Anda di halaman 1dari 185

UNDANG UNDANG KEKERJAAN, KESELAMATAN KERJA DAN

KETENTUAN-KETENTUAN POKOK MENGENAI TENAGA KERJA

Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas OHN

Dosen pengampu :Wasludin, SKM, M.Kes

Disusun oleh :

FAUZIAH SITI ROZANAH

P27904117017

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANTEN
JURUSAN KEPERAWATAN TANGERANG
PRODI D IV KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2020/2021
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Menimbang :

a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan


manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia
seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur,
yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai
peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan
pembangunan;
c. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan
pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja
dan peransertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan
tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan;
d. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin
hak hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta
perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan
perkembangan kemajuan dunia usaha;
e. bahwa beberapa undang undang di bidang ketenagakerjaan dipandang sudah
tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan
ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, c, d,
dan e perlu membentuk Undang undang tentang Ketenagakerjaan;

Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat
(1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan persetujuan bersama antara

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam undang undang ini yang dimaksud dengan :

1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga


kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan
gunamenghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain.
4. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum,
atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
5. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada
di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
6. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh
dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
7. Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana
ketenagakerjaan secara sistematis yang dijadikan dasar dan acuan
dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program
pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
8. Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis
data yangberbentuk angka yang telah diolah, naskah dan dokumen
yang mempunyai arti, nilai dan makna tertentu mengenai
ketenagakerjaan.
9. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi,
memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja,
produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan
dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan
atau pekerjaan.
10. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang
mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang
sesuai dengan standar yang ditetapkan.
11. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang
diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan
dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan
instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses
produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai
keterampilan atau keahlian tertentu.
12. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk
mempertemukan tenaga kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga
kerja dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat,
dan kemampuannya, dan pemberi kerja dapat memperoleh tenaga
kerja yang sesuai dengan kebutuhannya.
13. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan
maksud bekerja di wilayah Indonesia.
14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan
pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak,
dan kewajiban para pihak.
15. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah, dan perintah.
16. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk
antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang
terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang
didasarkan pada nilai nilai Pancasila dan Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
17. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari,
oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar
perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan
bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi
hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan
pekerja/buruh dan keluarganya.
18. Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu
perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat
pekerja/ serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
19. Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan
musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri
dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan
pemerintah.
20. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh
pengusaha yang memuat syarat syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
21. Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil
perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat
pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa
pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat syarat
kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
22. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan,
dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
23. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan
dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat
buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.
24. Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk
menolak pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan
pekerjaan.
25. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena
suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban
antara pekerja/buruh dan pengusaha.
26. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas)
tahun.
27. Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00.
28. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.
29. Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari.
30. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam
bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian
kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan
dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
31. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan
dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam
maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak
langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan
kerja yang aman dan sehat.
32. Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan
menegakkan pelaksanaan peraturan perundang undangan di bidang
ketenagakerjaan.
33. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.

BAB II

LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN


Pasal 2

Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 3

Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui


koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.

Pasal 4

Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :

a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;


b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang
sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

BAB III
KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA

Pasal 5

Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh
pekerjaan

Pasal 6

Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa


diskriminasi dari pengusaha.

BAB IV

PERENCANAAN TENAGA KERJA DAN


INFORMASI KETENAGAKERJAAN

Pasal 7

(1) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan


dan menyusun perencanaan tenaga kerja.
(2) Perencanaan tenaga kerja meliputi :
a. perencanaan tenaga kerja makro; dan
b. perencanaan tenaga kerja mikro.
(3) Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan
ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada
perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 8

(1) Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang antara lain
meliputi :
a. penduduk dan tenaga kerja;
b. kesempatan kerja;
c. pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja;
d. produktivitas tenaga kerja;
e. hubungan industrial;
f. kondisi lingkungan kerja;
g. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan
h. jaminan sosial tenaga kerja.
(2) Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperoleh dari
semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta.
(3) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan
penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V

PELATIHAN KERJA
Pasal 9

Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali,


meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan
kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan.

Pasal 10

(1) Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan
dunia usaha, baik di da-lam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu
pada standar kompetensi kerja.
(3) Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 11

Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau


mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya melalui pelatihan kerja.

Pasal 12

(1) Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan


kompetensi pekerjanya melalui pelatihan kerja.
(2) Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan
yang diatur dengan Keputusan Menteri.
(3) Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti
pelatihan kerja sesuai dengan bi-dang tugasnya.

Pasal 13

(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah


dan/atau lembaga pelatihan kerja swasta.
(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja.
(3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dalam menyelenggarakan pe-latihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta.

Pasal 14

(1) Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan hukum Indonesia atau
perorangan.
(2) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
memperoleh izin atau men daftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
(3) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah mendaftarkan
kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
kabupaten/kota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 15
Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan :
a. tersedianya tenaga kepelatihan;
b. adanya kurikulum yang sesuai dengan
tingkat pelatihan; c. tersedianya sarana
dan prasarana pelatihan kerja; dan
c. tersedianya dana bagi kelangsungan
kegiatan penyelenggaraan pelatihan kerja.

Pasal 16

(1) Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh izin dan lembaga
pelatihan kerja pemerintah yang telah terdaftar dapat memperoleh
akreditasi dari lembaga akreditasi.
(2) Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat
independen terdiri atas unsur masya rakat dan pemerintah ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
(3) Organisasi dan tata kerja lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur dengan Kepu tusan Menteri.
Pasal 17

(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di


kabupaten/kota dapat menghentikan seme ntara pelaksanaan
penyelenggaraan pelatihan kerja, apabila dalam pelaksanaannya ternyata :
a. tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;
dan/atau
b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disertai alasan dan saran perbaikan dan
berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
(3) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja hanya
dikenakan terhadap program pelatihan yang tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 15.
(4) Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam) bulan tidak
memenuhi dan melengkapi saran per baikan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dikenakan sanksi penghentian program pelatihan.
(5) Penyelenggara pelatihan kerja yang tidak menaati dan tetap melaksanakan
program pelatihan kerja yang telah dihentikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4) dikenakan sanksi pencabutan izin dan pembatalan pendaftaran
penyelenggara pelatihan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara penghentian sementara, penghentian, pencabutan
izin, dan pembatalan pen daftaran diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 18

(1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti
pelatihan kerja yang di selenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah,
lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja.
(2) Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
melalui sertifikasi kompe tensi kerja
(3) Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat pula
diikuti oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman.
(4) Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional
sertifikasi profesi yang inde penden.
(5) Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19
Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan
memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang
cacat yang bersangkutan.

Pasal 20

(1) Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka pembangunan


ketenagakerjaan, dikembang kan satu sistem pelatihan kerja nasional yang
merupakan acuan pelaksanaan pelatihan kerja di semua bidang dan/atau
sektor.
(2) Ketentuan mengenai bentuk, mekanisme, dan kelembagaan sistem pelatihan
kerja nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 21

Pelatihan kerja dapat diselenggarakan dengan sistem pemagangan.

Pasal 22

(1) Pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara peserta


dengan pengusaha yang di buat secara tertulis.
(2) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-
kurangnya memuat ketentuan hak dan kewajiban peserta dan pengusaha serta
jangka waktu pemagangan.
(3) Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian pemagangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dianggap tidak sah dan status peserta
berubah menjadi pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 23

Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan
kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.

Pasal 24

Pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di tempat


penyelenggaraan pelatihan kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun
di luar wilayah Indonesia.

Pasal 25

(1) Pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia wajib mendapat izin
dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara
pemagangan harus ber bentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara perizinan pemagangan di luar wilayah
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan
Keputusan Menteri.

Pasal 26

(1) Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah Indonesia harus memperhatikan :


a. harkat dan martabat bangsa Indonesia;
b. penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan
c. perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan, termasuk melaksanakan
ibadahnya.
(2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan pelaksanaan pemagangan
di luar wilayah Indo nesia apabila di dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 27

(1) Menteri dapat mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi persyaratan untuk
melaksanakan program pemagangan.
(2) Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri
harus memperhatikan ke pentingan perusahaan, masyarakat, dan negara.

Pasal 28
(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan
serta melakukan koordinasi pela tihan kerja dan pemagangan dibentuk
lembaga koordinasi pelatihan kerja nasional.
(2) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga koordinasi pelatihan
kerja sebagaimana dimaksud da lam ayat (1), diatur dengan Keputusan
Presiden.
Pasal 29

(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan


pelatihan kerja dan pemagangan.
(2) Pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan ditujukan ke arah peningkatan
relevansi, kualitas, dan efisien si penyelenggaraan pelatihan kerja dan
produktivitas.
(3) Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
dilakukan melalui pengembangan buda ya produktif, etos kerja, teknologi,
dan efisiensi kegiatan ekonomi, menuju terwujudnya produktivitas
nasional.
Pasal 30

(1) Untuk meningkatkan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29


ayat (2) dibentuk lembaga pro duktivitas yang bersifat nasional.
(2) Lembaga produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berbentuk
jejaring kelembagaan pelayanan peningkatan produktivitas, yang bersifat
lintas sektor maupun daerah.
(3) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga produktivitas nasional
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.

BAB VI

PENEMPATAN TENAGA KERJA

Pasal 31

Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih,
mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di
dalam atau di luar negeri.

Pasal 32

(1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif,
serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
(2) Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan
yang tepat sesuai de ngan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan
dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.
(3) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan
kesempatan kerja dan penye diaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program
nasional dan daerah.
Pasal 33

Penempatan tenaga kerja terdiri dari :

a. penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan

b. penempatan tenaga kerja di luar negeri.

Pasal 34

Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang.
Pasal 35

(1) Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri
tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan
tenaga kerja.
(2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib memberikan perlindu ngan sejak rekrutmen sampai
penempatan tenaga kerja
(3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam
mempekerjakan tenaga kerja wajib memberi kan perlindungan yang
mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental
maupun fisik tenaga kerja.
Pasal 36

(1) Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 35 ayat (1) dilakukan dengan memberikan pelayanan penempatan
tenaga kerja.
(2) Pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) bersifat terpadu dalam satu sistem penempatan tenaga kerja yang
meliputi unsur-unsur :
a. pencari kerja;
b. lowongan pekerjaan;
c. informasi pasar kerja;
d. mekanisme antar kerja; dan
e. kelembagaan penempatan tenaga kerja.
(3) Unsur-unsur sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dapat dilaksanakan secara terpisah yang ditujukan untuk
terwujudnya penempatan tenaga kerja
Pasal 37

(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat
(1) terdiri dari :
a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenaga-kerjaan; dan
b. lembaga swasta berbadan hukum.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf b dalam melak sanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib
memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 38

(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37


ayat (1) huruf a, dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung
maupun tidak langsung, sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan
pengguna tenaga kerja.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (1) huruf b, hanya dapat memungut biaya penempatan tenaga
kerja dari pengguna tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan
jabatan tertentu.
(3) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.

BAB VII

PERLUASAN KESEMPATAN KERJA

Pasal 39

(1) Pemerintah bertanggung jawab mengupayakan perluasan kesempatan


kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengupayakan perluasan
kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(3) Semua kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di setiap sektor
diarahkan untuk mewujudkan per luasan kesempatan kerja baik di
dalam maupun di luar hubungan kerja.
(4) Lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan, dan dunia
usaha perlu membantu dan mem berikan kemudahan bagi setiap
kegiatan masyarakat yang dapat menciptakan atau mengembangkan
perluasan kesempatan kerja.

Pasal 40

(1) Perluasan kesempatan kerja di luar hubungan kerja dilakukan melalui penciptaan
kegiatan yang produktif dan berkelanjutan dengan mendayagunakan potensi
sumber daya alam, sumber daya manusia dan teknologi tepat guna.
(2) Penciptaan perluasan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan pola pembentukan dan pembinaan tenaga kerja mandiri,
penerapan sistem padat karya, penerapan teknologi tepat guna, dan pendayagunaan
tenaga kerja sukarela atau pola lain yang dapat mendorong terciptanya perluasan
kesempatan kerja.

Pasal 41

(1) Pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan perluasan kesempatan


kerja.
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasi pelaksanaan kebijakan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dibentuk
badan koordinasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai perluasan kesempatan kerja, dan pembentukan badan
koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3) dalam
pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII

PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING

Pasal 42

(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki
izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja
asing.
(3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku
bagi perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing
sebagai pegawai diplomatik dan konsuler.
(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan
kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.
(5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya
habis dan tidak dapat di perpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing
lainnya.
Pasal 43

(1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana
penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.
(2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya me muat keterangan :
a. alasan penggunaan tenaga kerja asing;
b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi
perusahaan yang bersangkutan;
c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan
d. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga
kerja asing yang dipekerjakan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi
pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing
diatur dengan Keputu san Menteri.
Pasal 44

(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar
kompetensi yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 45

(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib :


a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping
tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian
dari tenaga kerja asing; dan
b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia
sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan
yang diduduki oleh tenaga kerja asing.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga
kerja asing yang menduduki ja batan direksi dan/atau komisaris.

Pasal 46

(1) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia
dan/atau jabatan-jabatan ter tentu.
(2) Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Keputusan Menteri
Pasal 47

(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang
dipekerjakannya.
(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku
bagi instansi pe merintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional,
lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga
pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
(4) Ketentuan mengenai besarnya kompensasi dan penggunaannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 48

Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan tenaga
kerja asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.

Pasal 49

Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta pelaksanaan


pendidikan dan pelatihan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan
Presiden.

BAB IX

HUBUNGAN KERJA

Pasal 50

Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan
pekerja/buruh.

Pasal 51

(1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.


(2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang undangan yang berlaku.

Pasal 52

(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar :


a.kesepakatan kedua belah pihak;
b.kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c.adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d.pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
(3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.

Pasal 53

Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan


perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.

Pasal 54

(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat :
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e
dan f, tidak boleh ber-tentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja
bersama, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang kurangnya
rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh
dan pengusaha masing masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.
Pasal 55

Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para
pihak.

Pasal 56

(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didasarkan atas :
a. jangka waktu; atau
b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.

Pasal 57

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus
menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan
dengan ketentuan sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai
perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
(3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing,
apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang
berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

Pasal 58

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa
percobaan kerja.
(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi
hukum.

Pasal 59

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu
yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam
waktu tertentu, yaitu :
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat
diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali
untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut,
paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah
memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi
masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu
yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1
(satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum
menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.

Pasal 60

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan
kerja paling lama 3 (tiga) bulan.
(2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha
dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku
Pasal 61

(1) Perjanjian kerja berakhir apabila :


a. pekerja meninggal dunia;
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
atau
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja.
(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau
beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan,
atau hibah.
(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh
menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam
perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.
(4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris
pengusaha dapat mengakhiri per-janjian kerja setelah merundingkan
dengan pekerja/buruh.
(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/ buruh
berhak mendapatkan hak haknya se-suai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku atau hak hak yang telah diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 62

Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu
yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja
bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang
mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar
upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Pasal 63

(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan,
maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh
yang bersangkutan.
(2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang
kurangnya memuat keterangan :
a. nama dan alamat pekerja/buruh;
b. tanggal mulai bekerja;
c. jenis pekerjaan; dan
d. besarnya upah.

Pasal 64

Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan


lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa
pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis

Pasal 65

(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain


dilaksanakan melalui perjanjian pem borongan pekerjaan yang dibuat secara
tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain
sebagaimana dimak-sud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan
pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas
perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu
apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak
terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan
perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh
dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (7).
Pasal 66

(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan
oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi.
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang
tidak berhubungan lang-sung dengan proses produksi harus memenuhi syarat
sebagai berikut :
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana
dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu
yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara
tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan
yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain
yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara
tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan
memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a,
huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan pemberi pekerjaan.

BAB X
PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN

BAGIAN KESATU PERLINDUNGAN

PARAGRAF 1
PENYANDANG CACAT

Pasal 67

(1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan
perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

(2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

PARAGRAF 2

ANAK

Pasal 68

Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.


Pasal 69

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang
berumurantara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk
melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan
fisik, mental, dan sosial.

(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagai-mana dimaksud
dalamayat (1) ha-rus memenuhi persyaratan :
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g dikecualikan bagi
anak yangbekerja pada usaha keluarganya.

Pasal 70

(1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum
pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.

(2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas)
tahun.

(3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat :

a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan
pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan

b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Pasal 71

(1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.

(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
memenuhisyarat :
a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial,
dan waktusekolah.

(3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat
sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 72

Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja
anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.

Pasal 73

Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

Pasal 74

(1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang
terburuk.

(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi :

a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;

b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk


pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;

c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk


produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya; dan/atau

d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.

(3) Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak
sebagaimana di-maksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 75

(1) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar
hubungankerja.
(2) Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
PeraturanPemerintah.

PARAGRAF 3
PEREMPUAN

Pasal 76

(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun
dilarangdipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.

(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut


keterangandokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun
dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.

(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai
denganpukul 07.00 wajib :
a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.

(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan
yangberangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan
Menteri.

PARAGRAF 4
WAKTU KERJA

Pasal 77

(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.

(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :

a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam)
hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau

b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5
(lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi sektor
usahaatau peker-jaan tertentu.

(4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu
sebagaimanadimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 78

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat :

a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan

b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu)
hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana


dimaksuddalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.

(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b tidak
berlaku bagisektor usaha atau pekerjaan tertentu.

(4) Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana dimaksud
dalamayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 79

(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi :
a. istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama
4(empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau
2(dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;

c. cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh
yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan

d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun


ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah
bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama
dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya
dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa
kerja 6 (enam) tahun.

(3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur
dalamperjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya berlaku
bagipekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.

(5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Keputusan
Menteri.

Pasal 80

Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/ buruh untuk
melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.

Pasal 81

(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan
kepadapengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian
kerja,peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 82

(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan
sebelumsaatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan
menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.

(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh


istirahat1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan
atau bidan.

Pasal 83

Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya
untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Pasal 84

Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh.

Pasal 85

(1) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.

(2) Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi
apabilajenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus-
menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan
pengusaha.

(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur
resmisebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib membayar upah kerja lembur.

(4) Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diaturdengan Keputusan Menteri.

Paragraf 5

Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Pasal 86

(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :

a. keselamatan dan kesehatan kerja;

b. moral dan kesusilaan; dan

c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.

(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang
optimaldiselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.

(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai
denganperaturan perundang- undangan yang berlaku.

