Anda di halaman 1dari 3

Aspek Hukum Ekonomi & Pariwisata Internasional

Diterbitkan 10 Mei 2010 Pelayanan 7 Komentar

Aspek Hukum Ekonomi dan Kerja Sama Pariwisata Internasional[1]

Dr. Budiman N.P.D Sinaga,S.H.,M.H.[2]

Pada saat ini dapat dikatakan tidak ada satu orang pun yang dapat hidup tanpa orang lain. Oleh
karena itu, setiap orang senantiasa perlu bekerja sama dengan orang lain bahkan bekerja sama
dengan orang-orang yang berasal dari negara atau bangsa yang berbeda, termasuk dalam
kegiatan ekonomi dan pariwisata. Selain itu, pada saat ini tidak ada satu aspek kehidupan
manusia pun yang tidak berkaitan dengan hukum.  Dengan demikian, berbagai aspek kehidupan
manusia itu, termasuk ekonomi dan pariwisata, semakin perlu dilihat dari sudut pandang hukum
yang memperhatikan kepentingan orang-orang yang berasal dari berbagai negara/bangsa.

Hubungan pergaulan diantara bangsa-bangsa selalu menimbulkan konsekuensi yang kompleks


dan beragam. Terdapat berbagai karakter atau sifat khusus dari berbagai bangsa di dunia
disebabkan perbedaan adat istiadat, perbedaan.kemampuan ekonomis, perbedaan tingkat
teknologi dan akhirnya semuanya itu terefleksi pada perbedaan sistem hukum.[3] Oleh karena
itu, terbuka kemungkinan sesuatu perbuatan merupakan perbuatan yang tidak dilarang menurut
hukum satu negara tetapi dilarang menurut hukum negara lain.

Pariwisata dan Perdagangan Internasional

Istilah pariwisata berhubungan erat dengan pengertian perjalanan wisata, yaitu sebagai suatu
perubahan tempat tinggal sementara seseorang di luar tempat tinggalnya karena suatu alasan dan
bukan untuk melakukan untuk melakukan kegiatan yang menghasilkan upah.[4] Pada hakikatnya
berpariwisata adalah suatu proses kegiatan bepergian sementara dari seseorang atau lebih menuju
tempat lain di luar tempat tinggalnya. Dorongan kepergiannya adalah karena berbagai
kepentingan, baik karena kepentingan ekonomi, sosial, kebudayaan, politik, agama, kesehatan
maupun kepentingan lain seperti karena sekedar ingin tahu, menambah pengalaman ataupun
untuk belajar.[5]

Bisnis pariwisata adalah aspek kegiatan keparawisataan yang berorientasi pada penyediaan jasa
pariwisata. Bisnis pariwisata meliputi seluruh kegiatan penyediaan jasa (services) yang
dibutuhkan wisatawan. Kegiatan ini meliputi jasa perjalanan (travel) dan transportasi
(transportation), penginapam (accommodation), jasa boga (restaurant), rekreasi (recreation),
dan jasa-jasa lain yang terkait, seperti jasa informasi, telekomunikasi, penyediaan tempat dan
fasilitas untuk kegiatan tertentu, penukaran uang (money changer), dan jasa hiburan
(entertainment).[6]

Perdagangan jasa pariwisata dapat bersifat (domestic tourism) dan dapat juga bersifat
internasional (international tourism). Bersita domestik, apabila pelayanan jasa tersebut dilakukan
di dalam wilayah satu negara, oleh pelaku bisnis domestik terhadap wisatawan domestik.
Bersifat internasional apabila di dalamnya terkandung unsur asing, baik karena status personil
penyedia jasanya, lokasi, maupun pasar yang dilayaninya.[7] Dengan kata lain perdagangan jasa
pariwisata dapat merupakan perdagangan internasional juga.

Perdagangan internasional berkaitan dengan berbagai aspek, termasuk hukum terutama Hukum
Perdagangan Internasional. Schmitthoff  mendefinisikan hukum perdagangan internasional
sebagai: “…the body of rules governing commercial relationship of a private law nature
involving different nations“. Dari definisi ini didapatkan unsur-unsur sebagai berikut.

1)      Hukum perdagangan internasional adalah sekumpulan aturan yang mengatur hukungan-
hubungan komersial yang sifatnya hukum perdata.

2)      Aturan-aturan hukum tersebut mengatur transaksi-transaksi yang berbeda negara.[8]

Cakupan dari hukum ini menurut Schmitthoff meliputi: 1) Jual beli dagang internasional: (i)
pembentukan kontrak; (ii) perwakilan-perwakilan dagang (agency); (iii)  pengaturan penjualan
eksklusif; 2)  Surat-surat berharga; 3) Hukum mengenai kegiatan-kegiatan tentang tingkah laku
mengenai perdagangan internasional; 4) Asuransi; 5) Pengangkutan melalui darat dan kereta api,
laut, udara, perairan pedalaman; 6) Hak milik industri; 7) Arbitrase komersial.

