Anda di halaman 1dari 23

TUGAS MK ILMU DASAR KEPERAWATAN III

TOKSIKOLOGI

Disusun oleh

1. Chalsie Natalia [201911012]


2. Marcella Cici Nelviany [201911032]
3. Michael Chirisman Banua [201911038]
4. Stefanny Elga [201911056]
5. Stephanie Magdalena Tomatala [201911058]
6. Zahra Diba [201911067]

S1 KEPERWATAN JALUR A
STIK SINT CAROLUS

2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi
tugas kelompok untuk mata kuliah ILMU DASAR KEPERAWATAN III dengan judul
“TOKSIKOLOGI”.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
beberapa pihak yang dengan tulus memberikan, saran dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan. Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
karena terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai
pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan kesehatan dan pendidikan.

Jakarta, 4 Juli 2020

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 1


DAFTAR ISI............................................................................................................................. 2

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ................................................................................................................ 4

1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 4

1.3. Tujuan Penulisan ............................................................................................................. 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Toksikologi ................................................................................................... 6

2.2. Tindakan Pencegahan Keracunan ................................................................................... 6

2.3. Pertolongan Pertama Saat Keracunan ............................................................................. 6

2.4. Penanganan Keracunan Sebelum di Rumah Sakit .......................................................... 7

2.4.1. Pertolongan Pertama ................................................................................................. 7

2.4.2. IPECAC Syrup .......................................................................................................... 7

2.5. Penanganan Keracunan Saat di Rumah Sakit ................................................................ 8

2.5.1. Perawatan Umum.................................................................................................... 8

2.5.2. Bilas Lambung (Gastric Lavage) ........................................................................... 8

2.5.3. Arang Aktif Dosis Tunggal .................................................................................... 9

2.5.4. Obat Pencahar (Cathartics) ................................................................................... 9

2.5.5. Whole-Bowel Irrigation ........................................................................................ 10

2.5.6. Perspektif Terhadap Dekontaminasi Lambung .................................................... 10

2.5.6.1.Enhanced Elimination ....................................................................................... 11

2.5.6.2. Diuresis ............................................................................................................ 11

2.5.6.3. Arang Aktif Multi Dosis .................................................................................. 11

2.5.6.4. Hemodialisis..................................................................................................... 12

BAB 3 CLINICAL SPECTRUM OF POISONING

2
3.1. Presentasi Klinis Overdosis Antagonis Kalsium ...............................................................

3.2. Agen Penyebab ..................................................................................................................

3.3. Insiden ...............................................................................................................................

3.4. Penilaian/Pengkajian Risiko ..............................................................................................

3.5. Mekanisme Toksisitas .......................................................................................................

3.6. Manajemen Toksisitas .......................................................................................................

3.7. Monitoring dan Pemantauan Berkala ................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................................

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pada setiap tahunnya keracunan yang banyak sekali mengakibatkan kematian yang
berjumlah 37.000 kematian dan setidaknya menurut penelitian ada 1,7 juta kunjungan
gawat darurat di Amerika Serikat. Di sana, pria memiliki risiko kematian 2 kali lipat lebih
tinggi dari pada wanita dan sekitar 15%nya mati akibat keracunan, kematian pada orang
dewasa rata-rata disebabkan oleh bunuh diri. Sekitar 0,2% kasus kematian anak 5 tahun
kebanyakan disebabkan karena keracunan.
Menurut catatan kasus gawat darurat biasanya yang melibatkan kasus keracunan obat-
obat terlarang hanya 31%. Dan 28% nya lagi hanya melibatkan obat-obatan. Kasus yang
melibatkan obat-obatan terlarang dan alkohol yaitu hanya 13%. Dari 40% kasus gawat
darurat yang terjaadi akibat keracunan yang melibatkan penyalahgunaan obat-obat resep
dan non resep dan setengah pasien dari ini telah menggunakan obat tersebut.
Jumlah kematian yang di akibatkan keracunan dari semua keadaan tersebut sudah
melonjak drastis, dengan rata-rata peningkatan mencapai 90% secara keseluruhan dari
semua kasus tersebut, dari tahun 1999 hingga 2006 telah mengalami 37.286 jumlah
kematian. Dari kasus kematian tersebutlah keracunan karena obat-obatan mendapat posisi
nomor 2 kematiaan terbanyak setelah cedera Secara keseluruhan faktor utama penyebab
kematian yaitu cedera, yang biasanya dialami oleh orang-orang yang berumur 35 hingga
54 tahun. Kasus kematian keracunan obat-obatan tersebut paling sering diakibatkan karena
narkoba. Jumlah kematian akibat analgesik opioid hampir tiga kali lipat lebih besar, dari
tahun 1999 hingga 2006 kematian akibat opioid hampir menyentuh angka 40% dari semua
kematian akibat keracunan pada tahun 2006.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Apa itu toksikologi?
1.2.2. Bagaimana tindakan pencegahan keracunan sebelum di rumah sakit?
1.2.3. Bagaimana pertolongan pertama saat keracunan?
1.2.4. Bagaimana penanganan keracunan sebelum di rumah sakit?
1.2.5. Bagaimana penanganan keracunan saat di rumah sakit?