Pasal 87

(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
yangterintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
(2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan
kerjasebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAGIAN KEDUA PENGUPAHAN.

Pasal 88

(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang
layakbagi kemanusiaan.

(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaansebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan
pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.

(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam


ayat (2) meliputi :

a. upah minimum;

b. upah kerja lembur;

c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;

d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;

e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;

f. bentuk dan cara pembayaran upah;

g. denda dan potongan upah;

h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;

i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;

j. upah untuk pembayaran pesangon; dan

k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a
berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan mem-perhatikan produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi.
Pasal 89

(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri
atas :

a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;

b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.

(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian
kebutuhanhidup layak.

(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur
denganmemperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau
Bupati/Walikota.

(4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak


sebagaimanadimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 90

(1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana
dimaksuddalam Pasal 89.

(2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud
dalamPasal 89 dapat dilakukan penangguhan.

(3) Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan
Menteri.

Pasal 91

(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan
pekerja/buruhatau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan
pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau
bertentangandengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi
hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 92

(1) Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan,
masakerja, pendidikan, dan kompetensi.

(2) Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan mem-perhatikan


kemampuanperusahaan dan produktivitas.

(3) Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diaturdengan Keputusan Menteri.

Pasal 93

(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib
membayarupah apabila :

a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya
sehingga tidakdapat melakukan pekerjaan;

c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan,


mengkhitankan,membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan,
suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota
keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;

d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan


kewajibanterhadap negara;

e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalan-kan ibadah


yangdiperintahkan agamanya;

f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha


tidakmempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang
seharusnya dapat dihindari pengusaha;

g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;

h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan


pengusaha;dan

i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.


(3) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf a sebagai berikut :

a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah;

b. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah;

c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah; dan

d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah sebelum
pemutusanhubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.

(1) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut :

a. pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;

b. menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;

c. mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari

d. membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;

e. isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;

f. suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia,

g. anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 (satu)
hari.

(2) Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 94

Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah
pokok sedikit-dikitnya 75 % (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan
tunjangan tetap.

Pasal 95

(1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya
dapatdikenakan denda.

(2) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan


keterlambatanpembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari
upah pekerja/buruh.
(3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh,
dalampembayaran upah.

(4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan
perundangundangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh
merupakan utang yang didahulukan pem-bayarannya.

Pasal 96

Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan
kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya
hak.

Pasal 97

Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup layak,
dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, penetapan upah
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dan pengenaan denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 98

(1) Untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan yang
akanditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem pengupahan nasional
dibentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.

(2) Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari
unsurpemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/-serikat buruh, perguruan tinggi,
dan pakar.

(3) Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden,sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten/Kota diangkat
dan diberhentikan oleh Gubenur/ Bupati/Walikota.

(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara
pengangkatandan pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja Dewan
Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan
Presiden.
BAGIAN KETIGA

KESEJAHTERAAN

Pasal 99

(1) Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga
kerja.

(2) Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai
denganperaturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 100

(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha


wajibmenyediakan fasilitas kesejahteraan.

(2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilak?
sanakandengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan
perusa?haan.

(3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan
kebutuhanpekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 101

(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, dibentuk koperasi pekerja/buruh dan


usahausaha produktif di perusahaan.

(2) Pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh


berupayamenumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan usaha
produktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3) Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai
denganperaturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh sebagaimana


dimaksuddalam ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI

HUBUNGAN INDUSTRIAL

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 102

(1) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan


kebijakan,memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan
penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

(2) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat


buruhnyamempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya,
menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis,
mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan
memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.

(3) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi pengusahanya


mempunyaifungsi menciptakan kemitraan, mengembang-kan usaha, memperluas
lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis,
dan berkeadilan.

Pasal 103
Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana :
a. serikat pekerja/serikat buruh;
b. organisasi pengusaha;

c. lembaga kerja sama bipartit;

d. embaga kerja sama tripartit;

e. peraturan perusahaan;

f. perjanjian kerja bersama;

g. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan

h. lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.


BAGIAN KEDUA
SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

Pasal 104

(1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh.

(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, serikat
pekerja/serikatburuh ber-hak menghimpun dan mengelola keuangan serta
mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok.

(3) Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diaturdalam ang-garan dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat
buruh yang bersangkutan.

BAGIAN KETIGA
ORGANISASI PENGUSAHA

Pasal 105

(1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha.

(2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan perundang-
undanganyang ber-laku.

BAGIAN KEEMPAT
LEMBAGA KERJA SAMA BIPARTIT

Pasal 106

(1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/ buruh atau lebih
wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit.

(2) Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi sebagai
forumkomunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan.

(3) Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
terdiridari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh
secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan.

(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga kerja
samabipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan
Menteri.

BAGIAN KELIMA
LEMBAGA KERJA SAMA TRIPARTIT

Pasal 107

(1) Lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada
pemerintahdan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah
ketenagakerjaan.

(2) Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari :
a. Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota; dan
b. Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.

(3) Keanggotaan Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari unsur pemerintah, organisasi
pengusaha,dan seri-kat pekerja/serikat buruh.

(4) Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud
dalamayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAGIAN KEENAM
PERATURAN PERUSAHAAN

Pasal 108

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang


wajibmembuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri
atau pejabat yang ditunjuk.

(2) Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berlakubagi peru-sahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama.
Pasal 109

Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang
bersangkutan.

Pasal 110

(1) Peraturan perusahaan disusun dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari
wakilpekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.

(2) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh
makawakil pe-kerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pengurus serikat
pekerja/serikat buruh.

(3) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja/serikat
buruh, wakilpekerja/ buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pekerja/buruh
yang dipilih secara demokratis untuk mewakili kepentingan para pekerja/buruh di
perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 111

(1) Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat :


a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban pekerja/buruh;
c. syarat kerja;
d. tata tertib perusahaan; dan
e. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.

(2) Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
peraturanperundang undangan yang berlaku.

(3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui
setelahhabis masa berlakunya.

(4) Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat pekerja/ serikat buruh
diperusahaan meng hendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama, maka
pengusaha wajib melayani.
(5) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud
dalam ayat(4) tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan tetap berlaku
sampai habis jangka waktu berlakunya.

Pasal 112

(1) Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk
sebagaimanadimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) harus sudah diberikan dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan diterima.

(2) Apabila peraturan perusahaan telah sesuai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 111 ayat
(1) danayat (2), maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sudah terlampaui dan peraturan perusahaan belum disahkan oleh Menteri atau
pejabat yang ditunjuk, maka peraturan perusahaan dianggap telah mendapatkan
pengesahan.

(3) Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalamPasal 111 ayat (1) dan ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk harus
memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan peraturan
perusahaan.

(4) Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan
diterima olehpengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pengusaha wajib
menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah diperbaiki kepada Menteri atau
pejabat yang ditunjuk.

Pasal 113

(1) Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya
dapatdilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh.

(2) Peraturan perusahaan hasil perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
mendapatpengesa-han dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 114

Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan
perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh.
Pasal 115

Ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur dengan
Keputusan Menteri.

BAGIAN KETUJUH
PERJANJIAN KERJA BERSAMA

Pasal 116

(1) Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa
serikatpekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.

(2) Penyusunan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
secaramusya-warah.

(3) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuat secara
tertulisdengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia.

(4) Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat tidak menggunakan bahasa
Indonesia,maka per-janjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia oleh penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut dianggap sudah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

Pasal 117

Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai
kesepakatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.

Pasal 118

Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang berlaku
bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan.
Pasal 119

(1) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh, maka
serikatpekerja/seri-kat buruh tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam perundingan
pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha apabila memiliki jumlah anggota
lebih dari 50%(lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan
yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh
sebagaimanadimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50%
(lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan maka serikat
pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan dengan
pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat
dukungan lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di
perusahaan melalui pemungutan suara.
(3) Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai maka
serikatpekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan
untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha setelah melampaui
jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan suara dengan
mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

Pasal 120

(1)Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh
maka yangberhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha
yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah
pekerja/buruh di perusahaan tersebut.

(2)Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, maka
serikatpekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari
50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut
untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.

(3)Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi,
makapara seri-kat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya
ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat
pekerja/serikat buruh.
Pasal 121

Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal
120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota.

Pasal 122

Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan oleh
panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh
yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan
pengusaha.

Pasal 123

(1)Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun.

(2)Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang
masaberlakunya pa-ling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara
pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh.

(3)Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai paling cepat 3
(tiga) bulan se-belum berakhirnya perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.

(4)Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak mencapai
kesepakatan makaperjan-jian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku untuk
paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 124

(1)Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat :


a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
c. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan
d. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.

(2)Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku.
(3)Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yangberlaku sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka ketentuan yang
bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan.

Pasal 125

Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja bersama, maka
perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kerja bersama
yang sedang berlaku.

Pasal 126

(1)Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan


ketentuan yangada da-lam perjanjian kerja bersama.

(2)Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi perjanjian kerja
bersamaatau peru-bahannya kepada seluruh pekerja/ buruh.

(3)Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja bersama kepada
setiappekerja/ buruh atas biaya perusahaan.

Pasal 127

(1)Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh bertentangan
denganperjanjian kerja bersama.

(2)Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bertentangandengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian kerja
tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam perjanjian kerja
bersama.

Pasal 128

Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja
bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama.
Pasal 129

(1)Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama dengan peraturan perusahaan,


selama diperusa-haan yang bersangkutan masih ada serikat pekerja/serikat buruh.

(2)Dalam hal di perusahaan tidak ada lagi serikat pekerja/serikat buruh dan perjanjian kerja
bersamadiganti dengan peraturan perusahaan, maka ketentuan yang ada dalam peraturan
perusahaan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja
bersama.

Pasal 130

(1)Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang ataudiper-baharui dan di perusahaan tersebut hanya terdapat 1 (satu) serikat
pekerja/serikat buruh,maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja
bersama tidak mensyaratkan ketentuan dalam Pasal 119.

(2)Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang ataudiper-baharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu)
serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang dulu berunding tidak
lagi memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan
pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang
anggotanya lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di
perusahaan bersama-sama dengan serikat pekerja/serikat buruh yang membuat perjanjian
kerja bersama terdahulu dengan membentuk tim perunding secara proporsional.

(3)Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang ataudiper-baharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu)
serikat pekerja/ serikat buruh dan tidak satupun serikat pekerja/serikat buruh yang ada
memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan
pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan menurut ketentuan Pasal 120 ayat (2)
dan ayat (3).

Pasal 131

(1)Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat buruh atau pengalihan


kepemilikanperusahaan maka perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai berakhirnya
jangka waktu perjanjian kerja bersama.
(2)Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-masing
perusahaanmempunyai perjan-jian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama yang
berlaku adalah perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan pekerja/buruh.

(3)Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara perusahaan yang


mempunyaiperjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang belum mempunyai
perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi perusahaan
yang bergabung (merger) sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja
bersama.

Pasal 132

(1)Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada hari penandatanganan kecuali ditentukan lain
dalamperjanjian kerja bersama tersebut.

(2)Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak yang membuat perjanjian kerja
bersamaselan-jutnya didaftarkan oleh pengusaha pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan.

Pasal 133

Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan
pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 134

Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha, pemerintah
wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.

Pasal 135

Pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam mewujudkan hubungan


industrial merupakan tanggung jawab pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah.
Bagian Kedelapan
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

PARAGRAF 1
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Pasal 136

(1)Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan


pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat.

(2)Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam
ayat(1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat
buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang.

PARAGRAF 2
MOGOK KERJA

Pasal 137

Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan
secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.

Pasal 138

(1)Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak


pekerja/buruhlain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan
dengan tidak melanggar hukum.

(2)Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat
memenuhiatau tidak memenuhi ajakan tersebut.

Pasal 139

Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani
kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatan-nya membahayakan keselamatan
jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau
membahayakan keselamatan orang lain.
Pasal 140

(1)Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja


dilaksanakan,pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan
secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat.

(2)Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :

a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b. tempat mogok kerja;
c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris
serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.

(3)Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota
serikatpekerja/ serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau
penanggung jawab mogok kerja.

(4)Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka
demimenyelamat kan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil
tindakan sementara dengan cara :
a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses
produksi;atau
b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi
perusahaan.

Pasal 141

(1)Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan mogok
kerjasebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda terima.

(2)Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di
bidangketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya
pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang
berselisih.
(3)Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan kesepakatan,
makaharus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan
pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.

(4)Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan
kesepakatan,maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja
kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang.

(5)Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam


ayat (4),maka atas dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat
buruh atau penanggung jawab mogok kerja, mogok kerja dapat diteruskan atau dihentikan
untuk sementara atau dihentikan sama sekali.

Pasal 142

(1)Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 139 dan Pa-sal 140 adalah mogok kerja tidak sah.

(2)Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
akan diaturdengan Keputusan Menteri.

Pasal 143

(1)Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh


untukmengguna kan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai.

(2)Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh


danpengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib,
dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 144

Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 140, pengusaha dilarang :

a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar
perusahaan; atau
b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan
pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.

Pasal 145

Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan
hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak
mendapatkan upah.

PARAGRAF 3
PENUTUPAN PERUSAHAAN (LOCK-OUT)

Pasal 146

(1)Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak
pekerja/buruhsebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat
gagalnya perundingan.

(2)Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai


tindakanbalasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat
pekerja/serikat buruh.

(3)Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan ketentuan
hukum yangberlaku.

Pasal 147

Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang


melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan jiwa
manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali
telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas bumi, serta kereta
api.

Pasal 148

(1)Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau


serikatpekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum penutupan
perusahaan (lock out) dilaksanakan.

(2)Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :


a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan (lock out);
dan
b. alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out).

(3)Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh pengusaha


dan/ataupimpinan perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 149

(1)Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang bertanggung jawab di
bidangketenaga-kerjaan yang menerima secara langsung surat pemberitahuan penutupan
perusahaan (lock out) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 harus memberikan tanda
bukti penerimaan dengan mencantumkan hari, tanggal, dan jam penerimaan.

(2)Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out) berlangsung, instansi yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan
masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lock out) dengan
mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.

(3)Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan kesepakatan,
makaharus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai
dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.

(4)Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan
kesepakatan,maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya penutupan
perusahaan (lock out) kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

(5)Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat


(4),maka atas dasar perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh,
penutupan perusahaan (lock out) dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau
dihentikan sama sekali.

(6)Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) dan ayat (2) tidak
diperlukanapabila :
a. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140;

b. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan normatif yang


ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama,
atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XII
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

Pasal 150

Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan
hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik
negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Pasal 151

(1)Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala


upayaharus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.

(2)Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat
dihindari,maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha
dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

(3)Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak
menghasilkanpersetu-juan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan
pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.

Pasal 152

(1)Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada


lembagapenyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi
dasarnya.
(2)Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh
lembagapenyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundangkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).

(3)Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh
lembagapenyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk
memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak
menghasilkan kesepakatan.

Pasal 153

(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :


a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter
selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban
terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui
bayinya;\pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan
dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
f. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat
buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama;
g. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai
perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
h. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis
kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
i. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit
karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu
penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh
yang bersangkutan.

Pasal 154

Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal :

a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan


secara tertulis sebelumnya;
b. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan
sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya
hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan;
atau
d. pekerja/buruh meninggal dunia.

Pasal 155

(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151
ayat (3) batal demi hukum.
(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum
ditetapkan, baikpengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala
kewajibannya.
(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalamayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam
proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak
lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

Pasal 156

(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang
pesangondan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang
seharusnya diterima.
(2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit
sebagai berikut :
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua)
bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga)
bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4
(empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5
(lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6
(enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7
(tujuh) bulan upah.
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8
(delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan sebagai be-rikut :
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua)
bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3
(tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas)
tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas)
tahun, 5(lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan
belas) tahun, 6(enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh
satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua
puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) meliputi :
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana
pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima
belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi
yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
(5) Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan
uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 157

(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda,
terdiri atas :
a. upah pokok;
b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada
pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang
diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus
dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara
harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.

(2)Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian,


makapenghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari.

(3)Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan


hasil,potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan
pendapatan ratarata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak
boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota.

(4)Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada
upahborongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas)
bulan terakhir.
Pasal 158

(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan
pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik
perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan
perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau
mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau
pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya
barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam
keadaan bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan
kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

(2)Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti
sebagaiberikut :
a. pekerja/buruh tertangkap tangan;
b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di
perusahaan yangbersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang
saksi.

(3)Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana


dimaksuddalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 156 ayat (4).
(4)Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya
tidakmewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak
sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan
pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama.

Pasal 159

Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 160

(1)Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak
pidanabukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib membayar upah
tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi
tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut :
a. untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;
b. untuk 2 (dua) orang tanggungan : 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah;
d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih : 50% (lima puluh perseratus) dari upah.

(2)Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam)
bulantakwin ter-hitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang
berwajib.

(3)Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang


setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena
dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(4)Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan
sebagaimanadimaksud dalam ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak
bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.

(5)Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir
danpekerja/ buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6)Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5) dilakukan
tanpapenetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

(7)Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan


kerjasebagai-mana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5), uang penghargaan masa kerja 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam
Pasal 156 ayat (4).

Pasal 161

(1)Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian
kerja,peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan
surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.

(2)Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk
paling lama6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

(3)Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan


sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pasal 162

(1)Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang


penggantian haksesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

(2)Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan
fungsinya tidakme-wakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya
dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.

(3)Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
memenuhisyarat :

a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga


puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

(4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri
dilakukan tanpa pene-tapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 163

(1)Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal
terjadiperu-bahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan
perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).

(2)Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh


karenaperubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak
bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang
pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).

Pasal 164

(1)Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh


karenaperusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus
menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat
(2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

(2)Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan
laporankeuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.

(3)Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh


karenaperusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut
atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan
efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pasal 165

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/ buruh karena
perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pasal 166

Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli
warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2
(dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan
masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (4).

Pasal 167

(1)Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh


karenamemasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh
pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh
tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

(2)Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam
programpensiun se-bagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil daripada
jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan
masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.

(3)Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun


yangiurannya/premi-nya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang
diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar
oleh pengusaha.
(4)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur lain
dalamperjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(5)Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami


pemutusanhubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha
wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3)
dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

(6)Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3),
danayat (4) ti-dak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang bersifat
wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 168

(1)Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa
keterangansecara ter tulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh
pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena
dikualifikasikan mengundurkan diri.

