Anda di halaman 1dari 13

ANALISA HUKUM PARIWISATA

ANALISA HUKUM PARIWISATA

UU RI No. 9 /
UU RI No. 10 / 2009 ANALISA
1990

Definisi Pariwisata

Segala sesuatu Berbagai macam


yang berhubungan kegiatan wisata dan
Di dalam UU Nomor 10 Tahun 2009, definisi dari pariwisata
dengan wisata, didukung berbagai
menjadi lebih spesifik dibandingkan dengan UU Nomor 9 Tahun
termasuk fasilitas serta layanan
1990. Hal tersebut dikarenakan UU Nomor 10 Tahun 2009,
pengusaha objek yang disediakan oleh
menyebutkan pihak – pihak terkait yang ikut terlibat di dalam
dan daya tarik masyarakat,
pengembangan serta pengaturan industri pariwisata di Indonesia
wisata serta usaha- pengusaha,
baik dari pihak masyarakat maupun pemerintah.
usaha yang terkait Pemerintah, dan
di bidang tersebut. Pemerintah Daerah.

Definisi
Kepariwisataan
Seluruh kegiatan yang
terkait dengan
pariwisata dan bersifat
Seperti kita ketahui bahwa definisi kepariwisataan yang tercantum
multidimensi serta
Segala sesuatu di dalam UU Nomor 9 Tahun 1990 bersifat umum dan tidak
multidisiplin yang
yang berhubungan spesifik sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
muncul sebagai wujud
dengan Oleh karena hal tersebut, maka UU Nomor 9 Tahun 1990 direvisi
kebutuhan setiap orang
penyelenggaraan kembali menjadi UU Nomor 10 Tahun 2009 dimana definisi
dan negara serta
pariwisata. kepariwisataan tersebut menjadi lebih terperinci, spesifik dan
interaksi antara
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 
wisatawan dan
masyarakat setempat,
sesama wisatawan,
Pemerintah,
Pemerintah Daerah dan
Pasal - pasal yang UU yang perlu di
analisa
Usaha Jasa
Pariwisata
Pasal 8 Pasal 14
Usaha jasa (1) Usaha pariwisata
pariwisata meliputi meliputi, antara lain: 
penyediaan jasa a. daya tarik wisata;
perencanaan, jasa b. kawasan pariwisata; 
pelayanan, dan
jasa c. jasa transportasi
penyelenggaraan wisata; 
pariwisata.  d. jasa perjalanan
wisata; 
Pasal 9 e. jasa makanan dan
(1) Usaha jasa minuman; Karena perkembangan industri pariwisata semakin meningkat,
pariwisata dapat f. penyediaan maka usaha pariwisata maka diperlukan revisi dalam UU Tahun
berupa jenis-jenis akomodasi; 2009 terdapat penambahan  jenis usaha yang terlibat dalam
usaha:  g. penyelenggaraan industri pariwisata dimana usaha tersebut lebih spesifik dalam
a. jasa biro kegiatan hiburan dan penyelenggaran kegiatan usahanya. 
perjalanan wisata;  rekreasi; 
b. jasa agen h. penyelenggaraan
perjalanan wisata;  pertemuan, perjalanan
c. jasa insentif,
pramuwisata;  konferensi, dan
d. jasa konvensi, pameran;
perjalanan insentif, i. jasa informasi
dan pameran;  pariwisata;
e. jasa impresariat; j. jasa konsultan
f. jasa konsultan pariwisata;
pariwisata, 
g. jasa informasi
pariwisata. 
(2) Pemerintah
dapat menetapkan
jenis usaha jasa
pariwisata selain k. jasa pramuwisata; 
sebagaimana l. wisata tirta; dan
dimaksud dalam m. spa. 
ayat (1).  (2) Usaha pariwisata
selain sebagaimana
dimaksud pada
Ketentuan Pidana ayat (1) diatur dengan
Pasal 36 Pasal 64
(1) Barang siapa
melakukan
perbuatan (1) Setiap orang yang
melawan hak, dengan sengaja dan
dengan sengaja melawan hukum
merusak, merusak fisik daya
UU mengenai ketentuan pidana pada tahun 2009 hanya terdiri dari
mengurangi; tarik wisata
satu pasal saja, dimana UU tahun 1990 terdiri dari 5 pasal.  UU
mengurangi nilai, sebagaimana dimaksud
tahun 1990 direvisi sehingga lebih padat. Dilihat dari segi sanksi
memisahkan, atau dalam Pasal 27
yang diberikan kepada pihak pelanggar bahwa lama penjara lebih
membuat tidak dipidana dengan
lama 2 tahun pada pasal 64 tahun 2009 dibandingkan tahun 1990,
dapat berfungsi pidanapenjara paling
sementara denda yang dikenakan lebih sedikit. Hal ini tentunya
atau tidak dapat lama 7 (tujuh) tahun
direvisi dengan tujuan meminimalisasi pelanggaran karena
berfungsinya dan denda paling 
pelanggar akan dituntut lebih lama didalam penjara.
secara sempurna banyak
suatu objek dan Rp10.000.000.000,00
daya tarik wisata, (sepuluh
atau bangunan miliarrupiah).   
obyek
dan daya tarik
wisata, atau bagian
dari bangunan
objek dan daya
tarik wisata,
dipidana
dengan pidana
penjara paling
lama 5 (lima)
tahun dan/atau
denda setinggi-
tingginya Rp
50.000.000,00
(lima puluh juta
rupiah). 
(2) Ketentuan (2) Setiap orang yang
sebagaimana karena kelalaiannya
dimaksud dalam dan melawan
ayat (1) tidak hukum, merusak fisik,
mengurangi atau mengurangi nilai
ancaman pidana daya
yang tarik wisata
ditetapkan dalam sebagaimana dimaksud
ketentuan dalam Pasal 27
perundang- dipidana dengan
undangan pidana penjara paling
mengenai lama 1 (satu)
lingkungan hidup, tahun dan/atau denda
benda paling banyak
cagar budaya, Rp5.000.000.000,00
konservasi sumber (lima miliar rupiah). 
daya alam hayati
dan ekosistemnya,
perikanan, dan
Undang-undang
yang lainnya.

