Anda di halaman 1dari 27

PESTA SALIB SUCI, 14 SEPTEMBER

BACAAN 1: Bil 21:4-9

Ular tembaga

4
Setelah bangsa Israel berangkat dari gunung Hor, berjalan ke arah Laut Teberau untuk mengelilingi
tanah Edom, maka bangsa Israel tidak dapat menahan hati di tengah jalan. 5Lalu bangsa Israel
berkata-kata melawan Allah dan Musa: ”Mengapa kamu memimpin kami keluar dari Mesir? Supaya
kami mati di padang gurun ini? Sebab disini tidak ada roti dan tidak ada air, dan akan makanan
hambar ini kami telah muak.” 6Lalu Tuhan menyuruh ular-ular tedung ke antara bangsa Israel, yang
memagut mereka, sehingga banyak dari orang Israel yang mati. 7Kemudian datanglah bangsa Israel
mendapatkan Musa dan berkata: “Kami telah berdosa, sebab kami berkata-kata melawan Tuhan dan
engkau; berdoalah kepada TUHAN, supaya dijauhkan-Nya ular-ular ini dari pada kami.” Lalu Musa
berdoa untuk bangsa Israel. 8Maka berfirmanlah TUHAN kepada Musa: ”Buatlah ular tedung dan
taruhlah itu pada sebuah tiang; maka setiap orang yang terpagut, jika ia melihatnya, akan tetapi
hidup.” 9Lalu Musa membuat ular tembaga dan menaruhnya pada sebuah tiang; maka jika seseorang
dipagut ular, dan ia memandang kepada ular tembaga itu, tetaplah ia hidup.

Vv. 4-9: The Bronze Serpent. The people object to turning back. The way is long, and both
food and water are short. The penalty for disloyat is the plaque of venomous serpents and
many of the pepole die of snakebite. The same word is used of the seraphim of Isa. 6:1, but
these are personafications of the laightnings, God’s harbinger, his mesenggers. Here the
seraphim may be associated with snake demonds, since the jinn of the desertare usually of
serpent form, though the jinn are those that inhabit healing-waters. Moses is bidden make a
bronze serpent, nad whoever looked to is was healed of the poisonous bite. Tradition
associated this with the bronze serpent which Hezekiah destroyed. It is generally agreed that
the serpent which Hezekieh destroyed was original jebusite fetish, taken over after the time of
Dasvid and incorporated into Yahweh worship by means of its aliance with this story. The
first allergorsing of the story is found in Wis. 16:7, and the is C 10:9 and Jn 3:14.

Komentar 21:
1
Rita J. Burns, Exodus, Leviticus, Numbers (Delaware: Michael Glazier Ltd, 1973), hlm. 266-267.

1
V. 4: The starting point for Israel’s murmuring in the present case is not real but simple
complain: “the peopel became impatient on the way. V. 5: They were dissatisfied with their
gifted situation:”...we loat the worthless food. Like so many other cases of their murmuring in
the wildderness, the bottom line of the complaint was Israel’s regret at ever having allowed
God and Moses to bring them out of the convenience of slavery in the first place. V. 6: The
stucture of this story has appeared in other murmuring stories in the wilderness between sinai
and the land: dissatisfaction, not need, gives rise to the murmuring. God’s response is to
punish, in this case by sending serpents whose bite brought death to many in the community.
The serpents are described as fiery. At he people request, Moses intercendes with God who
then graciuosly instructurs him regarding the bronze serpent which yield life in the face of
death.

Komentar 32:

Vv. 4a-6: The discontentment of the people with the frugal life of the desert no longer leads,
at the end of the period of wilderness waqnderings as it has mostly done till now, to an act of
divine help, but to an act of punishment of the discontented people who have risen against
God and Moses. This punishment comes about by means of the fatal bite of the fiery serpents.
V. 7: A confession of sin on the part of those who are giulty enables Moses to make an
intercession which is heard. Vv. 8-9: The divine promise of release from the plague of
serpents is linked with the condition that Moses should make ana image of a fiery serpents
and this put image on top of a pole that is to be set up so that everyone can see it and look at
it with the result that the bites of the serpents should no longer be fatal. Hence, release from
the fatal effects of the serpents ment, a test which, at the same time, bears witness ti the
sovereign power of Yahweh even over the dengerous and sinister character of the desert. The
strange content of the divine command is, however, explicable only if one sees behind it the
idea that the measure taken by Moses is in itself effective, an idea which has only leter been
in corporated into the old testament faith in God.

Komentar 43:

2
Martin Noth, Number: Old Testament Library, (London: SCM Press, 1968), hlm. 157.
3
John Sturdy, The Cambridge Bible Commentary, (Melbourne: Cambridge Publisher, 1976), hlm. 148-149

2
V. 4: Then they left Mount Hor: this verse is added by the final editor to give a context to the
story. V. 5: “Why have you brought us up?”: A familiar complaint, cp.14:3;16;13. This
miserable fare: literally “bread of emptiness”. This is a deeply contemptuous reference to the
manna, which God himself had given. V. 6: Poisonous snakes: Leterally ‘fiery snakes’. The
word translated ‘poisonous’ is used for the seraphs, the flying creatures of Isa. 6:2, and so is
sometimes traslated ‘flying serpents’. But probably ‘fiery’ refers to a particularly stinging and
venomous bite. Poisonous snakes are found both in Palestina and in the Sinai Peninsula.
1Corinthians 10:9 refers to this punishment by serpents as being a warning to Christians. V 8:
Could look at it and recover: a rich re-use of this theme is found in John 3:14, “This Son of
Man must be lifted up as the serpent was lifted up by Moses in the wilderness”, where it
refers to the saving power of Christ on the cross, to whom men look in faith. V.9: The
insrtuctions of verse 8 are carried out precisely. So for the last time in the wilderness Israel
rebels and is forgiven; and the advance resumes.

MAZMUR: Mzm 78:1-2.34-35.36-37.38 Refren 7

Pelajaran dari sejarah

1
Nyanyian pengajaran Asaf. Pasanglah telinga untuk pengajaranku, hai bangsaku, sendengkanlah
telingamu kepada ucapan mulutku. 2Aku mau membuka mulut mengatalan amsal, aku mau
mengucapkan teka-teki dari zaman purbakala. 3Yang telah kami dengar dan kami ketahui, dan yang
diceritakan kepada kami oleh nenek moyang kami, 4kami tidak hendak sembunyikan kepada anak-
anak mereka, tetapi kami akan ceritakan kepada angkatan yang kemudian puji-pujian TUHAN dan
kekuatan-Nya dan perbuatan-perbuatan ajaib yang telah dilakukan-Nya. 5Telah ditetapkan-Nya
peringatan Yakub dan hukum Taurat diberi-Nya di Israel; nenek moyang kita diperintahkan-Nya
6
untuk memperkenalkan-Nya kepada anak-anak mereka, supaya dikenal oleh angkatan yang
kemudian, supaya anak-anak, yang akan lahir kelak, bangun dan menceritakannya kepada anak-anak
mereka, 7supaya mereka menaruh kepercayaan kepada Allah dan tidak melupakan perbuatan-
perbuatan Allah, tetapi memegang perintah-perintah-Nya; 8dan jangan seperti nenek moyang mereka,
angkatan pendurhaka dan pemberontak, angkatan yang tidak tetap hatinya dan tidak setia jiwanya
kepada Allah. 9Bani Efraim, pemanah-pemanah yang yang bersenjata lengkap, berbalik pada hari
pertempuran; 10mereka tidak berepegang pada perjanjian Allah dan enggan hidup menurut Turat-Nya.
11
Mereka melupakan pekerjaan-pekerjaan-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib, yang telah
12
diperlihatkan-Nya kepada mereka. Di hadapan nenek moyang mereka dilakukan-Nya keajaiban-
keajaiban, di tanah Mesir, di padang Zoan; 13dibelah-Nya laut diseberangkan-Nya mereka; didirikan-

