Anda di halaman 1dari 7

TUGAS PKN

Nursakina Gazali
105131101019

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR


FAKULTAS KEDOKTERAN & ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S1 FARMASI
TAHUN 2019/2020
PIAGAM MADINAH
Piagam Madinah atau Madinah Charter adalah sebuah dokumen yang disusun oleh Nabi
Muhammad SAW, sebagai perjanjian formal di tahun 622 Masehi antara dirinya dengan semua
suku dan kaum penting di daerah Yathrib, yang kemudian dikenal sebagai Madinah. Piagam
Madinah juga disebut sebagai Konstitusi Madinah.
Tujuan Piagam Madinah adalah untuk menghentikan pertentangan dan konflik sengit
antara Bani ‘Aus dan Bani Khazraj yang terjadi di Madinah. Piagam ini pun disusun secara jelas,
terang, dan detail, dengan menetapkan hak-hak dan kewajiban bagi kaum muslim, kaum yahudi,
dan komunitas-komunitas lain di Madinah, sehingga mereka menjadi suatu komunitas, disebut
juga sebagai ummah atau umat.

Latar Belakang Piagam Madinah

Latar belakang Piagam Madinah dimulai karena adanya pertentangan antara kaum-kaum
masyarakat di Madinah. Piagam Madinah ditulis pada tahun 622 Masehi di kota Madinah.
Piagam ini pun diklaim sebagai konstitusi tertulis pertama yang ada di dunia.
Naskah Piagam Madinah terdiri dari 47 pasal, sebanyak 23 pasal membicarakan tentang
hubungan antara umat Islam yaitu antara kaum Anshat dan kaum Muhajirin. Sementara 24 pasal
lainnya membicarakan tentang hubungan antara umat Islam dengan umat-umat lainnya, termasuk
umat Yahudi.
Piagam Madinah ini juga mengandung peraturan-peraturan yang berasaskan syariat Islam
bagi membentuk sebuah negara yang menempatkan penduduk berbagai suku, ras dan agama
yang tinggal di kota Madinah saat itu, di antaranya yaitu kaum Arab Muhajirin Makkah, Arab
Madinah, dan masyarakat Yahudi.
Lewat perjanjian ini, Nabi Muhammad SAW telah mencontohkan prinsip
konstitusionalisme dalam perjanjiannya dengan segenap warga Madinah saat itu. Piagam
Madinah ini dibuat dan mengikat seluruh penduduk yang ada di Madinah, yang terdiri dari
berbagai kaum atau kabilah tertentu.

Isi dan Naskah Piagam Madinah

Piagam Madinah yang dideklarasikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu memuat 47
tujuh pasal, yang di dalamnya tertuang ketentuan yang mengatur sistem perpolitikan, keamanan,
kebebasan beragama, kesetaraan di muka hukum, perdamaian, dan pertahanan.
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Ini adalah piagam dari
Muhammad Rasulullah SAW, di kalangan mukminin dan muslimin (yang berasal dari) Quraisy
dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama
mereka.
1. Sesungguhnya mereka (kaum Muhajirin dari Makkah, kaum Anshat dari Madinah dan
kaum yang menggabungkan diri dengan mereka dalam wilayah Madinah) itu merupakan
satu umat, di antara komunitas masyarakat lain.
2. Kaum Muhajirin dari Quraisy tetap dalam kebiasaan mereka dalam bahu-membahu
membayar diyat (tebusan atas pembunuhan) di antara mereka dan mereka membayar
tebusan tawanan dengan cara baik dan adil di antara Mukminin.
3. Banu ‘Auf tetap dengan kebiasaan mereka dan bahu-membahu membayar diyat di antara
mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil
di antara kaum mukminin.
4. Banu Sa’idah tetap dengan kebiasaan mereka bahu-membahu membayar diyat di antara
mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil
di antara kaum mukminin.
5. Banu Al-Hars tetap dengan kebiasaan mereka bahu-membahu membayar diyat di antara
mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil
di antara mukminin.
6. Banu Al-Hars tetap dengan kebiasaan mereka bahu-membahu membayar diyat di antara
mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil
di antara mukminin.

