraf yang berfungsi untuk membawa

impuls dari otak atau sumsum tulang belakang menuju ke efektor (otot atau kelenjar

dalam tubuh). Neuron dendrit ini disebut neuron penggerak karena neuron motor

dendritnya berhubungan dengan akson lain, sedangkan aksonnya berhubungan

dengan efektor yang berupa otot atau kelenjar (Hernata, 2013).

Terdapat banyak jaras motorik yang turun dari korteks serebri dan batang

otak. akan tetapi, untuk mengklasifikasi gangguan gerakan volunter, maka UMN

dapat dianggap sama dengan neuron yang badan selnya terletak di korteks motorik

dan akson - aksonnya berjalan dalam traktus kortikospinal (piramidalis) untuk

bersinaps dengan sel - sel kornuanterior. Neuron - neuron ini dianggap sebagai

substrat anatomis untuk inisiasi gerakan yang terencana, terutama gerakan yang

halus atau kompleks (Ginsberg, 2008).


13

Menurut Ginsberg (2008), lesi UMN juga berhubungan dengan pola

kelemahan yang khas. Lesi UMN lebih berhubungan dengan gerakan volunter dan

bukan otot secara terpisah - pisah, dimana UMN berada pada tingkat organisasi

sistem saraf yang lebih tinggi. Terminologi UMN pada anggota gerak adalah

kelemahan pada distribusi piramidalis. Dimana akan terjadi kelemahan ekstensor

yang lebih berat daripada fleksor, sedangkan pada ekstremitas bawah kelemahan

fleksor lebih berat. Sehingga, pada pasien yang menderita hemiparesis setelah

serangan stroke pada satu sisi hemisfer serebri biasanya mengalami fleksi lengan

dan ekstensi kaki pada sisi kontralateral dari lesi.

2.1.4 Neuroplasticity

Studi yang terkini memperluas pemahaman kita tentang proses yang

mendasari proses pemulihan fungsi motorik setelah stroke. Area motorik - bilateral

pada otak mengalami reorganisasi yang luas, meliputi perubahan kekuatan interaksi

inhibisi interhemisfer. Pemahaman kita tentang bentuk reorganisasi yang berbeda -

beda berkontribusi terhadap penguatan proses rehabilitasi, meskipun masih sangat

terbatas, telah menunjukkan kita strategi intervensi untuk meningkatkan fungsi

motorik (Webster et al., 2006).

Setelah terjadi kerusakan iskemik pada area motorik otak, pasien

mengalami beberapa derajat pemulihan spontan, meningkat, sejak ditemukan

intervensi yang diterapkan pada periode akut pasca stroke. Lebih dari 50% survival

stroke pada stadium kronik mengalami defisit motorik permanen (Webster et al.,

2006).
14

Pengetahuan tentang plastisitas area korteks setelah stroke menunjukkan

bahwa kerusakan korteks mempunyai potensi mengalami reorganisasi luas.

Diantara mekanisme plastisitas neural yang mungkin mengkontribusi pemulihan

fungsional adalah sprouting dendrite yang terus - menerus, formasi sinaps baru,

potensiasi jangka panjang dan depresi jangka panjang. Reorganisasi setelah stroke

mungkin juga terjadi pada area korteks yang tidak rusak mengambil alih fungsi area

otak yang terkena infark. Bentuk reorganisasi yang berbeda mengkontribusi

pemulihan fungsi meliputi diaschisis, perinfarct reorganization, aktivitas pada

ipsilesional, atau pada hemisfer kontralesional, interaksi interhemisfer dan

reorganisasi yang didelegasikan (Webster et al, 2006).

Plaslisitas otak (neuroplasticity) adalah kemampuan otak melakukan

reorganisasi dalam bentuk adanya interkoneksi baru pada saraf. Plastisitas

merupakan sifat yang menunjukkan kapasitas otak untuk berubah dan beradaptasi

terhadap kebutuhan fungsional. Mekanisme ini termasuk perubahan kimia saraf

(neurochemical), penerimaan saraf (neuroreceptive), perubahan struktur neuron

saraf dan organisasi otak. Plastisitas juga terjadi pada proses perkembangan dan

kematangan sistem saraf (Irfan, 2010).

Plastisitas dapat tejadi pada level sinaps. level kortikal dan level sistem.

Reorganisasi sistem saraf dapat terjadi dalam beberapa bentuk sebagai berikut:

1. Diaschisis (neural shock)

Merupakan suatu keadaan hilangnya komunikasi antar neuron bersifat

sementara atau merupakan gangguan laten dari aktivitas neuronal di dekat area

kerusakan. Hal ini dimungkinkan juga oleh karena menurunnya suplai darah

pada neuron.
15

2. Unmasking: ,

Merupakan proses yang dapat terjadi antara lain:

a. Denervation supersensitivity

b. Silent synapses recruitment

Dalam aktivitas sehari - hari, banyak akson dan sinaps yang tidak aktif

atau belum terlibat dalam menghasilkan gerak. Apabila jalur utama mengalami

kerusakan maka fungsinya akan digantikan oleh akson dan sinaps yang tidak

aktif. Menurut Wall dan Kabat, jalur sinapsis mempunyai threshold yang sangat

tinggi. Karena mempunyai mekanisme homeostatik. Dimana penurunan

masukan akan menyebabkan kenaikan eksibilitas sinapsnya (Irfan, 2010).

3. Sprouting:

a. Axonal regeneration

b. Collateral sprouting

Sifat plastisitas otak ini memiliki keuntungan dan kerugian dalam hal

pemulihan kemampuan gerak dan fungsi pada insan stroke. Keuntungan

yang dapat diperoleh dengan adanya sifat plastisitas yaitu dimungkinkannya

untuk terus dikembangkan, sehingga dengan metode yang tepat akan

menghasilkan pembentukan plastisitas yang tepat berupa pola gerak normal.

Akan tetapi, dapat rnerugikan jika metode yang diterapkan tidak tepat

karena dengan sifat plastisitasnya akan terbentuk pola gerak yang tidak

normal sesuai dengan latihan yang diberikan (Irfan, 2010).

2.2 Stroke

2.2.1 Definisi Stroke


16

Stroke adalah cedera vascular akut pada otak yang disebabkan oleh

sumbatan bekuan darah, penyempitan pembuluh darah, sumbatan dan penyempitan,

atau pecahnya pembuluh darah. Semua ini menyebabkan kurangnya pasokan darah

yang memadai dengan gejala tergantung pada tempat dan ukuran kerusakan (Feigin.

2006).

Stroke adalah serangan di otak yang timbulnya mendadak akibat tersumbat

atau pecahnya pembuluh darah otak sehingga menyebabkan sel - sel otak tertentu

kekurangan darah, oksigen atau zat - zat makanan dan akhirnya dapat terjadi

kematian sel - sel tersebut dalam waktu yang sangat singkat (Raine, 2006).

Jadi stroke adalah gangguan fungsi saraf yang terjadi karena gangguan

aliran darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak dengan gejala atau

tanda-tanda sesuai dengan daerah yang terganggu.

