Disusun oleh :
P27904117017
Menimbang :
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat
(1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
DAN
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
BAB II
Pasal 3
Pasal 4
BAB III
KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA
Pasal 5
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh
pekerjaan
Pasal 6
BAB IV
Pasal 7
Pasal 8
(1) Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang antara lain
meliputi :
a. penduduk dan tenaga kerja;
b. kesempatan kerja;
c. pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja;
d. produktivitas tenaga kerja;
e. hubungan industrial;
f. kondisi lingkungan kerja;
g. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan
h. jaminan sosial tenaga kerja.
(2) Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperoleh dari
semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta.
(3) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan
penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PELATIHAN KERJA
Pasal 9
Pasal 10
(1) Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan
dunia usaha, baik di da-lam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu
pada standar kompetensi kerja.
(3) Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 11
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14
(1) Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan hukum Indonesia atau
perorangan.
(2) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
memperoleh izin atau men daftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
(3) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah mendaftarkan
kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
kabupaten/kota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 15
Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan :
a. tersedianya tenaga kepelatihan;
b. adanya kurikulum yang sesuai dengan
tingkat pelatihan; c. tersedianya sarana
dan prasarana pelatihan kerja; dan
c. tersedianya dana bagi kelangsungan
kegiatan penyelenggaraan pelatihan kerja.
Pasal 16
(1) Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh izin dan lembaga
pelatihan kerja pemerintah yang telah terdaftar dapat memperoleh
akreditasi dari lembaga akreditasi.
(2) Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat
independen terdiri atas unsur masya rakat dan pemerintah ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
(3) Organisasi dan tata kerja lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur dengan Kepu tusan Menteri.
Pasal 17
Pasal 18
(1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti
pelatihan kerja yang di selenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah,
lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja.
(2) Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
melalui sertifikasi kompe tensi kerja
(3) Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat pula
diikuti oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman.
(4) Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional
sertifikasi profesi yang inde penden.
(5) Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan
memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang
cacat yang bersangkutan.
Pasal 20
Pasal 22
Pasal 23
Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan
kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.
Pasal 24
Pasal 25
(1) Pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia wajib mendapat izin
dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara
pemagangan harus ber bentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara perizinan pemagangan di luar wilayah
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 26
Pasal 27
(1) Menteri dapat mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi persyaratan untuk
melaksanakan program pemagangan.
(2) Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri
harus memperhatikan ke pentingan perusahaan, masyarakat, dan negara.
Pasal 28
(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan
serta melakukan koordinasi pela tihan kerja dan pemagangan dibentuk
lembaga koordinasi pelatihan kerja nasional.
(2) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga koordinasi pelatihan
kerja sebagaimana dimaksud da lam ayat (1), diatur dengan Keputusan
Presiden.
Pasal 29
BAB VI
Pasal 31
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih,
mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di
dalam atau di luar negeri.
Pasal 32
(1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif,
serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
(2) Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan
yang tepat sesuai de ngan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan
dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.
(3) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan
kesempatan kerja dan penye diaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program
nasional dan daerah.
Pasal 33
Pasal 34
(1) Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri
tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan
tenaga kerja.
(2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib memberikan perlindu ngan sejak rekrutmen sampai
penempatan tenaga kerja
(3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam
mempekerjakan tenaga kerja wajib memberi kan perlindungan yang
mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental
maupun fisik tenaga kerja.
Pasal 36
(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat
(1) terdiri dari :
a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenaga-kerjaan; dan
b. lembaga swasta berbadan hukum.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf b dalam melak sanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib
memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 38
BAB VII
Pasal 39
Pasal 40
(1) Perluasan kesempatan kerja di luar hubungan kerja dilakukan melalui penciptaan
kegiatan yang produktif dan berkelanjutan dengan mendayagunakan potensi
sumber daya alam, sumber daya manusia dan teknologi tepat guna.
(2) Penciptaan perluasan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan pola pembentukan dan pembinaan tenaga kerja mandiri,
penerapan sistem padat karya, penerapan teknologi tepat guna, dan pendayagunaan
tenaga kerja sukarela atau pola lain yang dapat mendorong terciptanya perluasan
kesempatan kerja.
Pasal 41
Pasal 42
(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki
izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja
asing.
(3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku
bagi perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing
sebagai pegawai diplomatik dan konsuler.
(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan
kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.
(5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya
habis dan tidak dapat di perpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing
lainnya.
Pasal 43
(1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana
penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.
(2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya me muat keterangan :
a. alasan penggunaan tenaga kerja asing;
b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi
perusahaan yang bersangkutan;
c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan
d. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga
kerja asing yang dipekerjakan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi
pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing
diatur dengan Keputu san Menteri.
Pasal 44
(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar
kompetensi yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 45
Pasal 46
(1) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia
dan/atau jabatan-jabatan ter tentu.
(2) Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Keputusan Menteri
Pasal 47
(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang
dipekerjakannya.
(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku
bagi instansi pe merintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional,
lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga
pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
(4) Ketentuan mengenai besarnya kompensasi dan penggunaannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan tenaga
kerja asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.
Pasal 49
BAB IX
HUBUNGAN KERJA
Pasal 50
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan
pekerja/buruh.
Pasal 51
Pasal 52
Pasal 53
Pasal 54
(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat :
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e
dan f, tidak boleh ber-tentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja
bersama, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang kurangnya
rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh
dan pengusaha masing masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.
Pasal 55
Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para
pihak.
Pasal 56
(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didasarkan atas :
a. jangka waktu; atau
b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Pasal 57
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus
menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan
dengan ketentuan sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai
perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
(3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing,
apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang
berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Pasal 58
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa
percobaan kerja.
(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi
hukum.
Pasal 59
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu
yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam
waktu tertentu, yaitu :
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat
diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali
untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut,
paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah
memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi
masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu
yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1
(satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum
menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 60
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan
kerja paling lama 3 (tiga) bulan.
(2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha
dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku
Pasal 61
Pasal 62
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu
yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja
bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang
mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar
upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Pasal 63
(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan,
maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh
yang bersangkutan.
(2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang
kurangnya memuat keterangan :
a. nama dan alamat pekerja/buruh;
b. tanggal mulai bekerja;
c. jenis pekerjaan; dan
d. besarnya upah.
Pasal 64
Pasal 65
(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan
oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi.
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang
tidak berhubungan lang-sung dengan proses produksi harus memenuhi syarat
sebagai berikut :
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana
dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu
yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara
tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan
yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain
yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara
tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan
memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a,
huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan pemberi pekerjaan.
BAB X
PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN
PARAGRAF 1
PENYANDANG CACAT
Pasal 67
(1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan
perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
(2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PARAGRAF 2
ANAK
Pasal 68
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang
berumurantara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk
melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan
fisik, mental, dan sosial.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagai-mana dimaksud
dalamayat (1) ha-rus memenuhi persyaratan :
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g dikecualikan bagi
anak yangbekerja pada usaha keluarganya.
Pasal 70
(1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum
pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas)
tahun.
(3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat :
a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan
pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
Pasal 71
(1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
memenuhisyarat :
a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial,
dan waktusekolah.
(3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat
sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 72
Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja
anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.
Pasal 73
Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
Pasal 74
(1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang
terburuk.
(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
(3) Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak
sebagaimana di-maksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 75
(1) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar
hubungankerja.
(2) Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
PeraturanPemerintah.
PARAGRAF 3
PEREMPUAN
Pasal 76
(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun
dilarangdipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai
denganpukul 07.00 wajib :
a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan
yangberangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan
Menteri.
PARAGRAF 4
WAKTU KERJA
Pasal 77
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam)
hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5
(lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi sektor
usahaatau peker-jaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu
sebagaimanadimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 78
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu)
hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b tidak
berlaku bagisektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana dimaksud
dalamayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 79
(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi :
a. istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama
4(empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau
2(dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c. cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh
yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
(3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur
dalamperjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya berlaku
bagipekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.
(5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 80
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/ buruh untuk
melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
Pasal 81
(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan
kepadapengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian
kerja,peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 82
(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan
sebelumsaatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan
menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
Pasal 83
Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya
untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Pasal 84
Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh.
Pasal 85
(2) Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi
apabilajenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus-
menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan
pengusaha.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur
resmisebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib membayar upah kerja lembur.
(4) Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diaturdengan Keputusan Menteri.
Paragraf 5
Pasal 86
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang
optimaldiselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai
denganperaturan perundang- undangan yang berlaku.
Pasal 87
(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
yangterintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
(2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan
kerjasebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 88
(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang
layakbagi kemanusiaan.
(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaansebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan
pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
a. upah minimum;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a
berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan mem-perhatikan produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi.
Pasal 89
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri
atas :
(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian
kebutuhanhidup layak.
(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur
denganmemperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau
Bupati/Walikota.
Pasal 90
(1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana
dimaksuddalam Pasal 89.
(2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud
dalamPasal 89 dapat dilakukan penangguhan.
(3) Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 91
(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan
pekerja/buruhatau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan
pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau
bertentangandengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi
hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 92
(1) Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan,
masakerja, pendidikan, dan kompetensi.
(3) Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diaturdengan Keputusan Menteri.
Pasal 93
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib
membayarupah apabila :
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya
sehingga tidakdapat melakukan pekerjaan;
a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah;
b. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah; dan
d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah sebelum
pemutusanhubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
(1) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut :
e. isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
g. anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 (satu)
hari.
(2) Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 94
Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah
pokok sedikit-dikitnya 75 % (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan
tunjangan tetap.
Pasal 95
(1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya
dapatdikenakan denda.
(4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan
perundangundangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh
merupakan utang yang didahulukan pem-bayarannya.
Pasal 96
Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan
kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya
hak.
Pasal 97
Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup layak,
dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, penetapan upah
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dan pengenaan denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 98
(1) Untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan yang
akanditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem pengupahan nasional
dibentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(2) Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari
unsurpemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/-serikat buruh, perguruan tinggi,
dan pakar.
(3) Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden,sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten/Kota diangkat
dan diberhentikan oleh Gubenur/ Bupati/Walikota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara
pengangkatandan pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja Dewan
Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan
Presiden.