Pasal 36
Barangsiapa
dengan sengaja
melanggar
ketentuan Pasal 12
dipidana dengan
pidana penjara
paling lama 5
(lima) tahun
dan/atau denda
setinggi-tingginya
Rp. 50.000.000,00
(lima puluh juta
rupiah).
Pasal 37
Barangsiapa
karena
kelalaiannya
merusak atau
mengakibatkan
terganggunya
keseimbangan
atau
mengakibatkan
gangguan terhadap
kelancaran
kegiatan yang
menjadi objek dan
daya tarik
wisata dalam
wisata budaya
dipidana dengan
pidana kurungan
paling lama 1
(satu) tahun atau
denda setinggi-
tingginya Rp.
10.000.000,00
(sepuluh juta
rupiah). 
Pasal 38

Barangsiapa
karena
kelalaiannya
melanggar
ketentuan Pasal 12
dan Pasal 35
dipidana dengan
pidana kurungan
paling lama 1
(satu) tahun atau
denda setinggi-
tingginya Rp
10.000.000,00
(sepuluh juta
rupiah).

Pasal 39
(1) Perbuatan
sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 35 dan Pasal
36 adalah
kejahatan.
(2) Perbuatan
sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 37 dan Pasal
38 adalah
pelanggaran. 
Penambahan Pasal - pasal dalam UU
Tahun 2009
Sistem
Perencanaan

Didalam pasal-pasal ini disebutkan keterlibatan dari pemangku


kepentingan seperti Pemerintah, Pemerintah Daerah, dunia usaha,
Pasal 8 s/d 9 dan masyarakat itu sendiri di dalam mengimplementasikan sistem
perencanaan pemerintah, baik yang berdimensi jangka panjang,
terpadu, dan yang berkelanjutan.