2.2.2 Patofisiologi Stroke

Otak merupakan organ tubuh yang paling kompleks dan berperan penting

bagi kesehatan dan kehidupan yang baik. Ukurannya relatif kecil dibandingkan

bagian tubuh yang lain. Beratnya hanya 1,5 kg atau sekitar 2 % dari berat total tubuh

kita. Namun organ ini menerima hampir seperlima dari total oksigen dan pasokan

darah. Nutrisi yang kita makan sangat diperlukan untuk menjaga agar otak tetap

dapat bekerja dengan optimal (Feigin, 2006).

Otak bergantung total pada pasokan darahnya. Interupsi sekitar 7 - 10 detik

saja sudah dapat menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada bagian

otak yang terkena (Feigin, 2006).

Otak mendapat banyak pasokan darah. Ada aliran darah konstan yang

membawa neuronutrient (nutisi penting untuk saraf) seperti asam amino, vitamin,
17

dan mineral. Neuronutrient bersama oksigen dan glukosa akan menyediakan energi

untuk otak. Gangguan aliran darah selama satu atau dua menit dapat menurunkan

fungsi otak. Jika gangguan berlangsung lebih lama, maka kerusakan permanen di

otak akan terjadi.

Stroke sering dikenal dengan penyakit yang dapat menyebabkan kematian

dan disability. Stroke Non hemoragik yaitu suatu gangguan fungsional otak akibat

gangguan aliran darah ke otak karena adanya bekuan darah yang telah menyumbat

aliran darah (Yastroki, 2007). Pada stroke non hemoragik aliran darah ke sebagian

jaringan otak berkurang atau berhenti. Hal ini bisa disebabkan oleh sumbatan

thrombus, emboli atau kelainan jantung yang mengakibatkan curah jantung

berkurang atau oleh tekanan perfusi yang menurun. Stroke hemoragik adalah stroke

yang disebabkan oleh perdarahan kedalam jaringan otak (disebut haemoragia

intraserebrum atau hematom intraserebrum) atau kedalam ruang subaraknoid, yaitu

ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang menutupi otak

(disebut haemoragia subaraknoid) (Feigin, 2006).

Penyakit stroke yang terjadi sekitar 80% adalah iskemik, dan 20% adalah

hemoragik. Stroke iskemik dapat diklasifikasikan sebagai akibat dari thrombotik

maupun emboli. Terjadinya thrombotik yang pada umumnya akibatnya 75%

menjadi stroke iskhemik adalah hasil dan proses patofisiologi yang terjadi secara

bertahap dengan penyakit arteroskierosis (Schretzman, 2001).

Tandanya adalah akumulasi aliran menjadi lambat pada arteri cerebral,

memfasilitasi untuk membentuk terjadinya thrombi. Thrombi ini sebagai


18

penghubung dengan tanda arterosklerosis, yang dapat menyebabkan penyempitan

dan terhambatnya pembuluh darah arteri. Hasil dari kerusakan terhadap aliran darah

yang menuju pada tanda dan gejala iskemik, termasuk penurunan neurologik fokal.

Tanda dan gejala ini yang memelihara perkembangannya setiap jam setiap harinya,

yang biasanya setiap pagi akan mengalami hipotensi (Schretzman, 2001).

Stroke hemoragik pada urnumnya terjadi pada umur 55 sampai 75 tahun.

Stroke hemoragik dibagi menjadi 2 yaitu Intracerebri hemorage sebesar 10% dari

kasus stroke dan diiringi dengan gejala sakit kepala dan Subarachnoid hemorage

sebesar 7% dari kasus stroke, yang juga dapat disebabkan sakit kepaia yang berat,

serangan, dan kehilangan kesadaran (Schretzman, 2001). Faktor resiko dari

Intracereberal hemorage dipengaruhi oleh usia, ras, jenis kelamin (laki - laki),

tekanan darah tinggi, konsumsi alkhohol. Sedangkan Subarachnoid hemorage

sering terjadi sobek atau rupture dari kongenital aneurysms atau vascular

malformation yang berada didalam permukaan subarachnoid, tekanan darah tinggi

(hipertensi) dan merokok (Harwood, et al, 2010).

2.2.3 Etiologi dan Klasifikasi Stroke

Gangguan suplai darah ke otak merupakan penyebab terjadinya stroke.

Stroke mengakibatkan terjadinya kehilangan fungsi neurologis secara tiba - tiba,

kemudian muncul tanda dan gejala sesuai dengan daerah yang mengalami

gangguan. Untuk membatasi kerusakan otak dan mencegah stroke berulang maka

proses pemulihan stroke harus dioptimalkan (Schretzman, 2001).

Gangguan suplai darah ini disebabkan oleh adanya penyumbatan dan

pecahnya pembuluh darah di otak. Berdasarkan penyebab tersebut stroke

diklasifikasikan menjadi 2 macam yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik


19

(Schretzman. 2001).

1) Stroke Hemoragik

Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya

pembuluh darah di otak yang menghambat aliran darah normal dan darah

merembes ke daerah sekitarnya kemudian merusak daerah tersebut.

Berdasarkan tempat terjadinya perdarahan, stroke hemoragik terbagi

atas dua macam, yaitu stroke hemoragik intra serebrum dan stroke hemoragik

subaraknoid.

2) Stroke Non Hemoragik atau Iskemik

Stroke iskemik adalah stroke yang disebabkan oleh terjadinya

penyumbatan pada arteri yang mengarah ke otak yang mengakibatkan suplai

oksigen ke otak mengalami gangguan sehingga otak kekurangan oksigen.

Berdasarkan perjalanan klinisnya, stroke non haemoragik dibagi menjadi 4,

yaitu:

(1) Transient Ischemic Attack (TIA) merupakan serangan stroke sementara

yang berlangsung kurang dari 24 jam.

(2) Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND) merupakan gejala

neurologis yang akan menghilang antara > 24 jam sampai dengan 21 hari.

3) Progressing Stroke atau Stroke in Evolution merupakan kelainan atau defisit

neurologis yang berlangsung secara bertahap dari yang ringan sampai menjadi

berat.

4) Complete Stroke atau stroke komplit merupakan kelainan neurologis yang

sudah menetap dan tidak berkembang lagi (Junaidi, 2006).


20

2.2.4 Penyebab Stroke

Berdasarkan hasil penyelidikan pada zaman pra CT-scan mengungkapkan

bahwa stroke yang didiagnosis secara klinis dan kemudian diverifikasi oleh autopsi

penyebabnya adalah

a) 52 - 70% disebabkan oleh infark non emboli

b) 7 - 25% disebabkan oleh perdarahan intra serebral primer

c) 5 - 10% disebabkan oleh perdarahan subaraknoidal

d) 7 - 9% tidak diketahui penyebabnya

e) 6% adalah adalah kasus TIA yang pada autopsi tidak memperhatikan kelainan

f) 5% disebabkan oleh emboli

g) 3% disebabkan oleh neuplasma

Setelah CT-scan digunakan secara rutin dalam kasus - kasus stroke,

diketahui bahwa 81% stroke non-hemoragik dan 9% stroke hemoragik (Mackay,

2004).

2.2.5 Faktor Risiko Terjadinya Stroke

Pakistan melakukan sebuah penelitian terhadap faktor resiko dari stroke,

faktor resiko tertinggi yang menyebabkan terjadinya stroke adalah hipertensi

dengan 78%, dan yang kedua Diabetes Mellitus (40,3%), Rokok (21%) (Taj: 2010).