BAGIAN KETIGA
KESEJAHTERAAN
Pasal 99
(1) Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga
kerja.
(2) Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai
denganperaturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 100
(2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilak?
sanakandengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan
perusa?haan.
(3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan
kebutuhanpekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 101
(3) Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai
denganperaturan perundang-undangan yang berlaku.
HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 102
Pasal 103
Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana :
a. serikat pekerja/serikat buruh;
b. organisasi pengusaha;
e. peraturan perusahaan;
Pasal 104
(1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, serikat
pekerja/serikatburuh ber-hak menghimpun dan mengelola keuangan serta
mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok.
(3) Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diaturdalam ang-garan dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat
buruh yang bersangkutan.
BAGIAN KETIGA
ORGANISASI PENGUSAHA
Pasal 105
(1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha.
(2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan perundang-
undanganyang ber-laku.
BAGIAN KEEMPAT
LEMBAGA KERJA SAMA BIPARTIT
Pasal 106
(1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/ buruh atau lebih
wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit.
(2) Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi sebagai
forumkomunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan.
(3) Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
terdiridari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh
secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga kerja
samabipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan
Menteri.
BAGIAN KELIMA
LEMBAGA KERJA SAMA TRIPARTIT
Pasal 107
(1) Lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada
pemerintahdan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah
ketenagakerjaan.
(2) Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari :
a. Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota; dan
b. Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(3) Keanggotaan Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari unsur pemerintah, organisasi
pengusaha,dan seri-kat pekerja/serikat buruh.
(4) Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud
dalamayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAGIAN KEENAM
PERATURAN PERUSAHAAN
Pasal 108
(2) Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berlakubagi peru-sahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama.
Pasal 109
Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang
bersangkutan.
Pasal 110
(1) Peraturan perusahaan disusun dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari
wakilpekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh
makawakil pe-kerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pengurus serikat
pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja/serikat
buruh, wakilpekerja/ buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pekerja/buruh
yang dipilih secara demokratis untuk mewakili kepentingan para pekerja/buruh di
perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 111
(2) Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
peraturanperundang undangan yang berlaku.
(3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui
setelahhabis masa berlakunya.
(4) Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat pekerja/ serikat buruh
diperusahaan meng hendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama, maka
pengusaha wajib melayani.
(5) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud
dalam ayat(4) tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan tetap berlaku
sampai habis jangka waktu berlakunya.
Pasal 112
(1) Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk
sebagaimanadimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) harus sudah diberikan dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan diterima.
(2) Apabila peraturan perusahaan telah sesuai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 111 ayat
(1) danayat (2), maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sudah terlampaui dan peraturan perusahaan belum disahkan oleh Menteri atau
pejabat yang ditunjuk, maka peraturan perusahaan dianggap telah mendapatkan
pengesahan.
(3) Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalamPasal 111 ayat (1) dan ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk harus
memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan peraturan
perusahaan.
(4) Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan
diterima olehpengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pengusaha wajib
menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah diperbaiki kepada Menteri atau
pejabat yang ditunjuk.
Pasal 113
(1) Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya
dapatdilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh.
(2) Peraturan perusahaan hasil perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
mendapatpengesa-han dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 114
Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan
perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh.
Pasal 115
Ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur dengan
Keputusan Menteri.
BAGIAN KETUJUH
PERJANJIAN KERJA BERSAMA
Pasal 116
(1) Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa
serikatpekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
(2) Penyusunan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
secaramusya-warah.
(3) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuat secara
tertulisdengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia.
(4) Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat tidak menggunakan bahasa
Indonesia,maka per-janjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia oleh penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut dianggap sudah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 117
Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai
kesepakatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
Pasal 118
Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang berlaku
bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan.
Pasal 119
(1) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh, maka
serikatpekerja/seri-kat buruh tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam perundingan
pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha apabila memiliki jumlah anggota
lebih dari 50%(lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan
yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh
sebagaimanadimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50%
(lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan maka serikat
pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan dengan
pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat
dukungan lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di
perusahaan melalui pemungutan suara.
(3) Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai maka
serikatpekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan
untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha setelah melampaui
jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan suara dengan
mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 120
(1)Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh
maka yangberhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha
yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah
pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
(2)Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, maka
serikatpekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari
50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut
untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.
(3)Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi,
makapara seri-kat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya
ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat
pekerja/serikat buruh.
Pasal 121
Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal
120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota.
Pasal 122
Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan oleh
panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh
yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan
pengusaha.
Pasal 123
(2)Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang
masaberlakunya pa-ling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara
pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh.
(3)Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai paling cepat 3
(tiga) bulan se-belum berakhirnya perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.
(4)Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak mencapai
kesepakatan makaperjan-jian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku untuk
paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 124
(2)Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku.
(3)Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yangberlaku sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka ketentuan yang
bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan.
Pasal 125
Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja bersama, maka
perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kerja bersama
yang sedang berlaku.
Pasal 126
(2)Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi perjanjian kerja
bersamaatau peru-bahannya kepada seluruh pekerja/ buruh.
(3)Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja bersama kepada
setiappekerja/ buruh atas biaya perusahaan.
Pasal 127
(1)Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh bertentangan
denganperjanjian kerja bersama.
(2)Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bertentangandengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian kerja
tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam perjanjian kerja
bersama.
Pasal 128
Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja
bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama.
Pasal 129
(2)Dalam hal di perusahaan tidak ada lagi serikat pekerja/serikat buruh dan perjanjian kerja
bersamadiganti dengan peraturan perusahaan, maka ketentuan yang ada dalam peraturan
perusahaan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja
bersama.
Pasal 130
(1)Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang ataudiper-baharui dan di perusahaan tersebut hanya terdapat 1 (satu) serikat
pekerja/serikat buruh,maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja
bersama tidak mensyaratkan ketentuan dalam Pasal 119.
(2)Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang ataudiper-baharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu)
serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang dulu berunding tidak
lagi memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan
pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang
anggotanya lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di
perusahaan bersama-sama dengan serikat pekerja/serikat buruh yang membuat perjanjian
kerja bersama terdahulu dengan membentuk tim perunding secara proporsional.
(3)Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang ataudiper-baharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu)
serikat pekerja/ serikat buruh dan tidak satupun serikat pekerja/serikat buruh yang ada
memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan
pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan menurut ketentuan Pasal 120 ayat (2)
dan ayat (3).
Pasal 131
Pasal 132
(1)Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada hari penandatanganan kecuali ditentukan lain
dalamperjanjian kerja bersama tersebut.
(2)Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak yang membuat perjanjian kerja
bersamaselan-jutnya didaftarkan oleh pengusaha pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan.
Pasal 133
Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan
pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 134
Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha, pemerintah
wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.
Pasal 135
PARAGRAF 1
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Pasal 136
(2)Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam
ayat(1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat
buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang.
PARAGRAF 2
MOGOK KERJA
Pasal 137
Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan
secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.
Pasal 138
(2)Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat
memenuhiatau tidak memenuhi ajakan tersebut.
Pasal 139
Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani
kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatan-nya membahayakan keselamatan
jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau
membahayakan keselamatan orang lain.
Pasal 140
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b. tempat mogok kerja;
c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris
serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
(3)Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota
serikatpekerja/ serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau
penanggung jawab mogok kerja.
(4)Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka
demimenyelamat kan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil
tindakan sementara dengan cara :
a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses
produksi;atau
b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi
perusahaan.
Pasal 141
(1)Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan mogok
kerjasebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda terima.
(2)Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di
bidangketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya
pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang
berselisih.
(3)Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan kesepakatan,
makaharus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan
pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4)Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan
kesepakatan,maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja
kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang.
Pasal 142
(1)Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 139 dan Pa-sal 140 adalah mogok kerja tidak sah.
(2)Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
akan diaturdengan Keputusan Menteri.
Pasal 143
Pasal 144
Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 140, pengusaha dilarang :
a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar
perusahaan; atau
b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan
pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.
Pasal 145
Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan
hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak
mendapatkan upah.
PARAGRAF 3
PENUTUPAN PERUSAHAAN (LOCK-OUT)
Pasal 146
(1)Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak
pekerja/buruhsebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat
gagalnya perundingan.
(3)Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan ketentuan
hukum yangberlaku.
Pasal 147
Pasal 148
Pasal 149
(1)Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang bertanggung jawab di
bidangketenaga-kerjaan yang menerima secara langsung surat pemberitahuan penutupan
perusahaan (lock out) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 harus memberikan tanda
bukti penerimaan dengan mencantumkan hari, tanggal, dan jam penerimaan.
(2)Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out) berlangsung, instansi yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan
masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lock out) dengan
mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
(3)Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan kesepakatan,
makaharus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai
dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4)Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan
kesepakatan,maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya penutupan
perusahaan (lock out) kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
(6)Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) dan ayat (2) tidak
diperlukanapabila :
a. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140;
BAB XII
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Pasal 150
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan
hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik
negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pasal 151
(2)Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat
dihindari,maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha
dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3)Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak
menghasilkanpersetu-juan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan
pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
Pasal 152
(3)Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh
lembagapenyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk
memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak
menghasilkan kesepakatan.
Pasal 153
Pasal 154
Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal :
Pasal 155
(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151
ayat (3) batal demi hukum.
(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum
ditetapkan, baikpengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala
kewajibannya.
(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalamayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam
proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak
lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Pasal 156
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang
pesangondan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang
seharusnya diterima.
(2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit
sebagai berikut :
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua)
bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga)
bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4
(empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5
(lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6
(enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7
(tujuh) bulan upah.
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8
(delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan sebagai be-rikut :
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua)
bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3
(tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas)
tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas)
tahun, 5(lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan
belas) tahun, 6(enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh
satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua
puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) meliputi :
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana
pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima
belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi
yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
(5) Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan
uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 157
(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda,
terdiri atas :
a. upah pokok;
b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada
pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang
diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus
dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara
harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
(4)Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada
upahborongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas)
bulan terakhir.
Pasal 158
(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan
pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik
perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan
perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau
mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau
pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya
barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam
keadaan bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan
kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(2)Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti
sebagaiberikut :
a. pekerja/buruh tertangkap tangan;
b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di
perusahaan yangbersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang
saksi.
