Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

FOTOGRAFI FORENSIK

Disusun oleh :

Melia Hanani Manalis 4112022059

Pembimbing :

dr. Suryo Wijoyo, Sp.KF, MH

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

RSUD KABUPATEN BEKASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

PERIODE 05 DESEMBER 2022 – 07 JANUARI 2023


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.....................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................4
2.1 Definisi Fotografi Forensik.................................................................................4
2.2 Syarat Fotografi Forensik...................................................................................5
2.3 Klasifikasi Fotografi Forensik............................................................................6
2.4 Teknik Fotografi Forensik……………………………………………………11
2.5 Peralatan Fotografi Forensik…………………………………………………14
BAB III............................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................24
BAB I

PENDAHULUAN

Dokumentasi cedera yang akurat dan tepat merupakan dasar dalam konteks
patologis forensik. Dokumentasi ini dapat digunakan di pengadilan dan sangat penting
untuk hasil persidangan. Prosedur dokumentasi standar dari lesi saat pemeriksaan
meliputi deksripsi verbal, pengukuran manual, sketsa pada diagram tubuh dan foto. Foto
merupakan salah satu bukti secara objektif yang dapat diberikan kepada pihak terkait
yang membutuhkan, terutama foto yang menunjukkan kondisi awal pasien pada saat
sebelum dilakukan pemeriksaan, meskipun terkadang juga terdapat beberapa foto yang
di ambil ketika sedang dilakukan pemeriksaan ataupun setelah dilakukan pemeriksaan.1

Salah satu proses yang paling sering dilakukan dalam setiap upaya
penyelenggaraan pemeriksaan forensik adalah proses dokumentasi. 2 Dokter umum
merupakan dokter terdepan yang sering berhadapan dengan kasus forensik klinik
terutama di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Tidak jarang dokter diminta untuk membuat
visum et repertum. Dalam pembuatan visum et repertum tersebut, dokter umum sebagai
pemeriksa sering berkonsultasi dengan dokter forensik melalui sistem konsultasi yang
berlaku di Rumah Sakit tersebut. Berikutnya dokter forensik akan melakukan repetitif
analisa dari catatan rekam medis dan foto yang dibuat oleh dokter pemeriksa yaitu
dokter umum tersebut. Pemeriksaan dan dokumentasi luka yang tidak baik tentunya
akan menyulitkan dokter forensik dan dapat mengganggu proses hukum.3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Fotografi Forensik

Fotografi forensik disebut juga forensic imaging atau crime scene


photography merupakan suatu proses seni menghasilkan bentuk reka ulang dari
tempat kejadian perkara atau tempat kejadian kecelakaan secara akurat untuk
kepentingan penyelidikan hingga pengadilan. Fotografi forensik juga termasuk
ke dalam bagian dari upaya pengumpulan barang bukti seperti tubuh manusia,
tempat-tempat dan setiap benda yang terkait suatu kejahatan dalam bentuk foto
yang dapat digunakan oleh penyelidik atau penyidik saat melakukan
penyelidikan atau penyidikan.5
Gambar yang diambil biasanya berupa gambar yang berwarna atau dapat
pula dalam bentuk gambar hitam-putih tergantung kebutuhannya. Gambar
berwarna lebih dipilih saat mengumpulkan bukti berupa cat atau bercak yang
ditemukan di TKP (tempat kejadian perkara). Sebaliknya, jejak ban akan lebih
tegas pola dan perbedaan warna dengan sekitarnya saat diambil dalam bentuk
foto hitam-putih.5
2.2 Kegunaan Fotografi Forensik
Kegunaan fotografi forensik adalah sebagai berikut:
1. Foto harus diambil dalam cahaya yang cukup
2. Semua barang bukti harus di foto close up.
3. Memotret semua bukti di tempat sebelum direposisi atau dibersihkan.
4. Semua foto dokumentasi yang diambil harus diberi watermark
5. Identifikasi orang yang di dokumentasikan dalam foto
6. Gambar yang diambil harus di pindahkan dalam penyimpanan dengan
akses terbatas.

