Anda di halaman 1dari 5

Tugas Kepemimpinan

(Oleh: Hasna Rosyida/12/7-02/D-IV Akuntansi)

Berikan opini kita terkait 2 (dua) budaya organisasi di bawah ini:

1. "Disagreements is bad" (Ketidakcocokan pendapat adalah hal yang buruk)

Jawaban:

Dalam forum-forum diskusi sangat wajar ditemui yang namanya ketidakcocokan atau pendapat yang

saling bertentangan antar anggota diskusi. Bagaimana tidak, hampir setiap orang pasti memiliki sudut

pkitang yang berbeda dalam melihat suatu persoalan, itulah yang menjadikan masing-masing orang itu

punya gagasannya sendiri-sendiri dalam menyikapi sesuatu. Sebagai mahasiswa, setidaknya pasti pernah

berkecimpung atau paling tidak mencicipi kegiatan berorganisasi. Entah organisasi yang berlabel formal

(terdaftar sebagai elemen kampus) atau organisasi nonformal yang kiprahnya di lingkungan masyarakat.

Kalau sebagai anggota yang aktif atau bahkan punya jabatan di organisasi, tentu kerap diajak ikut rapat

koordinasi, baik untuk menyelenggarakan sebuah acara tertentu atau rapat yang sifatnya rutinan. Saya

sendiri suka sekali ikut rapat-rapat seperti itu, selain meyakinkan saya bahwa acara yang mau

diselenggarakan itu merupakan tanggung jawab yang diemban bersama-sama, melalui rapat itu biasanya

rekan-rekan akan mengajukan usul-usul menarik untuk mendukung acara yang hendak diselenggarakan.

Adapun tak jarang usul-usul itu saling bertentangan, saya pun juga beberapa kali punya pendapat yang

tidak sejalan dengan anggota yang lain. Kemudian pendapat saya itu juga tidak selalu diterima atau

menjadi yang dipilih ketika sudah dicapai mufakat. Saya pun tak masalah dengan itu sebab saya bisa

menerima bahwa keputusan atau pendapat yang final itu lebih baik daripada yang saya ajukan. Lalu

dalam situasi lain bisa juga keputusan akhir itu mengakomodasi atau menampung usul-usul yang saling

bertentangan tadi dengan mengambil sisi positif dari masing-masing.

Jadi, saya tidak setuju dengan budaya organisasi, bahwa ketidakcocokan itu adalah hal yang buruk.

Justru, menurut saya ketidakcocokan pendapat itu bisa mendatangkan hal-hal positif apabila bisa

dimusyawarahkan dengan baik untuk akhirnya dicapai mufakat. Apa gunanya diskusi kalau semua orang

setuju saja dengan satu pendapat atau ide yang dilontarkan. Bukankah tujuan kita diskusi itu untuk
memperoleh ide-ide yang berbeda, malah sebanyak mungkin kalau bisa dan tidak apa-apa bila ada yang

saling bertentangan, kemudian ide-ide itu ditampung dan coba dicari bagaimana jalan keluar terbaiknya.

Amy Gallo, dalam sebuah artikelnya yang berjudul Why We Should Be Disagreeing More at Work

(Kenapa Kita Harus Lebih Banyak Tidak Setuju dalam Pekerjaan) menulih bahwa banyak orang merasa

bahwa berkata tidak setuju adalah sikap yang kurang sopan atau kasar, oleh karenanya orang-orang jadi

enggan mengungkapkan ketidakcocokan terhadap sesuatu. Padahal nyatanya ketidakcocokan itu tidak

dapat dihindari, normal, dan hal yang sehat dalam hubungan antar manusia. Tidak ada yang namanya

lingkungan kerja bebas konflik. Kita mungkin bermipi kerja di tempat yang “tenang”, tetapi itu malah

bukan hal yang bagus buat perusahaan, perkerjaan, atau bahkan diri kita sendiri. Faktanya,

ketidakcocokan—bila dimanajemen dengan bagus—akan mendatangkan banyak hal positif. Berikutnya

misalnya:

Hasil kerja yang lebih baik.

Saat kita dan rekan kerja saling mendorong untuk terus bertanya apakah ada pendekatan yang lebih baik,

gesekan pendapat tersebut kemungkinan besar akan menghasilkan solusi baru. Konflik memang tidak

nyaman, tetapi itu adalah sumber inovasi, dan juga proses penting dalam mengidentifikasi dan

mengurangi risiko

Kesempatan untuk belajar dan berkembang.

Betapapun tidak nyamannya perasaan ketika seseorang menantang ide-ide kita, itu adalah kesempatan

untuk belajar. Dengan mendengarkan dan menerima umpan balik, Kita mendapatkan pengalaman,

mencoba hal-hal baru, dan berkembang sebagai manajer.

Hubungan yang lebih baik.

Dengan mengatasi konflik bersama, kita akan merasa lebih dekat dengan orang-orang di sekitar kita dan

mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang cara mereka bekerja.