4
1.3. Tujuan Penulisan
1.3.1. Untuk mengetahui apa pengertian toksikologi
1.3.2. Untuk mengetahui bagaimana tindakan pencegahan keracunan
1.3.3. Untuk mengetahui bagaimana pertolongan pertama saat keracunan
1.3.4. Untuk mengetahui bagaimana penanganan keracunan sebelum di rumah sakit
1.3.5. Untuk mengetahui bagaimana penanganan keracunan saat di rumah sakit

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PENGERTIAN TOKSIKOLOGI


Toksikologi adalah pemahaman mengenai pengaruh-pengaruh bahan kimia yang
merugikan bagi organisme hidup. Contohnya seperti keracunan yang di akibatkan oleh efek
buruk dari bahan kimia yang di komsumsi dalam jumlah yang banyak atau berlebihan.
Tubuh kita mampu untuk menolerir dan dalam beberapa kasus, dektoksifikasi dosis tertentu
dari bahan kimia, namun setelah di ambang kritis telah di lewati, hasil tosisitas keracunan
dapat menghasilkan efek lokal kecil yang dapat di obati dengan mudah di pengaturan rawat
jalan atau efek yang mengancam jiwa yang memerlukan intervensi medis spektum
toksisitas ini khas untuk banyak bahan kimia yang digunakan manusia untuk bersentuhan.
Hampir semua bahan kimia dapat menjadi racun bila dikonsumsikan dalam jumlah yang
banyak, tetapi ada beberapa potensi senyawa menyebabkan toksisitas yang serius dengan
jumlah yang kecil. Keracunan bahan kimia dapat termaksud kedalam paparan obat-obatan,
bahan kimia industrial, produk rumah tangga, tanaman, hewan berbisa, dan agrokimia.

2.2. TINDAKAN PENCEGAHAN KERACUNAN SEBELUM DI RUMAH SAKIT


Pencegahan keracunan saangat memerlukan kewapadaan yang intens karena akan ada
generasi keluarga yang baru dimana orangtua, kakek dan nenek harus dididik untuk
mengetahui tentang risiko keracunan dan sterategi. Produk baru dan perubahan dalam
formulasi produk membawa bahaya keracunan yang akan berbeda dan harus dipelajari
untuk memberikan manajemen yang optimal. Strategi untuk mencegah keracunan harus
dengan mempertimbangkan berbagai hal atau keadaan psikososial keracunan,
memperioritaskan kelompok yang berrisiko dan perilaku, dan menyesuaikan intervensi
untuk situasi tertentu.

2.3. PERTOLONGAN PERTAMA SAAT KERACUNAN


2.3.1. Menghirup racun: Segera bawa orang itu ke udara segar. Hidari menghirup asap. Buka
pintu dan jendela. jika korban tidak bernafas, mulailah pernapasan pembuatan.

6
2.3.2. Racun pada kulit: Lepaskan pakaian yang terkontaminasi dan basahi kulit dengan air
selama 10 menit. Cuci dengan lembut menggunakan sabun dan air, lalu bilas. Hindari
kontaminasi lebih lanjut terhadap korban atau penyedia pertolongan pertama
2.3.3. Racun di mata: Basahi dengan air hangat atau air dingin yang dituangkan dari gelas 2
atau 3 inci dari mata. Ulangi selama 10-15 menit terus menerus. Lepaskan lensa kontak.
2.3.4. Menelan racun: Untuk keadaan selain pasien tidak sadarkan diri, mengalami kejang-
kejang, atau tidak bisa menelan. Segera berikan 2-4 ons air dan kemudian cari bantuan
lebih lanjut.

2.4. PENANGANAN KERACUNAN SEBELUM DI RUMAH SAKIT


2.4.1. Pertolongan Pertama
Keberadaan jalan nafas, pernapasan dan sirkulasi yang adekuat harus dinilai, dan
resusitasi kardiopulmoner harus dimulai jika diperlukan. Langkah paling penting dalam
mencegah perkembangan paparan kecil menjadi keracunan serius adalah
dekontaminasi awal racun. Pertolongan dasar pertolongan pertama dan jangka
dekontaminasi harus segera ditetapkan di tempat keracunan.

2.4.2. IPECAC Syrup


Obat yang tidak diresepkan, telah digunakan di Amerika Serikat selama 50
tahun terakhir sebagai sarana untuk merangsang muntah, untuk pengobatan racun yang
tertelan. Meskipun digunakan secara luas, kekhawatiran tentang efektifitas dan
keamanannya telah dimunculkan baru-baru ini. Panel ahli toksikologi Amerika Utara
dan Eropa menyimpulkan bahwa penggunaan rutinnya di departemen darurat harus
ditinggalkan. Pada tahun 2003 American Academy of Pediatrics mengeluarkan
pernyataan kebijakan yang menunjukan bahwa ipecac syrup tidak lagi digunakan secara
rutin untuk mengobati keracunan dirumah dan bahwa orang tua harus membuang
IPECAC apapun. Alasan utama untuk perubahan kebijakan adalah bahwa penelitan
gagal menunjukan mamfaat pada anak-anak yang diobati dengan IPECAC syrup.
Mungkin butuh beberapa tahun rekomendasi ini digunakan sepenunya oleh orang tua
dan professional kesehatan, dan pengecualian langkah mungkin muncul. Dalam laporan
AAPCC-NPDS 2007, 0,7% dari 2,48 juta kasus menerima IPECAC syrup, dengan atau
tanpa arahan pusat racun.

