Disusun Oleh :
Puji syukur Saya panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas petunjuk dan
karunia-Nya, sehingga Saya dapat menyelesaikan makalah Pendidikan Agama Islam yang
berjudul “Warisan” ini dengan baik dan tepat waktu. Pembuatan makalah ini disusun guna
memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Saya ucapkan rasa terima kasih
kepada Ibu Nyimas Nur Khotimah M.Kes.selaku dosen Pendidikan Agama Islam sekaligus
sebagai pembimbing dalam pembuatan makalah ini.
Saya menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini sangatlah
Saya butuhkan.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……....................................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang..................................................................................................................1
1.2 Rumusan masalah .............................................................................................................2
1.3 Tujuan penelitian ...........................................................................……….……………..3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Waris...…………...…………………………………………………………4
2.2 Syarat dan Rukun Waris...……………………………………………………………….5
2.3 Golongan Ahli Waris…...……………………………………………………………….6
2.4 Hak yang Bersangkutan dengan Harta Waris…...……………………………..………..7
2.5 Bagian-bagian Ahli Waris……………………………..…………………………….......8
2.6 Sebab-sebab tidak Mendapatkan Harta Waris….……………………………………….9
2.7 Pengertian ‘Aulu……………………………………………………………………….10
2.8 Hal-hal yang Menghalangi Waris……...………………………………………………11
2.9 Pengertian Wasiat……………………………………………………………………....12
Bab III KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan...................................................................................................................12
3.2 Saran ..............................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
ال
ِ َصيبٌ لِلرِّ َجِ َان تَ َركَ ِم َّما ن ِ َصيبٌ َولِلنِّ َسا ِء َواأل ْق َربُونَ ْال َوالِد
ِ ك ِم َّما ن
َ ت ََر
ِ صيبًا َكثُ َر أَوْ ِم ْنهُ قَ َّل ِم َّما َواأل ْق َربُونَ ْال َوالِد
َان ِ ََم ْفرُوضًا ن
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat diperoleh rumusan masalah sebagai
berikut :
a. Apa yang dimaksud dengan waris ?
b. Jelaskan mngenai bagian-bagian ahli waris !
c. Apa yang di maksud dengan Wasiat ?
PEMBAHASAN
Adapun rukun waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu :
1.Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang
mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal dunia.
Kematian seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam :
a) Mati Haqiqy (mati sejati).
Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa membutuhkan
putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh orang banyak dengan panca
indera dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang jelas dan nyata.
b) Mati Hukmy ( mati menurut putusan hakim atau yuridis)
Mati hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian yang
dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan. Maka dengan
putusan hakim secara yuridis muwaris dinyatakan sudah meninggal meskipun terdapat
kemungkinan muwaris masih hidup. Menurut pendapat Malikiyyah dan Hambaliyah,
apabila lama meninggalkan tempat itu berlangsung selama 4 tahun, sudah dapat dinyatakan
mati. Menurut pendapat ulama mazhab lain, terserah kepada ijtihad hakim dalam
melakukan pertimbangan dari berbagai macam segi kemungkinannya.
c) Mati Taqdiry (mati menurut dugaan)
Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris) berdasarkan
dugaan keras, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang dipukul perutnya atau dipaksa
minum racun. Ketika bayinya lahir dalam keadaan mati, maka dengan dugaan keras
kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap ibunya.
2. Waris (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan
baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau karena
memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris, ahli
waris diketahui benarbenar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang
masih dalam kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu:
antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.
3. Maurus atau al-Miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya
perawatan jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat.
a. Hak yang bersangkutang dengan harta itu, seperti zakat dan sewanya.
b. Biaya untuk mengururs mayat, seperti harga kafan, upah menggali tanah kubur, dan
sebagainya. Sesudah hak yang pertama tadi di selesaikan, sisanya barulah di
pergunakan untuk biaya mengurus mayat.
c. Hutang yang di tinggalkan oleh si mayat.
d. Wasiat si mayat. Namun banyaknya tidak lebih dari sepertiga dari harta
penginggalan si mayat.
