Anda di halaman 1dari 27

TUGAS MAKALAH MIKROBIOLOGI

KLINIK/TERAPAN
‘STAPHYLLOCOCCUS AUREUS’

OLEH :

KELOMPOK 6

MASYUDI ZULKIFLI IMANSYAH N012181010

ANDI ULFIANA UTARI N012181011

FAZRUL PERMADI N012181012

PROGRAM MAGISTER FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,

karena berkat limpahan rahmat dan karuniaNya saya dapat menyelesaika tugas

ini dengan baik.

Dalam pembuatan tugas ini, kami banyak mendapat tantangan dan

hambatan. Akan tetapi, karena adanya bantuan dari beberapa pihak tantangan

itu bisa teratasi.

Jika dalam tugas ini masih terdapat kesalahan, kami mohon maaf. Akhir

kata semoga tugas ini dapat memberikan manfaat bagi yang membaca.

Makassar, November 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................3
C. Tujuan..............................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................4
A. Staphylococcus aureus.......................................................................................4
B. Klasifikasi..........................................................................................................6
C. Sifat..................................................................................................................7
D. Dosis Keracunan Staphylococcus aureus.............................................................8
E. Mekanisme Keracunan Staphylococcus aureus....................................................8
F. Bahan Pangan Sering Terkontaminasi Staphylococcus aureus.............................10
G. Patogenesis dan Konisasi.................................................................................10
H. Struktur Antigen..............................................................................................14
I. Faktor Virulensi...............................................................................................14
J. Manifestasi Klinik Infeksi Staphylococcus aureus...............................................17
J. Pencegahan Kontaminasi Staphylococcus aureus...............................................18
BAB III PENUTUP...................................................................................................……22
A. Kesimpulan.....................................................................................................22
B. Saran..............................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................24

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit infeksi masih merupakan jenis penyakit yang paling banyak

diderita oleh penduduk di negara berkembang termasuk Indonesia. Salah satu

penyebab penyakit infeksi adalah bakteri. Mikroorganisme alami yang ada dalam

tubuh manusia disebut mikroorganisme normal atau flora normal. Meskipun

flora normal ini tidak patogen, namun dalam keadaan tertentu dapat bersifat

patogen dan menimbulkan penyakit infeksi. Contoh flora normal yang dapat

menjadi mikroorganisme patogen adalah bakteri Staphylococcus aureus.

S. aureus dapat ditemukan pada permukaan kulit sebagai flora normal,

terutama disekitar hidung, mulut, alat kelamin, dan sekitar anus. Dapat

menyebabkan infeksi pada luka biasanya berupa abses yang merupakan

kumpulan nanah atau cairan dalam jaringan yang disebabkan oleh infeksi.

Infeksi oleh S. aureus bisa menyebabkan sindroma kulit. Luka adalah kerusakan

pada struktur anatomi kulit yang menyebabkan terjadinya gangguan kulit.

Contoh yang paling mudah jika jari tangan tersayat oleh pisau, maka luka yang

timbul akan menyebabkan terjadinya kerusakan pada kulit sehingga kulit tidak

lagi dapat melindungi struktur yang ada dibawahnya. Infeksi pada luka dapat

terjadi jika luka terkontaminasi oleh debu atau bakteri, hal ini disebabkan karena

1
luka tidak dirawat dengan baik. Salah satu bakteri yang menyebabkan infeksi

pada kulit luka yaitu bakteri S. aureus.

Staphylococcus aureus (S. aureus) merupakan nama spesies yang merupakan

bagian dari genus Staphylococcus. Bakteri ini pertama kali diamati dan dibiakan oleh

Pasteur dan Koch, kemudian diteliti secara lebih terinci oleh Ogston dan Rosenbach

pada era tahun 1880-an. Nama genus Staphylococcus diberikan oleh Ogston karena

bakteri ini, pada pengamatan mikroskopis berbentuk seperti setangkai buah anggur,

sedangkan nama spesies aureus diberikan oleh Rosenbach karena pada biakan murni,

koloni bakteri ini terlihat berwarna kuning-keemasan. Rosenbach juga mengungkapkan

bahwa S. aureus merupakan penyebab infeksi pada luka dan furunkel. Sejak itu S.

aureus dikenal secara luas sebagai penyebab infeksi pada pasien pascabedah dan

pneumonia terutama pada musim dingin/hujan.