7
Ada beberapa kontraindikasi untuk IPECAC syrup atau dari imesis yang
diinduksi, seperti muntah. Jika pasien tanpa refleks muntah; koma, lesuh, atau kejang;
atau diharapkan tidak responsif dalam 30 menit berikutnya emesis tidak boleh
diinduksi.

2.5. PENANGANAN KERACUNAN SAAT DI RUMAH SAKIT


2.5.1. Perawatan Umum
Perawatan simtomatik dan suportif adalah pengobatan utama pada pasien yang
terpapar racun. Dalam mencari obat penawar khusus dan metode untuk meningkatkan
ekskresi obat, perhatian terhadap tanda-tanda vital dan fungsi organ tidak boleh
diabaikan. Pembentukan oksigenasi yang memadai dan pemeliharaan sirkulasi yang
memadai adalah prioritas tertinggi. Komponen lain pada metode perawatan suportif
yaitu manajemen kejang, aritmia, hipotensi, keseimbangan asam-basa, status cairan,
keseimbangan elektrolit, dan hipoglikemia. Penempatan kateter intravena dan urin
untuk memastikan berlangsungnya pengiriman fluida dan obat-obatan bila perlu dan
untuk memantau produksi urin
.
2.5.2. Bilas Lambung (Gastric Lavage)
Proses bilas lambung melibatkan penempatan tabung orogastrik dan mencuci
isi lambung melalui penanaman berulang dan penarikan cairan. Bilas lambung dapat
dipertimbangkan hanya jika agen yang berpotensi toksik telah tertelan dalam satu jam
terakhir untuk sebagian besar pasien. Jika pasien koma atau kekurangan refleks muntah,
lavage lambung harus dilakukan hanya setelah intubasi dengan pipa endotrakeal yang
diborgol. Tabung orogastrik terbesar yang dapat dilewati (diameter eksternal
setidaknya 12 mm pada orang dewasa dan 8 mm pada anak-anak) harus digunakan
untuk memastikan evakuasi yang memadai, terutama tablet yang tidak larut. Proses
bilas harus dilakukan dengan air garam normal (37°C-38°C) atau akuades sampai
lambung kembali jernih; ini biasanya membutuhkan 2 hingga 4 L atau lebih cairan.
Kontraindikasi relatif untuk lavage lambung meliputi konsumsi agen korosif atau
hidrokarbon. Komplikasi bilas lambung termasuk pneumonitis aspirasi, laringospasme,
cedera mekanis pada kerongkongan dan lambung, hipotermia, dan ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit. Penggunaan bilas lambung telah menurun dalam beberapa tahun
terakhir sebagaimana dibuktikan oleh temuan bahwa hanya 1,5% dari 588.262 kasua

8
dirawat di fasilitas kesehatan menerima bilas lambung dalam laporan AAPCC-NCDS
2007.

2.5.3. Arang Aktif Dosis Tunggal


Pengurangan penyerapan racun dapat dicapai dengan pemberian arang aktif. Ini
adalah adsorben karbon yang sangat murni yang mencegah penyerapan gastrointestinal
suatu obat dengan cara mengikat racun secara kimiawi (menyerap) ke permukaan
arang. Tidak ada kontraindikasi terkait toksin untuk penggunaannya, tetapi umumnya
tidak efektif untuk zat besi, timah, litium, alkohol sederhana, dan korosif. Ini tidak
diindikasikan untuk hidrokarbon alifatik karena meningkatnya risiko emesis dan
aspirasi paru. Arang aktif paling efektif bila diberikan dalam beberapa jam pertama
setelah konsumsi, idealnya dalam jam pertama.
Dosis arang aktif yang disarankan untuk anak (1 hingga 12 tahun) adalah 25
hingga 50 g; untuk remaja atau dewasa dosis yang dianjurkan adalah 25 hingga 100g.
Anak di bawah 1 tahun dapat menerima 1g/kg. Arang aktif dicampur dengan air untuk
membuat pulp, dikocok dengan kuat, dan diberikan secara oral atau melalui tabung
naso-gastric. Arang aktif dikontraindikasikan ketika saluran gastro-intestinal tidak
utuh. Arang aktif relatif tidak beracun, tetapi dua risiko yang teridentifikasi adalah (a)
emesis setelah pemberian dan (b) aspirasi paru dari arang dan isi lambung yang
menyebabkan pneumonitis pada pasien dengan jalan nafas yang tidak terlindungi atau
tidak ada refleks muntah.
Beberapa produk arang aktif mengandung sorbitol, katarak yang dapat dikaitkan
dengan peningkatan insidensi emesis setelah penggunaan.31 Penggunaan arang aktif
dosis tunggal tetap relatif stabil selama dekade terakhir, dengan 4,1% dari 2,48 juta
kasus telah menerimanya sesuai dengan AAPCC 2007 Laporan -NPDS.

