FOTOGRAFI FORENSIK
Disusun oleh :
Pembimbing :
DAFTAR ISI.....................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................4
2.1 Definisi Fotografi Forensik.................................................................................4
2.2 Syarat Fotografi Forensik...................................................................................5
2.3 Klasifikasi Fotografi Forensik............................................................................6
2.4 Teknik Fotografi Forensik……………………………………………………11
2.5 Peralatan Fotografi Forensik…………………………………………………14
BAB III............................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................24
BAB I
PENDAHULUAN
Dokumentasi cedera yang akurat dan tepat merupakan dasar dalam konteks
patologis forensik. Dokumentasi ini dapat digunakan di pengadilan dan sangat penting
untuk hasil persidangan. Prosedur dokumentasi standar dari lesi saat pemeriksaan
meliputi deksripsi verbal, pengukuran manual, sketsa pada diagram tubuh dan foto. Foto
merupakan salah satu bukti secara objektif yang dapat diberikan kepada pihak terkait
yang membutuhkan, terutama foto yang menunjukkan kondisi awal pasien pada saat
sebelum dilakukan pemeriksaan, meskipun terkadang juga terdapat beberapa foto yang
di ambil ketika sedang dilakukan pemeriksaan ataupun setelah dilakukan pemeriksaan.1
Salah satu proses yang paling sering dilakukan dalam setiap upaya
penyelenggaraan pemeriksaan forensik adalah proses dokumentasi. 2 Dokter umum
merupakan dokter terdepan yang sering berhadapan dengan kasus forensik klinik
terutama di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Tidak jarang dokter diminta untuk membuat
visum et repertum. Dalam pembuatan visum et repertum tersebut, dokter umum sebagai
pemeriksa sering berkonsultasi dengan dokter forensik melalui sistem konsultasi yang
berlaku di Rumah Sakit tersebut. Berikutnya dokter forensik akan melakukan repetitif
analisa dari catatan rekam medis dan foto yang dibuat oleh dokter pemeriksa yaitu
dokter umum tersebut. Pemeriksaan dan dokumentasi luka yang tidak baik tentunya
akan menyulitkan dokter forensik dan dapat mengganggu proses hukum.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Kamera
Kamera yang lazim di lapangan pekerjaan forensik adalah kamera tipe
single-lens reflex 35mm. Kamera ini menggunakan sebuah lensa dengan sistem
cermin yang bergerak secara automatis, menerima cahaya yang datang untuk
dipantulkan ke sebuah pentaprism yang ditempatkan di atas jalur optik cahaya
yang berjalan di bagian dalam lensa, yang memungkinkan fotografer untuk
melihat dimensi obyek sesungguhnya yang akan ditangkap oleh film tersebut.5
2. Format film
Format film yang lazim digunakan dalam kepentingan forensik. Beberapa
fotografer medis bahkan membawa kamera yang terpisah yang telah terisi film
berkecepatan 1000 ASA untuk beberapa sesi pemotretan khusus.5
3. Lensa
Tipe lensa yang digunakan tergantung pilihan dari fotografer itu sendiri.
Sebagian orang lebih memilih lensa tunggal yang interchangeable dengan variasi
daya akomodasi lensa (focal length). Lensa standar 50 mm atau biasa disebut
fixed lens 50 mm (daya akomodasi lensanya terfiksasi pada satu nilai)
adalah yang paling sering digunakan, kaitannya dengan kesetaraan daya
akomodasinya dengan mata kita. Namun pada TKP, atau pada jarak pengambilan
gambar terjauh dari tubuh korban pada kondisi TKP yang sulit, lensa sudut lebar
(wide angle) 28 mm atau 30 mm lebih diperlukan.