Gambar 1: Gambar

mikroskopik Staphylococcus aureus pada pewarnaan

gram, terlihat bakteri berbentuk bulat/coccus

2
Staphylococcus aureus umumnya dilakukan pada kulit atau di hidung

orang sehat. Sekitar dua sampai tiga dari setiap sepuluh orang membawa bakteri

di hidung mereka. Hal ini dikenal sebagai 'penjajahan' bakteri yang hadir tetapi

tidak menyebabkan infeksi. Ketiak (aksila), pangkal paha dan di bawah lipatan

kulit tempat-tempat lain Staphylococcus aureus suka menghuni (Choi et al,

2006). Dari berbagai manifestasi Staphylococcus aureus dapat menyebabkan

minor infeksi kulit, seperti jerawat, impetigo hal itu dapat menyebabkan bisul

(furunkel), selulitis folliculitis, carbuncles ini adalah penyebab sindrom kulit

tersiram air panas dan abses yang dapat menyebabkan infeksi paru-paru atau

pneumonia

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana karakteristik mikroorganisme Staphylocuccus aureus

2. Bagaimana infeksi Staphylococcus aureus pada manusia

3. Mengetahui cara penanggulangan dan pengobatan infeksi Staphylocuccus aureus

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui karakteristik Staphylocuccus aureus

2. Untuk mengetahui infeksi yang disebabkan oleh Staphylocuccus aureus pada

manusia

3. Untuk mengetahui penanggulangan dan pengobatan infeksi Staphylocuccus aureus

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Staphylococcus Aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk

bulat berdiameter 0,7-1,2 µm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak

teratur seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak

bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 ºC, tetapi membentuk

pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25 ºC). Koloni pada perbenihan padat

berwarna abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol,

dan berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S. aureus yang

mempunyai kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan dalam virulensi

bakteri. Berbagai derajat hemolisis disebabkan oleh S. aureus dan kadang-

kadang oleh spesies stafilokokus lainnya. (Jawetz et al., 2008).

4
Gambar 2: Staphylococcus Aureus yang dilihat dari mikroskop

elektron.

Staphylococcus merupakan sel berbentuk sferis gram positif tersusun

berkelompok irreguler seperti buah anggur. Staphylococcus juga mudah

tumbuh pada banyak jenis medium. Genus Staphylococcus mempunyai paling

sedikit 40 jenis spesies. Spesies yang paling sering dijumpai dikarenakan

mempunyai kepentingan klinik diantaranya S. aureus, S. epidermidis dan S.

saprophyticus.

Berdasarkan enzim koagulase yang dihasilkan, Staphylococcus terbagi

menjadi dua kelompok yaitu koagulase positif dan negatif. Dimana

Staphylococcus yang mengeluarkan enzim koagulase positif adalah S.aureus

sedangkan Staphylococcus yang mengeluarkan enzim koagulase negatif

adalah S. epidermidis, S. saprophyticus, S. lungdunensis, S. warneri, S.

schleiferi, dan S. hominis. Staphylococcus merupakan anggota flora normal

pada kulit dan mukosa manusia yang dapat menjadi penyebab infeksi pada

manusia maupun hewan. S. aureus adalah patogen utama pada manusia dan

merupakan spesies yang paling virulen dalam genus Staphylococcus. S.

aureus memiliki kemampuan untuk menyebabkan infeksi mulai dari infeksi

kulit yang ringan seperti folikulitis dan furunkulosis.

Selain itu, dapat juga mengancam jiwa seperti sepsis, berbagai infeksi

piogenik, abses dalam, sampai septikemia yang fatal. S. aureus merupakan

5
bakteri gram positif, tidak berspora, berbentuk kokus, dan tersusun

bergerombol seperti buah anggur. S. aureus bersifat koagulase positif, yang

membedakannya dari spesies lain. S. aureus dapat tumbuh dengan cepat di

beberapa media dalam suasana aerob atau mikroaerofilik pada suhu 37ºC,

walaupun sebenarnya bisa tumbuh pada suhu 6ºC - 48ºC. Ukuran S. aureus

berbeda-beda tergantung pada media pertumbuhannya. Apabila ditumbuhkan

pada media agar, S. aureus mempunyai diameter sekitar 1,0 μm dapat

membentuk koloni berwarna kuning.