2.5.4. Obat Pencahar (Cathartics)


Obat pencahar atau Cathartics, seperti magnesium sitrat dan sorbitol, dianggap
mengurangi laju penyerapan dengan meningkatkan eliminasi gastrointestinal dari racun
dan kompleks arang-racun, tetapi nilainya tidak terbukti. Pasien yang keracunan tidak
secara rutin memerlukan obat pencahar, dan jarang diberikan tanpa pemberian arang
aktif terlebih dahulu. Jika digunakan, obat pencahar diberikan hanya sekali dan hanya
jika ada perut berbunyi. Bayi, orang tua, dan pasien dengan gagal ginjal harus diberikan
obat pencahar dengan hati-hati.
9
2.5.5. Whole Bowel Irrigation
Larutan elektrolit polietilen glikol, seperti GoLYTELY dan Colyte, digunakan
secara rutin sebagai irrigan usus besar sebelum dilakukan kolonoskopi dan bedah usus.
Larutan ini juga dapat digunakan untuk mendekontaminasi saluran pencernaan dari
racun yang tertelan. Solusi yang seimbang secara osmotik ini diadministrasikan terus-
menerus melalui tabung nasogastrik atau duodenum selama 4 hingga 12 jam atau lebih.
Prosedur ini dengan cepat menyebabkan evakuasi gastrointestinal dan dilanjutkan
sampai keluar dubur. Prosedur ini dapat diindikasikan untuk pasien tertentu yang
ingesinya terjadi beberapa jam sebelum rawat inap dan obat tersebut masih diduga
berada di saluran pencernaan, seperti penyelundup obat yang menelan kondom yang
diisi dengan kokain. Selain itu, pasien yang telah mencerna zat seperti zat besi yang
tidak teradsorpsi dengan baik oleh arang aktif dapat memilih whole-bowel irrigation.
Ini tidak boleh digunakan pada pasien dengan perforasi atau obstruksi usus, perdarahan
saluran cerna, ileus, atau emesis intractable. Emesis, kram perut, dan kembung usus
telah dilaporkan dengan metode whole-bowel ini. Selama tahun 2007, metode ini
digunakan pada 0,5% dari 588.262 kasus yang dikelola di fasilitas kesehatan.

2.5.6. Perspektif Terhadap Dekontaminasi Lambung


Meskipun ada berbagai pilihan untuk dekontaminasi lambung, dua kelompok
toksikologi klinis (American Academy of Clinical Toxicology dan Asosiasi Eropa
Poison Center dan Clinical Toxicologists) telah menyimpulkan bahwa tidak ada cara
dekontaminasi lambung yang harus digunakan secara rutin untuk pasien yang diracuni
tanpa pertimbangan cermat. Mereka menunjukkan bahwa terapi paling efektif dalam
satu jam pertama dan efektivitas di luar waktu ini tidak dapat didukung atau disangkal
dengan data yang tersedia. Pernyataan kebijakan klinis oleh American College of
Emergency Physicians menyimpulkan bahwa meskipun tidak ada rekomendasi pasti
dapat dibuat tentang penggunaan sirup ipecac, bilas lambung, obat pencahar, atau
whole-bowel irrigation, metode arang aktif sangat dianjurkan untuk sebagian besar
pasien jika sesuai. Kebijakan klinis juga menyatakan bahwa sirup ipecac jarang bernilai
di unit gawat darurat dan bahwa penggunaan whole-bowel irrigation setelah konsumsi
zat-zat yang tidak diadsorpsi dengan baik oleh arang aktif tidak didukung oleh bukti.
Pusat kendali racun dapat menjadi sumber pedoman tentang aplikasi kontemporer dari
teknik dekontaminasi lambung untuk pasien tertentu.

10
2.5.6.1. Enhanced Elimination
Banyak metode telah digunakan untuk meningkatkan tingkat ekskresi racun dari
tubuh. Dari jumlah tersebut, hanya diuresis, arang aktif multi-dosis, dan hemodialisis
yang menunjukkan manfaat. Pendekatan-pendekatan ini harus dipertimbangkan hanya
jika risiko prosedur secara signifikan lebih besar daripada manfaat yang diharapkan
atau jika pemulihan pasien sangat diragukan dan metode ini telah terbukti sangat
membantu.

2.5.6.2. Diuresis
Diuresis dapat digunakan untuk racun yang diekskresikan secara dominan oleh
rute ginjal; namun, sebagian besar obat dan racun dimetabolisme, dan hanya untuk
pasien dengan aliran urin yang baik (mis., 2-3 mL/kg/jam). Keseimbangan cairan dan
elektrolit harus dipantau dengan cermat. Diuresis terionisasi dengan mengubah pH urin
dapat meningkatkan ekskresi bahan kimia tertentu yang merupakan asam atau basa
lemah dengan menjebak obat terionisasi dalam tubulus ginjal dan meminimalkan
reabsorpsi. Alkalinisasi urin untuk mencapai pH urin 7,5 atau lebih besar untuk
keracunan oleh lemah. asam seperti salisilat atau fenobarbital dapat dicapai dengan
pemberian natrium bikarbonat 1 sampai 2 mEq/kg (1-2 mmol/kg) intravena selama
periode 1 hingga 2 jam. Komplikasi alkalinisasi urin termasuk alkalosis, gangguan
cairan dan elektrolit, dan ketidakmampuan untuk mencapai target nilai pH urin.
umumnya terkait dengan overdosis amfetamin. Secara umum, diuresis atau diurion
terionisasi jarang diindikasikan untuk pasien yang terpapar racun karena tidak efisien
dibanding metode lain untuk meningkatkan eliminasi, ini dikaitkan dengan risiko efek
samping yang tidak dapat diterima, dan pemuangan racun pada ginjal tidak tereliminasi
secara optimal.