Kepuasan kerja yang lebih tinggi.


Jika kita tak takut untuk tidak setuju tentang masalah di tempat kerja, kitacenderung lebih senang pergi ke

kantor, puas dengan apa yang Kita capai, dan menikmati interaksi dengan kolega Kita. Alih-alih merasa

seolah-olah kita harus berjalan di atas kulit telur, kita bisa fokus untuk menyelesaikan pekerjaan kita.

2. "Internal rivalries are healthy" (Persaingan internal adalah sehat)

Jawaban:

Pendapat saya atas pernyataan bahwa “Persaingan internal adalah sehat” adalah “itu tergantung” (it

depends). Budaya persaingan internal atau budaya kompetitif bisa menjadi sehat bilamana

manajemennya tepat, sebaliknya bila manajemennya kurang baik, persaingan internal justru menjadi

tidak sehat atau bisa mengarah pada terciptanya lingkurgan organisasi yang buruk. Freeman (2020)

dalam artikelnya yang berjudul “How to Create a Culture of Healthy Competition” menjelaskan

bahwa persaingan internal yang tidak di manajemen dengan benar dapat merusak lingkungan

organisasi dengan terdapatnya pola pikir merendahkan antar rekan kerja, saling menjatuhkan, dan

munculnya mentalitas "saya yang pertama". Jadi, apa saja yang dapat diakukan untuk memastikan tim

beroperasi dalam lingkungan yang kompetitif — namun tetap sehat? Berikut adalah 4 (empat) pilar

dalam memanajemen budaya kompetitif di perusahaan:

a. Visi Tim dan Perusahaan Lebih Utama

"Tim adalah yang pertama" adalah mentalitas kritis yang harus dimiliki kelompok. Ya, setiap orang

diberi peringkat satu sama lain, tetapi ada gambaran yang lebih besar di sini, dan apa yang sebenarnya

mereka upayakan adalah tujuan tim secara keseluruhan. Bagaimana membangun pola pikir itu?

Tetapkan tujuan tim, rayakan kemenangan tersebut, dan berdayakan individu untuk bertanggung

jawab atas kesuksesan tim dengan menunjukkan kepada mereka apa arti kontribusi mereka bagi

organisasi.

b. Tujuan Pribadi Penting

Meskipun demikian, tim akan menang jika masing-masing individu menang, jadi penting untuk

menciptakan lingkungan tempat mereka dapat melakukannya. Setiap kuartal di perusahaan tempat

Freeman bekerja, anggota tim berbagi dengan kelompok apa tujuan pribadi dan profesional mereka
— apa saja dari membeli mobil baru dan menabung untuk uang muka rumah hingga dipromosikan

dan mempelajari keterampilan baru. Dengan cara ini, alih-alih hanya bersaing satu sama lain dalam

hal angka penjualan di papan, orang-orang memahami apa yang sedang diupayakan orang lain.

Mereka membantu satu sama lain untuk mencapai tujuan mereka dan tetap bertanggung jawab, dan

sebagai hasilnya hal itu membuat semua orang menjadi lebih dekat.

c. Bersenang-senang, Pertahankan Skor, Menang!

Hidup lebih menyenangkan dengan senyuman, jadi pastikan kita mempekerjakan orang yang akan

berkembang — dan bersenang-senang — dalam lingkungan yang kompetitif dan berorientasi tim.

Pemain bintang adalah orang-orang yang tidak hanya akan bertanya pada diri sendiri, "Apa yang

dikatakan papan skor?" dan "Siapa di atas?" tetapi juga, "Bagaimana kecepatan tim “Jika saya di atas,

siapa yang bisa saya bantu?”

4. Keadaan Perbaikan yang Konstan

Meskipun jelas kita ingin mempekerjakan orang-orang hebat, kita juga ingin menciptakan lingkungan

yang mempromosikan pembinaan berkelanjutan, peningkatan, dan kesadaran diri. Kita mungkin

bertanya pada diri sendiri apa hubungannya hal ini dengan lingkungan yang kompetitif — tetapi

menurut pengalaman saya, individu yang paling kompetitif adalah yang paling kompetitif dengan diri

mereka sendiri. Sebagai seorang pemimpin, itu berarti kita harus menciptakan lingkungan yang

menantang individu-individu ini setiap hari. Pemimpin dapat melakukan ini dengan banyak cara —

mulai dari sesi umpan balik pembinaan satu lawan satu hingga pelatihan tim bahkan klub buku.

DAFTAR RUJUKAN

Freeman, Douglas P.B. (Tanpa Tahun). How to Create a Culture of Healthy Competition. Diakses dari

https ://www.themuse.com/advice/how-to-create-a-culture-of-healthy-competition 10 Oktober

2020.

Gallo, Amy. (2018). Why We Should Be Disagreeing More at Work. Diakses dari https://hbr.org/

2018/01/why-we-should-be-disagreeing-more-at-work 10 Oktober 2020..

Anda mungkin juga menyukai