Anda di halaman 1dari 11

RUANG LINGKUP DAN BENTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

Perencanaan pembangunan daerah mempunyai ruang lingkup dan bentuk tersendiri sesuai dengan
tujuan, arah dan sifat pembahasan serta kegunaannya dalam pelaksanaan pembangunan. Secara
umum ada empat ruang lingkup dan bentuk perencanaan pembangunan yang satu sama lainnya
saling berkaitan. Pertama, adalah Perencanaan Makro yang analisisnya bersifat menyeluruh
(agregatif) meliputi kesemua aspek dan sektor pembangunan. Kedua, adalah Perencanaan Sektoral
yang mencakup hanya satu bidang atau sektor tertentu saja seperti pertanian, pendidikan,
kesehatan, perindustrian, dan perdagangan dan lain-lainnya. Ketiga, adalah Perencanaan Wilayah
(Regional) yang mencakup hanya untuk wilayah administratif tertentu saja, seperti provinsi,
kabupaten dan kota. Keempat, adalah Perencanaan Proyek (kegiatan) yang mencakup perencanaan
untuk membangun suatu proyek atau kegiatan tertentu saja seperti pembangunan sekolah, jalan,
PLTA dan lain-lainnya. Bab 4 ini membahas secara rinci keempat bentuk dan ruang lingkup
perencanaan pembangunan daerah tersebut berikut contoh-contoh pelaksanaannya yang umumnya
dilakukan dalam praktik. Analisis dimulai dengan pembahasan terhadap Perencanaan Makro baik
dilanjutkan dengan Perencanaan Sektoral untuk masing-masing bidang dan sektor pembangunan.
Kemudian pembahasan dilanjutkan pula dengan Perencanaan Wilayah (regional) untuk daerah
tertentu yang dilanjutkan dengan analisis tentang Perencanaan Proyek atau Kegiatan Pembangunan
yang kemudian tertentu. Keempat bentuk perencanaan pembangunan ini umumnya terdapat dan
menjadi komponen dalam setiap dokumen perencanaan pembangunan

A. Perencanaan Makro
Perencanaan makro menyangkut dengan ruang lingkup dan ben daerah. perencanaan yang
berkaitan dengan kegiatan pembangunan secara keseluruhan. Bentuk dan ruang lingkup
perencanaan ini menjadi penting karena kinerja pembangunan yang baik adalah berdampak
secara menyeluruh dan tidak untuk sektor dan bagian tertentu saja. Di samping itu, para
pimpina daerah sebenarnya lebih berkepentingan dengan dampak yang menyeluruh
tersebut dibandingkan dengan menurut sektor atau program, dalam rangka memenuhi
harapan publik akan perbaikan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dalam pola
penulisan RPJM, aspek ini lazim disebut sebagai Kerangka Ekonomi Makro yang berisikan
strategi, kebijakan serta sasaran dan target pembangunan secara menyeluruh baik untuk
tingkat nasional maupun daerah. Aspek-aspek utama yang dibahas dalam Perencanaan
Makro ini paling kurang meliputi hal-hal berikut ini: pertumbuhan ekonomi daerah,
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, pengentasan kemiskinan dan pemerataan
pembangunan, keuangan dan sumber pembiayaan pembangunan serta kebutuhan investasi
dan strategi dan kebijakan pembangunan secara menyeluruh. Dalam hal ini, perencana
dapat menambah pembahasan dengan aspek makro lainnya sesuai dengan visi dan misi
pembangunan daerah yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh kepala daerah terpilih.

1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah


Aspek makro pertama yang sangat penting dibahas adalah menyangkut dengan
pertumbuhan ekonomi daerah yang pada dasarnya merupakan peningkatan
kemampuan produksi yang terdapat pada daerah bersangkutan. Alasannya adalah
karena pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu unsur penting dalam peningkatan
proses pembangunan daerah. Tidak berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi daerah tersebut adalah merupakan motor penggerak utama
dalam proses pembangunan daerah bersangkutan. Realisasi pertumbuhan ekonomi
daerah dapat diukur dengan menggunakan peningkatan nilai Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) dengan harga konstan dari satu periode ke periode waktu lainnya. PDRB
harga konstan sengaja digunakan agar dalam perhitungan tidak termasuk kenaikan
harga (inflasi). Di samping itu, pertumbuhan ekonomi daerah ini juga dapat dihitung
untuk masing-masing sektor dan subsektor sesuai dengan data tersedia. Dengan cara
demikian akan dapat diketahui secara konkret peran masing-masing sektor dan
subsektor dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi daerah secara keseluruhan.
Data untuk keperluan ini umumnya sudah tersedia pada Badan Pusat Statistik (BPS)
setempat. Analisis pertumbuhan ekonomi daerah ini pada satu segi dapat digunakan
sebagai salah satu indikator untuk penilaian keberhasilan pembangunan ekonomi
daerah bersangkutan. Sedangkan pada segi lain, perkiraan pertumbuhan ekonomi
daerah dapat pula dijadikan sebagai dasar untuk melakukan prediksi sasaran dan target
pertumbuhan ekonomi daerah untuk masa mendatang yang cukup realistis sesuai
kemampuan dimasa lalu. Di samping itu, target pertumbuhan ini juga dapat dijadikan
dasar untuk menentukan kebutuhan investasi yang diperlukan untuk menggerakkan
proses pembangunan daerah bersangkutan.