2.5.6.3. Arang Aktif Multi Dosis


Beberapa dosis arang aktif dapat menambah pembersihan tubuh terhadap obat-
obatan atau racun tertentu dengan meningkatkan aliran dari aliran darah ke saluran
pencernaan dan adsorpsi berikutnya. Proses ini, disebut charcoal intestinal dialysis atau
charcoal-enhanced intestinal exsorption, menggambarkan daya tarik molekul obat di
seluruh kapiler usus dengan mengaktifkan arang di lumen usus dan selanjutnya adsorpsi
obat ke arang. Selanjutnya, itu dapat mengganggu resirkulasi enterohepatik obat-obatan
tertentu. Begitu racun diserap ke arang, ia akan dikeluarkan melalui tinja. Pembersihan
11
sistemik dari beberapa obat telah terbukti ada peningkatan hingga beberapa kali lipat.
Pernyataan kelompok toksikologi internasional tentang arang aktif dosis ganda
menyimpulkan bahwa itu harus dipertimbangkan hanya jika seorang pasien telah
menelan sejumlah karbamazepin, dapson, fenobarbital, kuinin, atau teofilin. Meskipun
studi prospektif acak tentang efek arang aktif multi-dosis pada pasien overdosis
fenobarbital menunjukkan peningkatan eliminasi obat, tidak ada efek yang dapat
dibuktikan pada hasil pasien yang diamati.
Pendekatan ini memberikan onset aksi yang cepat yang dibatasi oleh aliran
darah dan “efek langit-langit” maksimal terkait dengan dosis arang yang ada di usus.
Respon terhadap arang aktif multi-dosis adalah yang terbaik untuk obat-obatan dengan
karakteristik berikut: afinitas yang baik untuk adsorpsi oleh arang aktif, izin intrinsik
yang rendah, waktu tinggal yang cukup dalam tubuh (paruh serum yang panjang), fase
distribusi panjang, dan protein tidak restriktif mengikat. Diperlukan sedikit volume
distribusi, tetapi memiliki pengaruh marjinal sebagai karakteristik yang terisolasi,
terutama jika arang aktif multi-dosis dilembagakan selama fase distribusi toksin.
Jadwal dosis tipikal adalah 15 hingga 25 g arang aktif setiap 2 sampai 6 jam sampai
gejala serius berkurang atau konsentrasi serum toksin di bawah kisaran toksik. Prosedur
ini telah digunakan pada bayi prematur dan jangka penuh dalam dosis 1 g/kg setiap 1
hingga 4 jam. Komplikasi serius, seperti aspirasi paru, terjadi pada <1% pasien. Resiko
aspirasi pneumonitis pada pasien yang diperoleh atau tidak kooperatif dan obstruksi
usus pada pasien yang rentan terhadap ileus setelah periode iskemia usus (misalnya,
setelah penangkapan kardiopulmoner di lanjut usia) mungkin lebih tinggi46
Kontraindikasi sama dengan arang dosis tunggal.

2.5.6.4. Hemodialisis
Hemodialisis atau cuci darah mungkin diperlukan untuk kasus keracunan parah.
Dialisis harus dipertimbangkan ketika durasi gejala diperkirakan akan berkepanjangan,
jalur ekskresi normal dikompromikan, kerusakan klinis hadir, obat dapat dialisable, dan
personel dan peralatan yang sesuai tersedia. Obat-obatan yang hemodialyzable
biasanya memiliki berat molekul rendah, tidak terikat protein sangat atau ketat, dan
tidak sangat didistribusikan ke jaringan. Hemodialisis dan arang hemoperfusi adalah
metode dialisis yang efisien, tetapi keduanya memiliki risiko serius yang berkaitan
dengan antikoagulasi, transfusi darah, kehilangan elemen darah, gangguan cairan dan
elektrolit, dan infeksi. Hemodialisis dapat menyelamatkan nyawa untuk keracunan
12
metanol dan etilen glikol dan efektif untuk racun lain, seperti litium, salisilat, etanol,
dan teofilin. Hemo-perfusi arang populer pada tahun 1970-an dan 1980-an sebagai
sarana untuk menghilangkan racun, tetapi pendekatan ini tidak disukai karena hasil
klinis yang buruk, penggunaan yang tidak tepat untuk obat-obatan dengan volume
distribusi yang besar, dan terbatasnya ketersediaan kolom hemoperfusi arang.
Hemofiltrasi kontinyu mengangkut obat melintasi membran semipermeabel melalui
konveksi sebagai respons terhadap tekanan hidrolik.

13
BAB III

CLINICAL SPECTRUM OF POISONING

CALCIUM CHANNEL BLOCKERS (ANTAGONIS KALSIUM)

3.1. PRESENTASI KLINIS OVERDOSIS ANTAGONIS KALSIUM


Menggunakan terlalu banyak mengonsumsi obat hingga overdosis minum penghambat
saluran kalsium umumnya akan menyebabkan braikardi dan hipotensi. Ada pun pasien
yang mual, muntah, lesu, agitasi, edema paru, hiperglikemia. Apabila hipotensi terjadi
dalam waktu yang lama bisa menimbulkan efek sekunder dari asidosis metabolik, infark
kolon, mensenterika iskemia ileus, lumpuh, koma dan kejang. Gejala yang muncul dalam
waktu 1-2 jam setelah mengkonsumsi obat. Jika keracunan terjadi parah akan menyebabkan
syok dan serangan jantung. Bahkan dapat menyebabkan kematian dalam waktu 3- 4 jam
setelah mengkonsumsi.