7. Banu An-Najjar tetap dengan kebiasaan mereka bahu-membahu membayar diyat di


antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik
dan adil di antara mukminin.

8. Banu ‘Amr bin ‘Awf tetap dengan kebiasaan mereka bahu-membahu membayar diyat di
antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik
dan adil di antara mukminin.

9. Banu Al-Nabit tetap dengan kebiasaan mereka bahu-membahu membayar diyat di antara
mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil
di antara mukminin.

10. Banu Al-‘Aws tetap dengan kebiasaan mereka bahu-membahu membayar diyat di antara
mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil
di antara mukminin.

11. Sesungguhnya mukminin tidak boleh membiarkan orang lain dalam menanggung beban
yang berat dalam tebusan dan diyat diantara mereka tetapi membantunya dengan baik
dalam pembayaran tebusan atau diyat tersebut.

12. Seorang mukmin tidak diperbolehkan membuat menyalahi perjanjian yan telah dibuat
dengan mukmin lainnya tanpa persetujuan dari padanya.

13. Orang-orang mukmin yang taqwa harus menentang orang yang mencari atau menuntut
sesuatu secara zalim, atau bermaksud jahat, atau melakukan permusuhan dan kerusakan
di kalangan mukminin. Setiap orang harus bersatu dalam menentang kedzaliman tersebut,
sekalipun itu dilakukan oleh anak dari salah seorang di antara mereka.
14. Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya untuk membantu orang
kafir. Tidak boleh pula orang beriman membantu orang kafir untuk (membunuh) orang
beriman.

15. Jaminan Allah itu satu untuk seluruh kaum. Jaminan (perlindungan) diberikan oleh
mereka yang dekat dalam hubungan kekarabatan. Sesungguhnya mukminin itu saling
membantu, dan tidak boleh bergantung kepada golongan yang lain.

16. Sesungguhnya orang yahudi yang mengikuti kita, mereka berhak mendapatkan
pertolongan dan bantuan, selama kaum Mukminin tidak terzalimi dan mereka (yahudi) itu
tidak melakukan permusuhan dengan mereka.

17. Perdamaian mukminin adalah satu. Seorang mukmin tidak boleh membuat perdamaian
tanpa ikut serta mukmin lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Allah, kecuali atas
dasar kesamaan dan keadilan di antara mereka.

18. Setiap pasukan yang ikut berperang bersama kita, maka kita harus bahu-membahu dan
membantu satu sama lain.

19. Orang-orang mukmin itu membalas pembunuh mukmin lainnya dalam peperangan di
jalan Allah. Orang-orang beriman dan bertakwa berada pada petunjuk yang terbaik dan
lurus.

20. Orang musyrik Madinah dilarang memberikan perlindungan harta dan jiwa orang
musyrik Quraisy Makkah, dan tidak boleh ikut campur-tangan dalam perang melawan
orang beriman.

21. Barangsiapa yang membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya, harus
dihukum bunuh, kecuali wali terbunuh rela untuk menerima diyat. Segenap orang
beriman harus bersatu dalam menghukumnya.

22. Tidak dibenarkan orang mukmin yang mengakui piagam ini, untuk membantu pembunuh
dan memberi tempat kediaman kepadanya. Siapa yang memberi bantuan dan
menyediakan tempat tinggal bagi pelanggar itu, maka dia akan mendapat kutukan dari
Allah pada hari kiamat, dan tidak diterima dari padanya penyesalan dan tebusan.

23. Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya dirujuk kepada ketentuan
Allah Taala dan keputusan Muhammad SAW.

24. Kaum yahudi bersama kaum muslimin diikutkan memikul biaya peperangan yang terjadi
dengan serangan musuh dari luar Madinah.

25. Kaum yahudi dari Bani ‘Awf adalah mempunyai hak yang sama kaum mukminin. Bagi
kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Kebebasan
beragama ini berlaku bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim
dan jahat sebab hal demikian akan merusak diri dan keluarga.
26. Kaum yahudi Banu Najjar diperlakukan sama seperti yahudi Banu ‘Awf.