2.5 Bagian-bagian ahli waris
Dalam fiqih mawaris ada ilmu yang digunakan untuk mengetahui tata cara
pembagian dan untuk mengetahui siapa-siapa saja yang berhak mendapat bagian, siapa
yang tidak mendapat bagian dan berapa besar bagiannya adalah ilmu faroidl. Al-Faraaidh (
رائض444) الفadalah bentuk jamak dari kata Al-Fariidhoh () الفريضه yang oleh para ulama
diartikan semakna dengan lafazh mafrudhah, yaitu bagian-bagian yang telah ditentukan
kadarnya.Ketentuan kadar bagian masing-masing ahli waris adalah sebagai berikut :
a. Yang mendapat setengah harta.
b. Anak perempuan, apabila ia hanya sendiri, tidak bersama-sama saudaranya. Allah
berfirman dalam surah An-Nisa’ ayat 11 :
ِ لنِّصْ فُا فَلَهَا َو
ْ اح َدةً َكان
c. َت َوإِ ْن
d. Artinya : “Jika anak perempuan itu hanya seorang, maka ia memperolah separo
harta.”
e. Anak perempuan dari anak laki-laki, apabila tidak ada anak perempuan.
(berdasarkan keterangan ijma’)
f. Saudara perempuan yang seibu sebapak atau sebapak saja, apabila ia saudara
perempuan seibu sebapak tidak ada dan ia hanya seorang saja.
g. Suami, apabila isterinya yang meninggal dunia itu tidak meninggallkan anak dan
tidak pula ada anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.[14]
2.6 Sebab-sebab tidak mendapatkan harta waris
Ahli waris yang telah di sebutkan di atas semua tetap mendapatkan harta waris
menurut ketentuan-ketentuan yang telah di sebutkan, kecuali apabila ada ahli waris yang
lebih dekat pertaliannya kepada si mayit dari pada mereka. Berikut akan di jelaskan orang-
orang yang mendapat harta waris, atau bagiannya menjadi kurang karena ada yang lebih
dekat pertaliannya kepada si mayit dari pada mereka.
1. Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak), tidak mendapat harta waris karena ada ibu,
sebab ibu lebih dekat pertaliannya kepada yang meninggal dari pada nenek. Begitu
juga kakek, tidak mendapat harta waris selama bapaknya masih ada, karena bapak
lebih dekat pertaliannya kepada yang meninggal dari pada kakek.
2. Saudara seibu, tidak mendapatkan harta waris karena adanya orang yang di sebut di
bawah ini :
3. Anak, baik laki-laki maupun perempuan.
4. Anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.
5. Bapak.
6. Kakek.
7. Saudara sebapak, saudara sebapak tidak mendapat harta waris dengan adanya salah
seorang dari empat orang berikut :
8. Bapak.
9. Anak laki-laki.
10. Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu laki-laki).
11. Sudara laki-laki yang seibu sebapak.
12. Saudara seibu sebapak. Saudara seibu sebapak tidak akan mendapatkan harta waris
apabila terhalang oleh salah satu dari tiga orang yang tersebut di bawah ini :
13. Anak laki-laki.
14. Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu laki-laki)
15. Bapak.
16. Tiga laki-laki berikut ini mendapatkan harta waris namun saudara perempuan
mereka tidak mendapat harta waris, yaitu:
17. Saudara laki-laki bapak(paman) mendapatkan harta waris. Namun, saudara
perempuan bapak (bibi) tidak mendapatkan harta waris.
18. Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki(anak laki-laki paman dari bapak)
mendapat harta waris. Namun, anak perempuannya tidak mendapatkan harta waris.
19. Anak laki-laki saudara laki-laki mendapatkan harta waris. Namun, anak
perempuannya tidak mendapatkan harta waris.