2. Pemerataan Pembangunan Ekonomi Daerah


Pemerataan pembangunan ekonomi daerah merupakan unsur dan bagian perencanaan
makro lainnya yang juga sangat penting artinya. Pertumbuhan ekonomi yang cepat,
tetapi tidak diikuti dengan pemerataan akan mengurangi tingkat kemakmuran
masyarakat dan dapat menimbulkan kecemburuan sosial sehingga dapat mendorong
timbulnya keresahan dan ketegangan politik. Karena itu, strategi dan kebijakan serta
program dan kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan pemerataan pembangunan
ekonomi daerah merupakan hal yang sangat strategis dalam perencanaan makro.
Strategi dan kebijakan pemerataan pembangunan ekonomi daerah yang lazim
digunakan pada negara sedang berkembang, termasuk Indonesia adalah dalam bentuk
upaya penanggulangan kemiskinan dan perbaikan distribusi pendapatan dalam
masyarakat. Karena itu cukup beralasan kiranya bila pengurangan jumlah penduduk
miskin dan penurunan ketimpangan distribusi pendapatan sudah umum merupakan
salah satu sasaran pokok pembangunan daerah secara makro. Secara teknis, penduduk
miskin adalah warga masyarakat nilai yang pendapatannya berada di bawah garis
kemiskinan yang ditetapkan secara berkala oleh pemerintah. Sedangkan garis
kemiskinan tersebut ditentukan dari waktu ke waktu tergantung dari perubahan harga
barang-barang kebutuhan pokok secara umum. Kemiskinan yang demikian lazim disebut
sebagaj Kemiskinan Absolut (Absolute Proverty). Sedangkan dalam dunia internasional,
berdasarkan nilai pendapatan minimum yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk dapat
bertahan hidup. Garis kemiskinan tersebut akan berubah Bank Dunia menetapkan garis
kemiskinan sebesar US $ 2.00 ternyata lebih tinggi dari garis kemiskinan yang lazim
ditetapkan oleh pemerintah Indonesia dewasa ini yaitu sekitar US $ 1,00 per hari.
Namun demikian, dalam praktiknya di Indonesia terdapat dua cara untuk mengukur
jumlah penduduk miskin. Pertama, menggunakan d konsumsi sebagai dasar penentuan
jumlah penduduk miskin sebagaimana yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Kedua, menggunakan beberapa indikator sosial seperti pendapatan, kondisi rumah
tangga dan unsur Jain lainnya sebagaimana dilakukan oleh Badan Koordinasi Keluarga
Berence (BKKBN). Masing-masingnya mempunyai kelemahan dan kekuatan tersendis
sehingga pemilihan ukuran kemiskinan yang tepat akan sangat ditentukan oleh tujuan
dari penggunaan angka kemiskinan tersebut. Kondisi distribusi pendapatan dalam
masyarakat dapat diukur dengan jalan membandingkan persentase jumlah pendapatan
yang dikuasai oleh masyarakat umum yang jumlahnya banyak dibandingkan dengan
yang dikuasai oleh kelompok pendapatan tinggi seperti para elite dan pengusaha yang
jumlahnya sedikit. Untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan
antarkelompok masyarakat tersebut, para ilmuwan lazim menggunakan perkembangan
angka indek Gini Ratio dari satu periode ke periode lainnya. Cara lainnya yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan pemerataan pembangunan ekonomi daerah adalah
dengan jalan mengurangi ketimpangan pembangunan ekonomi antar wilayah.
Ketimpangan pembangunan ekonomi antar wilayah dapat diukur dengan menggunakan
Indek Williamson dengan menggunakan data PDRB per kapita dan rasio jumlah
penduduk. Data untuk keperluan ini juga umumnya sudah tersedia pada BPS di daerah,
sedangkan formula perhitungan Indeks Williamson tersebut dapat dilihat pada Bab 9
buku ini. Di samping itu, ketimpangan ekonomi wilayah yang tinggi biasanya ditandai
pula oleh masih banyaknya daerah-daerah vang termasuk dalam kategori Daerah
Tertinggal. hari yang per Strategi dan kebijakan lainnya yang juga penting artinya untuk
meningkatkan pemerataan ekonomi antar daerah adalah dalam bentuk penanggulangan
tingkat pengangguran. Bila tingkat pengangguran dapat dikurangi, maka otomatis jumlah
penduduk miskin juga akan berkurang karena kebanyakan kemiskinan muncul karena
tingkat pengangguran yang relatif tinggi dalam masyarakat. Sedangkan penanggulangan
pengangguran tersebut biasanya dapat dilakukan dengan jalan meningkatkan
penciptaan lapangan kerja serta mengurangi jumlah angkatan kerja melalui pelaksanaan
Program Keluarga Berencana (KB). Tingkat pengangguran biasanya diukur dalam bentuk
persentase jumlah pencari kerja dibagi dengan jumlah penduduk umur kerja (15-65
tahun). Sedangkan pencari kerja dapat diketahui dengan jalan mengurangi jumlah
angkatan kerja dengan mereka yang tidak mau bekerja seperti anak sekolah dan ibu
rumah tangga. Angkatan kerja adalah penduduk yang berada dalam kelompok umur
kerja dan secara fisik mampu bekerja.