3
14
Nya air sebagai bendungan, dituntun-Nya mereka dengan awan pada waktu siang, dan semalam
15
suntuk dengan terang api; dibelah-Nya gunung batu di padang gurun, diberi-Nya mereka minum
banyak air seperti dari samudera raya; 16dibuat-Nya aliran air keluar dari bukit batu, dan dibuat-Nya
17
air turun seperti sungai. Tetapi mereka terus berbuat dosa terhadap Dia, dengan memberontak
18
terhadap Yang Mahatinggi di padang kering. Mereka mencobai Allah dalam hati mereka dengan
19
meminta makanan menuruti nafsu mereka. Mereka berkata terhadap Allah: ”Sanggupkah Allah
20
menyajikan hidangan di padang gurun? Memang, Ia memukul gunung batu, sehingga terpancara air
dan membanjir sungai-sungai; tetapi sanggupkah Ia memberikan roti juga, atau menyediakan daging
bagi umat-Nya” 21Sebab itu, ketika mendengar hal itu, TUHAN gemas, api menyala menimpa Yakub,
bahkan murka bergejolak menimpa Israel, 22sebab mereka tidak percaya kepada Allah, dan tidak yakin
23
akan keselamatan dari pada-Nya. Maka Ia memerintahkan awan-awan dari atas, membuka pintu-
24
pintu langit, menurunkan kepada mereka hujan manna untuk dimakan, dan memberikan kepada
25
mereka gandum dari langit; setiap orang telah makan roti malaikat, Ia mengirimkan perbekalan
kepada mereka berlimpah-limpah. 26Ia telah menghembuskan angin timur di langit dan menggiring
27
angin selatan dengan kekuatan-Nya; Ia menurunkan kepada mereka hujan daging seperti debu
28
banyaknya, dan hujan burung-burung bersayap seperti pasir laut; Ia menjatuhkannya ke tengah
perkemahan mereka, sekeliling tempat kediaman itu. 29Mereka makan dan menjadi sangat kenyang ;
30
Ia memberikan kepada mereka apa yang mereka inginkan. Mereka belum merasa puas, sedang
31
makanan masih ada di mulut mereka; maka bangkitlah murka Allah terhadap mereka: Ia membunuh
32
gembong-gembong mereka, dan menewaskan teruna-teruna Israel. Sekalipun demikian mereka
masih saja berbuat dosa dan tidak percaya kepada perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib. 33Sebab itu Ia
membuat hari-hari mereka habis dalam kesia-siaan, dan tahun-tahun mereka dalam kekejutan.
34
Apabila Ia membunuh mereka, maka mereka mencari Dia, mereka berbalik dan mengingini Allah;
35
mereka teringat bahwa Allah adalah gunung batu mereka, dan bahwa Allah Yang Mahatinggi adalah
36
Penebus mereka. Tetapi mereka memperdaya Dia dengan mulut mereka, dan dengan lidahnya
mereka membohongi Dia. 37Hati mereka tidak tetap pada Dia, dan mereka tidak setia pada perjanjian-
38
Nya. Tetapi Ia bersifat penyayang, Ia mengampuni kesalahan mereka dan tidak memusnahkan
mereka; banyak kali Ia menahan murka-Nya dan tidak membangkitkan segenap amarah-Nya.

Komentar 14:

Seruan pembukaan bergaya kenabian (Ia); undangan untuk mendengarkan


disampaikan kepada seluruh bangsa. Akan tetapi berbeda debngan para nabi yang
menyampaikan firman Tuhan, pemazmur menyebut apa yang akan disampaikan itu sebagai
”pengajarannya”, ”ucapan mulutnya”, ”amsal” dan ”reka-teki” (1-2). Sungguh kaya ”ucapan
mulutnya” itu) sehingga bukan hanya mengandung pengajaran atau bertujuan mengajar,

4
M.C. Barth dan B.A.Pareira, Tafsiran Alkitab (Jakarta: P.T. BPK Gunung Mulia, 1989), hlm. 42-49.

4
melainkan pula merupakan ”amsal” kebijaksanaan dan teka-teki yang mengandung hikmat.
Disebut ”teka-teki” karena menyampaikan perbuatan-perbuatan agung Allah yang tak terduga
dan yang sekaligus mengandung pertanyaan-pertanyaan yang tidak mudah dijawab.
Subyek dari 3-4 tidak lagi ”aku”, tetapi ”kami”. Pemazmur termasukgenerasi penerus,
yakni generasi yang menerima (3), tetapi yang sekaligus meneruskan kepada anak-anak apa
yang telah diterim dari nenekmoyang (4b). Obyek dari apa yang telah diceritrakan dan yang
harus diceriterakan kembali ialah perbuatan-perbuatan. Tuhan yang mahsyur dan ajaib yang
telah dikerjakan-Nya bagi Israel pada awal sejarahnya. Itulah teka-teki zman purbakala.
Karya-karya ini menyatakan ”kekuatan” Tuhan, karena dengan itu Israel diselamatkan dari
kekuasaan-kekuasaan yang dengan kemampuannya sendiri tak dapat dikalahkannya.Karya-
karya agung Tuhan harus terus-menerus dilanjutkan antar generasi,sebab hal itu telah
merupakan perintah Tuhan.
Konstruksi kalimat 5cd+6abc agak kompleks, tetapi maksdnya cukup jelas. Karya-
karya agung Tuhan harus terus-menerus dlanjutkan: nenekmoyang kepada anak-anak mereka,
anak-anak mereka (6c), jadi ada empat generasi. Penerusan ini dilakukan dengan
”memperkenalkan” (5d) atau ”menceriterakan” (6c).
Tujuan peneusan ini ialah agar karya-karya Tuhan dikenal oleh setiap generasi dengan
pengenalan itu Israel, pertama-tama, ”menaruh kepercayaan kepada Allah”; kedua, ”tidak
melupakan perbuatan-perbuatan-Nya” dan ketiga, ”memegang perintah-perintahNya”. Antara
ketiga hal ini ada hubungan yang sangat erat, seperti yang tampak dalam teologi
deuteronomist.
Dengan demikian mereka tidak kembali menjadi seperti nenek moyang mereka, suatu
”angkatan pendurhaka dan pemberontak” ”angkatan yang tidak tetap hatinya dan tidak setia”.

A. (9-16): Bani Efraim Berkhianat

Teka-teki dari zaman purbakala” ini dibuka dengan suatu pernyataan tentang bani
Efraim (9). Pernyataan ini amat penting karena merupakan titik tolak atau kunci dari
renungannya. Bani Efraim, meskipun termasuk pemanah-pemanah yang amat cekatan
mundur atau melarikan diri pada hari pertempuran. Sungguh memalukan; kapan atau dalam
perang apa hal itu terjadi?
Hal ini terjadi karena ketidaktaatan Efraim terhadap perjanjian Allah, yakni Taurat
atau hukum-Nya kerena mereka melupakan karya-karya besar yang dikerjakan Tuhan di
masa lampau untuk menyelamatkan mereka (11). Mana karya-karya itu akan disebut dalam
12-16.

5
Penafsiran teologis ini menarik terutama 10. Bahwa Efraim mundur karena
melupakan karya-karya agung Tuhan, dapat lebih mudah dimengerti. Akan tetapi bahwa dia
mundur pada hari pertempuran itu ”karena” ketidaktaatan kepada perjanjian Allah, hal ini
tidak begitu jelas hubungannya. Memang antara iman (11) dan perbuatan (10) ada hubungan
yang erat seperti antara sumber dan aliran-alirannya. Namun di sini disebut terbalik. Mungkin
maksudnya, supaya lebih mudah beralih ke 12-16.
Bani Efraim mundur pada hari pertempuran karena melupakan pekerjaan-pekerjaan
Tuhan. Empat karya besar Tuhan dalam awal sejarah Israel disebut dalam 12-16 ini:
keajaiban-keajaiban yang dilakukan Tuhan di Mesir, penyeberangan yang menakjubakan
melalui Laut Teberau, bimbingan yang pasti melalui padang gurun dabn mukjizat air yang
berlimpah-limpah di padang gurun.

B. (17-31) : Pemberontakan Israel di padan gurun

Bagian ini berbicara tentang pemberontakan nenek moyangdi padang gurun dengan
mencobai Tuhan (17-20), muka Tuhan sebagai reaksi atas pemberontakan tersebut (21-22),
belaskasihanNya dengan mengieimkan mana dan daging (23-29) dan sekali lagi murka Tuhan
(30-31).
Pernyataan pembukaan ”terus berbuat dosa” dalam 17 menimbulkan persoalan karena
tentang dosa nenek moyang (”mereka”), kita tidak mendengar apa-apa dalam bagian
sebelumnya. Bagaimana dapat dikatakan ”terus berbuat dosa”? Pada 11b pemazmur melihat
bani Efraim dalam kesatuan dengan nenek moyang nereka. Pada 17a kita dapat menduga hal
yang serupa. Karena ”teka-teki” dari zaman purbakala ini dimulai dengan dosa bani Efraim
(9) yang dilihat dalam kesatuan dengan nenek moyang mereka, maka pemazmur dapat
berkata ”terus berbuat dosa”. Kronologi memamng terbalik, tetapi teologi tidak, meskipun
dosa yang disebut dalam bagian ini, yakni mencobai Tuhan, artinya kurang percaya (18-22),
tidak terangkum dalam penafsiran teologis tentang dosa bani Efraim dal 10-11.
Inti dosa nenek moyang ialah mencobai Tuhan (17-20). Itu berarti: memberontak
terhadap-Nya. Tuhan disebut ”Yang Mahatinggi” (17,35,56), suatu sebutan yang dalam
konteks ini makin memperlihatkan hebatnya dosa Israel. Nenek moyang ini menantang
kemampuan Allah (19-20: ”sanggupkah” ) untuk melakukan mujizat dengan memberi mereka
makanan di tempat yang sulit untuk mendapatnya. Meskipun dosa mencobai Allah ini terjadi
”dalam hati” (18a), namun Tuhan ”mendengarnya” atau mengetahunya (21). Api murkaNya
banyak untuk menyelamatkan.