2.7 Pengertian ‘Aulu
‘Aulu artinya jumlah beberapa ketentuan lebih banyak daripada satu bilangan, atau
berarti jumlah pembilang dari beberapa ketentuan lebih banyak dari pada kelipatan
persekutuan terkecil dari penyebut-penyebutnya. Umpamanya ahli waris adalah suami dan
dua saudara seibu sebapak, maka suami mendapat ketentuan 1/2 , dua saudara perempuan
mendapat 2/3 sedangkan kelipatan persekutuan terkecil dari 2 dan 3 adalah 6. Kita jadikan
3/6 untuk suami dan 4/6 untuk kedua saudara perempuan. Jadi jumlah pembilang keduanya
adalah 7, sedangkan penyebut keduanya hany 6. Disini nyata bahwa pembilang lebih
banyak dari penyebut. Apabila terdapat masalah seperti ini, harta hendaknya kita bagi tujuh
bagian : tiga bagian untuk suami dan empat bagian untuk kedua saudara perempuan.
Sebenarnya keduan macam ahli waris ini tidak mengambil seperti ketentuan masing-
masing, tetapi keadilan memaksa menjalankan seperti tersebut.
Contoh yang kedua : Ahli waris adalah istri, ibu, dua saudara perempuan seibu
sebapak atau sebapak, dan seorang saudara seibu(baik laki-laki maupun perempuan).
Ketentuan masing-masing adalah intri mendapar 1/4 , ibu mendapat 1/6, dua saudara
perempuan mendapat 2/3 dan seorang saudara seibu mendapat 1/6. Kelipatan persekutuan
terkecil dari penyebut beberapa ketentuan tersebut adalah 12, kita atur sebagai berikut :
1/4+1/6+2/3+1/6 = 3/12+2/12+8/12+2/12 = 15/12. Jadi, harta perlu di bagi 15 bagian : 3
bagian dari 15 bagian untuk istri, 2 bagian untuk ibu, 8 bagian untuk dua orang saudara
perempuan, 2 bagian untuk saudara seorang seibu. Berarti tiap-tiap bagian itu di hitung dari
15, bukan dari 12, sedangkan ketentuan masing-masing hendaknya di ambil dari 12, tetapi
dalam masalah ‘aulu masing-masing hanya mengambil dari 15 . inilah yang dimaksud
dengan ‘aulu. Terjadinya karena banyaknya ahli waris sehingga jumlah ketentuan mereka
lebih banyak dari pada satu bilangan, buktinya pembilang lebih banyak dari penyebut.
Sedangkan yang menjadi penghalang mewarisi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI),
yaitu beda agama (pasal 171 huruf c dan pasal 172 KHI), membunuh, percobaan
pembunuhan, penganiayaan berat terhadap pewaris dan memfitnah (pasal 173 KHI).
Adapun persoalan agama menjadi sangat esensial sehingga harus ada penegasan bahwa
perbedaan agama akan menghilangkan hak waris, namun hal ini juga tidak kita temukan
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku kedua. Sedangkan pewaris dalam ketentuan
hukum kewarisan Islam adalah bergama Islam, maka secara otomatis ahli waris juga
beragama Islam. Sebagaimana Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbunyi:
“Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahli waris.”[26]
Dan sebagai indikasi bahwa ahli waris tersebut beragama Islam, telah dijelaskan
dalam pasal 172 KHI yang berbunyi:
“Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau
pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang
belum dewasa beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.”[27]
Sedangkan penghalang mewarisi yang berupa pembunuhan, percobaan
pembunuhan, penganiayaan berat pewaris dan memfitnah telah dijelaskan dalam pasal 173
KHI yang berbunyi:
“Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
i. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat
pada pewaris.
ii. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat.”[28]
2.9 Pengertian Wasiat
a. Wasiat adalah pesan tentang Rukun wasiat adalah sebagai berikut :
b. Ada orang yang berwasiat.
c. Ada yang menerima wasiat.
d. Sesuatu yang di wasiatkan.
e. Lafadz(kalimat) wasiat, yaitu kalimat yang dapat dipahami untuk wasiat.
suatu kebaikan yang akan di jalankan sesudah seseorang meninggal dunia. Hukum
wasiat adalah sunnah.