3. Kemakmuran dan Kesejahteraan Masyarakat


Sesuai dengan tujuan nasional dan daerah, aspek kemakmuran adalah salah satu sasaran
akhir dari proses pembangunan pada suatu daerah. Alasannya jelas karena seluruh
masyarakat menginginkan kemakmurannya semakin lama akan semakin meningkat
dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sejahtera dalam jangka panjang. Karena itu,
cukup logis kiranya bilamana aspek kemakmuran daerah ini merupakan salah satu unsur
penting dalam perencanaan makro karena menyangkut dengan sasaran umum
pembangunan daerah. Indikator kemakmuran daerah yang dapat digunakan untuk
memperlihatkan kemajuan dalam peningkatan kemakmuran masyarakat daerah dapat
dilakukan dalam beberapa bentuk. Pertama, adalah dengan melihat pada perkembangan
nilai PDRB dengan harga berlaku yang sudah dapat dihasilkan dalam periode
perencanaan. Alasannya adalah karena nilai PDRB tersebut adalah merupakan nilai
produksi barang dan jasa yang dapat dihasilkan oleh masyarakat suatu daerah dalam
periode tertentu. Kedua, nilai pendapatan per kapita yang diperoleh dengan membagi
Nilai PDRB dengan jumlah penduduk pada tahun yang sama. Nilai PDRB per kapita ini
merupakan indikator kemakmuran ekonomi daerah yang lebih baik dan dapat
dibandingkan antar daerah. Ketiga, mengingat kemakmuran tersebut bukanlah hanya
bersifat materi saja, maka indikator yang lebih baik dan bersifat komprehensif adalah
Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Angka IPM pada dasarnya adalah indeks gabungan
dari tiga unsur kemakmuran yaitu pendapatan (daya beli masyarakat). pendidikan, dan
kesehatan.

4. Sumber Pembiayaan Pembangunan


Upaya pembangunan daerah baru akan dapat dilaksanakan bilamana terdapat sumber
pembiayaan yang cukup, baik yang berasal dari pemerintah maupun swasta dan
masyarakat. Untuk tingkat daerah, ketersediaan sumber pembiayaan pembangunan ini
lebih penting dibandingkan dengan tingkat nasional karena mendapatkan pinjaman pada
tingkat daerah lebih sering dibandingkan dengan tingkat nasional. Karena itu, dalam
penyusunan perencanaan makro, analisis tentang perkembangan ketersediaan sumber
pembiayaan pembangunan daerah perlu dicantumkah secara tegas dan konkret. Sumber
pembiayaan pembangunan tersebut tercermin dalam kemampuan keuangan yang
dimiliki oleh suatu daerah. Sumber pembiayaan pembangunan tersebut dapat
ditunjukkan dengan data-data kemampuan keuangan (kapasitas fiskal) yang dimiliki oleh
suatu daerah. Dengan dimulainya era otonomi daerah sejak tahun 2001 yang lalu,
sumber pembiayaan pembangunan pada tingkat daerah mengalami perubahan cukup
mendasar. Sebelum era otonomi daerah, sumber penerimaan daerah hanya berasal dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Subsidi Daerah Otonom (SDO) untuk pembayaran gaji
aparatur daerah setempat. Sedangkan untuk pembangunan fasilitas pelayanan sosial.
Diperoleh dana INPRES dari pemerintah pusat. Akan tetapi, dalam era otonomi,
pemerintah daerah mendapatkan alokasi Dana Pencabangan untuk pengganti SDO dan
INPRES dengan jumlah yang jauh lebih besar. Tambahan dana ini diberikan oleh
pemerintah pusat untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Sesuai dengan
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah, dewasa ini terdapat tiga sumber keuangan dan pembiayaan pembangunan
daerah, yaitu (1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), (2) Dana Perimbangan yang berasal dari
Pemerintah Pusat, dan (3) lain-lain pendapatan yang sah sesuai ketentuan berlaku
seperti hasil retribusi daerah dan laba bersih dari kegiatan Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD). Dana Perimbangan yang diterima daerah terdiri atas tiga jenis yaitu: (a) Dana
Bagi Hasil (DBH) yang meliputi dana bagi hasil pajak dan dana bagi hasil sumber daya
alam baik yang berasal dari minyak, gas, Batubara dan lain-lainnya. (b) Dana Alokasi
Umum (DAU) yang dialokasikan ke daerah berdasarkan prinsip "celah fiskal" yaitu
perbedaan antara kapasitas fiskal dan kebutuhan pembiayaan daerah bersangkutan. (c)
Dana Alokasi Khusus (DAK yang dialokasikan ke daerah sesuai dengan kebutuhan daerah
tertentu dari terkait atau sesuai dengan kepentingan nasional.
Sumber pendapatan lainnya yang sah sesuai ketentuan berlaku pada umumnya relatif
kecil dibandingkan dengan dana yang sudah dijelaskan terdahulu. Sumber pendapatan
tersebut meliputi dua hal. Pertama, penerimaan retribusi karena dinas dan instansi
memberikan pelayanan tertentu kepada masyarakat. sehingga dipandang wajar untuk
menerima dana dari masyarakat. Kedua, laba bersih hasil dari kegiatan Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD) yang terdapat pada daerah bersangkutan.

5. Perkiraan Kebutuhan Investasi


Untuk dapat menjamin tercapainya target pertumbuhan ekonomi khususnya dan
pembangunan daerah umumnya yang telah ditetapkan terdahulu, perlu diperkirakan
berapa besarnya kebutuhan investasi yang diperlukan. Perkiraan kebutuhan investasi ini
adalah merupakan unsur yang juga sangat penting dicantumkan dalam perencanaan
makro. Perkiraan kebutuhan investasi ini nantinya akan dijadikan sebagai dasar untuk
penyusunan rencana investasi baik secara menyeluruh maupun sektoral. Di samping itu,
perkiraan kebutuhan investasi ini dapat pula dijadikan sebagai dasar untuk menyusun
dokumen Rencana Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) untuk daerah
bersangkutan. Dengan menggunakan Teori Pertumbuhan Ekonomi Harrod-Domar,
kebutuhan investasi secara total dapat dihitung dengan jalan mengalikan koefisien
Incremental Capital-Output Ratio (ICOR) dengan target laju pertumbuhan ekonomi yang
telah ditetapkan semula. Dalam hal ini hasil yang diperoleh adalah dalam bentuk
persentase investasi total yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran pertumbuhan
ekonomi yang telah ditetapkan. Bila perkiraan kebutuhan investasi tersebut diperlukan
dalam bentuk nilai rupiah, maka ICOR tersebut harus dikalikan dengan tambahan nilai
PDRB yang dapat dihasilkan karena adanya pertumbuhan ekonomi tersebut. Selanjutnya
kebutuhan investasi secara total tersebut dapat pula dibagi menjadi kebutuhan investasi
pemerintah serta swasta dan masyarakat dengan memedomani proporsi rata-rata
realisasi investasi dimasa lalu. Proporsi investasi yang dibutuhkan untuk sektor swasta
dapat diperkirakan dengan memedomani data realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) yang tersedia. Sedangkan perkiraan
kebutuhan investasi masyarakat pada dasarnya adalah residulah dari perkiraan total
investasi dikurangi dengan perkiraan investasi pemerintah dan swasta karena data-data
untuk jenis ini biasanya tidak tersedia.

6. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Daerah


Salah satu aspek penting yang perlu dibahas dalam perencanaan makro adalah
menyangkut dengan strategi dan kebijakan pembangunan daerah yang dipilih sebagai
landasan dasar perencanaan pembangunan daerah bersangkutan. Sesuai dengan
Undang-undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), pemilihan strategi
dan kebijakan pembangunan daerah ini harus sesuai dengan visi dan misi pembangunan
dari kepala daerah t Alasannya adalah karena visi dan misi dari kepala daerah terpilih
tersebut terpilih. pada dasarnya merupakan janji yang telah disepakati dan menjadi
harapan umum bagi masyarakat setempat. Di samping itu, strategi dan kebijakan
pembangunan daerah ini tentunya juga harus disesuaikan dengan kondisi, permasalahan
pokok dan potensi pembangunan utama yang dimiliki oleh daerah bersangkutan, unsur
dapat mewujudkan hal ini, sebaiknya perumusan strategi dan kebijakan pembangunan
daerah disusun dengan menggunakan Teknik SWOT menekankan pada aspek-aspek
kekuatan (Strength), kelemahan (weaknesse peluang (opportunities) dan ancaman
(Threat) yang terdapat pada daerah bersangkutan. Uraian rinci tentang penggunaan
teknik SWOT ini untuk perumusan strategi pembangunan dapat dilihat pada Bab 12
buku ini. Namun demikian, perumusan strategi dan kebijakan pembangunan daerah
yang baik juga jangan sampai terpengaruh oleh slogan-slogan politik yang terdapat
dalam masyarakat seperti Ekonomi Terpimpin, Ekonomi Pancasila atau Ekonomi
Kerakyatan dan lain-lainnya. Sebaiknya perumusan strategi dan kebijakan pembangunan
tersebut harus juga dilandasi oleh prinsip dan konsep ilmu yang jelas dan telah teruji
kebenarannya. Berkaitan dengan hal ini, landasan teoritis yang digunakan juga harus
sesuai dengan Ilmu Ekonom Regional (Regional Economics) yang mempertimbangkan
aspek ruang (wilayah) secara konkret dalam analisisnya. yang Di dalam literatur Ilmu
Ekonomi Regional terdapat berbagai bentuk teori yang berkaitan dengan pembangunan
ekonomi daerah. Sebagai contoh Teori Pertumbuhan Regional Export-base yang
menyatakan bahwa export yars berasal dari sektor basis merupakan faktor utama yang
dapat pertumbuhan ekonomi daerah. Selanjutnya, terdapat pula Teori Pertumbuhan
Ekonomi Regional Neo-Klasik yang menekankan pentingnya aspek tenaga kerja, stok
modal atau investasi dan kemajuan teknologi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi
daerah bersangkutan. Di samping itu, terdapat pula Teori Pertumbuhan Cumulative
Causation yang tidak hanya menekankan pada enek pertumbuhan saja, tetapi juga pada
aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah yang muncul sebagai akibat dari proses
akumulasi dalam kegiatan pembangunan daerah.