2.3 Syarat Fotografi Forensik

Syarat dalam melakukan fotografi forensik agar mendapatkan


dokumentasi yang baik yaitu:6,7
1. Foto harus diambil dalam cahaya yang cukup dengan pencahayaan latar
belakang yang terang.
2. Semua barang bukti harus di foto close up, pertama dengan tanpa skala
kemudian dengan skala, mengisi seluruh frame foto.
3. Memotret semua bukti di tempat sebelum direposisi atau dibersihkan.
4. Semua foto dokumentasi yang diambil harus diberi watermark agar
melindungi dari keasilian foto.
5. Indetifikasi orang yang di dokumentasikan dalam foto sangat penting
karena diperlukan sebagai bukti dalam pengadilan.
6. Gambar yang diambil harus di pindahkan dalam CDR dan harus disimpan
dengan akses terbatas. Seluruh hasil foto dokumentasi dalam komputer dan
hardisk harus dilindungi menggunakan password.
Perlu diperhatikan beberapa kesalahan pengambilan foto, seperti gambar
atau hasil foto yang buruk, hasil foto yang kabur karena kamera goyang saat
pengambilan foto, serta exposure yang terlalu tinggi dan terlalu rendah dari
suatu gambar.8

2.4 Rangkaian Pengambilan Gambar


1. Gambar Identitas, meliputi nama, nomor RM, tanggal lahir
2. Gambar Wajah, terutama jika ada temuan klinis atau luka-luka pada daerah
wajah
3. Gambar Obyek, untuk mengidentifikasi area dan posisi anatomis
4. Gambar Close-Up atau dalam jarak dekat
5. Gambar Detail, meliputi area kecil tubuh, seperti jari, telinga, hidung,
selaput dara
6. Pengambilan gambar harus menggunakan filter cahaya agar gambar yang
dihasilkan dapat terlihat jelas

2.5 Peralatan Fotografi Forensik

1. Kamera
Kamera yang lazim di lapangan pekerjaan forensik adalah kamera tipe
single-lens reflex 35mm. Kamera ini menggunakan sebuah lensa dengan sistem
cermin yang bergerak secara automatis, menerima cahaya yang datang untuk
dipantulkan ke sebuah pentaprism yang ditempatkan di atas jalur optik cahaya
yang berjalan di bagian dalam lensa, yang memungkinkan fotografer untuk
melihat dimensi obyek sesungguhnya yang akan ditangkap oleh film tersebut.5

2. Format film
Format film yang lazim digunakan dalam kepentingan forensik. Beberapa
fotografer medis bahkan membawa kamera yang terpisah yang telah terisi film
berkecepatan 1000 ASA untuk beberapa sesi pemotretan khusus.5

3. Lensa
Tipe lensa yang digunakan tergantung pilihan dari fotografer itu sendiri.
Sebagian orang lebih memilih lensa tunggal yang interchangeable dengan variasi
daya akomodasi lensa (focal length). Lensa standar 50 mm atau biasa disebut
fixed lens 50 mm (daya akomodasi lensanya terfiksasi pada satu nilai)
adalah yang paling sering digunakan, kaitannya dengan kesetaraan daya
akomodasinya dengan mata kita. Namun pada TKP, atau pada jarak pengambilan
gambar terjauh dari tubuh korban pada kondisi TKP yang sulit, lensa sudut lebar
(wide angle) 28 mm atau 30 mm lebih diperlukan.

Nilai focal length yang sedikit lebih panjang seperti 80 mm dapat berguna
untuk gambar-gambar jarak dekat dari perlukaan. Tidak disarankan penggunaan
lensa telefoto dengan focal length 100 mm – 200 mm karena sebagian fungsinya
telah digantikan oleh lensa tambahan untuk kegiatan macrophotography Banyak
ahli patologi forensik lebih memilih untuk mengkombinasikan lensa-lensa
tersebut menjadi satu lensa yang memiliki variable-focus ”zoom” lens antara 28
mm – 80 mm.