Menurut Feigin (2006) faktor resiko stroke dibagi menjadi dua yaitu faktor

resiko yang dapat dimodifikasi seperti gaya hidup dan faktor resiko yang tidak dapat

dimodifikasi seperti penuaan, kecenderungan genetik dan suku bangsa. Faktor

resiko yang terpenting adalah:


21

(1) Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus dapat menimbulkan perubahan pada sistem vaskuler

(pembuluh darah dan jantung) serta memicu terjadinya aterosklerosis (Feigin,

2006).

(2) Hipertensi

Tekanan darah yang tinggi secara terus - menerus menambah beban

pembuluh arteri perlahan - lahan. Arteri mengalami proses pengerasan menjadi

tebal dan kaku sehingga mengurangi elastisitasnya. Hal ini dapat pula merusak

dinding arteri dan mendorong proses terbentuknya pengendapan plak pada

arteri koroner. Hal ini meningkatkan resistensi pada aliran darah yang pada

gilirannya menambah naiknya tekanan darah. Semakin berat kondisi hipertensi,

semakin besar pula faktor resiko yang ditimbulkan (Mackay, 2004).

(3) Penyakit jantung

Emboli yang terbentuk di jantung akibat adanya kelainan pada arteri

jantung terutama arteria coronaria dapat terlepas dan dapat mengalir ke otak

sehingga dapat menyumbat arteri di otak dan dapat mencetuskan stroke iskemik

(Feigin, 2006).

(4) Makanan yang tidak sehat

Jika seseorang mengkonsumsi kalori lebih banyak daripada yang

mereka gunakan dalam aktivitas sehari - hari, kelebihan kalori tersebut akan

diubah menjadi lemak yang menumpuk di dalam tubuh (Feigin, 2006).

(5) Merokok
22

Asap rokok yang mengandung nikotin yang memacu pengeluaran zat -

zat seperti adrenalin dapat merangsang denyut janlung dan tekanan darah.

Kandungan carbon monoksida dalam rokok memiliki kemampuan jauh lebih

kuat daripada sel darah merah (hemoglobin) untuk menarik atau menyerap

oksigen sehingga kapasitas darah yang mengangkut oksigen ke jaringan lain

terutama jantung menjadi berkurang. Hal ini akan mempercepat terjadinya

stroke iskemik bila seseorang sudah mempunyai penyakit jantung (Mackay,

2004).

2.2.6 Penurunan Gangguan Gerak dan Fungsi Berdasarkan Motor

Pathways

1. Akson dari motor cortex primer turun ke medulla spinalis melalui dua kelompok

yaitu:

(1) Lateral group yang berfungsi sebagai pengontrol gerakan anggota tubuh

secara mandiri, terdiri dari:

(a) Corticospinal tract : menggerakan tangan dan jari - jari

(b) Corticobulbar tract : menggerakan wajah, leher, lidah dan mata

(c) Rubrospinal tract : mengendalikan otot - otot anterior dan posterior

tubuh

Cedera Dorsolateral Pathway, antara lain:

(a) Righting reaction normal

(b) Fleksi jari-jari

(c) Elbow inactive

(d) Meraih dengan sirkumduksi pada bahu


23

(e) Axial postur normal

(f) Lengan menggantung lemas

(g) Berjalan dengan normal

(2) Ventromedial group berfungsi mengontrol gerakan anggota badan, terdiri

dari :

(a) Vestibulospinal tract: control of posture

(b) Tectospinal tract; mengkoordinasikan gerakan mata, kepala dan trunk

(c) Reticulospinai tract : berjalan, bersin, tonus otot

(d) Ventral corticospinal tract: otot - otot tungkai atas dan trunk

Cidera Sistem Ventromedial

(a) Dapat menggerakan fleksi elbow

(b) Kehilangan righting reaction

(c) Tidak dapat menjangkau benda yang jauh

(d) Selalu merosot kedepan

(e) Axial mobility

(f) Selalu menabrak benda yang ada dihadapannya.

2.2.7 Problematik Pasca Stroke

Problematik fisioterapi pada pasien pasca stroke menimbulkan tingkat

gangguan.

(1) Structure and Body function

Structure and Body Function yaitu gangguan tonus otot secara postural,
24

semakin tinggi tonus otot maka akan terjadi spastisitas ke arah fleksi atau

ektensi yang mengakibatkan terganggunya gerak ke arah normal. Sehingga

terjadi gangguan kokontraksi dan koordinasi yang halus dan bertujuan pada

kecepatan dan ketepatan gerak anggota gerak atas dan bawah pada sisi lesi, serta

dapat mengakibatkan gangguan dalam reaksi tegak, mempertahankan

keseimbangan atau protective reaction anggota gerak atas dan bawah pada sisi

lesi saat melakukan gerakan, contoh lainnya seperti kelemahan otot pada sisi

affected, gangguan koordinasi, dan sensory deficit (mail rasa, gangguan

sensibilitas).

(2) Activity Limitation

Activity Limitation yang timbul adalah terjadi penurunan kemampuan

motorik fungsional. Penurunan kemampuan dalam melakukan aktifitas dari

tidur terlentang seperti mampu melakukan gerakan tangan dan kaki secara aktif

saat miring, terlentang duduk disamping tempat tidur seperti mampu melakukan

gerakan menggangkat kepala namun saat menurunkan kaki butuh bantuan orang

lain agar mampu duduk disamping tempat tidur, keseimbangan duduk seperti

kurang mampu mempertahankan keseimbangan duduk, dari duduk ke berdiri

seperti masih membutuhkan orang lain, berjalan seperti masih membutuhkan

bantuan dari orang lain, fungsi anggota gerak atas seperti gerakan

mempertahankan posisi lengan ke segala arah dan pergerakkan tangan yang

terampil seperti mengambil benda dan memindahkan dari satu tempat ke tempat

lain.

(3) Participation and Retriction


25

Participation and Retriction adalah terjadi ketidakmampuan melakukan

aktivitas sosial dan berinteraksi dengan lingkungan. Seperti gangguan dalam

melakukan aktivitas bekerja karena gangguan psikis dan fisik seperti kurang

percaya diri, kualitas hidup menurun dan depresi.

2.3 Kemampuan Fungsional Tangan

Kemampuan fungsional tangan sangat penting bagi setiap individu

termasuk bagi penderita stroke, karena kegiatan pekerjaan rutin sehari - hari

berpengaruh kepada fungsi tangan untuk melakukan kegiatan tersebut, Adapun

kegiatan sehari - hari (activities of daily living/ADL) seperti makan, ke toilet,

berpakaian, mandi, mobilisasi dan sebagainya.

Penurunan fungsi ADL bisa terjadi pada kasus stroke karena dipengaruhi

oleh menurunnya ROM sendi, kekuatan otot, tonus otot, proprioseptif, persepsi

visual, kognitif koordinasi dan keseimbangan.