B. Perencanaan Sektoral
Perencanaan sektoral adalah perencanaan yang ruang lingkupnya hanya untuk satu bidang
atau sektor pembangunan tertentu saja, misalnya pertanian, pendidikan, kesehatan, dan
lain-lainnya. Perencanaan yang demikian dapat muncul sebagai bagian dari sebuah dokumen
perencanaan pembangunan daerah tertentu seperti RPJMD atau disusun khusus untuk satu
dinas instansi atau SKPD tersendiri yang lazim dikenal dengan nama Rencana Strategis
Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD) yang disusun untuk periode 5 tahun.
Sedangkan pada tingkat nasional, perencanaan sektoral ini muncul dalam bentuk Renstra
Kementerian dan Lembaga (Renstra KL). Karena perencanaan sektoral ini diperuntukkan
khusus untuk dinas atau SKPD tertentu, maka penyusunannya harus mengacu pada Tugas
Pokok dan Fungsi (TUPOKSI) institusi bersangkutan. Karena itu, tentunya isi dari
perencanaan sektoral tersebut akan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan kegiatan
dinas dan instansi yang menyusunnya. Namun demikian, arah umumnya harus sesuai dan
mendukung visi dan misi dari kepala daerah terpilih yang tercantum dalam RPJMD daerah
bersangkutan. Keselarasan ini perlu dijaga agar terwujud perencanaan yang saling
mendukung antara satu sektor dengan sektor lainnya dalam suatu daerah dan sesuai dengan
aspirasi masyarakat pada daerah bersangkutan. Komponen perencanaan sektoral ini pada
dasarnya adalah sangat mirip dengan perencanaan makro yang dibahas terdahulu. Analisis
dimulai dengan kondisi umum yang berkaitan dengan Tupoksi SKPD bersangkutan. Misalnya
kalau kita menyusun Renstra untuk sektor pertanian, maka kondisi umum yang perlu
dibahas adalah menyangkut dengan pertanian yang terdapat pada daerah bersangkutan.
Tujuannya adalah agar perencanaan yang disusun didasarkan pada kondisi riil yang terdapat
pada daerah bersangkutan, termasuk potensi yang dimiliki. Analisis ini sangat penting
artinya untuk dapat menjaga agar perencanaan yang akan disusun menjadi lebih bersifat
realistis dan tidak muluk-muluk sesuai dengan kondisi sebenarnya yang terdapat pada
daerah tersebut. Analisis tentang sumber pembiayaan pembangunan tidak perlu
dicantumkan dalam perencanaan sektoral. Alasannya adalah karena sumber pembiayaan
pembangunan bukan berasal dari penerimaan sektor yang bersangkutan, tetapi adalah dari
sumber penerimaan daerah secara keseluruhan. Demikian pula halnya dengan analisis
tentang aspek-aspek hukum. pemerintahan, sosial, dan politik yang tidak tergantung pada
kebijakan sektoral. Karena perencanaan menyangkut dengan masa datang, maka langkah
berikutnya yang perlu dilakukan adalah melakukan perkiraan (proyeksi) untuk periode 5
tahun mendatang untuk beberapa unsur dan variabel penting yang berkaitan dengan bidang
atau sektor bersangkutan. Proyeksi yang perlu dilakukan paling kurang menyangkut dengan
perkembangan kegiatan produksi dari bidang atau sektor bersangkutan serta penyediaan
lapang kerja yang dapat dihasilkan. Sejalan dengan hal ini perlu pula dilakukan perkiraan
terhadap jumlah dan kualitas prasarana dan sarana yang sudah dapat disediakan untuk
mendukung kegiatan produksi dari bidang dan sektor bersangkutan. Perkiraan dan proyeksi
ini selanjutnya akan dijadikan dasa untuk menentukan sasaran pembangunan sektoral
secara menyeluruh. Perencanaan sektoral juga mempunyai visi dan misi sendiri sesuai
dengan aspirasi dan harapan dari SKPD bersangkutan. Namun demikian, sebagaimana sudah
disinggung terdahulu, bahwa visi misi ini harus sejalan dan tidak bertentangan dengan visi
dan misi kepala daerah sebagaimana tercantum dalam RPJMD daerah bersangkutan. Visi
dan misi SKPD tersebut selanjutnya akan dijadikan sebagai dasar utama perumusan strategi,
kebijakan, program dan kegiatan yang akan direncanakan dalam Renstra bersangkutan.
Langkah berikutnya yang perlu dilakukan adalah menyusun strategi dan kebijakan dari SKPD
tersebut untuk 5 tahun mendatang dengan memperhatikan kondisi umum serta visi dan misi
dari SKPD bersangkutan. Penyusunan strategi dan kebijakan ini biasanya dilakukan dengan
menggunakan teknik Analisis SWOT yang didasarkan pada kekuatan (Strength), kelemahan
(Weaknesses), peluang (Opportunities), dan ancaman (Treath) yang terdapat pada daerah
bersangkutan. Ini berarti bahwa teknik SWOT diperlukan agar perumusan strategi dan
kebijakan tersebut sesuai dengan kondisi dan potensi yang dimiliki oleh daerah
bersangkutan. Cara lain yang juga dapat dilakukan dalam menyusun strategi dan kebijakan
adalah dengan jalan menurunkan secara langsung dari visi dan misi yang telah ditetapkan
semula, Keuntungan cara ini adalah bahwa strategi dan kebijakan akan berkaitan langsung
dengan visi dan misi pada perencana bersangkutan. Akan tetapi, karena visi dan misi berasal
dari aspirasi keopala SKPD dengan berpedoman pada RPJMD, maka besar kemungkinan pula
strategi dan kebijakan tersebut tidak sesuai dengan kondisi dan potensi daerah yang
bersangkutan. Bila hal ini terjadi maka besar kemungkinan strategi yang dirumuskan
tersebut menjadi tidak sesuai dan sulit dilaksanakan dalam masyarakat. Ujung akhir dari
sebuah perencanaan sektoral adalah penyusunan program dan kegiatan yang akan dilakukan
oleh SKPD bersangkutan. Program dan kegiatan ini tentunya harus bersifat operasional
sesuai dengan kewenangan dan kemampuan SKPD bersangkutan. Di samping itu, masing-
masing program dan kegiatan tersebut juga harus dilengkapi dengan indikator kinerja dan
tolok ukur (target) yang jelas dan konkret sesuai dengan data yang tersedia. Sedangkan
indikator dan target kinerja yang ditetapkan tersebut sebaiknya mencakup unsur masukan
(input), keluaran (output), hasil (outcome), manfaat (benefit) dan dampak (impacts). Dengan
cara demikian, evaluasi terhadap keberhasilan pelaksanaan dari Renstra tersebut akan lebih
mudah dapat dilakukan secara lebih konkret dan terukur.