Nilai focal length yang sedikit lebih panjang seperti 80 mm dapat berguna
untuk gambar-gambar jarak dekat dari perlukaan. Tidak disarankan penggunaan
lensa telefoto dengan focal length 100 mm – 200 mm karena sebagian fungsinya
telah digantikan oleh lensa tambahan untuk kegiatan macrophotography Banyak
ahli patologi forensik lebih memilih untuk mengkombinasikan lensa-lensa
tersebut menjadi satu lensa yang memiliki variable-focus ”zoom” lens antara 28
mm – 80 mm.
1. Ketajaman Gambar
2. Komposisi gambar
3. Eksposur
4. Warna
Pilihan auto white balance pada kamera digital dirancang untuk secara
automatis menyesuaikan dengan warna-warna, atau temperatur cahaya yang
berbeda untuk mendapatkan hasil yang mendekati normal. Namun terkadang hal
semacam itu malah bukan yang kita inginkan. Disarankan untuk tidak senantiasa
memilih pengaturan auto white balance pada kamera, karena pilihan itu tidak
selalu tepat. Aturlah white balance secara manual sesuai pilihan. Dibutuhkan
beberapa eksperimen memotret agar pengaturan white balance sesuai kebutuhan
dan didapat warna yang lebih natural.5
5. Pencahayaan
Ada empat elemen cahaya yang perlu kita pahami: kualitas, warna,
intensitas, dan arah. Pada tahap tertentu, kita harus bisa mengendalikan masing-
masing elemen, entah melalui pergeseran dalam posisi kamera, penggunaan
peranti modifikasi cahaya, atau selama pemrosesan gambar. Kualitas cahaya
ditentukan dari bayangan yang diciptakannya. Pencahayaan keras akan
menciptakan bayangan yang tajam dan penyinaran yang kuat. Sebaliknya,
pencahayaan yang lembut akan memunculkan bayangan lembut yang detailnya
masih terlihat. Hati-hati dengan pemilihan shutter speed yang lambat, karena
dapat menyebabkan efek kabur (blur) pada obyek yang sudah barang tentu
menghilangkan ketajaman gambar sebagai salah satu syarat untuk fotografi
forensik.5
Pada TKP indoor atau yang terjadi di dalam suatu ruangan, biasanya
fotografer TKP menggunakan metode pengambilan gambar ”empat sudut”.
Pertama, foto diambil secara serial di pintu masuk ruangan tempat korban
ditemukan. Lalu fotografer berpindah sudut dan melakukan hal serupa saat
di pintu masuk, demikian seterusnya hingga sudut ruangan yang keempat,
untuk menghasilkan gambaran panoramik ruangan. Selanjutnya konsentrasi
dipusatkan ke tubuh korban untuk dilakukan pengambilan gambar dengan
jarak pengambilan terjauh dari sisi kiri dan kanan maupun jarak dekat jika
diperlukan. Dokumentasikan juga obyek di sekitar tubuh korban seperti
senjata yang berpotensi sebagai senjata yang digunakan, tumpahan air dari
minuman, atau asbak beserta isinya. Semua ruangan yang terhubung pada
ruangan TKP juga diambil gambarnya secara panoramik, termasuk segala
sesuatu yang dianggap tidak biasa ditemui berkaitan dengan TKP yang
sedang diolah tersebut. Proses serupa juga dilakukan terhadap TKP outdoor
atau yang terjadi di luar ruangan, seperti TKP kecelakaan lalu lintas, TKP di
tempat kerja (pada kasus kematian akibat kecelakaan kerja), dan TKP
bencana (pada kasus kecelakaan pesawat terbang).9
2) Siapkan log fotografi yang mencatat semua foto, deskripsi dan lokasi
bukti.
7) Semua barang bukti harus difoto close-up, pertama tanpa skala dan
kemudian dengan skala, mengisi seluruh frame foto.