6
Walaupun Tuhan murka dan menghukum, Dia memberikan juga makanan aelimpah-
limpahnya dengan menurunkan hujan mana (23-25) dan hujan daging (26-29). Apa yang
sebenarnya yang merupakan fenomena alam dilukiskan dengan bahasa seorang penyair (23)
dan dilihat dalam iman. Manna dikatakan ”gandum dari langit” (24b) dan bahkan ”roti para
malaikat” (25). Apakah sebutan yang terakhir ini menunjukkan bekas-bekas kepercayaan
kafir, yakni bahwa para dewa dapat makan dan minum tidak begitu saja dikatakan. Yang jelas
ialah bahwa suatu pernyataan kekaguman akan penyelenggaraan Ilahi di padang gurun
terungkap dalam kata-kat ini. Manna ini diberikan Tuhan sebagai perbekalan selama seluruh
perjalanan di padang gurun.
Apabila hujan manna dihubungkan dengan awan, maka hujan daging atau hujan
burung bersayap dihubungkan dengan angin, amsing-masing ”angin timur” dan ”angin
selatan” (26). Ini berarti angin itu bertiup dari semenanjung Arab dengan melintasi teluk Elat.
Angin itu seperti ”digiring” oleh Tuhan. Bersamaan dengan angin itu berjatuhan pulalah
burung-burung bersayap ke tengah perkemahan Israel (27-28). Seperti air dari gunung batu
(15) dan manna dari langit (25), juga di sini ditekankan kelimpahan anugerah hujan burung
itu. Rupanya hujan burung itu termasuk fenomena alam pula. Di musim semi dan musim
gugur terjadi pemindahan burung-burung dan karena kelelahan, berjatuhan begitu saja ke
tanah. Ada kesaksian mengenai hal ini pada suatu pahatan kuno dalam makam di Tebe
(Mesir). Demikian Tuhan memenuhi keinginan mereka untuk makan daging (29).
Akan tetapi sungguh mengejutkan, betapa pemberian ini cepat berubah menjadi
hukuman (30-31). Nenek moyang ini dipenuhi nafsu dan meluapkan pemberinya (30). Selagi
mereka baru menikmati pemberian itu, Tuhan membunuh yang terbaik di antara mereka,
yakni para terunanya (31) ”dengan suatu tulah yang sangat besar”.

C. (32-39) : Ketidaksetiaan Israel dan Belas Kasihan Tuhan

Meskipun melihat hukuman nenek moyang itu, Israel tetap saja tegar hati dan terus
berbuat dosa (32; bdk. 17). ”Mereka tidak percaya kepada perbuatan-perbuatanNya yang
ajaib” (32b; bdk. 11,22a). Mereka melihat, tetapi segera melupakannya. Sebab itu Tuhan
menghukum mereka dengan kematian yang mendadak (33). Sebab itu pemazmur lalu
merenungkan, dimusnahkan sama sekali oleh Tuhan (38-39).
Setiap kali Tuhan membunuh sebahagian di antara mereka, mereka bertobat (34).
Mereka mengingat bahwa Tuhan itu ”gunung batu” perlindungan mereka di dalam ancaman
dan bahwa Tuhan telah membebaskan mereka dari perbudakan Mesir (35). Akan tetapi tobat
mereka hanya terletak dalam kata-kata kebaktian yang kosong (36). Hati mereka sebenarnya

7
jauh dari Tuhan (37). Pertobatan semacam itu dengan sendirinya tidak membuahkan
”keteguhan”, ”kesetiaan” kepada Allah dan kepada perjanjianNya yang kemudian terungkap
dalam hidup menurut tauratNya. Lalu nenek moyang Israel mudah jatuh ke dalam dosa dan
terus saja berbuat dosa.
Meskipun demikian, Tuhan tidak memusnahkan mereka. Mengapa? Karena ”Dia
bersifat penyayang”, Dia mengampuni dosa mereka, ya kerap sabar dan tidak
membangkitkan segenap amarahNya.

Komentar 25:

The opening lines of Psalm (vv. 1-11) bear the marks of wisdom literatuure (Prov.
3:1;4:2). Individual verses are chiseled finely as in Proverbs where each two or four lines
serve as independent units. In Psal 78, however, these verses are like gems in an elegant
setting, as each blends into the continuous epic style. The psalm also diverges from wisdom
literature, at least as knwon in Proverbs, Ecclesiastes, and Job, by its subject and in its strong
testinony for the Jerusalem Temple.
Psalm 78 shows it closest affinityto Deuteronomy 32 and appears, as a historical
epiccomposed by Jerusalem priests to explain the destruction of Shiloh, where the Ark
resided in he early days of Samue, and th orientation of all Israel around the new shrine at
Jerusalem. Yet history is not recited simply to know the past but rather to be assured of God’s
direction in later ages. Most of all, the psalm insists that catastophes, which seem to break
contiunity and invalidate divine promise, lift into a langer pattern God’s direction. After
mysterious control, the next most decisive factor in history is Israel’s fidelity or infidelity.
The psalm presumes the Philistine destruction of Shilon in 1050 B.C. and the transfer
of the Ark to the Jerusalem Temple by Solomon. It also envisages a bonding of the nortthern
and southern tribes in worship at Jerusalem, consequently seggesting a date of composition
either during the reign of Solomon or, better, toward the end of the reign of King Hezekiah.
At this latter time, Jerusalem emerged from near destruction and extended its control again
over the north. Events of collapse and restoration had amphasized the mysterious ways of
Israel’s history under God’s direction. Important for the theology of history in this psalm is
God’s plan, first, for a unified Israel and, second, its location in Judah and Jerusalem instead
of in the northern tribes and Shiloh.

5
Ellis Earle (ed), The New Century Bible Comentary (London: Marshall, Morgan and Scoot Publisher, 1974),
hlm. 469-470.

8
The psalm begins and ends in the land of Israel, its theologcal order, its theological
point of concern. It breaks chronological order, regarding the earlier events in Egypt, to
indicate that history was not being recited for its own sake. After a lengthy, solemn
introduction, the first recital extends from v. 1 to v. 41, the second from v.42 to v. 72. Each of
these, like Deuteronomy 32, is subdivided: first, God’s gracious act in vv. 12-16, 42-55, and
Deut. 32:27-14; second, Israel’s rebellion in vv. 17-20, 56-58, and Deut. 32:15-18, 59-64, and
Deut. 32:19-25; and fourth, judgment and new beginning in vv. 33-41, 65-72, and Deut.
32:26-43.
The introduction in Ps, 78:1-11 follow as well-known pattern. These opening verses
combine, like the rest of the psalm, remembrance of God’s mighty deeds for Israel with
warning and rebuke, exhortation and promise. The speaker would be an authoritative person
at Jerusalem with a thorough command of tradition, manifesting a profound faith in God’s
presence not only in glorious moments but also in disaster and punishment. That speaker
affirms breaks the continuity of Israel;s history.
Ps. 78:2 refers to proverbs and obscure riddles or to words spoken by God to
prophets. Such sayings require contemplation and a heart willing to be challenged by God.
Matt. 13:35 states that Jesus too spoke in parables, so that as people pondered the
comparison, ubabticipated insights into the mytery of God camte to light. Ps. 78:8-11 is
addressed principally to te northern tribes, since eventually the psalmist appeals to them to
seek unity with all Israel at the Jeruslem. Temple. The ancestors (v.8) are the patriarchs,
parents off all twelve tribes.
The point of comparison in vv. 12-32 is always to be locatedin God’s gracious deeds
for Israel. These wondrous acts are principally those in the wilderness of Sinai, providing
food, drink, and direction. Yet the Hebrew twxt in v. 12 centers not so much upon wonders as
upon ”you, that very God, working wonders.” The participle keeps the actionin the present
tense, implying that now God is doing the same. Yet, in vv. 17-20 the people forget quickly
and ”test God,” as in Exod.
God’s anger flared againts them in Ps. 78:21-32, verses that still concentrate upon
God’s goodness and strength in caring for Israel. Anger is the exasperation of goodness taken
for granted and betrayed as a permanent quality in God but only as an occasional exercise
that cannot be counted upon in the future. Faith here is not a body of doctrine but adherence
to the person of God as gracious and faith ful.
Despite the srious break in the contiunity , the next generation will participate in the
same promises. These verses repeat, only now more reflectively, what had already been said

9
in the preceding section. Verse 38 is the pivotal verse for the entire Psalter, the halfway mark
of its 5,896 verses; Ps. 80:14 contains the middle letter of the Psalter. Verse 38 emphasizes
that at the center of biblical religion must be confesion a merciful God who turns anger
away from tehe people.