Pada media agar tersebut, S aureus dengan aktif melakukan

metabolisme, melakukan fermentasi karbohidrat, menghasilkan asam laktat,

dan akan menghasilkan pigmen. Dimana pembentukan pigmen yang paling

baik pada temperatur ruang sekitar 20º-25ºC. Sifat dari S.aureus adalah aerob

dan anaerob, bakteri fakultatif yang mampu memfermentasikan manitol dan

menghasilkan enzim koagulase, hyalurodinase, fosfatase, protease, dan lipase.

S.aureus juga mengandung lysostaphin yang dapat menyebabkan sel darah

mengalami lisis. Sedangkan toksin yang dibentuk oleh S. aureus adalah

leukosidin, enterotoksin, eksofoliatin, serta haemolysin alfa, beta, delta.

B. Klasifikasi

Dari Rosenbach (1884) klasifikasi Staphylococcus aureus yaitu:

Domain : Bacteria

Kerajaan : Eubacteria

Filum : Firmicutes

6
Kelas : Bacilli

Ordo : Bacillales

Famili : Staphylococcaceae

Genus : Staphylococcus

Spesies : S. aureus

Nama binomial : Staphylococcus aureus

C. Sifat

Bakteri Staphylococcus aureus berbentuk bulat menyerupai bentuk buah

anggur yang tersusun rapi dan tidak teratur satu sama lain. Bakteri S. aureus

tumbuh dan berkembang biak pada suhu dari 50 oF - 120oF, dengan pertumbuhan yang

paling cepat terjadi sekitar suhu tubuh (sekitar 98o F).

Sifat-sifat bakteri Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut.

1. Berbentuk bulat dengan diameter kira-kira 0,7 – 0,9 µm.

2. Sel-selnya bersifat gram positif dan tidak aktif melakukan pergerakan (non motil).

3. Bersifat patogen dan menyebabkan lesi local yang oportunistik.

4. Bersifat anaerob fakultatif.

5. Menghasilkan katalase.

6. Sebagian besar adalah saprofit yang hidup di alam bebas, namun habitat

alamiahnya adalah pada permukaan epitel golongan primate/mamalia.

7. Bersifat β-hemolitik.

8. Toleran garam (halodurik).

7
9. Menghasilkan pigmen kuning dan mungkin memproduksi eksotoksin.

D. Dosis Keracunan Staphylococcus aureus

Keracunan makanan dapat disebabkan kontaminasi enterotoksin dari

Staphylococcus aureus. Waktu onset dari gejala keracunan biasanya cepat dan

akut, tergantung pada daya tahan tubuh dan banyaknya toksin yang termakan.

Jumlah toksin yang dapat menyebabkan keracunan adalah 1,0 μg/gr makanan.

Tingkat racun ini dicapai apabila populasi S. aureus lebih dari 100.000 per gram.

Gejala keracunan ditandai oleh rasa mual, muntah-muntah, dan diare yang

hebat tanpa disertai demam [ CITATION Jaw95 \l 1033 ].

Infeksi oleh S. aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang disertai

abses bernanah. Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh S. aureus

adalah bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat

diantaranya pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih,

osteomielitis, dan endokarditis. S. aureus juga merupakan penyebab utama

infeksi nosokomial, keracunan makanan, dan sindroma syok toksik.

E. Mekanisme Keracunan Staphylococcus aureus

Mekanisme keracunan S. aureus yaitu dimulai dari tertelannya

Staphylococcal enterotoksin (SE) yang bersal dari pangan yang dimakan. SE

yang tertelan akan berikatan dengan antigen major histocompatability complex

(MHC) yang menstimulasi sel T hasil maturasi dari limposit oleh timus untuk

melepas cytokine (sitokin). Sitokin ini selanjutnya akan menstimulasi

neuroreseptor yang ada di saluran pencernaan, dan rangsangan tersebut akan

8
diteruskan ke sistem syarat pusat (central nervous system) sehingga memicu

pusat muntah (Vomic center) yang ada di sistem syaraf pusat dan

mengakibatkan terjadinya, mual, muntah, dan pusing.