Pasal 159
Pasal 160
(1)Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak
pidanabukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib membayar upah
tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi
tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut :
a. untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;
b. untuk 2 (dua) orang tanggungan : 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah;
d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih : 50% (lima puluh perseratus) dari upah.
(2)Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam)
bulantakwin ter-hitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang
berwajib.
(4)Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan
sebagaimanadimaksud dalam ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak
bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
(5)Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir
danpekerja/ buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6)Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5) dilakukan
tanpapenetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 161
(1)Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian
kerja,peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan
surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
(2)Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk
paling lama6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 162
(2)Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan
fungsinya tidakme-wakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya
dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.
(3)Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
memenuhisyarat :
(4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri
dilakukan tanpa pene-tapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 163
(1)Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal
terjadiperu-bahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan
perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 164
(2)Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan
laporankeuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
Pasal 165
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/ buruh karena
perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 166
Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli
warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2
(dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan
masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (4).
Pasal 167
(2)Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam
programpensiun se-bagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil daripada
jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan
masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.
(6)Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3),
danayat (4) ti-dak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang bersifat
wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 168
(1)Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa
keterangansecara ter tulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh
pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena
dikualifikasikan mengundurkan diri.
(2)Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harusdiserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja.
Pasal 169
(1) Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan
sebagai berikut :
a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga)
bulan berturut-turut atau lebih;
d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh;
e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang
diperjanjikan; atau
f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan
kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada
perjanjian kerja.
(2)Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
pekerja/buruhberhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2),
uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 170
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi keten-tuan Pasal 151 ayat (3) dan
Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi
hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta
membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.
Pasal 171
Pasal 172
BAB XIII
PEMBINAAN
Pasal 173
(3)Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat (2), dilaksanakan secara
terpadudan terko-ordinasi.
Pasal 174
Pasal 175
(1)Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang telah
berjasadalam pem-binaan ketenagakerjaan.
(2)Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk
piagam, uang,dan/atau bentuk lainnya.
BAB XIV
PENGAWASAN
Pasal 176
Pasal 177
Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ditetapkan oleh
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 178
(1)Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang
lingkuptugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
Pasal 179
(2)Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Men-teri.
Pasal 180
Ketentuan mengenai persyaratan penunjukan, hak dan kewajiban, serta wewenang pegawai
pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 181
BAB XV
PENYIDIKAN
Pasal 182
(1)Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai
pengawasketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai
negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan
dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan;
e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
(3) Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XVI
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF
BAGIAN PERTAMA
KETENTUAN PIDANA
Pasal 183
(1)Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan
sanksipidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Pasal 184
(1)Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5),
dikenakansanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Pasal 185
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan
Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Pasal 186
(1)Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan
ayat (3),Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana
penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda
paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.
Pasal 187
(1)Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal
44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat
(2), Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi
pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.
Pasal 188
(1)Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal
38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3),
Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00
(lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.
Pasal 189
Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha
membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau pekerja/buruh.
BAGIAN KEDUA
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 190
(1)Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran
ketentuanketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 15, Pasal 25, Pasal
38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal 87, Pasal 106, Pasal 126
ayat (3), dan Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang ini serta peraturan
pelaksanaannya.
(3)Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 191
Semua peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang undang
ini.
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 192
2. Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak Dan
Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
3. Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak anak Dan Orang Muda Di Atas
Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
4. Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan kegiatan
Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
5. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari Luar
Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);
6. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak anak (Staatsblad Tahun
1949 Nomor 8);
7. Undang undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang undang
Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);
8. Undang undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara Serikat
Buruh Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 598a);
9. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran
Negara Tahun 1958 Nomor 8 );
10. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran Negara
Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);
11. Undang undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau
Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital (Lembaran Negara
Tahun 1963 Nomor 67);
12. Undang undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Mengenai
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2912);
Undang undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 25 Maret 2003
Ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
BAMBANG KESOWO
TENTANG
KESELAMATAN KERDJA
MEMUTUSKAN:
BAB I
TENTANG ISTILAH-ISTILAH
Pasal 1
(1) ”tempat kerdja” ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka,
bergerak atau tetap, dimana tenaga kerdja bekerdja, atau jang sering dimasuki
tenaga kerdja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau
sumber-sumber bahaja sebagaimana diperintji dalam pasal 2;
termasuk tempat kerdja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan
sekelilingnja jang merupakan bagian-bagian atau jang berhubungan dengan
tempat kerdja tersebut;
(2) ”pengurus” ialah orang jang mempunjai tugas memimpin langsung sesuatu
tempat kerdja atau bagiannja jang berdiri sendiri;
(3) ”pengusaha” ialah :
a. orang atau badan hukum jang mendjalankan sesuatu usaha milik
sendiri dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerdja;
b. orang atau badan hukum jang setjara berdiri sendiri mendjalankan
sesuatu usaha bukanmiliknja dan untuk keperluan itu mempergunakan
tempat kerdja;
c. orang atau badan hukum jang di Indonesia mewakili orang atau badan
hukum termaksud pada (a) dan (b), djikalau jang diwakili
berkedudukan diluar Indonesia.
(4) ”direktur” ialah pedjabat jang ditundjuk oleh Menteri Tenaga Kerdja untuk
melaksanakan Undang-undang ini;
(5) ”pegawai pengawas” ialah pegawai technis berkeachlian chusus dari
Departemen Tenaga Kerdja jang ditundjuk oleh Menteri Tenaga Kerdja;
(6) ”Ahli keselamatan kerdja” ialah tenaga technis berkeachlian chusus dari luar
Departemen Tenaga Kerdja jang ditundjuk oleh Menteri Tenaga Kerdja untuk
mengawasi ditaatinja Undang-undang ini.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
(1) Yang diatur oleh Undang-undang ini ialah keselamatan kerdja dalam segala
tempat kerdja, baik didarat, didalam tanah, dipermukaan air, didalam air
maupun diudara, jang berada didalam wilajah kekuasaan hukum Republik
Indonesia.
(2) Ketentuan-ketentuan dalam ajat (1) tersebut berlaku dalam tempat kerdja di
mana :
a. Dibuat, ditjoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat
perkakas, peralatan atau instalasi jang berbahaja atau dapat
menimbulkan ketjelakaan, kebakaran atau peledakan;
b. Dibuat, diolah, dipakai dipergunakan, diperdagangkan, diangkut atau
disimpan bahan atau barang jang : dapat meledak, mudah terbakar,
menggigit, beratjun, menimbulkan insfeksi, bersuhu tinggi;
c. Dikerdjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau
pembongkaran rumah, gedung atau bangunan lainnja termasuk
bangunan pengairan, saluran atau terowongan dibawah tanah dan
sebagainja atau dimana dilakukan pekerdjaan persiapan;
d. Dilakukan usaha : pertanian, perkebunan,pembukaan hutan,
pengerdjaan hutan, pengolahan kaju atau hasil hutan lainnja,
peternakan, perikanan dan lapangan kesehatan;
e. Dilakukan usaha pertambangan dan pengolahan : emas, perak atau
bidjih logam lainnja, batu-batuan, gas, minjak atau mineral lainnja,
baik dipermukaan atau didalam bumi, maupun didasar perairan;
f. Dilakukan pengangkutan barang, binatang atau manusia, baik
didaratan, melalui terowongan, dipermukaan air, dalam air maupun
diudara;
g. Dikerdjakan bongkar-muat barang muatan di kapal, perahu, dermaga,
dok, stasiun atau gudang;
h. Dilakukan penjelaman, pengambilan benda dan pekerdjaan lain
didalam air;
i. Dilakukan pekerdjaan dalam ketinggian diatas permukaan tanah atau
perairan;
j. Dilakukan pekerdjaan dibawah tekanan udara atau suhu jang tinggi
atau rendah;
k. Dilakukan pekerdjaan jang mengandung bahaja tertimbun tanah,
kedjatuhan, terkena pelantingan benda, terdjatuh atau terperosok,
hanjut atau terpelanting;
l. Dilakukan pekerdjaan dalam tangki, sumur atau lubang;
m. Terdapat atau menjebar suhu, kelembahan, debu, kotoran, api, asap,
uap, gas, hembusan angin, tjuatja, sinar atau radiasi, suara atau
getaran;
n. Dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau timah;
o. Dilakukan pemantjaran, penjiaran atau penerimaan radio, radar,
televisi, atau telepon;
p. Dilakukan pendidikan, pembinaan, pertjobaan, penjelidikan atau riset
(penelitian) jang menggunakan alat tehnis;
q. Dibangkitkan, dirubah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan atau
disalurkan listrik, gas, minjak atau air;
r. Diputar pilem, dipertundjukkan sandiwara atau diselenggarakan
rekreasi lainnja jang memakai peralatan instalasi listrik atau mekanik.
(3) Dengan peraturan perundangan dapat ditundjuk sebagai tempat kerdja
ruangan-ruangan atau lapangan-lapangan lainnja jang dapat membahajakan
keselamatan atau kesehatan jang bekerdja dan atau jang berada diruangan atau
lapangan itu dan dapat dirubah perintjian tersebut dalam ajat (2).
BAB III
Pasal 3
(1) Dengan peraturan perundangan ditetapkan sjarat-sjarat keselamatan kerdja
untuk :
a. Mentjegah dan mengurangi ketjelakaan;
b. Mentjegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran;
c. Mentjegah dan mengurangi bahaja peledakan;
d. Memberi kesempatan atau djalan menjelamatkan diri pada waktu
kebakaran atau kedjadian-kedjadian lain jang berbahaja;
e. Memberi pertolongan pada ketjelakaan;
f. Memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerdja;
g. Mentjegah dan mengendalikan timbul atau menjebar luasnja suhu,
kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, tjuatja,
sinar atau radiasi, suara dan getaran;
h. Mentjegah dan mengendalikan timbulnja penjakit akibat kerdja baik
physik maupun psychis, peratjunan, infeksi dan penularan;
i. Memperoleh penerangan jang tjukup dan sesuai;
j. Menjelenggarakan suhu dan lembah udara jang baik;
k. Menjelenggarakan penjegaran udara jang tjukup;
l. Memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban;
m. Memperoleh keserasian antara tenaga kerdja, alat kerdja, lingkungan
tjara dan proses kerdjanja;
n. Mengamankan dan memperlantjar pengangkutan orang, binatang,
tanaman atau barang;
o. Mengamankan dan memelihara segala djenis bangunan;
p. Mengamankan dan memperlancar pekerdjaan bongkar-muat,
perlakuan dan penjimpanan barang;
q. Mentjegah terkena aliran listrik jang berbahaja;
r. Menjesuaikan dan menjempurnakan pengamanan pada pekerdjaan
jang bahaja ketjelakaannja menjadi bertambah tinggi.