Orang dengan hemiparesis mengalami kesulitan melakukan banyak

aktivitas hidup sehari - hari, karena melemahnya otot. Secara khusus banyak orang

dengan hemiparesis mengalami kelemahan dan disfungsi tangan. Tanpa

penggunaan fungsional tangan, orang mungkin mengalami kesulitan makan sendiri,

menyikat gigi, atau bahkan menyapa orang lain dengan menjabat tangan. Ketika

pasien tidak dapat menyelesaikan tugas - tugas mereka yang dulu mampu

dilakukan, nilai diri dan harga diri mereka mungkin menurun. Tidak bisa mandiri

mengurus diri sendiri juga mungkin memiliki efek negatif pada sikap seseorang

(Jamison dan Orchanian, 2011).

Penderita stroke akan mengalami banyak gangguan - gangguan yang


26

bersifat fungsional. Gejala stroke dapat bersifat fisik, psikologis dan atau perilaku.

Gejala fisik paling khas adalah hemiparalisis, kelemahan, hilangnya sensasi pada

wajah, lengan atau tungkai di salah satu sisi tubuh, kesulitan bicara atau memahami

(tanpa gangguan pendengaran), kesulitan menelan dan hilangnya sebagian

penglihatan di satu sisi. Ganguan sensorik dan motorik pasca stroke mngakibatkan

ganguan keseimbangan termasuk kelemahan otot, penurunan jaringan lunak, serta

gangguan kontrol motorik dan sensorik. Fungsi yang hilang akibat gangguan

kontrol motorik pada penderita stroke mengakibatkan hilangnya koordinasi,

hilangnya kemampuan merasakan keseimbangan tubuh dan postur (kemampuan

untuk mempertahankan posisi tertentu). Pemulihan spontan dari fungsi motorik tiap

penderita sangat bervariatif, semakin sedikit kelemahan yang terjadi semakin cepat

pemulihannya. Teknik bervariatif namun terdapat dua hal penting yang menjadi

acuan, yaitu inhibisi dan fasilitasi serta berkaitan dengan kemampuan fungsional

(Irfan, 2010).

Tangan memiliki peran sentral dalam kegiatan sehari - hari, gangguan di

tangan secara substansial dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien setelah stroke

(Takashi et al., 2008). Dressing seperti kemampuan untuk memakai kancing

kemeja, menggunakan ritsleting, dan perawatan diri sangat sulit dilakukan ketika

kontrol motorik halus hilang karena hemiparesis (Cooper, 2007).

Sebagian besar aktivitas kegiatan sehari - hari melibatkan gerakan kompleks

pada anggota gerak atas. Tugas - tugas motorik yang dihasilkan oleh anggota gerak

atas dapat menggambarkan 2 problem fundamental dalam kontrol motorik yaitu

problem derajat kebebasan gerak dan problem gerakan spesifik. Dalam kehidupan

sehari - hari, tujuan akhir dari gerakan lengan adalah peletakkan tangan
27

(memposisikan tangan) sebagai contoh menunjuk, meraih atau memindahkan

obyek yang dipegang.

Secara umum, gerakan terbentuk oleh kebutuhan tugas - tugas fungsional.

Lebih spesifik, tangan itu sendiri terbentuk oleh objek yang dipegang. Sebagai

contoh, bentuk gelas dan level air di dalamnya dapat menentukan genggaman

tangan dan ditambah pula lokasi mulut dapat menentukan bagaimana tangan

bergerak melalui suatu ruang/space, besarnya rotasi shoulder dan lengan bawah.

Tangan akan terbentuk pada suatu objek karena sifat objek dan penggunaan tangan.

Aktivasi otot diperlukan untuk memegang gelas secara keseluruhan dan membawa

gelas tersebut ke mulut.

Didapatkan 4 subkelas mayor dari sensasi somatik, yaitu :

a. Sensasi nyeri, yang dicetuskan oleh rangsang yang dapat menciderai (noxious).

b. suhu (termal), terdiri dari rasa panas dan rasa dingin.

c. Rasa (sensasi) sikap, dicetuskan oeh perubahan mekanis di otot dan persendian

serta mencakup rasa sikap anggota gerak serta gerakan anggota gerak

(kinesthesia).

d. Sensasi (rasa) tekan, dicetuskan oleh stimulasi mekanis yang diberikan pada

permukaan tubuh.

2.4 Virtual Reality

Virtual Reality (VR) adalah salah satu aplikasi dari teknologi multimedia

memiliki kelebihan dalam mendeskripsikan sebuah keadaan atau sebuah obyek

dimana visualisasi yang ditampilkan tidak hanya dapat dilihat dari satu sudut

pandang saja namun dapat dilihat dari segala sudut, karena memiliki 3 dimensi

visual sehingga pengguna dapat berinteraksi dengan suatu lingkungan yang


28

disimulasikan oleh komputer (Virtual Environment). Augmented Reality

merupakan kebalikan dari Virtual Reality, dimana model atau objek sengaja

ditambahkan kedalam dunia nyata.

Virtual Reality dipahami sebagai simulasi komputer interaktif yang dapat

mempengaruhi indra pengguna bahkan menggantikan satu atau lebih indra

manusia, sehingga pengguna larut kedalam lingkungan simulasi (Virtual

Environment) (M. Mihelj et al, 2014).

Virtual Reality (VR) secara bahasa berarti keadaan nyata atau ide yang

"dimasukkan" ke dalam dunia maya atau memvirtualkan objek nyata atau ide yang

tetap memperhitungakan sifat-sifat fisikanya. Oleh karena itu harus dibedakan

dengan animasi 3D, yang terdapat pada film dan game, karena tidak

memperhitungkan data dan kondisi fisik dari objek - objek yang berada di dalamnya

(lingkungan virtual). Sebuah VR pasti memperhitungkan aspek ergonomis dan

antropometri. Ini adalah added value sebuah VR. Ergonomis berarti barang yang

divirtualkan harus cocok dengan anatomi tubuh manusia, ketika digunakan seperti

kita menggunakan barang - barang yang biasa berada di sekitar kita, sedangkan

antopometri berarti di dalam virtualisasi tersebut diperhitungkan ukuran fisik dari

gerakan manusia terhadap semua objek virtual di sekelilingnya. Dua hal tersebut

merupakan aspek analisis yang menjadi pembeda VR terhadap games, aspek

lainnya adalah fungsionalitas. Di sisi ini komponennya adalah reachability,

touchability., dan accessability. Reachability berarti objek di dalam dunia virtual

dapat dijangkau, dipegang, dapat berinteraksi dengan user. Touchability berarti

objek dapat dirasakan, objek yang kita pegang atau sentuh memiliki berat ataupun
29

kontur permukaan, dan accessability berarti objek dalam dunia virtual memiliki

perilaku sama dengan objek dalam dunia nyata, misalkan bila dalam tubuh manusia

terdapat 25 derajat kebebasan maka dalam dunia virtual pun harus sama.

Ada dua jenis Virtual Reality :


1. Immersive
Dalam immersive VR, lingkungan virtual diberikan oleh peralatan yang
dipakai oleh pengguna (seperti kacamata) atau orang tersebut berada dalam
lingkungan virtual. Sistem immersive ini memberi pengguna rasa kehadiran
yang kuat melalui penggunaan display yang terpasang di kepala, sarung tangan
khusus.
2. Non-immersive
VR non-immersive biasanya dua dimensi dan dikirimkan melalui layar
komputer. Pengguna dapat mengontrol apa yang terjadi di layar dengan
menggunakan perangkat seperti joystick, mouse, atau sensor. (Saebo)

IMMERSIVE VR
30

NON-IMMERSIVE VR

Gambar 2.7.