Toksin akan cepat menyerang Vomiting reflex center dari otak, kejang

otot perut dan diare kemudian biasanya terjadi. Terjadinya diare pada

keracunan S. aureus efkenya sejalan dengan toksin kolera [ CITATION

Tor98 \l 1033 ], toksin yang dihasilkan seringkali menyebabkan diare

sekretory. Diare sekretory terjadi karena enterotoksin menstimulasi sekresi

cairan dan elektrolit intestinal (usus) dengan meningkatkan sekresi anion aktif

(menghambat absorpsi NaCl) dan air, gangguan system transportasi air dan

elektrolit di usus mengakibatkan terjadinya diare. Pada diare sekretory tidak

terjadi kerusakan morfologi dari jaringan intestinal (toksin tidak merusak

jaringan usus). Bahaya dari diare ini adalah dapat menyebabkan pengeluaran

cairan tubuh yang berlebih pada penderita. Pemberian larutan gula-garam (Na)

secara oral dapat dilakukan untukmengganti cairan tubuh yang hilang

(mencegah dehidrasi) karena diare yang diinduksi oleh enterotoksin ini.

Gejala klinis keracunan Staphylococcal Enterotoksin (SE) umumnya

muncul secara cepat dan dapat menjadi kasus serius tergantung respon individu

terhadap toksin, jumlah makanan terkontaminasi yang ditelan, dan kondisi

kesehatan korban secara umum. Keracunan makanan oleh SE memiliki masa

inkubasi yang pendek (hanya beberapa jam). Gejala keracunan dapat terjadi

9
dalam jangka waktu 30 menit sampai 6 jam, dan puncaknya terjadi setelah 5

sampai 3 jam [ CITATION Win07 \l 1033 ]. Gejala umum dapat berupa mual,

sakit perut, muntah (lebih dari 24 jam), diare, hilangnya nafsu makan, kram

perut hebat, distensi abdominal, dan demam ringan. Pada beberapa kasus yang berat

dapat timbul sakit kepala, kejang otot perut, dan perubahan yang nyata pada tekanan

darah serta denyut nadi.

F. Bahan Pangan yang Sering Terkontaminasi

Staphylococcus aureus terdeteksi sebagai bakteri kontaminan atau bakteri

patogen yang mampu hidup dan beraktivitas pada berbagai jenis bahan pangan.

Jenis bahan pangan yang terkontaminasi Staphylococcus aureus antara lain

adalah:

a. Susu dan produk berbasis susu (coklat, mentega, dan keju)

b. Produk daging dan unggas (bacon, sosis, daging kaleng, ham, dan kornet

daging)

c. Produk fermentasi lambat (keju)

G. Patogenisitas dan Kolonisasi

Staphylococcus aureus adalah patogen utama pada manusia. Hampir

semua orang pernah mengalami infeksi S. aureus selama hidupnya, dengan

derajat keparahan yang beragam, dari keracunan makanan atau infeksi kulit

ringan hingga infeksi berat yang mengancam jiwa. Sebagian bakteri Stafilokokus

merupakan flora normal pada kulit, saluran pernafasan, dan saluran pencernaan

10
makanan pada manusia. Bakteri ini juga ditemukan di udara dan lingkungan

sekitar. S. aureus yang patogen bersifat invasif, menyebabkan hemolisis,

membentuk koagulase, dan mampu meragikan manitol.

Infeksi oleh S. aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang

disertai abses. Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh S. aureus adalah

bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat diantaranya

pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomielitis,

dan endokarditis. S. aureus juga merupakan penyebab utama infeksi

nosokomial, keracunan makanan, dan sindroma syok toksik.

Sindroma syok toksik (SST) pada infeksi S. aureus timbul secara tiba-

tiba dengan gejala demam tinggi, muntah, diare, mialgia, ruam, dan hipotensi,

dengan gagal jantung dan ginjal pada kasus yang berat. SST sering terjadi dalam

lima hari permulaan haid pada wanita muda yang menggunakan tampon, atau

pada anak-anak dan pria dengan luka yang terinfeksi stafilokokus. S. aureus

dapat diisolasi dari vagina, tampon, luka atau infeksi lokal lainnya, tetapi praktis

tidak ditemukan dalam aliran darah.