Adapun prinsip-prinsip dasar (fundamental principles) dari bidang hukum ini menurut
Aleksander Goldstajn ada tiga, yaitu: (1) Prinsip kebebasan para pihak dalam berkontrak (the
principle of the freedom of contract); (2) prinsip pacta sunt servanda; dan (3) prinsip
penggunaan arbitrase. Huala Adolf[9] menambahkan prinsip kebebasan komunikasi dalam arti
luas termasuk di dalamnya kebebasan bernavigasi, yaitu kebebasan para pihak untuk
berkomunikasi untuk keperluan dagang dengan siapa pun juga dengan melalui berbagai sarana
navigasi atau komunikai, baik darat, laut, udara, atau melalui sarana elektronik.

Sumber hukum perdagangan internasional meliputi perjanjian internasional, hukum kebiasaan


internasional, prinsip-prinsip hukum umum, putusan-putusan badan pengadilan dan doktrin,
kontrak, dan hukum nasional.  Diantara berbagai sumber hukum tersebut yang terpenting adalah
perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh sendiri oleh para pedagang sendiri.[10]

Kontrak tersebut harus memenuhi beberapa standar internasional, seperti kewajiban memenuhi
standar kualitas (quality standard), kejujuran (good faith and fair dealing), permainan bersih
(fair play), perlindungan pihak lemah (protection for the weak), pembinaan usaha yang baik
(good corporate governance), persaingan sehat (fair competition), perlindungan konsumen
(consumer protection).[11]

Peran kontrak semakin penting ketika suatu pihak akan menjalin transaksi bisnis dengan pihak
lain yang belum dikenal dan berada di luar negeri. Pembuatan kontrak internasional prosesnya
lebih rumit daripada pembuatan kontrak di antara pihak-pihak yang berada dalam satu negara
atau satu budaya. Dalam transaksi lintas batas, pihak-pihak yang menjalin hubungan biasanya
tidak bertemu muka. Mereka memiliki nilai dan praktek sosial yang berbeda. Hukum yang
diikutinya ditegakkan oleh pemerintah yang berbeda dengan sistem hukum yang berbeda pula.
Faktor-faktor ini bisa melahirkan kesalahpahaman. Oleh karenanya pihak-pihak yang melakukan
kontrak harus mendefinisikan pemahaman bersamanya dalam kontrak, dan akan lebih baik dalam
persyaratan-persyaratan tertulis.[12] Kesalahanpahaman di antara para pihak yang berasal dari
satu negara dan budaya sekalipun masih sering terjadi. Antara lain disebabkan pengertian para
pihak untuk satu istilah berbeda meskipun berasal dari bahasa yang digunakan bersama-sama,
contoh dalam bahasa Indonesia: “siap”, “maaf”.

Hukum perjanjian menganut sistem terbuka dengan pengertian hukum perjanjian memberikan
kebebasan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak
melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.[13] Sistem ini melahirkan prinsip kebebasan
berkontrak (freedom of contract) yang membuka kesempatan kepada para pihak yang membuat
perjanjian untuk menentukan hal-hal berikut ini.

1. Pilihan hukum (choice of law), dalam hal ini para pihak menentukan sendiri dalam
kontrak tentang hukum mana yang berlaku terhadap interpretasi kontrak tersebut.
2. Pilihan forum (choice of jurisdiction), yakni para pihak menentukan sendiri dalam
kontrak tentang pengadilan atau forum mana yang berlaku jika terjadi sengketa di antara
para pihak dalam kontrak tersebut.
3. Pilihan domisili (choice of domicile), dalam hal ini masing-masing pihak melakukan
penunjukan di manakah domisili hukum dari para pihak tersebut.[14]

Pilihan hukum sangat penting dalam suatu perjanjian yang melibatkan pelaku bisnis atau subjek
hukum yang berasal dari beberapa negara. Hukum yang berlaku di setiap negara di muka bumi
ini dapat dikatakan tidak ada yang sama. Oleh karena itu, jika mereka hendak memilih
menggunakan hukum salah satu negara harus dipilih hukum yang paling dimengerti.

Di dalam perdagangan internasional sering terjadi kasus-kasus yang mempermasalahkan tentang


hukum negara mana yang akan dipakai apabila terjadi perselisihan. Secara umum kunci masalah
ini terletak pada persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan di dalam sales contract yang
memuat clausula tentang hukum yang akan dipakai. Prinsip umum dalam hal ini ialah bahwa
hukum yang wajar yang berlaku bagi suatu kontrak adalah sistem hukum yang menunjukkan atas
dasar sistem hukum tersebut kontrak dibuat atau transaksi berkaitan sangat dekat.[15]

Penutup/Renungan

Setiap masyarakat yang normal memiliki suatu perasaan keadilan yang relatif merata terhadap
bentuk-bentuk perilaku yang adil atau tidak adil yang paling umum. Adalah sukar untuk
membayangkan bahwa seorang warga masyarakat yang normal menganggap suatu perbuatan
adalah pencurian, selagi pada saat yang sama, tetangganya mengatakan itu bukan pencurian.
Persoalannya adalah, dalam masyarakat-masyarakat yang sedang kacau, rasa keadilan itu
mengalami distorsi, sehingga apa yang dianggap tidak adil oleh yang satu (misalnya: korupsi)
dianggap wajar oleh yang lain dan sebaliknya.[16] Oleh sebab itu, jangan takut melakukan
kegiatan ekonomi dan/atau pariwisata meskipun tidak/belum memahami hukum sebab pada
kenyataannya tidak semua orang berkesempatan/berkeinginan mendalami hukum secara
khusus/mendalam.

Anda mungkin juga menyukai