(2)Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harusdiserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja.

(3)Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh


yangbersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 169

(1) Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan
sebagai berikut :
a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga)
bulan berturut-turut atau lebih;
d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh;
e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang
diperjanjikan; atau
f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan
kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada
perjanjian kerja.

(2)Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
pekerja/buruhberhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2),
uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

(3)Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud


dalam ayat(1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial maka
pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak
berhak atas uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penghargaan
masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3).

Pasal 170

Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi keten-tuan Pasal 151 ayat (3) dan
Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi
hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta
membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.

Pasal 171

Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga


penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan
tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh dapat
mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu
paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.

Pasal 172

Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan


kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan
dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156
ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4).

BAB XIII
PEMBINAAN

Pasal 173

(1)Pemerintah melakukan pembinaan terhadap unsur-unsur dan kegiatan yang berhubungan


denganketena-gakerjaan.

(2)Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mengikut-sertakan


organisasipengusaha, seri-kat pekerja/serikat buruh, dan organisasi profesi terkait.

(3)Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat (2), dilaksanakan secara
terpadudan terko-ordinasi.

Pasal 174

Dalam rangka pembinaan ketenagakerjaan, pemerintah, organisasi peng-usaha, serikat


pekerja/serikat buruh dan organisasi profesi terkait dapat melakukan kerja sama internasional
di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 175

(1)Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang telah
berjasadalam pem-binaan ketenagakerjaan.

(2)Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk
piagam, uang,dan/atau bentuk lainnya.
BAB XIV
PENGAWASAN

Pasal 176

Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenaga-kerjaan yang


mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan
perundangundangan ketenagakerjaan.

Pasal 177

Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ditetapkan oleh
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 178

(1)Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang
lingkuptugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.

(2)Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur


denganKeputu-san Presiden.

Pasal 179

(1)Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178


padapemerintah provin-si dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan
pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri.

(2)Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Men-teri.

Pasal 180

Ketentuan mengenai persyaratan penunjukan, hak dan kewajiban, serta wewenang pegawai
pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 181

Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya sebagai-mana dimaksud


dalam Pasal 176 wajib :
a. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan;
b. tidak menyalahgunakan kewenangannya.

BAB XV
PENYIDIKAN

Pasal 182

(1)Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai
pengawasketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai
negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2)Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak


pidana di bidang ketenaga-kerjaan;

b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di


bidang ketenagakerjaan;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan
dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;

d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan;

e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan;

f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan; dan

g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan


tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.

(3) Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XVI
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF

BAGIAN PERTAMA
KETENTUAN PIDANA

Pasal 183

(1)Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan
sanksipidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pasal 184

(1)Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5),
dikenakansanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pasal 185

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan
Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pasal 186

(1)Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan
ayat (3),Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana
penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda
paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

(2)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.

Pasal 187

(1)Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal
44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat
(2), Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi
pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.

Pasal 188

(1)Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal
38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3),
Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00
(lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(2)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.

Pasal 189

Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha
membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau pekerja/buruh.

BAGIAN KEDUA
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 190
(1)Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran
ketentuanketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 15, Pasal 25, Pasal
38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal 87, Pasal 106, Pasal 126
ayat (3), dan Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang ini serta peraturan
pelaksanaannya.

(2)Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa :


a. teguran;
b. peringatan tertulis;
c. pembatasan kegiatan usaha;

d. pembekuan kegiatan usaha;


e. pembatalan persetujuan;
f. pembatalan pendaftaran;
g. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi;
h. pencabutan ijin.

(3)Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.

BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 191

Semua peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang undang
ini.

BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 192

Pada saat mulai berlakunya Undang undang ini, maka :


1. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar
Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8);

2. Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak Dan
Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);

3. Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak anak Dan Orang Muda Di Atas
Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);

4. Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan kegiatan
Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);

5. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari Luar
Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);

6. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak anak (Staatsblad Tahun
1949 Nomor 8);

7. Undang undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang undang
Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);
8. Undang undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara Serikat
Buruh Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 598a);
9. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran
Negara Tahun 1958 Nomor 8 );

10. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran Negara
Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);
11. Undang undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau
Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital (Lembaran Negara
Tahun 1963 Nomor 67);

12. Undang undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Mengenai
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2912);

13. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara


Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);
14. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor
184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791);
15. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun
1997 tentang Ketenaga-kerjaan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 2000
Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042), dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 193

Undang undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 25 Maret 2003

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 25 Maret 2003

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 3


UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1970

TENTANG

KESELAMATAN KERDJA

DENGAN RAHMAT TUHAN JANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa setiap tenaga kerdja berhak mendapat


perlindungan atas keselamatannja dalam melakukan
pekerdjaan untuk kesedjahteraan dan meningkatkan
produksi serta produktivitas Nasional;
b. bahwa setiap orang lainnja jang berada di tempat
kerdja perlu terdjamin pula keselamatannja;
c. bahwa setiap sumber produksi perlu dipakai dan
dipergunakan setjara aman dan effisien;
d. bahwa berhubung dengan itu perlu diadakan segala
daja-upaja untuk Membina norma-norma
perlindungan kerdja;
e. bahwa pembinaan norma-norma itu perlu
diwudjudkan dalam Undang-undang jang memuat
ketentuan-ketentuan umum tentang keselamatan
kerdja jang sesuai dengan perkembangan masjarakat,
industrialisasi, teknik dan teknologi;
Mengingat : 1. Pasal-pasal 5, 20, dan 27 Undang-undang Dasar 1945

2. Pasal-pasal 9 dan 10 Undang-undang No. 14 Tahun

1969 tentangKetentuan-ketentuan Pokok mengenai

Tenaga Kerdja (Lembaran Negara Republik Indonesia


Tahun 1969 No. 55, Tambahan Lembaran Negara No.
2912);

Dengan persetudjuan Dewan Perwakilan Rakjat Gotong-


Rojong;

MEMUTUSKAN:

1. Mentjabut : Veiligheidsreglement tahun 1910 (Stbl. No. 406);

2. Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KESELAMATAN KERDJA.

BAB I

TENTANG ISTILAH-ISTILAH

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini jang dimaksudkan dengan :

(1) ”tempat kerdja” ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka,
bergerak atau tetap, dimana tenaga kerdja bekerdja, atau jang sering dimasuki
tenaga kerdja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau
sumber-sumber bahaja sebagaimana diperintji dalam pasal 2;
termasuk tempat kerdja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan
sekelilingnja jang merupakan bagian-bagian atau jang berhubungan dengan
tempat kerdja tersebut;
(2) ”pengurus” ialah orang jang mempunjai tugas memimpin langsung sesuatu
tempat kerdja atau bagiannja jang berdiri sendiri;
(3) ”pengusaha” ialah :
a. orang atau badan hukum jang mendjalankan sesuatu usaha milik
sendiri dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerdja;
b. orang atau badan hukum jang setjara berdiri sendiri mendjalankan
sesuatu usaha bukanmiliknja dan untuk keperluan itu mempergunakan
tempat kerdja;
c. orang atau badan hukum jang di Indonesia mewakili orang atau badan
hukum termaksud pada (a) dan (b), djikalau jang diwakili
berkedudukan diluar Indonesia.

(4) ”direktur” ialah pedjabat jang ditundjuk oleh Menteri Tenaga Kerdja untuk
melaksanakan Undang-undang ini;
(5) ”pegawai pengawas” ialah pegawai technis berkeachlian chusus dari
Departemen Tenaga Kerdja jang ditundjuk oleh Menteri Tenaga Kerdja;
(6) ”Ahli keselamatan kerdja” ialah tenaga technis berkeachlian chusus dari luar
Departemen Tenaga Kerdja jang ditundjuk oleh Menteri Tenaga Kerdja untuk
mengawasi ditaatinja Undang-undang ini.

BAB II

RUANG LINGKUP

Pasal 2
(1) Yang diatur oleh Undang-undang ini ialah keselamatan kerdja dalam segala
tempat kerdja, baik didarat, didalam tanah, dipermukaan air, didalam air
maupun diudara, jang berada didalam wilajah kekuasaan hukum Republik
Indonesia.
(2) Ketentuan-ketentuan dalam ajat (1) tersebut berlaku dalam tempat kerdja di
mana :
a. Dibuat, ditjoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat
perkakas, peralatan atau instalasi jang berbahaja atau dapat
menimbulkan ketjelakaan, kebakaran atau peledakan;
b. Dibuat, diolah, dipakai dipergunakan, diperdagangkan, diangkut atau
disimpan bahan atau barang jang : dapat meledak, mudah terbakar,
menggigit, beratjun, menimbulkan insfeksi, bersuhu tinggi;
c. Dikerdjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau
pembongkaran rumah, gedung atau bangunan lainnja termasuk
bangunan pengairan, saluran atau terowongan dibawah tanah dan
sebagainja atau dimana dilakukan pekerdjaan persiapan;
d. Dilakukan usaha : pertanian, perkebunan,pembukaan hutan,
pengerdjaan hutan, pengolahan kaju atau hasil hutan lainnja,
peternakan, perikanan dan lapangan kesehatan;
e. Dilakukan usaha pertambangan dan pengolahan : emas, perak atau
bidjih logam lainnja, batu-batuan, gas, minjak atau mineral lainnja,
baik dipermukaan atau didalam bumi, maupun didasar perairan;
f. Dilakukan pengangkutan barang, binatang atau manusia, baik
didaratan, melalui terowongan, dipermukaan air, dalam air maupun
diudara;
g. Dikerdjakan bongkar-muat barang muatan di kapal, perahu, dermaga,
dok, stasiun atau gudang;
h. Dilakukan penjelaman, pengambilan benda dan pekerdjaan lain
didalam air;
i. Dilakukan pekerdjaan dalam ketinggian diatas permukaan tanah atau
perairan;
j. Dilakukan pekerdjaan dibawah tekanan udara atau suhu jang tinggi
atau rendah;
k. Dilakukan pekerdjaan jang mengandung bahaja tertimbun tanah,
kedjatuhan, terkena pelantingan benda, terdjatuh atau terperosok,
hanjut atau terpelanting;
l. Dilakukan pekerdjaan dalam tangki, sumur atau lubang;
m. Terdapat atau menjebar suhu, kelembahan, debu, kotoran, api, asap,
uap, gas, hembusan angin, tjuatja, sinar atau radiasi, suara atau
getaran;
n. Dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau timah;
o. Dilakukan pemantjaran, penjiaran atau penerimaan radio, radar,
televisi, atau telepon;
p. Dilakukan pendidikan, pembinaan, pertjobaan, penjelidikan atau riset
(penelitian) jang menggunakan alat tehnis;
q. Dibangkitkan, dirubah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan atau
disalurkan listrik, gas, minjak atau air;
r. Diputar pilem, dipertundjukkan sandiwara atau diselenggarakan
rekreasi lainnja jang memakai peralatan instalasi listrik atau mekanik.
(3) Dengan peraturan perundangan dapat ditundjuk sebagai tempat kerdja
ruangan-ruangan atau lapangan-lapangan lainnja jang dapat membahajakan
keselamatan atau kesehatan jang bekerdja dan atau jang berada diruangan atau
lapangan itu dan dapat dirubah perintjian tersebut dalam ajat (2).

BAB III

SJARAT-SJARAT KESELAMATAN KERDJA

Pasal 3
(1) Dengan peraturan perundangan ditetapkan sjarat-sjarat keselamatan kerdja
untuk :
a. Mentjegah dan mengurangi ketjelakaan;
b. Mentjegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran;
c. Mentjegah dan mengurangi bahaja peledakan;
d. Memberi kesempatan atau djalan menjelamatkan diri pada waktu
kebakaran atau kedjadian-kedjadian lain jang berbahaja;
e. Memberi pertolongan pada ketjelakaan;
f. Memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerdja;
g. Mentjegah dan mengendalikan timbul atau menjebar luasnja suhu,
kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, tjuatja,
sinar atau radiasi, suara dan getaran;
h. Mentjegah dan mengendalikan timbulnja penjakit akibat kerdja baik
physik maupun psychis, peratjunan, infeksi dan penularan;
i. Memperoleh penerangan jang tjukup dan sesuai;
j. Menjelenggarakan suhu dan lembah udara jang baik;
k. Menjelenggarakan penjegaran udara jang tjukup;
l. Memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban;
m. Memperoleh keserasian antara tenaga kerdja, alat kerdja, lingkungan
tjara dan proses kerdjanja;
n. Mengamankan dan memperlantjar pengangkutan orang, binatang,
tanaman atau barang;
o. Mengamankan dan memelihara segala djenis bangunan;
p. Mengamankan dan memperlancar pekerdjaan bongkar-muat,
perlakuan dan penjimpanan barang;
q. Mentjegah terkena aliran listrik jang berbahaja;
r. Menjesuaikan dan menjempurnakan pengamanan pada pekerdjaan
jang bahaja ketjelakaannja menjadi bertambah tinggi.
(2) Dengan peraturan perundangan dapat dirobah perintjian seperti tersebut dalam
ajat (1) sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, tehnik dan teknologi
serta pendapatan-pendapatan baru dikemudian hari.

Pasal 4

(1) Dengan peraturan perundangan ditetapkan sjarat-sjarat keselamatan kerdja


dalam perentjanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan,
pemasangan, pemakaian, penggunaan, pemeliharaan dan penjimpanan bahan,
barang, produk tehnis dan aparat produksi jang mengandung dan dapat
menimbulkan bahaja ketjelakaan.
(2) Sjarat-sjarat tersebut memuat prinsip-prinsip tehnis ilmiah mendjadi suatu
kumpulan ketentuan jang disusun setjara teratur, djelas dan praktis jang
mentjakup bidang konstruksi, bahan, pengolahan dan pembuatan,
perlengkapan alat-alat perlindungan, pengudjian dan pengesahan, pengepakan
atau pembungkusan, pemberian tanda-tanda pengenal atas bahan, barang,
produk tehnis dan aparat produksi guna mendjamin keselamatan barang-
barang itu sendiri, keselamatan tenaga kerdja jang melakukannja dan
keselamatan umum.
(3) Dengan peraturan perundangan dapat dirubah perintjian seperti tersebut dalam
ajat (1) dan (2) : dengan peraturan perundangan ditetapkan siapa jang
berkewadjiban memenuhi dan mentaati sjarat-sjarat keselamatan tersebut.

BAB IV

PENGAWASAN

Pasal 5

(1) Direktur melakukan pelaksanaan umum terhadap Undang-undang ini,


sedangkan para pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerdja ditugaskan
mendjalankan pengawasan langsung terhadap ditaatinja Undang-undang ini
dan membantu pelaksanaannja.
(2) Wewenang dan kewadjiban direktur, pegawai pengawas dan ahli keselamatan
kerdja dalam melaksanakan Undang-undang ini diatur dengan peraturan
perundangan.
Pasal 6

(1) Barang siapa tidak dapat menerima keputusan direktur dapat mengajukan
permohonan banding kepada Panitya Banding.
(2) Tata-tjara permohonan banding, susunan Panitya Banding, tugas Panitya
Banding dan lain-lainnja ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerdja.
(3) Keputusan Panitya Banding tidak dapat dibanding lagi.

Pasal 7
Untuk pengawasan berdasarkan Undang-undang ini pengusaha harus
membajar retribusi menurut ketentuan-ketentuan jang akan diatur dengan
peraturan perundangan.

Pasal 8
(1) Pengurus diwadjibkan memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan
kemampuan fisik dari tenaga kerdja jang akan diterimanja maupun akan
dipindahkan sesuai dengan sifat-sifat pekerdjaan jang diberikan padanja.
(2) Pengurus diwadjibkan memeriksa semua tenaga kerdja jang berada dibawah
pimpinannja, setjara berkala pada Dokter jang ditundjuk oleh Pengusaha dan
dibenarkan oleh Direktur.
(3) Norma-norma mengenai pengudjian kesehatan ditetapkan dengan peraturan
perundangan.

BAB V
PEMBINAAN

Pasal 9

(1) Pengurus diwadjibkan menunjukkan dan mendjelaskan pada tiap tenaga


kerdja baru tentang :
a. Kondisi-kondisi dan bahaja-bahaja serta jang dapat timbul dalam
tempat kerdjanja;
b. Semua pengamanan dan alat-alat perlindungan jang diharuskan dalam
tempat kerdjanja;
c. Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerdja jang bersangkutan;
d. tjara-tjara dan sikap jang aman dalam melaksanakan pekerdjaannja.
(2) Pengurus hanja dapat memperkerdjakan tenaga kerdja jang bersangkutan
setelah ia jakin bahwa tenaga kerdja tersebut telah memahami sjarat-sjarat
tersebut di atas.
(3) Pengurus diwadjibkan menjelenggarakan pembinaan bagi semua tenaga
kerdja jang berada dibawah pimpinannja, dalam pentjegahan ketjelakaan dan
pemberantasan kebakaran serta peningkatan keselamatan dan kesehatan
kerdja, pula dalam pemberian pertolongan pertama pada ketjelakaan.
(4) Pengurus diwadjibkan memenuhi dan mentaati semua sjarat-sjarat dan
ketentuan-ketentuan jang berlaku bagi usaha dan tempat kerdja jang
didjalankannja.

BAB VI

PANITYA PEMBINA KESELAMATAN

KESEHATAN KERDJA

Pasal 10

(1) Menteri Tenaga Kerdja berwenang membentuk Panitya Pembina Keselamatan


dan Kesehatan Kerdja guna memperkembangkan kerdja sama, saling
pengertian dan partisipasi efektif dari pengusaha atau pengurus dan tenaga
kerdja dalam tempat-tempat kerdja untuk melaksanakan tugas dan kewadjiban
bersama dibidang keselamatan dan kesehatan kerdja dalam rangka
melantjarkan usaha berproduksi.
(2) Susunan Panitya Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerdja, tugas dan lain-
lainnja ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerdja.

BAB VII

KETJELAKAAN

Pasal 11

(1) Pengurus diwadjibkan melaporkan tiap ketjelakaan jang terjadi dalam tempat
kerdja jang dipimpinnja, pada pedjabat jang ditundjuk oleh Menteri Tenaga
Kerdja.
(2) Tata tjra pelaporan dan pemeriksaan ketjelakaan oleh pegawai termaksud
dalam ajat (1) diatur dengan peraturan perundangan.