Kolonisasi S. aureus dapat ditemukan pada tubuh manusia, sebagian

besar akan membentuk koloni yang bersifat intermitten dan sedikit yang

membentuk koloni yang bersifat persiten dengan tidak menimbulkan gejala.

Koloni S. aureus dapat ditemukan di semua orang. Di rumah sakit atau tempat

pelayanan kesehatan yang lain sering ditemukan pada petugas kesehatan dan

pasien. Sebagian besar S. aureus pada orang dewasa dapat ditemukan di nares

11
anterior. Sedangkan tempat potensial lain yang dapat membentuk koloni S.

aureus adalah tenggorokan, kulit, ketiak, rectum dan perineum. S. aureus dapat

bertahan berbulan-bulan pada berbagai jenis permukaan. Tangan merupakan

vektor utama untuk transmisi S. aureus dari tangan ke hidung, seperti kegiatan

mengorek hidung. Faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap keadaan

kolonisasi S. aureus, misal rumah sakit dimana petugas kesehatan baik tenaga

medis maupun non medis, pasien, dan pengunjung rumah sakit saling

berinteraksi serta berbagai kegiatan tindakan medis dilakukan sehingga akan

meningkatkan risiko terjadi kolonisasi S. aureus. Kegiatan maupun tindakan

yang mengarah ke lesi pada kulit juga memiliki hubungan dengan kolonisasi S.

aureus, seperti saat melakukan puncture melalui kulit dan sebagainya. Selain

faktor lingkungan, host juga memiliki peran penting terhadap terjadinya

kolonisasi S. aureus. Sekresi hidung mempunyai peran penting dalam pertahanan

imunitas host. Komponen dari sekresi hidung yang mempunyai kontribusi

terhadap pertahanan imunitas bawaan host antara lain imunoglobulin A dan G,

lisozim, laktoferin, peptida antimikrobial. Kolonisasi S. aureus juga memiliki

disregulasi faktor-faktor humoral bawaan pada sekresi hidung tersebut.

Untuk mekanisme terjadinya kolonisasi S. aureus pada tubuh host

sebagai berikut:

I. Penempelan pada Protein Sel Host

Kuman mempunyai permukaan yang mengandung protein seperti lamini dan

fibronektin. Keduanya bermanfaat untuk penempelan dengan protein host.

12
Kemudian membentuk matriks ekstraseluler dari epitel dan permukaan

endotel. Selain hal tersebut, S. aureus juga mengekspresikan fibrin atau

fibrinogen yang berikatan dengan protein sebagai faktor penggumpalan

sehingga akan memacu perlekatan pada penggumpalan darah dan jaringan

rusak. Pengaruh adesi juga akan memacu penempelan pada kolagen dan

nantinya diketahui dapat menjadi penyebab osteomyelitis dan septic

arthritis.

II. Invasi S. aureus

Sebelum S. aureus yang akan melakukan invasi akan didahului dengan

produksi ekstraseluler dalam jumlah besar. Dengan adanya protein tersebut

dapat menyebabkan S. aureus meyebar ke semua jaringan.

III. Menghindari dari Respon Pertahanan Tubuh

Untuk menghindari respon pertahanan dari tubuh, S. aureus mempunyai

beberapa faktor yang berpengaruh diantaranya :

1. Kapsular Polisakarida Adanya kapsular polisakarida ini dapat menutupi

protein A dan faktor penggumpalan sehingga membuat beberapa strain

S. aureus tidak dapat terdeteksi. Dengan demikian S. aureus terhindar

dari adanya fagositosis.

2. Protein A Protein A adalah komponen terbanyak dinding sel S. aureus

yang dapat berikatan dengan Fc molekul IgG kecuali IgG3. Dalam 14

serum, S. aureus mengikat IgG kemudian menghambat opsonisasi dan

fagositosis.

13
3. Leukosidin Leukosidin atau Panton Valentine Leukocidin (PVL) adalah

sebuah protein multikomponen yang diproduksi untuk memisahkan

komponen-komponen yang akan berakibat rusaknya membran sel.