(2) Dengan peraturan perundangan dapat dirobah perintjian seperti tersebut dalam
ajat (1) sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, tehnik dan teknologi
serta pendapatan-pendapatan baru dikemudian hari.
Pasal 4
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 5
(1) Barang siapa tidak dapat menerima keputusan direktur dapat mengajukan
permohonan banding kepada Panitya Banding.
(2) Tata-tjara permohonan banding, susunan Panitya Banding, tugas Panitya
Banding dan lain-lainnja ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerdja.
(3) Keputusan Panitya Banding tidak dapat dibanding lagi.
Pasal 7
Untuk pengawasan berdasarkan Undang-undang ini pengusaha harus
membajar retribusi menurut ketentuan-ketentuan jang akan diatur dengan
peraturan perundangan.
Pasal 8
(1) Pengurus diwadjibkan memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan
kemampuan fisik dari tenaga kerdja jang akan diterimanja maupun akan
dipindahkan sesuai dengan sifat-sifat pekerdjaan jang diberikan padanja.
(2) Pengurus diwadjibkan memeriksa semua tenaga kerdja jang berada dibawah
pimpinannja, setjara berkala pada Dokter jang ditundjuk oleh Pengusaha dan
dibenarkan oleh Direktur.
(3) Norma-norma mengenai pengudjian kesehatan ditetapkan dengan peraturan
perundangan.
BAB V
PEMBINAAN
Pasal 9
BAB VI
KESEHATAN KERDJA
Pasal 10
BAB VII
KETJELAKAAN
Pasal 11
(1) Pengurus diwadjibkan melaporkan tiap ketjelakaan jang terjadi dalam tempat
kerdja jang dipimpinnja, pada pedjabat jang ditundjuk oleh Menteri Tenaga
Kerdja.
(2) Tata tjra pelaporan dan pemeriksaan ketjelakaan oleh pegawai termaksud
dalam ajat (1) diatur dengan peraturan perundangan.
BAB VIII
KEWADJIBAN DAN HAK
TENAGA KERDJA
Pasal 12
Dengan peraturan perundangan diatur kewadjiban dan atau hak tenaga kerdja untuk :
a. Memberikan keterangan jang benar bila diminta oleh pegawai pengawas atau
ahli keselamatan kerdja;
b. Memakai alat-alat perlindungan diri jang diwadjibkan;
c. Memenuhi dan mentaati semua sjarat-sjarat keselamatan dan kesehatan kerdja
jang diwadjibkan;
d. Meminta pada Pengurus agar dilaksanakan semua sjarat keselamatan dan
kesehatan jang diwadjibkan.
e. Menjatakan keberatan kerdja pada pekerdjaan dimana sjarat keselamatan dan
kesehatan kerdja serta alat-alat perlindungan diri jang diwadjibkan diragukan
olehnja ketjuali dalam hal-hal chusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas
dalam bata-batas jang masih dapat dipertanggung djawabkan.
BAB IX
TEMPAT KERDJA
Pasal 13
BAB X
KEWADJIBAN PENGURUS
Pasal 14
Pengurus diwadjibkan :
BAB XI
KETENTUAN-KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 15
(1) Pelaksanaan ketentuan tersebut pada pasal-pasal diatas diatur lebih landjut
dengan peraturan perundangan.
(2) Peraturan perundangan tersebut pada ajat (1) dapat memberikan antjaman
pidana atas pelanggaran peraturannja dengan hukuman kurungan selama-
lamanja 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginja Rp. 100.000,- (seratus
ribu rupiah).
(3) Tindak pidana tersebut adalah pelanggaran.
Pasal 16
Pengusaha jang mempergunakan tempat-tempat kerdja jang sudah ada pada waktu
undang-undang ini mulai berlaku wadjib mengusahakan didalam satu tahun sesudah
Undang-undang ini mulai berlaku, untuk memenuhi ketentuan-ketentuan menurut
atau berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 17
Pasal 18
Disahkan di Djakarta
SOEHARTO
Djenderal TNI
Ditetapkan di Djakarta
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
ALAMSJAH
ATAS
TENTANG
KESELAMATAN KERDJA
PENDJELASAN UMUM
Veiligheidsreglement jang ada sekarang dan berlaku mulai 1910 (Stbl. No.
406) dan semendjak itu di sana sini mengalami perubahan mengenai soal-soal jang
tidak begitu berarti, ternjata dalam banjak hal sudah terbelakang dan perlu
diperbaharui sesuai dengan perkembangan peraturan perlindungan tenaga kerdja
lainnja dan perkembangan serta kemadjuan teknik, teknologi dan industrialisasi di
Negara kita dewasa ini dan untuk selandjutnja. Mesin-mesin, alat-alat, pesawat-
pesawat baru dan sebagainja jang serba pelik banjak dipakai sekarang ini, bahan-
bahan tehnis baru banjak diolah dan dipergunakan, sedangkan mekanisasi dan
elektrifikasi diperluas di mana-mana.
Pasal 1
Ayat (1)
Dengan perumusan ini ruang lingkup bagi berlakunja Undang-undang ini djelas
ditentukan oleh tiga unsur :
Misalnja suatu pabrik dimana diolah bahan-bahan kimia jang berbahaja dan dipakai
serta dibuang banjak air jang mengandung zat-zat jang berbahaja. Bila air buangan
demikian itu dialirkan atau dibuang begitu sadja kedalam sungai maka air sungai itu
mendjadi berbahaja, akan dapat mengganggu kesehatan manusia, ternak ikan dan
pertumbuhan tanam-tanaman. Karena itu untuk air buangan itu harus diadakan
penampungannja tersendiri atau dikerdjakan pengolahan terdahulu, dimana zat-zat
kimia didalamnja dihilangkan atau dinetraliseer, sehingga airnja itu tidak berbahaja
lagi dan dapat dialirkan kedalam sungai. Dalam pelaksanaan Undang-undang ini
dipakai pengertian tentang tenaga kerdja sebagaimana dimuat dalam Undang-undang
tentang ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerdja, maka dipandang tidak
perlu lagi dimuat definisi itu dalam Undang-undang ini.
Usaha-usaha jang dimaksud dalam Undang-undang ini tidak harus selalu mempunjai
motief ekonomi atau motief keuntungan, tapi dapat merupakan usaha-usaha sosial
seperti perbengkelan di Sekolah-sekolah tehnik, usaha rekreasi-rekreasi dan dirumah-
rumah sakit, dimana dipergunakan instalasi-instalasi listrik dan atau mekanik jang
berbahaja.
Ayat (2)
Tjukup djelas.
Ayat (3)
Tjukup djelas.
Ayat (4)
Tjukup djelas.
Ayat (5)
Tjukup djelas.
Ayat (6)
Pasal 2
Ayat (1)
Ayat (2)
Dalam ajat ini diperintji sumber-sumber bahaja jang dikenal dewasa ini bertalian
dengan :
Pasal 3
Ayat (1)
Ayat (2)
Tjukup djelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Ayat (2)
Dalam ajat ini ditetapkan setjara konkrit ketentuan-ketentuan jang harus dipenuhi
oleh sjarat-sjarat jang dimaksud.
Ayat (3)
Tjukup djelas.
Pasal 5
Tjukup djelas
Pasal 6
Panitia Banding ialah Panitia Technis jang anggota-anggotanja terdiri dari ahli-ahli
dalam bidang jang diperlukan.
Pasal 7
Tjukup djelas.
Pasal 8
Tjukup djelas.
Pasal 9
Tjukup djelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Ayat (2)
Pasal 11
Tjukup djelas.
Pasal 12
Tjukup djelas.
Pasal 13
Yang dimaksud dengan barang siapa ialah setiap orang baik jang bersangkutan
maupun tidak bersangkutan dengan pekerdjaan ditempat kerdja itu.
Pasal 14.
Tjukup djelas.
Pasal 15
Tjukup djelas.
Pasal 16
Tjukup djelas.
Pasal 17
Pasal 18
Tjukup djelas.
Menimbang:
a. bahwa tenaga kerja merupakan modal utama serta pelaksana dari pada
pembangunan masyarakat Pancasila;
b. bahwa tujuan terpenting dari pada pembangunan masyarakat tersebut adalah
kesejahteraan rakyat, termasuk tenaga kerja;
c. bahwa tenaga kerja sebagai pelaksana pembangunan harus jamin haknya,
diatur kewajibannya dan dikembangkan daya gunanya;
d. bahwa berhubung dengan itu perlu diadakan undang-undang yang memuat
ketentuan-ketentuan pokok tentang tenaga kerja.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) , Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 Undang-
undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.
XXll/MPRS/1966, No. XXII/MPRS/1966 pasal-pasal 6, 8, 9, 10 dan 14 No.
XXVlll/MPRS/1966 pasal 2.
Dengan Persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT GOTONG ROYONG,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
BAB I
PENGERTIAN DAN AZAS
Pasal 1
Tenaga kerja adalah tiap-tiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam
maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat.
Pasal 2
Dalam menjalankan undang-undang ini serta peraturan-peraturan pelaksanaan tidak
boleh diadakan diskriminasi.
BAB Il
PENYEDIAAN PENYEBARAN DAN PENGGUNAAN TENAGA KERJA
Pasal 3
Tiap tenaga kerja berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi
kemanusiaan.
Pasal 4
Tiap tenaga kerja bebas memilih dan atau pindah pekerjaan sesuai dengan bakat dan
kemampuannya.
Pasal 5
(1) Pemerintah mengatur penyediaan tenaga kerja dalam kuantitas dan kualitas
yang memadai.
BAB III
PEMBINAAN KEAHLIAN DAN KEJURUAN
Pasal 6
Tiap tenaga kerja berhak atas pembinaan keahlian dan kejuruan untuk memperoleh
serta menambah keahlian dan keterampilan kerja sehingga potensi dan daya
kreasinya dapat diperkembangkan dalam rangka mempertinggi kecerdasan dan
ketangkasan kerja sebagai bagian yang tak dapat dipisahkan dari pembinaan
bangsa.