Komentar 36:

The teaching to be is given in the forms of a parable and dark sayings. A parable is
any form of saying that the hearer could see with the mind’s eye. Here it signifies a wise
saying , a comparison. The dark sayings suggest a riddle, mistery something that is puzzling.
History’s meaning is such a mystery. In the face of God’s wonderful deeds, why did the
people keep turning away from God? Why did God not give up on them? Why did God reject
the tribe of Epharaim and the sanctuary at Shiloh? Why did God turn to the shepherd David
to lead the people? Such are the stories to be told to the coming generations- God’s
faithfulness amid the people’s unfaithfulness.
The psalmist is undaunted with the task of handing on the traditions to the clans and
families of Israel. He begins by recounting the glorious deeds and recounting the of the
LORD. The purpose of these historical psalms is to reccal God’s formative acts in the past,
including the ”stories of impossibility,” so that every generation may know God’s
sovereignty and life-saving hope. Through the law the LORD made his gracious will known
to his people. Torah is a combination of story and commandments to be passed on to the
children. But an earlier generation’s heart was not steadfast. To make the point, the psalm
contrast the ancestors’ rebellion and disobedience with God’s graciousness. Ephraim was the
most important of the northern tribes of Israel, and often, as here, the name refers to the
Northern Kingdom. The incident referred to is uncertain. Here the Ephraiites are
characterized by military power that proved ineffective, and with religious apostasy,
forgetting God’s goodness wondrous works.
The recital of God’s wonders draws freelyon stories fron Exodus and Numbers. It
focuses on God’s deeds to the wilderness generation, beginning with deliverance from
bondage in the exodus. Zoan, in Egypt’s Nile delta, was the capital city for Ramses II during
the time of the exodus. God is the subject of every verb in verses 12-16, emphasizing God’s
grace alone as the basis of Israelite life.

6
James H. Waltner, Psalms: Believers Church Bible Commentary (Scottdale: Herald Press, 2006), hlm. 382-
383.

10
The people sinned and rebelled in that they tested God by their demands for more and
doubted God’s ability to provide for their needs. God’s respone to such unfaithfulness was
anger. That anger burned againts his people, for they did not trist in his saving power. Even
though they angered God, his bounties continued with manna and quail. Ironically, in thes
acts of the LORD, he gives them what they want, but then strikes them down with a plague at
the very moment when they are filling themselves with the food they craved. The sad result
was that in spite of all this they still sinned and refused to trust in the wonders of God.
The storyteller revimes the cycle: God’s wonders, the unfaithfulness of the people,
God’s acts against them, repentant searching and remembering God their rock and redeemer.
Yet their heart was not loyal to God. Nevertheless, God was compassionate. . .and did not
destory them.
Remembering their human cindition, God turned back his anger to forgive. The
wilderness generation was characterized by a succession of sin, punishment, repentance, and
pardon. The evanescence of human life is contrasted with divine stability. Tje out standing
lesson in all of this is the patience and love of God.

Komentar 47:

A historical psalm, narrating the story of Israel from the exodus to the early
monarchy. Its purpose is to teach fidelity and to justify God’s rejection of worship in the
northern kingdom and his choice of Judah as his dwelling place. Structure: the ps consist of a
didactic introduction followe by two parallel recitals of salvation history: vv 12-32 and 40-64,
each with a sequel. The didactic beginning is reminicent of the wisdom psalm. This section
introduces the major themes of the ps: remembering/ not forgetting, God’s saving deeds,
keeping God’s commandments/law. Hebr masal has a wider range of meanings than
”parable”: here it means “wise instruction.” Cf. Jesus’ citation of this verse in reference to his
teaching. whose spirit was not faithful: Cf. the similar v 37 and the etymologically related
“belive” in vv 22,32,.
The terms “sin,” “rebel,” “test” recur as a kind of refrain of unfaithfulness in the ps:
vv 32,40-46,56. the food: A reference to the manna . Cf. Num 11:16-34. Yahweh became
angry with the people because their demand for meat was an expression of their lack of trust.

7
A. Briggs, Charles dan Emilie G. Briggs, Critical and Exegetical Commentary on The Book of Psalm
(Edinburgh: T. & T Clark Ltd, 1997), hlm. 119.

11
BACAAN 2: Flp 2: 2b-11

Nasihat supaya bersatu dan merendahkan diri seperti Kristus

2
karena itu sempurnakanlah sukacita Paulus dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu
kasih, satu jiwa, satu tujuan, 3dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia.
Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada
dirinya sendiri; 4dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi
kepentingan orang lain juga. 5Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan
perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, 6yang walaupun salam rupa Allah, tidak
menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, 7melainkan telah
mengosongkan diri Yesus sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan
manusia. 8Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri Yesus dan taat sampai
mati, bahkan sampai mati di kayu salib. 9Itulah sebabnya, Allah sangat meninggikan Yesus dan
mengaruniakan kepada Yesus nama di atas segala nama, 10supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut
11
segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi , dan segala lidah
mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan”, bagi kemuliaan Allah, Bapa!

Komentar 18:

- Nasihat supaya bersatu dan merendahkan diri (2: 1-4)


“karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam
satu kasih, satu jiwa, satu tujuan” (ayat 2)
Ayat ini merupakan lanjutan lanjutan dari ayat 1. Ia mengandung nasihat yang
sebenarnya, yang mau Paulus mau sampaikan kepada anggota-anggota jemaat di Filipi.
Nasihat itu Paulus mulai dengan permintaan; sempurnakanlah (plerosate=penuhkanlah,
sempurnakanlah) sukacitaku! Ia telah bersukacita, tetapi bersukacita itu dapat lebih besar
lagi. Dan itu akan terjadi, kalau mereka melakukan apa yang ia minta kepada mereka dalam
ayat ini. Pertama-tama, supaya mereka sehati sepikir (phronein). Bagaimana caranya dan
bagaimana intensifnya tidak dikatakan di sini. Hal itu bergantung pada sifat anggota-anggota
jemaat dan dari karunia (charisma) yang mereka peroleh dari Kristus. Dan itu berbeda-beda,
tidak sama. Sungguhpun demikian “phronein” (=pikiran dan perasaan) mereka harus
mempunyai obyek yang sama. Dari hubungannya dan dari 2:5 nyata, obyek itu ialah kasih
Kristus. Bukan itu saja yang ia minta kepada mereka. Ia minta lebih dari itu. Ia menghendaki
8
J. L. Abineno, Tafsiran Surat Filipi (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1967), hlm 48-58.

12
supaya pikiran dan perasaan mereka bukan saja harus mempunyai obyek yang sama, tetapi
juga harus berlangsung dalam satu kasih dan satu jiwa. Dengan kata lain, supaya mereka
dipenuhi dengan dan dipimpin oleh perasaan, pikiran, keinginan, dorongan, kasih yang sama
dan dengan satu tujuan.

“dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau atau pujian yang sia-sia. Sebaliknya dengan
rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri (ayat
3)”
“Eritheia=kepentingan sendiri. “Kenodoxia” (dari “kenos”=kosong, tidak ada isi, dan
“doxia”=kehormatan, kemuliaan, di sini: pikiran, persangkaan) berarti: pikiran atau puji-pujian yang
kosong, yang sia-sia.
Paulus katakan, bahwa tidak boleh ada suatupun (“meden”=tidak ada sesuatu, sama
sekali tidak ada sesuatu) yang mereka kerjakan dengan maksud untuk mencari kepentingan
sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Itu tidak sesuai denga panggilan mereka sebagai anggota
jemaat Kristus. Itu bertentangan dengan obyek “phronein” (=pikiran dan perasaan) mereka.
Bukan kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia, tetapi (=alla, sebaliknya: dengan
rendah hati yang seorang harus menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri)

“Tapeionophrosune” (dari “tapeinos”= kurang, rendah, dan “phrosune”, yang tidak


dipakai tersendiri, tetapi selalu dihubungkan dengan “phronein” dan berarti: rendah hati,
rendah pikiran dan perasaan)

Rendah hati. Sifat ini yang harus mereka miliki. Dalam jemaat tidak boleh ada
egoisme: tidak boleh ada orang yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja. Egoisme
tidak membangun, tetapi merusak, memecah-belah. Dari egoisme timbul rupa-rupa
perselisihan dan kedengkian. Karena itu, seperti yang kita dengar tadi, Paulus menasihatkan
mereka, supaya sifat itu jangan ada pada mereka. Sebagai anggota-anggota jemaat Yesus
Kristus, artinya orang-orang yang hidup dari anugerah (kasih karunia) Allah, mereka harus
merendahkan diri dan masing-masing menganggap yang lain lebih utama daripada diri kita.

“Huperechontas” (dari “huperechein”= lebih tinggi, lebih utama berarti: mempunyai


keutamaan lebih besar daripada. Kata ini mengingat kita kepada “exousiai
huperechousai” dari Rum 13:1 = pemerintah yang mempunyai kuasa, lepas dari
kuaitasnya)

13
Kerendahan hati, yang Paulus maksudkan di sini, bukanlah kerendahan hati yang
abstrak, tetapi yang konkrit: kerendahan hati yang nyata dalam hidup pergaulan, dalam
pikiran, dalam perasaan, dalam harapan, dalam hubungan satu sama lain. Dalam semuanya
itu Paulus tidak memberikan syarat. Ia hanya katakan “seorang akan yang lain” (= allelous),
tanpa pembatasan. Semua anggota jemaat sama di hadapan Tuhan. Karena itu, tidak boleh
dibuat perbedaan antara mereka. Tiap-tiap anggota berhak atas pelajaran dabn “respek” dari
anggota yang lain. Bukan karena nilai atau kualitasnya sendiri, tetapi berdasarkan karunia
(charisma) yang ia terima dari Kristus.

“dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi


kepentingan orang lain juga.” (ayat 4)
Ada naskah tulisan-tulisan yang tidak memakai “juga” (= kail), sehingga pertentangan
antara bagian kedua dari kalimat inimenjadi lebih tajam: jangamnlah tiap-tiap orang
memperhatikan dirinya sendiri, tetapi kepentingan orang lain. Banyak penafsir (mis.
Barth) mempertahankan terjemahan ini, karena hal itu lebih cocok dengan ayat 3b.
Mereka, yang Paulus nasihati di sini-menurut penafsir-penafsir itu-ialah orang-orang
yang hanya memperhatikan kepentingan sendiri dan tidak mempedulikan kepentingan
orang lain. Sikap ini salah. Karena itu, Paulus melarangnya. Dan ia menuntut, supaya
mereka berbuat sebaliknya: bukan kepentingan sendiri, tetapi kepentingan orang lain
yang harus mereka perhatikan. Oleh karena saja memperhatikan kepentingan orang lain,
saya benar-benar memperhatikan kepentingan saya (Barth).

Kalau terjemahan ini-jangan hanya.........., tetapi juga kita ikuti, maka kedua bagiannya tidak
merupakan pertentangan yang mutlak. Bagian pertama dimodifikasikan oleh bagian kedua.
Bagian pertama, sama sekali dilarang. Karena itu di sana tidak teradapat “hanya” (=monon).
Kepentingan sendiri sama sekali tidak boleh menjadi tujuan usaha dan pekerjaan angggota
jemaat. Kepentingan orang lain juga harus diperhatikan. Mereka belum boleh puas, kalau
egoisme telah mereka basmi. Itu belum memenuhi tuntutan kerendahan hati. Tuntutan ini
baru dipenuhi, kalau anggota-anggota jemaat tidak menjalani diri sendiri saja, tetapi juga
melayani juga orang lain.

- Nyanyian Kristus (2:5-11)

14
Dalam ayat-ayat yang lebih dahulu Paulus menasihatkan anggota-anggota jemaat di Filipi,
supaya mereka jangan angkuh dan hanya mencari kepentingan mereka saja, tetapi sebaliknya,
supaya mereka merendahkan diri dan melayani satu sama lain dalam kasih. Itu tugas mereka.
Untuk itulah Kristus telah memilih dan mengumpulkan mereka dalam jemaatNya. Ia mau,
supaya mereka saling melayani. Pelayanan itu, menurut Paulus, harus mereka lakukan
menurut pola yang Kristus berikan mereka, yaitu pola-pola hidup-Nya sendiri, pola-pola
hidup pelayan. Untuk menjelaskan hal itu kepada mereka Paulus memakai suatu hyme yang
syarat dalam isinya tentang Kristus (2:6-11). Penjelasan itu ia dahului perkataan yang berikut:

“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama menaruh pikiran dan perasaan ini yangterdapat
juga dalam Kristus Yesus.”

Dalam bahasa Yunani kalimat di atas tidak memakai kata “terdapat” (“Bode”: ada).
Berhubung dengan itu ada orang (a.l. Barth) yang mengusulkan, supaya ganti kata
“terdapat” atau “ada” kita memakai kata “harus” dan menterjemahkan: “Hendaklah kamu
dalam hidupmu bersama memikirkan itu (=touto), yang dipikirkan dalam Kristus”.
Alasan mereka ialah: Yang mau ditekankan Paulus di sini bukanlah “contoh” yang
diberikan Kristus, tetapi “tata hidup” yang anggota-anggota jemaat harus taati dan turuti.

Paulus menunjuk kepada “phronein” (=pikiran dan perasaan) yang terdapat dalam Kristus.
Apa isinya “phronein” itu ia akan terangkan lebih lanjut sebentar dalam ayat 6. Di sini, dalam
ayat 5 ini, ia hanya minta kepada mereka, supaya “phronein” itu juga harus ada pada mereka.
Ia harus menjadi norma hidup norma mereka sebagai pribadi, tetapi terutama hidup mereka
sebagai persekutuan. Itu yang penting dan itu yang Paulus kehendaki dari mereka , yaitu
hidup bukan untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk Tuhan dan karena itu juga untuk sesama
mereka, sesuai dengan pola hidup Kristus, “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak
menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan ”.
Demikianlah Kristus, yang telah memanggil dan mengumpulkan mereka dalam jemaat-Nya
dan yang mereka terima sebagai kepala dan Tuhan mereka. Ia dari kekal sampai kekal, Ia
seujud, sehakekat dengan Allah dan karena itu juga sekemuliaan dengan Dia.

Di sini dikatakan, bahwa Kristus “mempunyai rupa Allah” (= morphen Theou


huparchon). Ungkapan ini mengatakan, bahwa sebelum Kristus menjadi manusia Ia telah
ada, Ia telah mempunyai pra-eksistensi. Ia seujud, sehakekat dengan Allah dan sesuai

15
dengan itu Ia nampak, atau lebih baik, Ia menyatakan diri-Nya sebagai Allah: Ia
bercahaya dalam kekuasaan dan kemuliaan Allah. Hal ini diperkuat oleh kata
“huparchon” (=berada), yang berdasarkan kata dasarnya “arche” menunjuk kepada suatu
keberadaan yang dari mulanya, yang asli, yang orsinil.

Jadi, “berada dalam rupa Allah” artinya: berada dalam penyataan/kemuliaan Allah,
berada dalam pengenalan/pengetahuan yang langsung daripada-Nya. itu berarti, bahwa
Kristus bukan saja sama dengan Allah, tetapi Ia adalah Allah, benar-benar Allah. Ia seujud,
sehakekat dengan Dia. Sungguhpun demikian “Ia tidak menganggap kesetaraan dengan Allah
itu sebagai milik yang harus diperthankan”. Bagian kalimat ini agak sukar diterjemahkan.
Penafsir-penafsir dan penterjemah-penterjemah masih berbeda pendapat tentang artinya yang
sebenarnya.
Paulus mau katakan, bahwa sekalipun Kristus seujud dengan Allah dan karena itu
berada dalam kebesaran dan kemuliaan-Nya, Ia tidak menganggap kesamaan atau kesetaraan
(=isa) itu sebagai sesuatu (“milik”?) yang Ia harus cekau dan harus pertahankan
(“harpagmos”=alat untuk “harpazein”= mencekau dengan kuat). Dengan kata lain, Ia tidak
memakai kebesaran dan kemuliaan-Nya itu untuk kepentingan-Nya sendiri. Ia tidak sama
dengan anggota-anggota jemaat yang Paulus sebut dalam ayat 3 dan 4; anggota-anggota
jemaat yang hanya mementingkan diri sendiri dan mencari puji-pujian yang sia-sia. Memang
Ia dapat dan Ia lebih banyak mempunyai alasan untuk berbuat demikian. I asama dengan
Allah. Ia berkuasa. Ia mulia. Ia berhak untuk mempertahankan semuanya itu. Tetapi Ia tidak
buat itu. Malahan sebaliknya: “Ia telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa
seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia”. Ia mengosongkan diri-Nya sendiri (=
“Heauton ekenosen” berarti: mengsongkan diri sendiri). Perbuatan itu bukanlah sesuatu yang
tidak dapat Ia elakkan. Bukanlah nasib yang datang menimpa-Nya dari luar. Bukanlah juga
kehendak Bapa-Nya yang dipaksakan kepada-Nya. Ia sendiri mengosongkan diri-Nya. dalam
kebebasan penuh Ia menanggalkan rupa ilahi-Nya. itu tidak berarti, Ia dengan jalan itu bukan
Allah lagi, bahwa Ia dengan jalan itu kehilangan kebesaran dan kemuliaan-Nya sebagai
Allah. Bukan! Ia tetap Allah, tetapi Ia tidak menyatakannya keluar. Ia menahannya, sehingga
manusia tidak dapat melihatnya. Ia adalah Allah, tetapi Allah incognito.
Hal ini terjadi oleh pengambilan “pengambilan rupa hamba”. Ungkapan ini adalah
keterangan dari ungkapan “pengosongan diri sendiri”. Tetapi Ia bukan baru terjadi kemudian.
Keduanya-“pengosongan diri sendiri” dan “pengambilan rupa hamba”-serempak terjadi:
sebagai ganti menyatakan diri-Nya sebagai Allah, Yesus sekarang menyatakan diri-Nya

16
sebagai hamba. Juga di sini, Ia tidak dipaksa. Ia buat oleh kemauan-Nya sendiri menjadi
hamba. Ia menjadi sama dengan manusia. Artinya: dalam segala hal, kecuali dalam dosa, Ia
sama dengan manusia-manusia lain. Ia tidak berbeda dengan mereka. Begitu jauh Ia
mengosongkan diri-Nya, sehingga orang tidak mengenal-Nya.