Leukosidin juga berperan penting dalam pertahanan terhadap fagositosis

dan pertahanan yang penting dari S. aureus.

H. Struktur Antigen

Protein A adalah komponen dinding sel pada banyak Staphylococcus

aureus yang berikatan dengan berbagai Fc dari molekul IgG kecuali IgG3.

Bagian Fab dari IgG yang terikat dengan protein A bebas berikatan dengan

antigen spesifik. Protein A menjadi reagen yang penting dalam imunologi dan

teknologi laboratorium diagnostik.

Beberapa strain S. aureus memiliki kapsul, yang menghambat

fagositosis oleh leukosit polimorfonuklear kecuali terdapat antibodi spesifik.

Sebagian besar strain S. aureus mempunyai koagulase atau faktor penggumpal,

pada permukaan dinding sel terjadi koagulase dengan fibrinogen secara

nonenzimatik, sehingga

menyebabkan agregasi bakteri.

I. Faktor Virulensi

Staphylococcus aureus membuat tiga macam metabolit, yaitu yang

bersifat nontoksin, eksotoksin, dan enterotoksin. Metabolit nontoksin antara lain

adalah antigen permukaan, koagulase, hialuronidase, fibrinolisin, gelatinosa,

protease, lipase, tributirinase, fosfatase, dan katalase.

14
Staphylococcus aureus dapat menimbulkan penyakit melalui

kemampuannya tersebar luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai

zat ekstraseluler. Berbagai zat yang berperan sebagai faktor virulensi dapat

berupa protein, termasuk enzim dan toksin, contohnya:

a. Katalase

Katalase adalah enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap

proses fagositosis. Tes adanya aktivtias katalase menjadi pembeda genus

Staphylococcus dari Streptococcus.

b. Koagulase

Enzim ini dapat menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat, karena

adanya faktor koagulase reaktif dalam serum yang bereaksi dengan enzim

tersebut. Esterase yang dihasilkan dapat meningkatkan aktivitas

penggumpalan, sehingga terbentuk deposit fibrin pada permukaan sel

bakteri yang dapat menghambat fagositosis.

c. Hemolisin

Hemolisin merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona hemolisis

di sekitar koloni bakteri. Hemolisin pada S. aureus terdiri dari a-hemolisin,

ß-hemolisin, dan d-hemolisin. a-hemolisin adalah toksin yang bertanggung

jawab terhadap pembentukan zona hemolisis di sekitar koloni S. aureus

pada medium agar darah. Toksin ini dapat menyebabkan nekrosis pada kulit

hewan dan manusia. ß-hemolisin adalah toksin yang terutama dihasilkan

Stafilokokus yang diisolasi dari hewan, yang menyebabkan lisis pada sel

15
darah merah domba dan sapi. Sedangkan delta hemolisin adalah toksin

yang dapat melisiskan sel darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek

lisisnya kurang terhadap sel darah merah domba.

d. Leukosidin

Toksin ini dapat mematikan sel darah putih pada beberapa hewan. Tetapi

perannya dalam patogenesis pada manusia tidak jelas, karena Stafilokokus

patogen tidak dapat mematikan sel-sel darah putih manusia dan dapat

difagositosis.

e. Toksin eksfoliatif

Toksin ini mempunyai aktivitas proteolitik dan dapat melarutkan matriks

mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan pemisahan

intraepithelial pada ikatan sel di stratum granulosum. Toksin eksfoliatif

merupakan penyebab Staphylococcal Scalded Skin Syndrome, yang ditandai

dengan melepuhnya kulit.

f. Toksin Sindrom Syok Toksik (TSST)

Sebagian besar galur S. aureus yang diisolasi dari penderita sindrom syok

toksik menghasilkan eksotoksin pirogenik. Pada manusia, toksin ini

menyebabkan demam, syok, ruam kulit, dan gangguan multisistem organ

dalam tubuh.

g. Enterotoksin

Enterotoksin adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap suasana

basa di dalam usus. Enzim ini merupakan penyebab utama dalam keracunan

16
makanan, terutama pada makanan yang mengandung karbohidrat dan

protein.