C. Perencanaan Wilayah (Regional)


Perencanaan wilayah (regional) pada dasarnya adalah ruang lingkup dan bentuk
perencanaan pembangunan yang didalamnya terdapat unsur tata-ruang dan lokasi kegiatan
ekonomi dan sosial secara terintegrasi. Jenis perencanaan ini sering kali pula disebut dengan
Spatial (Regional Development Planning) di mana seluruh unsur dan variabel pembangunan
dirinci menurut aspek ruang dan lokasinya. Sasaran utama perencanaan ini adalah
menyusun strategi, kebijakan dan program pembangunan dengan memanfaatkan potensi
wilayah dan keuntungan lokasi yang terdapat di daerah bersangkutan dan daerah
tetangganya. Biasanya aspek tata-ruang dan lokasi ini ditampilkan dalam rencana
pembangunan wilayah dengan menggunakan peta dalam berbagai skala. Terdapat dua
undang-undang yang melandasi perlunya disusun perencanaan wilayah (regional) tersebut.
Keduanya adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup dan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang. Untuk perencanaan
pembangunan pada tingkat provinsi dan kabupaten, Undang-undang Lingkungan hidup
menjadi lebih penting karena aspek tata ruang masih dalam bentuk umum. Sedangkan untuk
perencanaan pembangunan pada tingkat kota di mana aspek tata-ruang lebih menonjol,
maka Undang-undang Tata Ruang akan menjadi lebih berperan dan mengikat.
Tujuan utama perencanaan wilayah (Regional) secara khusus adalah : (a) mendorong proses
pembangunan daerah bersangkutan, (b) mendorong proses pembangunan antar wilayah, (d)
meningkatkan daya dukung lingkungan, (e) Tujuan utama perencanaan wilayah (Regional)
secara khusus adalah: meningkatkan efisiensi penggunaan lahan, dan (f) meningkatkan
kualitas lingkungan hidup daerah bersangkutan. Kesemua tujuan perencanaan wilayah ini
adalah saling mempengaruhi satu sama lainnya sehingga pendekatan yang digunakan
sebaiknya adalah bersifat lintas sektoral dan komprehensif. Perencanaan pembangunan
wilayah ternyata mempunyai karakteristik. khusus bila dibandingkan dengan perencanaan
pembangunan secara umum Karakteristik khusus tersebut antara lain adalah: (a)
Terkandung unsur tata- ruang dan lokasi kegiatan secara terintegrasi, (b) Disusun sesuai
dengan kondisi, potensi, dan permasalahan daerah setempat, (c) Terpadu antar sektoral dan
antar wilayah, (d) Mempertimbangkan aspek daya dukung lahan dan lingkungan hidup, serta
(e) Menonjolkan peranan pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan di
daerahnya masing-masing. Berikut ini diberikan uraian ringkas dari masing-masing
karakteristik tersebut. Karena yang ditonjolkan dalam perencanaan regional adalah unsur
tata- ruang dan lokasi, maka aspek perencanaan sektoral, dalam hal ini, menjadi kurang
penting. Dalam hal ini tekanan pembahasan lebih banyak diberikan pada pembahasan lintas
sektoral dalam suatu wilayah tertentu. Sedangkan wilayah itu sendiri juga dapat dibagi
dalam bentuk beberapa Wilayah Pembangunan (Development Region) dengan
memperhatikan aspek kesamaan struktur sosial ekonomi (Homogenous Region) dan
keterkaitan antar wilayah sekitarnya (Nodal Region). Dalam hal ini, pembentukan wilayah
pembangunan tersebut sekaligus juga dikaitkan dengan konsep Pusat Pertumbuhan (Growth
Poles) yang akan berfungsi untuk menggerakkan kegiatan ekonomi dan pembangunan dalam
wilayah bersangkutan. Tidak dapat disangkal bahwa pada setiap daerah di negara
berkembang selalu terdapat beberapa daerah yang kondisi sosial ekonominya masih sangat
tertinggal dibandingkan dengan daerah lainnya. Dalam perencanaan regional daerah
tertinggal tersebut harus mendapat perhatian yang cukup besar dan dibahas secara khusus.
Alasannya jelas karena daerah ini perlu mendapatkan perhatian dan kebijakan khusus dalam
perencanaan pembangunan wilayah bersangkutan. Tanpa kebijakan khusus tersebut, proses
pembangunan pada daerah tertinggal ini akan sulit untuk digerakkan secara cepat, sehingga
diperkirakan akan tetap tertinggal dibandingkan dengan daerah lainnya.
Dalam perencanaan wilayah (regional) aspek perencanaan penggunaan lahan (Land-used
Planning) menjadi sangat penting. Sasaran utama dari perencanaan penggunaan lahan ini
adalah untuk dapat menyesuaikan antara potensi ekonomi daerah dengan potensi dan daya
dukung lahan berikut konektivitasnya atau eksesibilitasnya antar wilayah sehingga
pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan menjadi lebih cepat dan efisien. Di samping itu,
perencanaan penggunaan lahan dimaksudkan juga untuk menjaga tingkat efisiensi
penggunaan lahan terutama untuk daerah dengan lahan yang relatif sempit, tapi dengan
tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi, seperti daerah perkotaan atau daerah
dengan wilayah relatif kecil. Aspek tata-ruang dan penggunaan lahan tidak saja berkaitan
dengan unsur pertumbuhan ekonomi dan efisiensi pembangunan saja, tetapi juga dapat
mempengaruhi kualitas lingkungan hidup daerah bersangkutan. Karena itu, aspek
lingkungan hidup merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan perencanaan wilayah
(regional). Unsur penting yang perlu diperhatikan dalam kaitan ini adalah menyangkut
dengan penjagaan (konservasi) hutan lindung, konservasi terumbu karang, daya dukung
lahan, pengendalian pencemaran udara, air dan laut, pengaturan tata-ruang dan
penggunaan lahan daerah perkotaan, penjagaan kebersihan kota, dan lain-lainnya.
Penyusunan program dan kegiatan dalam perencanaan wilayah (regional) harus menjadi
lebih rinci. Hal ini disebabkan karena di samping jenis kegiatan yang akan dilakukan,
indikator dan target kinerja, pagu indikatif anggaran dan instansi penanggung jawab, dalam
perencanaan wilayah perumusan program dan kegiatan juga termasuk penetapan lokasi dari
kegiatan bersangkutan. Aspek ini diperlukan agar perencanaan pembangunan tersebut
menjadi lebih konkret dan sesuai dengan karakteristik dan potensi daerah bersangkutan.
Mengingat perencanaan wilayah menyangkut dengan daerah tertentu, maka dalam
perencanaan wilayah (regional) tersebut, peranan pemerintah daerah, baik provinsi,
kabupaten dan kota, menjadi lebih menonjol. Hal ini sangat penting artinya dalam era
otonomi di mana pemerintah daerah diberikan wewenang dan urusan tersendiri dalam
mengelola kegiatan pembangunan di daerahnya masing-masing. Dalam perencanaan
wilayah ini, pemerintah daerah dapat memformulasikan dan menerapkan strategi dan
kebijakan yang spesifik sesuai dengan kondisi dan permasalahan serta kemampuan
keuangan daerah bersangkutan. Karena itu, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, masing-masing pemerintah
daerah diberikan wewenang untuk menyusun perencanaan pembangunan untuk daerahnya
masing-masing dengan mengacu pada perencanaan pembangunan pada tingkat nasional.
Dengan kata lain, perencanaan pembangunan daerah dalam hal ini adalah merupakan
pasangan yang saling mendukung dengan perencanaan pembangunan nasional dalam
mendorong proses pembangunan secara terpadu pada daerah bersangkutan.