Pasal 7
Pembinaan keahlian dan kejuruan tenaga kerja disesuaikan dengan perkembangan
teknik, teknologi dan perkembangan masyarakat pada umumnya.
Pasal 8
Pemerintah mengatur keahlian dan kejuruan tersebut pada pasal 6 dan pasal 7.
BAB IV
PEMBINAAN PERLINDUNGAN KERJA
Pasal 9
Tiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan, kesehatan,
kesusilaan, pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat
manusia dan moral agama.
Pasal 10
Pemerintah membina perlindungan kerja yang mencakup:
BAB V
HUBUNGAN KETENAGAKERJAAN
Pasal 11
(1) Tiap tenaga kerja berhak mendirikan dan menjadi anggota perserikatan tenaga
kerja.
Pasal 12
Perserikatan tenaga kerja berhak mengadakan perjanjian perburuhan dengan pemberi
kerja.
Pasa' 13
Penggunaan hak mogok, demonstrasi dan lock out diatur dengan peraturan
perundangan.
Pasal 14
Norma pemutusan hubungan kerja dan penyelesaian perselisihan perburuhan diatur
dengan peraturan perundangan.
Pasal 15
Pemerintah mengatur penyelenggaraan sosial dan bantuan sosial bagi tenaga kerja
dan keluarganya.
BAB VI
PENGAWASAN PELAKSANAAN
Pasal 16
Guna menjamin pelaksanaan pengaturan ketenagakerjaan menurut Undang-undang
ini serta peraturan pelaksanaannya, diadakan suatu system pengawasan tenaga kerja.
BAB Vil
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
(1) Pelaksanaan ketentuan tersebut pada pasal-pasal di atas diatur lebih lanjut
dengan peraturan perundangan.
(2) Peraturan perundangan tersebut pada ayat (1) dapat memberikan ancaman
pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-
lamanya tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu
rupiah).
Pasal 19
Undang-undang ini disebut: "Undang-Undang Pokok Tenaga Kerja" dan mulai
berlaku pada hari diundangkan.
Diundangkan Di Jakarta,
PENJELASAN UMUM
Sesungguhnya pekerja mempunyai makna banyak, luas dan dalam didalam
tiap perkelakukan. Makna bekerja ditinjau dari segi perorangan adalah gerak
daripada badan dan pikiran setiap orang guna memelihara kelangsungan hidup
badaniah maupun rohaniah. Makna bekerja ditinjau dari segi kemasyarakatan adalah
melakukan pekerjaan untuk menghasilkan barang atau jasa guna memuaskan
kebutuhan masyarakat. Makna bekerja ditinjau dari segi spirituil adalah merupakan
hak dan kewajiban manusia dalam memuliakan dan mengabdi kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
Pasal 1
Pengertian tenaga kerja menurut ketentuan pasal 1 Undang-undang mulai tenaga
kerja yang bekerja di dalam maupun di luar hubungan kerja dengan alat produksi
utamanya dalam proses produksi adalah tenaganya sendiri baik tenaga fisik maupun
pikiran. Ciri khas dari hubungan kerja tersebut di atas ialah bekerja di bawah perintah
orang Iain dengan menerima upah.
Pasal 2
Cukup Jelas
Pasal 3
Salah satu tujuan penting dari masyarakat Pancasila adalah memberikan
kesempatan bagi tiap tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan
yang memberikan kesejahteraan.
Pasai 4
Di samping jaminan hidup yang layak tenaga kerja juga menginginkan
kepuasan yang datangnya dari pelaksanaan pekerjaan yang ia sukai dan yang
dapat ia lakukan dengan sebaik mungkin, untuk mana ia mendapat
penghargaan.
Pasai 5
(1) Di Indonesia persediaan tenaga kerja sebagian besar terdiri dari tenaga kerja
yang tidak terlatih dan tersebar secara tidak seimbang di seluruh Indonesia.
Untuk kelancaran pelaksanaan pembangunan dan jalannya perusahaan-
perusahaan dan kantor-kantor yang sudah ada, maka bagi kepentingan
peningkatan produksi, persediaan tenaga kerja harus diatur sedemikian rupa
sehingga pada waktu dan tempat dimana diperlukan tenaga kerja dengan
keterampilan yang sesuai/tepat, tersedia tenaga kerja dalam jumlah yang
cukup.
(2) Salah satu persoalan pokok yang harus dipecahkan di Indonesia ialah
penyebaran tenaga kerja yang tidak seimbang dan tidak efisien
yangmenyebabkan adanya kelebihan tenaga kerja di daerah yang satu dan
kekurangan tenaga kerja di daerah yang lain.Untuk menyelesaikan ketidak
seimbangan ini dihadapi berbagai kesukaran ialah antara lain keseganan
berpindah ke lain daerah, Kesukaran pengangkutan perumahan, syarat-syarat
kerja yang tidak sesuai dan kurangnya penerangan tentang keadaan sesuatu
daerah.Berhubung dengan ini dalam menghadapi persoalan ini, Pemerintah
harus turun tangan dan mempelajari serta merencanakan penyebaran tenaga
kerja baik menurut pekerjaan, sektor, kegiatan maupun geografis dalam arti
mengambil segala tindakan yang dapat membantu dan memudahkan tenaga
kerja mengadakan penyesuaian yang diperlukan bagi kepentingan bangsa dan
negara dan mengarah kepada penyebaran yang merata dan seimbang.
Pasal 7
Pembinaan keahlian dan kejuruan tenaga kerja harus senantiasa mengikuti
perkembangan ekonomi pada umumnya dan industri pada khususnya serta
disesuaikan dengan perubahan-perubahan teknik dan teknologi serta
perkembangan masyarakat pada umumnya.
Pembinaan dan latihan keahlian serta kejuruan tenaga kerja yang dimaksud
dalam Undang-undang ini adalah merupakan pendidikan bagi orang dewasa bagi
orang-orang yang sudah memasuki usia kerja dan di antaranya termasuk juga kaum
penganggur, bekas anggota ABRI yang dikembalikan ke masyarakat sipil, veteran,
orang penderita cacat, transmigrasi/ imigrasi dan bekas sukarelawan.
Pasal 8
Cukup Jelas
Pasal 9
Agar supaya aman melakukan pekerjaannya sehari-hari, untuk meningkatkan
produksi dan produktivitas nasional maka tenaga kerja harus dilindungi dari berbagai
soal di sekitarnya serta pada dirinya yang dapat menimpa dan mengganggu dirinya
seria pelaksanaan pekerjaannya. Bahaya yang dapat timbul dari mesin, pesawat, alat
kerja, bahan dan proses pengolahannya, keadaan tempat kerja, lingkungan, cara-cara
melakukan pekerjaan karakteristik fisik dan mental dari pada pekerjaannya, harus
sejauh mungkin diberantas dan atau dikendalikan. Oleh sebab iłu hak atas
perlindungan dimaksud di atas harus diberikan kepada tenaga kerja.
Pasał 10
Yang dimaksud dengan pembinaan norma perlindungan kerja ialah
pembentukan pengetrapan dan pengawasan. Apa yang dimaksud dengan norma ialah
"Standard” ukuran tertentu yang harus dijadikan pegangan pokok.
(1) Norma keselamatan kerja meliputi : keselamatan kerja yang bertalian dengan
mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, keadaan tempat
kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan.
(3) Norma kerja meliputi: perlindungan terhadap tenaga kerja yang bertalian
dengan waktu kerja, system pengupahan, istirahat, cuti, kerja wanita, anak dan
orang muda, tempat kerja, perumahan, kebersihan, kesusilaan, ibadah menurut
agama dan kepercayaan masing-masing yang diakui Pemerintah, kewajiban
sosial/kemasyarakatan dan sebagainya guna memelihara kegairahan dan moril
kerja yang menjamin daya guna kerja yang tinggi serta menjaga perlakukan
yang sesuai dengan manusia dan moral agama.
(4) Kepada tenaga kerja yang mendapat kecelakaan dan/atau menderita penyakit
akibat pekerjaan berhak atas ganti kerugian perawatan dan rehabilitasi. Dalam
hal seorang tenaga kerja meninggal dunia akibat kecelakaan dan/atau penyakit
akibat pekerjaan, ahli warisnya berhak menerima ganti kerugian.
Pasal 11
Untuk menjamin tegaknya demokrasi dan tertibnya perserikatan,
persyaratan pokok perserikatan tenaga kerja diatur dengan Undang-undang sebagai
salah satu pelaksanaan dari pasal 28 Undang-undang Dasar 19945 juncto
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXII/MPRS/1996.
Pasal 12
Yang dimaksud pemberi kerja adalah Pemerintah atau Swasta baik secara
perserikatan maupun perorangan.
Pasal 13
Cukup Jelas
Pasal 14
Untuk menjamin kepastian hukum dari kedua belah pihak perlu diatur syarat-
syarat dan tata cara pemutusan hubungan kerja dan penyelesaian perselisihan
perburuhan antara buruh dan pengusaha/pemberi kerja.
Pasal 15
Cara yang paling tepat ialah dengan mengadakan pertanggungan sosial yang
dipikul oleh semua pihak yang kelak akan diatur oleh peraturan perundangan. Sudah
selayaknya jika dalam badan dan lembaga yang menyelenggarakan pertanggungan
sosial ini semua pihak turut duduk.
Jaminan dan bantuan sosial tersebut meliputi antara Iain jaminan sakit, hamil,
bersalin, hari tua, meninggal dunia, cacat, dan menganggur bagi seluruh tenaga kerja
termasuk tani dan nelayan.
Pasal 16
Sistem pengawasan tenaga kerja berfungsi:
Pasal 17
Maksud pasal ini ialah memberikan dasar hukum kepada peraturan perundangan
yang akan melaksanakan lebih lanjut pasal-pasal dari Undang-undang ini.
Pasal 18
Pasal ini perlu diadakan untuk mencegah kemungkinan timbulnya kekosongan
hukum pada waktu Undangundang itu mulai berlaku.