J. Manifestasi Klinik Infeksi Staphylococcus aureus

Infeksi yang diakibatkan oleh S. aureus dapat menimbulkan berbagai macam

manifestasi klinik, diantaranya dapat berupa :

1. Infeksi Piogenik

a. Folikulitis

Folikulitis merupakan salah satu infeksi kulit dengan cirri formasi

pustule, furunkel, dan karbunkel. Dapat menyebabkan folikulitis

superfisialis maupun folikulitis profunda. Furunkel adalah radang folikel

rambut dan sekitarnya sedangkan karbunkel adalah kumpulan dari

furunkel.

b. Impetigo dan Selulitis

Bula impetigo disebabkan adanya produksi toksin eksofoliatif.

Sedangkan selulitis merupakan kelainan kulit yang berupa infiltrate

difus di subkutan dengan tanda radang akut.

c. Infeksi organ dalam oleh S. aureus

Penyebaran S. aureus secara hematogen dari lesi kulit dapat

menyebabkan bakterimia, endokarditis, pneumonia, meningitis, abses

otak dan epidural serta dapat terjadi infeksi ginjal, osteomielitis, septic

arthritis dan infeksi pada organ dan jaringan lainnya.

17
2. Penyakit Toksigenik

a. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Penyakit Ritter), Penyakit ini

mempunyai gambaran klinis berupa eritema periorbital dan perioral

dapat menyebar ke trunkus dan ekstremitas. Pada bayi dan anak-anak

lebih mudah terkena dengan gejala demam dan letargi. Pemulihan

penyakit ini sekitar 1-2 minggu.

b. Staphylococcal Toxic Shock Syndrome STSS (Staphylococcal Toxic

Shock Syndrome) mempunyai gejala seperti demam, bercak macular

difus, hipotensi, muntah, diare, nyeri otot yang berat, dan pengelupasan

epidermis. STSS disebabkan oleh toksin penyebab syok sindrom.

c. Staphylococcal Food Poisoning, keracunan terjadi sekitar 1-6 jam

setelah mengonsumsi makanan yang terkontaminasi enterotoksin A, B,

C1, C2, C3, D, E, atau H. Mempunyai gejala mual, muntah, diare, dan

nyeri abdomen. Gejala tersebut mulai mereda antara 5-24 jam.

K. Pencegahan Kontaminasi

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan lima kunci untuk

keamanan pangan yaitu menjaga kebersihan, memisahkan bahan mentah

dengan makanan matang untuk mencegah kontaminasi silang, memasak

makanan sampai matang, menjaga makanan pada suhu aman dan menggunakan

air bersih untuk mencuci bahan pangan. Mengingat kasus keracunan akibat S.

aureus cukup tinggi, maka perlu diketahu metode-metode pencegahan terhadap

18
pertumbuhan S. aureus. Pada dasarnya ada beberapa metode yang dapat

dilakukan antara lain sebagai berikut :

a. Metode menghambat pertumbuhan S.aureus

Penyimpanan di refrigerator merupakan cara yang dilakukan untuk

mencegah pertumbuhan S.aureus. Penyimpanan pangan dapat dilakukan pada

suhu dibawah 4oC jika tidak langsung dikonsumsi. Suhu optimum untuk

pertumbuhan S.aureus adalah 35oC – 37oC dengan suhu minimum 6,7oC dan

suhu maksimum 45,4oC. Dengan penyimpanan makanan pada suhu dibawah

6,7oC dapat mencegah pertumbuhannya.

b. Pencegahan kontaminasi silang dan kontaminasi ulang

Pencegahan secara total mungkin tidak dapat dilakukan, namun

makanan yang dimasak, dipanaskan, dan disimpan dengan benar umumnya

aman dikonsumsi. Bahan pangan akan terkontaminasi ulang, yaitu apabila

makanan yang sudah dimasak bersentuhan dengan bahan mentah atau peralatan

yang terkontaminasi (misalnya alas, pemotong, dll). Pemanasan kembali

dengan suhu yang cukup hanya dapat menghilangkan bakteri enterik tetapi

tidak dapat menginaktifkan enterotoksin yang telah terlanjur terbentuk oleh

S.aureus. Pemisahan ruang serta peralatan untuk bahan mentah dan matang

dapat menghindarkan kontaminasi silang.