(Sumber : Saebo 2007)

Secara sederhana, Virtual Reality adalah pemunculan gambar - gambar tiga

dimensi yang di bangkitkan komputer, yang terlihat nyata dengan bantuan sejumlah

peralatan tertentu. Ciri terpentingnya adalah dengan menggunakan perangkat yang

dirancang untuk tujuan tertentu, teknologi ini mampu menjadikan orang yang

merasakan dunia maya tersebut terkecoh dan yakin bahwa yang dialaminya adalah

nyata. Sherman dalam (Mihelj et al 2014) mengatakan bahwa ada 4 elemen dasar

dari Virtual Reality, yaitu :

a. Virtual Environment (VE)

Definisi dari VR dan VE terus berkembang dan pada saat ini istilah

keduanya saling berkaitan.( Wilson, 2006) mengatakan bahwa VR mengarah

kepada teknik atau sistem berupa perangkat dan software, sedangkan VE

merupakan lingkungan yang diciptakan melalui komputer.


31

Virtual Environment adalah lingkungan yang disimulasikan oleh

komputer, berupa lingkungan sebenarnya yang ditiru atau lingkungan yang

hanya ada dalam imaginasi.

b. Virtual Presence

Virtual Presence, yaitu sebuah perasaan keberadaan seseorang dari

lingkungan virtual. Pengguna tersebut bereaksi dengan objek virtual selayaknya

berinteraksi dengan objek nyata. Pengguna merepresentasikan perasaan dari

berada di sebuah lingkungan virtual.

Waterworth mengatakan bahwa Virtual Presence sulit untuk

dimunculkan melalui media selain VR karena media lain tersebut tidak

memberikan fasilitas atau kemampuan kepada sensor aktual dan imersi fisik

langsung terhadap lingkungan. Pemahaman dari kehadiran langsung telah

ditingkatkan melalui konsep dari kehadiran yang dimunculkan melalui media.

Imersi merupakan keadaan dimana pengguna berada di sebuah

lingkungan yang berupaya untuk meningkatkan perasaan ruang atau perasaan

seperti berada di keadaan nyata. Virtual Presence dapat dikategorikan menjadi

Physical (sensory) dan Mental Presence.

1) Physical (sensory) Virtual Presence

Kehadiran virtual secara fisik mendefinisikan Virtual Reality dan

sekaligus membedakannya dari media lain. Kehadiran virtual secara fisik

ini didapat dari memberikan pengguna sebuah lingkungan virtual dengan

satu atau lebih sensor yang dapat merubah posisi pengguna dan gerakannya.
32

Pada umumnya sistem Virtual Reality melakukan render lingkungan virtual

melalui penglihatan, pendengaran, dan sentuhan.

2) Mental Virtual Presence

Tingkatan kemampuan kehadiran virtual secara mental tergantung

pada tujuan yang ingin dicapai melalui Virtual Reality. Jika Virtual Reality

digunakan dengan tujuan hiburan, maka diperlukan kehadiran virtual secara

mental dengan tingkat tinggi. Bagaimanapun, kehadiran virtual secara

mental kadang tidak begitu dibutuhkan. Tidak adanya kehadiran virtual

secara mental tidak mendiskualifikasi media dari menjadi Virtual Reality.

c. Sensory Feedback

Umpan balik sensoris merupakan komponen krusial dari VR. Sistem VR

memberikan umpan balik sensoris secara langsung melalui informasi visual.

Sistem Virtual Reality memberikan umpan balik sensoris secara langsung

kepada pengguna berdasarkan lokasi fisiknya.

d. Interactivity

Interaktivitas adalah salah satu fitur media baru yang paling banyak

dibicarakan, mendapat tempat khusus di internet. Seperti halnya berbagai istilah

dalam dunia cyber baru, kadang sulit memahami arti sebenarnya dari kata itu.

Satu masalah dalam mendefinisikan istilah interaktivitas adalah bahwa ia

dipakai minimal dalam dua makna berbeda. Orang - orang dengan latar

belakang ilmu komputer cenderung memaknainya sebagai interaksi pengguna

dengan komputer, sebagaimana permainan - permainan interaktif. Definisi

semacam itu menyebutkan bahwa interaktivitas berarti kemampuan pengguna


33

untuk berkomunikasi secara langsung dengan komputer dan memiliki dampak

pada pesan apapun yang sedang dibuat.

2.5 Leap Motion Controller

a. Definisi

Pengenalan gerak tangan manusia telah banyak diteliti dan terus

dikembangkan sampai sekarang. Salah satu pengenalan gerak tangan

tersebut meliputi pendeteksian jari tangan, jumlah jari yang terdeteksi, dan

posisi tangan terbuka atau tertutup.

Leap Motion Controller adalah alat sensor perangkat keras

komputer yang rnendukung gerakan tangan dan jari sebagai masukan, yang

dapat disamakan fungsinya seperti mouse, namun tidak membutuhkan

kontak langsung dengan tangan atau sentuhan. Leap Motion Controller

terkadang juga disingkat menjadi Leap Motion. Namun, pengertian Leap

Motion dapat juga berarti perusahaan Leap Motion yang mengeluarkan Leap

Motion Controller. Maka dari itu alat yang berupa sensor gerak tangan ini

seterusnya akan disebut dengan Leap Motion Controller.

Leap Motion Controller merupakan sebuah alat yang menarik.

Dikarenakan bentuknya yang kecil, alat ini dapat dengan mudah diletakkan

di permukaan meja maupun laptop atau keyboard (Canneyt, 2013). Selain

diletakkan di atas meja dengan menghadap ke atas (table-mounted), alat ini

juga bisa diletakkan di atas kepala (head-mounted) menghadap depan

maupun bawah dengan bantuan alat tertentu seperti Oculus Rift. Meskipun

diletakkan di berbagai sisi dan dan menghadap ke berbagai arah, Leap


34

Motion Controller dalam keadaan tetapnya akan menghasilkan posisi

tangan yang sejajar dengan tubuh pengguna pada tampilan antar muka.