Pasal 19
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2912
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2009
TENTANG
KESEHATAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu
unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita
bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif,
partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber
daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya
saing bangsa bagi pembangunan nasional;
c. bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan
kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian
ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan
derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi
pembangunan negara;
d. bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan
kesehatan dalam arti pembangunan nasional harus memperhatikan
kesehatan masyarakat dan merupakan tanggung jawab semua pihak
baik Pemerintah maupun masyarakat;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan, dan
kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu dicabut dan
diganti dengan UndangUndang tentang Kesehatan yang baru;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk
Undang-Undang tentang Kesehatan;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
dan
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun
sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis.
2. Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan
kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan
dan teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan
yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
3. Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan.
4. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.
5. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak
mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis,
menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan
kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi
tubuh.
6. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan
di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.
7. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan
untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif,
kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat.
8. Obatadalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan
untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi
dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.
9. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan
tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat
diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
10. Teknologi kesehatan adalah segala bentuk alat dan/atau metode yang ditujukan
untuk membantu menegakkan diagnosa, pencegahan, dan penanganan
permasalahan kesehatan manusia.
11. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara
dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan
penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan
oleh pemerintah dan/atau masyarakat.
13. Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu
masalah kesehatan/penyakit.
14. Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan
penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian
kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.
15. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat
berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan
masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.
18. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
19. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
kesehatan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Pasal 4
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber
daya di bidang kesehatan.
(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu, dan terjangkau.
(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri
pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Pasal 6
Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat
kesehatan.
Pasal 7
Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan
yang seimbang dan bertanggung jawab.
Pasal 8
Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk
tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga
kesehatan.
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 9
Pasal 10
Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh
lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial.
Pasal 11
Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang
lain yang menjadi tanggung jawabnya.
Pasal 13
(1) Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial.
(2) Program jaminan kesehatan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IV
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH
Pasal 14
(2) Tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikhususkan
pada pelayanan publik.
Pasal 15
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan, tatanan, fasilitas
kesehatan baik fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk mencapai derajat
kesehatan yang setinggitingginya.
Pasal 16
Pasal 19
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang
bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.
Pasal 20
(2) Pelaksanaan sistem jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V
SUMBER DAYA DI BIDANG KESEHATAN
Bagian Kesatu
Tenaga Kesehatan
Pasal 21
Pasal 22
(2) Ketentuan mengenai kualifikasi minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 23
(4) Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi.
(5) Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dalam Peraturan Menteri.
Pasal 24
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi
ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar
pelayanan, dan standar prosedur operasional.
(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
(3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan
standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 25
(1) Pengadaan dan peningkatan mutu tenaga kesehatan diselenggarakan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat melalui pendidikan
dan/atau pelatihan.
(2) Penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3) Ketentuan mengenai penyelengaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1) Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan untuk pemerataan pelayanan
kesehatan.
(2) Pemerintah daerah dapat mengadakan dan mendayagunakan tenaga kesehatan
sesuai dengan kebutuhan daerahnya.
(3) Pengadaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan:
(4) Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan tetap memperhatikan hak tenaga kesehatan dan hak masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang merata.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan tenaga kesehatan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 27
(1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
Pasal 28
(1) Untuk kepentingan hukum, tenaga kesehatan wajib melakukan pemeriksaan
kesehatan atas permintaan penegak hukum dengan biaya ditanggung oleh
negara.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kompetensi
dan kewenangan sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki.
Pasal 29
Bagian Kedua
Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Pasal 30
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pelayanan kesehatan tingkat pertama;
(3) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
oleh pihak Pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta.
(4) Ketentuan persyaratan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah sesuai ketentuan yang
berlaku.
Pasal 31
Pasal 32
(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun
swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa
pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.
(2) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun
swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.
Pasal 33
(1) Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat
harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan masyarakat yang dibutuhkan.
(2) Kompetensi manajemen kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Pasal 34
(1) Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan perseorangan
harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan perseorangan yang
dibutuhkan.
(2) Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang mempekerjakan tenaga
kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 25
(1) Pemerintah daerah dapat menentukan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan
kesehatan serta pemberian izin beroperasi di daerahnya.
(2) Penentuan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah daerah dengan mempertimbangkan:
a. luas wilayah;
b. kebutuhan kesehatan;
d. pola penyakit;
e. pemanfaatannya;
(3) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan serta
pemberian izin beroperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga
untuk fasilitas pelayanan kesehatan asing.
(4) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku untuk jenis rumah sakit khusus karantina,
penelitian, dan asilum.
Bagian Ketiga
Perbekalan Kesehatan
Pasal 36
Pasal 37
(1) Pengelolaan perbekalan kesehatan dilakukan agar kebutuhan dasar masyarakat
akan perbekalan kesehatan terpenuhi.
(2) Pengelolaan perbekalan kesehatan yang berupa obat esensial dan alat kesehatan
dasar tertentu dilaksanakan dengan memperhatikan kemanfaatan, harga, dan
faktor yang berkaitan dengan pemerataan.
Pasal 38
(2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan terutama untuk
obat dan vaksin baru serta bahan alam yang berkhasiat obat.
Pasal 39
Pasal 40
(1) Pemerintah menyusun daftar dan jenis obat yang secara esensial harus tersedia
bagi kepentingan masyarakat.
(2) Daftar dan jenis obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau dan
disempurnakan paling lama setiap 2 (dua) tahun sesuai dengan perkembangan
kebutuhan dan teknologi.
(3) Pemerintah menjamin agar obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersedia
secara merata dan terjangkau oleh masyarakat.
(4) Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk
pengadaan dan pemanfaatan perbekalan kesehatan.
(5) Ketentuan mengenai keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dilakukan dengan mengadakan pengecualian terhadap ketentuan paten sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur paten.
(6) Perbekalan kesehatan berupa obat generik yang termasuk dalam daftar obat
esensial nasional harus dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya, sehingga
penetapan harganya dikendalikan oleh Pemerintah.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai perbekalan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 41
Bagian Keempat
Teknologi dan Produk Teknologi
Pasal 42
(2) Teknologi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup segala
metode dan alat yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit,
mendeteksi adanya penyakit, meringankan penderitaan akibat penyakit,
menyembuhkan, memperkecil komplikasi, dan memulihkan kesehatan setelah
sakit.
(3) Ketentuan mengenai teknologi dan produk teknologi kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.
Pasal 43
Pasal 44
Pasal 45
BAB VI
UPAYA KESEHATAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 46
Pasal 47
a. pelayanan kesehatan;
e. kesehatan reproduksi;
f. keluarga berencana;
g. kesehatan sekolah;
h. kesehatan olahraga;
j. pelayanan darah;
m. kesehatan matra;
q. bedah mayat.
Pasal 49
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial, nilai, dan
norma agama, sosial budaya, moral, dan etika profesi.
Pasal 50
Pasal 51
Bagian Kedua
Pelayanan Kesehatan
Paragraf Kesatu
Pemberian Pelayanan
Pasal 52
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan
dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Pasal 53
(1) Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit
dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga.
(2) Pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat.
(3) Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan
lainnya.
Pasal 54
Pasal 55
Paragraf Kedua
Perlindungan Pasien
Pasal 56
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan
pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami
informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
pada:
Pasal 57
(1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah
dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:
a. perintah undang-undang;
b. perintah pengadilan;
Pasal 58
(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan
atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau
pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Pelayanan Kesehatan Tradisional
Pasal 59
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jenis pelayanan kesehatan
tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 60
(2) Penggunaan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan
dengan norma agama dan kebudayaan masyarakat.
Pasal 61
Bagian Keempat
Peningkatan Kesehatan dan Pencegahan Penyakit
Pasal 62
(1) Peningkatan kesehatan merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat untuk mengoptimalkan
kesehatan melalui kegiatan penyuluhan, penyebarluasan informasi, atau kegiatan
lain untuk menunjang tercapainya hidup sehat.
(2) Pencegahan penyakit merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat untuk menghindari atau
mengurangi risiko, masalah, dan dampak buruk akibat penyakit.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin dan menyediakan fasilitas untuk
kelangsungan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit.
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan
penyakit diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Penyembuhan Penyakit dan Pemulihan Kesehatan
Pasal 63
Pasal 64
Pasal 65
(1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di
fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh dari seorang donor harus
memperhatikan kesehatan pendonor yang bersangkutan dan mendapat
persetujuan pendonor dan/atau ahli waris atau keluarganya.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi organ
dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 66
Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari hewan, hanya dapat
dilakukan apabila telah terbukti keamanan dan kemanfaatannya.
Pasal 67
(1) Pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengambilan dan pengiriman spesimen
atau bagian organ tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 68
(1) Pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya
dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan pemasangan implan
obat dan/atau alat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 69
(1) Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
(2) Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang
berlaku dalam masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara bedah plastik dan rekonstruksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 70
(1) Penggunaan sel punca hanya dapat dilakukan untuk tujuan penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan, serta dilarang digunakan untuk tujuan
reproduksi.
(2) Sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh berasal dari sel
punca embrionik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan sel punca sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keenam
Kesehatan Reproduksi
Pasal 71
(1) Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial
secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang
berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada lakilaki dan
perempuan.
(3) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui
kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Pasal 72
a. menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta
bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah.
b. menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan,
dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan
martabat manusia sesuai dengan norma agama.
c. menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara
medis serta tidak bertentangan dengan norma agama.
Pasal 73
(1) Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif, kuratif,
dan/atau rehabilitatif, termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara
aman dan sehat dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya
reproduksi perempuan.
(2) Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan mengenai reproduksi dengan bantuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 75
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik
yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit
genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki
sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis
bagi korban perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah
melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan
konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan
berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 76
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid
terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
Pasal 77
Bagian Ketujuh
Keluarga Berencana
Pasal 78
Bagian Kedelapan
Kesehatan Sekolah
Pasal 79
Bagian Kesembilan
Kesehatan Olahraga
Pasal 80
(3) Upaya kesehatan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
melalui aktifitas fisik, latihan fisik, dan/atau olahraga.
Pasal 81
Bagian Kesepuluh
Pelayanan Kesehatan Pada Bencana
Pasal 82
Pasal 83
(1) Setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada bencana harus
ditujukan untuk penyelamatan nyawa, pencegahan kecacatan lebih lanjut, dan
kepentingan terbaik bagi pasien.