BAB VIII
KEWADJIBAN DAN HAK
TENAGA KERDJA
Pasal 12

Dengan peraturan perundangan diatur kewadjiban dan atau hak tenaga kerdja untuk :

a. Memberikan keterangan jang benar bila diminta oleh pegawai pengawas atau
ahli keselamatan kerdja;
b. Memakai alat-alat perlindungan diri jang diwadjibkan;
c. Memenuhi dan mentaati semua sjarat-sjarat keselamatan dan kesehatan kerdja
jang diwadjibkan;
d. Meminta pada Pengurus agar dilaksanakan semua sjarat keselamatan dan
kesehatan jang diwadjibkan.
e. Menjatakan keberatan kerdja pada pekerdjaan dimana sjarat keselamatan dan
kesehatan kerdja serta alat-alat perlindungan diri jang diwadjibkan diragukan
olehnja ketjuali dalam hal-hal chusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas
dalam bata-batas jang masih dapat dipertanggung djawabkan.

BAB IX

KEWADJIBAN BILA MEMASUKI

TEMPAT KERDJA

Pasal 13

Barang siapa akan memasuki sesuatu tempat kerdja, diwadjibkan mentaati


semua petundjuk keselamatan kerdja dan memakai alat-alat perlindungan diri
jang diwadjibkan.

BAB X

KEWADJIBAN PENGURUS

Pasal 14

Pengurus diwadjibkan :

a. Setjara tertulis menempatkan dalam tempat


kerdja jang dipimpinnja, semua sjarat
keselamatan kerdja jang diwadjibkan, sehelai
Undang-undang ini dan semua peraturan
pelaksanaannja jang berlaku bagi tempat
kerdja jang bersangkutan, pada tempat-tempat
jang mudah dilihat dan terbatja dan menurut
petundjuk pegawai pengawas atau achli
keselamatan kerdja.
b. Memasang dalam tempat kerdja jang
dipimpinnja, semua gambar keselamatan
kerdja jang diwadjibkan dan semua bahan
pembinaan lainnja pada tempat-tempat jang
mudah dilihat dan terbatja menurut petundjuk
pegawai pengawas atau achli keselamatan
kerdja.
c. Menjediakan setjara tjuma-tjuma, semua alat
perlindungan diri jang diwadjibkan pada
tenaga kerdja jang berada dibawah
pimpinannja dan menjediakan bagi setiap
orang lain jang memasuki tempat kerdja
tersebut, disertai dengan petundjuk-petundjuk
jang diperlukan menurut petundjuk pegawai
pengawas atau achli keselamatan kerdja.

BAB XI

KETENTUAN-KETENTUAN

PENUTUP

Pasal 15

(1) Pelaksanaan ketentuan tersebut pada pasal-pasal diatas diatur lebih landjut
dengan peraturan perundangan.
(2) Peraturan perundangan tersebut pada ajat (1) dapat memberikan antjaman
pidana atas pelanggaran peraturannja dengan hukuman kurungan selama-
lamanja 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginja Rp. 100.000,- (seratus
ribu rupiah).
(3) Tindak pidana tersebut adalah pelanggaran.
Pasal 16

Pengusaha jang mempergunakan tempat-tempat kerdja jang sudah ada pada waktu
undang-undang ini mulai berlaku wadjib mengusahakan didalam satu tahun sesudah
Undang-undang ini mulai berlaku, untuk memenuhi ketentuan-ketentuan menurut
atau berdasarkan Undang-undang ini.

Pasal 17

Selama Peraturan perundangan untuk melaksanakan ketentuan dalam Undang-undang


ini belum dikeluarkan, maka peraturan dalam bidang keselamatan kerdja jang ada
pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku, tetap berlaku sepandjang tidak
bertentangan dengan Undang-undang ini.

Pasal 18

Undang-undang ini disebut “UNDANG-UNDANG KESELAMATAN KERDJA”


dan mulai berlaku pada hari diundangkan.

Agar supaja setiap orang dapat mengetahuinja, memerintahkan pengundangan


Undang-undang ini dengan penempatannja dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Djakarta

pada tanggal 12 Djanuari 1970

PRESIDEN REPUBLI INDONESIA


ttd.

SOEHARTO

Djenderal TNI

Ditetapkan di Djakarta

pada tanggal 12 Djanuari 1970

SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA

ttd.

ALAMSJAH

Major Djenderal T.N.I

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1970 NOMOR 1


PENDJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1970

TENTANG

KESELAMATAN KERDJA

PENDJELASAN UMUM

Veiligheidsreglement jang ada sekarang dan berlaku mulai 1910 (Stbl. No.
406) dan semendjak itu di sana sini mengalami perubahan mengenai soal-soal jang
tidak begitu berarti, ternjata dalam banjak hal sudah terbelakang dan perlu
diperbaharui sesuai dengan perkembangan peraturan perlindungan tenaga kerdja
lainnja dan perkembangan serta kemadjuan teknik, teknologi dan industrialisasi di
Negara kita dewasa ini dan untuk selandjutnja. Mesin-mesin, alat-alat, pesawat-
pesawat baru dan sebagainja jang serba pelik banjak dipakai sekarang ini, bahan-
bahan tehnis baru banjak diolah dan dipergunakan, sedangkan mekanisasi dan
elektrifikasi diperluas di mana-mana.

Dengan madjunja industrialisasi, mekanisasi, elektrifikasi, dan modernisasi,


maka dalam kebanjakan hal berlangsung pulalah peningkatan intensitet kerdja
operasionil dan tempo kerdja para pekerdja. Hal-hal ini memerlukan pengerahan
tenaga setjara intensief pula dari para pekerdja. Kelelahan, kurang perhatian akan
hal-hal lain, kehilangan kesimbangan dan lain-lain merupakan akibat dari padanja
dan menjadi sebab terjadinja ketjelakaan. Bahan-bahan jang mengandung ratjun,
mesin-mesin, alat-alat, pesawat-pesawat dan sebagainja jang serba pelik serta tjara-
tjara kerdja jang buruk, kekurangan ketrampilan dan latihan kerdja, tidak adanja
pengetahuan tentang sumber bahaja jang baru, senantiasa merupakan sumber-sumber
bahaja dan penjakit-penjakit akibat kerdja. Maka dapatlah difahami perlu adanja
pengetahuan keselamatan kerdja dan kesehatan kerdja jang madju dan tepat.
Selandjutnja dengan peraturan jang madju akan dicapai keamanan jang baik
dan realistis jang merupakan faktor sangat penting dalam memberikan rasa tentram,
kegiatan dan kegairahan bekerdja pada tenaga-tenaga jang bersangkutan dan hal ini
dapat mempertinggi mutu pekerdjaan, meningkatkan produksi dan produktivitas
kerdja. Pengawasan berdasarkan Veiligheidsreglement seluruhnja bersifat repressief.
Dalam Undang-undang ini diadakan perubahan prinsipiil dengan merubahnja
menjadi lebih diarahkan pada sifat PREVENTIEF. Dalam praktek dan pengalaman
dirasakan perlu adanja pengaturan jang baik sebelum perusahaan-perusahaan, pabrik-
pabrik atau bengkel-bengkel didirikan, karena amatlah sukar untuk merubah atau
merombak kembali apa jang telah dibangun dan terpasang di dalamnja guna
memenuhi sjarat-sjarat keselamatan kerdja jang bersangkutan.

Peraturan baru ini dibandingkan dengan jang lama, banjak mendapatkan


perubahan-perubahan jang penting, baik dalam isi, maupun bentuk dan
sistimatikanja.

Pembaharuan dan perluasannja adalah mengenai:

1. Perluasan ruang lingkup.


2. Perobahan pengawasan repressief menjadi preventief.
3. Perumusan tehnis jang lebih tegas.
4. Penjesuaian tata usaha sebagaimana diperlukan bagi pelaksanaan pengawasan.
5. Tambahan pengaturan pembinaan Keselamatan Kerdja Bagi management dan
Tenaga Kerdja.
6. Tambahan pengaturan mendirikan Panitya Pembina Keselamatan Kerdja dan
Kesehatan Kerdja.
7. Tambahan pengaturan pemungutan retribusi tahunan.

PENDJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Ayat (1)
Dengan perumusan ini ruang lingkup bagi berlakunja Undang-undang ini djelas
ditentukan oleh tiga unsur :

1. Tempat dimana dilakukan pekerdjaan bagi sesuatu usaha.


2. Adanja Tenaga Kerdja jang bekerdja disana.
3. Adanja bahaja Kerdja ditempat itu.
Tidak selalu Tenaga Kerdja harus sehari-hari bekerdja dalam suatu tempat kerdja.
Sering pula mereka untuk waktu-waktu tertentu harus memasuki ruangan-ruangan
untuk mengontrol, menjetel, mendjalankan instalasi-instalasi, setelah mana mereka
keluar dan bekerdja selandjutnja dilain tempat.

Instalasi-instalasi itu dapat merupakan sumber-sumber bahaja dan dengan demikian


haruslah memenuhi sjarat-sjarat keselamatan kerdja jang berlaku baginja, agar setiap
orang termasuk tenaga kerdja jang memasukinja dan atau untuk mengerdjakan
sesuatu disana, walaupun untuk djangka waktu pendek, terdjamin keselamatannja.
Instalasi-instalasi demikian itu misalnja rumah-rumah transformator, instalasi pompa
air jang setelah dihidupkan, berdjalan otomatis, ruangan-ruangan instalasi radio,
listrik tegangan tinggi dan sebagainja.

Sumber berbahaja adakalanja mempunjai daerah pengaruh jang meluas. Dengan


ketentuan dalam ajat ini praktis daerah pengaruh ini tercakup dan dapatlah diambil
tindakan-tindakan penjelamatan jang diperlukan. Hal ini sekaligus mendjamin
kepentingan umum.

Misalnja suatu pabrik dimana diolah bahan-bahan kimia jang berbahaja dan dipakai
serta dibuang banjak air jang mengandung zat-zat jang berbahaja. Bila air buangan
demikian itu dialirkan atau dibuang begitu sadja kedalam sungai maka air sungai itu
mendjadi berbahaja, akan dapat mengganggu kesehatan manusia, ternak ikan dan
pertumbuhan tanam-tanaman. Karena itu untuk air buangan itu harus diadakan
penampungannja tersendiri atau dikerdjakan pengolahan terdahulu, dimana zat-zat
kimia didalamnja dihilangkan atau dinetraliseer, sehingga airnja itu tidak berbahaja
lagi dan dapat dialirkan kedalam sungai. Dalam pelaksanaan Undang-undang ini
dipakai pengertian tentang tenaga kerdja sebagaimana dimuat dalam Undang-undang
tentang ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerdja, maka dipandang tidak
perlu lagi dimuat definisi itu dalam Undang-undang ini.

Usaha-usaha jang dimaksud dalam Undang-undang ini tidak harus selalu mempunjai
motief ekonomi atau motief keuntungan, tapi dapat merupakan usaha-usaha sosial
seperti perbengkelan di Sekolah-sekolah tehnik, usaha rekreasi-rekreasi dan dirumah-
rumah sakit, dimana dipergunakan instalasi-instalasi listrik dan atau mekanik jang
berbahaja.

Ayat (2)

Tjukup djelas.

Ayat (3)

Tjukup djelas.

Ayat (4)

Tjukup djelas.

Ayat (5)

Tjukup djelas.

Ayat (6)

Guna pelaksanaan Undang-undang ini diperlukan pengawasan dan untuk ini


diperlukan staf-staf tenaga-tenaga pengawasan jang quantitatief tjukup besar serta
bermutu. Tidak sadja diperlukan keahlian dan penguasaan teoritis bidang-bidang
spesialisasi jang beraneka ragam, tapi mereka harus pula mempunjai banjak
pengalaman dibidangnja.

Staf demikian itu tidak didapatkan dan sukar dihasilkan di Departemen


Tenaga Kerdja sadja. Karena itu dengan ketentuan dalam ajat ini Menteri Tenaga
Kerdja dapat menundjuk tenaga-tenaga ahli dimaksud jang berada di Instansi-instansi
Pemerintah dan atau Swasta untuk dapat memformeer Personalia operasionil jang
tepat. Maka dengan demikian Menteri Tenaga Kerdja dapat mendesentralisir
pelaksanaan pengawasan atas ditaatinja Undang-undang ini setjara meluas, sedangkan
POLICY NASIONALNJA tetap mendjadi TANGGUNG DJAWABNJA dan berada
ditangannja, sehingga terdjamin pelaksanaannja setjara SERAGAM dan SERASI
bagi seluruh Indonesia.

Pasal 2

Ayat (1)

Materi jang diatur dalam Undang-undang ini mengikuti perkembangan


masjarakat dan kemadjuan tehnik, tehnologi serta senantiasa akan dapat sesuai
dengan perkembangan proses industrialisasi Negara kita dalam rangka Pembangunan
Nasional.
Selandjutnja akan dikeluarkan perturan-peraturan organiknja, terbagi baik atas
dasar pembidangan tehnis maupun atas dasar pembidangan industri setjara sektoral.
Setelah Undang-undang ini, diadakanlah Peraturan-peraturan perundangan
Keselamatan Kerdja bidang Listrik, Uap, Radiasi dan sebagainja, pula peraturan
perundangan Keselamatan Kerdja sektoral, baik didarat, dilaut maupun diudara.

Ayat (2)

Dalam ajat ini diperintji sumber-sumber bahaja jang dikenal dewasa ini bertalian
dengan :

1. Keadaan mesin-mesin, pesawat-pesawat, alat-alat kerdja serta peralatan


lainnja, bahan-bahan dan sebagainja.
2. Lingkungan
3. Sifat pekerdjaan
4. Cara kerdja
5. Proses Produksi
Ayat (3)

Dengan ketentuan dalam ajat ini dimungkinkan diadakan perobahan-


perobahan atas perintjian jang dimaksud sesuai dengan pendapat-pendapat
baru kelak kemudian hari, sehingga Undang-undang ini, dalam
Pelaksanaannja tetap berkembang.

Pasal 3

Ayat (1)

Dalam ajat ini ditjantumkan arah dan sasaran-sasaran setjara konkrit


jang harus dipenuhi oleh sjarat-sjarat Keselamatan Kerdja jang akan
dikeluarkan.

Ayat (2)

Tjukup djelas.

Pasal 4

Ayat (1)

Sjarat-sjarat Keselamatan Kerdja jang menjangkut perentjanaan dan


pembuatan, diberikan pertama-tama pada perusahaan pembuat atau produsen dari
barang-barang tersebut, sehingga kelak dalam pengangkutan dan sebagainja itu
barang-barang itu sendiri, tidak berbahaja bagi tenaga kerdja jang bersangkutan dan
bagi umum, kemudian pada perusahaan-perusahaaan jang memperlakukannja
selandjutnja jakni jang mengangkutnja, jang mengadakannja, memperdagangkannja,
memasangnja, memakainja atau mempergunakannja, memeliharanja, dan
menjimpannja.

Sjarat-sjarat tersebut diatas berlaku pula bagi barang-barang jang didatangkan


dari luar negeri.

Ayat (2)
Dalam ajat ini ditetapkan setjara konkrit ketentuan-ketentuan jang harus dipenuhi
oleh sjarat-sjarat jang dimaksud.

Ayat (3)

Tjukup djelas.

Pasal 5

Tjukup djelas

Pasal 6

Panitia Banding ialah Panitia Technis jang anggota-anggotanja terdiri dari ahli-ahli
dalam bidang jang diperlukan.

Pasal 7

Tjukup djelas.

Pasal 8

Tjukup djelas.

Pasal 9

Tjukup djelas.
Pasal 10

Ayat (1)

Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerdja bertugas memberi


pertimbangan dan dapat membantu pelaksanaan usaha pentjegahan ketjelakaan dalam
perusahaan jang bersangkutan serta dapat memberikan pendjelasan dan penerangan
efektif pada para pekerdja jang bersangkutan.

Ayat (2)

Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerdja merupakan suatu Badan


jang terdiri dari unsur-unsur penerima kerdja, pemberi kerdja dan Pemerintah
(tripartite).

Pasal 11

Tjukup djelas.

Pasal 12

Tjukup djelas.

Pasal 13

Yang dimaksud dengan barang siapa ialah setiap orang baik jang bersangkutan
maupun tidak bersangkutan dengan pekerdjaan ditempat kerdja itu.

Pasal 14.

Tjukup djelas.
Pasal 15

Tjukup djelas.

Pasal 16

Tjukup djelas.

Pasal 17

Peraturan-peraturan Keselamatan Kerdja jang ditetapkan berdasarkan


Veiligheidsreglement 1910 dianggap ditetapkan berdasarkan Undang-undang ini
sepandjang tidak bertentangan dengannja.

Pasal 18

Tjukup djelas.

TAMBAHAN LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2918


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 1969
TENTANG
KETENTUAN-KETENTUAN POKOK MENGENAI TENAGA KERJA
DENGAN RAHMAT TIJHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa tenaga kerja merupakan modal utama serta pelaksana dari pada
pembangunan masyarakat Pancasila;
b. bahwa tujuan terpenting dari pada pembangunan masyarakat tersebut adalah
kesejahteraan rakyat, termasuk tenaga kerja;
c. bahwa tenaga kerja sebagai pelaksana pembangunan harus jamin haknya,
diatur kewajibannya dan dikembangkan daya gunanya;
d. bahwa berhubung dengan itu perlu diadakan undang-undang yang memuat
ketentuan-ketentuan pokok tentang tenaga kerja.

Mengingat:

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) , Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 Undang-
undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.
XXll/MPRS/1966, No. XXII/MPRS/1966 pasal-pasal 6, 8, 9, 10 dan 14 No.
XXVlll/MPRS/1966 pasal 2.

Dengan Persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT GOTONG ROYONG,

MEMUTUSKAN:
Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK


MENGENAI TENAGA KERJA

BAB I
PENGERTIAN DAN AZAS
Pasal 1
Tenaga kerja adalah tiap-tiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam
maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat.

Pasal 2
Dalam menjalankan undang-undang ini serta peraturan-peraturan pelaksanaan tidak
boleh diadakan diskriminasi.

BAB Il
PENYEDIAAN PENYEBARAN DAN PENGGUNAAN TENAGA KERJA

Pasal 3
Tiap tenaga kerja berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi
kemanusiaan.

Pasal 4
Tiap tenaga kerja bebas memilih dan atau pindah pekerjaan sesuai dengan bakat dan
kemampuannya.

Pasal 5

(1) Pemerintah mengatur penyediaan tenaga kerja dalam kuantitas dan kualitas
yang memadai.