Gambar 2.8 Skema tampilan leap motion controller

(Sumber: L.Vani, R.Anirudh Reddy, 2015)

Sebagai alat sensor, Leap Motion Controller memiliki beberapa alat di

dalamnya untuk mengamati. Alat - alat tersebut berupa kamera IR

monokromatik dan tiga inframerah LED seperti pada gambar 2.7. Dengan

alat - alat tersebut, Leap Motion Controller mampu mengamati gerakan

tangan yang dalam jangkauan berbentuk hemisphere dengan radius sejauh

1 meter. Jarak jangkauan ini nantinya akan membuat wilayah seperti kotak

yang disesuaikan dengan layar. Jarak jangkauan ini sendiri bisa dibentuk

menjadi sebuah kelas bernama InteractionBox dalam antarmuka

pemrograman aplikasinya. Selain InteractionBox, juga terdapat kelas - kelas

lainnya yang digunakan dalam antarmuka pemrograman aplikasi,

khususnya dalam pembuatan sistem yang menggunakan Leap Motion

Controller. Adapun spesifikasi teknis produk Leap Motion Controller

berdasarkan Leap Motion adalah sebagai berikut


35

1) Persyaratan Sistem Minimum

a) Windows® 7/8 atau Mac® OS X 10.7

b) Prosesor AMD Phenom™ II atau Intel® Core™ 13/i5/i7

c) 2GB RAM

d) USB 2.0 port

2) Warranty Terms

a) Windows® 7/8 or Mac® OS X 10.7

3) Perangkat Lunak

a) Perangkat lunak dan applikasi yang digunakan dapat diperoleh di

http://leapmotion.com/setup.

b. Teknik Latihan Menggunakan Sensor Leap Motion Controller

Awalnya, Leap Motion Controller hanya dapat mengamati gerakan

dan citra tangan secara menyeluruh, tanpa memperhatikan bagian - bagian

tangan secara detail. Setelah beberapa perkembangan, Leap Motion

Controller akhirnya mampu mengamati hal - hal yang lebih detail pada

bagian tangan seperti ruas tangan, kiri atau kanan, skala genggaman tangan,

dan sebagainya. Perkembangan ini disebut dengan Skeletal Tracking atau

disebut juga dengan V2.

Adapun fitur - fitur yang terdapat pada Leap Motion Controller

dengan Skeletal Tracking yang dimilikinya berdasarkan Leap Motion antara

lain sebagai berikut.


36

1) Hand Model: model tangan yang digunakan setelah dikembangkannya

V2 memberikan informasi yang lebih lengkap. Posisi ruas jari berserta

perputaran engselnya lebih dapat diakses dan konsisten.

2) Pinch: fitur ini mendukung gerakan jari yang bersentuhan dengan jari

lainnya, dengan skala nol sampai satu.

3) Grab: fitur ini mengindikasikan seberapa mirip tangan dengan kondisi

menggenggam, dengan skala nol sampai satu. Setiap jari yang tidak ikut

menggenggam akan mengurangi nilai skala tersebut.

4) Data Confidence: fitur ini mendeteksi ketika tangan sulit untuk diamati

oleh Leap Motion Controller. Jika salah satu tangan mendekati

pinggiran layar atau saling menutup satu sama lain, nilai fitur ini akan

turun dari satu hingga nol.

5) Left or Right: pengamatan menandai tangan yang terdapat pada layar

apakah kiri atau kanan.

6) Finger Type: pengamatan mendukung tangan dengan komposisi lima

jari yang dapat diambil nilai posisi dan rotasinya masing - masing.

7) Bone Positions: fitur ini mengembalikan nilai posisi dan rotasi dari

masing - masing tulang yang terdapat pada telapak jangan dan jari.

Adapun game yang akan digunakan adalah

1) Bermain Adegan Bunga.

Game ini membawa kita ke sebuah kolam yang tenang, dan sebuah

bunga muncul dari kolam yang tenang tersebut. Warna dan sound

memiliki efek yang langsung menenangkan. Permainan ini akan


37

mengajak anda untuk memetik bunga dan mengundang pengguna untuk

menjangkau serta berinteraksi dengan game tersebut. Dalam adegan ini,

tujuan memetik bunga adalah berisi logika untuk meraih dan mencari

objek untuk diambil dengan membuat gerakan dynamic hand

movement. Adegan bunga tersebut memungkinkan pengguna untuk

membangun paradigma mencubit, dan mendapatkan kepercayaan dalam

ruang dalam setiap tindakannya.

Gambar 2.9 Playground - Bermain adegan bunga


(Sumber: http://blog.Ieapmotion.com/inside-leap-motion- designing-p
lay ground/)
2) Caterpilar Count

Caterpillar Count adalah permainan lucu di mana pengguna

belajar bagaimana menghitung dengan membimbing ulat di sekitar layar

dengan jari mereka untuk mengumpulkan nomor secara berurutan.

Kumpulkan semua nomor di setiap tingkat untuk menjadi kupu - kupu

yang indah. Memainkan semua 10 tingkat dan menghitung semua jalan

sampai ke 100.
38

Sepanjang perjalanan, pengguna akan menghadapi set tunggal.

dua dan tiga angka dan harus berhasil menavigasi secara berurutan

melalui setiap tingkat untuk melanjutkan. Sebagai tingkat meningkat,

frekuensi set dua dan tiga angka juga meningkat, menambah potensi

belajar dan kegembiraan dari permainan.

Sebagai bonus bagi mereka pengguna yang ingin berlatih tingkat

tertentu berulang kali, kesulitan secara bertahap meningkatkan untuk

pelajar setiap kali mereka bermain tingkat yang sama dengan

memperkenalkan set dua dan tiga tambahan angka.

Gambar 2.10 Caterpilar Count


(Sumber: https://apps.leapmotion.com/apps/tvokids-caterpillar- count/windows)

c. Mekanisme pengaruh Virtual Reality terhadap kemampuan fungsional

anggota gerak atas pasien pasca stroke

Dasar dari semua pemulihan stroke adalah neuroplastisitas. Dari

konsep neuroplastisitas diketahui bahwa semakin sering melakukan suatu

gerakan, semakin banyak kekuatan otak dikerahkan untuk gerakan tersebut

Semua orang paling termotivasi oleh aktivitas yang mereka sukai. Ada

kecenderungan alamiah untuk memusatkan perhatian, melatih, dan


39

melaksanakan aktivitas-aktivitas yang sangat disukai. Ketika penderita

stroke meiatih apa yang menjadi kegemaran mereka, maka proses

pemulihan akan terasa seperti bermain (Levin, 2016). (Csikszentmihalyi,

2016) menyebutnya sebagai fase 'flow\ Flow adalah fase ketika seseorang

begitu menikmati suatu aktivitas sampai lupa waktu.

Pada sistem saraf pusat, visual sangat berperan penting dalam

system sensoris karena dapat memberikan sumber informasi dari sebuah

gerakan. Dalam latihan Virtual Reality menggunakan Sensor Leap Motion

Controler, dapat mengaktifkan secara otomatis mekanisme saraf yang

sama yang dipicu oleh pelaksanaan gerakan.

Mekanisme saraf tersebut memungkinkan terjadinya pemetaan

secara langsung antara deskripsi visual dari suatu kegiatan motorik dengan

identifikasi pelaksanaan kegiatan motoriknya. Sehingga sistem pemetaan

memberikan solusi untuk masalah interpretasi hasil analisis visual dari

prinsip gerakan yang diamati. Sirkuit inti neuron dari imitasi terdiri dari

area visual yang lebih tinggi (bagian posterior dari sulkus temporal

superior). Pada latihan ini juga dapat memberikan informasi visual yang

lebih dibanding reseptor lain sehingga dapat memberikan feedback dari

sebuah gerakan dan mengliminir reseptor lain

Visual memegang peran penting dalam sistem sensoris dan untuk

mengidentifikasi dan mengatur jarak gerak sesuai lingkungan tempat kita

berada. Penglihatan muncul ketika mata menerima sinar yang berasal dari

obyek sesuai jarak pandang. Dengan informasi visual, maka tubuh dapat
40

menyesuaikan atau bereaksi terhadap perubahan bidang pada lingkungan

aktivitas sehingga memberikan kerja otot yang sinergis untuk

mempertahankan keseimbangan tubuh, dan sebagai monitor tubuh selama

melakukan gerak statik atau dinamik.

