Hasna Rosyida - Rev
Hasna Rosyida - Rev
Jawaban:
Dalam forum-forum diskusi sangat wajar ditemui yang namanya ketidakcocokan atau pendapat yang
saling bertentangan antar anggota diskusi. Bagaimana tidak, hampir setiap orang pasti memiliki sudut
pkitang yang berbeda dalam melihat suatu persoalan, itulah yang menjadikan masing-masing orang itu
punya gagasannya sendiri-sendiri dalam menyikapi sesuatu. Sebagai mahasiswa, setidaknya pasti pernah
berkecimpung atau paling tidak mencicipi kegiatan berorganisasi. Entah organisasi yang berlabel formal
(terdaftar sebagai elemen kampus) atau organisasi nonformal yang kiprahnya di lingkungan masyarakat.
Kalau sebagai anggota yang aktif atau bahkan punya jabatan di organisasi, tentu kerap diajak ikut rapat
koordinasi, baik untuk menyelenggarakan sebuah acara tertentu atau rapat yang sifatnya rutinan. Saya
sendiri suka sekali ikut rapat-rapat seperti itu, selain meyakinkan saya bahwa acara yang mau
diselenggarakan itu merupakan tanggung jawab yang diemban bersama-sama, melalui rapat itu biasanya
rekan-rekan akan mengajukan usul-usul menarik untuk mendukung acara yang hendak diselenggarakan.
Adapun tak jarang usul-usul itu saling bertentangan, saya pun juga beberapa kali punya pendapat yang
tidak sejalan dengan anggota yang lain. Kemudian pendapat saya itu juga tidak selalu diterima atau
menjadi yang dipilih ketika sudah dicapai mufakat. Saya pun tak masalah dengan itu sebab saya bisa
menerima bahwa keputusan atau pendapat yang final itu lebih baik daripada yang saya ajukan. Lalu
dalam situasi lain bisa juga keputusan akhir itu mengakomodasi atau menampung usul-usul yang saling
Jadi, saya tidak setuju dengan budaya organisasi, bahwa ketidakcocokan itu adalah hal yang buruk.
Justru, menurut saya ketidakcocokan pendapat itu bisa mendatangkan hal-hal positif apabila bisa
dimusyawarahkan dengan baik untuk akhirnya dicapai mufakat. Apa gunanya diskusi kalau semua orang
setuju saja dengan satu pendapat atau ide yang dilontarkan. Bukankah tujuan kita diskusi itu untuk
memperoleh ide-ide yang berbeda, malah sebanyak mungkin kalau bisa dan tidak apa-apa bila ada yang
saling bertentangan, kemudian ide-ide itu ditampung dan coba dicari bagaimana jalan keluar terbaiknya.
Amy Gallo, dalam sebuah artikelnya yang berjudul Why We Should Be Disagreeing More at Work
(Kenapa Kita Harus Lebih Banyak Tidak Setuju dalam Pekerjaan) menulih bahwa banyak orang merasa
bahwa berkata tidak setuju adalah sikap yang kurang sopan atau kasar, oleh karenanya orang-orang jadi
enggan mengungkapkan ketidakcocokan terhadap sesuatu. Padahal nyatanya ketidakcocokan itu tidak
dapat dihindari, normal, dan hal yang sehat dalam hubungan antar manusia. Tidak ada yang namanya
lingkungan kerja bebas konflik. Kita mungkin bermipi kerja di tempat yang “tenang”, tetapi itu malah
bukan hal yang bagus buat perusahaan, perkerjaan, atau bahkan diri kita sendiri. Faktanya,
misalnya:
Saat kita dan rekan kerja saling mendorong untuk terus bertanya apakah ada pendekatan yang lebih baik,
gesekan pendapat tersebut kemungkinan besar akan menghasilkan solusi baru. Konflik memang tidak
nyaman, tetapi itu adalah sumber inovasi, dan juga proses penting dalam mengidentifikasi dan
mengurangi risiko
Betapapun tidak nyamannya perasaan ketika seseorang menantang ide-ide kita, itu adalah kesempatan
untuk belajar. Dengan mendengarkan dan menerima umpan balik, Kita mendapatkan pengalaman,
Dengan mengatasi konflik bersama, kita akan merasa lebih dekat dengan orang-orang di sekitar kita dan
kantor, puas dengan apa yang Kita capai, dan menikmati interaksi dengan kolega Kita. Alih-alih merasa
seolah-olah kita harus berjalan di atas kulit telur, kita bisa fokus untuk menyelesaikan pekerjaan kita.