Sebanyak-banyak wasiat adalah sepertiga dari harta, tidak boleh lebih kecuali apaila di
izinkan oleh semua ahli waris sesudah orang yang berwasiat meninggal. Sabda Rasulullah
SAW. Yaitu :
Dari Ibnu Abbas. Ia berkata, “Alanghkah baiknya jika manusia mengurangi wasiat mereka
dari sepertiga k seperempat. Karena sesungguhnya Rasulullah SAW. Telah bersabda, “
Wasiat itu sepertiga, sedangkan sepertiga itu banyak.” ” (HR. Bukhori dan Muslim)
Wasiat hanya di tujukan kepada orang yang bukan ahli waris. Adapun kepada ahli waris,
wasiat tidak sah kecuali apabila di ridhoi oleh semua ahli waris yang lain sesudah
meninggalnya yang berwasiat. Sabda Rasulullah SAW. Yaitu :
Dari abu Amamah, Ia berkata : “ Saya telah mendengar Nabi SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah menentukan hak tiap-tiap ahli waris. Maka dengan ketentuan
itu tidak ada hak wasiat lagi bagi seorang ahli wari.”(HR. Liam orang ahli hadist selain
Nasai).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan penjelasan-penjelasan mengenai hukum waris di atas, maka dapat di simpukan
bahwa :
a. Waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada
ahli waris yang masih hidup.
b. Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan
(tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagiannya (Pasal 171 huruf a KHI).
c. Ahli waris adalah orang-orang mendapatkan hak memperoleh harta peninggalan
orang yang telah meninggal yang masih mempunyai hubungan darah.
d. Bagian-bagian yang di peroleh ahli waris telah di tetapkan dalam Al-Qur’an,
sehingga tidak ada kata tidak adil karena Al-Qur’an adalah Firman Allah SWT.
Yang di jamin kebenarannya.
e. Sebelum di lakukan pembagian harta waris terdapat beberapa hak yang harus di
dahulukan. Ha-hak tersebut adalah :
Hak yang bersangkutang dengan harta itu, seperti zakat dan sewanya.
Biaya untuk mengururs mayat, seperti harga kafan, upah menggali tanah kubur, dan
sebagainya. Sesudah hak yang pertama tadi di selesaikan, sisanya barulah di
pergunakan untuk biaya mengurus mayat.
Hutang yang di tinggalkan oleh si mayat.
Wasiat si mayat. Namun banyaknya tidak lebih dari sepertiga dari harta
penginggalan si mayat.
f. Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan di jalankan sesudah
seseorang meninggal dunia dan hukum wasiat adalah sunnah.
3.2 Saran
Rasululloh SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh rodliallohu ‘anhu,
yaitu :
“Diriwatkan dari Abu Hurairoh rodliallohu ‘anhu sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda “pelajarilah oleh kalian ilmu faro’id, karena sesungguhnya ilmu faro’id itu
sebagian dari agama kalian dan setengah dari seluruh ilmu. Dan sesungguhnya ilmu
faro’id itu ilmu yang mula-mula akan di cabut dari umatku”.”
Dari hadist tersebut dapat di peroleh kesimpulan bahawa ilmu faraid atau yang biasa
di kenal dengan ilmu pembagian harata waris ini sangat penting untuk di pelajari.
Oleh karena itu pengenalan dan pemahaman ilmu faraid harus lebih di tingkatkan
lagi.
Mempelajari ilmu ini juga untuk mengetahui dengan jelas orang-orang yang berhak
menerima warisan sehingga terhindar dari perselisihan dan perebutan harta
penginggalan yang meninggal.
Mengajarkan ilmu faraid(ilmu pembagian harta waris) memang tidak mudah,
metode pengajaran yang kreatif dan inovatif sangat di perlukan kerena tidak dapat
di pungkiri bahwa ilmu faraidh sudah mulai tidak di gunakan lagi, padahal ilmu
faraidh telah di jelaskan d Al-Qur’an yang di jamin kebenarannya. Metode
pengajaran yang dapat di lakukan adalah dengan menerapkannya langsung pada
kisah nyata kehidupan sehari-hari orang-orang dalam suatu masyarakat.
\
DAFTAR PUSTAKA
http://1st-iqomah.blogspot.com/2012/02/ilmu-faroidh-ilmu-yang-pertama-kali.html
http://kobonksepuh.wordpress.com/2013/01/30/pentingnya-mempelajari-ilmu-faraidh/