Proses sensorik dan kognitif dianggap sebagai input yang

menetukan output motorik ke depan, Setelah menjalani proses kognitif

pada setiap pola gerakan yang dilatih sehingga terjadi proses pembelajaran

terhadap apa yang telah diingat atau direkam. Teknologi Virtual Reality

dinilai lebih efektif karena pengalaman yang direkam oleh otak penderita

akan terasa lebih nyata. (Adler et al., 2008). Dengan pemberian tugas -

tugas motorik oleh fisioterapis yang ditunjang dengan teknologi Virtual

Reality yang berkesinambungan dengan pola gerakan yang tepat dan

berirama akan menghasilkan proses pembelajaran bagi penderita

hemiparese sehingga penderita tersebut akhirnya dapat melakukan gerakan

dalam hal ini khususnya anggota gerak atas secara mandiri.

Latihan yang ditunjang Virtual Reality menghasilkan fasilitasi

repetitif pada anggota gerak atas sehingga memberikan stimulasi fisik yang

cukup untuk meningkatkan level eksitasi yang berkaitan dengan traktus

motoric descending yang mengalami gangguan. Dengan pemberian latihan

fasilitasi repetitif akan meningkatkan pemulihan fungsional pada penderita

hemiparese.

Melalui latihan yang difasilitasi oleh Virtual Reality maka CPGs

dapat teraktivasi yang akhirnya membangkitkan jaras-jaras motor neuron


41

di otak sehingga terjadi mekanisme neural plastitsas yang menyebabkan

penderita mengalami proses pembelajaran terhadap berbagai input gerakan

yang diberikan.

2.6 Latihan Konvensional

a. Definisi

Latihan konvensional yang digunakan dalam penelitian ini berupa

latihan aktif dimana latihan ini akan dilakukan oleh pasien sendiri dan

didesain sedemikian rupa dengan berbagai tujuan agar anggota gerak

secara anatomis dan fisiologis dapat melakukan fungsionalnya.

Pemberian terapi latihan aktif bertujuan untuk membantu proses

pembelajaran motorik, setiap gerakan yang dilakukan hendaknya secara

perlahan dan anggota gerak yang mengalami kelemahan ikut aktif

melakukan gerakan seoptimal mungkin dan sesuai kemampuan, sedangkan

anggota gerak yang tidak mengalami kelemahan hendaknya dapat

membantu proses terbentuknya gerakan (M. Irfan, 2010).

Gerakan lengan bekerjasama dengan tangan untuk menunjuk,

menggapai, atau memegang suatu benda. Sehingga lengan dan tangan

harus dapat:

1) Memegang dan melepas objek yang berbeda dengan bentuk, ukuran,

berat, dan tekstur berbeda pula.

2) Menggenggam dan melepaskan benda dengan lengan dalam posisi

mendekat maupun menjauhi tubuh.


42

3) Memindahkan benda dari satu tempat ke tempat lain

4) Memodifikasi dan memanipulasi suatu alat untuk tujuan tertentu

5) Menggapai kesegala ara

6) Menggunakan kedua tangan secara bersamaan baik dengan gerakan

berbeda maupun sama

Seluruh gerakan tersebut sangat kompleks, sehingga perlu

keikutsertaan dari otot - otot, persendian yang akan membentuk

biomekanik gerak seperti lengan.

Fungsi utama lengan adalah agar tangan dapat diposisikan untuk

membentuk gerakan yang bermacam - macam. Komponen yang penting

pada lengan saat melakukan gerakan menggapai adalah abduksi bahu,

fleksi bahu, ekstensi bahu, dan fleksi dan ekstensi siku.

Fungsi utama dari tangan adalah untuk menggenggam,

melepaskan, dan memanipulasi benda untuk tujuan tertentu. Komponn ini

melibatkan : radial deviasi yang melibatkan ekstensi pergelangan tangan,

fleksi ekstensi pergelangan tangan saat menggenggam benda, abduksi

palmar dan rotasi (oposisi) pada sendi karpometakarpal ibu jari, gerakan

oposisi pada tiap jari ke arah ibu jari, fleksi ekstensi metacarpofalangeal,

pronasi supinasi siku ketika memegang benda (M Irfan, 2010).

Masalah umum dan kompensasi yang sering ditemukan pada

lengan penderita stroke yang harus menjadi fokus penanganan antara lain:

1) Gerakan scapula yang buruk (lateral rotasi dan protraksi, serta


43

depresi gelang bahu)

2) Kontrol otot otot gelang bahu yang buruk, ketidakmampuan untuk

abduksi dan fleksi bahu atau tidak mampu mempertahankan posisi

tersebut. Pasien biasanya melakukan kompensasi dengan elevasi

gelang bahu dan lateral fleksi dari tubuh.

3) Fleksi siku yang tidak diperlukan, internal rotasi dari pronasi siku.

Pada Tangan :

1) Kesulitan untuk menggenggam dengan pergelangan tangan ekstensi

2) Kesulitan untuk fleksi-ekstensi sendi metacarpofalangeal dengan

fleksi pada interfalang agar memposisikan jari untuk menggenggam

dan melepaskan benda,

3) Kesulitan untuk abduksi dan rotasi dari ibu jari untuk menggenggam

dan melepaskan

4) Ketidakmampuan untuk melepaskan suatu benda tanpa fleksi

pergelangan tangan

5) Ekstensi berlebih pada jari-jari dan ibu jari saat melepaskan benda.

6) Kecendrungan untuk melakukan gerak pronasi siku secara

berlebihan ketika menggenggam benda atau mengambil benda.

7) Kesulitan menggenggam.

b. Teknik Latihan aktif konvensional

Pada umumnya pemulihan fungsi ekstremitas atas tidak

berhasil dengan baik. Banyak pasien yang tidak dapat menggunakan


44

lengannya secara optimal dan mengalami nyeri pada bahu. Biasanya

pada pasien awal post stroke yang mengalami gangguan ekstremitas

atas hanya memiliki sedikit hingga tidak ada aktivitas motorik yang

bekerja. Pasien diharapkar. agar melakukan dan menccbanya sendiri

agar meningkatkan kemampuan otot berkontraksi. Terapi latihannya

adalah :

1) Merangsang aktivitas otot dan melatih kontrol motorik untuk meraih

dan menunjuk

2) Mempertahankan panjang otot

3) Merangsang aktivitas otot dan melatih kontrol motorik untuk latihan

ekstensi pergelangan tangan

4) Melatih gerakan supinasi

5) Melatih gerak oposisi ibu jari

6) Latihan mengambil benda dengan ibu jari dan jari kelingking

7) Latihan memanipulasi benda

8) Lalihan menggunakan alat-alat makan

Mengaplikasikan latihan-Iatihan yang telah dilakukan ke dalam

aktivitas sehari - hari. Jika pasien telah mencapai perbaikan fungsi

ekstremitas atas secara optimal, ada 4 hal yang perlu di perhatikan :

pasien tidak menderita luka sekunder jaringan lunak, pasien dianjurkan

untuk meng'gunakan lengan yang sakit saat melakukan aktivitas, diluar

jam terapi pasien harus tetap latihan, postur anggota gerak yang menetap

merupakan problem yang sering muncul pada tahap awal post stroke.
45

Prinsip Latihan

1) Memperbaiki fungsi jaringan

2) Meningkatkan kekuatan otot

3) Meningkatkan daya tahan otot

c. Mekanisme latihan aktif konvensional terhadap kemampuan

fungsional anggota gerak atas pasien pasca stroke

Pada latihan aktif akan terjadi proses pembelajaran dari aktifitas

sistem saraf pusat dimana akan terjadi motor relearning dan plastisitas

latihan aktif merupakan latihan dimana pasien melakukan secara aktif

dan melihat apa yang dia lakukan sehingga akan mengaktifkan sistem

saraf pusat yang menuju sistem saraf motorik dan juga akan

memperbaiki sinergis gerakan atau sistem koordinasi dalam meraih.