Jawaban:
Pendapat saya atas pernyataan bahwa “Persaingan internal adalah sehat” adalah “itu tergantung” (it
depends). Budaya persaingan internal atau budaya kompetitif bisa menjadi sehat bilamana
manajemennya tepat, sebaliknya bila manajemennya kurang baik, persaingan internal justru menjadi
tidak sehat atau bisa mengarah pada terciptanya lingkurgan organisasi yang buruk. Freeman (2020)
dalam artikelnya yang berjudul “How to Create a Culture of Healthy Competition” menjelaskan
bahwa persaingan internal yang tidak di manajemen dengan benar dapat merusak lingkungan
organisasi dengan terdapatnya pola pikir merendahkan antar rekan kerja, saling menjatuhkan, dan
munculnya mentalitas "saya yang pertama". Jadi, apa saja yang dapat diakukan untuk memastikan tim
beroperasi dalam lingkungan yang kompetitif — namun tetap sehat? Berikut adalah 4 (empat) pilar
"Tim adalah yang pertama" adalah mentalitas kritis yang harus dimiliki kelompok. Ya, setiap orang
diberi peringkat satu sama lain, tetapi ada gambaran yang lebih besar di sini, dan apa yang sebenarnya
mereka upayakan adalah tujuan tim secara keseluruhan. Bagaimana membangun pola pikir itu?
Tetapkan tujuan tim, rayakan kemenangan tersebut, dan berdayakan individu untuk bertanggung
jawab atas kesuksesan tim dengan menunjukkan kepada mereka apa arti kontribusi mereka bagi
organisasi.
Meskipun demikian, tim akan menang jika masing-masing individu menang, jadi penting untuk
menciptakan lingkungan tempat mereka dapat melakukannya. Setiap kuartal di perusahaan tempat
Freeman bekerja, anggota tim berbagi dengan kelompok apa tujuan pribadi dan profesional mereka
— apa saja dari membeli mobil baru dan menabung untuk uang muka rumah hingga dipromosikan
dan mempelajari keterampilan baru. Dengan cara ini, alih-alih hanya bersaing satu sama lain dalam
hal angka penjualan di papan, orang-orang memahami apa yang sedang diupayakan orang lain.
Mereka membantu satu sama lain untuk mencapai tujuan mereka dan tetap bertanggung jawab, dan
sebagai hasilnya hal itu membuat semua orang menjadi lebih dekat.
Hidup lebih menyenangkan dengan senyuman, jadi pastikan kita mempekerjakan orang yang akan
berkembang — dan bersenang-senang — dalam lingkungan yang kompetitif dan berorientasi tim.
Pemain bintang adalah orang-orang yang tidak hanya akan bertanya pada diri sendiri, "Apa yang
dikatakan papan skor?" dan "Siapa di atas?" tetapi juga, "Bagaimana kecepatan tim “Jika saya di atas,
Meskipun jelas kita ingin mempekerjakan orang-orang hebat, kita juga ingin menciptakan lingkungan
yang mempromosikan pembinaan berkelanjutan, peningkatan, dan kesadaran diri. Kita mungkin
bertanya pada diri sendiri apa hubungannya hal ini dengan lingkungan yang kompetitif — tetapi
menurut pengalaman saya, individu yang paling kompetitif adalah yang paling kompetitif dengan diri
mereka sendiri. Sebagai seorang pemimpin, itu berarti kita harus menciptakan lingkungan yang
menantang individu-individu ini setiap hari. Pemimpin dapat melakukan ini dengan banyak cara —
mulai dari sesi umpan balik pembinaan satu lawan satu hingga pelatihan tim bahkan klub buku.
DAFTAR RUJUKAN
Freeman, Douglas P.B. (Tanpa Tahun). How to Create a Culture of Healthy Competition. Diakses dari
2020.
Gallo, Amy. (2018). Why We Should Be Disagreeing More at Work. Diakses dari https://hbr.org/