(2) Pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Pasal 84
Bagian Kesebelas
Pelayanan Darah
Pasal 86
Pasal 87
(1) Penyelenggaraan donor darah dan pengolahan darah dilakukan oleh Unit
Transfusi Darah.
(2) Unit Transfusi Darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau organisasi sosial
yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kepalangmerahan.
Pasal 88
(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan pelayanan darah yang aman,
mudah diakses, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
(2) Pemerintah menjamin pembiayaan dalam penyelenggaraan pelayanan darah.
(3) Darah dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.
Pasal 91
(1) Komponen darah dapat digunakan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan
pemulihan kesehatan melalui proses pengolahan dan produksi.
(2) Hasil proses pengolahan dan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikendalikan oleh Pemerintah.
Pasal 92
Pasal 93
(1) Pelayanan kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk peningkatan
kesehatan gigi, pencegahan penyakit gigi, pengobatan penyakit gigi, dan
pemulihan kesehatan gigi oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan.
(2) Kesehatan gigi dan mulut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
melalui pelayanan kesehatan gigi perseorangan, pelayanan kesehatan gigi
masyarakat, usaha kesehatan gigi sekolah.
Pasal 94
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas
pelayanan, alat dan obat kesehatan gigi dan mulut dalam rangka memberikan
pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh
masyarakat.
Pasal 95
Pasal 96
Pasal 97
(1) Kesehatan matra sebagai bentuk khusus upaya kesehatan diselenggarakan untuk
mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam lingkungan matra
yang serba berubah maupun di lingkungan darat, laut, dan udara.
(2) Kesehatan matra meliputi kesehatan lapangan, kesehatan kelautan dan bawah
air, serta kesehatan kedirgantaraan.
(3) Penyelenggaraan kesehatan matra harus dilaksanakan sesuai dengan standar dan
persyaratan.
(4) Ketentuan mengenai kesehatan matra sebagaimana dimaksud dalam pasal ini
diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima Belas
Pengamanan dan Penggunaan
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Pasal 98
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu,
dan terjangkau.
(2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang
mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat
dan bahan yang berkhasiat obat.
(3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi,
pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu
pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan
mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Pasal 99
(1) Sumber sediaan farmasi yang berasal dari alam semesta dan sudah terbukti
berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, dan/atau
perawatan, serta pemeliharaan kesehatan tetap harus dijaga kelestariannya.
(2) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah,
memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan
menggunakan sediaan farmasi yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya.
(3) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan sediaan farmasi.
Pasal 100
(1) Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan
dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan
tetap dijaga kelestariannya.
(2) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku obat
tradisional .
Pasal 101
(1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah,
memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan
menggunakan obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya.
(2) Ketentuan mengenai mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan,
meningkatkan, dan menggunakan obat tradisionaldiatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 102
(1) Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya
dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk
disalahgunakan.
Pasal 103
Pasal 104
(2) Penggunaan obat dan obat tradisional harus dilakukan secara rasional.
Pasal 105
(1) Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi syarat
farmakope Indonesia atau buku standar lainnya.
(2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan
harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan.
Pasal 106
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin
edar.
(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi
persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.
(3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari
peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar,
yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan
dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 107
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 108
Pasal 109
Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi, mengolah, serta
mendistribusikan makanan dan minuman yang diperlakukan sebagai makanan dan
minuman hasil teknologi rekayasa genetik yang diedarkan harus menjamin agar
aman bagi manusia, hewan yang dimakan manusia, dan lingkungan.
Pasal 110
Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi dan mempromosikan produk
makanan dan minuman dan/atau yang diperlakukan sebagai makanan dan minuman
hasil olahan teknologi dilarang menggunakan kata-kata yang mengecoh dan/atau
yang disertai klaim yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
Pasal 111
(1) Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan
pada standar dan/atau persyaratan kesehatan.
(2) Makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang
berisi:
a. Nama produk;
d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan makanan dan
minuman kedalam wilayah Indonesia; dan
(4) Pemberian tanda atau label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan
secara benar dan akurat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian label sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
(6) Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar, persyaratan
kesehatan, dan/atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan disita
untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 112
Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab mengatur dan mengawasi produksi,
pengolahan, pendistribusian makanan, dan minuman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 109, Pasal 110, dan Pasal 111.
Pasal 113
(1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar
tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga,
masyarakat, dan lingkungan.
(2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk
yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang
penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat
sekelilingnya.
(3) Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus
memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan.
Pasal 114
Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia wajib
mencantumkan peringatan kesehatan.
Pasal 115
d. tempat ibadah;
e. angkutan umum;
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Belas Bedah Mayat
Pasal 117
Pasal 119
Pasal 120
(1) Untuk kepentingan pendidikan di bidang ilmu kedokteran dan biomedik dapat
dilakukan bedah mayat anatomis di rumah sakit pendidikan atau di institusi
pendidikan kedokteran.
(2) Bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan terhadap mayat yang tidak dikenal atau mayat yang tidak diurus oleh
keluarganya, atas persetujuan tertulis orang tersebut semasa hidupnya atau
persetujuan tertulis keluarganya.
(3) Mayat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus telah diawetkan,
dipublikasikan untuk dicarikan keluarganya, dan disimpan sekurang-kurangnya
1 (satu) bulan sejak kematiannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 121
(1) Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan oleh
dokter sesuai dengan keahlian dan kewenangannya.
(2) Dalam hal pada saat melakukan bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis
ditemukan adanya dugaan tindak pidana, tenaga kesehatan wajib melaporkan
kepada penyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 122
(1) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensik
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Bedah mayat forensik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
dokter ahli forensik, atau oleh dokter lain apabila tidak ada dokter ahli forensik
dan perujukan ke tempat yang ada dokter ahli forensiknya tidak dimungkinkan.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas tersedianya
pelayanan bedah mayat forensik di wilayahnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bedah mayat forensik diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 123
(1) Pada tubuh yang telah terbukti mati batang otak dapat dilakukan tindakan
pemanfaatan organ sebagai donor untuk kepentingan transplantasi organ.
(2) Tindakan pemanfaatan organ donor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan kematian dan pemanfaatan organ
donor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 124
Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan sesuai dengan norma
agama, norma kesusilaan, dan etika profesi.
Pasal 125
Biaya pemeriksaan kesehatan terhadap korban tindak pidana dan/atau pemeriksaan
mayat untuk kepentingan hukum ditanggung oleh pemerintah melalui APBN dan
APBD.
BAB VII
KESEHATAN IBU, BAYI, ANAK,
REMAJA, LANJUT USIA, DAN PENYANDANG CACAT
Bagian Kesatu
Kesehatan ibu, bayi, dan anak
Pasal 126
(1) Upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu sehingga
mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka
kematian ibu.
(2) Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
(3) Pemerintah menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas, alat dan obat dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan ibu secara aman, bermutu, dan
terjangkau.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan ibu diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 127
(1) Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan
suami istri yang sah dengan ketentuan:
a. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan
ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
Pasal 128
(1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6
(enam) bulan, kecuali atas indikasi medis.
(2) Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan
waktu dan fasilitas khusus.
(3) Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di
tempatkerja dan tempat sarana umum.
Pasal 129
Pasal 133
(1) Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari segala bentuk
diskriminasi dan tindak kekerasan yang dapat mengganggu kesehatannya.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat berkewajiban untuk menjamin
terselenggaranya perlindungan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan menyediakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 134
(1) Pemerintah berkewajiban menetapkan standar dan/atau kriteria terhadap
kesehatan bayi dan anak serta menjamin pelaksanaannya dan memudahkan
setiap penyelenggaraan terhadap standar dan kriteria tersebut.
(2) Standar dan/atau kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
diselenggarakan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, dan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 135
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib menyediakan tempat dan
sarana lain yang diperlukan untuk bermain anak yang memungkinkan anak
tumbuh dan berkembang secara optimal serta mampu bersosialisasi secara sehat.
(2) Tempat bermain dan sarana lain yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilengkapi sarana perlindungan terhadap risiko kesehatan agar
tidak membahayakan kesehatan anak.
Bagian Kedua
Kesehatan Remaja
Pasal 136
Pasal 137
Bagian Ketiga
Kesehatan Lanjut Usia dan Penyandang Cacat
Pasal 138
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus ditujukan untuk menjaga
agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial maupun ekonomis sesuai
dengan martabat kemanusiaan.
(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
memfasilitasi kelompok lanjut usia untuk dapat tetap hidup mandiri dan
produktif secara sosial dan ekonomis.
Pasal 139
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus ditujukan untuk menjaga
agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis, dan bermartabat.
(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif
secara sosial dan ekonomis.
Pasal 140
Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia dan penyandang cacat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 138 dan Pasal 139 dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah, dan/atau masyarakat.
BAB VIII
GIZI
Pasal 141
(1) Upaya perbaikan gizi masyarakat ditujukan untuk peningkatan mutu gizi
perseorangan dan masyarakat.
(2) Peningkatan mutu gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui :
c. peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan
ilmu dan teknologi; dan
(5) Penyediaan bahan makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara lintas sektor dan antarprovinsi, antarkabupaten atau antarkota.
Pasal 142
(1) Upaya perbaikan gizi dilakukan pada seluruh siklus kehidupan sejak dalam
kandungan sampai dengan lanjut usia dengan prioritas kepada kelompok rawan:
a. bayi dan balita;
b. remaja perempuan; dan
(3) Pemerintah bertanggung jawab atas pemenuhan kecukupan gizi pada keluarga
miskin dan dalam situasi darurat.
(4) Pemerintah bertanggung jawab terhadap pendidikan dan informasi yang benar
tentang gizi kepada masyarakat.
Pasal 143
BAB IX
KESEHATAN JIWA
Pasal 144
(1) Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat
menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan
gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa.
(2) Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif pasien gangguan jiwa dan masalah
psikososial.
(3) Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
tanggung jawab bersama Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
(4) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab
menciptakan kondisi kesehatan jiwa yang setinggi-tingginya dan menjamin
ketersediaan, aksesibilitas, mutu dan pemerataan upaya kesehatan jiwa
sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (2).
(5) Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk mengembangkan
upaya kesehatan jiwa berbasis masyarakat sebagai bagian dari upaya kesehatan
jiwa keseluruhan, termasuk mempermudah akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan jiwa.
Pasal 145
(1) Masyarakat berhak mendapatkan informasi dan edukasi yang benar mengenai
kesehatan jiwa.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menghindari
pelanggaran hak asasi seseorang yang dianggap mengalami gangguan kesehatan
jiwa.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban menyediakan layanan
informasi dan edukasi tentang kesehatan jiwa.
Pasal 147
Pasal 148
(1) Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi persamaan perlakuan dalam
setiap aspek kehidupan, kecuali peraturan perundang-undangan menyatakan lain.
Pasal 149
(1) Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam
keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban
dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di
fasilitas pelayanan kesehatan.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib melakukan pengobatan
dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa
yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang
lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas pemerataan
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa dengan melibatkan peran serta
aktif masyarakat.
(4) Tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita
gangguan jiwa untuk masyarakat miskin.
Pasal 150
Pasal 151
Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya kesehatan jiwa diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB X
PENYAKIT MENULAR DAN TIDAK MENULAR
Bagian Kesatu
Penyakit Menular
Pasal 152
Pasal 153
(1) Pemerintah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran
penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat,
serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan.
(2) Pemerintah dapat melakukan surveilans terhadap penyakit menular sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pemerintah dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat dan negara lain.
(4) Pemerintah menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat
karantina, dan lama karantina.
Pasal 155
(1) Pemerintah daerah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan
persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu
yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan.
(2) Pemerintah daerah dapat melakukan surveilans terhadap penyakit menular
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pemerintah daerah dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat.
(4) Pemerintah daerah menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina,
tempat karantina, dan lama karantina.
(5) Pemerintah daerah dalam menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran
penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu singkat dan
pelaksanaan surveilans serta menetapkan jenis penyakit yang memerlukan
karantina, tempat karantina, dan lama karantina berpedoman pada ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 156
(1) Dalam melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan
penyakit menular sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1), Pemerintah
dapat menyatakan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar
biasa (KLB).
(2) Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa
(KLB) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan berdasarkan hasil
penelitian yang diakui keakuratannya.
(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan upaya
penanggulangan keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa dan
upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3),
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 157
Bagian Kedua
Penyakit Tidak Menular
Pasal 158
Pasal 159
Pasal 160
(1) Pemerintah, pemerintah daerah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk
melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi yang benar tentang faktor risiko
penyakit tidak menular yang mencakup seluruh fase kehidupan.
(2) Faktor risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi diet tidak
seimbang, kurang aktivitas fisik, merokok, mengkonsumsi alkohol, dan perilaku
berlalu lintas yang tidak benar.
Pasal 161
(1) Manajemen pelayanan kesehatan penyakit tidak menular meliputi keseluruhan
spektrum pelayanan baik promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
(2) Manajemen pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola secara
profesional sehingga pelayanan kesehatan penyakit tidak menular tersedia, dapat
diterima, mudah dicapai, berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat.
(3) Manajemen pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dititikberatkan
pada deteksi dini dan pengobatan penyakit tidak menular.
BAB XI
KESEHATAN LINGKUNGAN
Pasal 162
(3) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bebas dari unsur-unsur
yang menimbulkan gangguan kesehatan, antara lain:
a. limbah cair;
b. limbah padat;
c. limbah gas;
(4) Ketentuan mengenai standar baku mutu kesehatan lingkungan dan proses
pengolahan limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3),
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XII
KESEHATAN KERJA
Pasal 164
(1) Upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat
dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan
oleh pekerjaan.
(2) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pekerja
di sektor formal dan informal.
(3) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi
setiap orang selain pekerja yang berada di lingkungan tempat kerja.
(4) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
berlaku juga bagi kesehatan pada lingkungan tentara nasional Indonesia baik
darat, laut, maupun udara serta kepolisian Republik Indonesia.
(5) Pemerintah menetapkan standar kesehatan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(6) Pengelola tempat kerja wajib menaati standar kesehatan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dan menjamin lingkungan kerja yang sehat
serta bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan kerja.
(7) Pengelola tempat kerja wajib bertanggung jawab atas kecelakaan kerja yang
terjadi di lingkungan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 165
(1) Pengelola tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya kesehatan melalui
upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan bagi tenaga kerja.
(2) Pekerja wajib menciptakan dan menjaga kesehatan tempat kerja yang sehat dan
menaati peraturan yang berlaku di tempat kerja.
(3) Dalam penyeleksian pemilihan calon pegawai pada perusahaan/instansi, hasil
pemeriksaan kesehatan secara fisik dan mental digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 166
(1) Majikan atau pengusaha wajib menjamin kesehatan pekerja melalui upaya
pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan serta wajib menanggung
seluruh biaya pemeliharaan kesehatan pekerja.
(2) Majikan atau pengusaha menanggung biaya atas gangguan kesehatan akibat
kerja yang diderita oleh pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Pemerintah memberikan dorongan dan bantuan untuk perlindungan pekerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
BAB XIII
PENGELOLAAN KESEHATAN
Pasal 167
BAB XIV
INFORMASI KESEHATAN
Pasal 168
(1) Untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang efektif dan efisien diperlukan
informasi kesehatan.
(2) Informasi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
sistem informasi dan melalui lintas sektor.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 169
Pasal 170
Pasal 172
(1) Alokasi pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 ayat (3)
ditujukan untuk pelayanan kesehatan di bidang pelayanan publik, terutama bagi
penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak terlantar.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara alokasi pembiayaan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 173
BAB XVI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 174
BAB XVII
BADAN PERTIMBANGAN KESEHATAN
Bagian Kesatu
Nama dan Kedudukan
Pasal 175
Pasal 176
Pasal 177
(1) BPKN dan BPKD berperan membantu pemerintah dan masyarakat dalam bidang
kesehatan sesuai dengan lingkup tugas masing-masing.
(2) BPKN dan BPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan
wewenang antara lain:
a. menginventarisasi masalah melalui penelaahan terhadap berbagai informasi
dan data yang relevan atau berpengaruh terhadap proses pembangunan
kesehatan;
b. memberikan masukan kepada pemerintah tentang sasaran pembangunan
kesehatan selama kurun waktu 5 (lima) tahun;
c. menyusun strategi pencapaian dan prioritas kegiatan pembangunan
kesehatan;
d. memberikan masukan kepada pemerintah dalam pengidentifikasi dan
penggerakan sumber daya untuk pembangunan kesehatan;
e. melakukan advokasi tentang alokasi dan penggunaan dana dari semua
sumber agar pemanfaatannya efektif, efisien, dan sesuai dengan strategi
yang ditetapkan;
f. memantau dan mengevaluasi pelaksanaan pembangunan kesehatan; dan
g. merumuskan dan mengusulkan tindakan korektif yang perlu dilakukan
dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan yang menyimpang.
(3) BPKN dan BPKD berperan membantu pemerintah dan masyarakat dalam bidang
kesehatan.
BAB XVIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 178
Pasal 179
c. pembiayaan.
Pasal 180
Dalam rangka pembinaan, Pemerintah dan pemerintah daerah, dapat memberikan
penghargaan kepada orang atau badan yang telah berjasa dalam setiap kegiatan
mewujudkan tujuan kesehatan.
Pasal 181
Pasal 182
Pasal 183
Menteri atau kepala dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 dalam
melaksanakan tugasnya dapat mengangkat tenaga pengawas dengan tugas pokok
untuk melakukan pengawasan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan
sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.
Pasal 184
Pasal 185
Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat dilakukannya pemeriksaan oleh
tenaga pengawas mempunyai hak untuk menolak pemeriksaan apabila tenaga
pengawas yang bersangkutan tidak dilengkapi dengan tanda pengenal dan surat
perintah pemeriksaan.
Pasal 186
Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan atau patut diduga adanya
pelanggaran hukum di bidang kesehatan, tenaga pengawas wajib melaporkan kepada
penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 187
Pasal 188
(1) Menteri dapat mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan
fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini.
(3) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan tindakan administratif
sebagaimana dimaksud pasal ini diatur oleh Menteri.
BAB XIX
PENYIDIKAN
Pasal 189
(1) Selain penyidik polisi negara Republik Indonesia, kepada pejabat pegawai
negeri sipil tertentu di lingkungan pemerintahan yang menyelenggarakan urusan
di bidang kesehatan juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan.
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana di bidang kesehatan;
(3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh penyidik
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
BAB XX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 190
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan
dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Pasal 191
Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional
yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat
(1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 192
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh
dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 193
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan rekonstruksi untuk
tujuan mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 diancam
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Pasal 195
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih apapun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 Ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi
dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan
keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi
dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas tahun)
dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 198
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik
kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 199
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak
mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dendan paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).
Pasal 200
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu
eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
Pasal 201
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal
191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200
dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana
denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198,
Pasal 199, dan Pasal 200.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat
dijatuhi pidana tambahan berupa:
BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 202
BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 204
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
ttd.
ttd.
ANDI MATTALATTA
Menimbang :
Bahwa untuk lebih meningkatkan perlindungan terhadap tenaga kerja, Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja menetapkan
perlunya pengaturan mengenai penyakit yang timbul karena hubungan kerja dengan
Keputusan Presiden.
Mengingat :
1. Pasal (1)">4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3520);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENYAKIT
YANG TIMBUL KARENA HUBUNGAN KERJA.
Pasal 1
Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh
pekerjaan atau lingkungan kerja.
Pasal 2
Setiap tenaga kerja yang menderita penyakit yang timbul karena hubungan kerja
berhak mendapat jaminan Kecelakaan Kerja baik pada saat masih dalam hubungan
kerja maupun setelah hubungan kerja berakhir.
Pasal 3
(1) Hak atas Jaminan Kecelakaan Kerja bagi tenaga kerja yang hubungan kerjanya
telah berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan, apabila menurut
hasil diagnosis dokter yang merawat penyakit tersebut diakibatkan oleh
pekerjaan selama tenaga kerja yang bersangkutan masih dalam hubungan kerja.
(2) Hak jaminan kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan,
apabila penyakit tersebut timbul dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun
terhitung sejak hubungan kerja tersebut berakhir.
Pasal 4
Penyakit yang timbul karena hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Presiden ini.
Pasal 5
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
ttd.
SOEHARTO
Salinan sesuai dengan aslinya
ttd.
LAMPIRAN
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1993 TANGGAL 27 Pebruari 1993
NO. PENYAKIT