(2) Pernerintah mengatur penyebaran tenaga kerja sedemikian rupa sehingga


memberi dorongan ke arah penyebaran tenaga kerja yang efisien dan efektif.
(3) Pemerintah mengatur penggunaan tenaga kerja secara penuh dan produktif
untuk mencapai kemanfaatan yang sebesar-besarnya dengan menggunakan
prinsip "Tenaga kerja yang tepat pada pekerjaan yang tepat".

BAB III
PEMBINAAN KEAHLIAN DAN KEJURUAN

Pasal 6
Tiap tenaga kerja berhak atas pembinaan keahlian dan kejuruan untuk memperoleh
serta menambah keahlian dan keterampilan kerja sehingga potensi dan daya
kreasinya dapat diperkembangkan dalam rangka mempertinggi kecerdasan dan
ketangkasan kerja sebagai bagian yang tak dapat dipisahkan dari pembinaan
bangsa.

Pasal 7
Pembinaan keahlian dan kejuruan tenaga kerja disesuaikan dengan perkembangan
teknik, teknologi dan perkembangan masyarakat pada umumnya.

Pasal 8
Pemerintah mengatur keahlian dan kejuruan tersebut pada pasal 6 dan pasal 7.

BAB IV
PEMBINAAN PERLINDUNGAN KERJA

Pasal 9
Tiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan, kesehatan,
kesusilaan, pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat
manusia dan moral agama.

Pasal 10
Pemerintah membina perlindungan kerja yang mencakup:

1. Norma keselamatan kerja;


2. Norma kesehatan kerja dan hygiene perusahaan;
3. Norma kerja;
4. Pemberian ganti kerugian, perawatan dan rehabilitasi dalam hal kecelakaan
kerja.

BAB V
HUBUNGAN KETENAGAKERJAAN

Pasal 11
(1) Tiap tenaga kerja berhak mendirikan dan menjadi anggota perserikatan tenaga
kerja.

(2) Pembentukan perserikatan tenaga kerja dilakukan secara demokratis.

Pasal 12
Perserikatan tenaga kerja berhak mengadakan perjanjian perburuhan dengan pemberi
kerja.

Pasa' 13
Penggunaan hak mogok, demonstrasi dan lock out diatur dengan peraturan
perundangan.

Pasal 14
Norma pemutusan hubungan kerja dan penyelesaian perselisihan perburuhan diatur
dengan peraturan perundangan.

Pasal 15
Pemerintah mengatur penyelenggaraan sosial dan bantuan sosial bagi tenaga kerja
dan keluarganya.

BAB VI
PENGAWASAN PELAKSANAAN

Pasal 16
Guna menjamin pelaksanaan pengaturan ketenagakerjaan menurut Undang-undang
ini serta peraturan pelaksanaannya, diadakan suatu system pengawasan tenaga kerja.

BAB Vil
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 17
(1) Pelaksanaan ketentuan tersebut pada pasal-pasal di atas diatur lebih lanjut
dengan peraturan perundangan.

(2) Peraturan perundangan tersebut pada ayat (1) dapat memberikan ancaman
pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-
lamanya tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu
rupiah).

(3) Tindak pidana tersebut adalah pelanggaran.


Pasal 18
Selama peraturan perundangan untuk melaksanakan ketentuan dalam undang-
undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan dalam bidang ketenagakerjaan yang
ada pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku, tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang ini.

Pasal 19
Undang-undang ini disebut: "Undang-Undang Pokok Tenaga Kerja" dan mulai
berlaku pada hari diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan


undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Diundangkan Di Jakarta,

Pada Tanggal 19 - 09 - 1969


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SOEHARTO
Jenderal TNI
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 19 - 09 - 1969
SEKRETARIS NEGARA,
Ttd.
ALAMSYAH
Mayor Jenderal TNI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1969 NOMOR 55


PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 1969
TENTANG
KETENTUAN-KETENTUAN POKOK MENGENAI TENAGA KERJA

PENJELASAN UMUM
Sesungguhnya pekerja mempunyai makna banyak, luas dan dalam didalam
tiap perkelakukan. Makna bekerja ditinjau dari segi perorangan adalah gerak
daripada badan dan pikiran setiap orang guna memelihara kelangsungan hidup
badaniah maupun rohaniah. Makna bekerja ditinjau dari segi kemasyarakatan adalah
melakukan pekerjaan untuk menghasilkan barang atau jasa guna memuaskan
kebutuhan masyarakat. Makna bekerja ditinjau dari segi spirituil adalah merupakan
hak dan kewajiban manusia dalam memuliakan dan mengabdi kepada Tuhan Yang
Maha Esa.

Di Indonesia asas gotong-royong merupakan ciri khas dari pada kepribadian


bangsa dan unsur pokok Pancasila. Oleh karena tenaga kerja adalah sedemikian
pentingnya bagi kehidupan bangsa dan merupakan faktor yang menentukan daripada
mati hidupnya bangsa itu sendiri, baik fisik maupun kultur, maka perlu diadakan
pengaturan sebaik-baiknya yang dimulai sebelum orang menjadi tenaga kerja sampai
ia masuk ke liang kubur.

Sehubungan dengan itu, maka Sidang Umum Majelis Permusyawaratan


Rakyat Sementara ke IV telah menetapkan beberapa Keputusan dan bidang tenaga
kerja dan Undang-undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga
Kerja ini dimaksud sebagai perwujudan daripada ketetapan-ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara itu.

Akhirnya perlu diterangkan bahwa yang dirumuskan dalam Undang-undang


itu adalah pokok-pokok untuk menjamin kedudukan sosial ekonomis tenaga kerja
serta arah yang harus ditempuh dalam mengatur kebutuhan sosial ekonomis tenaga
kerja dengan cita-cita aspirasi bangsa Indonesia.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Pengertian tenaga kerja menurut ketentuan pasal 1 Undang-undang mulai tenaga
kerja yang bekerja di dalam maupun di luar hubungan kerja dengan alat produksi
utamanya dalam proses produksi adalah tenaganya sendiri baik tenaga fisik maupun
pikiran. Ciri khas dari hubungan kerja tersebut di atas ialah bekerja di bawah perintah
orang Iain dengan menerima upah.

Pasal 2

Cukup Jelas

Pasal 3
Salah satu tujuan penting dari masyarakat Pancasila adalah memberikan
kesempatan bagi tiap tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan
yang memberikan kesejahteraan.

Pasai 4
Di samping jaminan hidup yang layak tenaga kerja juga menginginkan
kepuasan yang datangnya dari pelaksanaan pekerjaan yang ia sukai dan yang
dapat ia lakukan dengan sebaik mungkin, untuk mana ia mendapat
penghargaan.

Berdasarkan prinsip inilah kepada tiap tenaga kerja diberikan kebebasan


memilih pekerjaan yang sesuai. Dalam hubungan ini harus diusahakan untuk
membantu tenaga kerja dalam mengadakan penyesuaian pekerjaan.

Pasai 5

(1) Di Indonesia persediaan tenaga kerja sebagian besar terdiri dari tenaga kerja
yang tidak terlatih dan tersebar secara tidak seimbang di seluruh Indonesia.
Untuk kelancaran pelaksanaan pembangunan dan jalannya perusahaan-
perusahaan dan kantor-kantor yang sudah ada, maka bagi kepentingan
peningkatan produksi, persediaan tenaga kerja harus diatur sedemikian rupa
sehingga pada waktu dan tempat dimana diperlukan tenaga kerja dengan
keterampilan yang sesuai/tepat, tersedia tenaga kerja dalam jumlah yang
cukup.

(2) Salah satu persoalan pokok yang harus dipecahkan di Indonesia ialah
penyebaran tenaga kerja yang tidak seimbang dan tidak efisien
yangmenyebabkan adanya kelebihan tenaga kerja di daerah yang satu dan
kekurangan tenaga kerja di daerah yang lain.Untuk menyelesaikan ketidak
seimbangan ini dihadapi berbagai kesukaran ialah antara lain keseganan
berpindah ke lain daerah, Kesukaran pengangkutan perumahan, syarat-syarat
kerja yang tidak sesuai dan kurangnya penerangan tentang keadaan sesuatu
daerah.Berhubung dengan ini dalam menghadapi persoalan ini, Pemerintah
harus turun tangan dan mempelajari serta merencanakan penyebaran tenaga
kerja baik menurut pekerjaan, sektor, kegiatan maupun geografis dalam arti
mengambil segala tindakan yang dapat membantu dan memudahkan tenaga
kerja mengadakan penyesuaian yang diperlukan bagi kepentingan bangsa dan
negara dan mengarah kepada penyebaran yang merata dan seimbang.

(3) Berhubung dengan pertumbuhan penduduk yang cepat, maka


pertumbuhan angkatan kerja sangat meningkat sedangkan keadaan kesempatan
kerja tidak mengikuti derap dari pertumbuhan angkatan kerja. Hal ini
menimbulkan jutaan tenaga kerja baru mengalir ke masyarakat kerja dan
menimbulkan pengangguran dan setengah pengangguran. Keadaan ini tidak
dapat dibiarkan begitu saja. Juga tenaga kerja - tenaga kerja yang oleh sesuatu
hal, bekerja tidak penuh adalah merupakan pemborosan.Berhubung dengan ini
maka tindakan harus diadakan untuk mempekerjakan seluruh angkatan kerja
yang ada secara penuh dan produktif dengan memajukan perkembangan
perekonomian sehingga tersedia lapangan kerja yang luas.
Pasai 6
Untuk pembangunan ekonomi pada umumnya, industri pada khususnya,
diperlukan tenaga kerja yang mempunyai keahlian/kejuruan, karena keterampilan
kerja akan memungkinkan tercapainya efisiensi dan peningkatan produktivitas kerja.

Tanpa adanya efisiensi kerja dan peningkatan produktivitas semua usaha


pembangunan tidak akan tercapai sasarannya, karena tenaga kerja yang tidak
mempunyai keahlian dan keterampilan kerja akan mengakibatkan merosotnya hasil
kerjanya serta penghamburan dana, daya dan waktu. Betapapun melimpah-limpahnya
kekayaan alam tanah air kita, tanpa adanya tenaga kerja yang terampil untuk
menggali dan mengolahnya maka kekayaan alam iłu tidak akan ada artinya bagi kita
semua. Dengan demikian maka Perintah berusaha memperkembangkan potensi
inisiatif dan daya kreasi tiap tenaga kerja dalam rangka pemahaman dan
mempertinggi kecerdasan dan keterampilan insan kerja. Sebab iłu tenaga kerja diberi
hak mendapatkan pembinaan keahlian/dan kejuruan supaya keterampilannya dapat
dipergunakan di tempat kerjanya untuk mempertinggi produksi dan produktivitas
secara efisien dan efektif.

Pasal 7
Pembinaan keahlian dan kejuruan tenaga kerja harus senantiasa mengikuti
perkembangan ekonomi pada umumnya dan industri pada khususnya serta
disesuaikan dengan perubahan-perubahan teknik dan teknologi serta
perkembangan masyarakat pada umumnya.

Pembinaan dan latihan keahlian serta kejuruan tenaga kerja yang dimaksud
dalam Undang-undang ini adalah merupakan pendidikan bagi orang dewasa bagi
orang-orang yang sudah memasuki usia kerja dan di antaranya termasuk juga kaum
penganggur, bekas anggota ABRI yang dikembalikan ke masyarakat sipil, veteran,
orang penderita cacat, transmigrasi/ imigrasi dan bekas sukarelawan.

Pasal 8
Cukup Jelas
Pasal 9
Agar supaya aman melakukan pekerjaannya sehari-hari, untuk meningkatkan
produksi dan produktivitas nasional maka tenaga kerja harus dilindungi dari berbagai
soal di sekitarnya serta pada dirinya yang dapat menimpa dan mengganggu dirinya
seria pelaksanaan pekerjaannya. Bahaya yang dapat timbul dari mesin, pesawat, alat
kerja, bahan dan proses pengolahannya, keadaan tempat kerja, lingkungan, cara-cara
melakukan pekerjaan karakteristik fisik dan mental dari pada pekerjaannya, harus
sejauh mungkin diberantas dan atau dikendalikan. Oleh sebab iłu hak atas
perlindungan dimaksud di atas harus diberikan kepada tenaga kerja.

Pasał 10
Yang dimaksud dengan pembinaan norma perlindungan kerja ialah
pembentukan pengetrapan dan pengawasan. Apa yang dimaksud dengan norma ialah
"Standard” ukuran tertentu yang harus dijadikan pegangan pokok.

(1) Norma keselamatan kerja meliputi : keselamatan kerja yang bertalian dengan
mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, keadaan tempat
kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan.

(2) Norma kesehatan kerja Hygiene perusahaan meliputi: pemeliharaan dan


mempertinggi derajat kesehatan tenaga kerja, dilakukan dengan mengatur
pemberian pengobatan, perawatan tenaga kerja yang sakit, mengatur
persediaan tempat, cara dan syarat kerja yang memenuhi syarat hygien
perusahaan dan kesehatan kerja untuk pencegahan penyakit, baik sebagai
akibat pekerjaan maupun penyakit umurn serta menetapkan syarat kesehatan
bagi perumahan untuk tenaga kerja.

(3) Norma kerja meliputi: perlindungan terhadap tenaga kerja yang bertalian
dengan waktu kerja, system pengupahan, istirahat, cuti, kerja wanita, anak dan
orang muda, tempat kerja, perumahan, kebersihan, kesusilaan, ibadah menurut
agama dan kepercayaan masing-masing yang diakui Pemerintah, kewajiban
sosial/kemasyarakatan dan sebagainya guna memelihara kegairahan dan moril
kerja yang menjamin daya guna kerja yang tinggi serta menjaga perlakukan
yang sesuai dengan manusia dan moral agama.

(4) Kepada tenaga kerja yang mendapat kecelakaan dan/atau menderita penyakit
akibat pekerjaan berhak atas ganti kerugian perawatan dan rehabilitasi. Dalam
hal seorang tenaga kerja meninggal dunia akibat kecelakaan dan/atau penyakit
akibat pekerjaan, ahli warisnya berhak menerima ganti kerugian.

Pasal 11
Untuk menjamin tegaknya demokrasi dan tertibnya perserikatan,
persyaratan pokok perserikatan tenaga kerja diatur dengan Undang-undang sebagai
salah satu pelaksanaan dari pasal 28 Undang-undang Dasar 19945 juncto
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXII/MPRS/1996.

Perserikatan tenaga kerja wajib mengamankan dan mengamalkan Pancasila


sebagai dasar negara. Selanjutnya perlu ditegaskan bahwa perserikatan tenaga kerja
diadakan untuk memperlindungi memperjuangkan kepentingan tenaga kerja.
Perserikatan tenaga kerja merupakan kekuatan sosial yang mempunyai fungsi sosial
dan ekonomi, dalam usaha mencapai masyarakat Pancasila.

Pasal 12
Yang dimaksud pemberi kerja adalah Pemerintah atau Swasta baik secara
perserikatan maupun perorangan.

Pasal 13

Cukup Jelas

Pasal 14
Untuk menjamin kepastian hukum dari kedua belah pihak perlu diatur syarat-
syarat dan tata cara pemutusan hubungan kerja dan penyelesaian perselisihan
perburuhan antara buruh dan pengusaha/pemberi kerja.
Pasal 15
Cara yang paling tepat ialah dengan mengadakan pertanggungan sosial yang
dipikul oleh semua pihak yang kelak akan diatur oleh peraturan perundangan. Sudah
selayaknya jika dalam badan dan lembaga yang menyelenggarakan pertanggungan
sosial ini semua pihak turut duduk.

Jaminan dan bantuan sosial tersebut meliputi antara Iain jaminan sakit, hamil,
bersalin, hari tua, meninggal dunia, cacat, dan menganggur bagi seluruh tenaga kerja
termasuk tani dan nelayan.

Pasal 16
Sistem pengawasan tenaga kerja berfungsi:

a. mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum mengenai


ketenagakerjaan.
b. memberi penerangan teknis serta nasihat kepada pengusaha dan tenaga kerja
tentang hal-hal yang dapat menjamin pelaksanaan efektif dari pada peraturan-
peraturan ketenagakerjaan.
c. melaporkan kepada yang berwenang tentang kecurangan dan penyelewengan
dalam bidang ketenagakerjaan yang tidak jelas diatur dalam peraturan
perundangan.

Pasal 17
Maksud pasal ini ialah memberikan dasar hukum kepada peraturan perundangan
yang akan melaksanakan lebih lanjut pasal-pasal dari Undang-undang ini.

Pasal 18
Pasal ini perlu diadakan untuk mencegah kemungkinan timbulnya kekosongan
hukum pada waktu Undangundang itu mulai berlaku.

Pasal 19
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2912
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2009
TENTANG
KESEHATAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu
unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita
bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif,
partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber
daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya
saing bangsa bagi pembangunan nasional;
c. bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan
kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian
ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan
derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi
pembangunan negara;
d. bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan
kesehatan dalam arti pembangunan nasional harus memperhatikan
kesehatan masyarakat dan merupakan tanggung jawab semua pihak
baik Pemerintah maupun masyarakat;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan, dan
kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu dicabut dan
diganti dengan UndangUndang tentang Kesehatan yang baru;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk
Undang-Undang tentang Kesehatan;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KESEHATAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun
sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis.

2. Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan
kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan
dan teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan
yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

3. Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan.

4. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.

5. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak
mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis,
menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan
kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi
tubuh.

6. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan
di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.

7. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan
untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif,
kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat.

8. Obatadalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan
untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi
dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.

9. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan
tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat
diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

10. Teknologi kesehatan adalah segala bentuk alat dan/atau metode yang ditujukan
untuk membantu menegakkan diagnosa, pencegahan, dan penanganan
permasalahan kesehatan manusia.

11. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara
dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan
penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan
oleh pemerintah dan/atau masyarakat.

12. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian


kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat
promosi kesehatan.

13. Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu
masalah kesehatan/penyakit.

14. Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan
penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian
kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.
15. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat
berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan
masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.

16. Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan


cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun
secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat.

17. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik


Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintah Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

18. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

19. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
kesehatan.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan,


keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban,
keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama.
Pasal 3

Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan


kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber
daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Hak

Pasal 4

Setiap orang berhak atas kesehatan.


Pasal 5

(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber
daya di bidang kesehatan.
(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu, dan terjangkau.

(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri
pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.

Pasal 6

Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat
kesehatan.
Pasal 7

Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan
yang seimbang dan bertanggung jawab.
Pasal 8

Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk
tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga
kesehatan.

Bagian Kedua
Kewajiban

Pasal 9

(1) Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan


meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaannya meliputi upaya
kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan
berwawasan kesehatan.