Aksi antagonis kalsium setelah absorbsi

Kontraktilitas jantung menurun Menghambat


Vasodilatasi ekskresi insulin

Hipotensi Bradikardi Hiperglikemia

Disritmia
Hipoperfus Mengurangi
metabolisme
karbohidrat miokard

Mengurangi Mengurang pertukaran


kontraktilita kalsium seluler

Koma, Perubahan iskemik, Asidosis Disfungsi


kejang mis. Stroke, iskemik metabolik miokard

14
Gejala Umum
• Keracunan dalam jantung yang dapat mengancam kehidupan (bradikardi, penurunan
kontraktilitas, disritmia) dalam waktu 1-3 jam setelah mengkonsumsi obat
• Mual, muntah dalam waktu 1 jam
• Pusing, lesu, koma, kejang dalam waktu 1-3 jam
• Hipotensi dan bradikardi dalam waktu 1-6 jam

Uji Laboratorium
• Hiperglikemia (GDS > 250 mg/dL)
• Analisa Gas Darah (AGD) menunjukkan asidosis metabolik
• Penurunan nilai Serum Elektrolit, Ureum Kreatinin dalam waktu 1-6 jam

Tes Diagnostik lainnya


• ECG : atrioventrikuler blok, konduksi intraventrikuler, disritmia ventrikel
• Monitoring saturasi oksigen, kecenderungan hipoksia
• Rontgen thorax : radang paru (komplikasi)

3.2. AGEN PENYEBAB


Di Amerika Serikat ada sekitar 10 jenis obat calcium channel yang dijualkan untuk
pengobatan hipertensi, disritmia tertentu dan beberapa dalam bentuk angina. Berdasarkan
dari struktur kimianya, antagonis kalsium diklasifikasikan menjadi phenylalkylamines
(verapamil), benzothiapines (diltiazem), dan dihydropyridines (amlodipine, felodipine,
nicardipine, nifedipine). Obat-obat ini dirumuskan sebagai sediaan dalam bentuk oral yang
memiliki waktu kerja obat yang lebih lama (mlodipine) yang memungkinkan pemberian
dosis dalam sekali sehari.

3.3. INSIDEN
Pada tahun 2007, AAPCC-NPDS melaporkan bahwa 4,759 produk tunggal antagonis
kalsium beracun ; 74 pasien selamat setlah efek toksik berat dan 17 pasien meninggal.

15
3.4. PENILAIAN/PENGKAJIAN RESIKO
Mengkonsumsi obat seperti diltiazem, nifedipine atau verapamil dalam dosis hingga 1
gram merupakan dosis dapat beracun sampai dapat menyebabkan kematian pada orang
dewasa. Dosis per oral untuk orang dewasa pada dosis awal adalah 120 mg, dapat dinaikan
menjadi 360-540 mg per hari. Anak usia < 6 tahun 1 mg/kg. Pada pasien kronis yang
menjalani terapi akan mengakibatkan overdosis akut yang memiliki resiko toksisitas yang
lebih tinggi. Akan tetapi pada pasien yang lansia dan penderita penyakit jantung
kemungkinan akan mengalami hipotensi ringan atau bahkan bradikardia. Dengan
mengkonsumsi obat yang menghambat B-adrenergi digitalisasi dapat memperburuk pada
kardiovaskuler dan penghambat saluran kalsium dengan hiperglikemia yang signifikan
<250 mg/dl -13,9 mmol/L sebagai tanda memperburuk nya gangguan metabolisme dan
fisiologiatau kerja jantung dan membutuhkan perhatian dan intervensi.

3.5. MEKANISME TOKSISITAS


Pada umumnya efek toksik dari penghambat saluran kalsium di terjadinya oleh 3 proses
dasar: vasodilatasi sistem kardiovaskular melalui relaksasi otot polos, menurun nya
kontraktilitas jantung dan menurunnya kecepatan secara otomatis dan kondusif dari
pemulihan saluran kalsium. Pemblokir saluran kalsium mengganggu pemasukan kalsium
dengan menghambat satu atau lebih dari beberapa jenis saluran kalsium dan mengikat satu
atau lebih suatu pengikatan seluler. Blocker saluran kalsium juga menghambat sekresi
insulin yang dapat memicu hiperglikemia dan perubahan oksidasi asam lemak dalam
miokardium yang menyebabkan meningkat nya aliran kalsium miokard dan mengurangi
kontraktilitas. Presentasi klinis keracunan saluran kalsium

3.6. MANAJEMEN TOKSISITAS


Memanggil ambulans merupakan satu-satunya dalam mengatasi keracunan obat
Calcium Channel Blocker (CCB) pada penangan sebelum di rumah sakit. Penangan
memakai sirup ipecac harus dihindari karena dapat berisiko mengalami kejang hingga
koma. Beberapa tindakan terapeutik untuk manajemen keracunan obat Calcium Channel
Blocke yaitu perawatan suportif, dekontaminasi lambung, dan tindakan terapi tambahan
untuk efek kardiovaskular dan metabolisme.
Tindakan perawatan suportif terdiri dari tindakan perlindungan pada jalan napas,
dukungan ventilasi paru-paru, hidrasi intravena untuk mempertahankan saluran urin secara