“Homoioma” adalah hasil dari “homoioun” (=menjadikan sama, membuat menjadi sama,
dan menyatakan kesamaan, kesamaan total). Ungkapan “en homoiomati anthropon”
(=dalam keadaan sama dengan manusia; kerendahan-Nya, kehinaan-Nya), tetapi jua
keadaan-Nya sebagai manusia menurut suatu cara yang tertentu, yaitu di mana Ia tidak
berbeda dengan manusia-manusia lain.

Bukan itu saja. Paulus belum selesai dengan uraiannya. Dalam ayat 8 ia melanjutkan
uraian-Nya itu seperti berikut: “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan
diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Jalan Tuhan Yesus makin
menurun. Dalam ayat 7 telah kita dengar, bahwa Ia mengosongkan diri-Nya dan menjadi
sama dengan manusia; Ia lahir sebagai seorang naka bayi (Mat 1:25) daripada seorang wanita
(Gal 4:4). Ia takhluk di bawah hukum-hukum Allah, Ia papa (2Kor 8:9), Ia tidak mempunyai
sesuatu apa (Mat 8:20; Luk 9:58), Ia bekerja dan menderita sama seperti orang-orang lain.
Dalam ayat ini (ayat 8) kita membaca, bahwa Ia buat lebih daripada itu: dalam keadaan-Nya
sebagai manusia Ia melangkah lebih jauh dalam lagi.
Ia merendahkan diri dan taat sampai mati. Paulus tidak katakan kepada siapa Kristus
taat-kita tahu itu: kepada Allah!-bukan karena hal itu tidak penting baginya. Tetapi yang ia
kehendaki, supaya anggota-anggota jemaat di Filipi ketahui ialah, bahwa Kristus taat dan
bahwa Ia taat sampai mati. Yang dimaksudkan di sini dengan “hupekoos” bukan hanya
ketaatan pada waktu kematian-Ny saja, tetapi ketaan-Nya selama hidup-Nya di dunia. Hal itu
diperkuat oleh kata “genimenos” (aoristus participium dari “ginomai”=menjadi). Kata ini
mengungkapkan ketaatan yang terus menerus dengan segala derita yang timbul daripadanya.
Taat sampai mati. Sampai (Yunani: mechri) di sini menyatakan tingkat pengosongan diri dan
ketaatan Kristus. Juga terhadap kematian Ia tidak mundur. Ia tetap taat.
Sesudah pengosongan diri dan ketaatan Yesus mencapai tingkat yang serendah-
rendahnya, menyusullah belokan Allah kejurusan yang bertentangan: “Itulah sebabnya Allah
sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama”.
Mengapa Paulus menambahkan ayat ini dan ayat-ayat yang berikut pada apa yang telah ia
katakan sampai sekarang tentang Tuhan Yesus? Hanya untuk melengkapi “kristologianya”?

17
atau untuk menghibur dan menguatkan anggota-anggota jemaat di Filipi dengan kemenangan
Kristus? Tetapi bukankah hal itu telah ia buat dalam ayat-ayat yang lalu? Bukankah Yesus
yang mengosongkan diri-Nya dan yang taat sampai mati di kayu salib itu adalah juga Yesus
yang menang dan yang berada di dalam kemuliaan? Memang itu! Sekalipun demikian apa
yang Paulus katakan sekarang dalam ayat ini dan ayat-ayat yang berikut bukanlah sesuatu
yang tidak perlu. Malahan sebaliknya, ia justeru menggarisbawahi apa yang telah ia katakan
dalam ayat-ayat yang lebih dahulu. Karena Yesus telah mengerjakan semuanya itu, karena itu
Allah sangat meninggikan Dia.

Kata Yunani “dio” yang diterjemahkan di sini dengan “itulah sebabnya” terjadi dari “di”
dan “ho” dan menyatakan suatu sebab: mengapa=karena itu. Sungguhpun demikian, kata
itu di sini tidak mempunyai arti yang sama dengan “di ho”, tetapi lebih lunak. Kata itu
tidak menyatakan pembalasan yang ekuivalen. Memang juga dibicarakan juga tentang
suatu hubungan kausal-Allah telah meninggikan Kristus karena atau berhubung dengan
pengosongan diri dan ketaatan-Nya sampai ke dalam kematian-tetapi bukan sebagai
pahala juga setimpal. Si sini sama sekali tidak terdapat pikiran meritum ex condigno.
“Dio” dalam hubungan ini lebih banyak mempunyai arti relativistis daripada arti kausal.

Tuhan Allah meninggikan Yesus, bukan karena Ia harus atau wajib berbuat demikian, tetapi
karena Ia berkenan kepada apa yang telah diperbuat Yesus. Peninggian-Nya itu nyata dari
dan mulai dengan kebangkitan-Nya dari antara orang-orang mati. Tetapi itu tidak terbatas
pada kejadian itu saja, melainkan melingkupi juga kekuasaan dan kemuliaan yang Allah
berikan kepada-Nya, yaitu kekuasaan dan kemuliaan di atas segala pemerintah dan penguasa
dan malaikat. Sekarang Ia kepala dari segala sesuatu, baik yang ada di surga, maupun yang
ada di bumi.

“Huperupsoun” (dari “huper” dan “hupsoun”: “huper” tidak mempunyai arti komparatif,
tetapi arti superlatif atau elatif, jadi kata itu tidak menyatakan: lebih daripada, tetapi
sangat, amat, amat banyak) adalah suatu kata yang luas artinya. Kata itu menunjuk
kepada segala kekuasaan,keagungan yang diberikan oleh Allah kepada Kristus.

Tuhan Allah bukan saja sangat meninggikan Yesus, Ia juga mengaruniakan kepada-
Nya nama di atas segala nama. Kedua kata itu sama, tiddak berbeda. Hanya cara
mengungkapkan isinya yang berbeda. Yang satu dapat kita anggap sebagai penjelasan dari
yang lain. Mengaruniakan artinya: memberikanb karena kasih, sebagai tanda atau bukti dari

18
kerelaan (perkenaan) hati. Nama di atas segala nama (Yunani: to onoma to huper pan
onoma). Yang dimaksudkan di sini ialah satu-satunya nama-menurut ayat 11 ialah nama
Kurios-nama yang paling tinggi, yang paling mulia, yang paling agung. Namayang paling
tinggi dari segala makhluk.
Tuhan Allah meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala
nama, “supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di
atas bumu dan yang ada di bawah bumi”. Itulah maksud Allah meninggikan Dia-dia, yang
telah mengosongkan diri-Nya yang telah taat sampai mati, yang sampai mati di kayu salib-
yaitu supaya dalam nama-Nya-artinya untuk penghormatan dan pelayanan kepada-Nya,
sebagai tanda pengakuan akan kekuasaan, kebesaran, dan kemuliaan-Nya-semua makhluk
bertekuk lutut.
Yang dimaksudkan di sini dengan “bertekuk lutut” (Yunani “gonukamptein”: suatu
ungkapan untuk penghormatan yang paling tinggi dan luhur, khusunya kepada Allah, dalam
nama Yesus ialah menaklukkkan diri dan taat kepada-Nya, sujud menyembah kepada-Nya,
mengakui dan menghormati-Nya sebagai Tuhan yang empunya kuasa dan kemuliaan. Hal itu
dilakukan oleh “segala yang ada dilangit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah
bumi”, suatu ungkapan yang mengandung arti: alam semesta, semua yang diciptakan Allah,
langit dan bumi dan segala isinya). Berdasarkan tanggapan orang (“gambaran-dunia”) pada
waktu itu di sini segala sesuatu itu dibagi dalam “tiga golongan”: semua yang ada di langit,
semua yang ada di bumi dan semua yangada di bawah bumi.
Dalam ayat 11 penghormatan Yesus ini dijelaskan lebih lanjut seperti berikut: “dan
segala lidah mengaku: Yesus Kristus adalag Tuhan, bagi kemuliaan Allah, Bapa”. Segala
makhluk bukan saja bertekuk lutut di hadapan-Nya,mereka-“segaal lidah”, yaitu segala lidah
dari segala makhluk-juga mengakui-Nya sebagai Tuhan.

“Exomolgeisthai” bukan saja berarti mengakui dengan keras dan secara terang-terangan,
sehingga didengar orang, tetapi juga mengakui dengan gembira, dengan puji-pujian atau
ucapan syukur.

Tuhan (Kurios) adalah “nama di atas segala nama” yang dikaruniakan kepada Yesus. Dia
Raja dan pemerintah yang diangkat oleh Allah untuk memegang kekuasaan atas segala
sesuatu.