Pasal 10

Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh
lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial.
Pasal 11

Setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan,


mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 12

Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang
lain yang menjadi tanggung jawabnya.
Pasal 13

(1) Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial.

(2) Program jaminan kesehatan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB IV
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH

Pasal 14

(1) Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan,


membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan
terjangkau oleh masyarakat.

(2) Tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikhususkan
pada pelayanan publik.

Pasal 15
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan, tatanan, fasilitas
kesehatan baik fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk mencapai derajat
kesehatan yang setinggitingginya.

Pasal 16

Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan


yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya.
Pasal 17

Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan akses terhadap informasi, edukasi,


dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan dan memelihara derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 18

Pemerintah bertanggung jawab memberdayakan dan mendorong peran aktif


masyarakat dalam segala bentuk upaya kesehatan.

Pasal 19

Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang
bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.
Pasal 20

(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat


melalui sistem jaminan sosial nasional bagi upaya kesehatan perorangan.

(2) Pelaksanaan sistem jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB V
SUMBER DAYA DI BIDANG KESEHATAN
Bagian Kesatu
Tenaga Kesehatan

Pasal 21

(1) Pemerintah mengatur perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan


pengawasan mutu tenaga kesehatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan
kesehatan.

(2) Ketentuan mengenai perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan


pengawasan mutu tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

(3) Ketentuan mengenai tenaga kesehatan diatur dengan Undang-Undang.

Pasal 22

(1) Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum.

(2) Ketentuan mengenai kualifikasi minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 23

(1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan.

(2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki.

(3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib


memiliki izin dari pemerintah.

(4) Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi.

(5) Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dalam Peraturan Menteri.

Pasal 24
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi
ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar
pelayanan, dan standar prosedur operasional.
(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
(3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan
standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 25
(1) Pengadaan dan peningkatan mutu tenaga kesehatan diselenggarakan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat melalui pendidikan
dan/atau pelatihan.
(2) Penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3) Ketentuan mengenai penyelengaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 26
(1) Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan untuk pemerataan pelayanan
kesehatan.
(2) Pemerintah daerah dapat mengadakan dan mendayagunakan tenaga kesehatan
sesuai dengan kebutuhan daerahnya.
(3) Pengadaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan:

a. jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat;


b. jumlah sarana pelayanan kesehatan; dan

c. jumlah tenaga kesehatan sesuai dengan beban kerja pelayanan kesehatan


yang ada.

(4) Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan tetap memperhatikan hak tenaga kesehatan dan hak masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang merata.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan tenaga kesehatan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 27
(1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.

(2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban mengembangkan


dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.

(3) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 28
(1) Untuk kepentingan hukum, tenaga kesehatan wajib melakukan pemeriksaan
kesehatan atas permintaan penegak hukum dengan biaya ditanggung oleh
negara.

(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kompetensi
dan kewenangan sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki.

Pasal 29

Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan


profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.

Bagian Kedua
Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Pasal 30

(1) Fasilitas pelayanan kesehatan, menurut jenis pelayanannya terdiri atas:


a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan

b. pelayanan kesehatan masyarakat.

(2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pelayanan kesehatan tingkat pertama;

b. pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan

c. pelayanan kesehatan tingkat ketiga.

(3) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
oleh pihak Pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta.
(4) Ketentuan persyaratan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah sesuai ketentuan yang
berlaku.

(5) Ketentuan perizinan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.

Pasal 31

Fasilitas pelayanan kesehatan wajib:

a. memberikan akses yang luas bagi kebutuhan penelitian dan pengembangan di


bidang kesehatan; dan

b. mengirimkan laporan hasil penelitian dan pengembangan kepada pemerintah


daerah atau Menteri.

Pasal 32
(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun
swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa
pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.
(2) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun
swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.

Pasal 33
(1) Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat
harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan masyarakat yang dibutuhkan.
(2) Kompetensi manajemen kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Pasal 34
(1) Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan perseorangan
harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan perseorangan yang
dibutuhkan.
(2) Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang mempekerjakan tenaga
kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 25
(1) Pemerintah daerah dapat menentukan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan
kesehatan serta pemberian izin beroperasi di daerahnya.
(2) Penentuan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah daerah dengan mempertimbangkan:

a. luas wilayah;

b. kebutuhan kesehatan;

c. jumlah dan persebaran penduduk;

d. pola penyakit;

e. pemanfaatannya;

f. fungsi sosial; dan

g. kemampuan dalam memanfaatkan teknologi.

(3) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan serta
pemberian izin beroperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga
untuk fasilitas pelayanan kesehatan asing.

(4) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku untuk jenis rumah sakit khusus karantina,
penelitian, dan asilum.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Bagian Ketiga
Perbekalan Kesehatan

Pasal 36

(1) Pemerintah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan


kesehatan, terutama obat esensial.
(2) Dalam menjamin ketersediaan obat keadaan darurat, Pemerintah dapat
melakukan kebijakan khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan obat dan bahan
yang berkhasiat obat.

Pasal 37
(1) Pengelolaan perbekalan kesehatan dilakukan agar kebutuhan dasar masyarakat
akan perbekalan kesehatan terpenuhi.

(2) Pengelolaan perbekalan kesehatan yang berupa obat esensial dan alat kesehatan
dasar tertentu dilaksanakan dengan memperhatikan kemanfaatan, harga, dan
faktor yang berkaitan dengan pemerataan.

Pasal 38

(1) Pemerintah mendorong dan mengarahkan pengembangan perbekalan kesehatan


dengan memanfaatkan potensi nasional yang tersedia.

(2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan terutama untuk
obat dan vaksin baru serta bahan alam yang berkhasiat obat.

(3) Pengembangan perbekalan kesehatan dilakukan dengan memperhatikan


kelestarian lingkungan hidup, termasuk sumber daya alam dan sosial budaya.

Pasal 39

Ketentuan mengenai perbekalan kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Pasal 40

(1) Pemerintah menyusun daftar dan jenis obat yang secara esensial harus tersedia
bagi kepentingan masyarakat.
(2) Daftar dan jenis obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau dan
disempurnakan paling lama setiap 2 (dua) tahun sesuai dengan perkembangan
kebutuhan dan teknologi.
(3) Pemerintah menjamin agar obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersedia
secara merata dan terjangkau oleh masyarakat.
(4) Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk
pengadaan dan pemanfaatan perbekalan kesehatan.
(5) Ketentuan mengenai keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dilakukan dengan mengadakan pengecualian terhadap ketentuan paten sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur paten.
(6) Perbekalan kesehatan berupa obat generik yang termasuk dalam daftar obat
esensial nasional harus dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya, sehingga
penetapan harganya dikendalikan oleh Pemerintah.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai perbekalan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 41

(1) Pemerintah daerah berwenang merencanakan kebutuhan perbekalan kesehatan


sesuai dengan kebutuhan daerahnya.
(2) Kewenangan merencanakan kebutuhan perbekalan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tetap memperhatikan pengaturan dan pembinaan standar
pelayanan yang berlaku secara nasional.

Bagian Keempat
Teknologi dan Produk Teknologi

Pasal 42

(1) Teknologi dan produk teknologi kesehatan diadakan, diteliti, diedarkan,


dikembangkan, dan dimanfaatkan bagi kesehatan masyarakat.

(2) Teknologi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup segala
metode dan alat yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit,
mendeteksi adanya penyakit, meringankan penderitaan akibat penyakit,
menyembuhkan, memperkecil komplikasi, dan memulihkan kesehatan setelah
sakit.
(3) Ketentuan mengenai teknologi dan produk teknologi kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.

Pasal 43

(1) Pemerintah membentuk lembaga yang bertugas dan berwenang melakukan


penapisan, pengaturan, pemanfaatan, serta pengawasan terhadap penggunaan
teknologi dan produk teknologi.
(2) Pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 44

(1) Dalam mengembangkan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dapat


dilakukan uji coba teknologi atau produk teknologi terhadap manusia atau
hewan.
(2) Uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan jaminan tidak
merugikan manusia yang dijadikan uji coba.
(3) Uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh orang yang
berwenang dan dengan persetujuan orang yang dijadikan uji coba.
(4) Penelitian terhadap hewan harus dijamin untuk melindungi kelestarian hewan
tersebut serta mencegah dampak buruk yang tidak langsung bagi kesehatan
manusia.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan uji coba terhadap manusia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 45

(1) Setiap orang dilarang mengembangkan teknologi dan/atau produk teknologi


yang dapat berpengaruh dan membawa risiko buruk terhadap kesehatan
masyarakat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan teknologi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
UPAYA KESEHATAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 46

Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat,


diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya
kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat.

Pasal 47

Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan


promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu,
menyeluruh, dan berkesinambungan.
Pasal 48

(1) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47


dilaksanakan melalui kegiatan:

a. pelayanan kesehatan;

b. pelayanan kesehatan tradisional;

c. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;

d. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;

e. kesehatan reproduksi;

f. keluarga berencana;

g. kesehatan sekolah;

h. kesehatan olahraga;

i. pelayanan kesehatan pada bencana;

j. pelayanan darah;

k. kesehatan gigi dan mulut;

l. penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran;

m. kesehatan matra;

n. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan;

o. pengamanan makanan dan minuman;

p. pengamanan zat adiktif; dan/atau

q. bedah mayat.

(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


didukung oleh sumber daya kesehatan.

Pasal 49

(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab atas


penyelenggaraan upaya kesehatan.

(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial, nilai, dan
norma agama, sosial budaya, moral, dan etika profesi.
Pasal 50

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab meningkatkan dan


mengembangkan upaya kesehatan.
(2) Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
memenuhi kebutuhan kesehatan dasar masyarakat.
(3) Peningkatan dan pengembangan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan berdasarkan pengkajian dan penelitian.
(4) Ketentuan mengenai peningkatan dan pengembangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan melalui kerja sama antar-Pemerintah dan antarlintas
sektor.

Pasal 51

(1) Upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang


setinggi-tingginya bagi individu atau masyarakat.
(2) Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada standar
pelayanan minimal kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Pelayanan Kesehatan

Paragraf Kesatu
Pemberian Pelayanan

Pasal 52

(1) Pelayanan kesehatan terdiri atas:

a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan

b. pelayanan kesehatan masyarakat.

(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan
dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Pasal 53
(1) Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit
dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga.
(2) Pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat.
(3) Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan
lainnya.

Pasal 54

(1) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab,


aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan
pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat.

Pasal 55

(1) Pemerintah wajib menetapkan standar mutu pelayanan kesehatan.


(2) Standar mutu pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf Kedua
Perlindungan Pasien

Pasal 56

(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan
pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami
informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.

(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
pada:

a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam


masyarakat yang lebih luas;

b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau

c. gangguan mental berat.


(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 57

(1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah
dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.

(2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:

a. perintah undang-undang;

b. perintah pengadilan;

c. izin yang bersangkutan;

d. kepentingan masyarakat; atau

e. kepentingan orang tersebut.

Pasal 58

(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan
atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau
pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.

(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Pelayanan Kesehatan Tradisional

Pasal 59

(1) Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional terbagi


menjadi:

a. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan; dan


b. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan.
(2) Pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibina dan
diawasi oleh Pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jenis pelayanan kesehatan
tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 60

(1) Setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan tradisional yang


menggunakan alat dan teknologi harus mendapat izin dari lembaga kesehatan
yang berwenang.

(2) Penggunaan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan
dengan norma agama dan kebudayaan masyarakat.

Pasal 61

(1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan,


meningkatkan dan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional yang dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.

(2) Pemerintah mengatur dan mengawasi pelayanan kesehatan tradisional


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan didasarkan pada keamanan,
kepentingan, dan perlindungan masyarakat.

Bagian Keempat
Peningkatan Kesehatan dan Pencegahan Penyakit

Pasal 62

(1) Peningkatan kesehatan merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat untuk mengoptimalkan
kesehatan melalui kegiatan penyuluhan, penyebarluasan informasi, atau kegiatan
lain untuk menunjang tercapainya hidup sehat.
(2) Pencegahan penyakit merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat untuk menghindari atau
mengurangi risiko, masalah, dan dampak buruk akibat penyakit.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin dan menyediakan fasilitas untuk
kelangsungan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit.
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan
penyakit diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima
Penyembuhan Penyakit dan Pemulihan Kesehatan

Pasal 63

(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan diselenggarakan untuk


mengembalikan status kesehatan, mengembalikan fungsi tubuh akibat penyakit
dan/atau akibat cacat, atau menghilangkan cacat.
(2) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan
pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan.
(3) Pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan
ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat
dipertanggungjawabkan kemanfaatan dan keamanannya.
(4) Pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau
ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
(5) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan atau berdasarkan cara lain
yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 64

(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui


transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan,
bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca.
(2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk
dikomersialkan.
(3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.

Pasal 65
(1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di
fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

(2) Pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh dari seorang donor harus
memperhatikan kesehatan pendonor yang bersangkutan dan mendapat
persetujuan pendonor dan/atau ahli waris atau keluarganya.

(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi organ
dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 66

Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari hewan, hanya dapat
dilakukan apabila telah terbukti keamanan dan kemanfaatannya.
Pasal 67

(1) Pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengambilan dan pengiriman spesimen
atau bagian organ tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 68

(1) Pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya
dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan pemasangan implan
obat dan/atau alat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 69
(1) Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.

(2) Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang
berlaku dalam masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara bedah plastik dan rekonstruksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 70

(1) Penggunaan sel punca hanya dapat dilakukan untuk tujuan penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan, serta dilarang digunakan untuk tujuan
reproduksi.

(2) Sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh berasal dari sel
punca embrionik.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan sel punca sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keenam
Kesehatan Reproduksi

Pasal 71

(1) Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial
secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang
berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada lakilaki dan
perempuan.

(2) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan;


b. pengaturan kehamilan, alat konstrasepsi, dan kesehatan seksual; dan

c. kesehatan sistem reproduksi.

(3) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui
kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Pasal 72

Setiap orang berhak:

a. menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta
bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah.
b. menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan,
dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan
martabat manusia sesuai dengan norma agama.

c. menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara
medis serta tidak bertentangan dengan norma agama.

d. memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi


yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 73

Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan


kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk
keluarga berencana.
Pasal 74

(1) Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif, kuratif,
dan/atau rehabilitatif, termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara
aman dan sehat dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya
reproduksi perempuan.
(2) Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan mengenai reproduksi dengan bantuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 75

(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:

a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik
yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit
genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki
sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis
bagi korban perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah
melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan
konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan
berwenang.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 76

Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:

a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid
terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;

b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang


memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;

c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;

d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan

e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh


Menteri.

Pasal 77

Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan
tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketujuh
Keluarga Berencana

Pasal 78

(1) Pelayanan kesehatan dalam keluarga berencana dimaksudkan untuk pengaturan


kehamilan bagi pasangan usia subur untuk membentuk generasi penerus yang
sehat dan cerdas.
(2) Pemerintah bertanggung jawab dan menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas
pelayanan, alat dan obat dalam memberikan pelayanan keluarga berencana yang
aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat.
(3) Ketentuan mengenai pelayanan keluarga berencana dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundangundangan.

Bagian Kedelapan
Kesehatan Sekolah

Pasal 79

(1) Kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup


sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat sehingga peserta didik dapat
belajar, tumbuh, dan berkembang secara harmonis dan setinggitingginya
menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.
(2) Kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan
melalui sekolah formal dan informal atau melalui lembaga pendidikan lain.
(3) Ketentuan mengenai kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kesembilan
Kesehatan Olahraga

Pasal 80

(1) Upaya kesehatan olahraga ditujukan untuk meningkatkan kesehatan dan


kebugaran jasmani masyarakat.

(2) Peningkatan derajat kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) merupakan upaya dasar dalam meningkatkan prestasi
belajar, kerja, dan olahraga.

(3) Upaya kesehatan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
melalui aktifitas fisik, latihan fisik, dan/atau olahraga.

Pasal 81

(1) Upaya kesehatan olahraga lebih mengutamakan pendekatan preventif dan


promotif, tanpa mengabaikan pendekatan kuratif dan rehabilitatif.
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan olahraga diselenggarakan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat.

Bagian Kesepuluh
Pelayanan Kesehatan Pada Bencana

Pasal 82

(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas


ketersediaan sumber daya, fasilitas, dan pelaksanaan pelayanan kesehatan secara
menyeluruh dan berkesinambungan pada bencana.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan
kesehatan pada tanggap darurat dan pascabencana.
(3) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup pelayanan
kegawatdaruratan yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah
kecacatan lebih lanjut.
(4) Pemerintah menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(5) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN), anggaran pendapatan dan belanja
daerah (APBD), atau bantuan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 83

(1) Setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada bencana harus
ditujukan untuk penyelamatan nyawa, pencegahan kecacatan lebih lanjut, dan
kepentingan terbaik bagi pasien.
(2) Pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Pasal 84

Ketentuan lebih lanjut tentang penyelenggaraan pelayanan kesehatan pada bencana


diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 85
(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun
swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi penyelamatan
nyawa pasien dan pencegahan kecacatan.
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada
bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien dan/atau
meminta uang muka terlebih dahulu.

Bagian Kesebelas
Pelayanan Darah

Pasal 86

(1) Pelayanan darah merupakan upaya pelayanan kesehatan yang memanfaatkan


darah manusia sebagai bahan dasar dengan tujuan kemanusiaan dan tidak untuk
tujuan komersial.
(2) Darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari pendonor darah
sukarela yang sehat dan memenuhi kriteria seleksi pendonor dengan
mengutamakan kesehatan pendonor.
(3) Darah yang diperoleh dari pendonor darah sukarela sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) sebelum digunakan untuk pelayanan darah harus dilakukan pemeriksaan
laboratorium guna mencegah penularan penyakit.

Pasal 87

(1) Penyelenggaraan donor darah dan pengolahan darah dilakukan oleh Unit
Transfusi Darah.
(2) Unit Transfusi Darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau organisasi sosial
yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kepalangmerahan.

Pasal 88

(1) Pelayanan transfusi darah meliputi perencanaan, pengerahan pendonor darah,


penyediaan, pendistribusian darah, dan tindakan medis pemberian darah kepada
pasien untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.
(2) Pelaksanaan pelayanan transfusi darah dilakukan dengan menjaga keselamatan
dan kesehatan penerima darah dan tenaga kesehatan dari penularan penyakit
melalui transfusi darah.
Pasal 89

Menteri mengatur standar dan persyaratan pengelolaan darah untuk pelayanan


transfusi darah.
Pasal 90

(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan pelayanan darah yang aman,
mudah diakses, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
(2) Pemerintah menjamin pembiayaan dalam penyelenggaraan pelayanan darah.
(3) Darah dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.