16
adekuat, dan menjaga keseimbangan elektrolit dan asam-basa. Menjaga perfusi pada organ
vital sangat penting untuk menghasilkan terapi yang terapeutik untuk mengatasi toksisitas
saluran kalsium hingga teratasi.
Bilas lambung dan satu dosis arang aktif harus diberikan jika dilembagakan dalam 1
hingga 2 jam konsumsi. Selain menunjukkan onset gejala yang lebih lambat, formula
pelepasan berkelanjutan dapat membentuk concretions di usus. Irigasi seluruh-usus dengan
larutan polietilen glikol elektrolit dapat mempercepat eliminasi rektal dari tablet yang
dilepaskan secara berkelanjutan dan harus dipertimbangkan secara rutin untuk menelan
formulasi blocker saluran kalsium pelepasan yang dilepaskan secara berkelanjutan.
Terapi ajuvan difokuskan pada pengobatan hipotensi, bradikardia, dan syok yang
dihasilkan. Hipotensi diobati terutama dengan koreksi disritmia yang hidup berdampingan
(mis., bradikardia, jantung blok) dan penerapan langkah-langkah konvensional untuk
mengobati penurunan tekanan darah. Infus saline normal dan penempatan pasien dalam
posisi Trendelenburg adalah terapi awal.
Terapi cairan lebih lanjut harus dipandu oleh pemantauan tekanan vena sentral.
Dopamin dan epinefrin dalam dosis konvensional untuk syok kardiogenik harus
dipertimbangkan selanjutnya. Jika hipotensi per sistem, disritmia hadir, atau tanda-tanda
toksisitas serius lainnya, kalsium harus diberikan secara intravena. "Dosis uji kalsium
klorida bolus (10-20 mg/kg hingga 1-3 g) adalah terapi yang disukai untuk pasien dengan
toksisitas serius. Pada orang dewasa, kalsium klorida 10% dapat diencerkan dalam 100 ml,
salin normal dan diinfuskan lebih dari 5 menit melalui jalur vena sentral. Jika respons
kardiovaskular positif dicapai dengan dosis uji ini, infus kalsium terus menerus klorida (20-
50 mg/kg/jam) harus dimulai.
Kalsium glukonat kurang disukai untuk digunakan karena mengandung lebih sedikit
unsur kalsium per miligram bentuk sediaan akhir. Garam kalsium intravena dapat
menghasilkan muntah dan nekrosis jaringan pada ekstravasasi. Atropin juga dapat
dipertimbangkan untuk pengobatan bradikardia, tetapi jarang cukup sebagai terapi tunggal.
Untuk kasus yang parah keracunan saluran kalsium refrakter terhadap terapi konvensional,
infus insulin dosis tinggi dengan ental dekstrosa dan kalium untuk menghasilkan keadaan
hiperinsulinemia dan euglikemia harus dipertimbangkan.
Laporan kasus menunjukkan bahwa bolus intravena insulin reguler (0,5-1 U / kg)
dengan 50 mL dekstrosa 50% (0,25 mg / kg untuk anak-anak) diikuti oleh infus insulin
reguler yang terus menerus (0,5 hingga 1 U/kg/jam) dapat meningkatkan
kontraktilitasmiokard. Efek insulin saat ini tidak jelas, tetapi dapat meningkatkan
17
metabolisme miokard yang sangat dipengaruhi oleh overdosis kalsium channelblocker,
seperti penurunan serapan seluler glukosa dan asam lemak bebas dan pergeseran dari
oksidasi asam lemak ke metabolisme karbohidrat. Regimen insulin ini adalah dititrasi untuk
peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 100 mm Hg dan denyut jantung lebih dari 50
kali/menit. Konsentrasi glukosa serum harus dipantau secara ketat untuk mempertahankan
euglikemia. Pasien dengan konsentrasi kalium serum <2,5 mEq/L (<2,5 mmol/ L) mungkin
memerlukan tambahan kalium. Tingkat infus insulin dapat dikurangi secara bertahap ketika
tanda-tanda toksisitas sembuh. Natrium bikarbonat intravena juga mungkin diperlukan
untuk membentuk keseimbangan asam-basa 53,89 S dan memperbaiki asidosis metabolik
yang umum terjadi pada overdosis saluran kalsium yang serius.
Jika bradikardia dan hipotensi adalah terapi, infus bolus glukagon (0,05-0,20 mg/kg,
dosis dewasa awal adalah 3-5 mg refraktori terhadap sebelumnya selama 1-2 menit) harus
dipertimbangkan. Manfaat biasanya diamati dalam 5 menit pemberian dan dapat
dipertahankan dengan infus intravena terus menerus (0,05-0,1 mg/kg/jam) dititrasi untuk
respon klinis.95 Glucagon memiliki efek chronotropic dan inotropik sebagian dengan
merangsang adenilat siklase dan meningkatkan siklik adenosin monofosfat, yang dapat
mendorong masuknya kalsium intraseluler melalui saluran kalsium. Dengan demikian
dapat meningkatkan hipotensi dan bradikardia. Muntah tidak jarang terjadi dengan
glukagon dosis besar ini, dan jalan napas harus dilindungi untuk mencegah aspirasi paru.
Hiperglikemia dapat terjadi atau diperburuk pada pasien yang menerima terapi
glukagon. Terapi dengan glukagon dan insulin didasarkan pada penelitian pada hewan dan
laporan kasus; uji klinis menunjukkan efektivitas belum dilakukan hingga saat ini.
Beberapa pilihan penyelamatan mungkin diperlukan bagi pasien dengan syok kardiogenik
yang refrakter terhadap terapi konvensional. Elektrik jantung mondar-mandir dapat
mengembalikan denyut jantung yang dapat diterima pada pasien dengan bradikardia berat.
Counterpulsation balon intraa ortik bypass kardiopulmoner dapat meningkatkan syok pada
pasien yang tidak responsif terhadap terapi lain. literatur anestesiologi menunjukkan
bahwa infus emulsi lipid yang muncul, misalnya, Intralipid, toksisitas jantung yang parah
dari obat yang larut dalam lemak seperti kalsium atau Penelitian pada hewan dan kasus dari
pasien yang secara dramatis menyelamatkan pasien dengan blocker saluran. Beberapa
hipotesis terkini tentang tindakan yang bertanggung jawab untuk efek ini termasuk
melayani sebagai lipid sink untuk obat lipofilik dan sebagai substrat energi untuk
miokardium. Ada beberapa skema dosis dan tidak ada yang dipelajari dengan baik sampai
saat ini. Dibutuhkan lebih banyak dan lebih banyak bukti untuk mengetahui apakah ia
18
memiliki tempat dalam terapi. Langkah-langkah untuk meningkatkan eliminasi dari aliran
darah oleh hemodialisis atau arang aktif multi-dosis belum terbukti efektif dan tidak
diindikasikan untuk keracunan blocker saluran kalsium.
KONTROVERSI KLINIS
Pada beberapa dokter mempercayai bahwa hiperinsulinemia/euglycemia atau terapi
glukagon untuk mengatasi keracunan pada obat blocker kalsium harus menggunakan nya
di awal tindakan terapi. Untuk yang lain mengguakan sebagai cadangan apa bila muncul
gejala yang mengancam jiwa dan sudah tidak menghasilkan efek atau responsif terhadap
terapi lain. Dibutuhkan lebih banyak data keamanan dan efektivitas untuk menentukan
waktu kedua agen ini dilakukan dalam terapi