Langkah ini diambil untuk lebih mempersingkat waktu pengambilan


gambar dan gambar yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan hasil gambar
menggunakan lensa dengan daya akomodasi terfiksasi. Pemilihan focal length
lensa memegang peranan penting dalam rangka pengambilan gambar. Wide angle
akan membuat luas perspektif, sebaliknya tele lens akan mempersempitnya. Saat
berurusan dengan komposisi, ada plus-minus di kedua jenis lensa.5

Standard Lens Wide Lens Tele Lens

2.6 Teknik Fotografi Forensik


Dalam fotografi forensik hal yang diutamakan adalah bahwa jepretan
kamera kita mampu memberikan hasil yang tajam, berkomposisi, seimbang
dalam hal pencahayaan dan warna, dan tidak mengalami perubahan dimensi
obyek.5

1. Ketajaman Gambar

Salah satu unsur yang menentukan ketajaman sebuah gambar adalah


kedalaman gambar (depth of field), untuk membuat sebuah gambar dua dimensi
menjadi lebih hidup, dibutuhkan penciptaan rasa akan adanya kedalaman dari
gambar. Pemilihan lensa dan bukaan diafragma (aperture) menjadi unsur vital
untuk menciptakan kedalaman. Pada pemotretan organ dalam (viscera), dapat
dilakukan penggunaan gelas yang diletakkan secara terbalik dan di cat sesuai
warna latar belakang yang digunakan (biasanya hijau) yang terletak agak jauh di
bawah gelas untuk menghindari fokus serta penggunaan lampu tungsten sebagai
pencahayaan.5

2. Komposisi gambar

Pada kegiatan fotografi yang dilakukan di TKP, gambar diambil secara


serial dan panoramik menggunakan lensa-lensa sudut lebar agar seluruh obyek
pada TKP dapat terekam dalam bingkai pemotretan sekaligus. Diperlukan
komposisi obyek yang baik dan kuat agar pesan yang tersirat dalam setiap
bingkai pemotretan dapat disampaikan ke penyelidik maupun penyidik. Hal ini
perlu diperhatikan untuk kepentingan rekonstruksi kejadian, pada komposisi
gambar dikenal ”rumus pertigaan” pada teknik komposisi fotografi, yakni
membagi bingkai gambar menjadi sembilan bagian yang sama. Pembaginya
adalah dua garis horizontal dan dua garis vertikal. Rumus ini dapat diterapkan
pada segala format: bujur sangkar, persegi panjang, atau panorama. Komposisi
yang dibangun akan seimbang saat menempatkan obyek tepat di atau dekat titik
pertemuan garis (point of power). Dalam seni fotografi murni, rumus ini juga
dapat dipergunakan untuk pengambilan gambar jarak dekat (closeup). Namun
aplikasinya tidak disarankan pada close-up fotografi autopsi, karena dalam hal
ini, lebih ditekankan proses representasi dari realita, misalnya pada pengambilan
foto organ dalam. Perubahan perspektif akibat usaha di atas yang barangkali
dapat memberikan interpretasi salah saat foto digunakan untuk kepentingan
penyelidikan dan penyidikan.5

3. Eksposur

Eksposur perlu diperhatikan untuk mendapatkan hasil foto yang baik.


Untuk menciptakan serangkaian warna pada gambar, kamera harus memastikan
bahwa jumlah cahaya yang optimal sampai ke sensor atau film. Hal tersebut bisa
diperoleh dengan mengatur lama eksposur (kecepatan rana/shutter speed) dan
intensitas cahaya (bukaan diafragma/aperture) pada lensa. Saat pemotretan organ
dalam (viscera), organ ditempatkan pada suatu area dengan latar belakang warna
biru atau hijau. Warna putih dapat digunakan meskipun barangkali hal ini dapat
mempengaruhi ukuran eksposur jika latar belakang terlalu terlihat pada bagian
tepi gambar. Walaupun obyek yang diambil terbilang mid-tone, latar belakang
ber-tone terang atau gelap yang tidak normal bisa menimbulkan kesalahan
eksposur. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, tingkat kesalahan eksposur
tergantung pada seberapa besar area dalam bingkai yang terpakai oleh latar
belakang.