Pasal 91

(1) Komponen darah dapat digunakan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan
pemulihan kesehatan melalui proses pengolahan dan produksi.
(2) Hasil proses pengolahan dan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikendalikan oleh Pemerintah.

Pasal 92

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan darah diatur dengan Peraturan


Pemerintah.

Bagian Kedua Belas


Kesehatan Gigi dan Mulut

Pasal 93

(1) Pelayanan kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk peningkatan
kesehatan gigi, pencegahan penyakit gigi, pengobatan penyakit gigi, dan
pemulihan kesehatan gigi oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan.
(2) Kesehatan gigi dan mulut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
melalui pelayanan kesehatan gigi perseorangan, pelayanan kesehatan gigi
masyarakat, usaha kesehatan gigi sekolah.

Pasal 94
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas
pelayanan, alat dan obat kesehatan gigi dan mulut dalam rangka memberikan
pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh
masyarakat.

Bagian Ketiga Belas


Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Gangguan Pendengaran

Pasal 95

(1) Penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran merupakan


semua kegiatan yang dilakukan meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif,
dan rehabilitatif yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan indera
penglihatan, dan pendengaran masyarakat.

(2) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi


tanggung jawab bersama Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Pasal 96

Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan gangguan penglihatan dan


pendengaran diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat Belas


Kesehatan Matra

Pasal 97

(1) Kesehatan matra sebagai bentuk khusus upaya kesehatan diselenggarakan untuk
mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam lingkungan matra
yang serba berubah maupun di lingkungan darat, laut, dan udara.
(2) Kesehatan matra meliputi kesehatan lapangan, kesehatan kelautan dan bawah
air, serta kesehatan kedirgantaraan.
(3) Penyelenggaraan kesehatan matra harus dilaksanakan sesuai dengan standar dan
persyaratan.
(4) Ketentuan mengenai kesehatan matra sebagaimana dimaksud dalam pasal ini
diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima Belas
Pengamanan dan Penggunaan
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

Pasal 98

(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu,
dan terjangkau.
(2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang
mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat
dan bahan yang berkhasiat obat.
(3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi,
pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu
pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan
mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).

Pasal 99
(1) Sumber sediaan farmasi yang berasal dari alam semesta dan sudah terbukti
berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, dan/atau
perawatan, serta pemeliharaan kesehatan tetap harus dijaga kelestariannya.
(2) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah,
memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan
menggunakan sediaan farmasi yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya.
(3) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan sediaan farmasi.
Pasal 100
(1) Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan
dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan
tetap dijaga kelestariannya.
(2) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku obat
tradisional .

Pasal 101
(1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah,
memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan
menggunakan obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya.
(2) Ketentuan mengenai mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan,
meningkatkan, dan menggunakan obat tradisionaldiatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 102

(1) Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya
dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk
disalahgunakan.

(2) Ketentuan mengenai narkotika dan psikotropika dilaksanakan sesuai dengan


ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 103

(1) Setiap orang yang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, dan menggunakan


narkotika dan psikotropika wajib memenuhi standar dan/atau persyaratan
tertentu.

(2) Ketentuan mengenai produksi, penyimpanan, peredaran, serta penggunaan


narkotika dan psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 104

(1) Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk


melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan
farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau
keamanan dan/atau khasiat/kemanfaatan.

(2) Penggunaan obat dan obat tradisional harus dilakukan secara rasional.
Pasal 105
(1) Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi syarat
farmakope Indonesia atau buku standar lainnya.

(2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan
harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan.

Pasal 106

(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin
edar.

(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi
persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.

(3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari
peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar,
yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan
dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 107

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 108

(1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu


sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam Belas


Pengamanan Makanan dan Minuman

Pasal 109
Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi, mengolah, serta
mendistribusikan makanan dan minuman yang diperlakukan sebagai makanan dan
minuman hasil teknologi rekayasa genetik yang diedarkan harus menjamin agar
aman bagi manusia, hewan yang dimakan manusia, dan lingkungan.
Pasal 110

Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi dan mempromosikan produk
makanan dan minuman dan/atau yang diperlakukan sebagai makanan dan minuman
hasil olahan teknologi dilarang menggunakan kata-kata yang mengecoh dan/atau
yang disertai klaim yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
Pasal 111

(1) Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan
pada standar dan/atau persyaratan kesehatan.

(2) Makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang
berisi:

a. Nama produk;

b. Daftar bahan yang digunakan;

c. Berat bersih atau isi bersih;

d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan makanan dan
minuman kedalam wilayah Indonesia; dan

e. Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa.

(4) Pemberian tanda atau label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan
secara benar dan akurat.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian label sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.

(6) Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar, persyaratan
kesehatan, dan/atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan disita
untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 112
Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab mengatur dan mengawasi produksi,
pengolahan, pendistribusian makanan, dan minuman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 109, Pasal 110, dan Pasal 111.

Bagian Ketujuh Belas


Pengamanan Zat Adiktif

Pasal 113

(1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar
tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga,
masyarakat, dan lingkungan.
(2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk
yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang
penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat
sekelilingnya.
(3) Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus
memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan.

Pasal 114

Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia wajib
mencantumkan peringatan kesehatan.
Pasal 115

(1) Kawasan tanpa rokok antara lain:

a. fasilitas pelayanan kesehatan;

b. tempat proses belajar mengajar;

c. tempat anak bermain;

d. tempat ibadah;

e. angkutan umum;

f. tempat kerja; dan

g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.

(2) Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya.


Pasal 116

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedelapan
Belas Bedah Mayat

Pasal 117

Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantungsirkulasi dan sistem


pernafasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang
otak telah dapat dibuktikan.
Pasal 118

(1) Mayat yang tidak dikenal harus dilakukan upaya identifikasi.


(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas upaya
identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya identifikasi mayat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 119

(1) Untuk kepentingan penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan dapat


dilakukan bedah mayat klinis di rumah sakit.
(2) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk
menegakkan diagnosis dan/atau menyimpulkan penyebab kematian.
(3) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas
persetujuan tertulis pasien semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarga
terdekat pasien.
(4) Dalam hal pasien diduga meninggal akibat penyakit yang membahayakan
masyarakat dan bedah mayat klinis mutlak diperlukan untuk menegakkan
diagnosis dan/atau penyebab kematiannya, tidak diperlukan persetujuan.

Pasal 120

(1) Untuk kepentingan pendidikan di bidang ilmu kedokteran dan biomedik dapat
dilakukan bedah mayat anatomis di rumah sakit pendidikan atau di institusi
pendidikan kedokteran.
(2) Bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan terhadap mayat yang tidak dikenal atau mayat yang tidak diurus oleh
keluarganya, atas persetujuan tertulis orang tersebut semasa hidupnya atau
persetujuan tertulis keluarganya.
(3) Mayat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus telah diawetkan,
dipublikasikan untuk dicarikan keluarganya, dan disimpan sekurang-kurangnya
1 (satu) bulan sejak kematiannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 121

(1) Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan oleh
dokter sesuai dengan keahlian dan kewenangannya.

(2) Dalam hal pada saat melakukan bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis
ditemukan adanya dugaan tindak pidana, tenaga kesehatan wajib melaporkan
kepada penyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 122

(1) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensik
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Bedah mayat forensik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
dokter ahli forensik, atau oleh dokter lain apabila tidak ada dokter ahli forensik
dan perujukan ke tempat yang ada dokter ahli forensiknya tidak dimungkinkan.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas tersedianya
pelayanan bedah mayat forensik di wilayahnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bedah mayat forensik diatur
dengan Peraturan Menteri.

Pasal 123

(1) Pada tubuh yang telah terbukti mati batang otak dapat dilakukan tindakan
pemanfaatan organ sebagai donor untuk kepentingan transplantasi organ.
(2) Tindakan pemanfaatan organ donor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan kematian dan pemanfaatan organ
donor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 124

Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan sesuai dengan norma
agama, norma kesusilaan, dan etika profesi.
Pasal 125
Biaya pemeriksaan kesehatan terhadap korban tindak pidana dan/atau pemeriksaan
mayat untuk kepentingan hukum ditanggung oleh pemerintah melalui APBN dan
APBD.

BAB VII
KESEHATAN IBU, BAYI, ANAK,
REMAJA, LANJUT USIA, DAN PENYANDANG CACAT

Bagian Kesatu
Kesehatan ibu, bayi, dan anak

Pasal 126

(1) Upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu sehingga
mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka
kematian ibu.
(2) Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
(3) Pemerintah menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas, alat dan obat dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan ibu secara aman, bermutu, dan
terjangkau.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan ibu diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 127

(1) Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan
suami istri yang sah dengan ketentuan:

a. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan
ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;

b. dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan


kewenangan untuk itu; dan
c. pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

(2) Ketentuan mengenai persyaratan kehamilan di luar cara alamiah sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 128

(1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6
(enam) bulan, kecuali atas indikasi medis.

(2) Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan
waktu dan fasilitas khusus.

(3) Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di
tempatkerja dan tempat sarana umum.

Pasal 129

(1) Pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakan dalam rangka menjamin


hak bayi untuk mendapatkan air susu ibu secara eksklusif.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 130
Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak.
Pasal 131
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus ditujukan untuk
mempersiapkan generasi yang akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas
serta untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak.
(2) Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak masih dalam
kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas)
tahun.
(3) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama bagi orang tua,
keluarga, masyarakat, dan Pemerintah, dan pemerintah daerah.
Pasal 132
(1) Anak yang dilahirkan wajib dibesarkan dan diasuh secara bertanggung jawab
sehingga memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara sehat dan
optimal.
(2) Ketentuan mengenai anak yang dilahirkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan yang
berlaku untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui
imunisasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis-jenis imunisasi dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Pasal 133
(1) Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari segala bentuk
diskriminasi dan tindak kekerasan yang dapat mengganggu kesehatannya.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat berkewajiban untuk menjamin
terselenggaranya perlindungan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan menyediakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 134
(1) Pemerintah berkewajiban menetapkan standar dan/atau kriteria terhadap
kesehatan bayi dan anak serta menjamin pelaksanaannya dan memudahkan
setiap penyelenggaraan terhadap standar dan kriteria tersebut.
(2) Standar dan/atau kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
diselenggarakan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, dan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 135
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib menyediakan tempat dan
sarana lain yang diperlukan untuk bermain anak yang memungkinkan anak
tumbuh dan berkembang secara optimal serta mampu bersosialisasi secara sehat.
(2) Tempat bermain dan sarana lain yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilengkapi sarana perlindungan terhadap risiko kesehatan agar
tidak membahayakan kesehatan anak.
Bagian Kedua
Kesehatan Remaja

Pasal 136

(1) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja harus ditujukan untuk mempersiapkan


menjadi orang dewasa yang sehat dan produktif, baik sosial maupun ekonomi.
(2) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk untuk reproduksi remaja dilakukan agar terbebas dari berbagai
gangguan kesehatan yang dapat menghambat kemampuan menjalani kehidupan
reproduksi secara sehat.
(3) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Pasal 137

(1) Pemerintah berkewajiban menjamin agar remaja dapat memperoleh edukasi,


informasi, dan layanan mengenai kesehatan remaja agar mampu hidup sehat dan
bertanggung jawab.
(2) Ketentuan mengenai kewajiban Pemerintah dalam menjamin agar remaja
memperoleh edukasi, informasi dan layanan mengenai kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan pertimbangan moral nilai
agama dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Kesehatan Lanjut Usia dan Penyandang Cacat

Pasal 138

(1) Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus ditujukan untuk menjaga
agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial maupun ekonomis sesuai
dengan martabat kemanusiaan.
(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
memfasilitasi kelompok lanjut usia untuk dapat tetap hidup mandiri dan
produktif secara sosial dan ekonomis.

Pasal 139
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus ditujukan untuk menjaga
agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis, dan bermartabat.
(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif
secara sosial dan ekonomis.

Pasal 140

Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia dan penyandang cacat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 138 dan Pasal 139 dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah, dan/atau masyarakat.

BAB VIII
GIZI

Pasal 141

(1) Upaya perbaikan gizi masyarakat ditujukan untuk peningkatan mutu gizi
perseorangan dan masyarakat.

(2) Peningkatan mutu gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui :

a. perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang;

b. perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik, dan kesehatan;

c. peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan
ilmu dan teknologi; dan

d. peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.

(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat bersama-sama menjamin


tersedianya bahan makanan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi secara
merata dan terjangkau.

(4) Pemerintah berkewajiban menjaga agar bahan makanan sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) memenuhi standar mutu gizi yang ditetapkan dengan peraturan
perundangundangan.

(5) Penyediaan bahan makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara lintas sektor dan antarprovinsi, antarkabupaten atau antarkota.
Pasal 142

(1) Upaya perbaikan gizi dilakukan pada seluruh siklus kehidupan sejak dalam
kandungan sampai dengan lanjut usia dengan prioritas kepada kelompok rawan:
a. bayi dan balita;
b. remaja perempuan; dan

c. ibu hamil dan menyusui.

(2) Pemerintah bertanggung jawab menetapkan standar angka kecukupan gizi,


standar pelayanan gizi, dan standar tenaga gizi pada berbagai tingkat pelayanan.

(3) Pemerintah bertanggung jawab atas pemenuhan kecukupan gizi pada keluarga
miskin dan dalam situasi darurat.

(4) Pemerintah bertanggung jawab terhadap pendidikan dan informasi yang benar
tentang gizi kepada masyarakat.

(5) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan upaya untuk


mencapai status gizi yang baik.

Pasal 143

Pemerintah bertanggung jawab meningkatkan pengetahuan dan kesadaran


masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap peningkatan status gizi.

BAB IX
KESEHATAN JIWA

Pasal 144

(1) Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat
menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan
gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa.
(2) Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif pasien gangguan jiwa dan masalah
psikososial.
(3) Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
tanggung jawab bersama Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
(4) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab
menciptakan kondisi kesehatan jiwa yang setinggi-tingginya dan menjamin
ketersediaan, aksesibilitas, mutu dan pemerataan upaya kesehatan jiwa
sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (2).
(5) Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk mengembangkan
upaya kesehatan jiwa berbasis masyarakat sebagai bagian dari upaya kesehatan
jiwa keseluruhan, termasuk mempermudah akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan jiwa.

Pasal 145

Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin upaya kesehatan jiwa


secara preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk menjamin upaya
kesehatan jiwa di tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (3).
Pasal 146

(1) Masyarakat berhak mendapatkan informasi dan edukasi yang benar mengenai
kesehatan jiwa.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menghindari
pelanggaran hak asasi seseorang yang dianggap mengalami gangguan kesehatan
jiwa.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban menyediakan layanan
informasi dan edukasi tentang kesehatan jiwa.

Pasal 147

(1) Upaya penyembuhan penderita gangguan kesehatan jiwa merupakan tanggung


jawab Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
(2) Upaya penyembuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang berwenang dan di tempat yang tepat dengan tetap
menghormati hak asasi penderita.
(3) Untuk merawat penderita gangguan kesehatan jiwa, digunakan fasilitas
pelayanan kesehatan khusus yang memenuhi syarat dan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 148

(1) Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi persamaan perlakuan dalam
setiap aspek kehidupan, kecuali peraturan perundang-undangan menyatakan lain.

Pasal 149
(1) Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam
keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban
dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di
fasilitas pelayanan kesehatan.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib melakukan pengobatan
dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa
yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang
lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas pemerataan
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa dengan melibatkan peran serta
aktif masyarakat.
(4) Tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita
gangguan jiwa untuk masyarakat miskin.

Pasal 150

(1) Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan hukum (visum et


repertum psikiatricum) hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran
jiwa pada fasilitas pelayanan kesehatan.
(2) Penetapan status kecakapan hukum seseorang yang diduga mengalami gangguan
kesehatan jiwa dilakukan oleh tim dokter yang mempunyai keahlian dan
kompetensi sesuai dengan standar profesi.

Pasal 151

Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya kesehatan jiwa diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB X
PENYAKIT MENULAR DAN TIDAK MENULAR

Bagian Kesatu
Penyakit Menular

Pasal 152

(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab melakukan


upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular serta
akibat yang ditimbulkannya.
(2) Upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk melindungi masyarakat
dari tertularnya penyakit, menurunkan jumlah yang sakit, cacat dan/atau
meninggal dunia, serta untuk mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat
penyakit menular.
(3) Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit menular
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi individu atau masyarakat.
(4) Pengendalian sumber penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan terhadap lingkungan dan/atau orang dan sumber penularan lainnya.
(5) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
harus berbasis wilayah.
(6) Pelaksanaan upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui lintas
sektor.
(7) Dalam melaksanakan upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
dapat melakukan kerja sama dengan negara lain.
(8) Upaya pencegahan pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 153

Pemerintah menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang aman, bermutu, efektif,


terjangkau, dan merata bagi masyarakat untuk upaya pengendalian penyakit menular
melalui imunisasi.
Pasal 154

(1) Pemerintah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran
penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat,
serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan.
(2) Pemerintah dapat melakukan surveilans terhadap penyakit menular sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pemerintah dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat dan negara lain.
(4) Pemerintah menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat
karantina, dan lama karantina.

Pasal 155

(1) Pemerintah daerah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan
persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu
yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan.
(2) Pemerintah daerah dapat melakukan surveilans terhadap penyakit menular
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pemerintah daerah dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat.
(4) Pemerintah daerah menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina,
tempat karantina, dan lama karantina.
(5) Pemerintah daerah dalam menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran
penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu singkat dan
pelaksanaan surveilans serta menetapkan jenis penyakit yang memerlukan
karantina, tempat karantina, dan lama karantina berpedoman pada ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 156
(1) Dalam melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan
penyakit menular sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1), Pemerintah
dapat menyatakan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar
biasa (KLB).
(2) Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa
(KLB) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan berdasarkan hasil
penelitian yang diakui keakuratannya.
(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan upaya
penanggulangan keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa dan
upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3),
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 157

(1) Pencegahan penularan penyakit menular wajib dilakukan oleh masyarakat


termasuk penderita penyakit menular melalui perilaku hidup bersih dan sehat.
(2) Dalam pelaksanaan penanggulangan penyakit menular, tenaga kesehatan yang
berwenang dapat memeriksa tempat-tempat yang dicurigai berkembangnya
vektor dan sumber penyakit lain.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyakit menular sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua
Penyakit Tidak Menular

Pasal 158

(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat melakukan upaya pencegahan,


pengendalian, dan penanganan penyakit tidak menular beserta akibat yang
ditimbulkannya.
(2) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk meningkatkan pengetahuan,
kesadaran, kemauan berperilaku sehat dan mencegah terjadinya penyakit tidak
menular beserta akibat yang ditimbulkan.
(3) Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit tidak menular
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi individu atau masyarakat.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 159

(1) Pengendalian penyakit tidak menular dilakukan dengan pendekatan surveilan


faktor risiko, registri penyakit, dan surveilan kematian.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan memperoleh informasi
yang esensial serta dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam upaya
pengendalian penyakit tidak menular.
(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kerja sama
lintas sektor dan dengan membentuk jejaring, baik nasional maupun
internasional.