Teknik latihan yang dilakukan akan membuat suatu gerakan yang

sinergis dan terkoordinasi terhadap peningkatan tonus otot untuk dapat

melakukan gerakan meraih.

Aktifitas fungsional memerlukan pengalaman dan pemahaman

tertentu secara spesifik menurut tempat dan tugasnya, sehingga

membutuhkan relearning dengan cara memberikan stimulasi sebanyak

mungkin pada sisi yang sakit dan mengajarkan kembali pengaturan

posisi dan gerak. Latihan Aktif dapat memberikan proses pembelajaran

aktifitas fungsional serta menerapkan preinis dasar bahwa kapsitas otak

mampu untuk reorganisasi dan beradaptasi, dan lengan latihan yang

terarah dapat membaik. Metode motor relearniug dapat mengeliminasi


46

gerakan yang tidak diperlukan dan meningkatkan kemampuan

penagturan postural dan gerakan.

2.7 Wolf Motor Function Test

Ada banyak instrumen atau alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur

fungsional AGA diantaranya adalah tes WMFT. Menurut Derenzo dan Fritz (2010),

menjelaskan bahwa WMFT adalah pengukuran berbasis laboratorium yang

digunakan untuk menilai fungsi motorik AGA. Tes ini melakukan kuantitatifikasi

kemampuan gerakan ekstremitas atas berdasarkan ukuran waktu terhadap satu atau

group lingkup gerakan sendi dan tugas fungsional. Gerakan progresif dari

proksimal ke distal, tes ini terdiri dari limabelas item, dua item merupakan

pengukuran kekuatan dan kualitas skala fungsi motorik untuk masing-masing item

waktunya. Kualitas skala fungsi motorik terdiri dari enam poin skala kemampuan

fungsional dimana "nol" berarti tidak terlihat upaya keterlibatan lengan sama sekali

sedangkan "lima" berarti terlihat pasrtisipasi gerakan dan terlihat normal. Tugas

satu sampai dengan enam dari WMFT berisi ukuran waktu untuk segmen gerakan

sedangkan pada tugas tujuh sampai dengan ke limabelas berisi ukuran waktu untuk

intergrasi gerakan fungsional. Kecepatan diukur dimana tugas-tugas fungsional

dapat disefesaikan dengan tuntas dan kualitas gerakan saat menyelesaikan tugas

diukur dengan kemampuan fungsional. Satuan waktu maksimum dalam

menuntaskan suatu tugas item yang diperbolehkan adalah seratus dua puluh detik.

WMFT dimulai dengan item yang sederhana seperti menempatkan tangan di atas
47

meja dan diteruskan ke tugas yang lebih menantang tugas motorik halus seperti

menyusun catur atau mengambil klip kertas.

Menurut Derenzo dan Fritz (2010), penjelasan instruksi tugas dalam tes

WMFT adalah:

a. Lengan ke meja (samping): subjek berupaya untuk meletakkan lengan ke atas

meja sambil abduksi pada bahu

b. Lengan ke kotak (samping): subjek berupaya untuk meletakkan lengan ke atas

kotak sambil abduksi pada bahu

c. Memperpanjang siku (samping): subjek berupaya untuk mencapai seluruh meja

dengan memperpanjang siku (ke samping)

d. Memperpanjang siku (ke samping), dengan beban: subjek berupaya untuk

mendorong sanbag (karung pasir) terhadap luar sendi pergelangan tangan

melewati meja sambil memperpanjang siku

e. Tangan ke meja (depan): subjek berupaya untuk meletakkan tangan ke atas meja

f. Tangan ke box (depan): subjek berupaya untuk meletakkan tangan ke atas box

g. Meraih dan mengambil (depan): subjek berupaya untuk menarik benda beban 1

kg diseiuruh meja dengan menggunakan elbow fleksi dan pergelangan tangan

dilengkungkan

h. Mengangkat kaleng (depan): subjek berupaya untuk mengangkat kaleng dan

membawanya mendekat ke bibir dengan pegangan silinder

i. Mengangkat pensil (depan): subjek berupaya untuk mengambil pensil dengan

menggunakan pegangan mengusap rahang


48

j. Mengambil klip kertas (depan): subjek berupaya mengambil klip kertas dengan

menggunakan pegangan menjepit

k. Menumpuk papan main dam (depan): subjek berupaya menumpuk papan main

dam ke arah tengah papan

l. Membalik kartu (depan): menggunakan pegangan menjepit, subjek berupaya

membalik masing-masing kartu keatas

m. Memutar kunci dalam gembok (depan): menggunakan pegangan menjepit,

sambil mempertahankan kontak, subjek memutar kunci secara penuh ke kiri dan

ke kanan

n. Melipat handuk (depan): subjek memegang handuk, lipat memanjang, dan

gunakan tangan yang sedang di tes untuk melipat handuk separuh lagi

o. Mengangkat basket (berdiri): subjek mengambil bola basket dengan pegangan

menggenggam dan meletakkannya ke atas meja disisi samping.

Masih menurut Derenzo dan Fritz (2010), skala pengukuran kemampuan

fungsional dalam tes WMFT adalah:

a. Nilai 0, jika tidak ada upaya sama sekali dari AGA yang di tes.

b. Nilai 1, jika AGA yang di tes tidak bisa berpartisipasi secara fungsional, namun,

ia mencoba untuk menggunakan AGA, pada sisi AGA unilateral yang tidak di

tes boleh digunakan untuk membantu gerakan AGA yang sedang di tes.

c. Nilai 2, jika bisa melakukan, tapi membutuhkan bantuan dari AGA yang tidak

di tes untuk sedikit menyesuaikan diri atau merubah posisi, atau membutuhkan

lebih dari dua kali percobaan untuk menyelesaikan tugas, atau diselesaikan
49

dengan sangat lambat. Pada tugas bilateral AGA yang di tes akan dipakai hanya

sebagai penolong.

d. Nilai 3, jika bisa melakukan, tapi gerakan dipengaruhi beberapa derajat oleh

sinergi atau dilakukan secara perlahan atau adanya usaha dorongan.

e. Nilai 4, jika bisa melakukan, gerakan dilakukan secara normal, tapi masih

sedikit lambat; kurang teliti, koordinasi halus atau kurang stabil.

f. Nilai 5, bisa melakukan, gerakan dilakukan atau diselesaikan secara normal.


50

Anda mungkin juga menyukai