D. Perencanaan Proyek (Kegiatan)


Perencanaan proyek (kegiatan) adalah perencanaan yang khusus disusun untuk
pembangunan suatu proyek atau kegiatan tertentu, misalnya pembangunan jalan,
pembangkit tenaga listrik, sekolah, rumah sakit lain-lainnya. Perencanaan proyek ini sangat
penting artinya bila kegiatan ve akan dibangun mencakup nilai yang cukup besar sehingga
perencanaannya perlu dibuat secara baik, teliti, dan rinci untuk menghindari kesalahan
dalan pelaksanaan pembangunan proyek tersebut nantinya. Konsep ilmiah tentang
perencanaan proyek ini sebenarnya sudah lama berkembang dalam literatur ilmu ekonomi
dan perencanaan pembangunan seperti Gitingger (1972), Little and Mirless (1974), dan lain-
lainnya. Konsep ini mula-mula digunakan oleh Bank Dunia (1972) dalam menilai kelayakan
pengalokasian dana untuk pembangunan proyek-proyek pembangunan yang lazim dikenal
dengan nama Evaluasi Proyek (Project Appraisal). Dewasa ini, konsep ini sudah cukup
berkembang dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam Ilmu Perencanaan
Pembangunan baik untuk tingkat nasional maupun daerah. Teknik dan metode yang
digunakan dalam penyusunan rencana dan evaluasi proyek tersebut adalah Analisis Biaya
dan Manfaat (Cost Benefit Analysis) yang ditimbulkan dari kegiatan pembangunan dan
pengelolaan proyek bersangkutan. Untuk keperluan penyusunan perencanaan proyek ini,
terlebih dahulu perlu ditetapkan deskripsi rinci dari kegiatan yang akan dilakukan tersebut
termasuk umur proyek tersebut. Kemudian perlu diteliti semua unsur-unsur biaya yang
harus dikeluarkan untuk mendukung pembangunan proyek (Biaya Investasi) dan biaya untuk
kegiatan operasional (Biaya Produksi). Di samping itu, perlu pula diteliti semua unsur dari
hasil proyek (Financial Revenue) dan manfaat ekonomi yang dapa ditimbulkan karena
adanya proyek (Economic Benefit) seperti penyediaan lapangan kerja dan lain-lainnya.
penerimaan Mengingat penerimaan dan manfaat dari pembangunan proyek akan diterima
pada tahun-tahun mendatang secara reguler dan juga biaya operasional harus dikeluarkan
setiap tahunnya dalam pengeiolaan proyek, maka perhitungan biaya dan manfaat harus
dilakukan dalam bentuk nilai sekarang (Present Values). Dalam hal ini, jangka waktu yang
digunakan adalah sesuai dengan umur proyek atau jangka waktu perjanjian kredit
sedangkan Discount Rate yang digunakan biasanya adalah tingkat bunga deposito di bank.
Akan tetapi, apabila pembangunan proyek tersebut menggunakan dana bantuan luar negeri,
maka menurut Deepak Lal (1975), discount rate yang digunakan seharusnya adalah dalam
bentuk Domestic Resources Cost (DRC). Dalam kondisi harga dikendalikan oleh pemerintah,
maka harga tidak dapat mencerminkan kondisi permintaan dan penawaran yang pasar
sebenarnya terjadi di pasar. Akibatnya, bila kalkulasi biaya dan manfaat didasarkan pada
harga yang dikendalikan tersebut, maka tingkat kelayakan penilai proyek sebenarnya
tidaklah tepat. Untuk mengatasi hal tersebut, perhitungan kelayakan proyek sebaiknya
menggunakan konsep Harga Bayangan (Shadow Price). Misalnya seperti kasus terjadi di
Indonesia di mana harga minyak bumi disubsidi oleh pemerintah, maka perhitungan biaya
operasional proyek sebaiknya menggunakan harga di di mana terdapat persaingan bebas di
pasaran. pasaran internasional Secara umum terdapat tiga kriteria penilaian terhadap
kelayakan finansial (Financial Feasibility) dari pembangunan proyek tersebut. Pertama,
adalah perbandingan manfaat dan biaya (Benefit-Cost Ratio, B/C ratio), Kedua, adalah nilai
sekarang penerimaan bersih penerimaan proyek (Net Present Vaues, NPV). Ketiga, tingkat
penerimaan internal proyek (Internal Rate of Return, IRR). Ketiga kriteria penilaian ini
sebenarnya adalah sejalan, tetapi masing-masingnya mempunyai kelebihan dan kekurangan
tertentu sehingga sering menjadi perdebatan para ahli. Karena itu, dalam pelaksanaannya
ketiga kriteria penilaian ini dapat digunakan secara sekaligus agar penilaian kelayakan
proyek menjadi lebih lengkap dan objektif. Menggunakan ketiga kriteria tersebut maka
suatu proyek atau kegiatan dapat dikatakan layak bilamana memenuhi kriteria berikut:
1. B/C rasio >l yang artinya adalah manfaat proyek lebih besar dari biaya yang harus
dikeluarkan sehingga pembangunan proyek tersebut tidak akan memboroskan keuangan
negara atau daerah;
2. NPV >0 yang artinya adalah nilai rupiah manfaat lebih besar dari nilai rupiah biaya yang
diperlukan sehingga manfaat yang diperoleh lebih besar dari pengorbanan yang harus
dikeluarkan pemerintah;
3. IRR > bunga deposito yang artinya hasil keuntungan yang akan diperoleh disimpan dari
pembangunan proyek harus lebih besar dari tingkat bunga deposito, Bila tidak maka akan
lebih menguntungkan bila dana tersebut c di bank daripada diinvestasikan pada proyek
bersangkutan.