Pasal 160
(1) Pemerintah, pemerintah daerah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk
melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi yang benar tentang faktor risiko
penyakit tidak menular yang mencakup seluruh fase kehidupan.
(2) Faktor risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi diet tidak
seimbang, kurang aktivitas fisik, merokok, mengkonsumsi alkohol, dan perilaku
berlalu lintas yang tidak benar.

Pasal 161
(1) Manajemen pelayanan kesehatan penyakit tidak menular meliputi keseluruhan
spektrum pelayanan baik promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
(2) Manajemen pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola secara
profesional sehingga pelayanan kesehatan penyakit tidak menular tersedia, dapat
diterima, mudah dicapai, berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat.
(3) Manajemen pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dititikberatkan
pada deteksi dini dan pengobatan penyakit tidak menular.

BAB XI
KESEHATAN LINGKUNGAN

Pasal 162

Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang


sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang
mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 163

(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin ketersediaan


lingkungan yang sehat dan tidak mempunyai risiko buruk bagi kesehatan.
(2) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup lingkungan
permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum.

(3) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bebas dari unsur-unsur
yang menimbulkan gangguan kesehatan, antara lain:

a. limbah cair;

b. limbah padat;

c. limbah gas;

d. sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan


pemerintah;

e. binatang pembawa penyakit;

f. zat kimia yang berbahaya;

g. kebisingan yang melebihi ambang batas;

h. radiasi sinar pengion dan non pengion;

i. air yang tercemar;

j. udara yang tercemar; dan

k. makanan yang terkontaminasi.

(4) Ketentuan mengenai standar baku mutu kesehatan lingkungan dan proses
pengolahan limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3),
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XII
KESEHATAN KERJA

Pasal 164

(1) Upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat
dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan
oleh pekerjaan.
(2) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pekerja
di sektor formal dan informal.
(3) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi
setiap orang selain pekerja yang berada di lingkungan tempat kerja.
(4) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
berlaku juga bagi kesehatan pada lingkungan tentara nasional Indonesia baik
darat, laut, maupun udara serta kepolisian Republik Indonesia.
(5) Pemerintah menetapkan standar kesehatan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(6) Pengelola tempat kerja wajib menaati standar kesehatan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dan menjamin lingkungan kerja yang sehat
serta bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan kerja.
(7) Pengelola tempat kerja wajib bertanggung jawab atas kecelakaan kerja yang
terjadi di lingkungan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 165

(1) Pengelola tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya kesehatan melalui
upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan bagi tenaga kerja.
(2) Pekerja wajib menciptakan dan menjaga kesehatan tempat kerja yang sehat dan
menaati peraturan yang berlaku di tempat kerja.
(3) Dalam penyeleksian pemilihan calon pegawai pada perusahaan/instansi, hasil
pemeriksaan kesehatan secara fisik dan mental digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 166

(1) Majikan atau pengusaha wajib menjamin kesehatan pekerja melalui upaya
pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan serta wajib menanggung
seluruh biaya pemeliharaan kesehatan pekerja.
(2) Majikan atau pengusaha menanggung biaya atas gangguan kesehatan akibat
kerja yang diderita oleh pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Pemerintah memberikan dorongan dan bantuan untuk perlindungan pekerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
BAB XIII
PENGELOLAAN KESEHATAN

Pasal 167

(1) Pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah


daerah dan/atau masyarakat melalui pengelolaan administrasi kesehatan,
informasi kesehatan, sumber daya kesehatan, upaya kesehatan, pembiayaan
kesehatan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat, ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang kesehatan, serta pengaturan hukum kesehatan secara terpadu
dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya.
(2) Pengelolaan kesehatan dilakukan secara berjenjang di pusat dan daerah.
(3) Pengelolaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam suatu
sistem kesehatan nasional.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Presiden.

BAB XIV
INFORMASI KESEHATAN

Pasal 168

(1) Untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang efektif dan efisien diperlukan
informasi kesehatan.
(2) Informasi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
sistem informasi dan melalui lintas sektor.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 169

Pemerintah memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk memperoleh akses


terhadap informasi kesehatan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.
BAB XV
PEMBIAYAAN KESEHATAN

Pasal 170

(1) Pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang


berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan
termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin
terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat setinggi-tingginya.
(2) Unsur-unsur pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas sumber pembiayaan, alokasi, dan pemanfaatan.
(3) Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari Pemerintah, pemerintah daerah,
masyarakat, swasta dan sumber lain.
(4) Pasal 171
(5) Besar anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima
persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji.
(6) Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota
dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah di luar gaji.
(7) Besaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurang-
kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan
dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pasal 172

(1) Alokasi pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 ayat (3)
ditujukan untuk pelayanan kesehatan di bidang pelayanan publik, terutama bagi
penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak terlantar.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara alokasi pembiayaan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 173

(1) Alokasi pembiayaan kesehatan yang bersumber dari swasta sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 170 ayat (3) dimobilisasi melalui sistem jaminan sosial
nasional dan/atau asuransi kesehatan komersial.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional
dan/atau asuransi kesehatan komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XVI
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 174

(1) Masyarakat berperan serta, baik secara perseorangan maupun terorganisasi


dalam segala bentuk dan tahapan pembangunan kesehatan dalam rangka
membantu mempercepat pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya.
(2) Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup keikutsertaan secara
aktif dan kreatif.

BAB XVII
BADAN PERTIMBANGAN KESEHATAN

Bagian Kesatu
Nama dan Kedudukan

Pasal 175

Badan pertimbangan kesehatan merupakan badan independen, yang memiliki tugas,


fungsi, dan wewenang di bidang kesehatan.

Pasal 176

(1) Badan pertimbangan kesehatan berkedudukan di Pusat dan daerah.


(2) Badan pertimbangan kesehatan pusat dinamakan Badan Pertimbangan
Kesehatan Nasional selanjutnya disingkat BPKN berkedudukan di ibukota
Negara Republik
(3) Indonesia.
(4) Badan pertimbangan kesehatan daerah selanjutnya disingkat BPKD
berkedudukan di provinsi dan kabupaten/kota.
(5) Kedudukan BPKN dan BPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
berada sampai pada tingkat kecamatan.
Bagian Kedua
Peran, Tugas, dan Wewenang

Pasal 177

(1) BPKN dan BPKD berperan membantu pemerintah dan masyarakat dalam bidang
kesehatan sesuai dengan lingkup tugas masing-masing.

(2) BPKN dan BPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan
wewenang antara lain:
a. menginventarisasi masalah melalui penelaahan terhadap berbagai informasi
dan data yang relevan atau berpengaruh terhadap proses pembangunan
kesehatan;
b. memberikan masukan kepada pemerintah tentang sasaran pembangunan
kesehatan selama kurun waktu 5 (lima) tahun;
c. menyusun strategi pencapaian dan prioritas kegiatan pembangunan
kesehatan;
d. memberikan masukan kepada pemerintah dalam pengidentifikasi dan
penggerakan sumber daya untuk pembangunan kesehatan;
e. melakukan advokasi tentang alokasi dan penggunaan dana dari semua
sumber agar pemanfaatannya efektif, efisien, dan sesuai dengan strategi
yang ditetapkan;
f. memantau dan mengevaluasi pelaksanaan pembangunan kesehatan; dan
g. merumuskan dan mengusulkan tindakan korektif yang perlu dilakukan
dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan yang menyimpang.

(3) BPKN dan BPKD berperan membantu pemerintah dan masyarakat dalam bidang
kesehatan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, susunan organisasi dan


pembiayaan BPKN dan BPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Presiden.

BAB XVIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian Kesatu Pembinaan

Pasal 178

Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan terhadap masyarakat dan


terhadap setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya
kesehatan di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.

Pasal 179

(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 diarahkan untuk:

a. memenuhi kebutuhan setiap orang dalam memperoleh akses atas sumber


daya di bidang kesehatan;

b. menggerakkan dan melaksanakan penyelenggaraan upaya kesehatan;

c. memfasilitasi dan menyelenggarakan fasilitas kesehatan dan


fasilitas pelayanan kesehatan;

d. memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan perbekalan kesehatan,


termasuk sediaan farmasi dan alat kesehatan serta makanan dan minuman;

e. memenuhi kebutuhan gizi masyarakat sesuai dengan standar dan


persyaratan;

f. melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat


menimbulkan bahaya bagi kesehatan.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:

a. komunikasi, informasi, edukasi dan pemberdayaan masyarakat;

b. pendayagunaan tenaga kesehatan;

c. pembiayaan.

Pasal 180
Dalam rangka pembinaan, Pemerintah dan pemerintah daerah, dapat memberikan
penghargaan kepada orang atau badan yang telah berjasa dalam setiap kegiatan
mewujudkan tujuan kesehatan.
Pasal 181

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinan diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua Pengawasan

Pasal 182

(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap masyarakat dan setiap penyelenggara


kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya
kesehatan.
(2) Menteri dalam melakukan pengawasan dapat memberikan izin terhadap setiap
penyelengaraan upaya kesehatan.
(3) Menteri dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dapat mendelegasikan kepada lembaga pemerintah non
kementerian, kepala dinas di provinsi, dan kabupaten/kota yang tugas pokok dan
fungsinya di bidang kesehatan.
(4) Menteri dalam melaksanakan pengawasan mengikutsertakan masyarakat.

Pasal 183

Menteri atau kepala dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 dalam
melaksanakan tugasnya dapat mengangkat tenaga pengawas dengan tugas pokok
untuk melakukan pengawasan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan
sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.

Pasal 184

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, tenaga


pengawas mempunyai fungsi:

a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan yang


berhubungan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan;
b. memeriksa perizinan yang dimiliki oleh tenaga kesehatan dan fasilitas
kesehatan.

Pasal 185
Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat dilakukannya pemeriksaan oleh
tenaga pengawas mempunyai hak untuk menolak pemeriksaan apabila tenaga
pengawas yang bersangkutan tidak dilengkapi dengan tanda pengenal dan surat
perintah pemeriksaan.
Pasal 186

Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan atau patut diduga adanya
pelanggaran hukum di bidang kesehatan, tenaga pengawas wajib melaporkan kepada
penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 187

Ketentuan lebih lanjut tentang pengawasan diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 188

(1) Menteri dapat mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan
fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini.

(2) Menteri dapat mendelegasikan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) kepada lembaga pemerintah nonkementerian, kepala dinas provinsi, atau
kabupaten/kota yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kesehatan.

(3) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. peringatan secara tertulis;

b. pencabutan izin sementara atau izin tetap.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan tindakan administratif
sebagaimana dimaksud pasal ini diatur oleh Menteri.

BAB XIX
PENYIDIKAN

Pasal 189

(1) Selain penyidik polisi negara Republik Indonesia, kepada pejabat pegawai
negeri sipil tertentu di lingkungan pemerintahan yang menyelenggarakan urusan
di bidang kesehatan juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan.

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang


tindak pidana di bidang kesehatan;

b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak


pidana di bidang kesehatan;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana di bidang kesehatan;

d. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak


pidana di bidang kesehatan;

e. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam


perkara tindak pidana di bidang kesehatan;

f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak


pidana di bidang kesehatan;

g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang


membuktikan adanya tindak pidana di bidang kesehatan.

(3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh penyidik
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

BAB XX
KETENTUAN PIDANA

Pasal 190

(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang


melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang
dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang
dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2)
atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan
dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

Pasal 191

Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional
yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat
(1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 192

Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh
dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 193

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan rekonstruksi untuk
tujuan mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 diancam
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
Pasal 194

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Pasal 195
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih apapun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 Ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
Pasal 196

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi
dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan
keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 197

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi
dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas tahun)
dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 198

Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik
kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 199
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak
mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dendan paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).

Pasal 200
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu
eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
Pasal 201
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal
191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200
dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana
denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198,
Pasal 199, dan Pasal 200.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat
dijatuhi pidana tambahan berupa:

a. pencabutan izin usaha; dan/atau


b. pencabutan status badan hukum.

BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 202

Peraturan Perundang-undangan sebagai pelaksanaan UndangUndang ini ditetapkan


paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal pengundangan Undang-Undang ini.
Pasal 203

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-


Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 204

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992


tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 205

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Oktober 200913


Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 13 Oktober 200913 Oktober 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 144144

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
KEPUTUSAN PRESIDEN NO. 22 TAHUN 1993
TENTANG : PENYAKIT YANG TIMBUL KARENA
HUBUNGAN KERJA

Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor : 22 TAHUN 1993 (22/1993)

Tanggal : 27 PEBRUARI 1993 (JAKARTA)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :
Bahwa untuk lebih meningkatkan perlindungan terhadap tenaga kerja, Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja menetapkan
perlunya pengaturan mengenai penyakit yang timbul karena hubungan kerja dengan
Keputusan Presiden.

Mengingat :
1. Pasal (1)">4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3520);

MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENYAKIT
YANG TIMBUL KARENA HUBUNGAN KERJA.

Pasal 1
Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh
pekerjaan atau lingkungan kerja.
Pasal 2
Setiap tenaga kerja yang menderita penyakit yang timbul karena hubungan kerja
berhak mendapat jaminan Kecelakaan Kerja baik pada saat masih dalam hubungan
kerja maupun setelah hubungan kerja berakhir.

Pasal 3
(1) Hak atas Jaminan Kecelakaan Kerja bagi tenaga kerja yang hubungan kerjanya
telah berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan, apabila menurut
hasil diagnosis dokter yang merawat penyakit tersebut diakibatkan oleh
pekerjaan selama tenaga kerja yang bersangkutan masih dalam hubungan kerja.
(2) Hak jaminan kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan,
apabila penyakit tersebut timbul dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun
terhitung sejak hubungan kerja tersebut berakhir.

Pasal 4
Penyakit yang timbul karena hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Presiden ini.

Pasal 5
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Pebruari 1993

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

SOEHARTO
Salinan sesuai dengan aslinya

SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Hukum dan perundang-undangan

ttd.

Bambang Kesowo, S.H., LL.M.


CATATAN

LAMPIRAN
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1993 TANGGAL 27 Pebruari 1993

PENYAKIT YANG TIMBUL KARENA HUBUNGAN KERJA

NO. PENYAKIT

1. Pnemokoniosis yang disebabkan debu mineral pembentuk jaringan parut


(silicosis, antrakosilikosis, asbestosis) dan silikotuberkolosis yang silikosisnya
merupakan faktor utama penyebab cacat atau kematian.
2. Penyakit paru dan saluran pernapasan (bronkhopulmoner) yang disebabkan oleh
debu logam keras.
3. Penyakit paru dan saluran pernapasan (bronkhopulmoner) yang disebabkan oleh
debu kapas, vlas, henep dan sisal (bissinosis).
4. Asma akibat kerja yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi dan zat perangsang
yang dikenal yang berada dalam proses pekerjaan.
5. Alveolitis allergika yang disebabkan oleh faktor dari luar sebagai akibat
penghirupan debu organik.
6. Penyakit yang disebabkan oleh berilium atau persenyawaannya yang beracun.
7. Penyakit yang disebabkan oleh kadmium atau persenyawaannya yang beracun.
8. Penyakit yang disebabkan fosfor atau persenyawaannya yang beracun.
9. Penyakit yang disebabkan oleh krom atau persenyawaannya yang beracun.
10. Penyakit yang disebabkan oleh mangan atau persenyawaan-nya yang beracun.
11. Penyakit yang disebabkan oleh arsen atau persenyawaan-nya yang beracun.
12. Penyakit yang disebabkan oleh raksa atau persenyawaan-nya yang beracun.
13. Penyakit yang disebabkan oleh timbal atau persenyawaan-nya yang beracun.
14. Penyakit yang disebabkan oleh fluor atau persenyawaan-nya yang beracun.
15. Penyakit yang disebabkan oleh karbon disulfida. beracun.
16. Penyakit yang disebabkan oleh derivat halogen dari persenyawaan hidrokarbon
alifatik atau aromatik yang beracun.
17. Penyakit yang disebabkan oleh benzena atau homolognya yang beracun.
18. Penyakit yang disebabkan oleh derivat nitro dan amina dari benzena atau
homolognya yang beracun.
19. Penyakit yang disebabkan oleh nitrogliserin atau ester asam nitrat lainnya.
20. Penyakit yang disebabkan oleh alkohol, glikol atau keton.
21. Penyakit yang disebabkan oleh gas atau uap penyebab asfiksia atau keracunan
seperti karbon monoksida, hidrogensianida, hidrogen sulfida, atau derivatnya
yang beracun, amoniak seng, braso dan nikel.
22. Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan.
23. Penyakit yang disebabkan oleh getaran mekanik (kelainan-kelainan otot, urat,
tulang persendian, pembuluh darah tepi atau syaraf tepi.
24. Penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dalam udara yang berkenaan lebih.
25. Penyakit yang disebabkan oleh radiasi elektro magnetik dan radiasi yang
mengion.
26. Penyakit kulit (dermatosis) yang disebabkan oleh penyebab fisik, kimiawi atau
biologik.
27. Kanker kulit epitelioma primer yang disebabkan oleh ter, pic, bitumen, minyak
mineral, antrasena atau persenyawaan, produk atau residu dari zat tersebut.
28. Kanker paru atau mesotelioma yang disebabkan oleh asbes.
29. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit yang didapat
dalam suatu pekerjaan yang memiliki risiko kontaminasi khusus.
30. Penyakit yang disebabkan oleh suhu tinggi atau rendah atau radiasi atau
kelembaban udara tinggi.
31. Penyakit yang disebabkan bahan kimia lainnya termasuk bahan obat.

Anda mungkin juga menyukai