Semakin banyak area yang terpakai, semakin besar pengaruhnya


terhadap nilai eksposur. Organ yang akan difoto pun sebaiknya dilakukan dabb
(penekanan dengan kain atau busa) terlebih dahulu agar terhindar dari darah
pada bagian permukaan dan latar belakang untuk menghindari terjadinya efek
penyinaran kuat (highlight). Efek highlight dapat mengganggu metering
exposure yang telah dilakukan sebelumnya. Pada fotografi forensik, yang paling
utama adalah ketajaman obyek dan menjaga agar warna obyek tetap natural.5

4. Warna

Pilihan auto white balance pada kamera digital dirancang untuk secara
automatis menyesuaikan dengan warna-warna, atau temperatur cahaya yang
berbeda untuk mendapatkan hasil yang mendekati normal. Namun terkadang hal
semacam itu malah bukan yang kita inginkan. Disarankan untuk tidak senantiasa
memilih pengaturan auto white balance pada kamera, karena pilihan itu tidak
selalu tepat. Aturlah white balance secara manual sesuai pilihan. Dibutuhkan
beberapa eksperimen memotret agar pengaturan white balance sesuai kebutuhan
dan didapat warna yang lebih natural.5

5. Pencahayaan

Pada jarak pengambilan gambar yang dekat, penggunaan lampu kilat


yang melekat pada kamera akan menghasilkan gambar yang kurang memuaskan.
Alternatifnya, digunakan lampu kilat terpisah yang terjaga jaraknya dengan
kamera, penggunaan diffuse untuk mengurangi kekuatan cahaya atau
menggunakan teknik memantulkan cahaya (bounching) ke arah langit-langit
ruang autopsi atau mungkin ring flash yang dipasang pada bagian depan lensa
untuk menghindari bayangan kamera, pada fotografi jarak dekat (close-up),
dikenal adanya kesalahan paralaks. Paralaks adalah suatu kondisi kesalahan
penampakkan atau perbedaan orientasi dari obyek yang dilihat dari dua arah
yang berbeda, akibat perbedaan sudut pandang dari dua arah tersebut, objek
yang kita lihat melalui jendela bidik (viewfinder) tidak selaras dengan yang
direkam oleh sensor atau film., hal semacam ini bisa terjadi pada kamera SLR
maupun compact ketika kita membidik obyek melalui LCD-nya.

Ada empat elemen cahaya yang perlu kita pahami: kualitas, warna,
intensitas, dan arah. Pada tahap tertentu, kita harus bisa mengendalikan masing-
masing elemen, entah melalui pergeseran dalam posisi kamera, penggunaan
peranti modifikasi cahaya, atau selama pemrosesan gambar. Kualitas cahaya
ditentukan dari bayangan yang diciptakannya. Pencahayaan keras akan
menciptakan bayangan yang tajam dan penyinaran yang kuat. Sebaliknya,
pencahayaan yang lembut akan memunculkan bayangan lembut yang detailnya
masih terlihat. Hati-hati dengan pemilihan shutter speed yang lambat, karena
dapat menyebabkan efek kabur (blur) pada obyek yang sudah barang tentu
menghilangkan ketajaman gambar sebagai salah satu syarat untuk fotografi
forensik.5

2.7 Klasifikasi Fotografi Forensik

1. Fotografi olah Tempat Kejadian Perkara (TKP)

Fotografi forensik merupakan elemen penting dalam penyelidikan


TKP. Tujuannya berguna untuk mendokumentasikan tempat kejadian
perkara termasuk lokasi korban sebelum diperiksa oleh ahli patologi
forensik dan dibawa ke kamar mayat untuk diperiksa lebih lanjut.
Pengumpulan dan pemeriksaan bukti fisik seperti noda darah dan item
lainya, digunakan film berwarna. Rekaman video juga sangat
membantu dalam dokumentasi forensik.9

Pada TKP indoor atau yang terjadi di dalam suatu ruangan, biasanya
fotografer TKP menggunakan metode pengambilan gambar ”empat sudut”.
Pertama, foto diambil secara serial di pintu masuk ruangan tempat korban
ditemukan. Lalu fotografer berpindah sudut dan melakukan hal serupa saat
di pintu masuk, demikian seterusnya hingga sudut ruangan yang keempat,
untuk menghasilkan gambaran panoramik ruangan. Selanjutnya konsentrasi
dipusatkan ke tubuh korban untuk dilakukan pengambilan gambar dengan
jarak pengambilan terjauh dari sisi kiri dan kanan maupun jarak dekat jika
diperlukan. Dokumentasikan juga obyek di sekitar tubuh korban seperti
senjata yang berpotensi sebagai senjata yang digunakan, tumpahan air dari
minuman, atau asbak beserta isinya. Semua ruangan yang terhubung pada
ruangan TKP juga diambil gambarnya secara panoramik, termasuk segala
sesuatu yang dianggap tidak biasa ditemui berkaitan dengan TKP yang
sedang diolah tersebut. Proses serupa juga dilakukan terhadap TKP outdoor
atau yang terjadi di luar ruangan, seperti TKP kecelakaan lalu lintas, TKP di
tempat kerja (pada kasus kematian akibat kecelakaan kerja), dan TKP
bencana (pada kasus kecelakaan pesawat terbang).9

Teknik Fotografi TKP menurut Federal Bureau of Investigation (FBI)


Laboratory Division 10:

1) Memotret TKP secepat mungkin.

2) Siapkan log fotografi yang mencatat semua foto, deskripsi dan lokasi
bukti.

3) Memotret secara keseluruhan, sedang, dan close-up yang terlihat dari


TKP.

4) Foto dari sudut pandang mata untuk mewakili tampilan normal.

5) Memotret daerah yang paling rapuh dari TKP pertama.

6) Memotret semua bukti di tempat sebelum direposisi atau dibersihkan.

7) Semua barang bukti harus difoto close-up, pertama tanpa skala dan
kemudian dengan skala, mengisi seluruh frame foto.

8) Memotret interior TKP dalam sebuah serial tumpang tindih


menggunakan lensa normal, jika mungkin. Secara keseluruhan foto-
foto dapat diambil menggunakan lensa sudut lebar.
2. Fotografi Teknik

1) Pemeriksaan Noda Darah

Pemeriksaan darah menyajikan informasi yang bermanfaat bagi


ilmuwan forensik dalam berbagai investigasi kriminalitas. Informasi
diperoleh dari darah oleh ahli patologi forensik, ahli toksikologi, ahli
serologi, dan ahli olah TKP.1 Dokumentasi fotografi bukti fisik di TKP,
termasuk noda darah, merupakan bagian penting dari upaya investigasi
secara keseluruhan dan rekonstruksi.

Angle of Impact didefinisikan sebagai sudut internal di mana darah


menghantam sasaran permukaan. Angle of Impact adalah fungsi dari
hubungan antara lebar dan panjang noda darah yang dihasilkan. Pada
dampak dari 90 °, resultan noda darah melingkar akan memiliki lebar yang
sama dan panjang, masing- masing mewakili diameter lingkaran. Sudut
dampak yang lebih akut, semakin besar elongasi dari bercak darah
tersebut. Pengukuran lebar dan panjang noda darah individu diambil
melalui poros tengah masingmasing dimensi. Nilai yang dihitung dari
lebar rasio panjang (W / L) digunakan dalam rumus: sudut dampak = arc
sin W / L Nilai arc sin memberikan nilai sudut dampak dapat ditentukan
dari tabel trigonometri atau dengan menggunakan kalkulator ilmiah yang
memiliki fungsi arc sin. Sudut dampak dari noda darah adalah fungsi dari
panjang nya lebar-panjang rasio.1
Angle of Impact

2) Pemeriksaan Bercak Darah dengan Luminol

Reagen Luminol digunakan pada objek atau area yang mengandung


jejak yang dicurigai terdapat noda darah. Iluminasi putih keabu-abuan atau
produksi cahaya dari area yang dicurigai diamati dalam ruangan gelap
merupakan tes yang positif. Luminol sangat baik digunakan untuk
mendeteksi jejak darah yang tidak dapat dilihat secara langsung di TKP.
Hal ini termasuk pelacakan darah di lantai yang gelap dan area karpet,
celah dan retakan di lantai dan dinding, dan area dimana dicurigai telah
dibersihkan dari darah sebelumnya.1

Bercak darah dalam larutan luminol, sumber: BVDA International BV

3) Investigasi Bekas Gigitan (Bite Marks)

Bekas gigitan pada kulit menujukkan pola luka di kulit yang


diakibatkan oleh gigi. Hal ini adalah tanda signifikan yang paling sering
menyertai tindak kekerasan criminal seperti pembunuhan, kekerasan
seksual, kekerasan terhadap anak, kekerasan domestic. Tujuan dari
penyelidikan tanda gigitan ada tiga: pertama, untuk mengenali tanda
gigitan; kedua, untuk memastikan bahwa itu akurat untuk
didokumentasikan; dan ketiga, untuk membandingkannya dengan gigi dari
tersangka. Tanda gigitan harus difoto dengan kulit dalam posisi dimana ia
digigit. Pada orang dewasa hidup ini dapat dipastikan melalui cerita. Pada
orang yang meninggal dan anak-anak, kulit harus difoto dalam rentang
posisi yang mungkin.1
Pola gigitan mempunyai derajat perlukaan sesuai dengan
kerasnya gigitan, pada pola gigitan manusia terdapat 6 kelas yaitu:
1. Kelas I : pola gigitan terdapat jarak dari gigi insisive dan kaninus.
2. Kelas II : pola gigitan kelas II seperti pola gigitan kelas I tetapi terlihat
pola gigitan cusp bukalis dan palatalis maupun cusp bukalis dan cusp
lingualis tetapi derajat pola gigitannya masih sedikit.
3. Kelas III : pola gigitan kelas III derajat luka lebih parah dari kelas II
yaitu permukaan gigit insisive telah menyatu akan tetapi dalamnya luka
gigitan mempunyai derajat lebih parah dari pola gigitan kelas II.
4. Kelas IV : pola gigitan kelas IV terdapat luka pada kulit dan otot di
bawah kulit yang sedikit terlepas atau rupture sehingga terlihat pola
gigitan irreguler.
5. Kelas V : pola gigitan kelas V terlihat luka yang menyatu pola gigitan
insisive, kaninus dan premolar baik pada rahang atas maupun bawah.

6. Kelas VI : pola gigitan kelas VI memperlihatkan luka dari seluruh


gigitan dari rahang atas, rahang bawah, dan jaringan kulit serta jaringan
otot terlepas sesuai dengan kekerasan oklusi dan pembukaan mulut.
Human bitemark severity and significance scale (Pretty 2006 and 2007)

4) Identifikasi Sidik Jari


Sidik jari leten adalah jejak yang tertinggal akibat menempelnya
alur jari. Sidik jari laten harus dimunculkan sebelum dapat dilihat dengan
kasat mata. Sidik jari mempunyai beberapa jenis, yaitu:
a. Sidik jari yang terlihat seperti debu, lumpur, darah, minyak atau
permukaan yang kontras dengan latar belakangnya
b. Sidik jari laten, tersembunyi sebelum dimunculkan dengan serbuk
atau alat pohy light;
c. Sidik jari cetak, pada permukaan yang lembut seperti lilin, purty;
d. Sidik jari etched, pada logam yang halus, disebabkan oleh asam yang
ada dalam kulit.

Sidik jari banyak ditemukan dalam tempat kejadian perkara dan


sangat amat mudah rapuh jika tidak dijaga dan ditangani dengan baik.
Untuk dapat memudahkan proses identifikasi sidik jari maka seringkali
digunakan serbuk atau bahan kimia lain atau bahkan fotografi pollilight.
Sidik Jari

3. Fotografi Autopsi
Syarat utama yang harus dimiliki seorang fotografer autopsi
adalah memiliki dasar pengetahuan anatomi tubuh manusia. Pengambilan
gambar dilakukan sejak tubuh korban tiba, dimulai dari jarak pengambilan
terjauh dari tubuh korban dengan sudut pengambilan gambar pada bagian
depan dan belakang korban, dilanjutkan dengan proses serupa saat
pemeriksaan dimulai, yakni mulai dari pelepasan pakaian hingga
pembersihan tubuh korban.
Close-up dilakukan pada pengambilan gambar perlukaan yang
ditemukan pada tubuh korban, pada luka tembak, patah tulang, atau
terhadap jaringan parut, tattoo, dan lain sebagainya, berkaitan dengan
kepentingan foto untuk proses identifikasi pada mayat tak dikenal. Pada
pemeriksaan dalam, pengambilan gambar dilakukan dua kali. Pertama,”in
situ” untuk memperlihatkan lokasi dan beratnya penyakit atau kerusakan
yang terjadi. Kedua, gambar diambil setelah organ dikeluarkan dan
dibersihkan.5
Berikut tata cara pengambilan dokumentasi dalam fotografi autopsy:11
1. Siapkan label berskala yang berisi nomor urut register pencatatan
jenazah.