19
Kontaminasi ulang dapat dicegah melalui program sanitasi dan higiene

yang baik pada ruangan, peralatan maupun pekerja dan pengawasan kebiasan-

kebiasaan pekerja. Selain itu higiene personal dan sanitasi peralatan juga perlu

untuk diperhatikan. Mencuci tangan dengan sabun sesudah dari toilet,

mencegah tangan agar tidak memegang mulut, hidung, atau rambut pada sat

bekerja/memasak, menutup mulut/hidung pada saat batuk/bersin degan tisu dan

kemudian mencuci tangan segera dengan sabun. Banyak kasus keracunan

terjadi karena tenaga pengolahnya tidak memperhatikan aspek higiene dan

sanitasi, soal sepele seperti kebersihan kuku, pakaian kerja, dan rambut sering

diabaikan, padahal bisa berakibat fatal.

Hal-hal yang sangat penting dilakukan untuk mencegah kontaminasi makanan

dengan S.aureus sebelum toksin dapat diproduksi yaitu :

1. Cuci tangan dan sela-sela kuku secara seksama dengan sabun dan air sebelum

menangani dan menyiapkan makanan.

2. Cuci peralatan makanan secara seksama sebelum digunakan.

3. Jangan menyiapkan makanan jika Anda memiliki penyakit hidung atau infeksi mata.

4. Tidak menyiapkan atau melayani makanan untuk orang lain jika anda memiliki luka

infeksi kulit atau pada tangan dan pergelangan.

5. Pemisahan ruang serta peralatan untuk bahan mentah dan matang.

6. Jika makanan yang akan disimpan lebih dari dua jam, jaga agar makanan tetap

panas (lebih dari 140oF) atau tetap dingin (40oF atau di bawah).

20
7. Mengingat bahwa S.aureus berada dimana saja, maka dituntut untuk selalu menjaga

kebersihan dapur Anda.

21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Staphylococcus aureus (S. aureus) adalah bakteri gram positif yang

menghasilkan pigmen kuning, bersifat aerob fakultatif, tidak

menghasilkan sporadan tidak motil, umumnya tumbuh berpasangan maupun

berkelompok, dengan diameter sekitar 0,8-1,0 µm. S. aureus tumbuh dengan

optimum pada suhu 37oC dengan waktu pembelahan 0,47 jam. S.

aureus merupakan mikroflora normal manusia. Bakteri ini biasanya terdapat

pada saluran pernapasan atas dan kulit.

Keberadaan S. aureus pada saluran pernapasan atas dan kulit pada

individu jarang menyebabkan penyakit, individu sehat biasanya hanya berperan

sebagai karier. Infeksi serius akan terjadi ketika resistensi inang melemah

karena adanya perubahan hormon; adanya penyakit, luka, atau perlakuan

menggunakan steroidatau obat lain yang memengaruhi imunitas sehingga

terjadi pelemahan inang.

B. Saran

Saran yang dapat saya berikan, yaitu untuk mengcegah agar kita tidak

mengalami keracunan yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus kita

harus mencegah kebersihan tubuh dengan baik dan menjaga pola hidup yang

22
sehat. Akhir kata, semoga makalah inni dapat memberikan banyak manfaat bagi

kita semua.

23
DAFTAR PUSTAKA

Jawetz; Melnick; dan Adelberg’s. 2008. Mikrobiologi Kedokteran. Salemba Medika.


Jakarta.
Jawetz; Melnick; dan Adelberg’s. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Salemba Medika.
Jakarta.
Kusuma, S. A. F. 2009. Staphylococcus aureus. MAKALAH. FARMASI UNPAD.
Rosenbach, A. J. F. 1884. Mikro-organismen bel den Wund-infections-krankhelten
des Menschen. JF Bergmann.
repository.unpad.ac.id/9795/1/pustaka_unpad_staphylococcus.pdf
Tortora, J. e. (1998). Microbiology: An Introduction. Menlo Park, California: Six
edition.
Winarno, F. (2007). Analisis Laboratorium (Gastroenteritis dan Keracunan Pangan).
M-Brio Press.

24

Anda mungkin juga menyukai