Berlainan dengan kelayakan finansial yang menekankan analisis tingkat penerimaan bersih
hasil kegiatan proyek, kelayakan ekonomi lebih menekankan manfaat proyek terhadap
kegiatan ekonomi masyarakat. Manfaat ekonomi tersebut dapat dalam bentuk peningkatan
penyediaan lapangan kerja pada pengaruhnya dalam mendorong kegiatan ekonomi daerah.
Untuk mengetahui tingkat kelayakannya, unsur peningkatan kegiatan ekonomi tersebut
harus dihitung untuk masyarakat, peningkatan penerimaan pemerintah atau dalam bentuk
uang. Penilaian kelayakan proyek yang berorientasi bisnis akan lebih mudah dihitung
dibandingkan proyek yang berorientasi pada pembangunan Alasannya adalah karena proyek
yang berorientasi bisnis mempunyai benefit yang jelas dalam bentuk penghasilan dari
proyek bersangkutan. Di samping itu, data yang diperlukan untuk penilaian kelayakan
finansial ini lebih mudah diperoleh dibandingkan dengan data yang diperlukan untuk
mengukur kelayakan ekonomi. Karena itu, banyak buku-buku evaluasi proyek ini diarahkan
untuk membantu analisis untuk menilai kelayakan proyek pembangunan atau proyek yang
bersifat "non fisik". Misalnya untuk proyek-proyek pembangunan jalan raya, penilaian
benefit menjadi sulit karena masyarakat pengguna jalan tidak melakukan pembayaran bila
menggunakan jalan tersebut seperti halnya dengan "jalan tol". Akibatnya, perhitungan
manfaat proyek sulit dilakukan karena tidak ada data penerimaan dari proyek. Karena itu,
Adler (1971) dalam bukunya menggunakan data pengurangan biaya operasional perusahaan
angkutan sebagai indikator untuk perhitungan manfaat proyek akibat pembangunan jalan
raya. Sedangkan Gitingger (1972) menggunakan peningkatan hasil produksi padi dalam
masyarakat sebagai indikator untuk menghitung besarnya manfaat (benefit) dari
pembangunan sebuah proyek irigasi. - Dalam praktiknya, teknik analisis biaya dan manfaat
tersebut di atas biasanya digunakan untuk perencanaan proyek-proyek dengan nilai besar,
karena biaya untuk pelaksanaan studinya juga cukup besar. Karena itu, untuk proyek dengan
biaya kecil, penilaian dan perencanaannya biasanya hanya dilakukan dengan menggunakan
teknik Kerangka Logis (Log-Frame). Menggunakan teknik ini, penilaian kelayakan proyek
dilakukan berdasarkan Indikator Kinerja, dengan menggunakan lima indikator yaitu:
masukan (input), keluaran (output), hasil (outcome), manfaat (benefit), dan dampak
(impacts). Biasanya analisis dilakukan dalam bentuk matriks yang kolomnya disusun
berdasarkan kelima indikator penilaian tersebut. Dalam praktik perencanaan pembangunan
proyek, langkah dan kegiatan yang akan dilakukan biasanya mempedomani apa yang dikenal
sebagai "siklus proyek" yang menggambarkan lingkup kegiatan perencanaan proyek. Secara
umum siklus proyek tersebut meliputi kagiatan beberapa tahap berikut ini:
1. Tahap Indentifikasi, yang merupakan identifikasi kebutuhan pembangunan proyek sesuai
dengan kebutuhan daerah atau rencana yang ditetapkan semula seperti RPJMD;
2. Tahap Persiapan Proyek, yang berisikan penelitian terhadap faktor-faktor yang
menentukan kerberhasilan dan kegagalan pelaksanaan proyek bersangkutan;
3. Tahap Pelaksanaan, yang meliputi berbagai kegiatan yang menyangkut dengan konstruksi
pembangunan atau pengadaan fisik proyek bersangkutan;
4. Tahap Evaluasi, yang melaksanakan kegiatan evaluasi kinerja proyek terhadap
pembangunan daerah dengan menggunakan data-data hasil pelaksanaan operasional
proyek.

Anda mungkin juga menyukai