19
Komentar 29:

- Salam dalam pikiran, gagasan dan kasih (2:1-5)

Lima ayat dalam bab 2 ini dapat dimengerti dalam berbagai cara. Yohanes
Krisostomus mengatakan bahwa itu merupakan empat alasan untuk menerima saran yang
diajukan pada ayat berikut: “Bila kamu ingin memberikan hiburan kepadaku demi kasih
kepada Kristus dan memberikan kepadaku dukungan dalam kasihmu; Bila kamu ingin agar
aku dapat merasakan kemanisan persatuan rohani, untuk menunjukkan kepadaku rasa
persaudaraan dan ikut menderita”, maka penuhkan kegembiraanku dan biarkan kasih
persaudaraan ada di antara kamu (ay. 2). Apakah seruan untuk bersatu ini mengandaikan
adanya golongan-golongan yang saling bermusuhan, yang waktu itu mengancam ketenangan
orang-orang Kristen di Filipi? Tidak jelas. Paulus hanya mengungkapkan keinginannya
mengenai hal itu dan mengharapkan agar pembacanya bersatu dalam pikiran, jiwa, kasih, dan
kehendak yang satu terhadap yang lain, supaya tidak membentuk kelompok-kelompok, untuk
bertindak dengan lembut, tanpa mengingat kepentingannya sendiri (ay. 3-4). Untuk dapat
hidup dalam suasana demikian, pikiran mereka hendaknya seperti pikiran Yesus sendiri (ay.
5)

- Teladan dari Tuhan yang menjadi manusia (2:6-11)

Untuk menasihati orang-orang Filipi agar mereka hidup dengan menyangkal dirinya
sepenuhnya, Paulus mengemukakan contoh Kristus dalam “kenosis” yang terkenal itu (kata
Yunani kenoun berarti: mengosongkan, menghampakan). Beberapa ahli berpendapat bahwa
ini adalah madah liturgi kuno orang-orang Kristen berasal dari Palestina dan teruama diilhami
oelh Kitab Deutero-Yesaya. Apakah madah ini disusun oleh Paulus atau dikutip olehnya,
madah ini memuji Yesus sejarahi, Allah dan Manusia, dalam kesatuan kepribadian-Nya.
setiap ayat berbicara mengenai macam-macam segi misteri kemuliaan ilahi (ay. 6),
kerendahan diri (ay. 7), kerendahan karena kematian yang hina (ay. 8), kemuliaan
kebangkitan dan kenaikan ke surga (ay.9), penyembahan semua ciptaan (ay. 10), seruan baru
semesta: Yesus adalah Tuhan (ay. 11).

9
Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Perjanjian Baru: Surat-surat Paulus 3 (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm.
28-30.

20
Paulus memulai madah dengan pernyataan bahwa Kristus, Allah yang kekal, menjadi
sungguh secara penuh, menyisihkan kemuliaan yang sesuai dengan kedudukan dan hakikat-
Nya yang kekal. Meskipun Kristus sebagai Anak sama dengan Bapa, namun Ia tidak
memegang erat-erat kehormatan-Nya, tetapi untuk sementara tidak memegang keistimewaan-
Nya yang ilahi. Dengan menjadi manusia Ia mengenakan rupa seorang hamba. Bahkan lebih
lagi. Seperti manusia lain, Ia menunjukkan ketaatan, ciri khas seorang hamba (ay. 6-7).
Sangat berlawanan dengan Adam yang pertama. Ketaatan mutlak menyebabkan Kristus mati
secara hina di kayu salib. Demikian ayat 8 mengakhiri bagian pertama madah ini.
Kerendahan hati-Nya jauh dilampaui oleh pemuliaan. Melalui kebangkitan dan
pengangkatan ke surga, Allah meninggikan-Nya, memberi-Nya “Nama” yaitu kemuliaan dan
kekuasaan Allah, seperti kerap diungkapkan demikian dalam Perjanjian Lama (ay. 9). Jadi,
Allah telah meninggikan Yesus mengatasi semua makhluk, hingga seluruh ciptaan harus
sujud di hadapan-Nya seperti kepada Allah (ay. 10). Jadi, “nama” lebih hanya dari deretan
kata, melainkan menunjuk kepada pribadinya. Madah diakhiri dengan ucapan resmi: Yesus
adalah Tuhan. Kalimat terakhir mengungkapkan bahwa Bapalah yang mengangkatYesus
menjadi tuan dan penguasa seluruh ciptaan (ay. 11).

Komentar 310:

- Humility and Selflesness (2: 1-11)

1. If anything is meant by...Paul invokes a series of qualities which for him essentially
characterize life “in Christ” and so should regulate community relations followership in the
Spirit: “Fellowship” between Christians rests on a common paticipation (koinonein) in the
eschatological gift of the Spirit.
2. Having the same.....one mind; The Greek phronein in Paul’s usage goes beyond rational
reflection to include the “mindset” that issues in a determined pattern of behaviour.
3. Humility; in the Greco-Roman word tapeinophrosyne, “lowliness”, denoted simply a
despised and abject condition, in the Old Testament an appropriate human stance before God.
In Christianity the free adopting of a lowly, unassertive stance before fellow human beings
became a distinctive virtue, after the pattern established by Christ (Vv 5-11).

10
Raymod E. Brown, Joseph A. Fitzmyer, Roland F. Murphy (ed), The New Jerome Biblical Commentary
(London: Prentice-Hall International Publisher, 1988), hlm. 1223.

21
4. Not looking to one’s own interest: for Paul, Christian love flows from the free disposition
to unseat concern for self as the driving force of life and replace it with a practical concern
for other (cf. 1Cor 13:5)
5. Have this mind among you: see comment on v. 2. Which was also in Christ Jesus: On this
interpretation the terse relative clause introduces Christ’s historic example of humality and
selfless love, recounted in the passage to follow, as a model for Christian imitation. But, “in
Christ Jesus” may have the teh technical Pauline sense denoting the sphere of influence
emanating from the risen Lord in which Christian life is lived out Pauline Theology. So, one
would translate (suplying some form of the verb phronein): “which it is also appropriate for
you to have in view of your existence in Christ Jesus.”

- The Christ-Hymn (vv. 6-11)

The distinctive qualities of this passage-rhythmic character, use of parallelism,


occurence of rare and uncharacteristic language-have led, since E. Lohmeyer’s foundational
study (Kyrios Jesus: Eine Untersuchung zu Phip. 2.5-11), to the widespread view that Paul
supports his exhortation to selflessness by quoting a hymn composed independently of
Philipi. The hymn has a basic twofold structure: vv. 6-8 describe Christ’s abasement; vv. 9-
11 his exaltation. Beyond this fundamental division scholars offer a great variety of more
detailed analyses. The one below adheres closely to that of Lohmeyer. It sees the original
hymn as composed of six strophes, each containing three cola and each summing up one
complete stage of the drama. Strophes 1-3 (vv. 6-8) are each built around one main
vb.,qualified by participial phrases. In strophes 4-6 (vv. 9-11) the verbal pattern alters to
express the goal or consequence of the divine action.

Komentar 411:

In 2:1-4, Paul continues his call for unity, though now in the language of patnership
(cf. 1:5): the Philippians “To be of one mind,” (2:2). In addition, he counsels against
factiousness and glory seeking and instead encourages humility or deference toward other

11
James L. Mays (ed), Harper’s Bible Commentary (San Fransisco: Harper and Row Publisher, 1998), hlm.
1223.

22
(vv. 3-4), a quality especially evident in Christ, which prompts Paul to digress long enough to
cite a hymnic tribute to Christ as once slave but now master (vv. 5-11).
Vv. 2:6-11 is the Hymn of Christ. About this hymn, some scholars debates such
matter as the hymn’s author, structure, redaction, background, setting, and meaning.
Although some scholars still hold Pauline authorship, the presence of non-Pauline words or
emphases point to someone other than Paul, although it is uncertain whether that person was
a Jewish Christian or one more influenced by Greco-Roman culture. Likewise, the structure
of the hymn is uncertain; an original form of two (vv. 6-8, 9-11), three (vv. 6-7a, 7b-8, 9-11),
or more stanzas has been proposed. Complicating the matter is the question of how much
Paul may have modified the hymn. Thus the phrase “even death on a cross” (v. 8) is often
regarded as an addition by Paul, and some scholars would add “those in heaven, on earth, and
under the earth” (v. 10).
The conceptual background of the hymn is variously explained by looking to the Old
Testament (especially the Suffering Servant of Isaiah), to intertestamental Jewish writing and
their concern with wisdom and the righteous sufferer, or to redeemer figures of Gnostic
speculations. This background debate is the most hotly contested and is far from decided.
On the matter of setting, however, scholars tend to agree that the hymn was regularly
used in Christian liturgy. Indeed, we can picture the singers of the hymn bowing on cue at the
phrase “at the name Jesus” (v. 10) as they confessed “Jesus Christ is Lord” (v. 11)-perhaps
during baptism or at the Eucharist. Whit all this uncertainty surrounding the hymn it is not
surprising that its meaning is debated too, although at a general level it is clear that the author
has taken the principal facts of the gospel, Christ’s death and resurrection (cf. 1Cor 15:3-5),
and interpreted them in terms of humiliation (vv. 6-8) and exaltation (vv. 9-11), of being
enslaved (v. 7) and made master (v. 11).