27. Kaum yahudi Banu Hars diperlakukan sama seperti yahudi Banu ‘Awf.

28. Kaum yahudi Banu Sa’idah diperlakukan sama seperti yahudi Banu ‘Awf.

29. Kaum yahudi Banu Jusyam diperlakukan sama seperti yahudi Banu ‘Awf.

30. Kaum yahudi Banu Al-‘Aws diperlakukan sama seperti yahudi Banu ‘Awf.

31. Kaum yahudi Banu Sa’labah diperlakukan sama seperti yahudi Banu ‘Awf.

32. Kaum yahudi Banu Jafnah dari Sa’labah diperlakukan sama seperti yahudi Banu ‘Awf.

33. Kaum yahudi Banu Syutaibah diperlakukan sama seperti yahudi Banu ‘Awf.

34. Sekutu-sekutu Sa’labah diperlakukan sama seperti mereka (Banu Sa’labah).

35. Kerabat yahudi (di luar kota Madinah) sama seperti mereka (yahudi) dalam Madinah.

36. Tidak seorang pun dibenarkan untuk berperang, kecuali seizin Muhammad SAW. Ia tidak
boleh dihalangi seseorang untuk (menuntut pembalasan) akibat luka (yang dibuat orang
lain). Siapa berbuat jahat (membunuh), maka balasan kejahatan itu akan menimpa diri
dan keluarganya, kecuali jika ia teraniaya. Sesunggunya Allah sangat membenarkan
ketentuan ini.

37. Bagi kaum yahudi memiliki kewajiban untuk membayar biaya dan bagi kaum muslimin
ada kewajiban biaya. Mereka (yahudi dan muslimin) bantu membantu dalam menghadapi
musuh yang melanggar piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasehat. Dan
memenuhi janji. Seseorang tidak boleh menanggung hukuman akibat (kesalahan) orang
lain. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya.

38. Kaum yahudi bersatu dengan kaum muslimin dalam menghadapi serangan luar.

39. Sesungguhnya Yatsrib itu tanahnya haram (suci) bagi warga yang mengikuti piagam ini.

40. Orang yang mendapat jaminan (diperlakukan) seperti diri penjamin, sepanjang tidak
bertindak merugikan dan tidak khianat.

41. Tidak boleh jaminan diberikan kecuali seizin ahlinya.

42. Bila terjadi suatu peristiwa atau perselisihan di antara pendukung piagam ini, yang
dikhawatirkan dapat menimbulkan bahaya, maka urusannya diserahkan penyelesaiannya
menurut ketentuan Allah Azza Wa Jalla dan keputusan Muhammad SAW. Sesungguhnya
Allah paling memelihara dan memandang baik atas isi piagam ini.
43. Sungguh tidak ada perlindungan bagi kaum kafir Quraisy Makkah dan juga bagi para
pendukung mereka.

44. Mereka (pendukung piagam) harus bahu-membahu dalam menghadapi penyerang kota
Yatsrib (Madinah).

45. Apabila mereka (pendukung piagam) diajak berdamai dan mereka (pihak lawan)
memenuhi perdamaian serta melaksankan perdamaian itu, maka perdamaian itu harus
dipatuhi. Jika mereka diajak berdamai seperti itu, kaum Mukminin wajib memenuhi
ajakan dan melaksanakan perdamaian itu, kecuali terhadap orang yang menyerang
agama. Setiap orang wajib melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai tugasnya.