2. Posisikan objek sesuai posisi anatomis dengan latar belakang yang terang
dan bersih.
3. Tempatkan skala pada objek yang ingin difoto, usahakan tidak menutupi
sebagian atau seluruh objek.
4. Atur pencahayaan ruangan dan kamera. Usahakan tidak menggunakan
lampu kilat (flash).
5. Posisikan lensa kamera tegak lurus terhadap objek yang ingin difoto.
6. Ambil gambar dari posisi jauh sehingga penanda anatomi di sekitar objek
tampak dalam foto, misalnya sendi bahu dan siku.
7. Ambil gambar dari posisi close up dengan menggunakan mode makro.
8. Ambil gambar sebelum dan sesudah luka dibersihkan.
9. Evaluasi hasil foto, jika kurang tajam atau kurang memuaskan, ulangi
pengambilan foto.
10. Pengambilan foto harus berurutan sesuai deskripsi luka, mulai dari
kepala, wajah, leher, dada, perut, punggung, anggota gerak atas dan bawah.
11. Beri nama file foto sesuai dengan urutan pemeriksaan pada laporan
autopsi.

12. Berikan perlindungan terhadap penyimpanan dan kerahasiaan foto yang


diambil, disarankan untuk memberikan password kemanan pada tiap file.
BAB III
KESIMPULAN

Fotografi forensik disebut juga forensic imaging atau crime scene photography
merupakan suatu proses seni menghasilkan bentuk reka ulang dari tempat kejadian
perkara atau tempat kejadian kecelakaan secara akurat untuk kepentingan penyelidikan
hingga pengadilan. Fotografi forensik juga termasuk ke dalam bagian dari upaya
pengumpulan barang bukti seperti tubuh manusia, tempat-tempat dan setiap benda yang
terkait suatu kejahatan dalam bentuk foto yang dapat digunakan oleh penyelidik atau
penyidik saat melakukan penyelidikan atau penyidikan.
Klasifikasi Fotografi Forensik terdiri atas fotografi olah TKP, fotografi teknik
(Pemeriksaan Noda Darah, Pemeriksaan Bercak Darah dengan Luminol, Bite Marks,
dan Sidik Jari), serta fotografi forensik.
Teknik fotografi TKP diambil secara serial dari pintu masuk ruangan tempat
korban ditemukan. Lalu fotografer berpindah sudut dan melakukan hal serupa saat di
pintu masuk, demikian seterusnya hingga sudut ruangan yang keempat, untuk
menghasilkan gambaran panoramik ruangan. Peralatan fotografi forensik yang
dibutuhkan antara lain adalah kamera, format film, dan lensa. Teknik pemotretan
fotografi forensik terdiri atas ketajaman gambar, komposisi gambar, eksposur, warna,
serta pencahayaan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Villa, Chiara. “Forensic 3D documentation of skin injuries.” International
journal of legas medicine 131.3 (2017): 751-759.

2. M Stark, Margaret. (2005). Clinical Forensic Medicine A Physician’s Guide.


Humana Press: New Jersey.

3. R. Andika. Reliabilitas Expert Opinions (Dokter Spesialis Forensik) Pada


Fotografi Forensik Dalam Menilai Usia Memar. Perhimpunan Dokter Forensik
Indonesia. 2017.

4. FBI. (2007). Handbook of Forensic Service. US Departement of Justice FBI


Laboratory Division Publication: Virginia.

5. Shkrum, Michael J.A Ramsey, David. (2007). Forensik Pathology of Trauma


common problems for the patologist. Humana Press. New Jersey.

6. Fotografi Forensik. Diunduh dari: http://www.pdfi-


indonesia.org/news/fotografi-forensik/, diakses tanggal 17 September 2020.

7. G.Sofia, Forensic photography: Prospect through the lens.2018. Department of


Oral Pathology,Rajarajeswari Dental College and Hospital, Bengaluru,
Karnataka,India
8. P Jipi, A Pepi. (2015). Fotografi Forensik. Bandung: Bagian Kedokteran
Forensik Fakultas Kedokteran UNISBA.

9. A Marisa. (2009). Sidik Jari Dalam Pengungkapan Tindak Pidana. Jakarta:


UPNVJ

10. Tim Pengajar Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Teknik Autopsi Forensik .
Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 2010.

Anda mungkin juga menyukai