BACAAN INJIL: Yoh 3:13-17

Percakapan dengan Nikodemus


13
Tidak ada seorang pun yang telah naik ke sorga, selain dari pada Dia yang telah turun dari sorga,
yaitu Anak Manusia. 14 Dan sama seperti Musa meniggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak
15
Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang
16
kekal. Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya

23
yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup
17
yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia,
melainkan untuk menyelamatkan oleh Dia.

Komentar 112:

Ayat 14 berisikan, baik petunjuk pada suatu kejadian dalam Perjanjian Lama maupun
pengantar penting pada teologi Yohanes. Ular yang ditinggikan di padang gurun menunujuk
pada kejadian dalam Bil 21:9, di mana ular tembaga yang ditinggikan pada tiang oleh Musa
menjadi sumber keselamatan (Keb 16:6). Yohanes menambahkan bahwa Anak Manusia juga
harus ditinggikan. Ungkapan ini akan diulangi tiga kali (8:28; 12:32.34) dan teologi
peninggian-penyaliban akan dijelaskan seiring gerak maju kisah Injil selanjutnya.
Sangat penting juga bagi teologi Yohanes dan teologi Kristen adalah keyakinan
bahwa kasih Allah (ay. 16) merupakan prinsip dinamis bagi keselamatan dunia. Allah Yesus,
Allah Yohanes, Allah kita adalah Allah yang digerakkan oleh kasih sedemikian besar
sehingga Ia memberikan Anak-Nya sendiri kepada dunia, tidak untuk menghakimi, tetapi
untuk menyelamatkan.
Yohanes menggunakan kata dunia (ay. 17) dalam arti macam-macam. Di sini,
penggunaan kata tersebut bersifat netral. Seluruh ciptaan, dan terutama manusia, menjadi
objek kasih Allah yang menyelamatkan. Lebih kerap kita akan melihat behwa dunia menjadi
lambang dari orang-orang yang menolak untuk percaya.

Komentar 213:

Sebagaimana telah dikatakan pada ayat sebelumnya, penjelasan mencakup lingkaran


penjelmaan, kematian dan kebangkitan. Sekali lagi kita menhadapi suatu makna ganda:
perkataan “mengangkat” berhubungan dengan diangkat pada Salib dan diangkat ke dalam
surga. Waktu Kristus kembali kepada Bapa-Nya di surga, Salib merupakan anak tangga
pertama dari tangga Kenaikan. Hanya bila Yesus ditinggika makaRoh yang dikatakan-Nya
kepada Nikodemus dapat diberikan. (Ular Musa merupakan lambang keselamatan yang
datang berkat peninggian pada salib.)
Dialog kini berubah menjadi monolog. (Nikodemus agaknya menyelinap secara diam-
diam ke kegelapan seperti waktu datang.) Dijelaskan arti penjelmaan. Allah memberikan
(“memberikan” berarti menyerahkan kepada kematian) Anak tunggal-Nya untuk
12
Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Baru (Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, 2002), hlm.
167.
13
Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Perjanjian Baru, Injil dan Surat-surat Yohanes (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1981), hlm. 43-44.

24
mendapatkan hidup baru ini bagi manusia. Karenanya, Perutusan Yesus bukanlah untuk
menghukum (ungkapan Yunani yang sama mengandung arti “penghukum” dan
“penghakim”) tapi untuk menyelamatkan. Namun demikian, kehadiran Yesus kini merupakan
suatu penghakiman – akhir zamn yang mulai terwujud.

Komentar 314:

Thus, in v. 13 Jesus speaks enigmatically of the ascent and descent of the Son of man,
to and from heaven. Ascents to God were claimed for other personages of Judaism (e. G.,
Enoch, Elijah, Moses). This statement denies all such ascents to God except Jesus’, and Jesus
can uniquely claim to have descended from God (heaven). While Judaism could easily speak
of men sent from God (1:6; 3:2) and knew of ascents to God, the claim to have descended
from him was another matter. Pecisely that, however, is said of Jesus.
Mention of the Son of man (v. 13) sets the stage for the further exposition of Jesus’
work. Althogh the reference of Moses’ act (vv. 14 – 15; cf. Num. 21:8 – 9) is entirely
appropriate in a discussion with a teacher of Israel, from this the picture; nor does Jesus seem
to be the speaker. John 3:11-13 forms a bridge from their conversation into a confessional
statement of the Johannine Christian community. The un-mistakable reference to the
crucifixion of Jesus is still, however, veiled behind the reference to Moses, whose deed is
taken to be a type of Jesus’. As Moses’ act saved the people from death by serpent bite, so
Jesus’ crucifixion saves his people from death and opens the door to eternal life.
John speaks less enigmatically in 3:16, a statement in which the gospel massage is en-
capsulated. Here, as in v. 15, life is made contingent on faith and believing. The giving or
sending of the Son is the expression of God’s saving purpose; he does not intend to judge or
condemn (v. 17; the same Greek verb, krinein, could have either meaning).

Komentar 415:

13. The discourse turns to the Johannie claim that Jesus is the only source of
knowledge about the heavenly world. no one has asscended to heaven: This negates the
claims of other visionaries to have knowledge of what is in heaven (e. g., 1 Enoch 70:2; 71:1
have Enoch ascend into heaven, where he identified with the Son-of-Man figure from Dan

14
John Kelly, Norman Davidson, A Commentary on The Gospel of John (London: Adam and Charles Black
Publisher, 1982), hlm. 81.
15
Clinton E. Arnold (ed), John: Exegetical Commentary on the New Testament (Michigan: Zondervan, Grand
Rapids, 2012), hlm. 218.

25
7:14). The Son-of-Man saying in 1:51 promises the believer this heavenly vision as a vision
of Jesus. 14 – 15. The first of the three Son-of-Man sayings to refer toJesus’ exaltation
(Johannie Theology, 83:28,38). The allusion to Num 21:9-7 may be a tipology created in the
Johannie church. Wis 16:6 – 7 speaks of the event as turning Israel toward the Torah and
toward God as Savior. The Johannie connection between believing and having eternal life is
applied to the story in v. 15. (ii) Comment: God sent the Son to give life (3:16 – 21). The
evangelist breaks into the narrative with a discourse on the sending of the Son to bring life to
the world. The realized eschatology of Johannie theology is evident in the connection
between believing in the Son and not being judged but having eternal life (cf. John 12:46 –
48). Some exegetes have suggested that there is OT typology at work in this passage as well.
There are the only verses outside the prologue (1:16,18) to speak of the Son as monogenes.
They may be thinking of Isaac as the “only son” whom Abraham love but was willing to
sacrifice. Though the Fourth Gospel does not focus on the death of Jesus as a sacrifice, the
expression “he (=God) gave his only Son” (v 16) would be understood as a reference to
Jesus’ being given up to death (cf. Gal 1:4; 2:20; Rom 8:32).

DAFTAR PUSTAKA

Black, Matthew. Peake’s Commentary on the Bible. Kenya: Nelson Publisher, 1962.
Burns, Rita J. Exodus, Leviticus, Numbers. Delaware: Michael Glazier Ltd, 1973.
Noth, Martin. Number: Old Testament Library. London: SCM Press, 1968.
Sturdy, John. The Cambridge Bible Commentary. Melbourne: Cambridge Publisher, 1976.
Barth, M. C. dan B.A.Pareira. Tafsiran Alkitab. Jakarta: P.T. BPK Gunung Mulia, 1989.

26
Earle, Ellis (ed). The New Century Bible Comentary. London: Marshall, Morgan and Scoot
Publisher, 1974.
Waltner, James H. Psalms: Believers Church Bible Commentary. Scottdale: Herald Press,
2006.
Briggs, A., Charles dan Emilie G. Briggs. Critical and Exegetical Commentary on The Book
of Psalm. Edinburgh: T. & T Clark Ltd, 1997.
Abineno, J. L. Tafsiran Surat Filipi. Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1967.
Lembaga Biblika Indonesia. Tafsir Perjanjian Baru: Surat-surat Paulus 3. Yogyakarta:
Kanisius, 1988.
Brown, Raymod E., Joseph A. Fitzmyer, Roland F. Murphy (ed). The New Jerome Biblical
Commentary. London: Prentice-Hall International Publisher, 1988.
Mays, James L. (ed). Harper’s Bible Commentary. San Fransisco: Harper and Row Publisher,
1998.
Lembaga Biblika Indonesia. Tafsir Alkitab Perjanjian Baru.Yogyakarta: Kanisisus, 2002.
Lembaga Biblika Indonesia. Tafsir Perjanjian Baru, Injil dan Surat-surat Yohanes.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1981.
Kelly, John, Norman Davidson. A Commentary on The Gospel of John. London: Adam and
Charles Black Publisher, 1982.
Arnold, Clinton E. (ed). John: Exegetical Commentary on the New Testament. Michigan:
Zondervan, Grand Rapids, 2012.

27

Anda mungkin juga menyukai