3. Fotografi Autopsi
Syarat utama yang harus dimiliki seorang fotografer autopsi
adalah memiliki dasar pengetahuan anatomi tubuh manusia. Pengambilan
gambar dilakukan sejak tubuh korban tiba, dimulai dari jarak pengambilan
terjauh dari tubuh korban dengan sudut pengambilan gambar pada bagian
depan dan belakang korban, dilanjutkan dengan proses serupa saat
pemeriksaan dimulai, yakni mulai dari pelepasan pakaian hingga
pembersihan tubuh korban.
Close-up dilakukan pada pengambilan gambar perlukaan yang
ditemukan pada tubuh korban, pada luka tembak, patah tulang, atau
terhadap jaringan parut, tattoo, dan lain sebagainya, berkaitan dengan
kepentingan foto untuk proses identifikasi pada mayat tak dikenal. Pada
pemeriksaan dalam, pengambilan gambar dilakukan dua kali. Pertama,”in
situ” untuk memperlihatkan lokasi dan beratnya penyakit atau kerusakan
yang terjadi. Kedua, gambar diambil setelah organ dikeluarkan dan
dibersihkan.5
Berikut tata cara pengambilan dokumentasi dalam fotografi autopsy:11
1. Siapkan label berskala yang berisi nomor urut register pencatatan
jenazah.
2. Posisikan objek sesuai posisi anatomis dengan latar belakang yang terang
dan bersih.
3. Tempatkan skala pada objek yang ingin difoto, usahakan tidak menutupi
sebagian atau seluruh objek.
4. Atur pencahayaan ruangan dan kamera. Usahakan tidak menggunakan
lampu kilat (flash).
5. Posisikan lensa kamera tegak lurus terhadap objek yang ingin difoto.
6. Ambil gambar dari posisi jauh sehingga penanda anatomi di sekitar objek
tampak dalam foto, misalnya sendi bahu dan siku.
7. Ambil gambar dari posisi close up dengan menggunakan mode makro.
8. Ambil gambar sebelum dan sesudah luka dibersihkan.
9. Evaluasi hasil foto, jika kurang tajam atau kurang memuaskan, ulangi
pengambilan foto.
10. Pengambilan foto harus berurutan sesuai deskripsi luka, mulai dari
kepala, wajah, leher, dada, perut, punggung, anggota gerak atas dan bawah.
11. Beri nama file foto sesuai dengan urutan pemeriksaan pada laporan
autopsi.
Fotografi forensik disebut juga forensic imaging atau crime scene photography
merupakan suatu proses seni menghasilkan bentuk reka ulang dari tempat kejadian
perkara atau tempat kejadian kecelakaan secara akurat untuk kepentingan penyelidikan
hingga pengadilan. Fotografi forensik juga termasuk ke dalam bagian dari upaya
pengumpulan barang bukti seperti tubuh manusia, tempat-tempat dan setiap benda yang
terkait suatu kejahatan dalam bentuk foto yang dapat digunakan oleh penyelidik atau
penyidik saat melakukan penyelidikan atau penyidikan.
Klasifikasi Fotografi Forensik terdiri atas fotografi olah TKP, fotografi teknik
(Pemeriksaan Noda Darah, Pemeriksaan Bercak Darah dengan Luminol, Bite Marks,
dan Sidik Jari), serta fotografi forensik.
Teknik fotografi TKP diambil secara serial dari pintu masuk ruangan tempat
korban ditemukan. Lalu fotografer berpindah sudut dan melakukan hal serupa saat di
pintu masuk, demikian seterusnya hingga sudut ruangan yang keempat, untuk
menghasilkan gambaran panoramik ruangan. Peralatan fotografi forensik yang
dibutuhkan antara lain adalah kamera, format film, dan lensa. Teknik pemotretan
fotografi forensik terdiri atas ketajaman gambar, komposisi gambar, eksposur, warna,
serta pencahayaan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Villa, Chiara. “Forensic 3D documentation of skin injuries.” International
journal of legas medicine 131.3 (2017): 751-759.
10. Tim Pengajar Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Teknik Autopsi Forensik .
Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 2010.