3.7. MONITORING DAN PEMANTAUAN BERKALA


Tindakan pencegahan tanda-tanda vital dan EKG adalah hal yang utama dalam kasus
suspek keracunan. Monitoring elektrolit, glukosa serum, gas darah arteri, urin dan fungsi
ginjal bertujuan untuk menilai dan memantau gejala pasien. Gejala akan timbul dalam
waktu 6 jam dari proses pencernaan, untuk melihat hasil proses pencernaan selanjutnya dari
dosis beracun, dilakukan tindakan pengamatan selama 24 jam di unit perawatan kritis.
Dikarenakan gejala mungkin timbul dengan lambat dan tertunda sampai 12- 18 jam setelah
konsentrasi serum proses pencernaan. Racun pada tubuh pasien tidak berkolerasi dengan
dosis yang tertelan, tingkat toksisitas. Keracunan yang diakibakan agen ini mungkin hasil
dari bunuh diri yang disengaja atau tidak disengaja ditelan oleh anak-anak. Tindakan
pencegahan keracunan pemblokir saluran kalsium pada anak-anak bisa melalui pendidikan
pasien yang menerima obat ini.

19
20
BAB IV

PENUTUP

4.1. KESIMPULAN
Keracunan merupakan salah satu penyebab kematian di Amerika yang berjumlah
37.000 kematian, keracunan dapat diakibatkan oleh efek buruk dari bahan kimia yang di
komsumsi dalam jumlah yang banyak atau berlebihan. Penvegahan keracunan bisa
dilakukan dengan memerhatikan kewaspadaan yang intens kepada setiap anggota keluarga
dari generasi ke generasi dengan adanya didikan untuk mengetahui informasi tentang
keracunan. Pertolongan pertama untuk berbagai macam keracunan dapat dilakukan dengan
membawa ke udara yang segar, melepaskan pakaian dari kulit, membasahi mata dengan
air, dan mencari bantuan lebih lanjut. Jika terjadi keracunan, di rumah sakit akan dilakukan
penanganan berupa bilas lambung, pengunaan arang aktif dosis tunggal, obat pencahar,
whole bowel irrigation.

4.2. SARAN
Sebelum mengetahui ilmu toksikologi lebih lanjut, harus terlebih dahulu mengetahui
dasar yaitu mengenai kondisi, mekanisme, wujud, dan sifat. Perlunya pengawasan baik
mengenai dosis, cara pemakaian, dan cara pemberian sehingga obat yang diberikan tidak
menjadi toksik atau racun. Bagi instansi terkait hendaknya memberikan informasi kepada
masyarakat luas tentang bahan kimia atau zat tambahan yang boleh dan tidak boleh
digunakan, dan memberikan informasi tentang pertolongan pertama bila mengalami
keracunan

21
DAFTAR PUSTAKA

Chyka, P. A. (2016). Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, e10. United States of


America.

22

Anda mungkin juga menyukai