Kawasan Strategis
Di dalam UU Nomor 10 Tahun 2009 dijelaskan bahwa kawasan
strategis pariwisata adalah kawasan yang memiliki potensi untuk
pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting
dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial
Pasal 12 s/d 13 dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung
lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan. Pemerintah
mempunyai kewenangan untuk menetapkan kawasan strategis
pariwisata baik yang nasional maupun kabupaten/kota. Dimana di
setiap kawasan strategis tersebut ditetapkan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.

Desentralisasi
Di dalam UU Nomor 10 Tahun 2009, dijelaskan kewenangan –
kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota untuk pengembangan dan
pemeliharaan aset – aset pariwisata di masing – masing kawasan
Pasal 29 s/d 30
strategis pariwisata. Dimana di dalam UU Nomor 9 Tahun 1990,
tidak menyebutkan secara terperinci kewenangan yang dimiliki
oleh Pemerintah di dalam pengembangan dan pemeliharaan aset –
aset pariwisata.

Sistem Kordinasi
Pasal 33 s/d 35 UU Nomor 10 Tahun 2009, memberikan kekuatan
hukum bagi Pemerintah untuk melakukan koordinasi strategis
lintas sektor pada tataran kebijakan, program maupun kegiatan
kepariwisataan. Disebutkan pula bahwa koordinasi lintas sektor
Pasal 33 s/d 35
dipimpin langsung oleh Presiden atau Wakil Presiden. Disebutkan
dan dijelaskan pula tentang ketentuan lebih lanjut mengenai tata
kerja, mekanisme, dan hubungan koordinasi strategis lintas sektor
diatur dengan Peraturan Presiden.

Badan Promosi Pariwisata Indonesia


Di dalam Pasal 36 s/d 42 dijelaskan bahwa dalam upaya
meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara ke wilayah
Indonesia, maka dibentuklah Badan Promosi Pariwisata Indonesia
sebagai mitra kerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Dimana
Badan Promosi Pariwisata Indonesia merupakan lembaga swasta
dan bersifat mandiri. Badan Promosi Pariwisata Indonesia terdiri
Pasal 36 s/d 42 dari dua unsur yaitu unsur penentu kebijakan (Asosiasi
kepariwisataan, Asosiasi profesi kepariwisataan, Asosiasi
penerbangan dan Pakar/Akademis) dan unsur pelaksana yang
profesional. Pada UU Nomor 10 Tahun 2009 ini juga
menyebutkan tugas – tugas dari Badan Promosi Pariwisata
Indonesia dan pembiayaan serta pendayagunaan biaya tersebut.
Badan Promosi Pariwisata Indonesia ini harus sudah terbentuk
paling lambat dua tahun setelah UU Kepariwisataan berlaku.

 Gabungan Industri Pariwisata Indonesia 


Menjelaskan mengenai Gabungan Industri Pariwisata Indonesia
yang dibentuk dan untuk pertama kali difasilitasi oleh Pemerintah,
dimana Gabungan Industri Pariwisata Indonesia dimanfaatkan
untuk mendukung pengembangan dunia usaha pariwisata yang
kompetitif, dan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia berfungsi
sebagai mitra kerja bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah, serta
wadah komunikasi dan konsultasi para anggotanya di dalam
Pasal 50 penyelenggaraan dan pembangunan kepariwisataan. Gabungan
Industri Pariwisata Indonesia bersifat mandiri dan dalam
melakukan kegiatannya bersifat nirlaba. Disebutkan juga di dalam
Pasal 50, pihak – pihak yang turut serta di dalam keanggotaan
Gabungan Industri Pariwisata Indonesia dan ketentuan lebih lanjut
mengenai bentuk keanggotaan, susunan kepengurusan dan
kegiatan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia yang diatur
dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. 

Standarisasi dan
Sertifikasi
Dijelaskan bahwa untuk meningkatkan pelayanan dalam industri
Pasal 53 s/d 55
pariwisata, setiap tenaga kerja bidang pariwisata diwajibkan
memiliki standar kompetensi yang diperoleh melalui sertifikasi
kompetensi yang diberikan oleh lembaga sertifikasi profesi yang
mendapat lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi kompetensi dan usaha
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai