b. Ureter
Ureter merupakan saluran muskuler silindris urine yang mentranspor urin dari
ginjal menuju vesica urinaria Terdapat sepasang ureter yang terletak retroperitoneal,
masing-masing satu untuk setiap ginjal. Memiliki panjang sekitar 25-30 cm, terbentang
dari ginjal sampai vesika urinaria. Fungsi menyalurkan urin ke vesika urinaria. ( Roger
Watson, 2002 )
Ureter terbagi atas dua bagian yaitu Pars abdominalis (pada cavum abdominalis)
dan Pars pelvica (pada rongga panggul). Batas keduanya diambil suatu bidang yang
disebut aditus pelvis. Pada pria ureter menyilang superficial di dekat ujungnya di dekat
ductus defferen, sedangkan pada wanita ureter lewat diatas fornix lateral vagina namun
di bawah ligamentum cardinal dan A.uterina.
Vaskularisasi ureter pada bagian atas mendapat perdarahan dari A.renalis, bagian
tengah oleh arteri testicularis atau arteri ovarica, dan didalam pelvis (ureter bawah)
mendapat perdarahan dari A.vesicalis inferior. Persyarafan ureter oleh segmen T10-L1
atau L2 melalui pleksus renalis, pleksus aorticus, serta pleksus hipogastricus superior dan
inferior melalui neuron-neuron simpatis.
c. Vesica Urinaria
Sering juga disebut kandung kemih atau buli-buli, merupakan tempat untuk
menampung urine yang berasal dari ginjal melalui ureter, untuk selanjutnya diteruskan
ke uretra dan lingkungan eksternal tubuh melalui mekanisme relaksasi sphincter. Vesica
urinaria terletak di lantai pelvis (pelvic floor), bersama-sama dengan organ lain seperti
rektum, organ reproduksi, bagian usus halus, serta pembuluh-pembuluh darah, limfatik
dan saraf.
Vesica Urinaria mempunyai 4 bagian, yaitu :
a. Apex vesicale, dihubungkan ke cranial oleh urachus sampai ke umbilicus membentuk
ligamentum vesico umbilicale mediale.
b. Corpus vesicae, antara apex dan fundus.
c. Fundus (basis) vesicae, sesuai dengan basis.
d. Cervix vesicae, sudut caudal mulai uretra dengan ostium uretra internum.
Serta mempunyai tiga permukaan (superior dan inferolateral dextra dan sinistra)
serta empat tepi (anterior, posterior, dan lateral dextra dan sinistra).
d. Uretra
Uretra merupakan saluran yang membawa urine keluar dari vesica urinaria menuju
lingkungan luar. Terdapat beberapa perbedaan uretra pada pria dan wanita. Uretra pada
pria memiliki panjang sekitar 15-20 cm dan juga berfungsi sebagai organ seksual
(berhubungan dengan kelenjar prostat), sedangkan uretra pada wanita panjangnya
sekitar 4-5 cm ( Daniel S, Wibowo, 2005 ). Selain itu, Pria memiliki dua otot sphincter
yaitu m.sphincter interna (otot polos terusan dari m.detrusor dan bersifat involunter)
dan m.sphincter externa (di uretra pars membranosa, bersifat volunter), sedangkan
pada wanita hanya memiliki m.sphincter externa (distal inferior dari kandung kemih dan
bersifat volunter).
Pada pria, uretra dapat dibagi atas:
a. Pars prostatica, uretra melalui prostat. Panjangnya sekitar 3cm.
b. Pars membranaceae, melalui trigonum urogenitalis. Panjangnya sekitar 2 cm.
c. Pars spongiosa, berjalan di dalam corpus cavernosum uretra, dimulai dari fossa
intratubularis sampai dengan pelebaran uretra yang disebut fossa terminalis (fossa
naviculare uretra).
ANATOMI MIKRO
1. Ginjal
Secara histologi ginjal terbungkus dalam kapsul atau simpai jaringan lemak dan simpai
jaringan ikat kolagen. Organ ini terdiri atas bagian korteks dan medula yang satu sama lain
tidak dibatasi oleh jaringan pembatas khusus, ada bagian medula yang masuk ke korteks dan
ada bagian korteks yang masuk ke medula. Bangunan-bangunan:
a. Korpus Malphigi terdiri atas kapsula Bowman (bangunan berbentuk cangkir) dan
glomerulus (jumbai /gulungan kapiler).
b. Bagian sistem tubulus yaitu tubulus kontortus proksimalis dan tubulus kontortus distal.
Medula ginjal terdiri atas beberapa bangunan yang merupakan bagian sistim tubulus
yaitu pars descendens dan descendens ansa Henle, bagian tipis ansa Henle, duktus
ekskretorius (duktus koligens) dan duktus papilaris Bellini.
3.1 DEFINISI
GNAPS adalah suatu bentuk peradangan glomerulus yang secara histopatologi menunjukkan
proliferasi & Inflamasi glomeruli yang didahului oleh infeksi group A β-hemolytic streptococci
(GABHS) dan ditandai dengan gejala nefritik seperti hematuria, edema, hipertensi, oligiria yang
terjadi secara akut.
3.2 ETIOLOGI
Sekitar 75% GNAPS timbul setelah infeksi saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan
oleh kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedang tipe 2, 49, 55,
56, 57 dan 60 menyebabkan infeksi kulit. Infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus ini
mempunyai resiko terjadinya glomerulonefritis akut paska streptokokus berkisar 10-15%.
Faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi mempengaruhi terjadinya
GNAPS. Ada beberapa penyebab glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering ditemukan
disebabkan karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain diantaranya:
1. Bakteri: Streptokokus grup C, Meningococcocus, Streptoccocus viridans, Gonococcus, Leptospira,
Mycoplasma pneumoniae, Staphylococcus albus, Salmonella typhi, dll
2. Virus: Hepatitis B, varicella, echovirus, parvovirus, influenza, parotitis epidemika
3. Parasit: Malaria dan toksoplas.
3.3 EPIDEMIOLOGI
GNA dapat terjadi secara sporadik ataupun epidemik. Insidensinya meningkat pada kelompok
sosioekonomi rendah, berkaitan dengan higiene yang kurang baik dan jauh dari tempat pelayanan
kesehatan.2, 3, 5 Rasio terjadinya glomerulonefritis sesudah infeksi pada pria dibanding wanita
adalah 2:1. Penyakit ini dapat terjadi pada segala usia, namun seringnya terjadi pada anak-anak,
terutama usia 2-6 tahun. GNAPS jarang terjadi pada anak kurang dari 2 tahun dan lebih dari 20
tahun. Glomerulonefritis akut dapat menjadi penyakit epidemik, terutama disebabkan Streptokokus
beta hemolitikus grup A tipe nefritogenik.
Kejadian glomerulonefritis akut sudah mulai menurun pada negara maju, namun masih terus
berlanjut pada negara berkembang. Pada beberapa negara berkembang, glomerulonefritis akut
tetap menjadi bentuk sindrom nefritik yang paling sering ditemui. Attack rate dari glomerulonefritis
akut terlihat memiliki pola siklus, yaitu sekitar setiap 10 tahun.
3.4 KLASIFIKASI
3.5 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi GNAPS belum diketahui dengan pasti. Dugaan hubungan antara glomerulonefritis
akut dan infeksi streptokokus dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan
alasan timbulnya glomerulonefritis akut setelah infeksi skarlatina, diisolasinya kuman Streptococcus
β haemolyticus golongan A, dan meningkatnya titer antistreptolisin pada serum penderita.
Diduga mekanisme yang terjadi pada GNAPS adalah suatu proses kompleks imun dimana
antibodi dari tubuh akan bereaksi dengan antigen yang beredar dalam darah dan komplemen untuk
membentuk suatu kompleks imun. Kompleks imun yang beredar dalam darah dalam jumlah yang
banyak dan waktu yang singkat melekat pada kapiler-kapiler glomerulus dan terjadi kerusakan
mekanis melalui aktivasi sistem komplemen, reaksi peradangan dan mikrokoagulasi (Geetha D,
2005). Periode laten antara infeksi streptokokus dengan kelainan glomerulus menunjukkan proses
imunologis memegang peran penting dalam mekanisme penyakit. Diduga respon yang berlebihan
dari sistem imun pejamu pada stimulus antigen dengan produksi antibodi yang berlebihan
menyebabkan terbentuknya kompleks Ag-Ab yang nantinya melintas pada membran basal
glomerulus. Selanjutnya komplemen akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan yang
menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan trombosit menuju tempat lesi (Noer MS, 2002).
Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endothel dan membran basalis glomerulus
(IGBM). Sebagai respon terhadap lesi yang terjadi, timbul proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-
sel mesangium dan selanjutnya sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus
menyebabkan protein dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urine yang sedang dibentuk oleh
ginjal, mengakibatkan proteinuria dan hematuria (Sekarwana HN, 2001)
Manifestasi klinis GNA sangat bervariasi, mulai dari yang ringan atau tanpa gejala sampai yang berat.
Gejala pertama yang paling sering ditemukan adalah
edema atau sembab palpebra.
Penimbunan cairan disertai pembengkakan jaringan (edema) terjadi di sekitar wajah dan
kelopak mata (infeksi post streptokokal). Pada awalnya edema timbul sebagai
pembengkakan di wajah dan kelopak mata, tetapi selanjutnya lebih dominan di tungkai dan
bisa menjadi hebat (Lumbanbatu SM, 2003).
Hematuria
atau kencing yang mengandung darah baik secara makroskopik maupun mikroskopik.
Hematuria makroskopis yang tidak disertai rasa nyeri merupakan gejala yang sering
ditemukan. Gross hematuria terjadi pada 30- 50 % pasien yang dirawat (Sekarwana HN,
2001). Hematuria mikroskopis umumnya didapatkan pada semua pasien.
Oligouri
atau volume kencing yang sedikit. Oligouri atau anuria timbul akibat terjadinya penurunan
filtrasi glomerolus ginjal (Pardede SO, 2005).
Hipertensi
ditemukan pada hampir semua pasien GNAPS, biasanya ringan atau sedang. Hipertensi pada
GNAPS dapat mendadak tinggi selama 3-5 hari. Setelah itu tekanan darah menurun
perlahan-lahan dalam waktu 1-2 minggu (Lumbanbatu, 2003).
Variasi lain yang tidak spesifik bisa dijumpai seperti demam, malaise, nyeri, nafsu makan
menurun, nyeri kepala, atau lesu (Noer MS, 2002).
Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis, peneriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
- Pada anamnesis didapatkan riwayat infeksi tenggorokan atau infeksi kulit sebelumnya.
- Pada pemeriksaan fisik kecurigaan akan adanya GNAPS bila didapatkan tekanan darah tinggi
walaupun kadang dalam batas normal, adanya edema atau sembab pada daerah wajah
terutama daerah periorbital, skin rash, atau bisa ditemukan kelainan neurologi pada kasus
hipertensi malignant (Todd JK, 2004).
- Pemeriksaan penunjang dilakukan:
Pemeriksaan darah lengkap
Ditemukan hemoglobin yang menurun karena hemodilusi dan kelainan fungsi ginjal.
Pemeriksaan urinalisis
Didapatkan warna urin gelap seperti air cucian daging, berat jenis urin meningkat,
eritrosit ditemukan dalam urin, proteinuria, silinder leukosit, silinder eritrosit, silinder
granular (protein) dan silinder lemak.
Uji serologi
Respon imun terhadap antigen streptokokus didapatkan peningkatan titer antibodi
terhadap streptolisin-O (ASTO) yang terjadi 10-14 hari setelah infeksi streptokokus.
Kenaikan titer ASTO terdapat pada 75-80% pasien yang tidak mendapat antibiotik.Titer
ASTO pasca infeksi streptokokus pada kulit jarang meningkat dan hanya terjadi pada
50% kasus (Lumbanbatu SM, 2003). Titer antibodi lain seperti antihialuronidase (Ahase)
dan anti deoksiribonuklease B (DNase B) umumnya meningkat.
Pemeriksaan foto thorak
Diperlukan pada pasien dengan batuk, dengan atau tanpa hemoptysis.
Echocardiografi
Pasian dengan murmur, atau positif adanya endokarditis pada kultur darah atau efusi
perikardial.
Ultrasonografi ginjal
Untuk mengevaluasi ukuran ginjal, dan mengetahui adanya fibrosis.
Pemeriksaan bakteriologis apus tenggorok atau kulit penting untuk isolasi dan
identifikasi streptococcus (Sekarwana HN, 2001)
DIAGNOSIS BANDING
3.8 TATALAKSANA
Penatalaksanaan pasien GNAPS bersifat simtomatik dan lebih diarahkan terhadap eradikasi
organisme dan pencegahan terjadinya gagal ginjal akut.Rawat inap direkomendasikan bila terdapat
edem, hipertensi atau peningkatan kadar kreatinin darah.
1. Istirahat selama 3-4 minggu, setelah itu mobilisasi penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai
timbulnya penyakit tidak berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya.
2. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak mempengaruhi beratnya
glomerulonefritis, melainkan mengurangi menyebarnya infeksi Streptokokus yang mungkin masih
ada. Pemberian penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan pemberian profilaksis yang
lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman penyebab tidak dianjurkan karena terdapat
imunitas yang menetap. Secara teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen
lain, tetapi kemungkinan ini sangat kecil sekali. Pemberian penisilin dapat dikombinasi dengan
amoksilin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti
dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis.
3. Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1g/kgbb/hari) dan rendah garam
(1g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu
telah normal kembali. Bila ada anuria atau muntah, maka diberikan IVFD dengan larutan glukosa
10%. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan
bila ada komplikasi seperti gagal jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang
diberikan harus dibatasi.
4. Pengobatan terhadap hipertensi. Untuk hipertensi ringan biasanya belum diberikan antihipertensi
tetapi dilakukan pengawasan ketat. Pada keadaan hipertensi sedang diberikan diuretika mulai
dengan dosis minimal (0,5mg – 2mg/kg/dosis) atau dapat ditambahkan dengan ACE inhibitor dengan
dosis 0,5mg/kg/hari dibagi 3 dosis. Jika pengobatan tersebut belum ada perbaikan dapat diberikan
antihipertensi golongan vasodilator. Pada krisis hipertensi dapat diberikan 0,002 mg/kg/8 jam atau
dapat diberikan nifedipine sublingual 0,25-0,5 mg/kgbb.
5. Bila terjadi gagal ginjal akut, maka dapat dipertimbangkan tindakan peritoneal dialisis atau
hemodialisi
3.9 PENCEGAHAN
Pengobatan lebih awal terhadap infrksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh infeksi
Streptococcus dapat mengurangi resiko untuk terkenanya sindrom nefritik akut.
3.10 KOMPLIKASI
1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagai akibat berkurangnya
filtrasi glomerulus.
2. Hipertensi ensefalopati. Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan
kejang-kejang. Ini disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dispnea, ortopnea, terdapatnya crackles, pembesaran jantung yang
disebabkan bertambahnya volume plasma. Jantung dapat membesar dan terjadi gagal jantung
akibat hipervolemia yang menetap.
4. Anemia yang timbul karena adanya gangguan pembentukan eritropoietin.
3.11 PROGNOSIS
Sebagian besar pasien akan sembuh, diuresis akan menjadi normal kembali pada hari ke 7-10
disertai dengan menghilangnya edem dan tekanan darah menjadi normal kembali secara bertahap.
Fungsi ginjal membaik dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu. Komplemen
serum menjadi normal dalam waktu 6-8 minggu. Tetapi kelainan sedimen urin akan tetap terlihat
selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pada sebagian besar pasien.
Dalam suatu penelitian pada 36 pasien glomerulonefritis akut pascastreptokokus yang terbukti dari
biopsi, diikuti selama 9,5 tahun. Prognosis untuk menjadi sembuh sempurna sangat baik. Hipertensi
ditemukan pada 1 pasien dan 2 pasien mengalami proteinuria ringan yang persisten.
“Jika salah seorang di antara kalian menginjak kotoran (al adza) dengan alas kakinya, maka tanahlah
yang nanti akan menyucikannya.”
Al adza (kotoran) adalah segala sesuatu yang mengganggu yaitu benda najis, kotoran, batu, duri,
dsb. Yang dimaksud al adza dalam hadits ini adalah benda najis, termasuk pula kotoran
manusia. Selain dalil di atas terdapat juga beberapa dalil tentang perintah untuk istinja’ yang
menunjukkan najisnya kotoran manusia.
Sedangkan najisnya kencing manusia dapat dilihat pada hadits Anas,
َقا َل َفلَمَّا َف َر َغ َد َعا.» ُ « َدعُوهُ َوالَ ُت ْز ِرمُوه-صلى هللا عليه وسلم- ِ أَنَّ أَعْ َر ِاب ًّ'&ًيا َبا َل فِى ْال َمسْ ِج ِد َف َقا َم إِلَ ْي ِه َبعْ ضُ ْال َق ْو ِم َف َقا َل َرسُو ُل هَّللا
ص َّب ُه َعلَ ْي ِه ْ ِب.
َ دَل ٍو مِنْ َما ٍء َف
“(Suatu saat) seorang Arab Badui kencing di masjid. Lalu sebagian orang (yakni sahabat) berdiri.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkan dan jangan hentikan
(kencingnya)”. Setelah orang badui tersebut menyelesaikan hajatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lantas meminta satu ember air lalu menyiram kencing tersebut.”
Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Kotoran dan kencing manusia sudah tidak samar lagi
mengenai kenajisannya, lebih-lebih lagi pada orang yang sering menelaah berbagai dalil syari’ah.”
2. Darah
Maka secara umum, dalam hal ini ulama terbagi menjadi dua pendapat:
Pendapat pertama
Darah manusia itu najis. Sebagaimana dalil-dalil yang kami sebutkan di atas. Dan banyak
ulama yang menukil ijma akan hal ini.
Ibnul Arabi mengatakan:
“Ulama sepakat bahwa darah itu haram, tidak boleh dimakan dan najis” (Hasyiyah ar Ruhuni,
1/73).
Al Qurthubi mengatakan:
“Ulama sepakat bahwa darah itu haram dan najis” (Tafsir Al Qurthubi, 2/222).
An Nawawi mengatakan:
“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa darah itu najis dan ini adalah ijma ulama kaum Muslimin”
(Syarah Shahih Muslim, 3/200)
Pendapat kedua
Darah manusia itu suci. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Asy Syaukani, Shiddiq Hasan
Khan, Al Albani dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.