46. Kaum yahudi Al-‘Aws, sekutu dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti
kelompok lain pendukung piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua
pendukung piagam ini. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dari kejahatan
(pengkhianatan). Setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya. Sesungguhnya
Allah paling membenarkan dan memandang baik isi piagam ini.
47. Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar
(bepergian) aman, dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan
khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan takwa. Demikianlah isi
perjanjian, yang berasal dari Muhammad Rasulullah.
Tujuan Suci Piagam Madinah
Dari beberapa poin di atas, tampak bahwa Piagam Madinah merupakan peraturan yang
dirancang untuk persatuan umat, pertahanan nasional, kebebasan dan kerukunan beragama.
Kaum Muslimin dan kaum Yahudi bersama sekutu-sekutunya bersama-sama untuk bertanggung
jawab dan mewujudkan keutuhan dan kedaulatan negara. Kaum Yahudi juga sekutu-sekutunya
dianggap sebagai bagian dari kaum Muslimin selama mereka tidak melanggar dan menentang
pemerintahan. Ini artinya, untuk menciptakan bangsa yang berdaulat dibutuhkan masyarakat
yang kuat, kompak, dan taat terhadap pemerintahan. Ini pula yang diterapkan Rasulullah, tidak
hanya kepada kaum Muslimin tetapi kepada yang non-muslim. Selain itu, keadilan Rasulullah
dalam perjanjian itu juga terlihat dalam memperlakukan seluruh penduduk Madinah tanpa
diskriminatif. Kesetaraan dalam hukum, juga dapat ditunjukkannya dengan tidak
menganakemaskan kaum Muslimin, atau menganaktirikan yang non-muslim. Siapa pun yang
zalim dan khianat dihukum sesuai peraturan yang berlaku (Zuhairi Misrawi, Madinah: Kota
Madinah, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad SAW, Jakarta: Kompas, 2009, hal. 317).
Dalam waktu singkat Madinah berubah menjadi kekuasaan yang disegani dan layak
diperhitungkan. Bahkan, warga Makkah sendiri ketika itu sempat mengkhawatirkan kaum
Muslimin melakukan pembalasan kepada mereka. Mereka juga khawatir, kafilah dagang mereka
yang berangkat ke (Suriah) akan diganggu sehingga masa depan perdagangan mereka akan
hancur. Namun, Rasulullah bukan tipe pendendam dan penguasa yang suka menyalahgunakan
kekuasaan. Piagam Madinah dibuat bukan untuk memporak-porandakan kekuatan lawan,
melainkan membangun umat yang kuat secara politik, bebas dan damai dalam beragama, serta
makmur dan berkeadilan secara hukum dan ekonomi, sehingga kekhawatiran masyarakat
Makkah pun tidak terjadi.

Piagam Madinah dalam Konteks Keindonesian


Dengan mengkaji Piagam Madinah dalam konteks kehidupan beragama dan bernegara,
kita akan menemukan bahwa otoritas negara terhadap masyarakat yang beragam suku dan
keyakinan adalah sebatas pemberian jaminan untuk keberlangsungan dan kebebasan memilih
atau memeluk agama, menjaga keutuhan negara dan merawat perdamaian dalam kehidupan
bersama. Hal ini dapat dilihat dari isi konstitusi yang dirancang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam sebagai nabi dan rasul yang sekaligus sebagai pemimpin pemerintahan. Sewaktu
mendirikan pemerintahan Madinah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun tidak menyebut
negaranya sebagai negara Islam, tetapi dengan sebutan umum yang berdasarkan kesepakatan
masyarakat atau kontrak sosial. Hubungan agama dan negara diletakkan sebagai relasi yang kuat
dan resmi. Pluralitas keagamaan dilihat sebagai keniscayaan yang harus dilindungi. Dalam
konteks keindonesiaan, hal ini terlihat dalam Undang-Undang Dasar yang mencantumkan Sila
Pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Meskipun tidak mencampuri urusan internal umat
beragama, negara melatakkan agama sebagai sumber nilai dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara (Ahmad Sukarja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945: Kajian
Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Yang Majemuk, Jakarta: UI-
Press, 78-79; Lihat pula: Aksin Wijaya, Hidup beragama dalam sorotan UUD 1945 dan Piagam
Madinah, Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009). Kebebasan beragama, sekali lagi, sebagai
keniscayaan yang tidak mungkin terhindarkan. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar
sama-sama meletakkan kebebasan beragama, dan pelaksanaan keyakinan dijamin oleh negara.
Akan tetapi, kebebasan itu ada pada ketaraturan dan tidak boleh menciderai keyakinan warga
negara lainnya. Intinya, kehadiran negara adalah penjaga kemaslahatan umat. Keberagaman dan
perbedaan tetap harus dirawat. Warga negara diberikan kebebasan menjalankan keyakinan,
namun dalam bingkai ketaatan kepada hukum dan kesepakatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai